Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
V. GEJALA KLINIS
VI. DIAGNOSIS
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
VIII. DIAGNOSIS BANDING
IX. TERAPI
X. KOMPLIKASI
XI. PROGNOSIS
DAFTAR PUSTAKA
Pemberian K intravena dalam bentuk larutan KCl disarankan melalui vena yang besar
dengan kecepatan 10-20 mEq/jam, kecuali disertai aritmia atau kelumpuhan otot
pernafasan, diberikan dengan kecepatan 40-100 mEq/jam. KCl dilarutkan sebanyak 20
mEq dalam 100 cc NaCl isotonik.
Monitor kadar kalium tiap 2-4 jam untuk menghindari hiperkalemia terutama pada
pemberian secara intravena.
Pemberian acetazolamide untuk mencegah serangan dengan dosis 125-1500 mg/hari.
Dichlorphenamide 50-150 mg/hari juga telah menunjukkan keefektifan yang sama.
Pemberian triamterene (25-100 mg/hari) atau spironolactone (25-100 mg/hari) apabila
acetazolamide tidak memberikan efek pada orang tertentu.
IX.KOMPLIKASI
Batu ginjal akibat efek samping acetazolamide.
Arrhytmia.
Kelemahan otot progresif.7
X.PROGNOSA
Baik apabila penderita mengurangi faktor pencetus seperti mengurangi asupan
karbohidrat, hindari alcohol dll. Serta pengobatan yang teratur.6,7
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton & hall. Kalium dalam cairan ekstraselular. EGC. 1997.
2. Mesiano taufik. Periodik paralisis. Available from http : //www.ommy & nenny.com
3. Ricardo Gabriel, dkk. Hipokalemic periodic paralisys. Available from
http : //www.associacion medica argentina.com
4. Anonim. Hipokalemic periodic paralisys. Available from http : //www.genetics.com
5. Anonim. Periodic paralisys. Available from http : //www.NINDS.com
6. Ranie nh. Hipokalemic periodic paralisys. Available from http : //www.webscapes.com
7. Anonim. Hipokalemic periodic paralisys. Available from http :
//www.medlineplus.com
1. Simadibrata M., dkk. (ed.). Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam.
Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2000. Hlm 93-4.
2. Sudoyo AW, dkk, (ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi IV. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007. hlm 137-8
Hipokalemik periodik paralisis adalah kelainan yang ditandai dengan kadar kalium
(kalium) yang rendah (kurang dari 3.5 mmol/L) pada saat serangan, disertai riwayat
episode kelemahan sampai kelumpuhan otot skeletal. Hipokalemia dapat terjadi karena
adanya faktor pencetus tertentu, misalnya makanan dengan kadar karbohidrat tinggi,
istirahat sesudah latihan fisik, perjalanan jauh, pemberian obat, operasi, menstruasi,
konsumsi alkohol dan lain-lain. Kadar insulin juga dapat mempengaruhi kelainan ini pada
banyak penderita, karena insulin akan meningkatkan aliran kalium ke dalam sel. Pada
saat serangan akan terjadi pergerakan kalium dari cairan ekstra selular masuk ke dalam
sel, sehingga pada pemeriksaan kalium darah terjadi hipokalemia.
Kadar kalium biasanya dalam batas normal diluar serangan. Pencetus untuk setiap
individu berbeda, juga tidak ada korelasi antara besarnya penurunan kadar kadar kalium
serum dengan beratnya paralisis (kelemahan) otot skeletal. Penderita dapat mengalami
serangan hanya sekali, tetapi dapat juga serangan berkali-kali (berulang) dengan interval
waktu serangan juga bervariasi. Kelemahan biasanya terjadi pada otot kaki dan tangan,
tetapi kadang-kadang dapat mengenai otot mata, otot pernafasan dan otot untuk menelan,
di mana kedua keadaan terakhir ini dapat berakibat fatal. Angka kejadian adalah sekitar 1
diantara 100.000 orang, pria lebih sering dari wanita dan biasanya lebih berat. Usia
terjadinya serangan pertama bervariasi dari 120 tahun, frekuensi serangan terbanyak di
usia 1535 tahun dan kemudian menurun dengan peningkatan usia. Hipokalemik
periodik paralisis biasanya terjadi karena kelainan genetik otosomal dominan. Hal lain
yang dapat menyebabkan terjadinya hipokalemik periodik paralisis adalah tirotoksikosis
(thyrotoxic periodic paralysis), hiperinsulin.1,10
Pada laporan kasus ini akan dibahas tentang penderita hipokalemik periodik paralisis
pada anak usia 7 tahun, di mana diagnosa pasti tidak dapat ditegakkan karena
pemeriksaan genetik tidak dapat dilaksanakan disebabkan beberapa alasan non medis.
Dugaan Diagnosa hanya didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan klinik, dan
laboratorium saja.
