Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Disusun oleh:
Lia Sholeha
GFR
Deskripsi
2
(mL/menit/1,73m )
1
>90
60-89
30-59
15-29
<15(atau dialisis)
Gagal ginjal
Setiap ginjal panjangnya antara 12 cm sampai 13 cm, lebarnya 6 cm dan tebalnya antara
1,5 sampai 2,5 cm, pada orang dewasa berat ginjal antara 140 sampai 150 gram. Bentuk
ginjal seperti kacang dan sisi dalamnya atau hilus menghadap ketulang belakang, serta
sisi luarnya berbentuk cembung. Pembuluh darah ginjal semuanya masuk dan keluar
melalui hilus. Diatas setiap ginjal menjulang kelenjar suprarenal.
Setiap ginjal dilingkupi kapsul tipis dan jaringan fibrus yang membungkusnya,
dan membentuk pembungkus yang halus serta didalamnya terdapat setruktur
setruktur ginjal. Setruktur ginjal warnanya ungu tua dan terdiri dari bagian kapiler
disebelah luar, dan medulla disebelah dalam. Bagian medulla tersusun atas 15
sampai 16 bagian yang berbentuk piramid, yang disebut sebagai piramid ginjal.
Puncaknya mengarah ke hilus dan berakhir di kalies, kalies akan menghubungkan
dengan pelvis ginjal.
Gambar 2.2
Potongan vertikal ginjal.
Sumber : adamimage.com
Setruktur mikroskopik ginjal tersusun atas banyak nefron yang merupakan satuan
fungsional ginjal, dan diperkirakan ada 1.000.000 nefron dalam setiap ginjal. Setiap
nefron mulai membentuk sebagai berkas kapiler (Badan Malpighi / Glomerulus)
yang erat tertanam dalam ujung atas yang lebar pada unineferus. Tubulus ada yang
berkelok dan ada yang lurus. Bagian pertama tubulus berkelok-kelok dan kelokan
pertama disebut tubulus proksimal, dan sesudah itu terdapat sebuah simpai yang disebut
simpai henle. Kemudian tubulus tersebut berkelok lagi yaitu kelokan kedua yang
disebut tubulus distal, yang bergabung dengan tubulus penampung yang berjalan
melintasi kortek dan medulla, dan berakhir dipuncak salah satu piramid ginjal.
Gambar 2.3.
Bagian microscopic ginjal
Sumber : adamimage.com
Selain tubulus urineferus, setruktur ginjal juga berisi pembuluh darah yaitu arteri
renalis yang membawa darah murni dari aorta abdominalis ke ginjal dan bercabangcabang di ginjal dan membentuk arteriola aferen (arteriola aferentes), serta masingmasing membentuk simpul didalam salah satu glomerulus. Pembuluh eferen
kemudian tampil sebagai arteriola eferen (arteriola eferentes), yang bercabangcabang membentuk jaring kapiler disekeliling tubulus uriniferus. Kapiler-kapiler ini
kemudian bergabung lagi untuk membentuk vena renalis, yang membawa darah
kevena kava inferior. Maka darah yang beredar dalam ginjal mempunyai dua
kelompok kapiler, yang bertujuan agar darah lebih lama disekeliling tubulus
urineferus, karena fungsi ginjal tergantung pada hal tersebut.
2. Fisologi
Dibawah ini akan disebutkan tentang fungsi ginjal dan proses pembentukan urin menurut
Syaeifudin (2006).
a. Fungsi ginjal
Ginjal adalah organ tubuh yang mempunyai peranan penting dalam sistem organ
tubuh. Kerusakan ginjal akan mempengaruhi kerja organ lain dan sistem lain dalam
tubuh. Ginjal punya dua peranan penting yaitu sebagai organ ekresi dan non ekresi.
