Вы находитесь на странице: 1из 33

LAPORAN PRAKTIKUM SUPPLY CHAIN AND LOGISTICS

BEERGAME

Disusun Oleh: Kelompok 15 & 16

Adolfina P. Moningka

12/333437/TK/39798

Aulia Bayu Murti

12/333514/TK/39865

Grace Oktaviani

12/329949/TK/39150

Hana M. Siahaan

12/333614/TK/39960

Mutamima Aulia Sani

12/329337/TK/39001

Nurul Hakiki

12/329797/TK/39060

Alberdo Latama

12/333669/TK/40012

Elizabeth Shinta Putri

12/333833/TK/40175

Farel Fegasanto

12/330307/TK/39483

Irfan Aufa

12/330190/TK/39375

Ni Putu Aprita R. Gayatri

12/329974/TK/39170

Sarah Faudah

12/333846/TK/40188

PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI


JURUSAN TEKNIK MESIN DAN INDUSTRI
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014

DAFTAR ISI

HALAMAN COVER

DAFTAR ISI

ii

DAFTAR GAMBAR

iv

DAFTAR TABEL

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

1.2

Tujuan Praktikum

1.3

Manfaat Praktikum

BAB II LANDASAN TEORI

2.1

Pengertian Beergame

2.2

Mekanisme Beergame

2.3

Bullwhip Effect

2.4

Centralized Demand Information

2.5

Decentralized Demand Information

BAB III PEMBAHASAN

3.1

Hasil Praktikum
3.1.1 Stage Retailer
3.1.2 Stage Wholesaler
3.1.3 Stage Distributor
3.1.4 Stage Factory

3.2

Pembahasan

3.2.1 Soal 1

3.2.2 Soal 2

ii

iii

BAB IV PENUTUP

10

4.1

Kesimpulan

11

4.2

Saran

12

DAFTAR PUSTAKA

26

DAFTAR LAMPIRAN

iii

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Beergame

Gambar 2.2 Komponen Suatu Stage

Gambar 2.3 Bullwhip Effect

10

Gambar 3.1 Illustrasi Aliran dalam Suatu Sistem Rantai Pasok

11

iv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Playsheet Stage Retailer dengan Tidak Terkoordinasi

Tabel 3.2 Playsheet Stage Distributor dengan Tidak Terkoordinasi

17

Tabel 3.3 Perbandingan Terkoordinasi dengan Tidak pada Retailer

21

Tabel 3.4 Playsheet Stage Wholesaler dengan Tidak Terkoordinasi


Tabel 3.5 Playsheet Stage Wholesaler dengan Tidak Terkoordinasi
Tabel 3.6 Perbandingan Terkoordinasi dengan Tidak pada Wholesaler
Tabel 3.7 Playsheet Stage Distributor dengan Tidak Terkoordinasi
Tabel 3.8 Total Biaya pada Stage Distributor dengan Tidak Terkoordinasi
Tabel 3.9 Playsheet Stage Distributor dengan Tidak Terkoordinasi
Tabel 3.10 Total Biaya pada Stage Distributor dengan Terkoordinasi
Tabel 3.11 Playsheet Stage Factory dengan Tidak Terkoordinasi
Tabel 3.12 Playsheet Stage Factory dengan Terkoordinasi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Supply Chain Management (SCM) merupakan salah satu strategi yang

digunakan oleh perusahaan untuk membuat rantai pasok menjadi lebih efisien.
Supply chain merupakan kumpulan dari rantai-rantai yang dilalui suatu barang
(produk) mulai dari bahan baku sampai menjadi produk yang akan dijual kepada
konsumen atau pengguna akhir.
Supply chain management berkaitan pada pengambilan keputusan, dimana
seorang manajer harus mampu mengambil keputusan yang tepat yaitu pada saat
kapan produk di pesan dan pada saat kapan produk yang dipunyai perusahaan harus
dihantarkan.
Penerapan SCM dapat di simulasikan dengan permainan Beergame.
Permainan ini biasa dimainkan secara manual atau tanpa menggunakan software.
Tujuan permainan ini adalah untuk memenuhi permintaan pelanggan. Dalam
permainan ini, kasus yang diambil adalah produk bir dengan menggunakan suatu
multi-stage supply chain dengan pembelanjaan minimum dalam back order dan
inventory.

1.2

Tujuan
1. Memberikan pemahaman tentang bagaimana berpikir secara sistem
dalam kaitannya dengan rantai pasok.
2. Memberikan pengetahuan tentang perlunya koordinasi dalam upaya
meningkatkan performansi dari sebuah sistem rantai pasok.
3. Memberikan pemahaman tentang pentingnya sistem informasi yang
selalu terkoordinasi antar stages dalam rantai pasok

1.3

Manfaat
1. Praktikan dapat memahami tentang bagaimana berpikir secara sistem
dalam kaitannya dengan rantai pasok.
2. Praktikan dapat mengetahui tentang perlunya koordinasi dalam upaya
meningkatkan performansi dari sebuah sistem rantai pasok.
3. Praktikan memahami tentang pentingnya sistem informasi yang selalu
terkoordinasi dalam rantai pasok.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1

Pengertian Beer Game


Beer game merupakan suatu latihan yang mengilustrasikan dinamika dari

rantai pasok (Jacobs, 2000). Beer game merupakan suatu manajemen simulasi
dalam suatu sistem rantai pasok (Sterman, 1989). Simulasi ini berbentuk permainan
yang dimainkan beberapa orang yang memiliki peran sebagai factory, distibutor,
wholesaler, dan retailer. Simulasi permainan ini ditemukan oleh Prof. John D.
Sterman pada tahun 1989. Simulasi permainan ini menggunakan produk beer
sebagai produk dalam aliran permainannya, sehingga permainan ini sering disebut
dengan beer game.