KASUS
Seorang anak laki-laki suku Jawa berusia 7 tahun, dikonsulkan untuk pemeriksaan
laboratorium karena keluhan badannya lemas bila makan makanan yang mengandung
vetsin (mono sodium glutamat = MSG). Setiap makan makanan yang mengadung MSG
akan terjadi kelemahan badan, kadang sampai tidak bisa berdiri. Kelemahan ini akan
hilang dengan sendirinya sesudah 56 jam, di mana jika sudah pulih penderita
gerakannya kembali normal. Kelemahan dimulai dari kaki naik ke atas, kadang-kadang
sampai ke leher, bahkan sampai tidak dapat beraktifitas sama sekali, tetapi kadang juga
hanya ringan di mana jalannya tidak stabil. Gejala ini sudah terjadi sejak beberapa tahun,
kemungkinan sejak usia sekolah, serangan terjadi berkali-kali dan penderita sudah
keliling dari satu dokter pindah ke dokter lain. Salah seorang dokter mendiagnosa sebagai
chinas food syndrome, kemudian pada serangan terakhir penderita ke dokter lain lagi
PEMBAHASAN
Dari hasil pemeriksaan klinis dan laboratoris penderita diduga mengalami kelainan
hipokalemik periodik paralisis. Kelainan albuminuria ringan dan silinder granular halus
pada pertama kali pemeriksaan kemungkinan karena pengambilan sampel yang kurang
tepat, yaitu penderita lama tak kencing. Sedangkan lekositosis dan trombositosis waktu
pertama kemungkinan karena hemokonsentrasi, di mana penderita agak sulit diambil
darahnya karena menolak (takut), selain itu juga waktu serangan penderita kemungkinan
juga kurang minum. Hal ini terbukti waktu pengambilan darah dan urine berikutnya
memberikan hasil yang normal (waktu pengambilan darah pertama dan ulangan jaraknya
sekitar 1 minggu). Pencegahan serangan pada penderita memang kelihatanannya agak
sulit, karena penderita sudah sekolah dan nampaknya agak suka jajan di sekolah yang
menyebabkan timbulnya serangan, sedangkan di rumah makanannya selalu dijaga oleh
ibunya (diberikan tanpa MSG). Penderita setiap kali serangan kadar kaliumnya cukup
rendah, sayangnya tidak pernah memeriksakan diri diluar serangan, juga usulan EMG
dan analisa genetik tidak dilaksanakan.
Diagnosa kelainan hipokalemik periodik paralisis ditegakkan berdasarkan kadar kalium
darah rendah [kurang dari 3,5 mmol/L (0,93,0 mmol/L) ] pada waktu serangan, riwayat
mengalami episode flaccid paralysis dengan pemeriksaan lain dalam batas normal.
Paralisis yang terjadi pada penyakit ini umumnya berlokasi di bahu dan panggul meliputi
juga tangan dan kaki, bersifat intermiten, serangan biasanya berakhir sebelum 24 jam,
pada EMG dan biopsi otot ditemukan miotonia, refleks Babinsky positif, kekuatan otot
normal diluar serangan. 4-8
Terdapat 2 bentuk kelainan otot yang diobservasi yaitu episode paralitik dan bentuk
miopati, kedua keadaan ini dapat terjadi secara terpisah ataupun bersama-sama. Sering
terjadi bentuk paralitik murni, kombinasi episode paralitik dan miopati yang
progresifitasnya lambat jarang terjadi, demikian pula bentuk miopatik murni jarang
terjadi. Episode paralitik ditandai terutama adanya flaccid paralysis dengan hipokalemia
sehingga dapat terjadi para paresis atau tetraparesis berpasangan dengan otot pernafasan.
4
Pada pasien ini murni flaccid paralysis dengan hipokalemia dan akan sembuh atau remisi
sendiri 56 jam kemudian, dengan pemberian kalium per oral serangan menjadi lebih
ringan. Tidak terdapat kelainan pada otot pernafasan. Jika terdapat kelainan genetik maka
pada analisa didapatkan kelainan antara lain adalah autosomal dominan inheritance yaitu
mutasi pada kromososm CACNA1S (70%) disebut hipokalemik periodik paralisis tipe 1,
mutasi lokus pada kromosom SCN4A (10%) disebut hipokalemik periodik paralisis tipe
2. Mutasi SCN4A dapat juga menyebabkan Hiperkalemik periodik paralisis tipe
1(HyperPP1), Paramyotonia congenita (PC), Potassium aggravated myotonias (PAM)
and related disorders, malignat hyperthermia susceptibility, Congenital myasthenic
syndromes. HyperPP1 menyebabkan kelemahan otot yang dapat melibatkan otot mata,
tenggorokan dan badan; hiperkalemia selama serangan dapat sampai > 5 mmol/L atau
peningkatan kadar kalium serum 1,5 mmol/L. Pada keadaan ini pemberian suplemen
kalium dapat menyebabkan perburukan keadaan penderita. Kelainan-kelainan di atas
sering sebagai kelainan familial. 4,11
Pada penderita ini sayangnya pemeriksaan EMG, biopsi otot dan analisa genetik tidak
bisa dilaksanakan, sehingga kami tidak dapat mendiagnosa secara pasti, hanya perkiraan
diagnosa, juga tidak dapat melakukan diagnosa banding. Kita sebagai dokter dapat
mencurigai adannya hipokalemik periodik paralisis jika terdapat gejala kelemahan otot,
kadar kaliumnya rendah sewaktu serangan, dan tidak dijumpai kelainan lain yang dapat
menyebabkan hipokalemi, sering juga disertai adanya riwayat keluarga. Pada penderita
ini tidak didapatkan riwayat keluarga, dan tidak ditemukan penyakit lain yang dapat
menyebabkan hipokalemia. Selama serangan refleks otot dapat menurun atau normal,
otot menjadi lemah dan sulit berdiri. Penderita ini juga mengalami kelemahan otot waktu
serangan dan sebagai pencetusnya adalah MSG. Pemeriksaan laboratorium seperti darah
dan urine rutin, faal hati, ginjal, tiroid, gula darah dan ANA test normal.