Sebagai sistem ekresi ginjal bekerja sebagai filtran senyawa yang sudah tidak
dibutuhkan lagi oleh tubuh seperti urea, natrium dan lain-lain dalam bentuk urin,
maka ginjal juga berfungsi sebagai pembentuk urin. Selain sebagai sistem ekresi
ginjal juga sebagai sistem non ekresi dan bekerja sebagai penyeimbang asam basa,
cairan dan elektrolit tubuh serta fungsi hormonal. Ginjal mengekresi hormon renin
yang mempunyai peran dalam mengatur tekanan darah (sistem renin angiotensin
aldosteron), pengatur hormon eritropoesis sebagai hormon pengaktif sumsum tulang
untuk menghasilkan eritrosit. Disamping itu ginjal juga menyalurkan hormon
dihidroksi kolekalsi feron (vitamin D aktif), yang dibutuhkan dalam absorsi ion
kalsium dalam usus.
b.Proses pembentukan urin
Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk kedalam ginjal. Darah ini
terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah, kemudian
akan disaring dalam tiga tahap yaitu filtrasi, reabsorsi dan ekresi (Syaefudin,
2006):
1. Proses filtrasi
Pada proses ini terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena proses aferen
lebih besar dari permukaan eferen maka terjadi penyerapan darah. Sedangkan
sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang
disaring disimpan dalam simpay bowman yang terdiri dari glukosa, air, natrium,
klorida sulfat, bikarbonat dll, yang diteruskan ke tubulus ginjal.
2. Proses reabsorsi.
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa,
natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang
dikenal dengan proses obligator. Reabsorsi terjadi pada tubulus proksimal.
Sedangkan pada tubulus distal terjadi penyerapan kembali natrium dan ion
bikarbonat bila diperlukan. Penyerapannya terjadi secara aktif, dikenal dengan
reabsorsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila renalis.
3. Proses ekresi.
Sisa dari penyerapan urin kembali yang terjadi pada tubulus dan diteruskan
pada piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter dan masuk ke fesika urinaria.
D.
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis CKD sangat bervariasi, tergantung pada penyakit yang mendasarinya.
Bila glomerulonefritis merupakan penyebab CKD, maka akan didapatkan edema,
hipertensi, hematuria, dan proteinuria. Anak dengan kelainan kongenital sistem traktus
urinarius, seperti renal dysplasia atau uropati obstruksi akan ditemukan gagal tumbuh,
gejala infeksi saluran kemih berulang, dan gejala nonspesifik lainnya.
Penderita CKD stadium 1-3 (GFR > 30 mL/min) biasanya asimtomatik dan gejala
klinis biasanya baru muncul pada CKD stadium 4 dan 5. Kerusakan ginjal yang progresif
dapat menyebabkan:
1.
Peningkatan tekanan darah akibat overload cairan dan produksi hormon vasoaktif
(hipertensi, edem paru dan gagal jantung kongestif)
2.
3.
Akumulasi kalium dengan gejala malaise hingga keadaan fatal yaitu aritmia
4.
5.
6.
E. Patofisologi
Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat dari
penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang normalnya diekresikan
kedalam urin tertimbun dalam darah sehingga terjadi uremia yang mempengarui sistem
tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka setiap gejala semakin
meningkat. Sehingga menyebabkan gangguan kliren renal. Banyak masalah pada ginjal
sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi, sehingga menyebabkan
penurunan klirens subtsansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan mendapatkan urin
24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya filtrasi glomelurus atau akibat
tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin. Sehingga kadar kreatinin serum akan
meningkat selain itu, kadar nitrogen urea darah (NUD) biasanya meningkat. Kreatinin
serum merupakan indikator paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini
diproduksi secara konstan oleh tubuh. NUD tidak hanya dipengarui oleh penyakit renal
tahap akhir, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme dan medikasi
seperti steroid.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga berpengaruh pada retensi cairan dan
natrium. Retensi cairan dan natrium tidak terkontol dikarenakan ginjal tidak mampu
untuk mengonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal
tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit
sehari-hari tidak terjadi. Natrium dan cairan sering tertahan dalam tubuh yang
meningkatkan resiko terjadinya odem, gagal jantung kongestif, dan hipertensi.
