Вы находитесь на странице: 1из 22

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE


(CKD)
Keperawatan Medikal Bedah 1

Disusun oleh:
Lia Sholeha

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2014

Chronic Kidney Disease (CKD)


A. Pengertian
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu keadaan terjadinya kerusakan ginjal
atau laju filtrasi glomerulus (LFG) < 60 mL/menit dalam waktu 3 bulan atau lebih
(Rachmadi, 2010).
CKD merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
(Brunner & Suddarth, 2001).
Penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara berangsur-angsur dan irreversible
akan berkembang terus menjadi gagal ginjal terminal. Adanya kerusakan ginjal tersebut
dapat dilihat dari kelainan yang terdapat dalam darah, urin, pencitraan, atau biopsi ginjal.
Perjalanan penyakit CKD tidak hanya terjadi gagal ginjal tetapi juga dapat terjadi
komplikasi lainnya karena menurunnya fungsi ginjal dan penyakit kardiovaskular.
Batasan yang tercantum dalam clinical practice guidelines on CKD menyebutkan
bahwa seorang anak dikatakan menderita CKD bila terdapat salah satu dari kriteria
dibawah ini:
1. Kerusakan ginjal 3 bulan, yang didefinisikan sebagai abnormalitas struktur atau
fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan glomerular filtration rate (GFR), yang
bermanifestasi sebagai satu atau lebih gejala:
a. Abnormalitas komposisi urin
b. Abnormalitas pemeriksaan pencitraan
c. Abnormalitas biopsi ginjal
2. GFR < 60 mL/menit/1,73 m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa gejala kerusakan
ginjal lain yang telah disebutkan.
Klasifikasi
Klasifikasi CKD menjadi beberapa stadium untuk tujuan pencegahan, identifikasi
awal kerusakan ginjal dan penatalaksanaan, serta untuk pencegahan komplikasi CKD.

Tabel 1 Klasifikasi stadium CKD


Stadium

GFR

Deskripsi
2

(mL/menit/1,73m )
1

>90

Kerusakan ginjal dengan GFR normal/meningkat

60-89

Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan

30-59

Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang

15-29

Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR berat

<15(atau dialisis)

Gagal ginjal

Sumber: Hogg, 2003


B. Anatomi dan Fisiologi
1. Anatomi
Berikut ini adalah struktur dan anatomi ginjal menurut Pearce dan Wilson (2006) :
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen terutama didaerah lumbal, disebelah
kanan dan kiri tulang belakang, dibungkus lapisan lemak yang tebal dibelakang
pritonium. Kedudukan gijal dapat diperkirakan dari belakang, mulai dari ketinggian
vertebra torakalis terakhir sampai vertebra lumbalis ketiga. Dan ginjal kanan sedikit
lebih rendah dari ginjal kiri karena tertekan oleh hati.
Gambar 2.1
Anatomi ginjal tampak dari depan.
Sumber : digiboxnet.wordpress.com

Setiap ginjal panjangnya antara 12 cm sampai 13 cm, lebarnya 6 cm dan tebalnya antara
1,5 sampai 2,5 cm, pada orang dewasa berat ginjal antara 140 sampai 150 gram. Bentuk
ginjal seperti kacang dan sisi dalamnya atau hilus menghadap ketulang belakang, serta

sisi luarnya berbentuk cembung. Pembuluh darah ginjal semuanya masuk dan keluar
melalui hilus. Diatas setiap ginjal menjulang kelenjar suprarenal.

Setiap ginjal dilingkupi kapsul tipis dan jaringan fibrus yang membungkusnya,
dan membentuk pembungkus yang halus serta didalamnya terdapat setruktur
setruktur ginjal. Setruktur ginjal warnanya ungu tua dan terdiri dari bagian kapiler
disebelah luar, dan medulla disebelah dalam. Bagian medulla tersusun atas 15
sampai 16 bagian yang berbentuk piramid, yang disebut sebagai piramid ginjal.
Puncaknya mengarah ke hilus dan berakhir di kalies, kalies akan menghubungkan
dengan pelvis ginjal.