Dokter dapat melakukan tes dengan memberikan suntikan insulin disertai pemberian
glukosa sehingga merupakan pencetus untuk terjadinya penurunan kadar kalium darah
dan dapat menimbulkan serangan 5. Sayangnya pada penderita juga tidak dapat dilakukan
tes ini, karena penderita menolak di rawat di rumah sakit dan hanya mau berobat jalan.
Hal ini kemungkinan disebabkan karena biasanya keluhannya akan hilang dengan
sendirinya dalam 56 jam meskipun tanpa pengobatan. Jika serangan melibatkan otot
pernafasan dan otot untuk menelan, terjadinya aritmia jantung maka dapat menimbulkan
keadaan berbahaya (gawat darurat) yang dapat juga berakibat fatal. Tujuan pengobatan
adalah mengobati simptom dan mencegah terjadinya serangan ulang. Pencegahan
sebaiknya disesuaikan dengan faktor pencetusnya, pemberian kalium selama serangan
dapat menghentikan gejala. Pengobatan yang dianjurkan adalah pemberian kalium per
oral, jika keadaan berat mungkin dibutuhkan pemberian kalium intra vena. 5,6
Penderita mendapat pengobatan pencegahan dengan menghindari makanan yang
mengadung MSG, dan pemberian preparat kalium peroral. Setelah diberikan kalium per
oral, dan penderita/anak tersebut mengkonsumsi makanan yang mengandung MSG diluar
sepengetahuan orang tuanya, maka serangan yang terjadi lebih ringan jika dibandingkan
serangan sebelum mendapat kalium per oral. Waktu terjadi serangan setelah pengobatan
kalium per oral, penderita masih dapat berdiri dan berjalan meskipun agak sempoyongan
(kurang stabil) dan kakinya merasa berat. Sedangkan sebelum mendapat pengobatan
kalium per oral, jika terjadi serangan penderita tidak dapat beraktifitas sama sekali.
Dikatakan bahwa acetazolamide dapat mencegah serangan pada beberapa kasus,
kemungkinan karena dapat menurunkan aliran kalium dari sirkulasi darah masuk ke
dalam sel. Pemberian acetazolamide juga membutuhkan pemberian suplemen kalium,
karena acetazolamide dapat menyebabkan pembuangan kalium lewat ginjal lmenjadi
lebih besar, sehingga perlu perhatian khusus pada penderita dengan kelainan ginjal.
Triamterene atau spironolactone dapat membantu mencegah terjadinya serangan pada
penderita yang tidak memberikan respon dengan pemberian acetazolamide. Hipokalemik
periodik paralisis biasanya berespon baik terhadap pengobatan, pengobatan dapat
mencegah bahkan sebaliknya dapat juga menyebabkan kelemahan otot yang progressif.
5,6
Pada penderita ini tidak sampai mendapat pengobatan acetazolamide, triamterene atau
spironolactone, karena dengan pemberian kalium per oral dan menghindari konsumsi
makanan yang mengandung MSG sudah dapat mengatasi keadaan hipokalemik periodik
paralisisnya. Komplikasi dari hipokalemik periodik paralisis adalah batu ginjal (akibat
pemberian acetazoleamide), aritmia jantung waktu serangan, kesukaran bernafas,
berbicara atau menelan (jarang), kelemahan otot progressif. 5,6 Pada penderita ini
tidak/belum terjadi komplikasi seperti di atas.
RINGKASAN
Telah dilaporkan kasus seorang anak laki-laki usia 7 tahun dengan dugaan diagnosa
hipokalemik periodik paralisis. Di mana sebagai faktor pencetusnya adalah makan
makanan yang mengandung MSG, riwayat keluarga, analisa genitik, biopsi otot dan
EMG (Electromyography) tidak dapat dilakukan karena keterbatasan-keterbatasan
tertentu. Pengobatan kalium per oral dan menghindari konsumsi makanan mengandung
MSG sudah dapat mencegah/ mengurangi terjadinya serangan hipokalemik periodik
paralisis. Tanpa pengobatan serangan akan hilang sendiri dalam waktu 56 jam.
Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory22-, Vol. 12, No. 1,
Nov 2005: 19
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Scott, M.G., Heusel, J.W., Leig, V.A., Anderson, O.S., 2001, Electrolytes and Blood
Gases. In Burtis CA, Ashwood ER. 5th eds. Tietz Fundamentals of Clinical Chemistry.
Philadelphia: WB Saunders, 494517.
2. Kleinman, L.I., Lorenz, J.M., 1996, Physiology and Pathophysiology of body water
Electrolytes. In In Kaplan LA, Pesce AJ, 3 th eds. Clinical Chemistry Theory, analysis,
and correlation. St Louis: Mosby, 43963
3. Mujais, S.K., Katz, A.I., Kalium Deficiency. In: Seldin DW, Giebsich G, 3 th eds. The
KIDNEY Physiology & Phatophysiology. Philadelphia: Lippincott Williams & wilkins,
1615 1646.
4. Sternberg, D., Tabt,i N., Haingue, B., Fontaine, B., 2004, Hypokalemic periodic
Paralysis,. Gene Reviews. Funded by NIH University of Washington, Seatle 19 May, 1
22.
5. http://adam.about.com/encyclopedia/000312.htm (update 2005)
dr Octaviani
PENDAHULUAN
Thyrotoxic Periodic Paralysis (TPP) merupakan salah satu bentuk dari periodik
paralisis sekunder yang sering terjadi. Secara klinis hal ini sulit dibedakan dengan
periodik paralisis hipokalemi familial. Faktor yang mendasari terjadinya TPP adalah
hipertiroid atau kemungkinan berhubungan dengan autosomal dominan. Kebanyakan
kasus TPP terjadi secara sporadis dan 9% penderita tirotoksikosis mengalami paralisis
periodik, dengan onset umur diatas 20 tahun (lebih dari 90% kasus). TPP banyak terjadi
pada pria daripada wanita dengan perbandingan 6:1. Lebih dari 80% kasus dilaporkan
banyak terjadi di Asia. 1,2,3,4
Berikut ini akan dibahas kasus mengenai patofisiologi, penegakan diagnosis
Thyrotoxic Periodic Paralysis dan penatalaksanaannya.
ILUSTRASI KASUS
Seorang pria, 36 tahun, datang ke IGD RSCM dengan keluhan utama kesukaran
bernafas sejak sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit.
15 jam sebelum masuk rumah sakit ketika sedang istirahat malam, penderita
merasakan kelemahan pada kedua tungkai yang terjadi bersamaan. Kelemahan
dirasakan sama berat antara kiri dan kanan dan dimulai dari kelemahan untuk
mengangkat tungkai atas. Kelemahan ini bertambah berat sampai penderita tidak
dapat berjalan sama sekali. Setengah jam kemudian, penderita mulai merasakan
kelemahan pada kedua lengannya disertai dengan kekakuan pada leher. Tidak
dijumpai kesemutan, rasa baal dan gangguan berkemih. Sepuluh jam kemudian,
penderita merasa sulit bernafas, tetapi tetap sadar. Penderita dibawa ke rumah sakit
swasta dan dirujuk ke RSCM.
Riwayat demam sebelumnya tidak ada. Satu hari sebelumnya penderita
berolahraga sepak bola dan makan nasi dengan porsi lebih dari biasanya. Riwayat
kelemahan dengan pola yang sama ini sudah dialami penderita sebanyak 8 kali, sejak 6
bulan yang lalu. Biasanya kelemahan berangsur membaik dan penderita merasa pulih
kembali kekuatannya setelah 1 atau 2 hari dan dapat beraktivitas secara normal.
Penderita berobat ke rumah sakit swasta dan diberi obat KSR 3x1 tablet, Bio-ATP dan
Dilbloc 1x1/2 tablet. Penderita selalu minum KSR dan ATP secara teratur setiap hari.
Sejak 6 bulan yang lalu berat badan penderita berangsur-angsur menurun
sebanyak 20 kg, walaupun nafsu makan dirasa semakin bertambah. Penderita sering
merasa berdebar-debar, berkeringat banyak (terutama waktu mau tidur), gemetaran
dan cemas. Tidak dijumpai nyeri dada dan sesak nafas. Penderita juga sering merasa
haus dan banyak berkemih lebih dari biasanya terutama malam hari. Penderita sering
merasa gatal-gatal pada seluruh tubuh, sehingga harus meminum Incidal hampir tiap
2 hari sekali. Gatal-gatal ini tidak dipengaruhi cuaca, makanan dan tidak ada riwayat
allergi sebelumnya.