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin angiotensin dan kerjasama
keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan
untuk kehilangan garam, mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode
muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk
status uremik. Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mensekresikan
muatan asam (H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan
tubulus ginjal untuk mensekresi amonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat
(HCO3). Penurunan sekresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi. Kerusakan ginjal
pada CKD juga menyebabkan produksi eritropoetin menurun dan anemia terjadi disertai
sesak napas, angina dan keletian. Eritropoetin yang tidak adekuat dapat memendekkan
usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan
karena setatus pasien, terutama dari saluran gastrointestinal sehingga terjadi anemia berat
atau sedang. Eritropoitin sendiri adalah subtansi normal yang diproduksi oleh ginjal
untuk menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Abnormalitas
utama yang lain pada CKD menurut Smeltzer, dan Bare (2001) adalah gangguan
metabolisme kalsium dan fosfat tubuh yang memiliki hubungan saling timbal balik, jika
salah satunya meningkat yang lain menurun. Penurunan LFG menyebabkan peningkatan
kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar serum menyebabkan penurunan
sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun pada CKD, tubuh tidak berespon
secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon, dan akibatnya kalsium di
tulang menurun, menyebabkan perubahan pada tulang dan menyebabkan penyakit
tulang, selain itu metabolik aktif vitamin D (1,25 dihidrokolekalsiferol) yang secara
normal dibuat didalam ginjal menurun, seiring dengan berkembangnya CKD terjadi
penyakit tulang uremik dan sering disebut Osteodistrofienal. Osteodistrofienal terjadi
dari perubahan komplek kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon. Laju penurunan
fungsi ginjal juga berkaitan dengan gangguan yang mendasari ekresi protein dan urin,
dan adanya hipertensi. Pasien yang mengekresikan secara signifikan sejumlah protein
atau mengalami peningkatan tekanan darah cenderung akan cepat memburuk dari pada
mereka yang tidak mengalimi kondisi ini.
F.
Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami beberapa
komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra
(2006) antara lain adalah :
1. Hiper kalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan masukan
diit berlebih.
2. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
E. Penatalaksanaan
Penderita CKD perlu mendapatkan penatalaksanaan secara khusus sesuai dengan derajat
penyakit CKD, bukan hanya penatalaksanaan secara umum. Menurut Suwitra (2006),
sesuai dengan derajat penyakit CKD dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 2.1 Derajat CKD
Sumber : Suwitra 2006
Derajat
LFG
(ml/mnt/1,873 m2)
Dilakukan terapi pada penyakit dasarnya, kondisi
komorbid, evaluasi pemburukan (progresion) fungsi
ginjal, memperkecil resiko kardiovaskuler.
>90
60-89
Menghambat
ginjal.
0-59
Mengevaluasi
komplikasi.
15-29
<15
pemburukan
dan
(progresion)
melakukan
fungsi
terapi
pada
Menurut Suwitra (2006) penatalaksanaan untuk CKD secara umum antara lain adalah
sebagai berikut :
1. Waktu yang tepat dalam penatalaksanaan penyakit dasar CKD adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga peningkatan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada
ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasono grafi, biopsi serta pemeriksaan
histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Sebaliknya bila LFG sudah menurun sampai 2030 % dari normal terapi dari penyakit
dasar sudah tidak bermanfaat.
2. Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien
penyakit CKD, hal tersebut untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat
memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi
traktus urinarius, obat obat nefrotoksik, bahan radio kontras, atau peningkatan aktifitas
penyakit dasarnya. Pembatasan cairan dan elektrolit pada penyakit CKD sangat
diperlukan. Hal tersebut diperlukan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi
kardiovaskuler. Asupan cairan diatur seimbang antara masukan dan pengeluaran urin
serta Insesible Water Loss (IWL). Dengan asumsi antara 500-800 ml/hari yang sesuai
dengan luas tubuh. Elektrolit yang harus diawasi dalam asupannya adalah natrium dan
kalium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemi dapat mengakibatkan
aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu pembatasan obat dan makanan yang
mengandung kalium (sayuran dan buah) harus dibatasi dalam jumlah 3,5-5,5 mEg/lt.
sedangkan pada natrium dibatasi untuk menghindari terjadinya hipertensi dan edema.
Jumlah garam disetarakan dengan tekanan darah dan adanya edema.
3. Menghambat perburukan fungsi ginjal. Penyebab turunnya fungsi ginjal adalah
hiperventilasi glomerulus yaitu :
a) Batasan asupan protein, mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt, sedangkan diatas
batasan tersebut tidak dianjurkan pembatasan protein. Protein yang dibatasi antara
0,6-0,8/kg BB/hr, yang 0,35-0,50 gr diantaranya protein nilai biologis tinggi.
Kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/ kg BB/hr dalam pemberian diit. Protein
perlu dilakukan pembatasan dengan ketat, karena protein akan dipecah dan
diencerkan melalui ginjal, tidak seperti karbohidrat. Namun saat terjadi malnutrisi
masukan protein dapat ditingkatkan sedikit, selain itu makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, fosfor, sulfur, dan ion anorganik lain yang diekresikan
melalui ginjal. Selain itu pembatasan protein bertujuan untuk membatasi asupan
fosfat karena fosfat dan protein berasal dari sumber yang sama, agar tidak terjadi
hiperfosfatemia
(Angiotensin
Converting
Enzim
ACE
inhibitor)
dapat
F. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan analisis urin awal dengan menggunakan tes dipstick dapat mendeteksi
dengan cepat adanya proteinuri, hematuri, dan piuri. Pemeriksaan mikroskopis urin
dengan spesimen urin yang telah disentrufugasi untuk mencari adanya sel darah merah,
sel darah putih, dan kast. Sebagian besar anak dengan CKD memiliki banyak hyalin cast.
Granular cast yang berwarna keruh kecoklatan menunjukkan nekrosis tubular akut,
sedangkan red cell cast menunjukkn adanya suatu glomerulonefritis.4 Untuk diagnostik
dan pengamatan anak dengan CKD diperlukan pemeriksaan kimiawi serum, seperti
pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin serum merupakan tes yang paling penting,
sedangkan pemeriksaan kadar natrium, kalium, kalsium, fosfat, bikarbonat, alkalin
fosfatase, hormon paratiroid (PTH), kolesterol, fraksi lipid penting untuk terapi dan
pencegahan komplikasi CKD. Anemia merupakan temuan klinis penting pada CKD dan
dapat menunjukkan perjalanan kronis gagal ginjal sehingga pemeriksaan darah lengkap
atau complete blood count harus dilakukan.4 Laju filtrasi glmerulus setara dengan
penjumlahan laju filtrasi di semua nefron yang masih berfungsi sehingga perkiraan GFR
dapat memberikan pengukuran kasar jumlah nefron yang masih berfungsi. Pemeriksaan
GFR biasanya dengan menggunakan creatinine clearance, akan tetapi untuk pemeriksaan
ini kurang praktis karena membutuhkan pengumpulan urin 24 jam. Untuk kepentingan
praktis perhitungan GFR digunakan rumus berdasarkan formula Schwartz atau Counahan
Barrat, yaitu seperti yang terdapat pada Tabel dibawah ini:
Tabel 3 Perkiraan GFR pada anak menggunakan kreatinin serum dan tinggi badan
Persamaan
Pengarang, Tahun
(Jumlah subjek)
Schwartz et al
(N=186)
______________________
Cr serum (mg/dL)
Counahan et al
(N=108)
______________________
Cr serum (mg/dL)
batu ginjal. CT Scan dengan kontras harus dihindari padapasien dengan gangguan
ginjal untuk menghindari terjadinya gagal ginjalakut.
