Вы находитесь на странице: 1из 64

RANGKUMAN MODUL 2 BLOK 13

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)


Definisi
PPOK adalah penyakit paru yang ditandai oleh hambatan aliran udara yang bersifat non reversibel
atau reversibel parsial. Hambatan aliran udara biasanya progresif dan ada hubungan dengan respon inflamasi
abnormal paru terhadap noxius dan gas.
Faktor risiko
Meliputi faktor-faktor host dan paparan lingkungan dan penyakit biasanya muncul dari interaksi
antara kedua faktor tersebut.
Faktor host:

Genetik
Faktor risiko genetik yang telah diketahui adalah: defisiensi alfa 1 anti tripsin. Suatu kelainan herediter
yang jarang ditemukan. Gen lain yang terlibat patogenesis PPOK sampai saat ini belum ditemukan

Hiperreaktivitas bronkus
Asma dan hiperreaktivitas bronkus saluran nafas merupakan faktor risiko yangmemberi andil timbulnya
PPOK. Bagaimana pengaruh kedua kelainan tersebut mempengaruhi timbulnya PPOK tidak diketahui.

Faktor lingkungan:

Asap tembakau
Merokok merupakanfaktor risiko utama. Perokok sigaret mempunyai prevalensi yang tinggi kelainan
faal paru, keluhan respirasi dan penyakit obstruksi saluran nafas kronis. Pada perokok pipa dan cerutu
dijumpai mortalitas dan morbiditas PPOK > dari bukan perokok, tetapi < dari perokok sigaret. Tidak
semua perokok timbul PPOK secara klinis. Hal ini mengesankan bahwa faktor-faktor genetik harus
memodifikasi tiap-tiap risiko individu.

Occupational dusts and chemicals


Paparan yang cukup intens dan lama dari occupational dust dan chemical dapat menyebabkan PPOK
tidak tergantung faktor rokok dan meningkatkan risiko PPOK dengan adanya merokok sigaret.

Polusi udara
Peranan polusi udara outdoor tidak jelas, nampaknya pengaruh < dari merokok sigaret. Poluis udara
indoor dari bahan bakar biomasa, asap dapur dan pemanasan pada ruangan dengan ventilasi jelek
merupakan faktor risiko untuk PPOK.

Infeksi
Riwayat infeksi saluran nafas berat sewaktu anak-anak menyebabkan penurunan faal paru dan keluhan
respirasi sewaktu dewasa.

Status sosial
Mortalitas dan morbiditas PPOK berbanding terbalik dengan status sosial dan lebih tinggi pada blue
colar daripada white colar worker.

Patogenesis
Karakteristik PPOK adalah keradangan kronis mulai dari saluran nafas, parenkim paru sampai
struktur vaskuler pulmonal. Di berbagai bagian paru dijumpai peningkatan makrofag, limfosit T (terutama
CD8+) dan neutrofil. Sel-sel radang yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti leukotrien
B4, IL8, TNF, dan lain-lain yang mampu merusak struktur paru dan atau mempertahankan inflamasi
neurofilik. Di samping inflamasi ada 2 proses lain yang juga penting yaitu imbalance proteinase dan anti
proteinase di paru dan stres oksidatif.
Patologi
Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai di saluran nafas besar (central airway), saluran
nafas kecil (peripheral airway), parenkim paru, dan vaskuler pulmonal.

Saluran nafas besar


Dijumpai infiltrasi sel-sel radang pada permukaan epitel. Kelenjar-kelenjar yang mensekresi mukus
membesar dan jumlah sel goblet meningkat. Kelainan ini menyebabkan hipersekresi mukus.

Saluran nafas kecil


Inflamasi kronis menyebabkan berulangnya siklus injury dan repair dinding saluran nafas. Proses repair
akan menghasilkan struktural remodeling dari dinding saluran nafas dengan peningkatan kandungan
kolagen dan pembentukan jaringan ikat yang menyebabkan penyempitan lumen dan obstruksi saluran
nafas permanen.

Parenkim paru
Dekstruksi parenkim paru secara khas terjadi emfisema sentrilobuler. Kelainan tersebut lebih sering di
bagian atas pada kasus ringan namun bila lanjut bisa terjadi di seluruh lapangan paru dan juga terjadi
dekstruksi pulmonary capillary bed.

Perubahan vaskuler pulmonal


Ditandai oleh penebalan dinding pembuluh darah yang dimulai sejak awal perjalanan ilmiah PPOK.
Perubahan struktur yang pertama kali adalah penebalan intima diikuti peningkatan otot polos dan
infiltrasi dinding pembuluh darah oleh sel-sel radang. Jika penyakit bertambah lanjut jumlah otot polos,
proteoglikans dan kolagen bertambah sehingga dinding pembuluh darah bertambah tebal.

Manifestasi klinis
Dua keluhan utama adalah sesak nafas dan batuk.

Sesak nafas

Timbul progresif secara gradual dalam beberapa tahun. Mula-mula ringan lebih lanjut akan mengganggu
aktivitas sehari-hari. Sesak nafas bertambah berat mendadak menandakan adanya eksaserbasi.

Suara mengi (wheezing)


Riwayat wheezing tidak jarang ditemukan pada PPOK dan ini menunjukan komponen reversibel
penyakitnya. Bronkospasme bukan satu-satunya penyebab wheezing. Banyak pasien PPOK mengeluh
mengi pada pengerahan tenaga (exertion) mungkin oleh karena udara lewat saluran nafas yang sempit
oleh radang atau sikatrik.

Batuk kronis
Batuk kronis biasanya berdahak kadang episodik dan memperberat waktu pagi. Dahak biasanya mukoid
tetapi berubah purulen bila eksaserbasi.

Batuk darah
Bisa dijumpai terutama waktu eksaserbasi. Asal darah diduga dari saluran nafas yang radang dan
khasnya blood-streaked purulen sputum. Penyebab batuk darah yang lain seperti tumor, bronkiektasis,
tuberkulosis, dan dekompensasi kordis perlu dicari.

Nyeri dada
Nyeri dada biasanya bukan oleh karena PPOK. Nyeri dada bisa oleh karena pleuritis, pneumothoraks,
dan emboli paru.

Anoreksia dan penurunan berat badan


Penurunan berat badan merupakan tanda progresif jelek.
Karakteristik PPOK adalah adanya eksaserbasi. Bila penyakit progresif, interval di anratara eksaserbasi

akut makin dekat.


Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang ditemukan tergantung derajat hambatan aliran udara, berat ringan hiperinflasi
paru dan bentuk tubuhnya. Awalnya hanya ekspirasi memanjang dan wheezing pada ekspirasi paksa. Bila
obstruksi lanjut akan tanpak hiperinflasi dan barrel chest.suara nafas menurun, ekspirasi memanjang,
suara jantung terdengar jauh, ronki basah basal. Penggunaan otot pernafasan tambahan atau pursed-lips
breathing menandakan obstruksi aliran udara berat. Oedem tungkai, JVP meningkat, hepar teraba, dan
tanda hipertensi pulmonal adalah tanda kor pulmonal kronikum dekompensata.
Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gambaran klinis berupa riwayat penyakit, faktor risiko, dan
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang rutin serta khusus. PPOK harus dipertimbangkan pada
penderita dengan keluhan batuk dengan dahak atau sesak nafas dan atau riwayat terpapar faktor risiko.
Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan objektif adanya hambatan aliran udara (dengan spirometri).
Pemeriksaan penunjang rutin:

Faal paru; spirometri merupakan pemeriksaan gold standar. Parameternya adalah FEV 1 dan ratio
FEV1/FVC. Hasil post bronkodilator FEV1 < 80% prediksi dan FEV1/FVC < 70% menunjukan obstruksi
yang tidak reversibel penuh. Bila spirometri tidak tersedia dapat digunakan PEF (Peak Expiratory Flow).

Uji bronkodilator; menggunakan spirometri atau PEF. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi 8 isap,
15-20 menit dilihat perubahan FEV 1 atau PEF. Perubahan FEV1 atau PEF < 20% atau 200 ml
menunjukan obstruksi saluran nafas tidak reversibel.uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil. Uji
bronkodilator reversibilitas umumnya dikerjakan satu kali waktu diagnosis.

Darah rutin yang meliputi hemoglobin, hematokrit, dan leukosit.

Foto thoraks posisi PA dan lateral. Pada PPOK ringan foto thoraks normal. Bila lanjut pada emfisema
akan dijumpai: diafragma datar, volume paru tambah besar, bayangan jantung ramping (tear drops),
ruang retrosternal melebar, dan bronkovaskuler patern meningkat (pada bronkitis kronis)

Pemeriksaan penunjang khusus:

Faal paru: RV meningkat, FRC meningkat, TLC meningkat, DLCo menurun, dan variabilitas harian PEF
< 20%

Uji latih kardio pulmonal: sepeda statis dan treadmil

Uji provokasi bronkus, untuk menilai derajat hiperreaktivitas bronkus. Sebagian kecil penderita PPOK
dijumpai hipereaktivitas bronkus

Tes kortikosteroid, untuk menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral; yaitu: FEV 1
meningkat > 20% dan minimal 250 ml post bronkodilator

Analisa gas darah; untuk menilai gagal nafas

Radiologi: HR CT scan dada

EKG

Pemeriksaan mikrobiologi

Pemeriksaan kadar alfa 1 antitripsin

Diagnosis banding

Asma bronkiale

Gagal jantung kronis

Penyakit paru dengan obstruksi saluran nafas lain seperti bronkiektasis

Penatalaksanaan
Tujuan

Mengurangi gejala

Mencegah eksaserbasi berulang

Menperbaiki dan mencegah penurunan faal paru

Meningkatkan kwalitas hidup

Modalitas terapi terdiri :

Edukasi

Obat-obatan

Oksigen

Ventlasi mekanik

Nutrisi

Rehabilitasi

Penatalaksanaan PPOK Stabil


Secara umum Karakteristiknya : intensitasnya terapi ditingkatkan berdasarkan berat penyakit
1.

Edukasi
Tidak memperbaiki exercise performance atau faal paru tetapi dapat :

2.

Memperbaiki skill, kemampuan untuk menanggulangi penyakitnya dan status kesehatan

Efektif untuk mencapai tujuan khusus seperti berhenti merokok


Obat-obatan

Tidak ada obat-obatan untuk PPOK yang telah terbukti mampu merubah penurunan faal paru jangka
panjang. Jadi obat-obatan digunakan untuk mengurangi keluhan dan atau kompikasi.
Terdiri dari :
a. Bronkodilator agonis beta 2

: salbutamol,terbutalin, fenoterol

Antikolinergis : patropium bromide


Derivat santin : aminofilin, teofilin
Terapi inhalasi lebih dianjurkan
Pemilihan antara agonis beta 2, antikolinergik dan santin atau terapi kombinasi tergantung dari
obat yang tersedia dan respon individu terhadap terapi dan ESO ( efek samping obat).
Diberikan kalau perlu atau kontinyu untuk mencegah atau mengurangi gejala
Obat kombinaso dapat meningkatkan efikasi dan menurunkan resio ESO di banding peningkatan
dosis obat tunggal.
b. Kortikosteroid
Terapi rutin kortikosteroid inhalasi hanya diberikan :
Bila terbukti responnya yang diukur dengan faal paru atau
PPOK dengan FEV1<50 % prediksi
Atau eksaserbasi berulang yang memerlukan antibiotika atau kortikosteroid berulang.
Dose-response relationship dan keamanan jangka panjang kortikosterod untuk PPOK tidak
diketahui.
Kortikosteroid oral jangka panjang tidak dianjurkan.

c. Mukolitik
Pada beberapa pasien dengan sputum yang kental mukolitik bermanfaat, namun secara keseluruhan
manfaatnya kecil. Oleh seba itu sampai saat ini penggunaan secar luas tidak dianjurkan
d. Antioksidan N Asetil sistein
Telah menunjukan manfaatnya menurunkan frekwensi dan beratnya eksaserbasi dan mempunyai
peran dalam terapi ada penderita dengan eksaserasi berulang. Perlu penilaian lebih lanjut sebelum
direkomendasikan untuk digunakan secara rutin.
3.

Oksigen
Oksigen jangka panjang (>15 jam/hari) pada PPOK dengan gagal nafas kronis terbukti dapat
meningkatkan survival
Indikasi : Pa02< 55 mmHg (7,3 kPA) atau SaO2 88 % dengan atau tanpa hiperkapni atau
Pa02 antara 55 mmHg (7,3 kPA) dan 60 mmHg (8,0 kPA) atau S aO2 89 % tetapi ada hipertensi
pulmonal. Udem perifer yang dicurigai karena congestive heart failure atau polisitemia
( Hct > 55 % )

4.

Ventilator
Sampai saat ini belum ada data yang membuktikan bahwa ventilator punya peranan pada

penatalaksanaan rutin PPOK stabil


5.

Rehabilitasi medik
Dengan reha medik semua pasien menunjukan manfaat dari exercise training progam. Ada perbaikan

exercise tolerance dan keluhan sesak nafas dan capek.


Rehab paru komprehensif terdiri atas : - exercise training

6.

Konsultasi nutrisi

Edukasi

Operasi

Bulektomi
Pada pasien-pasien tertentu tindakan operasi ini efektif menurunkan sesak nafas dan memperbaiki
faal paru.

Transplantasi paru
Pada PPOK stadium lanjut yang terseleksi dengan tepat, transplantasi terbukti memperbiki
kwalitas hidup dan kapasitas fungsional.

BRONKITIS KRONIK
Penyakit dan gangguan saluran napas masih merupakan masalah terbesar di Indonesia pada saat ini.
Angka kesakitan dan kematian akibat penyakit saluran napas dan paru seperti infeksi saluran napas akut,
tuberkulosis asma dan bronkitis masih menduduki peringkat tertinggi. Infeksi merupakan penyebab yang
tersering.
Kemajuan dalam bidang diagnostik dan pengobatan menyebabkan turunnya insidens penyakit
saluran napas akibat infeksi. Di lain pihak kemajuan dalam bidang industri dan transportasi menimbulkan

masalah baru dalam bidang kesehatan yaitu polusi udara. Bertambahnya umur rata-rata penduduk,
banyaknya jumlah penduduk yang merokok serta adanya polusi udara meningkatkan jumlah penderita
bronkitis kronik.
Bronkitis kronik termasuk kelompok penrakit paru obstruktif kronik (PPOK). Di negara maju
penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang besar, karena bertambahnya jumlah penderita dari tahun ke
tahun. Pada tahun 1976 di Amerika Serikat ditemukan 1,5 juta kasus baru, dan pada tahun 1977 kematian
yang disebabkan oleh PPOK berjumlah 45.000 orang. Penyakit ini merupakan penyebab kematian urutan ke
lima.
Penyakit paru obstruktif kronik ialah penyakit saluran napas yang bersifat ireversibel dan progresif.
Bila penyakit telah terjadi, maka akan berlangsung seumur hidup dan memburuk dari waktu ke waktu.
Perburukan akan lebih cepat terjadi bila timbul fase-fase eksaserbasi akut. Usaha untuk menegakkan
diagnosis lebih dini, pencegahan eksaserbasi akut, serta penatalaksanaan yang baik akan bermanfaat
memperlambat perjalanan penyakit sehingga penderita dapat hidup lebih baik.
Definisi
Penyakit ini mempunyai berbagai definisi tergantung dari penulis yang mengemukakannya.
Brinkman mendefinisikan penyakit ini sebagai suatu gangguan batuk berdahak yang terjadi tiap hari selama
paling kurang enam bulan dan jumlah dahak minimal satu sendok teh. Definisi yang banyak dipakai adalah
definisi dari American Thoracic Society, yaitu penyakit dengan gangguan batuk kronik dengan dahak yang
banyak terjadi hampir tiap hari minimal tiga bulan dalam setahun selama dua tahun berturut-turut. Produksi
dahak yang berlebihan ini tidak disebabkan oleh penyakit tuberkulosis atau bronkiektasis. Penyakit bronkitis
kronik sering terdapat bersama-sama emfisema dan dikenal dengan nama bronkitis emfisema.
Bronchitis kronik dapat dibagi atas:
1) Simple chronic bronchitis: bila sputum bersifat mukoid.
2) Chronic atau recurrent mucopurulent bronchitis: bila sputum bersifat mukopurulen.
3) Chronic obstructive bronchitis: bila disertai obstruksi saluran napas yang timbul apabila terpajan zat
iritan atau ada infeksi saluran napas akut.
Epidemiologi
Bronchitis kronik lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena penyebab utamanya sampai saat ini adalah merokok, dan laki-laki lebih banyak yang
merokok dibandingkan dengan wanita. Di Indonesia jumlah perokok menurut Survei Kesehatan Rumah
Tangga 1996 adalah 53% laki-laki dan 4% wanita.
Saat ini diperkirakan 20% laki-laki dewasa menderita bronchitis kronik, dan pada wanita dewasa
lebih sedikit. Namun karena wanita yang merokok terus meningkat maka angka bronchitis kronik pada
wanita akan meningkat pula.
Patogenesis