Gambar 2.2
Potongan vertikal ginjal.
Sumber : adamimage.com

Setruktur mikroskopik ginjal tersusun atas banyak nefron yang merupakan satuan
fungsional ginjal, dan diperkirakan ada 1.000.000 nefron dalam setiap ginjal. Setiap
nefron mulai membentuk sebagai berkas kapiler (Badan Malpighi / Glomerulus)
yang erat tertanam dalam ujung atas yang lebar pada unineferus. Tubulus ada yang
berkelok dan ada yang lurus. Bagian pertama tubulus berkelok-kelok dan kelokan
pertama disebut tubulus proksimal, dan sesudah itu terdapat sebuah simpai yang disebut

simpai henle. Kemudian tubulus tersebut berkelok lagi yaitu kelokan kedua yang
disebut tubulus distal, yang bergabung dengan tubulus penampung yang berjalan
melintasi kortek dan medulla, dan berakhir dipuncak salah satu piramid ginjal.

Gambar 2.3.
Bagian microscopic ginjal
Sumber : adamimage.com

Selain tubulus urineferus, setruktur ginjal juga berisi pembuluh darah yaitu arteri
renalis yang membawa darah murni dari aorta abdominalis ke ginjal dan bercabangcabang di ginjal dan membentuk arteriola aferen (arteriola aferentes), serta masingmasing membentuk simpul didalam salah satu glomerulus. Pembuluh eferen
kemudian tampil sebagai arteriola eferen (arteriola eferentes), yang bercabangcabang membentuk jaring kapiler disekeliling tubulus uriniferus. Kapiler-kapiler ini
kemudian bergabung lagi untuk membentuk vena renalis, yang membawa darah
kevena kava inferior. Maka darah yang beredar dalam ginjal mempunyai dua
kelompok kapiler, yang bertujuan agar darah lebih lama disekeliling tubulus
urineferus, karena fungsi ginjal tergantung pada hal tersebut.
2. Fisologi
Dibawah ini akan disebutkan tentang fungsi ginjal dan proses pembentukan urin menurut

Syaeifudin (2006).
a. Fungsi ginjal
Ginjal adalah organ tubuh yang mempunyai peranan penting dalam sistem organ
tubuh. Kerusakan ginjal akan mempengaruhi kerja organ lain dan sistem lain dalam
tubuh. Ginjal punya dua peranan penting yaitu sebagai organ ekresi dan non ekresi.

Sebagai sistem ekresi ginjal bekerja sebagai filtran senyawa yang sudah tidak
dibutuhkan lagi oleh tubuh seperti urea, natrium dan lain-lain dalam bentuk urin,
maka ginjal juga berfungsi sebagai pembentuk urin. Selain sebagai sistem ekresi
ginjal juga sebagai sistem non ekresi dan bekerja sebagai penyeimbang asam basa,
cairan dan elektrolit tubuh serta fungsi hormonal. Ginjal mengekresi hormon renin
yang mempunyai peran dalam mengatur tekanan darah (sistem renin angiotensin
aldosteron), pengatur hormon eritropoesis sebagai hormon pengaktif sumsum tulang
untuk menghasilkan eritrosit. Disamping itu ginjal juga menyalurkan hormon
dihidroksi kolekalsi feron (vitamin D aktif), yang dibutuhkan dalam absorsi ion
kalsium dalam usus.
b.Proses pembentukan urin
Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk kedalam ginjal. Darah ini
terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah, kemudian
akan disaring dalam tiga tahap yaitu filtrasi, reabsorsi dan ekresi (Syaefudin,
2006):
1. Proses filtrasi
Pada proses ini terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena proses aferen
lebih besar dari permukaan eferen maka terjadi penyerapan darah. Sedangkan
sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang
disaring disimpan dalam simpay bowman yang terdiri dari glukosa, air, natrium,
klorida sulfat, bikarbonat dll, yang diteruskan ke tubulus ginjal.

2. Proses reabsorsi.
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa,
natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang
dikenal dengan proses obligator. Reabsorsi terjadi pada tubulus proksimal.
Sedangkan pada tubulus distal terjadi penyerapan kembali natrium dan ion
bikarbonat bila diperlukan. Penyerapannya terjadi secara aktif, dikenal dengan
reabsorsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila renalis.
3. Proses ekresi.
Sisa dari penyerapan urin kembali yang terjadi pada tubulus dan diteruskan
pada piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter dan masuk ke fesika urinaria.