Riwayat kencing manis, darah tinggi, penyakit jantung tidak ada. Keluarga tidak
ada yang menderita penyakit seperti ini. Ibu penderita mengidap kencing manis.
Pemeriksaan fisik umum
Kesadaran kompos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 120 x/menit, pernafasan
bradipnu 11x/menit, suhu afebris. Konjungtiva palpebra tidak pucat, sklera tidak ikterik,
tidak ada eksoftalmus. JVP 5-2 cm H2O, teraba massa di leher bilateral, terutama
sebelah kanan, bruit (-). Paru sonor, vesikuler, tidak ditemukan ronki dan wheezing. Bunyi
jantung I dan II normal, tidak ditemukan murmur dan gallop. Abdomen lemas, nyeri
tekan tidak ada, hepar lien tidak teraba, bising usus normal. Akral dingin, edema tidak
ada, terdapat tremor pada kedua tangan.
Pemeriksaan neurologis
GCS 15
Pupil isokor diameter 3 mm, refleks cahaya langsung dan tak langsung +/+
Tanda rangsang meningeal : kaku kuduk ()
Nn.kraniales : paresis ()
Motorik : kesan tetraparesis, refleks fisiologis APR/KPR /, biceps/triceps /, refleks
patologis -/Sensorik : belum dapat dinilai
Otonom : BAB dan BAK normal
Diberikan penatalaksanaan emergency: pemasangan IVFD NaCl 0,9% 500 cc/12 jam,
pemasangan ETT dengan bagging. Dilakukan pemeriksaan darah, EKG dan foto toraks
(hasil terlampir). Dalam 1 jam pernafasan berangsur membaik dan adekuat. Kekuatan
motorik keempat ekstremitas 2. Setelah dilakukan koreksi Kalium 50 meq/ 6 jam,
keadaan pernafasan membaik dan 7 jam setelah onset, kekuatan motorik 5. Penderita
dapat bernafas spontan dan ETT dilepas.
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
2
0/5
22/5
Urinalisis
BJ
1,020
PH
7
Protein
+1
Glukosa
+3
Keton
1,015
5
+1
-
Pemeriksaan
Nilai Normal
16/5
(12.45)
16/5
(19.00)
20/5
Darah
+2
+1
Bilirubin
Urobilinogen
0,1
0,1
Nitrit
Esterase leuk.
Trace
Epitel
+
+
Leukosit
5-
6/lpb 3-5/lpb
Eritrosit
banyak
1-2/lpb
Silinder
Kristal amorf
Bakteri
22/5
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
Leukosit
LED
Hitung jenis
Trombosit
Ureum
13-16 g/dl
40-48 vol%
4,5-5,5 jt ul
5000-10000 ul
<10 mm/jam
Bas 0-1
Eos 1-3
Btg 2-6
Segm 50-70
Limfo 20-40
Mono 2-8
14,8
42
5,3
18900
200000-500000/ul
272000
37
20-40 mg/dl
13,8
41
5,0
11000
30
0
0
0
77
20
3
165000
35
Creatinin
Creatinin clear.
Natrium darah
0,5-1,5 mg/dl
117 + 20 ml/mnt
135-147 meq/l
0,7
151
1,9
Kalium darah
Chlorida darah
Calcium darah
Natrium urine
Kalium urine
Chlorida urine
Gula drh sewkt.
GDN
GDPP
pH
pCO2
pO2
BE
HCO3
Sat O2
Foto toraks
EKG
+,
7,35 - 7,45
35 45
85 95
-2,5 s/d + 2,5
21 25
144
3,9
6
141
3,3
0,8
243
T3 (86187ng/dl)
152
T4 (5-13 ug/dl)
20,5
FT4 (0,8-2
ng/dl)
6
TSH (0,3-5 uIU/ml)
0,12
109
0,5
86
21
92
180
7,11
75,2
149,2
-4,1
23,9
7,41
32
177
-3,4
20,3
118
213
7,396
29,9
126,9
-5,2
18,1
Thyroid scan
tangkapan
: Tetraparesis LMN
Tirotoksikosis
: Otot
: Hipokalemi
Penatalaksaanaan
-
Prognosis
Quo ad vitam
: bonam
Quo ad fungsionam : bonam
Quo ad sanasionam : bonam
Diskusi Kasus
REGULASI AKSIS TIROID
Thyrotropin releasing hormone (TRH) yang dihasilkan oleh hipotalamus
menstimulasi pituitari untuk melepaskan Thyrotropin stimulating hormone (TSH), yang
selanjutnya merangsang sintesis dan sekresi hormon tiroid di kelenjar tiroid. Hormon tiroid
ini berupakan negative feed back untuk menginhibisi produksi TRH dan TSH. TSH
merupakan tanda sensitif dan spesifik untuk mengukur fungsi tiroid. Rendahnya kadar
hormon tiroid meningkatkan produksi TSH dan TRH, dan sebaliknya kadar hormon tiroid
yang tinggi mensupresi TSH dan TRH. Hal ini menunjukkan bahwa hormon tiroid
merupakan regulator utama produksi TSH.