Asap rokok, debu di tempat kerja dan polusi udara merupakan bahan-bahan iritan dan oksidan yang
menyebabkan terjadinya bronkitis kronik. Dari semua ini, asap rokok merupakan penyebab yang paling
penting. Tidak semua orang yang terpapar zat ini menderita bronkitis kronik, hal ini dipengaruhi oleh status
imunologik dan kepekaan yang bersifat familial. Hipereaktivitas bronkus memang ditemukan pada sebagian
penderita PPOK, dan persentasenya bervariasi.
Di dalam asap rokok terdapat campuran zat yang berbentuk gas dan partikel. Setiap hembusan asap
rokok mengandung 10 radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH -). Sebagian bebas radikal bebas ini akan
sampai ke alveolus. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru. Kerusakan parenkim paru oleh
oksidan ini terjadi karena:
1) Kerusakan dinding alveolus.
2) Modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas.
Antielastase seharusnya menghambat netrofil, oksidan menyebabkan fungsi ini terganggu sehingga
timbul kerusakan jaringan interstitial alveolus.
Partikulat yang terdapat dalam asap rokok dan udara yang terpolusi mempunyai dampak yang besar
terhadap pembersihan oleh sistem mukosilier. Sebagian besar partikulat tersebut mengendap di lapisan
mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga mengharnbat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang
melapisi mukosa bronkus akan sangat berkurang, mengakibatkan meningkatnya iritasi pada epitel mukosa
bronkus. Kelenjar mukosa dan sel goblet dirangsang untuk menghasilkan mukus yang lebih banyak, hal ini
ditambah dengan gangguan aktivasi silia menyebabkan timbulnya batuk kronik dan ekspektorasi. Produksi
mukus yang berlebihan memudahkan terjadinya infeksi dan memperlambat proses penyembuhan. Keadaan
ini merupakan suatu lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi. Di samping itu terjadi penebalan dinding
saluran napas sehingga dapat timbul mucous plug yang menyumbat jalan napas, tetapi sumbatan ini masih
bersifat reversibel.
Bila iritasi dan oksidasi di saluran napas terus berlangsung maka terjadi erosi epitel serta
pembentukan jaringan parut. Di samping itu terjadi pula metaplasia skuamosa dan penebalan lapisan
submukosa. Keadaan ini mengakibatkan stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat ireversible.
Skema Patogenesis Bronkitis Kronik
Iritasi bronkus (asap rokok,
polusi)
Paralisis silia

Bronkospasme

Hipertrofi, hiperplasi
kelenjar mukus

Statis mukus

Obstruksi saluran
napas yang
reversible

Produksi mucus
bertambah

Infeksi kuman
(sekunder)
Erosi epitel, pembentukan jaringan parut, metaplasi
skuamosa serta penebalan lapisan skuamosa

Obstruksi saluran napas yang


ireversible
Pada orang dewasa normal dengan bertambahnya umur akan terjadi penurunan faal paru, yaitu
volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) sebanyak rata-rata 28 ml per tahun. Pada penderita PPOK
penurunan ini lebih besar yaitu antara 5080 ml setiap tahun. Perburukan fungsi paru akan cepat terjadi bila
timbul fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai faktor dapat memperburuk perjalanan penyakit. Faktor itu
adalah:
1) Faktor risiko, yaitu faktor yang dapat menimbulkan serta memperburuk penyakit seperti merokok, polusi
udara, polusi lingkungan, infeksi dan perubahan cuaca.
2) Derajat obstruksi saluran napas yang terjadi dan identifikasi komponen yang memungkinkan terdapatnya
reversibilitas.
3) Tahap perjalanan penyakit.
4) Penyakit lain yang memudahkan timbulnya infeksi saluran napas bawah seperti sinusitis dan faringitis
kronik.
5) Keteraturan penderita berobat.
Patologi
Kelainan utama pada bronkus yaitu hipertrofi dan hyperplasia kelenjar mucus bronkus. Terjadi
sekresi mucus yang berlebihan dan lebih kental. Secara histologist dapat dibuktikan dengan membandingkan
tebalnya kelenjar mucus dan dinding bronkus (indeks Reid).
Selain itu terdapat juga peradangan difus, penambahan sel mononuclear di submukosa
trakeobronkial, metaplasia epitel bronkus dan silia berkurang. Pada pasien yang sering mengalami
bronkospasme otot polos saluran napas bertambah dan timbul fibrosis peribronkial. Yang penting juga adalah
perubahan pada saluran napas kecil (small airways) yaitu hyperplasia sel goblet, sel radang di mukosa dan
submukosa, edema fibrosis peribronkial, penyumbatan mucus intraluminal dan penambahan otot polos.
Manifestasi Klinis
Bronchitis kronik merupakan penyakit menahun, yang mana terjadi sedikit demi sedikit selama
bertahun-tahun. Biasanya mulai pada seorang pasien perokok berumur 15-25 tahun. Pada umur 25-35 tahun
kemampuan kerja beratnya mulai menurun dan mulai timbul perubahan pada saluran napas kecil serta fungsi
paru juga mulai berubah antara lain berupa kenaikan closing volume. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang
produktif dan VEP1 (volume ekspirasi paksa selama 1 detik) atau FEV1 (forced expiratory volume 1 second)
menurun. Sesak napas, hipoksemia dan perubahan spirometri sudah terjadi pada umur 45-55 tahun. Pasien
sering sering mendapat infeksi saluran napas bagian atas berulang-ulang sehingga sering atau sama sekali
tidak dapat bekerja. Pada umur 55-65 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan
napas dan meninggal dunia.

Diagnosis
1) Anamnesis
Keluhan utama pada bronchitis kronik adalah batuk berdahak dan sesak. Menurut Burrows dkk
75% bronchitis kronik dimulai dengan batuk, 22% dimulai dengan sesak.
Pasien dengan bronchitis kronik dominan mempunyai riwayat batuk-batuk dengan sputum
produktif yang sering dikatakannya karena merokok. Pasien sendiri tidak menganggap sebagai keluhan,
kecuali bila kita tanya langsung. Makin lama batuk makin sering, berlangsung lama dan makin berat,
timbul siang maupun malam, sehingga pasien terganggu tidurnya. Bila timbul infeksi saluran napas,
batuk-batuk bertambah hebat dan berkurang bila infeksi teratasi.
2) Pemeriksaan fisik
Pada stadium dini tidak ditemukan kelainan fisis. Hanya kadang terdengar ronki pada waktu
ekspirasi dalam. Bila sudah ada keluhan sesak, akan terdengar ronki pada saat ekspirasi maupun
inspirasi, kadang disertai bising mengi. Selain itu, didapatkan juga tanda overinflasi paru seperti barrel
chest, kifosis, diameter anteroposterior dada bertambah, jarak tulang rawan krikotiroid dengan lekukan
supra sterna kurang dari 3 jari, iga lebih horizontal dan sudut subcostal bertambah.
Pada perkusi terdengar hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih ke bawah,
pekak jantung berkurang, suara napas dan suara jantung lemah. Bila sudah ada kenaikan tekanan
pulmonal, suara jantung kedua akan lebih keras, terutama di ruang interkostal dua dan tiga sebelah kiri.
Pasien dengan bronchitis kronik, pada stdium lanjut biasanya terlihat gemuk dan sianosis. Sesak
tidak begitu berat dan otot-otot pernapasan tambahannya pun tidak digunakan. Sering disertai tanda
payah jantung kanan. PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau naik. Penurunan PaO2 menstimulasi
eritropoesis dan vasokonstriksi pembuluh darah paru, sehingga kor-pulmonalnya bertambah berat.
3) Pemeriksaan penunjang
-

Pemeriksaan radiologis
Menurut Fraser dan Pare > 50% pasien bronchitis kronik mempunyai foto dada yang normal.
Tetapi secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a. Tubular shadows atau tram lines tarlihat bayangan garis-garis yang parallel, keluar dari hilus
menuju apex paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus yang menebal.
b. Corak paru bertambah.

Pemeriksaan faal paru


Terdapat VEP1 dan KV menurun, VR yang bertambah dan KTP yang normal.

Analisis gas darah


Pasien bronchitis kronik tidak dapat mempertahankan ventilasi dengan baik, sehingga
PaCO2 naik, saturasi Hb menurun dan timbul sianosis. Terjadi juga vasokonstriksi pembuluh darah
paru dan penambahan eritropoesis.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan umum pada bronkitis kronik bertujuan memperbaiki kondisi tubuh penderita,
mencegah perburukan penyakit, menghindari faktor risiko dan mengenali sifat penyakit secara lebih baik.
Termasuk dalam penatalaksanaan umum ini adalah pendidikan buat penderita untuk mengenal penyakitnya
lebih baik, menghindari polusi, menghentikan kebiasaan merokok, menghindari infeksi saluran napas, hidup
dalam lingkungan yang lebih sehat, makanan cukup gizi dan mencukupi kebutuhan cairan.
Penatalaksanaan khusus dilakukan untuk mengatasi gejala dan komplikasi. Tindakan ini berupa
pemberian obat-obatan, terapi respirasi dan rehabilitasi.
Bronkodilator merupakan obat utama pada bronkitis kronik. Obat ini tidak saja diberikan pada
keadaan eksaserbasi akut tetapi juga untuk memperbaiki obstruksi yang terjadi. Adanya respons sesudah
pemberian bronkodilator merupakan petunjuk penggunaan bronkodilator. Pemberian bronkodilator
hendaklah selalu dicoba pada penderita bronkitis kronik. Obat yang diberikan adalah golongan antikolinergik
agonis beta-2 dan golongan xanthin.
Golongan antikolinergik merupakan pilihan pertama, obat ini diberikan secara inhalasi yaitu preparat
ipratropium bromid. Obat ini mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan golongan agonis beta-2, yaitu efek bronkodilatornya lebih besar, tidak menimbulkan fenomena takifilaksis,
tidak mempunyai efek samping tremor dan palpitasi, tidak mempengaruhi sistem pembersihan mukosilier,
masa kerjanya cukup lama yaitu 68 jam dan theurapetic margin of safety nya cukup panjang oleh karena obat
ini tidak diabsorpsi.
Obat golongan agonis beta-2 yang diberikan secara oral bisa menimbulkan efek samping tremor,
palpitasi dan sakit kepala. Pemberian obat secara inhalasi mengurangi efek samping ini, selain itu dapat
memobilisasi pengeluaran dahak. Obat ini bekerja dengan mengaktifkan adenilsiklase dengan akibat
meningkatnya produksi siklik AMP dan menimbulkan relaksasi
otot polos saluran napas.
Golongan xanthin merupakan bronkodilator paling lemah, bekerja dengan menghambat aksi enzim
fosfodiesterase, yaitu enzim yang menginaktifkan siklik AMP. Selain sebagai bronkodilator, obat ini
mempunyai efek yang kuat dan berlangsung lama dalam meningkatkan daya kontraksi otot diafragma dan
daya tahan terhadap kelelahan otot pada penderita PPOK.
Bronkodilator hendaklah diberikan dalam bentuic kombinasi, tiga macam obat lebih baik dari dua
macam obat, oleh karena mereka mempunyai efk sinergis. Pemberian secara kombinasi memberikan efek
yang optimal dengan dosis yang lebih rendah dibandingkan pemberian monoterapi, selain itu dosis yang
rendah memberikan efek samping yang minimal.
Bila terjadi perubahan warna sputum dengan peningkatan jumlah dahak dan pertambahan sesak
napas, diberikan antibiotika. Pada keadaan demikian antibiotika diberikan walaupun tidak ada demam,
leukositosis dan infiltrat yang baru pada foto toraks. Diberikan antibiotika golongan ampisilin, eritromisin

atau kotrimoksasol selama 710 hari. Bila pemberian antibiotika tidak memberi perbaikan perlu dilakukan
pemeriksaan mikroorganisme. Bila infeksi terjadi selama perawatan di rumah sakit diberikan antibiotika
untuk gram negatif.
Pada keadaan dekompensasi kordis diberikan digitalis. Pemberian dilakukan secara hati-hati, oleh
karena intoksikasi dapat terjadi pada keadaan hipoksemi. Diuretik diberikan apabila terdapat edema paru.
Pemberian kortikosteroid secara oral manfaatnya masih diperdebatkan. Pada penderita dengan
hipereaktivitas bronkus pemberian steroid secara inhalasi menunjukkan perbaikan gejala dan fungsi paru.
Pemberian steroid inhalasi jangka lama memperlambat progresivitas penyakit. Pada serangan akut pemberian
steroid jangka pendek mempunyai manfaat. Diberikan prednison 60 mg selama 47 hari, kemudian diturunkan
secara bertahap selama 710 hari. Pemberian dosis tinggi kurang dari 7 hari dapat dihentikan tanpa
menurunkan dosis secara bertahap.
Pemberian oksigen pada penderita PPOK yang mengalami hipoksemi kronik dapat menghilangkan
beberapa gejala akibat hipoksemi. Pada eksaserbasi akut dengan hipoksemi sebagai gambaran yang
karakteristik, pemberian oksigen merupakan keharusan. Pada keadaan hipoksemi (PaQ 2 < 55 mmHg)
pemberian oksigen konsentrasi rendah 13 liter/menit secara terus menerus memberikan perbaikan psikis,
koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur.
Terdapatnya gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala merupakan petunjuk dibutuhkannya oksigen
pada waktu malam. Pada penderita hipoksemi dan retensi CO 2, pemberian oksigen konsentrasi tinggi dapat
berbahaya, karena pada penderita ini rangsangan terhadap pusat pernapasan yang terjadi tidak lagi
disebabkan oleh peninggian CO2 di dalam darah tetapi karena adanya hipoksemi. Pemberian oksigen tinggi
dapat menghilang-kan hipoksemi ini, sehingga rangsangan terhadap pusat napas menurun dan akibatnya
terjadi hipoventilasi dan diikuti oleh asidosis respiratorik.
Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan. Fisioterapi
dilakukan untuk mobilisasi dahak, latihan bernapas menggunakan otot-otot dinding perut sehingga
didapatkan kerja napas yang efektif. Latihan relaksasi berguna untuk menghilangkan rasa takut dan cemas
dan mengurangi kerja otot yang tidak perlu. Rehabilitasi psikis perlu untuk menghilangkan rasa cemas dan
takut. Pemakaian obat-obat penenang tidak dianjurkan karena dapat menekan pusat napas.
Rehabilitasi pekerjaan dilakukan agar penderita dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan
kemampuannya. Program rehabilitasi bertujuan mengembalikan penderita pada tingkat
yang paling optimal secara fisik dan psikis. Tindakan ini secara subjektif bermanfaat buat penderita dan
dapat mengurangi hari perawatan di rumah sakit serta biaya perawatan dan pengobatan, tetapi tidak
mempengaruhi fungsi paru dan analisis gas darah.
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk memperlambat perjalanan penyakit adalah :
Menghentikan kebiasaan merokok.
Menghindari polusi udara dan kerja di tempat yang mempunyai risiko terjadinya iritasi saluran napas.
Menghindari infeksi dan mengobati infeksi sedini mungkin agar tidak terjadi eksaserbasi akut.
Menegakkan diagnosis secara dini agar kelainan paru yang masih reversibel dapat dideteksi sehingga
usaha-usaha untuk menghindari penyakit berlanjut menjadi kelainan yang ireversibel dapat dilakukan.

Melakukan pengobatan dan kontrol secara teratur agar dapat diberikan obat-obat yang tepat sehingga
didapatkan keadaan yang optimal.
Evaluasi faal paru secara berkala. Pemeriksaan faal paru pada PPOK selain berguna sebagai penunjang
diagnostik juga bermanfaat untuk melihat laju penyakit serta meramalkan
prognosis penderita
.
Peranan N-Asetilsistein pada bronchitis kronik
Oksidan yaitu zat yang terdapat pada asap rokok dan udara yang terpolusi mempunyai andil untuk
terjadinya bronkitis kronik.
Anti oksidan melindungi dan mempertahankan paru dari radikal-radikal anion superoksid, hidrogen
peroksid, radikal hidroksil dan anion hipohalida yang diproduksi oleh sel radang. Anti oksidan dapat
mengubah oksidan menjadi molekul yang tidak berbahaya terhadap jaringan paru dan menekan efek radikal
bebas dari asap rokok.
N-asetilsistein merupakan suatu antioksidan, yaitu sumber glutation. Pemberian N-asetilsistein pada
perokok dapat mencegah kerusakan parenkim paru oleh efek oksidan yang terdapat dalam asap rokok. Di
samping sebagai anti oksidan, obat ini bersifat mukolitik yaitu mengencerkan sekret bronkus sehingga
mudah dikeluarkan.
Pemberian N-asetilsistein selama enam bulan pada penderita bronkitis kronik memberikan perbaikan
dalam hal jumlah sputum, purulensi sputum, banyaknya eksaserbasi dan lamanya hari sakit secara bermakna.

EMFISEMA
DEFINISI
Adalah suatu kelainan anatomik paru yang ditandai oleh pelebaran secara abnormal saluran nafas bagian
distal bronkus terminlais, disertai dengan kerusakan dinding alveolus yang irreversibel.
Istilah emfisema berarti adanya jumlah udara yang berlebihan di dalam paru. Emfisema ditandai dengan
pembesaran permanen rongga udara yang terletak distal dari bronkiolus terminal disertai destruksi dinding
rongga tersebut. Terdapat beberapa penyakit dengan pembesaran rongga udara yang tidak disertai destruksi,
hal ini lebih tepat disebut overinflation. Sebagai contoh, peregangan rongga udara di paru kontraklateral
setelah pnumoktomi unilaterel adalah overinflation kompensatorik bukan emfisema.
Emfisema terkadang sering disalahartikan dengan bronkitis kronik. Sehingga sejak awal perlu ditekankan
bahwa emfisema adalag defenisis morfologik, sedangkan definisi bronkitis kronik merupakan gambaran
klinis. Selain itu pola distribusi anatomi juga berbeda. Bronkitis kronis mengenai saluran nafas besar dan
kecil sebaliknya, emfisema terbatas di asinus, struktur yang terletak distal pada bronkiolus terminal.
Berdasarkan tempat terjadinya proses kerusakan, emfisema dapat dibagi menjadi 3:
1. Sentri-asinar (sentrilobular/CLE)

Pelebaran dan kerusakan terjadi pada bagian bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan daerah
sekitar asinus.
2. Pan-asinar (panlobular)
Kerusakan terjadi merata di seluruh asinus. Merupakan bentuk yang jarang, gambaran khasnya
adalah tersebar merata di seluruh paru-paru, meskipun bagian-bagian basal cenderung terserang
lebih parah. Tipe ini sering timbul pada orang dengan defisiensi alfa-1 anti tripsin.
3. Iregular
Kerusakan pada parenkim paru tanpa menimbulkan kerusakan pada asinus.
Emfisema dapat bersifat kompensatorik atau obtruktif.
-

Emfisema kompensatorik : terjadi di bagian paru yang masih berfungsi, karena ada bagian paru lain
yang tidak atau kurang berfungsi, misalnya karena pneumonia, atelektasis, pneumothoraks.