C. Etiologi dan Faktor Resiko


Menurut Catherine (2005) Penyebab CKD pada anak usia < 5 tahun paling sering adalah
kelainan kongenital misalnya displasia atau hipoplasia ginjal dan uropati obstruktif.
Sedangkan pada usia > 5 tahun sering disebabkan oleh penyakit yang diturunkan
(penyakit ginjal polikistik) dan penyakit didapat (glomerulonefritis kronis) .
Tabel 2 Kondisi yang meningkatkan risiko terjadinya CKD
Riwayat keluarga dengan penyakit polikistik ginjal atau penyakit ginjal genetik
Bayi berat lahir rendah
Anak dengan riwayat gagal ginjal akut
Hipoplasia atau displasia ginjal
Penyakit urologi terutama uropati obstruktif
Refluks verikoureter yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih dan parut
ginjal
Riwayat menderita sindrom nefrotik atau sindrom nefritis akut
Riwayat menderita sindrom hemolitik uremik
Riwayat menderita Henoch Schoenlein Purpura
Diabetes melitus
Lupus Eritrematosus Sistemik
Riwayat menderita tekanan darah tinggi

D.

Manifestasi klinis
Manifestasi klinis CKD sangat bervariasi, tergantung pada penyakit yang mendasarinya.
Bila glomerulonefritis merupakan penyebab CKD, maka akan didapatkan edema,
hipertensi, hematuria, dan proteinuria. Anak dengan kelainan kongenital sistem traktus
urinarius, seperti renal dysplasia atau uropati obstruksi akan ditemukan gagal tumbuh,
gejala infeksi saluran kemih berulang, dan gejala nonspesifik lainnya.
Penderita CKD stadium 1-3 (GFR > 30 mL/min) biasanya asimtomatik dan gejala
klinis biasanya baru muncul pada CKD stadium 4 dan 5. Kerusakan ginjal yang progresif
dapat menyebabkan:
1.

Peningkatan tekanan darah akibat overload cairan dan produksi hormon vasoaktif
(hipertensi, edem paru dan gagal jantung kongestif)

2.

Gejala uremia (letargis, perikarditis hingga ensefalopati)

3.

Akumulasi kalium dengan gejala malaise hingga keadaan fatal yaitu aritmia

4.

Gejala anemia akibat sintesis eritropoietin yang menurun

5.

Hiperfosfatemia dan hipokalsemia (akibat defisiensi vitamin D3)

6.

Asidosis metabolik akibat penumpuan sulfat, fosfat, dan asam urat

E. Patofisologi

Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat dari
penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang normalnya diekresikan
kedalam urin tertimbun dalam darah sehingga terjadi uremia yang mempengarui sistem
tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka setiap gejala semakin
meningkat. Sehingga menyebabkan gangguan kliren renal. Banyak masalah pada ginjal
sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi, sehingga menyebabkan
penurunan klirens subtsansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan mendapatkan urin
24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya filtrasi glomelurus atau akibat
tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin. Sehingga kadar kreatinin serum akan
meningkat selain itu, kadar nitrogen urea darah (NUD) biasanya meningkat. Kreatinin
serum merupakan indikator paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini
diproduksi secara konstan oleh tubuh. NUD tidak hanya dipengarui oleh penyakit renal
tahap akhir, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme dan medikasi
seperti steroid.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga berpengaruh pada retensi cairan dan
natrium. Retensi cairan dan natrium tidak terkontol dikarenakan ginjal tidak mampu
untuk mengonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal
tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit
sehari-hari tidak terjadi. Natrium dan cairan sering tertahan dalam tubuh yang
meningkatkan resiko terjadinya odem, gagal jantung kongestif, dan hipertensi.
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin angiotensin dan kerjasama
keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan
untuk kehilangan garam, mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode
muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk
status uremik. Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mensekresikan
muatan asam (H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan

tubulus ginjal untuk mensekresi amonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat
(HCO3). Penurunan sekresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi. Kerusakan ginjal
pada CKD juga menyebabkan produksi eritropoetin menurun dan anemia terjadi disertai
sesak napas, angina dan keletian. Eritropoetin yang tidak adekuat dapat memendekkan
usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan
karena setatus pasien, terutama dari saluran gastrointestinal sehingga terjadi anemia berat
atau sedang. Eritropoitin sendiri adalah subtansi normal yang diproduksi oleh ginjal
untuk menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Abnormalitas
utama yang lain pada CKD menurut Smeltzer, dan Bare (2001) adalah gangguan
metabolisme kalsium dan fosfat tubuh yang memiliki hubungan saling timbal balik, jika
salah satunya meningkat yang lain menurun. Penurunan LFG menyebabkan peningkatan
kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar serum menyebabkan penurunan
sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun pada CKD, tubuh tidak berespon
secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon, dan akibatnya kalsium di
tulang menurun, menyebabkan perubahan pada tulang dan menyebabkan penyakit
tulang, selain itu metabolik aktif vitamin D (1,25 dihidrokolekalsiferol) yang secara
normal dibuat didalam ginjal menurun, seiring dengan berkembangnya CKD terjadi
penyakit tulang uremik dan sering disebut Osteodistrofienal. Osteodistrofienal terjadi
dari perubahan komplek kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon. Laju penurunan
fungsi ginjal juga berkaitan dengan gangguan yang mendasari ekresi protein dan urin,
dan adanya hipertensi. Pasien yang mengekresikan secara signifikan sejumlah protein
atau mengalami peningkatan tekanan darah cenderung akan cepat memburuk dari pada
mereka yang tidak mengalimi kondisi ini.

F.

Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami beberapa
komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra
(2006) antara lain adalah :
1. Hiper kalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan masukan
diit berlebih.
2. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.

4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.


5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar
alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

E. Penatalaksanaan
Penderita CKD perlu mendapatkan penatalaksanaan secara khusus sesuai dengan derajat
penyakit CKD, bukan hanya penatalaksanaan secara umum. Menurut Suwitra (2006),
sesuai dengan derajat penyakit CKD dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 2.1 Derajat CKD
Sumber : Suwitra 2006

Derajat

LFG

Perencanaan penatalaksanaan terapi

(ml/mnt/1,873 m2)
Dilakukan terapi pada penyakit dasarnya, kondisi
komorbid, evaluasi pemburukan (progresion) fungsi
ginjal, memperkecil resiko kardiovaskuler.

>90

60-89

Menghambat
ginjal.

0-59

Mengevaluasi
komplikasi.

15-29

<15

pemburukan

dan

(progresion)

melakukan

fungsi

terapi

pada

Persiapan untuk pengganti ginjal (dialisis).

Dialysis dan mempersiapkan terapi penggantian


ginjal (transplantasi ginjal

Menurut Suwitra (2006) penatalaksanaan untuk CKD secara umum antara lain adalah
sebagai berikut :

1. Waktu yang tepat dalam penatalaksanaan penyakit dasar CKD adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga peningkatan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada
ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasono grafi, biopsi serta pemeriksaan
histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Sebaliknya bila LFG sudah menurun sampai 2030 % dari normal terapi dari penyakit
dasar sudah tidak bermanfaat.
2. Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien
penyakit CKD, hal tersebut untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat
memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi
traktus urinarius, obat obat nefrotoksik, bahan radio kontras, atau peningkatan aktifitas
penyakit dasarnya. Pembatasan cairan dan elektrolit pada penyakit CKD sangat
diperlukan. Hal tersebut diperlukan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi
kardiovaskuler. Asupan cairan diatur seimbang antara masukan dan pengeluaran urin
serta Insesible Water Loss (IWL). Dengan asumsi antara 500-800 ml/hari yang sesuai
dengan luas tubuh. Elektrolit yang harus diawasi dalam asupannya adalah natrium dan
kalium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemi dapat mengakibatkan
aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu pembatasan obat dan makanan yang
mengandung kalium (sayuran dan buah) harus dibatasi dalam jumlah 3,5-5,5 mEg/lt.
sedangkan pada natrium dibatasi untuk menghindari terjadinya hipertensi dan edema.
Jumlah garam disetarakan dengan tekanan darah dan adanya edema.
3. Menghambat perburukan fungsi ginjal. Penyebab turunnya fungsi ginjal adalah
hiperventilasi glomerulus yaitu :
a) Batasan asupan protein, mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt, sedangkan diatas
batasan tersebut tidak dianjurkan pembatasan protein. Protein yang dibatasi antara
0,6-0,8/kg BB/hr, yang 0,35-0,50 gr diantaranya protein nilai biologis tinggi.
Kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/ kg BB/hr dalam pemberian diit. Protein
perlu dilakukan pembatasan dengan ketat, karena protein akan dipecah dan
diencerkan melalui ginjal, tidak seperti karbohidrat. Namun saat terjadi malnutrisi
masukan protein dapat ditingkatkan sedikit, selain itu makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, fosfor, sulfur, dan ion anorganik lain yang diekresikan
melalui ginjal. Selain itu pembatasan protein bertujuan untuk membatasi asupan
fosfat karena fosfat dan protein berasal dari sumber yang sama, agar tidak terjadi
hiperfosfatemia

b) Terapi farmakologi untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat


anti hipertensi disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko komplikasi pada
kardiovaskuler juga penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron
dengan cara mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus.
Selain itu pemakaian obat hipertensi seperti penghambat enzim konverting
angiotensin