Gambar 2.1 Beer Game


Pada gambar diatas terlihat terdapat beberapa stage penyusun. Stage-stage
yang ada di permainan ini memiliki fungsi masing-masing, seperti:
a. Factory berperan sebagai stage yang memproduksi produk dan memenuhi
permintaan dari distibutor.
b. Distributor sebagai stage yang berperan untuk memenuhi permintaan
wholesaler.
c. Wholesaler sebagai stage yang berperan sebagai pemenuh permintaan
retailer.
d. Retailer sebagai stage yang berperan dalam pemenuhan permintaan
konsumen.

Diantara stage-stage tersebut terdapat kotak delay, yang berfungsi sebagai


tempat peletakkan kartu delivery. Kartu ini berfungsi sebagai simulasi jumlah
produk yang dikirimkan stage sebelumnya ke stage dibawahnya. Selain kartu
delivery, terdapat pula kartu order, yang berfungsi sebagai media komunikasi
pemesanan barang yang dilakukan stage dibawah kepada stage diatasnya. Pada
setiap stage juga terdapat bagian-bagian khusus yaitu:

Gambar 2.2 Komponen Suatu Stage

Berdasarkan gambar diatas, terdapat beberapa bagian penyusun yang


memiliki peran masing-masing, yaitu:
1. Tempat untuk pesanan yang masuk (incoming order) yang berasal dari
downstream stage (hilir) misal: Wholesaler.
2. Tempat untuk pemesanan keluar (outgoing order) akan ke upstream
stage (hulu) misal: Factory.
3. Tempat untuk pengiriman barang masuk (incoming delivery) yang
berasal dari upstream stage (hulu) misal: Factory.
4. Tempat untuk pengiriman barang keluar (dispatch/outgoing delivery)
akan ke tahap downstream stage (hilir) misal: Wholesaler.

2.2

Mekanisme Beer Game


4

Permainan ini memberikan gambaran umum bagaimana aliran informasi


dan aliran pendistribusian barang pada suatu rantai pasok. Dalam permainan ini
terdapat beberapa peraturan umum yang diberikan, antara lain:
1. Dalam permainan ini tidak diperkenankan adanya komunikasi dan
koordinasi antar stage dalam rantai pasok
2. Permintaan pelanggan hanya diketahui oleh retailer.
3. Jika stock tersedia (available), maka order harus dipenuhi.
4. Jika stock tidak tersedia, maka item dimasukkan dalam backorder
5. Pemenuhan pesananan dari downstream (hilir) akan dilakukan ketika
stock sudah available.
Tujuan dari permainan ini adalah untuk meminimalkan biaya keseluruhan
dan dengan masih dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Selain itu manfaat dari
permainan ini adalah memberikan gambaran umum bagaimana terjadi bullwhip
effect pada suatu rantai pasok, sehingga kita dapat menganalisa bagaimana cara
meminimalkan efek cambuk tersebut (bullwhip effect).

2.3

Bullwhip Effect
Bullwhip effect merupakan suatu kondisi ketika permintaan konsumen

mengalami sedikit perubahan, dan perubahan tersebut akan menyebabkan fluktuasi


yang tajam pada inventory dan keseluruhan level supply chain (Simchi-Levi, 1999).
Bullwhip effect akan terjadi saat kesalahan presepsi atau ketidakpastian

Gambar 2.3 Bullwhip Effect

Hal-hal yang menyebabkan ketidakpastian permintaan dan menyebabkan


efek bullwhip antara lain:
a. Demand forecasting
Bullwhip effect merupakan hasil dari suatu forecasting dan pengukuran
suatu dampak (Hanssens, 1998). Perbedaan teknik forecasting yang
menggunakan moving average dan eksponesial smoothing akan membuat
terjadinya bullwhip effect (Chen, dkk, 1999).
b. Lead time
Retailer seharusnya melakukan suatu forecasting apabila terjadi dalam
suatu periode lead time yang lama (Chen, 2000). Oleh karena itu baik lead
time dan forecasting memiliki dampak terhadap bullwhip effect.
c. Batch ordering
Perubahan jumlah permintaan dari konsumen yang sedikit akan membuat
retailer diatasnya memesan dalam jumlah yang lebih besar, begitu pula
stage diatasnya. Jika dibandingkan satu perubahan permintaan konsumen
akan melipat gandakan pada tahap paling atas, yang memiliki nilai
variabilitas tinggi.

d. Price fluctuation
Fluktuasi harga terjadi karena adanya forward buy yang dilakukan antara
supplier dan suatu perusahaan, sehingga terjadi suatu diskon atau rabat yang
selanjutnya menyebabkan fluktuasi harga. Selain itu diskon yang diberikan
dipasaran akan menyebabkan konsumen melakukan pembelian secara
mendadak, sehingga akan terjadi perubahan permintaan yang akan
menjadikan efek bullwhip.
e. Inflated order
Perubahan jumlah permintaan yang dilakukan oleh downstream yang tidak
sesuai dengan jumlah biasanya, akan memberikan dampak yang besar
kepada level diatasnya.
Strategi untuk mengurangi bullwhip effect dan menghilangkan dampaknya
adalah (Simchi-Levi, 1999):
1. Reducing Uncertainty
2. Reducing Variability
3. Lead-time reduction
4. Strategic Partnership

2.4

Centralized Demand Information


Merupakan suatu strategi aliran informasi yang diterapkan dalam suatu

rantai pasok. Informasi permintaan dari konsumen dikumpulkan di suatu


information center. Informasi yang masuk kedalam information center akan disebar
luaskan disebarkan ke tiap tahap dalam rantai pasok. Selain informasi permintaan
konsumen, proses pengambilan keputusan ada di information center juga
disebarkan ke stages lainnya. Tipe ini biasa disebut dengan sistem terkoordinasi.