Emfisema obstruktif : terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus yang tidak
menyeluruh, hingga terjadi mekanisme ventil.

Etiologi
Etiologi emfisema menurut Corwin.2000.hal 435 dan Ganong. 2002 . hal 663 ; Bruner dan Suddarth.
2001. hal 602) adalah : merokok. Emfisema adalah penyakit yang umum. Tetapi insidensipastinya sulit
diperkirakan karena diagnosis pasti, yang didasarkan pada morfologi, hanya dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan paru saat autopsy. Secara umum disepakati bahwa emfisema terdapat pada 50% orang
dewasa yang diautopsi. Emfisema jauh lebih sering ditemukan dan lebih parah pada laki laki. Terdapat
keterkaitan yang jelas antara merokok dalam jumlah besar dengan emfisema. Meskipun emfisema tidak
menyebabkan disabilitas sampai usia sekitar lima puluh hingga delapan puluh tahun, deficit ventilasi
sudah dapat bermanifestasi klinik beberapa decade sebelumnya.
Epidemiologi
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survei Kesehatan Rumat
Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab
kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT DepKes RI menunjukkan angka kematian
karena asma, bronkitis kronis dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering
kematian di Indonesia. Penyakit bronchitis kronik dan emfisema di Indonesia meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah orang yang menghisap rokok, dan pesatnya kemajuan industri.
Di negara-negara barat, ilmu pengetahuan dan industri telah maju dengan mencolok tetapi telah pula
menimbulkan pencemaraan lingkungan dan polusi. Ditambah lagi dengan masalah merokok yang dapat
menyebabkan penyakit bronkitis kronik dan emfisema. Di Amerika Serikat kurang lebih 2 juta orang
menderita emfisema.Emfisema menduduki peringkat ke-9 diantara penyakit kronis yang dapat
menimbulkan gangguan aktifitas. Emfisema terdapat pada 65 % laki-laki dan 15 % wanita. Data
epidemiologis di Indonesia sangat kurang. Nawas dkk melakukan penelitian di poliklinik paru RS

Persahabatan Jakarta dan mendapatkan prevalensi PPOK sebanyak 26 %, kedua terbanyak setelah
tuberkulosis paru (65 %). Di Indonesia belum ada data mengenai emfisema paru.

PATOGENESIS
Pendapat yang berlaku saat ini mengenai emfisema adalah itu terjadi akibat ketidakseimbangan
penting-yakni ketidakseimbangan protease-antiprotease dan oksidan-antioksidan. Ketidakseimbangan ini
hampir selalu terjadi bersamaan. Emfisema dipandang sebagai akibat efek destruktif peningkatan aktivitas
protease pada orang dengan aktivitas antitrypsin yang rendah. Hipotesis ini didukung oleh penelitian pada
hewan percobaan yang mengalami degradasi elastin yang disertai dengan timbulnya emfisema.
Hipotesis ketidakseimbangan protease-antiprotease juga membantu menjelaskan efek merokok
dalam terjadinya emfisema. Secara singkat, tumbukan partikel asap, terutama di percabangan bronkiolus
respiratorik, mungkin menyebabkan influx neutrofildan makrofag; kedua sel tersebut mengeluarkan berbagai
protease. Peningkatan aktivitas protease yang terltak di region sentriasinar menyebabkan terbentuknya
emfisema pola sentriasinar. Kerusakan jaringan diperhebat oleh inaktivasi antiprotease oleh oksigen reaktif
yang terdapat dalam asap rokok
Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya emfisema paru yaitu rokok, polusi, infeksi, faktor genetik,
obstruksi jalan nafas.
1. Rokok.
Secara patologis dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas, menghambat
fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mukus bronkus. Gangguan
pada silia, fungsi makrofag alveolar mempermudah terjadinya peradangan pada bronkus dan
bronkiolus, serta infeksi pada paru-paru. Peradangan bronkus dan bronkiolus akan mengakibatkan
obstruksi jalan nafas, dinding bronkiolus melemah dan alveoli pecah. Di samping itu, merokok akan
merangsang leukosit polimorfonuklear melepaskan enzim protease (proteolitik) dan menginaktivasi
antiprotease (alfa-1 anti tripsin), sehingga terjadi ketidakseimbangan antara aktifitas keduanya.
2. Polusi.
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan terjadinya emfisema. Insidiensi dan angka
kematian emfisema dapat lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi. Polusi udara seperti
halnya asap tembakau juga menyebabkn gangguan pada silia, mennghambat fungsi makrofag
alveolar.
3. Infeksi.
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih berat. Penyakit infeksi saluran nafas
seperti pneumonia, bronkiolitis akut, asma bronkial, dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang
pada akhirnya dapat meyebabkan terjadinya emfisema.
4. Faktor genetik.
Defisiensi alfa-1 anti tripsin. Cara yang tepat bagaimana defisiensi antitripsin dapat menimbulkan
emfisema masih belum jelas.

5. Obstruksi jalan nafas.


Emfisema terjadinya karena tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus, sehingga terjadinya
mekanisme ventil. Udara dapat masuk ke dalam alveolus pada waktu inspirasi akan tetapi tidak dapat
keluar pada waktu ekspirasi. Etiologinya ialah benda asing di dalam lumen dengan reaksi lokal,
tumor intrabronkial di mediastium, kongenital. Ada jenis yang terakhir, obstruksi dapat disebabkan
oleh defek tulang rawan bronkus.
Pendapat yang berlaku saat ini mengenai emfisema adalah itu terjadi akibat ketidakseimbangan penting
yakni ketidakseimbangan protease-antiprotease dan oksidan-antioksidan. Ketidakseimbangan ini hampir
selalu terjadi bersamaan. Emfisema dipandang sebagai akibat efek destruktif peningkatan aktifitas protease
pada orang dengan aktifitas antitripsin yang rendah. Hipotesis ini didukung oleh penelitian pada hewan
percobaan yang mengalami degradasi elastin yang disertai dengan timbulnya emfisema.
Hipotesis ketidakseimbangan protease-antiprotease juga membantu menjelaskan efek merokok dalam
terjadinya emfisema. Secara singkat, tumbukan partikel asap, terutama di percabangan bronkiolus
respiratorik, mungkin menyebabkan influx neutrofildan makrofag, kedua sel tersebut mengeluarkan berbagai
protease. Peningkatan aktivitas protease yang terletak di region sentriasinar menyebabkan terbentuknya
emfisema pola sentrasinar. Kerusakan jaringan diperhebat oleh inaktivasi antiprotease oleh oksigen reaktif
yang terdapat dalam asap rokok.
Perjalanan penyakit.
Dispnea biasanya adalah gejala pertama, gejala ini muncul secara perlahan tapi progesif. Keluhan awal pada
pasien yang sudah mengidap asma atau bronkitis adalah batuk dan mengi. Berat badan pasien turun. Uji
fungsi paru memperlihatkan penurunan FEV1 dengan FVC normal atau mendekati normal. Oleh karena itu
rasio FEV1 terhadap FVC menurun. Gambaran klasik pada pasien tanpa bronkitis adalah dada berbentuk
tong dan dispnea, dengan ekspirasi yang jelas memanjang dan pasien duduk maju dalam posisi membungkuk
kedepan, berupaya memeras udara keluar dari paru. Pada pasien dengan oksigenasi yang masih adekuat,
terjadi fenomena pink puffers, yakni kulit pasien bewarna kemerahan. Di ekstrem lain, pasien yang
mengalami bronkitis kronis, biasanya tidak terlalu memperlihatkan gejala dispnea dan upaya bernafas dalam
bentuk hiperventilasi sehingga CO2 mengalami retensi dan jumlah O2 yang masuk ke dalam ikut berkurang.
Akibatnya mereka mengalami sianosis. Biasanya gambaran klinis untuk pasien tipe ini blue bloaters.
PATOFISOLOGI
Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai perobekan alveolus-alveolus yang tidak dapat
pulih, dapat bersifat menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai sebagian atau seluruh paru. Pengisian udara
berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstruksi sebagian yang mengenai suatu bronkus atau
bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi lebih sukar dari pada pemasukannya.
Dalam keadaan demikian terjadi penimbunan udara yang bertambah di sebelah distal dari alveolus.
Pada emfisema obstruksi kongenital bagian paru paling sering terkena adalah belahan paru kiri atas. Hal ini
diperkirakan oleh mekanisme katup penghentian. Pada paru-paru sebelah kiri terdapat tulang rawan yang

terdapat di dalam bronkus-bronkus yang cacat sehingga mempunyai kemampuan penyesuaian diri yang
berlebihan. Selain tu dapat juga disebabkan stenosis bronkial serta penekanan dari luar akibat pembuluh
darah yang menyimpang.
Mekanisme katup penghentian : pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstruksi
sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus
menjadi lebih sukar dari pemasukannya. Penimbunan udara di alveolus menjadi bertambah di sebelah
bertambah di sebelah distal dari paru.
Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas terutama disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Pada
paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu disebabkan
tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam yaitu
elastisitas paru.
Bila terpapar iritasi yang mengandung radikal hidroksida (OH-). Sebagian besar partikel bebas ini akan
sampai di alveolus waktu menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru.
Parenkim paru yang rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya dinding alveolus dan timbulnya modifikasi
fungsi dari anti elastase paa saluran nafas. Sehingga timbul kerusakan jaringan interstitial alveolus. Partikel
asap rokok dan polusi udara mengenap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus. Sehingga
menghambat aktifitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang, sehingga iritasi pada epitel
mukosa meningkat. Hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini ditambah dengan gangguan
aktivitas silia. Bila oksidasi dan iritasi di saluran nafas terus berlangsung maka terjadi erosi epitel serta
pembentukan jaringan parut. Selain itu terjadi pula metaplasi squamosa dan pembentukan lapisan squamosa.
Hal ini menimbulkan stenosis dan obstruksi saluran yang bersifat irreversibel sehingga terjadi pelebaran
alveolus yang permanen disertai kerusakan dinding alveoli.
MANIFESTASI KLINIS
Menurut Corwin. 2000. hal 436 dan Ganong. 2002. hal 663 tanda dan gejala bronkhitis kronis antara
lain adalah sebagai berikut :
a. Dada mengembang atau barrel chest
b. Hipoksia hiperkapnia
c. Takipnea
d. Pembentukan mukus
Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit bertahun-tahun. Biasanya mulai
pada pasien perokok berumur 15-25 tahun. Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran
nafas kecil dan fungsi paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada umur 45-55 tahun terjadi
sesak nafas, hifoksemia dan perubahan spirometri. Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang
dapat menyebabkan kegagalan nafas dan meninggal.
DIAGNOSIS
1. Anamnesa :

Riwayat menghirup rokok

Riwayat terpajan zat kimia

Riwayat penyakit emfisema pada keluarga

Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi misalnya BBLR, infeksi saluran nafas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara.

Sesak nafas waktu aktifitas terjadi bertahap dan perlahan-lahan memburuk dalam beberapa
tahun.

Pada bayi terdapat kesulitan pernafasan berat tetapi kadang-kadang tidak terdiagnosa hingga
usia sekolah atau bahkan sesudahnya.

2. Pemeriksaan Fisik :

Inspeksi :
Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup)
Dada berbentuk barrel-chest
Sela iga melebar
Sternum menonjol
Retraksi intercostal saat inspirasi
Penggunaan otot bantu pernafasan

Palpasi : vokal fremitus melemah

Perkusi : hipersonor, hepar terdorong ke bawah, batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah.

Auskultasi :
Suara nafas vesikuler normal atau melemah
Terdapat ronki samar-samar
Wheezing terdengar pada waktu inspirasi maupun ekspirasi
Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh, bila terdapat hipertensi pulmonale akan terdengar
suara P2 mengeras pada LSB II-III

3. Pemeriksaan Penunjang :
a. Faal paru :

Spirometri (VEP, KVP)


Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP 1 < 80% KV menurun, KRF dan VR meningkat.
VEP, merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya dan
perjalanan penyakit.

Uji bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan
nilai VEP 1.

b. Darah rutin : Hb, Ht, Leukosit

c. Gambaran radiologis :
Pada emfisema terlihat gambaran : hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar,
diafragma mendatar, jantung mengantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop apperance)
d. Pemeriksaan Analisis Gas Darah : terdapat hipoksemia dan hipokalemia akibat kerusakan kapiler
alveoli.
e. Pemeriksaan EKG : untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai hipertensi
pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
f.

Pemeriksaan enzimatik : kadar alfa-1-antitripsin

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan emfisema secara umum meliputi:
1. Penatalaksanaan umum.
a. Pendidikan terhadap keluarga dan penderita.
Mereka harus mengetahui faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi serta faktor
yang bisa memperburuk penyakit. Ini perlu peranan aktif penderita

untuk usaha

pencegahan.
b. Menghindari rokok dan zat inhalasi.
Rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk perjalanan penyakit. Penderita
harus berhenti merokok. Di samping itu zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi harus dihindari,
karena zat itu menimbulkan ekserbasi/ memperburuk perjalanan penyakit.
c. Menghindari infeksi saluran nafas.
Infeksi saluran nafas sedapat mungkin dihindari oleh karena dapat menimbulkan suatu
eksaserbasi akut penyakit.
2. Pemberian obat-obatan.
a. Bronkodilator

Derivat Xantin.
Sejak dulu obat golongan teofilin sering digunakan pada emfisema paru. Obat ini
menghambat enzim fosfodiesterase sehingga cAMP yang bekerja sebagai bronkoldilator
dapat dipertahankan pada kadar yang tinggi ex: teofilin, aminofilin.

Gol Agonis.
Obat ini menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor beta berhubungan erat dengan adenil
siklase yaitu subtansi penting yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan
bronkodilatasi. Pemberian dalam bentuk aerosol lebih efektif. Obat yang tergolong beta2 agonis adalah : terbutalin, metaproterenol dan albuterol.

Antikolinergik.
Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor kolinergik sehingga menekan enzim
guanilsiklase. Kemudian pembentukan cAMP sehingga bronkospasme menjadi
terhambat ex : ipratropium bromida diberikan dalam bentuk inhalasi.

Kortikosteroid.
Manfaat kortikosteroid pada pengobatan obstruksi jalan nafas pada emfisema masih
diperdebatkan. Pada sejumlah penderita mungkin memberi perbaikan. Pengobatan
dihentikan bila tidak ada respon. Obat yang termasuk didalamnya adalah : dexametason,
prednison dan prednisolon.

Ekspectoran dan Mucolitik.


Usaha untuk mengeluarkan dan mengurangi mukus merupakan yang utama dan penting
pada pengelolaan emfisema paru. Ekspectoran dan mucolitik yang biasa dipakai adalah
bromheksin dan karboksi metil sistein diberikan pada keadaan eksasebasi. Asetil sistein
selain bersifat mukolitik juga mempunyai efek anti oksidans yang melindungi saluran
saluran nafas dari kerusakan yang disebabkan oleh oksidans.

Antibiotik.
Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi terutama pada keadaan
eksaserbasi. Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan semakin memburuk.
Penanganan infeksi yang cepat dan tepat sangat perlu dalam penatalaksanaan penyakit.
Pemberian antibiotik dapat mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi. Antibiotik yang
bermanfaat adalah golongan penisilin, eritromisin dan kotrimoksazol biasanya diberikan
selama 7-10 hari. Apabila antibiotik tidak memberikan perbaikan maka perlu dilakukan
pemeriksaan mikroorganisme.

3. Terapi oksigen
Pada penderita dengan hipoksemia yaitu PaO2 < 55 mmHg. Pemberian oksigen konsentrasi
rendah 1-3 liter/menit secara terus menerus memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot,
toleransi beban kerja.
4. Latihan fisik
Hal ini dianjurkan sebagai suatu cara peningkatan kapasitas latihan pada pasien yang sesak nafas
berat. Sedikit perbaikan dapat ditunjukan tetapi pengobatan jenis ini membutuhkan staf dan
waktu yang cocok untuk sebagian kecil pasien. Latihan pernafasan sendiri tidak menunjukan
manfaat.
Latihan fisik yang biasa dilakukan :

Secara perlahan memutar kepala ke kanan dan ke kiri

Memutar badan ke kiri dan kekanan diteruskan membungkuk ke depan lalu ke belakang

Memutar bahu ke depan dan kebelakang

Mengayun tangan ke depan dan kebelakang dan membungkuk

Gerakan tangan melingkar dan gerakan menekuk tangan

Latihan dilakukan 15-30 menit selama 4-7 hari perminggu

Dapat juga dilakukan olahraga ringan naik turun tangga

Walking- joging ringan.

5. Rehabilitasi
Rehabilitasi psikis berguna untuk menenangkan penderita yang cemas dan mempunyai rasa
tertekan akibat penyakitnya. Sedangkan rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk memotivasi
penderita melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan fisiknya. Misalnya bila istirahat
lebih baik duduk daripada berdiri atau dalam melakukan pekerjaan harus lambat tapi teratur.
6. Fisioterapi
Tujuan dari fisioterapi adalah :

Membantu mengeluarkan sputum dan meningkatkan efisiensi batuk

Mengatasi gangguan pernafasan pasien

Memperbaiki gangguan pengembangan thoraks

Meningkatkan kekuatan otot-otot pernafasan

Mengurangi spasme otot leher

Penerapan fisioterapi :

Postural drainase : salah satu teknik membersihkan jalan nafas akibat akumulasi sekresi
dengan cara penderita diatur dalam berbagai posisi untuk mengeluarkan sputum dengan
bantuan gaya gravitasi. Tujuannya untuk mengeluarkan sputum yang terkumpul dalam
lobus paru, mengatasi gangguan pernafasan dan meningkatkan efisiensi mekanisme
batuk.

