Вы находитесь на странице: 1из 13

TETANUS

Definisi
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme,
yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein kuat yang dihasilkan oleh Clostridium
tetani.
Penyakit ini disebabkan oleh Clostridium tetani, merupakan basil Gram positif anaerob. Bakteri
ini nonencapsulated dan berbentuk spora, yang tahan panas, pengeringan dan desinfektan. Spora
terdapat di mana-mana dan ditemukan di tanah, debu rumah, usus hewan dan kotoran manusia.
Spora ini akan memasuki tubuh penderita, lalu mengeluarkan toksin yang bernama
tetanospasmin.
Patogenesis dan Patofisiologi
Tetanus disebabkan oleh neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob,
Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke
dalam tubuh yang mengalami cedera/luka (masa inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4
penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan
eksotoksin (Tetanolisin dan Tetanospasmin). Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa
luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing
atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang
terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah
tulang jari dan luka pada pembedahan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril. Bahkan
apabila tidak ditemukan adanya luka, tetanus bisa terjadi akibat adanya gigi berlubang atau otitis
media supuratif kronis. Pada keadaan anaerobik , spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel
vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah.
Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran
darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti
pusat sistem saraf termasuk otak, sebelum mencapai otak penderita umumnya meninggal akibat
gagal nafas. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan
neuromuscular junction serta syaraf autonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor
1

endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf
tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang. Gejala klinis yang ditimbulkan dari
eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari
neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol/ eksitasi terus menerus dan
spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron, yang
melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama,
sangat sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan penghambatan refleks respon
motorik terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada
otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke medulla spinalis terjadi kekakuan yang berat,
pada extremitas, otot-otot pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Apabila toksin mencapai
korteks serebri, maka pasien akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik
dari spasme tetani ialah menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis dan antagonis.
neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang berasal dari sistem saraf
kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher.
Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan
pernapasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan
neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperflexi, hyperhidrosis
merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang terjadi karena penderita
sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan
pernapasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan di
kelola dengan teliti.
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa level dari
susunan saraf pusat, dengan cara :

Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan


GABA dari terminal nerve di otot.
Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari reflex
synaptik di spinal cord.
Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.

Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan meningkatnya


aktifitas dari neuron yang mempersarafi otot masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot
masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap
afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi
2

agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas. Ada dua hipotesis tentang cara
bekerjanya toksin, yaitu:
1.

Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa ke kornu

2.

anterior medulla spinalis


Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian
masuk kedalam medulla spinalis.

Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak) pada
voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena biasanya
pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan
pernafasan dan angka kematian sangatlah tinggi, (4,7,11)
Gejala Klinis
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat 1-2 hari dan kadang lebih
satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis. Terdapat hubungan antara jarak
tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat, dengan interval antara
terjadinya luka dengan permulaan penyakit ; makin jauh tempat invasi, masa inkubasi makin
panjang. Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini berlangsung
hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa inkubasi inilah baru
timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi dalam tiga tahap, yaitu :
1. Tahap awal
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan gejala awal
penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa penderita juga
mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus
masih berlangsung.
2. Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah( Trismus). Gejala
tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat sampai gigi
mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa
menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai (Risus
Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut. Selain itu, otot-otot perut pun
3

menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri. Kekakuan tersebut akan semakin meningkat
hingga kepala penderita akan tertarik ke belakang (Ophistotonus). Keadaan ini dapat
terjadi 48 jam setelah mengalami luka. Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul
yaitu penderita menjadi lambat dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan
makanan. Penderita mengalami tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara
melalui mulut atau gigi yang terkatu berat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi
terbatas.
3. Tahap ketiga
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang refleks.
Biasanya hal ini terjadi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot. Kejang otot ini bisa
terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena adanya rangsangan dari luar.
Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya,kejang ini
hanya berlangsung singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan
frekuensi yang lebih sering. Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (myocarditis),
tetanus dapat menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan
patah tulang belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat. Pernafasan pun juga
dapat terhenti karena kejang otot ini, sehingga beresiko kematian. Hal ini disebabkan
karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk
tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan.

Secara klinis, tetanus dibedakan atas :


1.