2.5

Decentralized Demand Information


Merupakan suatu strategi aliran informasi yang diterapkan dalam suatu

rantai pasok. Informasi permintaan dari konsumen hanya diterima oleh retailer.
Kemudian retailer melakukan forecast untuk pemesanan ke wholesaler, begitu
seterusnya. Proses pengambilan keputusan ada di tiap tahap supply chain. Tipe dari
sistem ini biasa disebut dengan tidak terkoordinasi.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1

Hasil Praktikum

3.1.1

Stage: Retailer (Tidak terkoordinasi)


Berikut ini adalah playsheet dari stage retailer pada permainan beergame

tanpa adanya koordinasi antar setiap stage dalam rantai pasok.


Tabel 3.1 Playsheet Stage Retailer dengan Tidak Terkoordinasi
MODUL 2 - BEER GAME | SUPPLY CHAIN AND LOGISTICS ENGINEERING UGM
Week Incoming Avail Incoming
To
Your
Back
Inventory
Your
Delivery
able
Order
Ship Delivery
order
Order
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

15
0
15
0
15
0
40
10
30
55
20
15

15
9
17
1
15
0
15
0
40
10
30
55
20
15

6
7
16
27
58
61
45
53
91
105
46
37
63
69

Total
Total Biaya

6
7
16
27
84
130
175
213
304
369
405
412
420
469

6
7
16
1
15
0
15
0
40
10
30
55
20
15

0
0
0
26
69
130
160
213
264
359
375
357
400
454
2807
$5614

15

20

9
2
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
27
$27

5
5
20
20
30
100
80
80
100
100
100
100
100
14
$70

Berdasarkan playsheet pada stage retailer, dapat disimpulkan bahwa


retailer tidak dapat memenuhi pesanan dari customer pada minggu ke-4 sampai

10

dengan minggu terakhir. Hal itu dapat dilihat dari adanya backorder (adanya
sejumlah pesanan yang tidak terpenuhi) pada minggu-minggu tersebut. Penyebab
utama adalah kurangnya komunikasi antar stage, pesanan dari retailer akan sampai
di factory dalam waktu 3 minggu, sementara sebelum itu factory sudah
memproduksi sejumlah barang sesuai dengan hasil forecast stage factory. Hal
tersebut mengakibatkan meningkatnya order variability di setiap stage.
Selain itu, kesalahan juga muncul ketika retailer hanya memperhatikan
bagiannya sendiri. Ketika melihat pada stage tersebut ada backorder, retailer
langsung melakukan order dalam jumlah besar tanpa memperhitungkan bahwa hal
tersebut dapat mengakibatkan backorder pada stage lain.
Kesalahan melakukan pemesanan ini berdampak pada jumlah backorder
yang tinggi yaitu totalnya adalah 2807 unit, sehingga menyebabkan biaya
backorder merupakan biaya paling besar dikeluarkan yaitu sebesar $5614,
dibandingkan biaya inventori $27 sebesar. Selain itu, karena pada kondisi tidak
terkoordinasi ini, pihak retailer tidak memikirkan dengan baik jumlah yang harus
dipesan, berdampak pada jumlah pesanan yang banyak (seharusnya bisa ditekan)
dan berakibat pada biaya pemesanan yang besar
Tabel 3.2 Playsheet Stage Distributor dengan Tidak Terkoordinasi
MODUL 2 - BEER GAME | SUPPLY CHAIN AND LOGISTICS ENGINEERING UGM
Incoming
Incoming
Your
Your
To
Week
Available
Backorder Inventory
Delivery
Order
Delivery
Order
Ship
0
15
20
1
15
6
6
6
0
9
100
2
9
7
7
7
0
2
100
3
15
17
16
16
16
0
1
0
4
0
1
27
27
1
26
0
0
5
15
15
58
84
15
69
0
0
6
0
0
61
130
0
130
0
0
7
15
15
45
175
15
160
0
0
8
0
0
53
213
0
213
0
10
9
50
50
91
304
50
254
0
40
10
60
60
105
359
60
299
0
50
11
75
75
46
345
75
270
0
200

10

11

12
13
14
15

40
50
200

40
50
200

37
63
69

307
330
349

40
50
200
COST

267
280
149
2117
4234

0
0
0
27
27

7
35

Tabel 3.3 Perbandingan Tidak Terkoordinasi dan Terkoordinasi pada Stage


Retailer
Stage : Retailer
Jumlah
Backorder
Tidak
Terkoordinasi
Terkoordinasi

Jumlah
Frekuensi
Inventory Pemesanan

Biaya
Backorder

Biaya
Biaya
Inventory Order

Total
Biaya

2807

27

14

5.614

$ 27

$ 70

$ 5.711

2117

27

4.234

$ 27

$ 35

$ 4.296

Berikut adalah perbandingan antara kondisi retailer saat tidak terkoordinasi


maupun saat terkoordinasi :
1.