Breathing exercise : dimulai dengan menarik nafas melalui hidung dengan mulut
tertutup kemudian menghembuskan nafas melalui bibir dengan mulut mencucu. Posisi
yang dapat digunakan adalah tidur terlentang dengan kedua lutut menekuk atau kaki
ditinggalkan, duduk di kursi atau di tempat tidur dan berdiri. Tujuannya untuk
memperbaiki ventilasi alveoli, menurunkan pekerjaan pernafasan, meningkatkan
efisiensi batuk, mengatur kecepatan pernafasan, mendapatkan relaksasi otot-otot dada
dan bahu dalam sikap normal dan memelihara pergerakan dada.

Latihan batuk : merupakan cara yang paling efektif untuk membersihkan laring, trakea,
bronkoli dari sekret dan benda asing.

Latihan relaksasi : secara indiviual penderita sering tampak cemas, takut karena sesak
nafas dan kemungkinan mati lemas. Dalam keadaan tersebut, maka latihan relaksasi
merupakan usaha yang paling penting dan sekaligus sebagai langkah pertolongan.
Metode yang biasa digunakan adalah Yacobson.

Contohnya :

Penderita di tempatkan dalam ruangan yang hangat, segar dan bersih, kemudian
penderita ditidurkan terlentang dengan kepala diberi bantal, lutut ditekuk dengan
memberi bantal sebagai penyangga

Prognosis

Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur dan gejala
klinis waktu berobat.

Penderita yang berumur kurang dari 50 tahun dengan :

Sesak ringan, 5 tahun kemudian akan terlihat ada perbaikan.

Sesak sedang, 5 tahun kemudian 42 % penderita akan sesak lebih berat dan meninggal.

ASMA BRONKIAL
Menurut United states National Tuberculosis Association 1967, asma bronchial merupakan
penyakit yang ditandai oleh tanggap reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus terhadap berbagai
macam rangsangan degan manifestasi berup kesukaran bernafas yang disebabkan oleh penyemitan yang
menyeluruh dari saluran nafas. Penyempitan saluan ini bersifat dinamis, dan derajat penyempitan dapat
berubah, baik secara spontn maupun karena pemberian obat, dan kelainan dasarnya berupa kelainan
imunologis. Namun untuk mencapai batasan yang sesuai dengan para hli dibidang klinik, fisiologi,
imunologi dan patologi pada bulan September 1991 dibuat suatu kesepakatan baru mengenai batasan
asma,yakni; asma bronchial adalah suatu penyakit paru dengan tanda-tanda khas berupa :
1. Obstruksi saluran pernfasan yang dapat pulih kembali ( namun tidak pulih kembali secara sempurna
pada beberapa penderita ) baik secara spontan atau dengan pengobatan
2. Keradangan saluran pernafasan
3. Peningkatan kepekaan dan/ atau tanggapan yang berlebihan dari saluran pernafasan terhadap
berbagai rangsangan.
Asma adalah gangguan inflamasi kronik yang melibatkan berbagai sel inflamasi dengan akibat
penyempitan saluran nafas yang bervariasi, ditandai dengan wheezing, sesak napas, rasa berat di dada, batuk
terutama pada malam atau pagi hari. Penyempitan dan gejala dapat bersifat reversible baik secara spontan.
Epidemiologi
Di Indonesia julah penderit asma belum dapat ditentukan dengan pasti karena elum ada data. Di
laboratorium Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/UPF Paru RSUD Dr. Soetomo
Surabaya menurut data 1991, jumlah penderita asma rawat jalan dan rawat inap menduduki tempat kedua
setelah penyakit infeksi tberkulosis paru.
Prevalensi berdasarkan jenis kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, perbandingan asma pada anak laki-laki dan wanita sebesar 1,5:1 dan
perbandingan ini cenderung menurun pada usia yang lebih tua. Pada orang dewasa serangan asma dimulai
pada umur lebih dari 35 tahun, wanita lebih banyak daripada pria.
Etiologi

1. Rangsangan alergi. Pada penderita asma alergi timbul dapat akibat menghirup allergen atau setelah
mengkonsumsi bahan alergik tersebut.
2. Rangsangan bahan toksik dan iritan. Kelompok ini meliputi asap rokok, polutan, pembuangan
pabrik, gasoline dan uap cat.
3. Infeksi. Pada umunya infeksi virus, jamur dan bakteri dapat memicu timbulnya serangan asma
namun dapat pula bertindak sebagai allergen. Sinusitis bacterial dan infeksi virus (common cold)
merupakan factor terjadinya serangan asma.
4. Obat. Banyak obat yang dikonsumsi menimbulkan serangan asma. Golongan terbanyak adalah
penisilin dan golongan vaksen. Penderita yang sensitive terhadap aspirin umumnya 20 menit setelah
konsumsi timbul serangan.
5. Penyebab lainnya. Factor fisik dan psikologis. Misalnya kelelahan, perubahan cuaca dan kesedihan.
Faktor Resiko
Resiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara factor host dengan factor lingkungan. Interaksi
factor denetik /penjamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :

Pajanan lingkungan hanya meningkatkan resiko asma pada individu genetic sama

Lingkungan maupun genetic masing-masing meningkatkan resiko penyakit asma.

Faktor pejamu
Asma adalah penyakit yang diturunkan. Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan
dengan ukuran subjectif (gejala) dan objectif (hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan atau
keduanya. Banyak gen yang terlibat dalam pathogenesis asma antara lain CD28, IGPB5, CCR4,
CD22, IL9R, reseptor beta agonis : dan gen yang telibat dalam menimbulkan asma dan atopi yaitu
IRF2,IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, IL-9, CSF2, GRL1, CD14, HLAD, TMOD, dan sebagainya.
Genetik mengontrol respons imun
Gen yang berlokasi pada kompleks HLA mempunyai cirri dalam memberikan respons imun
terhadap aeroallergen. Kompleks gen HLA berlokasi pada kromosom 6p dan terdiri atas gen kelas
I,II dan III dan lainnya seperti gen TNF-.
Genetic mengontrol sitokin proinflamasi
Kromosom 11,12,13 memiliki berbagai gen yang penting dalamm berkembangnya atopi dan
asma. Fenotip alergik dikaitkan dengan kromosom 11, kromosom 12 mengandung gen yang
mengkode IFN-, niast cell growth factor, insulin-like growth factor dan nictric oxide synthase. Studi
berkesinambungan menunjukkan ada ikatan postif antara petanda-petanda pada lokus 12q, asma dan
IgE, demikian pula kromosom 14 dan 19.
Interleukin-4 sangat penting dalam respons imun atopi, baik dalam menimbulkan diferensiasi sel
Th2 maupun merangsang produksi IgE pleh sel B. Gen IL-4 dan gen-gen lain yang mengatur
regulasi ekspresi IL-4 adalah gen yang berpredisposisi untuk terjadi asma dan atopi.

Faktor lingkungan
Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan adalah penyebab utama
asma, dengan perngertian factor lingkungan tersebut pada awalnya mensensitisasi jalan napas dan
memperthankan kondisi asma tetap aktif dengan mencetuskan serangan asma atau menyebabkan
menetapnya gejala.

Faktor pencetus
Penyempitan saluran nafas pad asa bronchial, bukanlah penyempitan yang diakibatkan oleh penyakit
infeksi yang menahun pada saluran nafas (seperti bronchitis menahun) ataupun penyempitan sebagai akibat
kerusakan dinding saluran nafas (missal pada bronkiektasis ataupun emfisema paru), namun karena reaksi
inflamasi yang didahului oleh factor pencetus.
Klasifkasi asma
Ditinjau dari segi imunologi, yaitu :
1. Asma ekstrinsik
1.1 Asma ekstrinsik atopic, dengan sifat sebagai berikut :

Penyebabnya adalah rangsangan allergen eksternal spesifik dan dapat diperlihkan dengan
reaksi kulit tipe 1.

Gejala klinik dan keluhan cenderung timbul pada awal kehidupan; 85 kasus timbul
sebelum usia 30 tahun

Sebagian besar asma tipe ini mengalami perubahan degan tiba-tiba pada waktu puber,
dengan serangan asma yang berbeda-beda

Prognosis tergantung pada serangan pertaa dan berat ringannya gejala yang timbul. Jika
serangan pertama pada usia muda disertai gejala yang lebih berat, maka prognosis
menjadi jelek

Perubahan alamiah terjadi karena ada kelainan dari kekebalan tubuh pada IgE, yang
timbul erutma paa awal kehidupan dan cenderung berkurang disore hari

Asma bentuk ini memberikan tes kulit yang positif

Dala darah menunjukkan kenaikan kadar IgE spesifik

Ada riwayat keluarga yang menderita asma

Terhadap pengobatan memberikan perbaikan yang cepat.

1.2 Asma ekstrinsik non-Atopik, dengan sifat sebagai berikut :

Serangan asma timbul karena berhubungan dengan bermacam-macam allergen yang


spesifik, seringkali terjadi pada waktu melakukan pekerjaan atau timbul setelah
mengalami paparan dengan allergen yang berlebihan

Tes kulit memberikan reaksi alergi tipe segera, tipe lambat, dan ganda terhadap alergi
yang tersensitasi dapat menjadi positif

Dalam serum didapatkan IgE dan IgG yang spesifik

Timbulnya gejala, cenderung pada saat akgir masa kehidupan atau dikemudian hari. Hal
ii dapat diterangkan karena sekali sensitasi terjadi, maka respon asma dapat dicetuskan
oleh berbagai mcam rangsangan non imunlogik seperi emosi, infeksi, kelelahan an factor
sikardian dari siklus biologis.

2. Asma Kriptogenik, yang dibagi menjadi :


2.1 Asma intrinsic
2.2 Asma idiopatik

Asma jenis ini, allergen pencetus sukar ditentukan

Tidak ada aleren ekstrinsik sebagai penyebab dan tes kullit member hasil negative

Merupakan kelompok yang heterogen, respon untuk terjadi asma dicetuskan oleh
penyebab dan melalui mekanisme yang berbeda-bed

Sering ditemukan pada penderita dewas, dimullai pada umur diatas 30 tahun dan disebut
jugan late onset asthma.

Serangan sesak pada asa tipe ini dapat berlangsung lama dan seringkali menimbulkan
kematian bila pengobatan tanpa disertai kortikosteroid

Perubahan patologi yang terjadi sama dengan asma ekstrinsik namun tidak dapat
dibutikan keterlibatan IgE

Kadar IgE dalam serum normal, tetapi eosinofil dapat meningkat jauh lebih tinggi
disbandingkan dengan asma ekstrinsik

Selain itu tes serologi data eunjukkan adanya fakor rematoid, missal sel SLE

Perbedaan lain dengan ekstrinsik asma ialah riwayat keluarga aleri yang jauh lebih
sedikit, sekitr 12 sampai 48 %.

Polip hidung dan sensitivitas terhadap aspirin lebih sering dijumpai pada asma jenis ini.

Patogenesa
Pada saat ini konsep baru yang banyak diperhatikan untuk menerangkan pengertian dasar timbulnya
asma bronchial dan manifestasi klinisnya adalah konsep inflamasi. Inflamasi sluran nafas, baik yang
dirangsang oleh mekanisme imunologi maupun non-imunologi merupakan proses penting untuk
menerangkan perkembangan pengertian asma pada umumnya.
Hipereaktivitas bronkus dan inflamasi
Gambaran histopatologi sel saluran nafas penderiita asma, merupakan factor penting pendukung
konsep inflamasi sebagai dasar pathogenesis asma bronchial. Pada asma berat hasil biopsy saluran nafas
akan tampak pengelupasan epitel, mucous plug di sluran nafas, penebalan membrane basil infiltrasi. Sel-sel

raang (terutama eosinofil) pada dinding saluran nafas dan hipertrofi otot-otot polos. Pada asma ringan pun
menunjukkan kerusakan eitel, penebalan membrane basalis, degranulasi sel mast, menempelnya eosinofil,
neutrofl monosit dan platelet pada endotel pembuluh darah saluran nafas serta didapatkan infiltrasi eosinofil
pada pada lamina propria.
Hipereaktivitas bronkus merupakan gambaran klinis yang pnting pada asma. Bila dibndingkan
dengan orang normal, penderita asma menunjukkan sesitivitas yang sangat ekstrem terhadap berbagai
rangsangan saluran nafas baik secara spesifik maupun non-spesifik. Derajat hipereaktivitas saluran nafas
tersebut mempunyai korelasi positif dengan berat ringannya gejala klinis dan obat yang diperlukan untuk
pengobatan.
Dari beberapa penelitian telah diketahui bahwa hipereaktivitas brnku pada manusia dan hewan
percobaan dapat terjadi Karen saluran nafas terpapar oleh antigen, infeksi virus atau inhalasi gas seperti
ozon. Namun bagaimana tepatnya tiap-tiap agen tersebut menginduksi terjadinya hipereaktivitas belum
diketahui sevara pasti. Banyak pakar mengatakan bahwa inflamasi saluran nafas oleh rangsangan imunologi
maupun non-imunologi mendasari perkembangan hipereaktivitas bronkus.
Kebanyakan penderita asma yang sensitive terhadap antigen spesifik menunjukkan respon
bronkokonstriksi ganda setelah inhalasi antigen. Respon bronkokonstriksi seger (immediate) mencapai
puncaknya dalam waktu 30 menit dan menghilanng dalam wwaktu 1-2 jam. Respon bronkokonstriksi lambat
(late) mencapai puncaknya secara lambat dalam 4-6 jam dan menghilang dalam 12-24 jam. Pada manusia
dan hewan percobaan, selama respon bronkokonstriksi lambat, timbul hipereaktivitaas bronkus dan
peningkatan tersebut hilang dalam beberapa minggu.
Dua tipe bronkokonstriksi tersebut mempunyai karakteristik masing-masing. Respon segera terjadi
sebelum iflamasi saluran nafas, tidak sensitive terhadap obat anti inflamasi kortikosteroid dan tidak
berhubungan dengn peningkatan hipereaktivitas bronkus. Sebaliknya fase lambat terbukti berhubungan
dengan inflamasi saluran nafas, relative resisten terhadap bronkodilator, namun dapat dihilangkan dengan
kortikosteroid dan berkaitan dengan terjadinya hipereaktivitas bronkus.
Inflamasi oleh saluran nafa oleh sebab-sebab nonimunologi juga dihubungkan dengan timbulnya
hipereaktivitas bronkus. Sebagai contoh, inhalasi ozon dan infeksi virus merusak epitel bronkus dan
menyebabkan respon inflamasi di saluran nafas.
Akibat paparan alergen, virus atau noxious gas akan terjadi pelepasan mediator dari sel-sel saluran
nafas seperti sel mast, sel epitel dan sel saraf. Mediator-mediator seperti histamine dapat menimbulkan
bronkospasme dengan merangsang kontraksi otot polos saluran nafas atau peningkatan pelepasan
neurotransmiter dari saraf kolinergik terminal yang menginervasi otot.
Mediator lain seperti PAF (platelet activating factor) mungkin tidak menyebabkn bronkospasme
langsung, namun bersifat menarik sel radang yang nantinya akan melepaskan mediator yang menyebabkan
peningkatan permeabilitas vaskuler, produksi mucus dan timbulnya hipereaktivitas bronkus.
Sel-sel yang terlihat pada pathogenesis asma bronchial

Pada beberapa penderita asma, terdapat antigen spesifik yang dapat menimbulkan inflamasi dan
hipreaktivits bronkus, melalui mekanisme IgE independen. Reaksi radang yang diperankan oleh IgE adalah
hasil aktivasi sel mast, basofil, dan platelet. Beberapa mediator yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag
bersifat menarik sel radang lain seperti eosinofil dan sel-sel radang lain tersebut juga melepaskan mediator
baru.
Mediator sel mast.
Mediator
Histamine

Sasaran
Otot polos

Gejala
Kontraksi

Kelenjar

Sekresi

Pembuluh darah

Perebesan

Saraf kolinergik

Pelepasan neurotransmiter

Prostaglandin D2

Otot polos

Kontraksi

Lekotrien B4
Lekotrien C4, D4

Kelenjar
Sel darah putih
Otot polos

sekresi
Kemotaksis
Kontraksi

Kelenjar

Sekresi

Pembuluh darah
Otot polos
Sel darah putih
Otot polos

perembesan
Kontraksi
Kemotaksis
Mudah kontraksi

Kelenjar

sekresi

Adenosin
NCF dan ECF
Chymase, trypase

Namun sampai sekarang hrus diakui bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan, tetapi hanya dapat
dikendalikan. Pada penderita asma telah terjadi perubahan periodic yang dapat menimbulkan kontraksi otot
polos dengan intensitas berubah-ubah disertai hipersekresi mucus. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan
factor imunologis, sedangkan pada penderita lain mungkin factor keturunan yang lebih berperan, malahan
pada sebagian penderita lain tidak jelas factor apa yang menjadi penyebab. Tetpi kalau dilihat dari factor
keturunan, maka untuk menegakkan diagnosis asma bronchial yang penting diketahui adalah riwayat atopi di
dalam keluarga penderita.
Reseptor adrenergic
Sungguh pun persyarafan simpatik untuk jaringan paru sangat sedikit (hapir tidak ada) kecuali
persyarafan untuk jaringan vaskuler, namun bahan kimiawi circulating catecholamine yang dihasilkan
mempunyai peranan amat besar dalam jaringan paru. Secara farmakologis bahan kimia ini mempunyai dua
reseptor dasar yakni reseptor beta adrenergic dan reseptor alfa adrenegik. Alfa adrenergic mempunya reseptor
yang terletak di dalam otot polos dan kelenjar eksokrin. Sedangkan beta adrenergic secara farmakologik dapat
dibedakan antara beta-1 yang berada di otot jantung dan beta-2 yang berada di otot polos di seluruh tubuh,
termasuk otot polos yang berada di jaringan bronkus dan pembuluh darah.