T4 dan T3 yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid bersirkulasi dalam darah terikat
dengan plasma protein (TBG thyroxine binding globulin, TTR - transthyretin, dan
albumin). Jumlah T3 bebas lebih banyak dari T4 bebas karena T3 tidak terikat kuat.
Hanya hormon bebas inilah yang terdapat dalam jaringan. Oleh karena itu, mekanisme
homeostatik yang meregulasi aksis tiroid dapat dicapai dengan menjaga konsentrasi
normal dari hormon bebas. 5
TIROTOKSIKOSIS
Manifestasi klinis dari tirotoksikosis berupa hiperaktivitas, iritabilitas, disforia,
berkeringat, palpitasi, mudah lelah, penurunan berat badan dengan peningkatan nafsu
makan, diare, poliuri, oligomenore, penurunan libido.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan penurunan TSH dan peningkatan
hormon tiroid bebas. Diagnosis tirotoksikosis dapat disingkirkan bila kadar TSH normal.
Untuk mendiagnosis adanya tirotoksikosis cukup dengan mengukur kadar T4 bebas.
Hanya 2-5% penderita didapati peningkatan kadar T3. Bila didapati penurunan TSH
tetapi kadar T4 bebas normal, maka kadar T3 bebas harus diperiksa. 5
Pada penderita ini didapatkan gambaran klinis berupa penurunan berat badan sebanyak
20 kg seiring dengan peningkatan nafsu makan. Penderita juga sering merasa berdebar-debar,
berkeringat banyak, gemetaran dan cemas, sering haus dan banyak berkemih, serta gatal-gatal
pada seluruh tubuh. Pemeriksaan hormon tiroid menunjukkan adanya peningkatan kadar T4 dan
T4 bebas, disertai penurunan kadar TSH. Hasil thyroid scan menunjukkan adanya pembesaran
tiroid bilateral dengan thyroid uptake yang tinggi. Gejala klinis dan pemeriksaan penunjang pada
penderita ini menunjukkan gambaran adanya tirotoksikosis.
Perlu dilakukan tes lebih lanjut terhadap adanya gejala poliuri, polidipsi, dan polifagi
pada penderita ini apakah disebabkan manifestasi klinis dari tirotoksikosis atau memang ada
penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, mengingat adanya faktor keturunan dari
ibunya yang juga penderita DM ?
biasanya pulih duluan. Pemulihan kelemahan otot dapat disertai dengan rasa pegal
dan kram atau rasa tidak nyaman pada otot. 1,2,7,9
Pada pemeriksaan refleks tendon dapat menurun atau normal. Gambaran EMG
menunjukkan penurunan amplitudo dan durasi dari motor unit potensial selama periode
paralisis. Biopsi otot menunjukkan adanya vakuola yang mengandung glikogen,
terutama saat serangan. 2,7,9
Pada penderita ini didapatkan kelemahan pada ekstremitas proksimal dimulai dari tungkai
yang terjadi secara berulang dan disertai gangguan otot pernafasan. Kelainan ini tidak disertai
dengan gangguan sensorik dan didapatkan refleks menurun. Ini menunjukkan adanya
tetraparesis LMN. Kelemahan ini berangsur membaik dalam waktu 7 jam dan setelah mendapat
terapi koreksi. Hal ini menerangkan adanya suatu paralisis periodik yang disebabkan oleh
hipokalemi. Penyebabnya berasal dari tirotoksikosis dan penyebab dari ginjal dapat disingkirkan
dari pemeriksaan elektrolit urine dan pH yang normal. Pemeriksaan EMG tidak dilakukan karena
bila diperiksa saat di luar serangan, EMG tidak banyak memberikan informasi dan biasanya
normal.
PENATALAKSANAAN
Prinsip terapi pada TPP adalah membuat penderita berada dalam kondisi euthyroid.
Penanganan hipertiroidisme dengan mengurangi sintesis hormon tiroid
menggunakan obat antitiroid, radioiodine atau subtotal tiroidektomi.
Antitiroid yang digunakan adalah golongan tionamid seperti propylthiouracil,
carbimazole, methimazole. Obat ini menginhibisi fungsi TPO (tiroid peroksidase),
mengurangi oksidasi dan organifikasi iodide. Propylthiouracil menginhibisi deiodinasi T4
T3 dengan waktu paruh 90 menit. Dosis yang diberikan 100-200 mg setiap 6-8 jam.
Dosis ini kemudian diturunkan bertahap dengan dosis maintenance 50-100 mg.
Popanolol mencegah serangan dengan memblok -adrenergic hypersensitivity
yang menyebabkan ineksitabilitasi membran. Dosis yang diberikan 20-40 mg setiap 6
jam.