Jumlah Backorder
Jumlah backorder (jumlah pesanan yang kurang terpenuhi) saat terkoordinasi

lebih sedikit daripada saat tidak terkoordinasi. Hal itu disebabkan, pada keadaan
terkoordinasi, jumlah yang retailer pesan sudah rasional karena retailer mengetahui
keadaan setiap stage.
2.

Jumlah Inventory
Jumlah inventory sebelum koordinasi dan sesudah koordinasi adalah sama. Hal

tersebut menunjukkan bahwa walaupun jumlah backorder sudah berkurang, namun


dalam keadaan ini tetap saja retailer lebih sering tidak dapat memenuhi kebutuhan
konsumen. Hal itu ditunjukkan dengan tidak adanya inventory dari minggu ke-4
sampai dengan minggu ke-14. Sehingga dapat disimpulkan bahwa koordinasi yang
dilakukan kurang efektif (tidak dapat menjangkau setiap stage).
3.

Frekuensi pemesanan
Frekuensi pemesanan berhubungan dengan jumlah backorder. Seperti

diketahui sebelumnya, bahwa jumlah backorder saat terkoordinasi lebih sedikit


daripada saat tidak terkoordinasi. Hal itu dikarenakan pihak retailer lebih rasional

11

12

dalam memesan, dalam artian ada kalanya retailer tidak perlu memesan. Hal tiu
mengakibatkan jumlah pemesanan yang berkurang 50% antara terkoordinasi dan
tidak terkoordinasi. Hal itu juga berdampak pada biaya pemesanan yang berkurang
50% antara terkoordinasi dan tidak terkoordinasi.
Ketiga hal tersebut berdampak pada biaya yang dihasilkan, dimana total
biaya retailer saat terkoordinasi lebih rendah daripada saat tidak terkoordinasi.
3.1.2

Stage: Wholesaler (Tidak terkoordinasi)


Berikut ini adalah playsheet dari stage retailer pada permainan beergame

tanpa adanya koordinasi antar setiap stage dalam rantai pasok.


Tabel 3.4 Playsheet Stage Wholesaler dengan Tidak Terkoordinasi
Incoming
Incoming
Your
Week
Available
To Ship
Backorder Inventory
Delivery
Order
Delivery
0
15
1
0
15
20
20
15
5
0
2
0
0
5
10
0
10
0
3
15
15
5
15
15
0
0
4
0
0
20
20
0
20
0
5
15
15
20
40
15
25
0
6
0
0
30
55
0
55
0
7
40
40
100
155
40
115
0
8
10
10
80
195
10
185
0
9
30
30
80
265
30
235
0
10
55
55
100
335
55
280
0
11
20
20
100
380
20
360
0
12
15
15
100
460
15
445
0
13
15
15
100
545
15
530
0
14
45
45
100
630
45
585
0

Your
Order
20
35
20
15
30
25
10
20
50
80
20
50
200
500
200

Berdasarkan playsheet pada stage retailer, dapat disimpulkan bahwa stage


tidak dapat memenuhi pesanan dari customer pada minggu ke-1 sampai dengan
minggu terakhir, kecuali minggu ke-3. Hal itu dapat dilihat dari adanya backorder
(adanya sejumlah pesanan yang tidak terpenuhi) pada minggu-minggu tersebut.
Penyebab utama adalah kurangnya komunikasi antar stage dan lead time pesanan

12

13

dari wholesaler akan sampai di factory dalam waktu 2 minggu. Kedua hal tersebut
yang menyebabkan terjadinya variabilitas demand di setiap stage.
Kurangnya komunikasi juga mengakibatkan tiap - tiap stage hanya
memikirkan bagiannya sendiri. Sehingga stage wholesaler juga hanya memikirkan
bagaimana supaya cost yang ada dapat ditekan dengan tidak adanya inventory dan
backorder. Salah satu caranya adalah dengan memesan dengan jumlah yang besar.
Kesalahan melakukan pemesanan ini malah berdampak pada jumlah backorder
yang tinggi yaitu totalnya adalah 2850 unit, sehingga menyebabkan biaya
backorder merupakan biaya paling besar dikeluarkan yaitu sebesar $5700,
dibandingkan biaya inventori yaitu sebesar $15 . Selain itu, pada kondisi tidak
terkoordinasi ini, stage wholesaler tidak mempertimbangkan jumlah yang harus
dipesan, sehingga berdampak pada jumlah pesanan yang terus meningkat dan
berakibat pada biaya pemesanan yang besar
Tabel 3.5 Playsheet Stage Wholesaler dengan Tidak Terkoordinasi
Week
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Incoming
Incoming
Available
To Ship
Delivery
Order
0
0
15
0
15
0
15
50
60
75
40
50
200
250

15
0
15
0
15
0
15
50
60
75
65
105
305
555

20
100
100
0
0
0
0
0
0
0
10
0
0
0

20
105
205
190
190
175
175
160
110
50
10
0
0
0

Your
Delivery
15
0
15
0
15
0
15
50
60
50
10
0
0
0

Backorder Inventory

5
105
190
190
175
175
160
110
50
0
0
0
0
0

15
0
0
0
0
0
0
0
0
0
25
55
105
305
555

Your
Order
20
100
100
0
200
60
75
100
30
200
250
250
0
0
0

13

14

Tabel 3.6 Perbandingan Tidak Terkoordinasi dan Terkoordinasi pada Stage


Wholesaler
Stage : Wholesaler
Jumlah
unit
Backorder
Tidak
Terkoordinasi
Terkoordinasi