Secara

umum

rangsangan

pada

alfa

reseptor

berakhir

dengan

timbulnya

proses

pembangkitan,sedangkan rangsangan pada reseptor beta berakhir dengan dua bentuk reaksi,yaitu
penghambatan (missal terjadi relaksasi dari bronkus) dan dapat juga berakhir dengan proses pembangkitan
(missal terjadi peningkatan denyut dan kontraksi jantung) dan di dalam tubuh manusia terdapat jaringan
tertentu yang memiliki kedua reseptor di atas. Sedangkan akhir suatu kejadian atau proses dalam jaringan
paru tergantung dari peran katekolamin dan pebandingan relative dari dua reseptor tersebut. Dalam tubuh
manusia terdapat tiga bentuk katekolamin yaitu: dopamine, Nor-Epinefrin dan Epinefrin. Dopamine
merupakan neurotransmitter saraf ekstrapiramidal. Norepinefrin adalah neurotransmiter pos-ganglion dari
serabur saraf simpatik yang merupakan precursor metabolic dari epinefrin.
Dalam tubuh orang normal,tegangan dinding saluran napas merupakan keseimbangan antara kekuatan
bronkorelaksasi yang dipengaruhi oleh rangsangan pada reseptor beta adrenergic dn bronkokontriksi yang
dipengaruhi rangsangan vagal. Rangsangan pada beta adrenergic akan mengaktifkan Adenilsiklase,yaitu
suatu enzim yang terdapat pada dinding sel otot dan sel mast,tetapi enzim ini tidak sama dengan enzim yang
terdapat pada reseptor beta adrenergic. Adenilsiklase yang aktif ini merupakan katalisator pada pembentukan
siklik adenosine monofosfat (cyclic 3,5-AMP atau CAMP) dari adenosintrifosfat (ATP),CAMP kemudian
merembes masuk ke dalam sel dan di dalam sel ini CAMP mempunyai bermacam-macam fungsi. Salah satu
fungsi CAMP yang sangat penting dalam sel otot polos bronkus adalah mengaktifkan suatu mekanisme yang
mencegah timbulnya kontraksi otot polos atau mekanisme yang membangkitkan relaksasi otot tersebut. Di
dalam sel mast,CAMP merupakan bahan cadangan yang menghambat pelepasan mediator. Reseptor ini dapat
mengatur tinggi rendah aktivitas adenilsiklase,engan cara mengatur kadar CAMP dan karena itu merupakan
gambaran dari fungsi metabolismedari sel tersebut.
Bahan kimia lain yaitu CGMP mempunyai fungsi biologis sebagai zat yang bekerja berlawanan dengan
CAMP serta mempunyai reseptor pada permukaan sel yang peka pada rangsangan spesifik rangsangan
spesifik dapat mengaktifkan siklinukleotida, 3,5 guanosin monofosfat (CGMP) meningkat akan terjadi
bronkokontriksi otot polos saluran napas.
Penghambat Beta-adrenergik (Beta Adrenergik Blockade)
Dapat terjadi bila ada malfungsi atau defisiensi enzim adenilsiklse dalam sel otot polos saluran
napas,kelenjar,pembuluh drah paru dan sel mast. Defisiensi enzim adenilsiklase tersebut dapat terjadi dapat
terjadi karena bawaan sejak lahir dan dapat pula diperoleh karena pengaruh bahan metabolit lain.keadaan
lain yang mungkin timbul adalah kemapuan yang rendah dari adenilsiklase mengkatalisasi pembentukan
CAMP,sedangkan kerja adrenergic cukup baik. Bila keaaan ini terjadi akan timbul tonus konriksi dari saluran
napas yang berlebihan dan berlangsung lama, seolah-olah terjadi counter balance dalam sel mast,dengan
akibat terjadi pelepasan mediator yang cukup besar. Blockade adrenergic dapat juga terjadi karena pengaruh
obat-obatan yang termasuk dalam kelompok adrenergic blocking agent misal propanlol, yaitu obat penurun
tekanan darah.
Peranan N.Vagus

Bronkostriksi yang terjadi adalah sebagai akibat refleks saraf otonom. Serabut-serabut aferen berasal dari
reseptor yang terletak di permukaan sinus paranasalis dan sinus maksilaris. Serabut-serabut saraf aferen
membawa kembali rangsangan motorik menuju paru melalui n.vagus dan berakhir pada otot polos bronkus.
Daerah ini merupakan pusat refleks untuk rangsangan yang bersifat iritan,perubahan diameter saluran napas
dapat terjadi karena ada perubahan PaO2 dan PaCO2. Perubahan ini kemungkinan disebabkan oleh emboli
paru,serangan asma atau dapat juga karena serangan langsung oleh bahan-bahan kimia yang bersifat
mediator pada otot polos bronkus. Rangsangan sentral,juga dapat menyebabkan kenaikan tonus motorik otot
polos bronkus dengan akibat bronkostriksi. Engan demikian jelas bahwa bahn kimia yang bersifat kolinergik
yang konsentrasinya dipengaruhi oleh n.Vagus dapat diterima sebagai penyebab asma.
Pelepasan dan Aktivitas Meditor
Seperti telah diungkapkan di atas bhwa paparan ulang alergen akan mengakibtkan pelepasan bahan
mediator kimia baik oleh sel mast yang berada pada mukosa saluran napas atau oleh sel basofil yang berada
dalam sirkulasi. Dalam hal demikian komplemen tidak terlibat,demikian pula tidak terjadi peristiwa sitolisis.
Pelepasan miator dari dalam sel mast sel basofil dipengaruhi oleh CAMP dan CGMP dalam sel.
Kenaikan kadar CAMP akan menghambat pelepasan bahan meditor dari dalam sel mast dan basofil serta
mencegah terjadinya bonkokontriksi dan memberi kemudahan kepda otot polos bronkus untuk relaksasi.
Sedangkan kenaikan CGMP juga dapat terjadi bila reseptor kolinergik terangsang oleh asetilkolin. Kenaikan
kadar CGMP ini mendorong sel mast dan sel basofil mengeluarkan mediator. Oleh karena itu,tinggi
rendahnya sel mast dan basofil yang tersensitisasi sangat tergantung dari kepekaan otot polos saluran napas.
Selain itu bahan-bahan yang menstabilkan dinding sel mast dan mengubah kesimbangan CAMP dan CGMP,
dapat pula menghambat pelepasan mediator. Pengertian ini secara imunologi dapat diterima sebagai
pengobatan asma yang rasional.
Mediator kimia yang banyak telibat dalam peristiwa serangan asma bronchial adalah:
1. Histamin
Histamine merupakan amin vasoaktif yang tersebar luas dalam jaringan tubuh,terutama di jaringan
paru. Histamine ini terampung dalam bentuk granula did lam jaringan sel mast,terutama pada bagian
paling depan dari endotel kapiler yang terdapat di submukosa bronkus. Histamine juga dijumpai
sebagai granula dalam sel basofil dan sel netrofil,tetapi juga paling penting justru mukosa saluran
napas dan daerah perivskuler,karena kaya sel mast,sehingga daerah ini mempunyai potensi untuk
timbul alergi bila terjadi paparan ulang terhadap alergen yang spesifik. Pelepasan histamine oleh sel
mast dan basofil menyebabkan kenaikan permeailitas pembuluh darah dan vasodilatasi,yang
akhirnya akan menyebabkan sembab dan infiltrasi sel-sel radang. Histamine menyebabkan kontraksi
otot polos bronkus dengan akibat terjadi bronkospasme serta sekresi kelenjar bronkus bertambah.
Pada orang normal pengaruh histamine ini kecil sekali sehingga dapat diabaikan.
2. Slow Recting Substance of Anaphylaxis (SRS-A)
SRS-A adalah bahan kimia yang bersifat asam,termostabil (pada keadaan basa) dan meupakan
mediator yang terbesar. SRS-A mulai tampak dalam darah 30 enit setelah terjadi ikatan antara IGE

dengan alergen ulang(rangsangan ulang). Segera setelah terjadi reaksi akibat rangsangan
ulang,dimulai metilasi pada sel membrane yang terdiri dari fosfolopid sel mast atau basofil maupun
sel imunokompeten lain. Fosfolipid yang mengalami metilasi akan menarik enzim fosfolipase ke
tempat terebut dan selanjutnya terjadilah proses metabolisme. Scara farmakologis SRS-A
memberikan pengaruh bronkostriksi lebih lama,300-400 kali lebih kuat dibandingkan dengan
histamine. Kerjanya juga tidak dipengaruhi oleh histamine,walaupun secara in vitro peristiwa ini
belum dapat dibuktikan. Pengaruh bronkostriksi histamine,timbul lebih cepat.
3. Eosinophyl Chemotatic Factor of Anaphylaxis (ECF-A)
ECF-A terdapat di dalam jaringn paru yang baru mengalami paparan ulang dengan alergen serta
mempunyai aktivitas menarik eosinofil ke tempat terjadinya peristiwa alergi tersebut. Demikian juga
netrofil Chemotataic Factor of Anaphylaxis (NCF-A) mempunyai aktivitas menarik netrofil ke
tempat alergi terjadi, ECF-A dan NCF-A dapat menyebbkan sel radang bermigrasi dan mentap ke
dalam sel mukosa bronkus. Kedua sel ini mengeluarkan Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophyl
Cationic Protein (ECP) yang dapat merusak membrane basalis sluran pernapasan dan pengelupasan
epitel mukosa bronkus dengan akibat serangan asma menjadi lebih lama dan berat.
4. Serotonin
Zat ini menyebabkan kenaikan permeabilitas kapiler dan konstriksi otot plos,walaupun kadar dalam
jaringan paru sedikit. Sedangkan pemberian serotonin perinhalasi tidak menunjukkan reaksi nyata.
5. Prostaglandin (PG)
PG merupakan metabolit asam arakidonat yang juga dilepaskan oleh jaringan paru,sebagai akibat
dari berbagai macam angsangan termasuk paparan ulang alergen yang spesifik. PGE bronkodilator
sedangkan PGF2a dan tromboksan bersifat bronkokontriksor. Kedua PG diatas perlu dijaga
keseimbangan konsentrasinya dalam serum,karena keduanya mempunyai efek yang berlawanan
dalam mempengaruhi ketegangan otot polos bronkus. Interaksi komlek dari semua mediator ini
dapat dapat timbul dalam suatu peristiwa,misalnya kontraksi otot polos yang disebabkan oleh
histamine akan diperkuat oleh SRS-A atau oleh PGF2a. sebaliknya kerja histamin akan diperlunak
oleh PGE sehingga pelepasan mediator berikutnya tidak terjadi.
6. Platelet Activating Factor (PAF)
PAF merupakan bahan kimia yang dikeluarkan oleh makrofag yang pada permukaannya telah terjadi
ikatan antara IGE-Alergen. Dalam 10 tahun terakhir ini PAF dianggap merupakan mediator yang
kuat sebagai penyebab keradangan saluran pernapasan sehingga dapat menimbulkan berbagai
macam gambaran patologi dalam saluran pernapasan yang khas pada asma, yakni sembab mukosa.
Pengelompokan eosinofil dan peningkatan tanggapan yang berlebihan.
7. Kortikosteroid Adrenal
Zat ini adalah suatu hormone yang dihasilkan anak ginjal dan ikut dalam proses serangan
asma,walaupun begitu jalur yang dipergunakan masih belum jelas. Namun pengaruh hormone ini
dalam proses penyembuhan sangat dominan, karena berfungsi sebagai anti inflamasi,mengurangi
sekresi mukosa,mempertahankan stabilitas lisosom,menghmbat pembentukan antibody. Selain

itu,hormone anak ginjal ini diduga dapat menghambat kerja histamine dalam jaringan serta bersifat
potensiator terhadap keja bronkodilator.
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan terutama
sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag , neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai
factor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma.
Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten.
Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma
kerja dan asma yang di cetuskan aspirin.
INFLAMASI AKUT
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah factor antara lain allergen, virus,
iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada
sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.
Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast
tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamine, protease dan
newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi
otot polos bronkus, sekresi mucus dan vasodilatasi.
Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi allergen dan melibatkan pengerahan serta
aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.
INFLAMASI KRONIK
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah limfosit T,
eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus
Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtype Th2. Limfosit T ini
berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan sitokin antara lain IL-3,
IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan
bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE, IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan
pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.
Epitel

Sel epitel yang terkativasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita asma. Sel epitel
dapat mengekspresi membran m arkers seperti molekul adhesi, endothelin, nitric oxide synthase,
sitokin atau khemokin.
Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih diperdebatkan
tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule protein, oxygen free-radical, TNFalfa, mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.
EOSINOFIL
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak spesifik. Eosinofil
yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil
berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF,
TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF
meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yang
mengandung granul protein ialah eosinophil cationic protein (ECP), major basic protein (MBP),
eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel
saluran napas.
Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking reseptor IgE
dengan factors pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast yang
mengeluarkan preformed mediator seperti histamine dan protease serta newly generated mediators
antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa,
IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.
Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada orang normal
maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan bronkus. Makrofag dapat
menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain berperan
dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway remodeling. Peran melalui a.l
sekresi growth-promoting factors untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-.
AIRWAY REMODELING
Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan yang secara
fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan
(repair) dan pergantian sel sel mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut
melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang sama dan
pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan penyambung yang menghasilkan jaringan skar.

Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi
sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses
remodeling, juga komponen lainnya seperti maktriks ekstraselular, membrane reticular basal,
maktriks interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya pembuluh darah, otot polos,
kelenjar mukus.
Perubahan struktur yang terjadi :

Hipertrofi dan hyperplasia otot polos jalan napas

Hipertrofi dan hyperplasia kelenjar mucus

Penebalan membrane reticular basal

Pembuluh darah meningkat

Matriks ekstraselular fungsinya meningkat

Perubahan struktur parenkim

Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis


Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti
hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan
napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma
terutama pencegahan dan pengobata dari proses tersebut.

Hubungan Pengobatan Asma Dengan Kortikosteroid


Di dalam sitoplasma sel mast,CAMP mengalami perubahan menjadi 5-AMP oleh fosfodiesterase.
Penurunan kadar CAMP ini dapat dicegah dengan pemberian derivate santin yang bersifat inhibitor
kompetitif terhadap fosfodieratase. Fungsi CAMP ini dapat diperkuat oleh obat beta-adrenergik,sedangkan
fungsi ortikosteroid ialah meningkatkan kerja adrenergik. Peningkatan kerja adrenergik,mediator-mediator
yang dapat mengakibatkan perubahan patologi pada jaringan saluran napas,baik pembentukan atau pelepasan
dapat ditekan serta dihambat peredarannya.
Obat-obat yang tergolong dalam beta blocking agent,seperti propanolol,akan memperberat asma.
Dalam tubuh,bahan kimia yang mempunyai sifat seperti betabloker ialah CGMP yang kerjanya dipengaruhi
oleh n.vagus. jadi secara rasional pemakaian obat asma (termasuk kortikosteroid baik aeroso,oral dan injeksi)
seyogyanya ditujukan untuk menghambat pembentukan dan pelepasan mediator oleh sel mast serta supaya
terjadi relaksasi otot polos.
Perubahan Patologi Pada Asma
Perubahan yang terjadi pada sediaan secara makroskopik dan mikroskopik dari penderita status asmatikus
yang telah diotopsi,mudah diamati. Perubahan tersebut berupa sembab mukosa dan submukosa,penebalan
membrane basalis,infiltrasi sel radang (terutama eosinofil dan netrofil),hiperplasi otot polos,mucus plug yang
terdapat di dalam lumen bronkus dan kontraksi otot polos bronkus. Pada sediaan mikroskopik paru tampak
kepucatan,menggelembung (over distended). Selain itu dijumpai pula daerah ateletaksis,yaitu bagian paru