(Angiotensin

Converting

Enzim

ACE

inhibitor)

dapat

memperlambat perburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi akibat mekanisme


kerjanya sebagai anti hipertensi dan anti proteinuri.
4. Pencegahan dan terapi penyakit kardio faskuler merupakan hal yang penting, karena
40-45 % kematian pada penderita CKD disebabkan oleh penyakit komplikasinya pada
kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk pencegahan dan terapi penyakit vaskuler
adalah pengendalian hipertensi, DM, dislipidemia, anemia, hiperfosvatemia, dan terapi
pada kelebian cairan dan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi
terhadap komplikasi CKD secara keseluruhan.
5. CKD mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat
penurunan LFG. Seperti anemia dilakukan penambahan / tranfusi eritropoitin.
Pemberian kalsitrol untuk mengatasi osteodistrasi renal. Namun dalam pemakaiannya
harus dipertimbangkan karena dapat meningkatkan absorsi fosfat.
6. Terapi dialisis dan transplantasi dapat dilakukan pada tahap CKD derajat 4-5. Terapi
ini biasanya disebut dengan terapi pengganti ginjal.

F. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan analisis urin awal dengan menggunakan tes dipstick dapat mendeteksi
dengan cepat adanya proteinuri, hematuri, dan piuri. Pemeriksaan mikroskopis urin
dengan spesimen urin yang telah disentrufugasi untuk mencari adanya sel darah merah,
sel darah putih, dan kast. Sebagian besar anak dengan CKD memiliki banyak hyalin cast.
Granular cast yang berwarna keruh kecoklatan menunjukkan nekrosis tubular akut,
sedangkan red cell cast menunjukkn adanya suatu glomerulonefritis.4 Untuk diagnostik
dan pengamatan anak dengan CKD diperlukan pemeriksaan kimiawi serum, seperti
pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin serum merupakan tes yang paling penting,
sedangkan pemeriksaan kadar natrium, kalium, kalsium, fosfat, bikarbonat, alkalin
fosfatase, hormon paratiroid (PTH), kolesterol, fraksi lipid penting untuk terapi dan
pencegahan komplikasi CKD. Anemia merupakan temuan klinis penting pada CKD dan

dapat menunjukkan perjalanan kronis gagal ginjal sehingga pemeriksaan darah lengkap
atau complete blood count harus dilakukan.4 Laju filtrasi glmerulus setara dengan
penjumlahan laju filtrasi di semua nefron yang masih berfungsi sehingga perkiraan GFR
dapat memberikan pengukuran kasar jumlah nefron yang masih berfungsi. Pemeriksaan
GFR biasanya dengan menggunakan creatinine clearance, akan tetapi untuk pemeriksaan
ini kurang praktis karena membutuhkan pengumpulan urin 24 jam. Untuk kepentingan
praktis perhitungan GFR digunakan rumus berdasarkan formula Schwartz atau Counahan
Barrat, yaitu seperti yang terdapat pada Tabel dibawah ini:
Tabel 3 Perkiraan GFR pada anak menggunakan kreatinin serum dan tinggi badan
Persamaan

Pengarang, Tahun
(Jumlah subjek)
Schwartz et al

Ccr (mL/min/1.73 m2) = 0.55 x tinggi badan (cm)

(N=186)

______________________
Cr serum (mg/dL)

Counahan et al

GFR (mL/min/1.73 m2) = 0.43 x tinggi badan (cm)

(N=108)