Jumlah
Frekuensi
Inventory Pemesanan

Biaya
Backorder

Biaya
Inventory

Biaya
Order

Total
Biaya

2850

15

14

5.700

$ 15

$ 75

$ 5.790

1160

1060

11

2.320

$ 1060

$ 55

$ 3.435

Berikut adalah perbandingan antara kondisi stage wholesaler saat tidak


terkoordinasi maupun saat terkoordinasi :
1. Jumlah Backorder
Jumlah backorder (jumlah pesanan yang kurang terpenuhi) saat terkoordinasi
lebih sedikit daripada saat tidak terkoordinasi. Hal itu disebabkan, pada keadaan
terkoordinasi, jumlah yang dipesan dapat menyesuaikan keadaan tiap stage.
2. Jumlah Inventory
Jumlah inventory sebelum koordinasi lebih sedikit daripada setelah koordinasi.
Hal ini terjadi karena adanya kesalahpahaman antara stage wholesaler dengan stage
distributor dan retailer sehingga pada periode - periode akhir wholesaler tidak
mengirimkan barang kepada distributor yang berakibat menumpuknya inventory
pada stage wholesaler.
3. Frekuensi pemesanan
Frekuensi pemesanan berhubungan dengan jumlah backorder. Jumlah
backorder saat terkoordinasi lebih sedikit daripada saat tidak terkoordinasi. Hal ini
dikarenakan tiap - tiap stage telah mengetahui kebutuhan masing - masing stage
nya. Hal ini mengakibatkan jumlah pemesanan yang berkurang lebih dari 50% pada
saat terkoordinasi.

14

15

Ketiga hal tersebut berdampak pada biaya yang dihasilkan, dimana total
biaya stage wholesaler saat terkoordinasi lebih tinggi dibandingkan pada saat tidak
terkoordinasi.
3.1.3

Stage: Distributor

Berikut ini adalah playsheet dari stage distributor pada permainan beergame
tanpa adanya koordinasi antar setiap stage dalam rantai pasok.
Tabel 3. 7 Playsheet Stage Distributor dengan Tidak Terkoordinasi

Tabel 3.8 Total Biaya pada Stage Distributor dengan Tidak Terkoordinasi

Berdasarkan playsheet pada stage distributor dengan tanpa koordinasi, dapat


disimpulkan bahwa distributor tidak dapat memenuhi pesanan dari wholesaler
setiap minggunya yang dapat dilihat dari kolom backorder. Hal ini disebabkan
karena kesalahan distributor dalam melakukan pemesanan ke factory. Distributor
hanya melakukan pesanan berdasarkan pada jumlah yang diramalkan dengan

15

16

mengikuti isu-isu yang ada, padahal pesanan dari wholesaler jumlahnya cukup
tinggi dibandingkan pesanan yang dilakukan oleh distributor ke factory sehingga
menyebabkan jumlah pasokan dari factory tidak dapat memenuhi permintaan dari
wholesaler.
Kesalahan dalam melakukan pemesanan ke factory juga disebabkan karena
pada stage distributor tidak memperhatikan

jumlah backorder pada setiap

minggunya yang seharusnya ditutupi dengan melakukan pemesanan ke factory


dengan jumlah yang lebih besar. Kesalahan melakukan pemesanan ini berdampak
pada jumlah backorder yang tinggi yaitu totalnya adalah 1780 unit, sehingga
menyebabkan biaya backorder merupakan biaya paling besar dikeluarkan yaitu
sebesar $3560, dibandingkan biaya yang lain yaitu biaya inventori $15 sebesar dan
biaya pemesanan $75.
Tabel 3.9 Playsheet Stage Distributor dengan Tidak Terkoordinasi

Week
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Stage: Distributor
Incoming Available
Delivery
0
0
15
0
50
100
150
105
50
50
250
40
200
100

15
0
15
0
50
100
175
220
195
205
405
245
200
100

Incoming
Order
20
100
100
0
200
60
75
100
40
200
250
250
0
0

To
Ship
20
105
205
190
390
400
400
440
405
565
765
795
545
345

Keterangan: Terkoordinasi
Your
Backorder Inventory
Delivery
15
0
15
0
50
75
60
75
40
50
200
250
200
100

5
105
190
190
340
325
340
365
365
515
545
545
345
245

15
0
0
0
0
0
25
115
145
155
155
205
0
0
0

Your
Order
20
100
100
100
50
50
50
50
250
40
200
200
100
0
0

16

17

Tabel 3.10 Total Biaya pada Stage Distributor dengan Terkoordinasi


Jenis Biaya
Backorder
cost
Inventory
cost
Order cost

Jumlah
4420 unit

Cost
$ 2/unit

Total
$ 8840

815 unit

$ 1/unit

$ 815

13 x
Total Biaya

$ 5/order

$ 65
$ 9720

Pada permaian beergame dengan koordinasi, terjadi kenaikan biaya yang


harus dikeluarkan oleh perusahaan yang seharusnya biaya tersebut dapat berkurang
dibandingkan ketika tanpa adanya koordinasi. Hal ini disebabkan karena beberapa
hal yaitu, pertama, pada stage distributor, aturan permainan dilanggar yaitu yang
menyatakan bahwa apabila jumlah produk tersedia maka harus dikirim. Pada
distributor yang terjadi adalah pesanan yang dikirimkan kepada wholesaler tidak
sesuai sehingga menyebabkan adanya backorder dan inventori secara bersamaan.
Kesalahan dalam pencatatan pada playsheet membuat kebingungan pada distributor
yang menyebabkan hal-hal tersebut terjadi. Kedua, walaupun sudah terkoordinasi,
namun pada kenyataannya koordinasi yang dilakukan dalam rantai pasok masih
kurang baik yang menyebabkan pemesanan tidak dapat terpenuhi. Jumlah
backorder meningkat menjadi 4420 unit dengan biaya $8840, dan jumlah inventori
815 unit dengan biaya $815.