yang tidak terisi udara atau kolaps, sehingga daerah tadi ditandai dengan jaringan paru yang
mengeras,kaku,dan disertai dahak kental (mucus plug). Mucus plug mengandung sek PMN,sel
eosinofil,kristal Charcot Leyden ,dan campuran sel eosinofil bersama sel epitel yang membentuk spiral
dariChurschmann. Pada dahak penderita asma,sering dijumpai sel epitel bersilia memadat dan membentuk
massa sferis yang disebut Badan Creola (Creola Bodies) sebagai akibat adanya deskuamasi.
Gejala Klinik dan Laboratorium Penderita Asma
Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak,disertai fase inspirasi yang lebih
pendekdibandingkan dengan fase ekspirasi,dan diikuti bunyi mengi (wwheezing),batuk yang disertai
serangan sesak napas yang kumat-kumatan. Pada beberapa penderita asma keluhan tersebut dapat
ringan,sedang atau berat dan sesak napas penderita biasanya timbul mendadak,dirasakan makin lama makin
meningkat atau tiba-tiba menjadi lebih berat. Hal ini sering terjadi terutama pada penderita dengan rhinitis
alergi atau radang saluran napas bagian atas. Sedangkan pada sebagian besar penderita keluhan utama ialah
sukar bernapasdisertai rasa tidak enak di daerah retrosterna. Mengi (wheezing) terdengar terutama waktu
ekspirasi.
Suara mengi ini seringkali dapat didengar dengan jelas tanpa menggunakan alat. Keadaan ini
tergantung cepat atau lambatnya aliran udara yang keluar masuk paru. Bila dijumpai obstruksi ringan atau
kelelahan otot pernapasan,mengi atau wheezing akan terdengar lemah atau tidak sama sekali. Sedang batuk
hamper selalua ada,bahkan seringkali disertai dengan dahak putih yang berbuih. Selain itu makin kental
dahak akan memberikan keluhan sesak napas yang lebih berat,apalagi penderita mengalami dehidrasi.
Dalam keadaan sesak napas hebat,penderita lebih menyukai posisi duduk membungkuk dengan
kedua telapak tangan memegang kedua lutut. Tanda lain yang menyertai sesak napas berat ialah pergerakan
cuping hidung yang sesuai dengan irama pernapasan,otot bantu pernapasan ikut aktif dan penderita tampak
gelisah. Frekuensi pernapasan ikut meningkat (takipneu),selain karena sesa napas mungkin pula karena rasa
takut. Pada fase permulaan sesak napas akan diikuti dengan penurunan PaO2 dan PaCO2,tetapi PH normal
atau sedikit naik. Hipoventilasi yang terjadi kemudian aan memperberatsesak napas,karena akan
menyebabkan penurunan PaO2 dan PH serta meningkatkan PaCO2 darah. Selain itu akan terjadi kenaikan
tekanan darah dan denyut nadi sampai 110-30/menit,karena peningkatan katekolamin dalam darah. Bila
tanda-tanda hipoksemia tetap ada, (PaO2 < 60 mmHg),diikuti dengan hiperkapnia (PaCO2 < 45
mmHg),asidosis respirasi,sianosis,gelisah,kesadaran menurun,papiledema,pulsus paradoksus, berarti asma
makin berat.
Pada perkusi dada,suara napas normal sampai hipersonor. Pada asma ringan letak diafragma masih
normal, dan menjadi datar serta rendah pada asma berat. Suara vesikuler meningkat,disertai ekspirasi
memanjang. Kalau ada sekret,terdengar ronki kasar waktu inspirasi dan tumpang tindih dengan wheezing
waktu inspirasi. Suara napas tambahan yang bersifat lokal mungkin menunjukkan ada bronkiektaksis atau
pneumonia dan kadang-kadang karena atelektaksis ringan.
Pada pemeriksaan fisik,mungkin disertai penyulit yang sering menyertai asma misalnya
pneumonia,pneumotoraks,pleuritis,payah jantung dan emboli paru. Sedangkan jari tabuh hamper tidak

pernah dijumpai pada penderita asma,kecuali pada penyakit paru supuratif,keganasan atau penyakit paru
yang menimbulkan hipoksemia. Pemeriksaan telinga,hidung,tenggorokan,sinus paranasalis,kulit,perut dan
anggota gerak sangat penting karena infeksi didaerah ini dapat merangsang serarangan asma.
Gejala klinik pada penderita asma
Keluhan utama pada penderita asma adalah sesaknafas mendadak disertai fase inspirasi yang lebih
pendek dan diikuti bunyi mengi(wheezing), batuk yang disertai serangan sesak nafas yang kumat-kumatan.
Pada beberapa penderita asma keluhan tersebut dapat dirasakan ringan, sedang atau berat dan sesaknya
muncul mendadak dan dirasakan makin lama makin meningkat atau tiba-tiba menjadi lebih berat.
Suara mengi ini seringkali dapat didengar dengan jelas tanpa menggunakan alat. Keadaan ini
tergantung cepat atau lambatnya aliran udara yang keluar masuk paru. Bila dijumpai obstruksi ringan atau
kelelahan otot pernafasan, suara wheezing akan terdengar lemah atau tidak terdengar sama sekali. Sedang
batuknya hampir selalu ada.
Daalm keadaan sesak nafas berat, penderita lebih menyukai posisi duduk membungkuk dengan
kedua tangan memegang kedua lutut. Frekuensi pernafasan terlihat meningkat(takipneu). Pada fase
permulaan sesak nafas akan diikuti dengan penurunan PaO 2 dan PaCO2, hal ini akan menyebabkan pH darah
ikut menurun dan menyebabkan asidosis metabolik dimana sesak adalah salah satu gejalanya. Selain itu juga
terjadi kenaikan tekanan darah dan denyut nadi 110-130 kali/menit, karena peningkatan katekolamin dalam
darah.
Pada perkusi dada, suara nafas normal sampai hipersonor. Pada asma ringan letak diafragma masih
normal dan menjadi datar serta rendah pada asma berat. Suara vesikuler meningkat disertai ekspirasi yang
memanjang. Kalau ada sekret, maka suara ronki kasar waktu inspirasi akan tumpang tindih dengan suara
wheezing. Pada pemeriksaan fisik, sering dijumpai penyakit penyerta asma misalnya pneumonia,
pneumotoraks, pleuritis, payah jantung dan emboli paru.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Dahak
Dahak atau srasal dari putum mukoid berwarna jernih, terdiri dari mukopolisakarida dan serabut
glikoprotein, bila disebabkan alergi murni, umumnya dahak sukar dikeluarkan saat batuk. Dahak yang
sangat kental sering sekali menyebabkan penyumbatan. Dahak purulen berwarna kuning atau kehijauan
umumnya berjumlah banyak dengan konsistensi kenyal atau lunak dan berasal dari jaringan epitel yang
mengalami nekrosis yang bercampur dengan sel-sel radang dan bakteri. Pada pemeriksaan mikroskopis,
tampak gambaran spiral Churscmann, badan Creola dan kristal Charcot-Leyden serta dahak 90 %
mengandung eosinofil
2. Pemeriksaan darah
Pada penderita yang mengalami stress, dehidrasi dan stress dapat terjadi leukositosis (15.000/mm 3).
Sedang eosinofil meningkat diatas harga normal (800-1000 mm 3). Jika jumlahnya mencapai lebih 1000

mm3 maka kemungkinan disebabkan infeksi. Bila eosinofil tetap tinggi setelah diberi kortikosteroid
maka disebut steroid resistant bronchial asthma.
3. Pemeriksaan EKG
Didapatkan sinus takikardi, bila peningkatan detak jantung diatas 120 kali/menit maka menunjukkan ada
hipoksia dan mungkin disertai dengan tekanan oksigen 40-60 mmHg. Bila terjadi serangan asma akut,
tekanan darah meningkat dan EKG menunjukkan gambaran strain ventrikel kanan yang disertai
perubahan aksis jantung kekanan dan perubahan ini dapat pulih keasal. Juga didapatkan RBBB (Right
Bundle Branch Block) P-pulmomal. Aritmia dapat terjadi bila penderita mendapat NE atau mendapat
katekolamin pada saat serangan.
Gambaran Klinik
Umumnya penderita asma mengeluh sesak napas kumat-kumatan, dada terasa berat, sukar bernapas
disertai batuk tanpa dengan dahak. Gejala demikian mungkin timbul satu tahun sekali atau dua kali. Atau tiap
bulan sekali, atau satu minggu sekali atau setiap hari.
Keluhan

timbul

setelah

melakukan

aktifitas,

paska

menghirup

bahan

allergen,

makan,minum,marah,ketawa, batuk, olahraga, atau kecewa.


Pada serangan suara nafas berbunyi wheezing, kedua tapak tangan tertumpu ke kursi, wajah
berkeringat dan flushing, pergerakan cuping hidung, bibir dan ujung jari kebiruan (cyanosis).
Diagnosis Asma
Umumnya, diagnosis asma tidaklah sulit, tetapi pada kasus tertentu kadang-kadang sukar dibedakan
dengan penyakit lain yang memberikan gejala yang serupa. Ada kalanya gejala yang muncul hanya batuk
atau sesak atau mungkin hanya rasa berat di dada. Maka untuk kasus-kasus seperti ini diperlukan
pemeriksaan yang lebih cermat dan mungkin perlu beberapa pemeriksaan penunjang.
Rangkaian pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosis penyakit asma, terdiri dari: anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Anamnesis pada penderita asma sangatlah penting. Tujuannya, selain untuk menegakkan diagnosis dan
menyingkirkan diagnosis banding, anamnesis juga berguna untuk menyususn srategi pengobatan pada
penderita asma. Pada anamnesis akan kita jumpai adanya keluhan, batuk, sesak, mengi dan atau rasa berat di
dada yang timbul secara tiba-tiba dan hilang secara spontan atau dengan pengobatan. Tetapi adakalanya juga
penderita hanya mengeluhkan batuk-batuk saja yang umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu
kegiatan jasmani ataupun hanya pada musim-musim tertentu saja. Disamping itu, mungkin adanya riwayat
alrgi baik pada penderita maupun pada keluarganya, seperti rhinitis alergi, dermatitik atopic dapat membantu
menegakakan diagnosis.

Yang perlu juga diketahui adalah faktor-faktor pencetus serangan, dengan mengetahui factor pencetus
kemudian menghindarinya, diharapkan gejala asma dapat dicegah. Faktor-faktor pencetus pada asma, terdiri
dari:
Allergen, baik yang berupa inhalasi seperti debu rumah, tungau, serbuk sari, bulu binatang, kapas, debu kopi
atau the, maupun yang berupa makanan seperti udang, kepiting, zat pengawet, zat pewarna dan sebagainya.
Infeksi saluran napas, terutama oleh virus seperti Respiratory syncitial, parainfluensa dan sebagainya.
Kegiatan jasmani/ olahraga, seperti lari.
Ketegangan atau tekanan jiwa.
Obat-obatan, seperti penyekat beta, salisilat, kodein, AINS dan sebagainya.
Polusi udara atau bau yang merangsang, seperti asap rokok, semprot nyamuk, parfum dan sebagainya.
Berdasarkan hal-hal di atas, maka seseorang dicurigai menderita asma apabila:
Sesak atau batuk yang berkepanjangan setelah menderita influenza
Batuk-batuk setelah olahraga, terutama pada anak-anak atau rasa berat atau tercekik pada dada sehabis
olahraga (yang terbukti tidak ada kelainan jantung)
Sesak atau batuk-batuk pada waktu ruang berdebu atau berasap
Batuk-batuk setelah mencium bau tertentu
Batuk-batuk atau sesak yang sering timbul pada malam hari dan tidak berkurang sesudah duduk.
Dengan kata lain, bila seseorang mengeluh sesak, batuk atau mengi yang tidak bisa diterangkan
penyebabnya, kita perlu mencurigai itu suatu asma. Atau yeng membedakan asma dengan penyakit paru lain
yaitu pada asma serangan dapat hilang dengan atau tanpa obat. Artinya, serangan asma ada yang hilang
dengan sendirinya tanpa pengobatan. Tetapi, membiarkan penderita asma dalam srangan tanpa obat selain
tidak etis, juga bisa membahayakan nyawa penderita.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik, selain berguna untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding,
juga berguna untuk mengetahui penyakit-penyakit yang mungkin menyertai asma. Pemeriksaan fisik
meliputi seluruh badan, mulai dari kepala sampai ke kaki.
Kelainan fisik pada penderita asma tergantung pada obstruksi saluran napas (beratnya serangan) dan
saat pemeriksaan. Pada saat serangan, tekanan darah bisa naik, frekuensi pernapasan dan denyut nadi juga
meningkat, mengi (wheezing) sering dapat terdengar tanpa statoskop, ekpirasi memanjang (lebih dari 4 detik
atau 3 kali lebih panjang dari inspirasi) disertai ronki kering dan mengi. Hiperinflasi paru yang terlihat
dengan peningkatan diameter anteroposterior rongga dada, dimana pada perkusi akan terdengan hipersonor.
Pernapasan cepat dan susah, ditandai dengan pengaktifan otot-otot bantu pernapasan, sehingga tanpak
retraksi suprasternal, supraklavicula dan sel iga dan pernapasan cuping hidung.
Dalam praktek, jarang dijumpai kesulitan dalam menegakkan diagnosis asma, tetapi batuk, sesak
ataupun mengi (wheezing) tidak hanya dijumpai pada penderita asma, untuk itu, perlu dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut lagi untuk menegakkan diagnosis.

Pemeriksaan Penunjang
1.Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan darah tepi, terutama jumlah eosinofil total sering meningkat pada pasien asma, dan
hal ini dapat membantu untuk membedakan asma dengan bronchitis kronik. Jumlah

eosinofil menurun

dengan pemberian kortikosteroid, sehingga dipakai juga untuk patokan cukup tidaknya dosis kortikosteroid
yang dibutuhkan pada pasien asma.
Pada pemeriksaan sputum, dimana sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan
neutrofil sangat dominan pada bronchitis kronik. Selain untuk melihat adanya eosinofil, Kristal

Charcot-

Leyden, dan Spiral Curschmann, pemeriksaan ini penting untuk melihat adanya miselium Aspergillus
fumigates.
Pemeriksaan analisis gas darah, hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase awal serangan
terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35 mmHg) kemudian pada fase yang lebih berat

PaCO2

justru mendekati normal sampai normokapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadinya
hiperkapnia (PaCO2 > 45 mmHg), hipoksemia dan asidosis respiratorik.
2.Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis dada ditujukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang memberikan gejala
serupa, seperti ggal jantung kiri, atau menemukan penyakit lain yang menyertai asma seperti

tuberculosis,

atau mendeteksi adanya komplikasi asma seperti pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis dan lainlain.
3.Uji Kulit
Tujuan tes ini adalah untuk mengetahui adanya antibody IgE yang spesifik pada kulit, yang secara
tidak langsung menggambarkan adanya antibody yang serupa pada saluran napas penderita

asma. Tes ini

hanya menyokong anamnesis, karena allergen yang menunjukkan tes kulit positif tidak selalu merupakan
pencetus serangan asma, demikian pula sebaliknya.
4.Pemeriksaan Spirometri
Spirometri merupakan alat yang digunakan untuk mengukur faal ventilasi paru. Pemeriksaan ini sangat
penting baik dalam diagnostic dan penilaian beratnya asma maupun dalam pengololaan

dan penilaian

keberhasilan pengobatan, sama dengan tensimeter dalam diagnostic dan pengelolaan hipertensi atau
glukometer pada diabetes mellitus.
Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma adalah dengan melihat
respons pengobatan dengan bronkodilator.
Reversibilitas penyempitan saluran napas yang merupakan ciri khas asma dapat dinilai dengan
meningkatnya FEV1 dan atau FVC sebanyak 20% atau lebih sesudah pemberian bronkodilator.

Tetapi

tidak adanya peningkatan sebesar 20% tidak berarti bukan asma. Hal ini dapat dijumpai pada penderita yang
sudah normal atau mendekati normal. Respons mungkin juga tidak dijumpai

pada obstruksi saluran napas

yang berat oleh karena dosis tunggal aerosol tidak cukup memberikan efek seperti yang diharapkan mungkin
perlu pemberian obat kombinasi (agonis beta 2,

teofilin dan kortikosteroid).

Penilaian beratnya obstruksi dapat dilihat pada rendahnya FEV1 dan FEV1/FVC atau perbandingan
FEV1 yang diukur dengan FEV1 yang prediktif.
Derajat obstruksi FEV1 (liter) FEV1/FVC FEV1/FEV1p
Apabila tes spirometri dengan bronkodilator hasilnya diragukan dapat dilakukan tes pemantauan faal paru
untuk jangka waktu 1-3 minggu dengan Miniright Peak Flowmeter, dimana APE diukur tiga kali sehari
ditambah ekstra pada saat munculnya sesak. Apabila selisih APE yang tertinggi dengan yang terendah 20%
atau lebih merupakan petanda asma.
5.Tes Provokasi Brokial
Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya hiperaktivitas bronkus dilakukan tes
provokasi bronkus. Tes ini tidak dilakukan apabila tes spirometri menunjukkan

resersibilitas 20% atau

lebih.
Ada beberapa cara yang dilakukan untuk tes provokasi bronchial seperti tes provokasi histamine,
metakolin, allergen, kegiatan jasmani, hiperventilasi dengan udara dingin bahkan inhalasi dengan aqua
destila. Penurunan FEV1 sebesar 20% atau lebih setelah tes provokasi merupakan pertanda adanya
hiperaktivitas bronkus.
Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah:

Status asmatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang kemudian menjadi berat dan tidak
memberikan respon (refrakter) adrenalin dan atau aminofilin suntikan dapat digolongkan pada status
asmatikus. Penderita harus dirawat dengan terapi yang intensif.

Atelektasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara
(bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.

Hipoksemia adalah tubuh kekurangan oksigen

Pneumotoraks adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang menyebabkan kolapsnya paru.

Emfisema adalah penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran nafas
karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang
luas.