______________________
Cr serum (mg/dL)

Sumber: Hogg, 2003


Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan dapat membantu menegakkan diagnosis CKD dan memberikan
petujuk kearah penyebab CKD.4-5
Foto polos: untuk melihat batu yang bersifat radioopak atau nefrokalsinosis.
Ultrasonografi: merupakan pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan karena
aman, mudah, dan cukup memberikan informasi. USG merupakan modalitas terpilih
untuk kemungkinan penyakit ginjal obstruktif. Meskipun USG kurang sensitif
dibandingkan CT untuk mendeteksi massa, tetapi USG dapat digunakan untuk
membedakan kista jinak dengan tumor solid, juga sering digunakan untuk
menentukan jenis penyakit ginjal polikistik.
CT Scan: Dapat menentukan massa ginjal atau kista yang tidak terdeteksi pada
pemeriksaan USG dan merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk mengidentifikasi

batu ginjal. CT Scan dengan kontras harus dihindari padapasien dengan gangguan
ginjal untuk menghindari terjadinya gagal ginjalakut.
MRI: Sangat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan pemeriksaan CT tetapi tidak
dapat menggunakan kontras. MRI dapat dipercaya untuk mendeteksi adanya
trombosis vena renalis. Magnetic resonance angiography juga bermanfaat untuk
mendiagnosis stenosis arteri renalis, meskipun arteriografi renal tetap merupakan
diagnosis standar.
Radionukleotida: Deteksi awal parut ginjal dapat dilakukan dengan menggunakan
radioisotope

scanning

99m-technetium

dimercaptosuccinic

acid

(DMSA).

Pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan intravenous pyelography (IVP) untuk


mendeteksi parut ginjal dan merupakan diagnosis standar untuk mendeteksi nefropati
refluks.
Voiding cystourethrography: Dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan
radionukleotida untuk mendeteksi refluks vesikoureter.
Retrogade atau anterogade pyelography: Dapat digunakan lebih baik untuk
mendiagnosis dan menghilangkan obstruksi traktus urinarius. Pemeriksaan ini
diindikasikan apabila dari anamnesis didapatkan kecurigaan gagal ginjal meskipun
USG dan CT scan tidak menunjukkan adanya hidronefrosis.
Pemeriksaan tulang: Hal ini bermanfaat untuk mengevaluasi hiperpartiroid sekunder
yang merupakan bagian dari osteodistrofi, dan juga perkiraan usia tulang untuk
memberikan terapi hormon pertumbuhan.

G. Pencegahan
3 aspek penting dalam upaya mencegah terjadinya CKD yaitu pencegahan:
1. Primer, bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi pemaparan terhadap
faktor-faktor yang dapat menyebabkan penyakit ginjal. Misalnya strategi untuk
mengurangi pemaparan antenatal terhadap infeksi, pencegahan penyakit ginjal
yang diturunkan dengan cara konseling genetik, pencegahan obesitas, deteksi awal
dan penanganan hipertensi dan kencing manis.
2. Sekunder, dimana pencegahan terjadinya progresifitas kerusakan ginjal dari CKD
stadium 1-5 dengan melakukan penanganan yang tepat pada setiap stadium CKD.
3. Tersier, berfokus pada penundaan komplikasi jangka panjang, disabilitas atau
kecacatan akibat CKD dengan cara renal replacemet therapy misalnya

dialisis atau transplantasi ginjal.

H. Prognosis
Penyebab kematian utama pada CKD adalah penyakit kardiovaskular. Dengan adanya
renal replacement therapy dapat meningkatkan angka harapan hidup pada CKD stadium
5. Transplantasi ginjal dapat menimbulkan komplikasi akibat pembedahan. CAPD
meningkatkan angka harapan hidup dan quality of life dibandingkan hemodialisis dan
dialisis peritoneal (Nahas, 2003).

I.

Asuhan Keperawatan Pasien dengan CKD


A. Pengkajian
Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu pada Doenges
(2001), serta Carpenito (2006) sebagai berikut :
1. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang
mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal seperti
proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD dapat terjadi pada
siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu
kejadian CKD. Karena kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama dan
lingkungan yang tidak menyediakan cukup air minum / mengandung banyak senyawa
/ zat logam dan pola makan yang tidak sehat.
2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM, glomerulo nefritis,
hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan traktus urinarius
bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.
3. Pengkajian pola fungsional Gordon
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien
Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini sedang sakit parah.
Pasien juga mengungkapkan telah menghindari larangan dari dokter. Tandanya
adalah pasien terlihat lesu dan khawatir, pasien terlihat bingung kenapa
kondisinya seprti ini meski segala hal yang telah dilarang telah dihindari.
b. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun
waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air
naik atau turun.

c. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya
adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan
tekanan darah atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
d. Aktifitas dan latihan.
Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien tidak
dapat menolong diri sendiri. Tandanya adalah aktifitas dibantu.
e. Pola istirahat dan tidur.
Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung mata.
Tandanya adalah pasien terliat sering menguap.
f. Pola persepsi dan koknitif.
Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah penurunan
kesadaran seperti ngomong nglantur dan tidak dapat berkomunikasi dengan jelas.
g. Pola hubungan dengan orang lain
Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri sampai
terjadinya HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya lebih menyendiri, tertutup,
komunikasi tidak jelas.
h. Pola reproduksi
Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan kepuasan
dalam hubungan. Tandanya terjadi penurunan libido, keletihan saat berhubungan,
penurunan kualitas hubungan.
i. Pola persepsi diri.
Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi edema, citra
diri jauh dari keinginan, terjadinya perubahan fisik, perubahan peran, dan percaya
diri.
j. Pola mekanisme koping.
Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil keputusan dengan
tepat, mudah terpancing emosi.
k. Pola kepercayaan.
Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien

mengatakan merasa bersalah

meninggalkan perintah agama. Tandanya pasien tidak dapat melakukan kegiatan


agama seperti biasanya.

4. Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien dari
compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan
reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau
terjadi peningkatan berat badan karena kelebian cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga,
hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan
pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot bantu
napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada paru
(rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada
jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang, dan
Capillary Refil lebih dari 1 detik.
j.

Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat / uremia,
dan terjadi perikarditis.

5. Pemeriksaan penunjang.
a. Pemeriksaan Laboratorium :
1. Urin

a) Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria), atau urine tidak ada
(anuria).
b) Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus /
nanah, bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat, sedimen kotor, warna
kecoklatan menunjukkan adanya darah, miglobin, dan porfirin.
c) Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat).
d) Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular,
amrasio urine / ureum sering 1:1.
e) Kliren kreatinin mungkin agak menurun.
f) Natrium : Lebih besar dari 40 Emq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium.
g) Protein : Derajat tinggi proteinuria ( 3-4+ ), secara kuat menunjukkan
kerusakan glomerulus bila sel darah merah (SDM) dan fregmen juga ada.
2. Darah
a) Kreatinin : Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL
diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
b) Hitung darah lengkap : Hematokrit menurun pada adanya anemia. Hb
biasanya kurang dari 7-8 g/dL.
c) SDM (Sel Darah Merah) : Waktu hidup menurun pada defisiensi
eritropoetin seperti pada azotemia.
d) GDA (Gas Darah Analisa) : pH, penurunan asidosis metabolik (kurang
dari 7,2) terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal

untuk

mengeksekresi hidrogen dan amonia atau hasil akhir katabolisme protein.


Bikarbonat menurun PCO2 menurun.
e) Natrium serum : Mungkin rendah, bila ginjal kehabisan natrium atau
normal (menunjukkan status dilusi hipernatremia).
f) Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan
perpindahan selular (asidosis), atau pengeluaran jaringan (hemolisis
SDM). Pada tahap akhir , perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai
kalium 6,5 mEq atau lebih besar. Magnesium terjadi peningkatan fosfat,
kalsium menurun. Protein (khuusnya albumin), kadar serum menurun
dapat menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan,
penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam amino

esensial. Osmolalitas serum lebih besar dari 285 mosm/kg, sering sama
dengan urine.
b. Pemeriksaan Radiologi
1. Ultrasono grafi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya
masa , kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
2. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histologis.
3. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam
basa.
5.

KUB foto digunakan untuk menunjukkan ukuran ginjal / ureter / kandung


kemih dan adanya obtruksi (batu).

6. Arteriogram ginjal adalah mengkaji sirkulasi ginjal dan megidentifikasi


ekstravaskuler, massa.
7. Pielogram retrograd untuk menunjukkan abormalitas pelvis ginjal.
8. Sistouretrogram adalah berkemih untuk menunjukkan ukuran kandung kemih,
refluk kedalam ureter, dan retensi.
9. Pada pasien CKD pasien mendapat batasan diit yang sangat ketat dengan diit
tinggi kalori dan rendah karbohidrat. Serta dilakukan pembatasan yang sangat
ketat pula pada asupan cairan yaitu antara 500-800 ml/hari.
10. Pada terapi medis untuk tingkat awal dapat diberikan terapi obat anti
hipertensi, obat diuretik, dan atrapit yang berguna sebagai pengontol pada
penyakit DM, sampai selanjutnya nanti akan dilakukan dialisis dan
transplantasi.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan retensi
cairan dan natrium
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk sampah
dan prosedur dialisis.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor
biologis

Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi

Rencana keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil


Pola Nafas tidak efektif
berhubungan dengan
Hiperventilasi
DS:
- Dyspnea
- Nafas pendek
DO:
- Penurunan tekanan
inspirasi/ekspirasi
- Penurunan pertukaran
udara per menit
- Menggunakan otot
pernafasan tambahan
- Orthopnea
- Pernafasan pursed-lip
- Tahap ekspirasi
berlangsung sangat lama
- Penurunan kapasitas vital
- Respirasi: < 11 24 x
/mnt

NOC:
- Respiratory status : Ventilation
- Respiratory status : Airway
patency
- Vital sign Status
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama ..pasien
menunjukkan keefektifan pola nafas,
dibuktikan dengan kriteria hasil:
Mendemonstrasikan batuk efektif
dan suara nafas yang bersih, tidak
ada sianosis dan dyspneu (mampu
mengeluarkan sputum, mampu
bernafas dg mudah, tidakada pursed
lips)
Menunjukkan jalan nafas yang
paten (klien tidak merasa tercekik,
irama nafas, frekuensi pernafasan
dalam rentang normal, tidak ada
suara nafas abnormal)
Tanda Tanda vital dalam rentang
normal (tekanan darah, nadi,
pernafasan)

Intervensi
NIC:
Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Pasang mayo bila perlu
Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
Berikan bronkodilator :
-..
.
Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
Monitor respirasi dan status O2
Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
Pertahankan jalan nafas yang paten
Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi
Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
Monitor vital sign
Informasikan pada pasien dan keluarga tentang tehnik relaksasi untuk
memperbaiki pola nafas.
Ajarkan bagaimana batuk efektif
Monitor pola nafas

Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Berhubungan dengan :
Ketidakmampuan untuk
memasukkan atau mencerna
nutrisi oleh karena faktor
biologis, psikologis atau
ekonomi.
DS:
- Nyeri abdomen
- Muntah
- Kejang perut
- Rasa penuh tiba-tiba
setelah makan
DO:
- Diare
- Rontok rambut yang
berlebih
- Kurang nafsu makan
- Bising usus berlebih
- Konjungtiva pucat
- Denyut nadi lemah

Rencana keperawatan

Tujuan dan Kriteria


Hasil

Intervensi

NOC:
a. Nutritional status:
Adequacy of nutrient
b. Nutritional Status :
food and Fluid Intake
c. Weight Control
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama.nutrisi kurang
teratasi dengan indikator:
Albumin serum
Pre albumin serum
Hematokrit
Hemoglobin
Total iron binding
capacity
Jumlah limfosit

Kaji adanya alergi makanan


Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien
Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi
Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
Monitor adanya penurunan BB dan gula darah
Monitor lingkungan selama makan
Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan
Monitor turgor kulit
Monitor kekeringan, rambut kusam, total protein, Hb dan kadar Ht
Monitor mual dan muntah
Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva
Monitor intake nuntrisi
Informasikan pada klien dan keluarga tentang manfaat nutrisi
Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan suplemen makanan seperti NGT/ TPN
sehingga intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan.
Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi selama makan
Kelola pemberan anti emetik:.....
Anjurkan banyak minum
Pertahankan terapi IV line
Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oval

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8, volume 2.
Jakarta: EGC
Catherine S, Snively M. Chronic kidney disease: Prevention and treatment ofcommon
complications. American Academy of Family Physicians. 2005;1-5
Johnson, M. (2012). Iowa Outcomes Project Nursing Classification (NOC). St. Louis,
Missouri: Mosby
NANDA International. (2012). Nursing Diagnosis: Definitions & Classifications 2012-2014.
Jakarta: EGC
Nahas ME. The patient with failing renal failure. Dalam: Cameron JS, DavisonAM. Oxford
Textbook of Clinical Nephrology. Edisi ke-3. Oxford University Press.2003; hal
1648-98.
Rachmadi, Dedi. (2010). Chronic Kidney Disease. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
UNPAD-RS Dr. Hasan Sadikin Bandung
Wilkinson, Judith.M, 2006, Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil Noc. Jakarta: EGC

Вам также может понравиться