Tetanus lokal

Ditandai dengan rasa nyeri dan spasmus otot di bagian proksimal luka; gejala ini dapat terjadi
selama beberapa minggu dan menghilang tanpa gejala sisa. Bentuk ini dapat berkembang
menjadi bentuk umum; kasus fatal kira-kira 1%.
2.
Tetanus umum
Merupakan bentuk tetanus yang paling banyak dijumpai, dapat timbul mendadak, trismus
merupakan gejala awal yang paling sering dijumpai. Spasmus otot maseter dapat terjadi
bersamaan dengan kekakuan otot leher dan kesukaran menelan, biasanya disertai kegelisahan
dan iritabilitas. Kontraksi otot meluas, pada otot-otot perut menyebabkan perut papan (defens
muscular) dan kontraksi otot punggung yang menetap menyebabkan opistotonus; dapat timbul
kejang ,selama periode ini penderita berada dalam kesadaran penuh.
3.
Tetanus sefalik
Jenis ini jarang dijumpai; masa inkubasi 1-2 hari, biasanya setelah luka dikepala, wajah atau
otitis media; banyak kasus berkembang menjadi tipe umum. Tetanus tipe ini mempunyai
prognosis buruk.

4.

Tetanus neonatorum
5

Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada negara yang belum
berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian neonatus. Penyebab yang sering adalah
penggunaan alat-alat yang terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum
diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI,
mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%.
Menurut berat ringannya tetanus dibagi atas ( criteria berdasarkan stadium klinis pada anak)
1.

Tetanus ringan : Trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum walaupun
dirangsang
Tetanus sedang : trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum bila dirangsang.
Tetanus berat : trismus kurang 1 cm dan disertai kejang umum yang spontan.

2.
3.

Cole dan Youngman (1969) membagi tetanus umum atas :


Grade I: ringan

Grade II: sedang

Masa inkubasi lebih dari

14 hari.
Period of onset > 6 hari
Trismus positif tapi tidak

berat
Sukar makan dan minum

tetapi disfagi tidak ada


Lokalisasi
kekakuan

Grade III: berat

Masa inkubasi 10-14 hari


Period of onset 3 hari

atau kurang
Trismus dan disfagi ada
Kekakuan umum terjadi

dan

disekitar

kekakuan

Masa inkubasi < 10 hari


Period of onset < 3 hari
Trismus dan disfagia

berat
Kekakuan

umum

dan

dalam

beberapa

hari

gangguan

pernapasan

tetapi

dispnoe

dan

asfiksia,

ketakutan,

sianosis tidak ada

keringat

dekat dengan luka berupa


spasme

banyak

dan

takikardia.

luka
umum

terjadi beberapa jam atau


hari.

Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Manifestasi Klinis


Klinis Tetanus Derajat
I : Ringan

Trismus
umum

ringan
tanpa

sampai
spasme

sedang;spastisitas
atau

gangguan
6

II : Sedang

pernapasan;tanpa disfagia atau disfagia ringan


Trismus sedang; rigiditas dengan spasme
ringan sampai sedang dalam waktu singkat;

III : Berat

laju napas>30x/menit; disfagia ringan


Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya
lama; laju napas>40x/menit; laju nadi >

IV : Sangat berat

120x/menit, apneic spell, disfagia berat


(derajat III + gangguan sistem otonom
termasuk kardiovaskular) Hipertensi berat dan
takikardia yang dapat diselang-seling dengan
hipotensi relatif dan bradikardia, dan salah satu
keadaan tersebut dapat menetap

Diagnosis
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu istirahat, berupa :
1 .Gejala klinik

Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile ).

2. Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.


3. Kultur: C. tetani positif (biasanya sulit dilakukan).
4. Lab : SGOT, CPK meninggi (tidak spesifik untuk mendiagnosis tetanus)
Umumnya dengan gejala klinis yang cukup jelas dan pemeriksaan fisik diagnosis tetanus
biasanya dapat ditegakkan (13)

Penatalaksanaan
A. Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin,
mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pernafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut
dapat diperinci sebagai berikut :
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang
benda asing dalam luka serta kompres dengan H202, dalam hal ini penatalaksanaan
terhadap luka tersebut dilakukan 1-2 jam setelah ATS dan pemberian Antibiotika.
Lakukan observasi ketat pada jalan nafas, perubahan posisi dan perawatan kulit untuk
mencegah dekubitus
2.

Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut
dan

menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral

(apabila pasase

usus baik dan trismus minimal pemberian peroral merupakan pilihan

utama)
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita
(metode ini mulai ditinggalkan ).
4. Oksigen, pernafasan buatan dan tracheostomi bila perlu (apabila terdapat kekauan pada
laring).
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit (rehidrasi).
B. Obat- obatan Antibiotika :
Diberikan parenteral Peniciline 50.000 IU / KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari, IM..
Bila tidak sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin
dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis
terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000
unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Pemberian penicillin beberapa sumber
menganjurkan untuk tidak diberikan karena memiliki sifat GABA antagonis yang justru akan
menambah efek spasme pada pasien, lebih dianjurkan untuk pemberian metronidazol.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin

yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi, pemberian antibiotika broad spektrum
dapat dilakukan.Tetrasiklin, Eritromisin dan Metronidazole diberikan terutama bila penderita
alergi penisilin. Tertasiklin : 30-50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis
Eritromisin : 50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.
Metronidazole loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam. ATAU 3 x 1
gr / hari. Metronidazole juga dapat diberikan untuk mengatasi kuman anaerob yang merupakan
karakteristik dari C. Tetani. Metronidazole lebih efektif menurunkan angka mortalitas dan
morbiditas daripada penisilin. Kuman penyebab dapat dihilangkan melalui perawatan luka yang
dicurigai sebagai sumber infeksi dengan cara mencuci luka menggunakan larutan antiseptic,
eksisi luka. Apabila tidak ditemukan sumber infeksi maka antimikroba merupakan satu satunya
usaha untuk menghilangkan kuman penyebab.
Anti tetanus toksin
Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:

Toksin bebas dalam darah


Toksin bergabung dengan jaringan saraf.

Yang dapat dinertalisir adalah toksin yang bebas dalam darah. Sedangkan yang telah bergabung
dengan jaringan saraf tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Sebelum pemberian antitoksin
harus dilakukan : anamnesa apakah ada riwayat alergi, tes kulit (skin test), dan harus sedia
adrenalin 1:1000. Toksin yang masih beredar dinetralkan melalui pemberian ATS

atau

immunoglobulin tetanus manusia. ATS diberikan 20.000 IU/hari selama lima hari berturut
turut. Pada pemberian ATS harus diingat kemungkinan adanya reaksi alergi sehingga hal hal
yang telah disebutkan diatas harus disiapkan dan dilakukan terlebih dahulu
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000
U, , pemberian tidak perlu diulang karena waktu paruh antibody ini 3 1/2 4 minggu secara
IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary
aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius.

Tetanus toksoid
9

Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan dengan pemberian
antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian
dilakukansecara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus
selesai.(11,4)
Indikasi pemberian imunisasi tetanus
Imunisasi

Luka bersih

Luka Kotor

sebelumnya
Toksoid
Tidak ada / tidak Ya*

ATS
Tidak

Toksoid
Ya*

ATS
Ya

pasti
1x DT atau DTP
2x DT atau DTP
3x DT atau DTP

Tidak
Tidak
Tidak

Ya*
Ya*
Tidak++

Ya
Ya
Tidak

Ya*
Ya*
Tidak+

Keterangan :

* = seri imunisasinya harus dilengkapi


+ = kecuali booster terakhir sudah 10 tahun yang lalu
++ = kecuali booster terakhir sudah 5 tahun yang lalu atau lebih
Cara pemberian melalui intramuscular (ATS 1500 U/ immunoglobulin 250U) (4)

Antikonvulsan
Pemberian antikonvulsan bertujuan untuk mengontol spasme dan rigiditas. Adapun jenis obat
yang dapat digunakan, tertera dalam teabel.
Jenis Obat
Diazepam

Dosis
Efek Samping
0,5 1,0 mg/kg Berat badan / Stupor, Koma

Meprobamat
Klorpromasin
Fenobarbital

4 jam (IM)
300 400 mg/ 4 jam (IM)
25 75 mg/ 4 jam (IM)
50 100 mg/ 4 jam (IM)

Tidak Ada
Hipotensi
Depressi pernafasan

Obat yang lazim digunakan ialah :