Tatalaksana
Dalam penatalaksanaan secara farmakologi harus diperhatikan :
1. Target yang akan tercapai
a. Menjaga kelangsungan hidup penderita pada tahap normal
b. Mempertahankan semaksimal mungkin fungsi paru normal
c. Mencegah timbulnya keluhan yang bersifat menahun

d. Mencegah timbulnya serangan ulang


e. Menghindari efek samping obat asma
2. prinsip-prinsip pengobatan asma secara umum
sebelum memberikan pengobatan yang spesifik, beberapa prinsip umum pengobatan harus
ditegakkan terlebih dulu.
a. Asma adalah suatu keadaan menahun yang mengalami eksaserbasi. Pengobatan yang
diberikan haruslah bekesinambungan, mampu menghilangkan keluhan dan mencegah
kekambuhan serta mampu menekan timbulnya proses peradangan menahun pada saluran
nafas
b. Mencegah timbulnya eksaserbasi akut merupakan prinsip pengobatan yang penting ,
menghindari faktor pencetus dan bagi yang alergi menghindari bahan alergen. Bagi
kelompok yang toleransinya rendah terhadap latihan jasmani, serangan asma pada malam
hari yang berulang , terutama asma ringan sampai sedang pemberian obat anti antiasma
merupakan hal yang mutlak terutama yangmempunyai sifat anti radang.
c. Pengobatan asma harus didasarkan pada mekanisme patofisiologi yang menyebabkan
timbulnya asma. Yakni ditekankan pada bagaimana timbulnya peradangan saluran nafas
tersebut.. apa karena jenis mediator spesifik yang menyebabkannya? Bila demikian, maka
pengobatan

ini

harus

mampu

menekan

komponen-komponen

keradangan

yang

menyebabkan timbulnya keluhan penderita. Jadi, yang diharapkan ialah bagaimana


hyperresponsives saluran nafas dan mencegah timbulnya obstrusi yang tak dapat pulih
kembali.
d. Berkeyakinan bahwa pengobatan tersebut dapat menyembuhkkan serangan eksaserbasi akut
sehingga dapat menghindari penyempitan saluran nafas lebih lanjut.
e. Pengobatan asma adalah suatu tindakan yang melibatkan banyak hal, antara lain penyuluhan
penderita, pengawasan lingkungan dan pemakaian obat-obatan untuk mengawais secara
objektif perjalanan penyakit tersebut
3. Pengobatan nonfarmakologis
Secara optimal, pengobatan non farmakologis harus dilakukan padsa penyakit asma dan tindakan
tersebut meliputi :
a. penyuluhan mengenai penyakit asma kepada penderita dan keluarganya
b. menjauhi bahan-bahan yang dapat menimbulkan serangan asma dan faktor pencetus
timbulnya asma
c. Imunoterapi
4. Pengobatan farmakologis (medikamentosa)
Tujuannya adalah menghilangkan obstruksi saluran nafas. Obat-obatan yang dipergunakan meliputi
bronkodilator dan anti keradangan atau keduanya. Obat anti inflamasi dapat mencegah terjadinya proses
peradangan lebih lanjut sedangkan bronkodilator bekerja dengan cara relaksasi otot polos bronkus.
Obat antiinflamasi meliputi :

kortikosteroid

sodium cromolyn

anti Inflamasi lainnya

Obat bronkodilator meliputi :


-

B-adrenergik agonis

Metilsantin

Antikolinergik

Bronkodilator atau kortikosteroid dapat diberikan secara peroral, parenteral atau inhalasi. Obat-obat
ini memiliki indeks terapetik yang lebih baik diberikan sebagai aerosol daripada parenteral ataupun enteral.
Kortikosteroid
Respon asma terhadap farmakoterapi bervariasi antar individu, sehingga dapat ditemukan pasien
yang resisten terhadap steroid meskipun jarang dan tak menunjukkan hasil yang baik dengan inhalasi steroid.
Kortikosteroid saat ini diberikan segera pada serangan akut pasien asma bronkial akut maupun kronik untuk
mengatasi secara cepat reaksi radang yang ternyata selalu terjadi pada saat serangan asma. Glukokortikoid
tidak bekerja langsung sebagai bronkodilator. Tetapi sebagai anti inflamasi, obat ini bekerja sekaligus
menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosanoid, menghambat peningkatan
basofil, eosinofil dan leukosit lain dijaringan paru dan menurunkan permeabilitas vaskular, sehingga saat ini
kortikosteroid adalah obat yang efektif untuk asma bronkial. Pengobatan sistemik beresiko tinggi untuk
timbulnya efek samping serius, penemuan glukokortikoid inhalasi merupakan penemuan besar dalam terapi
asma karena obat langsung sampai ke target organ sehingga sangat efektif sedangkan resiko efek samping
sistemik sangat rendah. Saat ini ada 5 preparat yang berbentuk inhalasi yaitu beklometason diproprionat,
triamsolon asetonid, flunisolid, budesonid dan

flutikason propionat. Indeks terapi semua preparat

hampir tidak berbeda bila digunakan dalam dosis yang dianjurkan. Inhalasi digunakan untuk pencegahan,
tetapi dibutuhkan waktu yang cukup lama dalam pengawasan dokter untuk mencapai keadaan berkurangnya
hiperaktivitas paru. Pasien yang perlu diterpai dengan kortikosteroid adalah pasien yang memerlukan B2adrenergik agonis 4 kali seminggu atau lebih dalam seminggu. Dosis untuk tiap individu harus dicari dan
dapat berbeda antar individu. Efek samping sistemik dapat terjadi bila obat tertelan, terapi preparat terkini
mengalami metabolisme lintas pertama sehingga lebih kecil kemungkinan efek sistemiknya.
Pada keadaan status asmatikus, glukokortikoid dosis besar harus segera diberikan: metil prednisolon
Na-suksinat 60-100 mg setiap 6 jam diberikan secara IV. Bila gejala mereda, dapat diikuti pemberian
prednison oral 40-60 mg/hari.
Eksaserbasi akut asma dapat diatasi dengan prednison 30 mg, 2 kali sehari selama 5 hari kemudian
bila masih perlu dapat diperpanjang 1 minggu dengan dosis yang lebih rendah. Bila memberikan respon yang
baik, kortikosteroid dapat dihentikan. Gejala supresi fungsi adrenal dapat timbul dalam waktu 1-2 minggu
tergantung besar dosis.
Pasien yang sedang menggunakan glukortikoid oral harus menurunkan dosis secara bertahap bila
akan menggunakan inhalasi beklometason. Inhalasi ini akan menyebabkan kandidiasis orofaring tanpa
gejala. Adapun pencegahannya adalah dengan berkumur setiap sehabis pemakaian.

Risiko efek samping yang ditakuti misalnya penekanan sumbu hipotalamus-hipofise-korteks adrenal
tidak bermakna pada dosis budesonid atau beklometason <1500 g/hari pada dewasa dan <400 g/hari pada
anak. Begitu pula digunakan metabolisme karbohidrat dan lipid tak nyata pada beklometason <1000 g/hari.
Purpura atau peniipisan kulit dapat terjadi dan terkait dengan dosis pada pemakaian beklometason 400-2000
g/hari. Disfoni juga tak pernah terjadi, kandidiasis <5% dan menurun dengan menggunakan alat khusus
(spacer device), ham,batan pertumbuhan tidak terbukti dan sulit dipisahkan antara efek obat dan akibat
penyakitnya.

Bronkodilator
Spasme otot polos merupakan faktor utama yang menimbulkan obstruksi pada asma. Obat-obatan
beta-adregenergik agonis, teofilin dan antikolinergik terbukti mampu mengendurkan spasme otot polos
tersebut.
a. adrenergik suatu bronkodilator yang spesifik
1. Efinefrin. Merupakan gabungan alfa dan beta adrenergik agonis. Pemberian subkutan dengan
dosis 0,01 mg/kgbb menghasilkan bronkodilator cepat tetapi dengan adanya alfa adrenergik yang
mempunyai aktivitas kuat, pemakaian epinefrin harus dibatasi pada orang tua, terutama yang
menderita penyakit jantung iskemik. Karena obat ini dapat menimbulkan efek samping seperti
iskemia miokard, aritmia dan hipertensi. Kontraindikasi ini tidak berlaku pada semua penderita
yang mengalami eksaserbasi. Pada penderita asma yang juga mengidap PJK, hipertensi, angina
atau aritmia dianjurkan memakai beta-2-agonis aerososl
2. Efedrin. Merupakan bronkodilator ringan yang dikombinasikan dengan aminofilin dan sedatif.
3. Isoproterenol. Obat ini diberikan dengan menggunakan nebulizer da dalam dosis kecil. Kerja
obat baru tampak setelah 5 menit pemberian dan waktu kerja obat hanya 2 jam. Obat ini dapat
diberian secara injeksi tetapi hati-hati untuk penderita sakit jantung
4. Beta-adrenergik Agonis selektif. Obat ini bekerja selektif sebagai bronkodilator pada reseptor
beta-2 otot polos bronkus sehingga terrjadi pelebaransaluran nafas serta menghambat terlepasnya
mediatosr sel mast dan basofil. Bila diberikan peroral, lama kerjanya 4-6 jam namun bila
diberikan secara aerosol efeknya sampai 12-18 jam. Pemberian aerosol juga dapat mengurangi
pengaruh sampingan dibanding dengan pemberian peroral maupun parenteral dan pemberian
secara inhalasi lebih rasional, baik untuk pencegahan maupun pengobatan eksaserbasi akut,
karena asma merupakan penyakit sakluran nafas.
B. Non adrenergik bronkodilator
1. Teofilin. Teofilin dan derivatnya merupakan obat asma kelopmpok pertama yang sering dipakai.
Untuk pengobatan asma akut tersedia dalam bentuk tablet tipis dengan kerjanya yang cepat. Namun
tak tidak dapat dipakai sebagai maintenance drug karena cepat pula dimetabolisme. Efek kerja
obatnya selama 12-24 jam sehingga dapat dipakai dua kali sehari. Pada orang dewasa, 400 mg dapat

diberikan dengan dosis tunggal atau diminum dua kali (200 mg/tablet). Jika terjadi toleransi terhadap
obat, maka dosis dapat dinaikkan sebesar 25% dari dosis permulaan dengan interval pemberian
setiap 3 hari sampai mencapai dosis maksimum. Untuk mengurangi efek samping seperti mual,
muntahdan nyeri perut, teofilin dapat diberikan dalam bentuk sustained release sehari satu kali dan
diberikan pada malam hari. Kadar terapetik teofilin optimal dalam plasma berkisar sekitar 10-20
g/ml. Pada orang tua, kadar <10g/ml sudah dapat memberikan efek bronkodilatasi. Teofilin
menghambat enzim fosfodiesterase sehingga 5-cAMP tidak terbentuk dan konstriksi bronkus tak
terjadi. Teofilin bekerja melawan adenosin yang dapat menyebabkan bronkostriksi, meningkatkan
pelepasan katekolamin dalam tubuh, mempengaruhi aliran kalsium dalam sel, mempercepat
terjadinya ikatan cAMP dengan protein menjadi cAAMP-protein dan mengurangi kelelahan otot
diafragma.
2. Obat-obat antikolinergik
Atropin, prototipe antikolinergik digunakan sebagai obat asma terbatas karena pengaruh sampingan yang
sering terjadi. Atropin diserap tubuh melewati mukosa. Namun obat sintetiknya banyak dipakai pada
pengobatan penderita PPOK yakni ipatropium bromide dengan nama dagang Atroven dan Robinul.
Merupakan obat yang mempunyai kemampuan bronkodilatasi dua kali liapt dengan waktu kerja yang lebih
lama. Puncak kerja obat ini adalah 60-90 menit dengan lama kerja mencapai 12 jam. Obat ini jauh lebih
efektif pada penderita usia diatas 40 tahun dibandingkan dengan golongan albuterol, manakala penyakitnya
sudah berlangsung lama dan terutama mempunyai dasar emosi. Kombinasi antikolonergi dengan obat
golongan adrenergik akanmenghasilkan relaksasi otot polos bronkus dengan cepat dan lebih lama.
Perbedaan antara PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) dan Asma Bronkial
PPOK
Onset usia pertengahan
Gejala progresif lambat
Riwayat merokok (lama dan jumlah)

ASMA
Onset usia dini
Gejala bervariasi dari hari ke hari
Gejala pada waktu malam/dini hari lebih

Sesak saat aktivitas

menonjol
Dapat ditemukan alergi,rhinitis dan atau
eksim.

Hambatan aliran udara Umumnya ireversibel


Manifestasi klinis biasanya pasien tampak

Riwayat asma dalam keluarga


Hambatan aliran udara umumnya reversible
Manifestasi klinis berupa bising mengi

kurus dengan barrel-shaped chest, fremitus

(Whezing), batuk produktif, dan napas atau

taktil dada berkurang atau tidak ada, perkusi

dada seperti tertekan.

dada hipersonor, suara nafas berkurang serta


ekspirasi memanjang.

PENATALAKSANAAN ASMA KRONIS

Asma adalah kelainan kronis yang walaupun tidak bisa disembuhkan, penatalaksanaan yang tepat seringkali
dapat mengontrol penyakit ini dengan baik. Tujuan dari suksesnya penatalaksanaan dari asma adalah :11
-

mencapai dan menjaga agar gejala dapat terkontrol


mencegah eksaserbasi asma
mempertahankan fungsi paru sedekat mungkin dengan normal
mempertahankan level aktivitas yang normal
mencegah efek samping dari obat-obat asma
mencegah terjadinya obstruksi saluran nafas ireversibel

Tujuan terapi diatas mencerminkan pengertian baru tentang asma dan penatalaksanaannya.Telah disepakati
bahwa asma adalah penyakit kronis, dengan inflamasi saluran nafas kronis yang berkembang progresif dan
mengakibatkan episode berulang dari obstruksi saluran nafas, produksi sputum dan batuk. Banyak studi
menyatakan bahwa pada asma yang lebih berat dari asma intermiten ringan lebih efektif dikontrol dengan
menekan dan menghilangkan inflamasi, dibanding hanya dengan mengobati bronkokonstriksi dan gejala lain
yang berhubungan. Ada 6 bagian penatalaksanaan asma. 11
Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup
agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (asma
terkontrol).
Tujuan :

Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma;

Mencegah eksaserbasi akut;

Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin;

Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise;

Menghindari efek samping obat;

Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel;

Mencegah kematian karena asma.

Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi genetiknya.

Dalam penatalaksanaan asma perlu adanya hubungan yang baik antara dokter dan pasien sebagai dasar yang
kuat dan efektif, hal ini dapat tercipta apabila adanya komunikasi yang terbuka dan selalu bersedia
mendengarkan keluhan atau pernyataan pasien, ini merupakan kunci keberhasilan pengobatan.
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi:
1) Penatalaksanaan asma akut/saat serangan, dan
2) Penatalaksanaan asma jangka panjang
1. Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)

Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui oleh pasien.
Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien di rumah dan apabila tidak ada perbaikan segera
ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan.
Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisik dan
sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat dan cepat.
Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah :
bronkodilator (2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida)
kortikosteroid sistemik
Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya 2 agonis kerja cepat yang sebaiknya diberikan dalam
bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan dapatdiberikan secara sistemik. Pada dewasa dapat diberikan
kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral.
Pada keadaan tertentu (seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya)kortikosteroid oral
(metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat 3- 5 hari. Pada serangan sedang diberikan 2
agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium bromida
inhalasi, aminofilin IV (bolus atau drip). Pada anak belum diberikan ipratropium bromida inhalasi
maupun aminofilin IV.Bila diperlukan dapat diberikan oksigen dan pemberian cairan IV
Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, 2 agoniskerja cepat ipratropium
bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV (bolus atau drip). Apabila 2 agonis kerja cepat
tidak tersedia dapat digantikan dengan adrenalin subkutan.
Pada serangan asma yang mengancam jiwa langsung dirujuk ke ICU. Pemberian obat-obat
bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi menggunakan nebuliser. Bila tidak ada dapat
menggunakan IDT (MDI) dengan alat bantu (spacer).
Penatalaksanaan asma jangka panjang
Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan mencegah serangan.
Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma.
Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi:
1) Edukasi;
2) Obat asma (pengontrol dan pelega); dan
3) Menjaga kebugaran.
4) Edukasi
Edukasi yang diberikan mencakup :

Kapan pasien berobat/ mencari pertolongan

Mengenali gejala serangan asma secara dini

Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya

Mengenali dan menghindari faktor pencetus

Kontrol teratur

Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain :

Inhalasi kortikosteroid

2 agonis kerja panjang

antileukotrien

teofilin lepas lambat

BAGIAN

1.11Edukasi

Penderita

Untuk

Mengembangkan

Kebersamaan

Dalam

Penata

laksanaanAsma.
Tujuan pendidikan adalah untuk meningkatkan pengertian pasien tentang penyakit dan penanganannya, dan
hal ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan yang diberikan. Tujuan lain adalah
agar pasien dapat mempraktekkan penanganan secara pribadi, terutama dalam mengidentifikasi dan
menghindari pencetus dari asma , juga mengenal dan mengatasi eksaserbasi pada stadium paling dini.
Pertama-tama, pasien harus tahu tentang penyakitnya, bahwa gejalanya adalah obstruksi saluran nafas, dan
pengobatan ditujukan baik untuk pencegahan maupun menghilangkan obstruksi ini.Yang penting lagi adalah
menjelaskan bahwa asma adalah penyekit kronis yang tidak bisa sembuh total.
Pasien harus tahu bahwa gejala akan sering muncul dan adanya eksaserbasi harus sudah dipikirkan. Harus
diyakinkan juga bahwa dengan penanganan yang baik, hal diatas dapat diminimalkan.Rencana pengobatan
individu juga harus ditetapkan, termasuk manfaat bermacam obat asma, juga efek sampingnya.Pengenalan
tentang obat pengontrol dan pelega juga harus diberikan.Yang terpenting adalah untuk mengenali dan
menangani eksaserbasi sedini mungkin sehingga menghindari morbiditas yang lebih serius, bahkan
kematian.
BAGIAN

2.11Menilai

dan

Memonitor

Derajad

Asma

dengan

Pengukuran

Gejala

dan

PengukuranFungsi Paru.
Untuk mengukur gejala, diajukan pertanyaan mengenai seberapa seringkah penderita memakai obat-obat
reliever dan seberapa seringkah penderita mengalami gejala malam hari seperti batuk, mengi dan sesak.Juga
penting ditanyakan seberapa sering penderita membatasi aktivitas normalnya.Sedangkan pengukuran fungsi
paru bisa memakai spirometri ataupun peak expiratory flow (PEF). Adalah penting untuk menilai derajad
penyakit, menilai besarnya variasi diurnal dari fungsi paru, monitor respon terapi selama eksaserbasi akut,
mendeteksi perburukan faal paru yang asimtomatis dan mencegahnya untuk menjadi lebih berat, memonitor
respon terhadap pengobatan kronis dan identifikasi triger.
BAGIAN 3.11Menghindari Atau Mengontrol Pencetus Asma.
Dengan cara menghindari segala bentuk alergen seperti alergen indoor ( kutu, alergen binatang, kecoa,
jamur), menghindari alergen diluar rumah, menghindari polusi udara di dalam dan di luar rumah,
menghindari pajanan di tempat kerja, menghindari alergen makanan dan obat, vaksinasi dan imunoterapi
spesifik. Hal diatas dapat mencegah eksaserbasi, mengurangi kebutuhan obat. Kebanyakan pasien dengan
asma kronis mempunyai bermacam pencetus, sehinga dengan menghindari satu macam pencetus saja,
manfaatnya sangat berbeda pada satu pasien dengan pasien lain.Vaksinasi influenza dapat menyebabkan
pengurangan insiden infeksi saluran nafas atas, sehingga menurunkan kejadian eksaserbasi, walaupun hal ini
masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

BAGIAN 4.11
Menetapkan perencanaan Pengobatan Untuk Manajemen Jangka Panjang.
Dalam menetapkan rencana pengobatan jangka panjang untuk mencapai dan menjaga agar gejala asma
terkontrol dengan memakai obat-obatan asma. Obat asma digunakan untuk menghilangkan dan mencegah
timbulnya gejala dan obstruksi saluran nafas, terdiri dari obat controller dan reliever.