17

18

3.1.4

Stage Factory
Tabel 3.11: Playsheet Stage Factory dengan Tidak Terkoordinasi

Tabel 3.12: Playsheet Stage Factory dengan Terkoordinasi

18

19

Dari hasil permainan beergame ini ternyata terdapat perbedaan hasil total
cost. Jika permainan dilakukan tanpa koordinasi, dimana artinya antar stage tidak
ada komunikasi sama sekali, menunjukkan total cost sebesar $ 4.240. Sedangkan
jika permainan dilakukan dengan koordinasi, total cost malah menunjukkan nilai
yang lebih besar yaitu $ 7.070. Perbedaan ini sebenarnya sangat bertentangan
dengan teori yang ada, bahwa seharusnya jika permainan dilakukan dengan
koordinasi seharusnya total cost yang dihasilkan nilainya lebih kecil dibandingkan
dengan total cost jika permainan tanpa koordinasi.
Kesalahan permainan dalam kelompok kami yaitu, adanya koordinasi
maupun tanpa koordinasi ternyata simulasi permainan yang dilakukan sama saja.
Antar stage tetap melakukan forecast demand sendiri-sendiri, dan faktor
komunikasi masih minim. Pada simulasi dengan komunikasi, kelompok kami tetap
masih kurang koordinasi sehingga ketika ada demand dari pelanggan dan ketika
isue tiap minggu ada, pemesanan ke stage upstream masih kurang memeperhatikan
kedua faktor tadi. Ditambah lagi antar stage yang melakukan permintaan ke stage
upstream ternyata berbeda-beda jumlah kuantitas yang diminta. Stage downstream
(distributor) juga kurang memperhatikan kondisi stage upstream (factory), serta
stage downstream tersebut juga masih kurang bisa memanajemen jumlah
permintaan yang akan dilakukan, sehingga banyak kesalahan yang timbul. Dari
analisa kesalahan tersebut, dimungkinkan munculnya perbedaan total biaya seperti
di atas.
3.2

Pembahasan

3.2.1

Soal 1
Berdasarkan hasil praktikum yang didapatkan, cost yang didapat dari

keseluruhan stage yang terkoordinasi dan tidak terkoordinasi didapatkan cost yang
lebih tinggi pada tidak koordinasi. Tingginya cost yang ada disebabkan karena
banyaknya backorder dan inventori yang ada. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Felecia dkk (2001) mengatakan bahwa koordinasi sangat diperlukan
dalam supply chain untuk mengurangi efek bullwhip dan meningkatkan perfomansi

19

20

dari supply chain tersebut. Kasus yang diteliti dimana terdapat kurangnya
koordinasi sehingga tingginya inventori pada stage. Penelitian yang dilakukan
Susilo (2008) menyebutkan bahwa pentingnya koordinasi dalam supply chain,
dimana kasus yang dibahas adalah kurangnya ketersediaan barang akibat kurangnya
informasi dan koordinasi dan tidak adanya safety stock yang diproduksi, sehingga
backorder cost akan meningkat. Dalam praktikum yang dilakukan kelompok kami,
terdapat kesalahan pada penerapan sistem terkoordinasi seperti yang telah dibahas
pada studi literatur di atas, dimana masih sama dengan praktikum sebelumnya yakni
tidak terkoordinasi. Prinsipnya sistem terkoordinasi membuat cost turun akibat
adanya koordinasi antar stage, namun dalam praktikum yang dilakukan cost
meningkat. Hal ini disebabkan akibat kurangnya eksekusi terhadap koordinasi yang
telah dilakukan antara pihak hulu (factory) hingga hilir (retailer) secara baik.
Meskipun telah ada issue dan demand dari konsumen yang diketahui, namun
pemesanan ke upstream tetap tidak memperhatikan aspek tersebut. Selain itu setiap
stage meskipun terkoordinasi dan mengetahui order masing-masing melakukan
order selanjutnya yang tidak sesuai dengan stage sebelumnya., sehingga terjadi
distorsi permintaan yang menyebabkan terjadinya backorder serta inventori.
Perusahaan pun juga tidak membuat produksi sebagai antisipasi safety stock untuk
stage downstream di awal sehingga membuat backorder tinggi pada tiap stage pada
bulan awal. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa manajemen
informasi dari antar stage terutama di bagian downstream masih belum baik,
meskipun telah ada demand pasti dan komunikasi antar stage yang diperbolehkan.
Pada praktikum supply chain yang tidak terkoordinasi, cost yang besar
merupakan hal yang wajar dimana terjadi akibat adanya bullwhip effect sebagai
hasil dari forecast demand pada setiap stage yang berbeda akibat tidak adanya
komunikasi antar stage dan jumlah produksi yang tidak mampu memenuhi order,
sehingga terjadi backorder yang tinggi pada tiap stage. Perusahaan juga tidak
memproduksi dalam jumlah yang besar, padahal permintaan retailer tinggi,
sehingga dan pada akhirnya menimbulkan backorder yang tinggi pada tiap stage.