Pada penderita ini diberi PTU 3x100 mg dan propanolol 2x10 mg. Keefektifan
pengobatan dan efek samping obat pada penderita dipantau lebih lanjut.
Terapi terbaik untuk serangan TPP akut adalah potassium. Dapat diberikan
secara oral atau intravena dengan monitor ketat. Disarankan untuk memberikan secara
oral, kecuali bila terdapat hipokalemia berat, gangguan jantung dan pernafasan pada
penderita. Dosis oral 5-10 gram perhari, atau 130 mEq perhari dengan pemantauan
kadar potassium dan EKG. Untuk pemberian secara intravena, konsentrasi maksimum
Kalium tidak lebih dari 40 mmol/l bila diberikan melalui vena perifer atau kurang dari 60
mmol/l bila melalui vena sentral. Kecepatan infus tidak melebihi 20 mmol/ jam. Sediaan
KCl tidak boleh diberikan langsung, harus dilarutkan dalam cairan infus, yang dipakai
adalah normal saline, karena larutan dektrose dapat menyebabkan penurunan
sementara K+ serum sebesar 0,2-1,4 mmol/l karena stimulasi pelepasan insulin oleh
glukosa. Penggantian 40-60 mmol K+ menghasilkan kenaikan 1-1,5 mmol/l dalam K+
serum, tetapi ini sifatnya sementara karena K+ akan berpindah kembali ke dalam sel.
Pemantauan teratur dari K+ serum diperlukan untuk memastikan bahwa defisit terkoreksi.
Konsentrasi K+ >60 mmol/l sebaiknya dihindari melalui vena perifer, karena cenderung
menyebabkan nyeri dan sklerosis vena. 2,10,11,12
DAFTAR PUSTAKA
1. Anagnos A, Ruff RL, Kaminski HJ. Endocrine Neuromyopathies. Neurologic Clinics
1997; 15:3: 681-683
2. Rowland LP, Layzer RB. Muscular Dystrophies, Atrophies and Related Disease. Clinical
Neurology 1987; 4: 36-40
3. Riggs JE. The Periodic Paralyses. Neurologic Clinics 1988; 6:3: 485-493
4. Ruff RL, Weissman J. Endocrine Myopathies. Neurologic Clinics 1988; 6:3: 578-581
5. Jameson JL, Weetman AP. Disorders of the thyroid gland. In: Harrisons Principles of
th
Internal Medicine 15 ed. New York, McGraw-Hill, 2001: 2060-2074
6. Brown RH. Periodic Paralysis. Neurobase 1993-1998, Arbor Publishing Corp.
rd
7. Muscle diseases. In: Gilroy J. Basic Neurology 3 ed. New York, McGraw-Hill, 2000:
638-640
8. Abrams GM. Endocrinopathies and the nervous system. Am.Acad.Neurol. 2002:
8AC.009-53-55
9. Diseases of spinal cord, peripheral nerves and muscle. In: Adams RD, Victor M, Ropper
th
AH (eds). Principles of neurology 5 ed. New York, McGraw-Hill, 1993: 1263-1267
10. Thornton C. Myotonic Disorders and Channelopathies. Am.Acad.Neurol. 1997: 423-4853
11. Singer GG, Brenner BM. Fluid and electrolyte disturbances. In: Harrisons Principles of
th
Internal Medicine 15 ed. New York, McGraw-Hill, 2001: 271-281
12. Graver MA. Terapi cairan, elektrolit, dan metabolik. Jakarta, Farmedia, 2002:33-38
Periodik paralisis merupakan kelainan pada otot rangka. Kelainan ini mempunyai
karakteristik serangan kelemahan otot yang berulang ; di antara serangan, otot biasanya
dapat bekerja dengan normal.
Dua penyebab tersering adalah :
Hipokalemi:
1. Primer : Genetik / Familial
2. Sekunder : Tirotoksikosis, insulin increase, GE, drugs (amfoterisin B, loop diuretik, dll),
alcohol, eksresi urin berlebihan, renal tubular asidosis
Hiperkalemi :
1. Primer : Genetik / Familial
2. Sekunder : High intake, Addison disease , Gagal ginjal kronik , hypoaldosteronism
Manifestasi Klinis Periodik Paralisis Akibat Tirotoksikosis
Gambaran klinis thyrotoxic periodic paralysis (TPP) sama dengan familial
hypokalemic periodic paralysis (FHPP) yang berkaitan dengan adanya mutasi gen dari
kanal-kanal ion. Sampai sekarang di yakini bahwa penyebab dari TIPP berhubungan
dengan peran protein transporter Natrium Iodide Symporter (NIS). Pada jaringan
hipertiroid dimana aktivasi NIS meningkat sehingga mengakibatkan overaktivasi NaKATPase menyebabkan blok depolarisasi membran sel otot sehingga meningkatkan
permeabilitas membran terhadap Na, tetapi tidak terhadap K. Hiperinsulinemia, tingginya
intake karbohidrat, dan exercise dapat menginduksi terjadinya TIPP pada pasien
hipertiroid.