10

Diazepam. Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis
0,5mg/kgbb/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap kali
kejang. Kemudian diikuti pemberian diazepam peroral- (sonde lambung) dengan dosis
0,5/kgbb/kali sehari diberikan 6 kali.Diazepam diberikan karena memiliki margin of
safety yang cukup baik, onset kerja obat ini cukup cepat, kumulasi cukup tinggi dalam 72

jam.
Dosis maksimal diazepam 240mg/hari. Bila masih kejang (tetanus yang sangat berat),
harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan
sampai 480mg/hari dengan bantuan ventilasi mekanik, dengan atau tanpa kurarisasi.
Dapat pula dipertimbangkan penggunaan magnesium sulfat, bila ada gangguan saraf

otonom.
Fenobarbital. Dosis awal : 1 tahun 50 mg i.m.; 1 tahun 75 mg i.m. Dilanjutkan dengan
dosis oral 5-9 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis. Fenotiazin bekerja dengan cara
meningkatkan aktivitas neurotransmitter GABA begitu juga dengan phenotiazine dan

klopromazine.
Largactil. Dosis yang dianjurkan 4 mg/kgbb/hari dibagi dalam 6 dosis.

Pencegahan
Mengingat banyaknya masalah dalam penanggulangan tetanus serta masih tingginya angka
kematian (30 60%), tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua pencegahan tetanus, yaitu
perawatan luka dan imunisasi aktif serta pasif.Imunisasi aktif didapat dari penyuntikan toksoid
tetanus untuk merangsang tubuh membentuk antibody. Manfaat imunisasi aktif ini sudah banyak
dibuktikan. Imunisasi pasif diperoleh dari pemberian serum yang mengandung antitoksin
heterolog (ATS) atau antitoksin homolog (immunoglobulin antitetanus). Berdasarkan riwayat
imunisasi dan jenis luka, baru ditentukan pemberian antitetanus serum atau toksoid. Ada
keraguan dalam memberikan serum antitetanus bersamaan dengan toksoid karena ditakutkan
terjadi netralisasi toksoid oleh ATS. Hal ini dapat dihindari dengan memberikannya secara
terpisah pada tempat penyuntikan yang berjauhan, misalnya lengan kanan dan paha kiri.(4
11

DAFTAR PUSTAKA
1. Ningsih, S., and Witarti, N., 2007. Asuhan Keperawatan Dengan Tetanus. Available from :
www.pediatrik.com/perawat_pediatrik/061031-joiq163.doc. Accested : June 27, 2013.
2. Lubis, U. N., 2004. Tetanus Lokal pada Anak. Available from :
www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15. Accested : June 27, 2013.
3. Ismoedijanto, and Darmowandowo, W., 2006. Tetanus. Available from : www.pediatrik.com.
Accested : June 28, 2013.
4. De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. In : Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH,
Rudiman R, editors. 3 ed. Jakarta : EGC; 2012; p. 45 50.
5. Bachsinar. B.,Bedah Minor : Tetanus . Jakarta. Hipokrates Jakarta ; 1992; p 83 90
6. Suraatmaja, S., and Soetjiningsih, 2000. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak RSUP Sanglah. Fakultas Kedokteran Udayana. Denpasar.
12

7. Taylor . A. M., 2006. Tetanus, Continuing Education In Anaesthesia Critical Care and Pain.
Available from : http://ceaccp.oxfordjournals.org/Accested : July 16, 2013.
8. Sherwood.L ., Fisiologi Manusia dari sel ke system : Fisiologi otot. Ed 2. Jakarta. EGC,
2001; p 221
9. Mardjono.M., Sidartha P., : Neurologi Klinis Dasar : Susunan Neuromuskular.Jakarta. Dian
rakyat; 2010; 15; (10-11)
10. Kayser.F.H.,Kurt .A.,Eckert J.,Medical Microbiology. New York . Thiemme Stuttgart ; 2005;
p 274.
11. Hassel. B., 2012. Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of
Using Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms. Available from:
www.mdpi.com/journal/toxins. Accested ; June 30, 2013
12. World Health Organization., 2012 : Immunization surveillance, assessment and monitoring.
Available from:
http://www.who.int/immunization_monitoring/diseases/tetanus/en/index.html Accested ; June
30, 2013
13. Adams R.D, et al : Tetanus in : principles of Newology, Mc Graw Hill, ed 1997, p 1205
07

13

Вам также может понравиться