20

21

3.2.2

Soal 2
Mengapa yang dengan komunikasi, performansi menjadi lebih baik?
Dalam sebuah sistem rantai pasok terdapat tiga macam aliran yang harus

dikelola, yaitu aliran barang, aliran uang, dan aliran informasi (Pujawan, 2005, p6).
Oleh karena itu aliran informasi merupakan salah satu poin penting dalam
performansi suatu sistem rantai pasok. Tanpa adanya informasi maka setiap stage
dalam suatu sistem rantai pasok tidak akan dapat berkoordinasi dengan baik. Aliran
informasi baik dari hulu ke hilir, ataupun sebaliknya, akan sangat berguna untuk
memastikan jenis barang yang dibutuhkan, jumlah barang yang dibutuhkan, kapan
dan di mana barang harus tiba tepat ketika dibutuhkan. Tanpa disadari, semua
aktivitas yang dilakukan dalam suatu sistem rantai pasok adalah suatu bentuk
respon dari informasi yang mengalir pada setiap stage. Adanya informasi membuat
perusahaan mampu melakukan perencanaan pemesanan dan pengiriman barang.

Gambar 3.1 Ilustrasi Aliran dalam Suatu Sistem Rantai Pasok (Pujawan, 2005)
Menurut Guritno & Harsasi (2014), informasi harus ditangkap dan
dianalisis untuk dapat membuat keputusan yang terbaik, sehingga dapat
memberikan akibat yang signifikan pada pencapaian keberhasilan sebuah
perusahaan. Mereka juga mengatakan bahwa apabila dua buah perusahaan yang

21

22

telah bekerja sama namun gagal melakukan kolaborasi (sharing of information) dan
gagal menyediakan data yang bertujuan untuk mewujudkan suksesnya rantai pasok,
maka kedua perusahaan tersebut akan gagal untuk memperoleh nilai tambah
maksimal yang diharapkan dalam menjalankan manajemen rantai pasok.
Perusahaan-perusahaan dalam suatu sistem rantai pasok harus mampu
memprioritaskan integrasi antara area-area lain yang saling berhubungan (antara
konsumen dengan pemasok).
Berdasar pada hal-hal yang telah dijelaskan di atas, didapat kesimpulan
bahwa komunikasi dapat membuat informasi menjadi terkelola dengan baik,
dimana informasi sangat penting dan berpengaruh dalam meningkatkan
performansi suatu sistem rantai pasok sehingga menjadi lebih baik.
Apa kaitannya dengan efek bullwhip ?
Bullwhip effect merupakan kegagalan untuk membuat estimasi yang akurat
terhadap permintaan konsumen dan keterbatasan tukar informasi antaranggota
dalam rantai pasok akan mengakibatkan membengkaknya tingkat persediaan di
seluruh sistem (Guritno & Harsasi, 2014). Selain itu, menurut Parwati &
Andrianto (2009), kurangnya koordinasi dari pihak-pihak yang terlibat dalam
rantai pasok akan menimbulkan distorsi informasi, atau yang disebut dengan
bullwhip effect. Informasi yang terdistorsi pada setiap level rantai pasok, dari
downstream stage ke upstream stage, dapat menimbulkan berbagai masalah.
Menurut Susilo (2008), bullwhip effect didefinisikan sebagai peningkatan
variabilitas permintaan yang terjadi pada setiap stage rantai pasok sebagai akibat
adanya distorsi informasi. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa suatu
sistem informasi sangat berkaitan erat dengan bullwhip effect. Semakin baik
komunikasi yang terjadi antar setiap stage di dalam rantai pasok dapat
menyebabkan berkurangnya unsur ketidakpastian dan variabilitas dari permintaan
pelanggan yang terjadi di dalam sistem. Hal tersebut terjadi karena sistem
informasi juga terkoordinasi dengan baik, sehingga bullwhip effect yang dimiliki
perusahaan bisa diminimalisir.

22

23

Alternatif solusi lain untuk mengatasi bullwhip effect :


1. Reducing uncertainty
Hal yang disarankan untuk mengurangi atau menghilangkan bullwhip effect
adalah dengan mengurangi ketidakpastian pada supply chain dengan
memusatkan informasi permintaan (centralizing demand information).
Kegiatan ini dilakukan dengan memberikan data permintaan aktual pada
setiap stage dalam rantai pasok. Namun juga perlu diperhatikan walaupun
data yang digunakan sama, setiap stage dalam supply chain bisa saja
memiliki metode peramalan dan kebijakan pemesanan yang berbeda pula,
sehingga bullwhip effect akan masih tetap ada. Selain itu, walaupun
informasi yang digunakan sama, metode peramalan sama, cara pembelian
sama, ketika masih ada fluktuasi demand, bullwhip effect akan tetap ada.

2. Reducing variability
Variabilitas dapat dikurangi dengan meminimalkan variability yang
melekat pada proses permintaan konsumen. Selain itu, pengurangan
variabilitas permintaan yang terjadi pada stage awal rantai pasok akan
mengakibatkan variabilitas pada tahapan berikutnya di supply chain dapat
dikurangi. Misalnya, ketika kita dapat mengurangi variabilitas permintaan
konsumen pada stage retailer, walaupun bullwhip effect tetap terjadi,
variabilitas permintaan pada stage wholesaler juga akan berkurang. Kita
dapat mengurangi variabilitas permintaan konsumen, sebagai contoh,
penggunaan strategi Everyday Low Pricing (EDLP). Ketika retailer
menggunakan EDLP yaitu menawarkan produk pada satu harga yang
konsisten, itu lebih baik daripada menawarkan harga reguler dengan harga
promosi yang dilakukan di waktu-waktu tertentu. Dengan mengeliminasi
promosi, retailer dapat mengeliminasi banyak perubahan yang besar pada
permintaan yang terjadi pada saat promosi. Oleh karena itu, strategi EDLP

23

24

dapat diterapkan untuk meminimasi variabilitas. Dengan demikian, pola


permintaan konsumen akan lebih stabil.