Treatment and management
Pasien TIPP tentunya harus mendapatkan intake K per oral, selain juga dapat
diterapi dengan Beta blocker karena aktivasi NaK-ATPase juga dimediasi oleh
katekolamin. Diet rendah karbohidrat dan garam, serta bed rest dan menghindari aktivitas
berlebihan.
Nama Lain
Paralisis periodik - hipokalemik
Familial paralisis periodik hipokalemik
Definisi
Paralisis periodik hipokalemik merupakan penyakit yang ditandai dengan gangguan
kelemahan otot sesaat yang diturunkan. Termasuk golongan penyakit genetik lainnya,
seperti: paralisis periodik hipokalemik dan paralisis periodik tirotoksik.
Kausa
Paralisis periodik ditandai gangguan kelemahan otot berulang dan bisa disertai paralisa
berat. Termasuk penyakit kongenital dan didapat dari sejak lahir. Melalui suatu proses
gangguan dibagian otosomal dominan yang diturunkan. Artinya penyakit didapat hanya
dari gen orangtua yang menderita diturunkan keanaknya. Sangat jarang terjadi kasus
paralisis periodik karena kerusakan genetik yang bukan herediter, misal: paralisa fungsi
tiroid pasien masih normal dan kadar kalium serum sangat rendah. Risiko tinggi bila ada
riwayat dalam keluarga lain yang pernah menderita gangguan paralisis periodik sejenis
sebelumnya. Dan risiko tinggi juga terjadi pada orang Asia dengan gangguan tiroid,
walaupun gejalanya ringan. Jarang ditemukan pada periode gejala awal. Dan ditemukan
pasien paralisis periodik bisa terjadi pada 1 orang dari 10.000 populasi.
Gejala Klinis
Gejala umum berupa kelemahan atau berkurangnya kekuatan otot yang hilang timbul,
dimana diantara serangan terdapat kekuatan otot yang normal. Penderita biasanya usia
lanjut, walaupun demikian pernah dilaporkan pasien dengan usia dibawah 10 tahun.
Serangan pada pasien usia muda biasanya disebabkan penyakit lain. Frekuensi serangan
sangat bervariasi. Beberapa pasien mengalami serangan hampir tiap hari dan pada pasien
lain bisa terjadi hanya setahun sekali. Dan lamanya serangan biasanya hanya beberapa
jam atau paling lama sehari.
Paralisa (kelemahan otot):
dibanding rasa kekakuannya. Otot daerah bahu dan pangkal paha lebih sering terkena
dibanding otot tangan dan kaki.
Hasil EKG atau pemeriksaan jantung dalam batas normal saat serangan
Hasil EMG atau pemeriksaan otot juga normal saat diperiksa diantara serangan
dan abnormal saat serangan.
Hasil biopsi otot akan menunjukkan kelainan abnormal
Terapi
Emergensi/keadaan darurat bila kelemahan otot terjadi pada otot pernafasan dan otot
menelan. Akan lebih berbahaya lagi bila disertai aritmia jantung. Tujuan terapi adalah
mengatasi gejala yang terjadi dan mencegah serangan ulang. Pemberian kalium saat
serangan bisa mengatasi gejala yang terjadi.
Fase awal diberi kalium secara oral, dan bila berat diperlukan kalium intravena. (Catatan:
pemberian Kalium intravena hati-hati, terutama pada pasien gangguan ginjal). Terapi
kalium tidak bisa sebagai prevensi. Hindari minum beralkohol dan diet tinggi karbohidrat
bisa membantu mencegah serangan.
Obat golongan Acetazolamide pada banyak kasus terbukti sebagai prevensi. Biasanya
dokter memberikan bersamaan dengan kalium suplemen, karena asetasolamid bisa
menyebabkan serum kalium turun. Golongan Triamterene atau Spironolactone bisa
dipakai untuk prevensi pada pasien yang tidak sensitif dengan acetazolamide.
Prognosis
Paralisis periodik hipokalemik berespon baik dengan obat. Terapi yang baik bisa
mencegah serangan dan mengembalikan progresifitas otot yang lemah. Meskipun
kekuatan otot berada dalam batas normal diantara serangan. Serangan ulang bisa
memperburuk gejala sisa secara permanen dan menyebabkan kelemahan otot diantara
serangan tsb. Beberapa pasien, perubahan kadar insulin akan menjadi gejala pencetus,
karena naiknya kadar insulin mendorong kalium masuk ke sel.
Kemungkinan Komplikasi:
Parul Patel, MD, Private Practice specializing in Nephrology and Kidney and
Pancreas Transplantation, Affiliated with California Pacific Medical Center,
Department of Transplantation, San Francisco, CA.
VeriMed Healthcare Network dan David Zieve, MD, MHA, Medical Director,
A.D.A.M., Inc.
http://www.otsuka.co.id/?content=article_detail&id=134&lang=id