MRI: Sangat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan pemeriksaan CT tetapi tidak
dapat menggunakan kontras. MRI dapat dipercaya untuk mendeteksi adanya
trombosis vena renalis. Magnetic resonance angiography juga bermanfaat untuk
mendiagnosis stenosis arteri renalis, meskipun arteriografi renal tetap merupakan
diagnosis standar.
Radionukleotida: Deteksi awal parut ginjal dapat dilakukan dengan menggunakan
radioisotope
scanning
99m-technetium
dimercaptosuccinic
acid
(DMSA).
G. Pencegahan
3 aspek penting dalam upaya mencegah terjadinya CKD yaitu pencegahan:
1. Primer, bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi pemaparan terhadap
faktor-faktor yang dapat menyebabkan penyakit ginjal. Misalnya strategi untuk
mengurangi pemaparan antenatal terhadap infeksi, pencegahan penyakit ginjal
yang diturunkan dengan cara konseling genetik, pencegahan obesitas, deteksi awal
dan penanganan hipertensi dan kencing manis.
2. Sekunder, dimana pencegahan terjadinya progresifitas kerusakan ginjal dari CKD
stadium 1-5 dengan melakukan penanganan yang tepat pada setiap stadium CKD.
3. Tersier, berfokus pada penundaan komplikasi jangka panjang, disabilitas atau
kecacatan akibat CKD dengan cara renal replacemet therapy misalnya
H. Prognosis
Penyebab kematian utama pada CKD adalah penyakit kardiovaskular. Dengan adanya
renal replacement therapy dapat meningkatkan angka harapan hidup pada CKD stadium
5. Transplantasi ginjal dapat menimbulkan komplikasi akibat pembedahan. CAPD
meningkatkan angka harapan hidup dan quality of life dibandingkan hemodialisis dan
dialisis peritoneal (Nahas, 2003).
I.
c. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya
adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan
tekanan darah atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
d. Aktifitas dan latihan.
Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien tidak
dapat menolong diri sendiri. Tandanya adalah aktifitas dibantu.
e. Pola istirahat dan tidur.
Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung mata.
Tandanya adalah pasien terliat sering menguap.
f. Pola persepsi dan koknitif.
Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah penurunan
kesadaran seperti ngomong nglantur dan tidak dapat berkomunikasi dengan jelas.
g. Pola hubungan dengan orang lain
Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri sampai
terjadinya HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya lebih menyendiri, tertutup,
komunikasi tidak jelas.
h. Pola reproduksi
Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan kepuasan
dalam hubungan. Tandanya terjadi penurunan libido, keletihan saat berhubungan,
penurunan kualitas hubungan.
i. Pola persepsi diri.
Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi edema, citra
diri jauh dari keinginan, terjadinya perubahan fisik, perubahan peran, dan percaya
diri.
j. Pola mekanisme koping.
Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil keputusan dengan
tepat, mudah terpancing emosi.
k. Pola kepercayaan.
Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien
4. Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien dari
compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan
reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau
terjadi peningkatan berat badan karena kelebian cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga,
hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan
pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot bantu
napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada paru
(rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada
jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang, dan
Capillary Refil lebih dari 1 detik.
j.
Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat / uremia,
dan terjadi perikarditis.
5. Pemeriksaan penunjang.
a. Pemeriksaan Laboratorium :
1. Urin
a) Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria), atau urine tidak ada
(anuria).
b) Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus /
nanah, bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat, sedimen kotor, warna
kecoklatan menunjukkan adanya darah, miglobin, dan porfirin.
c) Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat).
d) Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular,
amrasio urine / ureum sering 1:1.
e) Kliren kreatinin mungkin agak menurun.
f) Natrium : Lebih besar dari 40 Emq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium.
g) Protein : Derajat tinggi proteinuria ( 3-4+ ), secara kuat menunjukkan
kerusakan glomerulus bila sel darah merah (SDM) dan fregmen juga ada.