3. Lead-time reduction
Semakin besar lead time, maka semakin meningkat pula variabilitas akibat
peramalan permintaan. Dengan mengurangi lead time dapat mengurangi
bullwhip effect di seluruh rantai suplai. Hal tersebut dikarenakan lead time
terdiri dari 2 komponen yaitu order lead time (yaitu waktu yang dibutuhkan
untuk memproduksi dan mengirimkan produk tersebut) dan lead time
informasi (waktu yang dibutuhkan untuk memproses pemesanan). Lead
time disini dapat dikurangi dengan penggunaaan cross docking untuk order
lead time dan EDI untuk lead time informasi.

4. Strategic partnership
Bullwhip effect dapat dikurangi dengan menjalin kerja sama yang baik
dengan partner. Strategic partnership ini merubah cara pembagian
informasi dan cara pengaturan inventory dalam supply chain, sehingga
bullwhip effect dapat ditekan. Sebagai contoh, pabrik mengatur inventori
produknya di retailer. Oleh karena itu, pabrik memutuskan seberapa banyak
inventori yang akan disimpan dan berapa banyak yang akan dikirimkan ke
retailer setiap periodenya. Dengan demikian, pabrik harus mempercayakan
pemesanan yang diberikan oleh retailer, agar bullwhip effect dapat
diminimasi.

24

25

BAB IV
PENUTUP

4.1

Kesimpulan
Berdasarkan teori yang ada, cost yang didapatkan pada simulasi permainan

beergame lebih tinggi pada saat antar stage tidak melakukan koordinasi. Hal ini
disebabkan karena tidak adanya komunikasi antar stage yang membuat aliran
informasi yang berjalan menjadi tidak terkelola dengan baik. Akibatnya terjadi
bullwhip effect yang menyebabkan unsur ketidakpastian dan variabilitas permintaan
pelanggan di tiap stage meningkat sehingga backorder dan inventory yang ada
semakin tinggi.
Namun dalam simulasi beergame yang kelompok kami lakukan, hasil yang
didapatkan bertentangan dengan teori yang ada. Total cost dalam keseluruhan
sistem lebih tinggi pada saat dilakukan koordinasi antar stage. Hal ini disebabkan
karena kurangnya eksekusi terhadap koordinasi yang telah dilakukan antara pihak
hulu (factory) hingga hilir (retailer) secara baik, setiap stage melakukan order
selanjutnya yang tidak sesuai dengan stage sebelumnya, dan perusahaan tidak
membuat produksi sebagai antisipasi safety stock untuk stage downstream di awal
sehingga membuat backorder tinggi pada tiap stage pada bulan awal.

4.2

Saran
Dalam melakukan simulasi permainan beergame, hendaknya lebih

memperhatikan kondisi dari tiap stage yang ada baik itu stage downstream maupun
stage upstream. Selain itu, adanya komunikasi yang baik sangat berpengaruh
terhadap performansi dari suatu sistem rantai pasok sehingga akan lebih baik jika
komunikasi di tiap stage dan antar stage dapat dikelola dengan baik.

25

26

DAFTAR PUSTAKA

Ertek, G., Erylmaz, E.2008, The bullwhip effect in supply chain: Reflections after
a

decade,

CELS

2008,

Jnkping,

Sweeden.

http://research.sabanciuniv.edu. [online akses pada 8 November 2014]


Rohman, D. D., dan Putra B. S., Seminar on Application and Research in Industrial
Technology,
http://repository.widyatama.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/1310
/content.pdf?sequence=1, [online akses pada 8 November 2014].
Simchi-Levi, D., dan Kamiskhi, P., 1999.,Designing and managing the supply
chain, United states; Mc Graw-Hill International
Sterman,

J.

D.,

The

Beer

Game,

http://web.mit.edu/jsterman/www/SDG/beergame.html, [online akses pada


8 November 2014].
Jonsson, P. (2008). Logistics and Supply Chain Management, McGraw-Hill
Companies.
Pujawan, I Nyoman, (2005),Supply Chain Management,Edisi Pertama, Cetakan
Pertama, halaman 6.
Guritno, A. D. & Harsasi, M., (2014), Modul 1: Pengantar Manajemen Rantai
Pasok

(Supply

Chain

Management),

<http://www.slideshare.net/k_tarou/bmp-ekma4371>, diakses tanggal 8


November 2014].
Susilo, Tri. (2008). Analisis Bullwhip Effect Pada Supply Chain. Volume 8 No. 2,
Universitas Pembangunan Nasional, Jawa Timur.

26

27

Parwati, I. & Andrianto P., (2009) Metode Supply Chain Management untuk
Menganalisis Bullwhip Effect Guna Meningkatkan Efektivitas Sistem
Distribusi Produk, Jurnal Teknologi IST AKPRIND, vol. 2, no. 1,
Yogyakarta.

27

28

LAMPIRAN

28

Вам также может понравиться