2. Darah
a) Kreatinin : Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL
diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
b) Hitung darah lengkap : Hematokrit menurun pada adanya anemia. Hb
biasanya kurang dari 7-8 g/dL.
c) SDM (Sel Darah Merah) : Waktu hidup menurun pada defisiensi
eritropoetin seperti pada azotemia.
d) GDA (Gas Darah Analisa) : pH, penurunan asidosis metabolik (kurang
dari 7,2) terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal
untuk
esensial. Osmolalitas serum lebih besar dari 285 mosm/kg, sering sama
dengan urine.
b. Pemeriksaan Radiologi
1. Ultrasono grafi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya
masa , kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
2. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histologis.
3. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam
basa.
5.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan retensi
cairan dan natrium
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk sampah
dan prosedur dialisis.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor
biologis
Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan
NOC:
- Respiratory status : Ventilation
- Respiratory status : Airway
patency
- Vital sign Status
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama ..pasien
menunjukkan keefektifan pola nafas,
dibuktikan dengan kriteria hasil:
Mendemonstrasikan batuk efektif
dan suara nafas yang bersih, tidak
ada sianosis dan dyspneu (mampu
mengeluarkan sputum, mampu
bernafas dg mudah, tidakada pursed
lips)
Menunjukkan jalan nafas yang
paten (klien tidak merasa tercekik,
irama nafas, frekuensi pernafasan
dalam rentang normal, tidak ada
suara nafas abnormal)
Tanda Tanda vital dalam rentang
normal (tekanan darah, nadi,
pernafasan)
Intervensi
NIC:
Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Pasang mayo bila perlu
Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
Berikan bronkodilator :
-..
.
Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
Monitor respirasi dan status O2
Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
Pertahankan jalan nafas yang paten
Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi
Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
Monitor vital sign
Informasikan pada pasien dan keluarga tentang tehnik relaksasi untuk
memperbaiki pola nafas.
Ajarkan bagaimana batuk efektif
Monitor pola nafas
Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Berhubungan dengan :
Ketidakmampuan untuk
memasukkan atau mencerna
nutrisi oleh karena faktor
biologis, psikologis atau
ekonomi.
DS:
- Nyeri abdomen
- Muntah
- Kejang perut
- Rasa penuh tiba-tiba
setelah makan
DO:
- Diare
- Rontok rambut yang
berlebih
- Kurang nafsu makan
- Bising usus berlebih
- Konjungtiva pucat
- Denyut nadi lemah
Rencana keperawatan
Intervensi
NOC:
a. Nutritional status:
Adequacy of nutrient
b. Nutritional Status :
food and Fluid Intake
c. Weight Control
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama.nutrisi kurang
teratasi dengan indikator:
Albumin serum
Pre albumin serum
Hematokrit
Hemoglobin
Total iron binding
capacity
Jumlah limfosit
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8, volume 2.
Jakarta: EGC
Catherine S, Snively M. Chronic kidney disease: Prevention and treatment ofcommon
complications. American Academy of Family Physicians. 2005;1-5
Johnson, M. (2012). Iowa Outcomes Project Nursing Classification (NOC). St. Louis,
Missouri: Mosby
NANDA International. (2012). Nursing Diagnosis: Definitions & Classifications 2012-2014.
Jakarta: EGC
Nahas ME. The patient with failing renal failure. Dalam: Cameron JS, DavisonAM. Oxford
Textbook of Clinical Nephrology. Edisi ke-3. Oxford University Press.2003; hal
1648-98.
Rachmadi, Dedi. (2010). Chronic Kidney Disease. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
UNPAD-RS Dr. Hasan Sadikin Bandung
Wilkinson, Judith.M, 2006, Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil Noc. Jakarta: EGC