4.1.

OBAT CONTROLLER 8.11


Controller adalah obat yang diminum harian dan jangka panjang dengan tujuan untuk mencapai dan
menjaga asma persisten yang terkontrol. Terdiri dari obat antiinflamasi dan bronkodilator long acting.
Kortikosteroid inhalasi merupakan controller yang paling efektif. Obat controller juga sering disebut
sebagai obat profilaksis, preventif atau maintenance. Obat controller termasuk Kortikosteroid inhalasi,
Kortikosteroid sistemik, sodium kromoglikat dan sodium nedokromil, teofilin lepas lambat, beta 2-agonist
long acting inhalasi dan oral, dan mungkin ketotifen atau antialergi oral lain.

4.1.1.Kortikosteroid 8.11
Rute pemberian bisa secara inhalasi ataupun sistemik (oral atau parenteral). Mekanisme aksi
antiinflamasi dari kortikosteroid belum diketahui secara pasti. Beberapa yang ditawarkan adalah
berhubungan dengan metabolisme asam arakidonat, juga sintesa leukotrien dan prostaglandin,
mengurangi kerusakan mikrovaskuler, menghambat produksi dan sekresi sitokin, mencegah
migrasi dan aktivasi sel radang dan meningkatkan respon reseptor beta pada otot polos saluran
nafas.
Studi tentang kortikosteroid inhalasi menunjukkan kegunaannya dalam memperbaiki fungsi paru,
mengurangi hiperrespon saluran nafas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan beratnya
eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup. Dosis tinggi dan jangka panjang kortikosteroid
inhalasi bermanfaat untuk pengobatan asma persisten berat karena dapat menurunkan pemakaian
koetikosteroid oral jangka panjang dan mengurangi efek samping sistemik.
Untuk kortikosteroid sistemik, pemberian oral lebih aman dibanding parenteral. Jika kortikosteroid
oral akan diberikan secara jangka panjang, harus diperhatikan mengenai efek samping sistemiknya.
Prednison, prednisolon dan metilprednisolon adalah kortikosteroid oral pilihan karena mempunyai
efek mineralokortikoid minimal, waktu paruh yang relatif pendek dan efek yang ringan terhadap
otot bergaris. Pendapat lain menyatakan kortikosteroid sistemik dipakai pada penderita dengan
penyakit akut, pasien yang tidak tertangani dengan baik memakai bronkodilator dan pada pasien
yang gejalanya menjadi lebih jelek walaupun telah diberi pengobatan maintenance yang baik.
Efek samping lokal kortikosteroid inhalasi adalah kandidiasis orofaring, disfonia dan kadang
batuk. Efek samping sistemik tergantung dari potensi, bioavailabilitas, absorpsi di usus,
metabolisme di hepar dan waktu paruhnya. Beberapa studi menyatakan bahwa dosis diatas 1 mg

perhari beclometason dipropionat atau budesonid atau dosis ekuivalen kortikosteroid lain,
berhubungan dengan efek sistemik termasuk penebalan kulit dan mudah luka, supresi adrenal dan
penurunan metabolisme tulang. Efek sistemik pemakaian jangka panjang kortikosteroid oral adalah
osteoporosis, hipertensi arterial, diabetes melitus, supresi HPA aksis, katarak, obesitas, penipisan
kulit dan kelemahan otot.
Global Initiative For Asthma (GINA) memberikan petunjuk pemakaian kortikosteroid untuk
pencegahan jangka panjang berdasarkan beratnya asma pada orang dewasa sebagai berikut:
1. Asma dengan serangan intermitten (step 1) tidak memerlukan steroid preventif, bila perlu
dapat dipakai steroid oral jangka pendek.
2. Asma persisten ringan (step 2) memerlukan inhalasi 200-400 mcg/hari beclometason
dipropionat, budesonid atau ekuivalennya.
3. Asma persisten sedang (step 3) memerlukan inhalasi 800-2000 mcg/hari
4. Asma persisten berat (step 4) memerlukan 800-2000 mcg/hari atau lebih.

Sesuai dengan anjuran ini, pengobatan dengan dosis maksimal (800-1500 mcg/hari) selama 1-2 minggu
diperlukan untuk mengendalikan proses inflamasi secara cepat, dan kemudian dosis diturunkan sampai
dosis terendah (200-800 mcg/hari) yang masih dapat mengendalikan penyakit.
Kortikosteroid
Macam
Cortisol
Cortison
Prednison
Prednisolon
Methylprednisolone
Triamcinolon
Parametason
Betametason
Dexamethason

Potensi

Potensi

Potensi

Waktu

Antiinflamasi
1
0.8
3.5
4
5
5
10
25
30

Ekuivalen (mg)
20
25
5
5
4
4
2
0.6
0.75

Retensi Na
2+
2+
1+
1+
0
0
0
0
0

Biologik
8-12
8-12
18-36
18-36
18-36
18-36
36-54
36-54
36-54

Paruh

4.1.2.Sodium Kromoglikat dan Sodium Nedokromil 8.11


Sodium kromoglikat adalah antiinflamasi non steroid, dan mekanisme kerja yang pasti belum
diketahui. Obat ini terutama menghambat pelepasan mediator yang dimediasi oleh IgE dari sel
mast dan mempunyai efek supresi selektif terhadap sel inflamasi yang lain (makrofag, eosinofil,
monosit). Obat ini diberikan untuk pencegahan karena dapat menghambat reaksi asma segera dan
reaksi asma lambat akibat rangsangan alergen, latihan, udara dingin dan sulfur dioksida. Pemberian
jangka panjang menyebabkan penurunan nyata dari jumlah eosinofil pada cairan BAL dan
penurunan hiperrespon bronkus nonspesifik. Bisa digunakan jangka panjang setelah asma timbul,
dan akan menurunkan gejala dan frekuensi eksaserbasi.

Sodium nedokromil memiliki kemampuan antiinflamasi 4-10 kali lebih besar dibanding sodium
kromoglikat. Walau belum jelas betul, nedokromil menghambat aktivasi dan pelepasan mediator
dari beberapa sel inflamasi. Juga sebagai pencegahan begitu asma timbul.

4.1.3.Teofilin Lepas Lambat 8.11


Obat ini merupakan golongan metilxantin utama yang dipakai pada penatalaksanaan asma.
Mekanisme kerja teofilin sebagai bronkodilator masih belum diketahui, tetapi mungkin karena
teofilin menyebabkan hambatan terhadap phospodiesterase (PDE) isoenzim PDE IV, yang
berakibat peningkatan cyclic AMP yang akan menyebabkan bronkodilatasi.
Teofilin adalah bronkodilator yang mempunyai efek ekstrapulmonar, termasuk efek antiinflamasi.
Teofilin secara bermakna menghambat reaksi asma segera dan lambat segera setelah paparan
dengan alergen. Beberapa studi mendapatkan teofilin berpengaruh baik terhadap inflamasi kronis
pada asma.
Banyak studi klinis memperlihatkan bahwa terapi jangka panjang dengan teofilin lepas lambat
efektif dalam mengontrol gejala asma dan memperbaiki fungsi paru. Karena mempunyai masa
kerja yang panjang, obat ini berguna untuk mengontrol gejala nokturnal yang menetap walaupun
telah diberikan obat antiinflamasi.
Efek sampingnya adalah intoksikasi teofilin, yang dapat melibatkan banyak sistem organ yang
berlainan. Gejala gastrointestinal, mual dan muntah adalah gejala awal yang paling sering. Pada
anak dan orang dewasa bisa terjadi kejang bahkan kematian. Efek kardiopulmoner adalah
takikardi, aritmia dan terkadang stimulasi pusat pernafasan.
Dosis golongan methyl xantine adalah 5 mg/Kg BB dalam 10-15 menit untuk loading dose dan 20
mg/Kg BB/24 jam untuk dosis pemeliharaan dengan dosis maksimum 1500 mg/24 jam. Adapun
therapeutic dose adalah 10-20 mg/dl.

4.1.4.Beta2-Agonis Long Acting 8.11


Termasuk didalamnya adalah formoterol dan salmeterol yang mempunyai durasi kerja panjang
lebih dari 12 jam. Cara kerja obat beta2-agonis adalah melalui aktivasi reseptor beta2-adrenergik
yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase yang meningkatkan konsentrasi siklik AMP . Beta 2agonis long acting inhalasi menyebabkan relaksasi otot polos saluran nafas, meningkatkan klirens
mukosiliar, menurunkan permeabilitas vaskuler dan dapat mengatur pelepasan mediator dari sel
mast dan basofil. Juga menghambat reaksi asma segera dan lambat setelah terjadi induksi oleh
alergen, dan menghambat peningkatan respon saluran nafas akibat induksi histamin. Walaupun
posisi beta2-agonis inhalasi long acting masih belum ditetapkan pasti dalam penatalaksanaan asma,
studi klinis mendapatkan bahwa pengobatan kronis dengan obat ini dapat memperbaiki skor gejala,
menurunkan kejadian asma nokturnal, memperbaiki fungsi paru dan mengurangi pemakaian beta 2agonis inhalasi short acting. Efek sampingnya adalah stimulasi kardiovaskuler, tremor otot skeletal

dan hipokalemi.
Mekanisme aksi dari long acting beta 2-agonis oral, sama dengan obat inhalasi. Obat ini dapat
menolong untuk mengontrol gejala nokturnal asma. Dapat dipakai sebagai tambahan terhadap obat
kortikosteroid inhalasi, sodium kromolin atau nedokromil kalau dengan dosis standar obat-obat ini
tidak mampu mengontrol gejala nokturnal. Efek samping bisa berupa stimulasi kardiovaskuler,
kelemahan dan tremor otot skeletal.

4.1.5.Reseptor Leukotrien Antagonis 9.19


Adalah suatu reseptor peptida leukotrien antagonis (LTRA) dengan nama kimia 4-(5cyclopentyloxy-carbonylamino-1-mathyl-indol-3l

methylll)

-3-methoxy-N-o-

tolysulfonylbenzizamide, dengan berat molekul 575,7 dengan rumus empiriknya C 31H33N3O6S.


Dibuat secara sintetis dengan nama Zafirlikast. LTRA adalah suatu reseptor leukotrien (LTD 4 dan
LTE4) antagonis yang selektif dan kompetitif, dimana LTD 4 dan LTE4 adalah komponen dari SRSA yang berperan besar terhadap patofisiologi terjadinya serangan asma yang menimbulkan
bronkokonstriksi, udema saluran nafas, kontraksi otot polos dan aktivasi sel-sel radang sehingga
terbentuk mediator inflamasi yang menimbulkan keluhan pada penderita asma. Penderita asma
mempunyai kepekaan terhadap LTD4 25 sampai 100 kali disbanding orang normal. Diserap cepat
bila diberikan peroral, konsentrasi dalam darah mencapai puncak setelah 3 jam, 99% terikat pada
albumin, disekresi lewat feses setelah melewati proses enzimatik pada jalur cytocrome P450 2c9
(CYP2C9). Waktu paruhnya 8-16 jam, pada penderita dengan gangguan faal hati, waktu paruhnya
menjadi lebih panjang. LTRA pada penderita asma dapat digunakan sebagai obat asma dan
pencegahan asma.
LTRA bukanlah bronkodilator dan digunakan untuk asma kronis disaat bebas keluhan. Kemasan
berupa tablet 20 mg dan 10 mg, diminum 2 kali sehari untuk dewasa dan anak, pagi dan sore hari.
Indikasinya untuk pencegahan dan pengobatan asma kronis. Tidak boleh diberikan pada saat
serangan akut dan saat terjadi status asmatikus, namun boleh diberikan saat terjadi eksaserbasi.
Dapat dipakai untuk mencegah terjadinya exercise induce asthma.

4.2. OBAT RELIEVER 8.11


Obat reliever bekerja cepat untuk menghilangkan bronkokonstriksi dan gejala akut lain yang menyertai.
Yang termasuk dalam golongan ini adalah inhalasi beta 2-agonis short acting, kortikosteroid sistemik,
antikolinergik inhalasi, teofilin short acting dan beta2-agonis oral short acting.

4.2.1.Beta2-Agonis Inhalasi Short Acting

Seperti beta2-agonis yang lain, obat ini menyebabkan relaksasi otot polos saluran nafas,
meningkatkan klirens mukosilier, mengurangi permeabilitas vaskuler dan mengatur pelepasan
mediator dari sel mast dan basofil. Merupakan obat pilihan untuk asma eksaserbasi akut dan
pencegahan exercise induced asthma. Juga dipakai untuk mengontrol bronkokonstriksi
episodik.Pemakaian obat ini untuk pengobatan asma jangka panjang tidak dapat mengontrol
gejala asma secara memadai, juga terhadap variabilitas peak flow atau hiperrespon saluran
nafas.Hal ini juga dapat menyebabkan perburukan asma dan meningkatkan kebutuhan obat
antiinflamasi.
4.2.2.Kortikosteroid Sistemik 8.11
Walaupun onset dari obat ini adalah 4-6 jam, obat ini penting untuk mengobati eksaserbasi akut
yang berat karena dapat mencegah memburuknya eksaserbasi asma, menurunkan angka masuk
UGD atau rumah sakit, mencegah relaps setelah kunjunganke UGD dan menurunkan
morbiditas.Terapi oral lebih dipilih, dan biasanya dilanjutkan 3-10 hari mengikuti pengobatan lain
dari eksaserbasi. Diberikan 30 mg prednisolon tiap hari untuk 5-10 hari tergantung derajad
eksaserbasi.Bila asma membaik, obat bisa dihentikan atau ditappering.
4.2.3.Antikolinergik 8.11
Obat antikolinergik inhalasi (ipratropium bromida, oxitropium bromida) adalah bronkodilator
yang memblokade jalur eferen vagal postganglion. Obat ini menyebabkan bronkodilatasi dengan
cara mengurangi tonus vagal intrinsik saluran nafas. Juga memblokade refleks bronkokonstriksi
yang disebabkan iritan inhalasi.Obat ini mengurangi reaksi alergi fase dini dan lambat juga reaksi
setelah exercise.Dibanding beta 2-agonis, kemampuan bronkodilatornya lebih lemah, juga
mempunyai onset kerja yang lambat (30-60 menit untuk mencapai efek maksimum).Efek
sampingnya adalah menyebabkan mulut kering dan rasa tidak enak.
4.2.4.Teofilin Short Acting 8.11
Aminofilin atau teofilin short acting tidak efektif untuk mengontrol gejala asma persisten karena
fluktuasi yang besar didalam konsentrasi teofilin serum. Obat ini dapat diberikan pada
pencegahan exercise induced asthma dan menghilangkan gejalanya. Perannya dalam eksaserbasi
masih kontroversi. Pada pemberian beta2-agonis yang efektif, obat ini tidak memberi keuntungan
dalam bronkodilatasi, tapi berguna untuk meningkatkan respiratory drive atau memperbaiki
fungsi otot respirasi dan memperpanjang respon otot polos terhadap beta 2-agonis short acting.
4.2.5.Beta2-Agonis Oral Short Acting 8.11
Merupakan bronkodilator yang merelaksasi otot polos saluran nafas.Dapat dipakai pada pasien
yang tidak dapat menggunakan obat inhalasi.
Jenis Obat Asma
Jenis obat Golongan

Nama generik

Bentuk/kemasan obat

Pengontrol
(Antiinflamasi)
Steroid inhalasi

Flutikason propionat

IDT

Budesonide

IDT, turbuhaler

Antileukokotrin

Zafirlukast

Oral(tablet)

Kortikosteroid

Metilprednisolon

Oral(injeksi)

sistemik

Prednison

Oral

Agonis beta-2

Prokaterol

Oral

kerjalama

Formoterol

Turbuhaler

Salmeterol

IDT

Flutikason + Salmeterol.

IDT

kombinasi steroid dan


Agonis beta-2
kerjalama

Budesonide
formoterol

+
Turbuhaler

Salbutamol
Pelega

Agonis beta-2 kerja

Oral, IDT, rotacap

(Bronkodilator)

cepat

solution
Terbutalin
Oral, IDT, turbuhaler,
solution, ampul (injeksi)

Antikolinergik

Metilsantin

Prokaterol

IDT

Fenoterol

IDT, solution

Ipratropium bromide

IDT, solution

Teofilin

Oral

Aminofilin

Oral, injeksi

Teofilin lepas lambat

Oral

Kortikosteroid

Metilprednisolon

Oral, inhaler

Prednison

Oral

sistemik

IDT: Inhalasi dosis terukur = Metered dose inhaler/MDI, dapat digunakan bersama dengan spacer

Solution: Larutan untuk penggunaan nebulisasi dengan nebuliser

Oral : Dapat berbentuk sirup, tablet

Injeksi : Dapat untuk penggunaan subkutan, im dan iv

Selain edukasi dan obat-obatan diperlukan juga menjaga kebugaran antara lain dengan melakukan senam
asma. Pada dewasa, dengan Senam Asma Indonesia yang teratur, asma terkontrol akan tetap terjaga,
sedangkan pada anak dapat menggunakan olahraga lain yang menunjang kebugaran.
Dengan melaksanakan ketiga hal diatas diharapkan tercapai tujuan penanganan asma, yaitu asma terkontrol.
Berikut adalah ciri-ciri asma terkontrol, terkontrol sebagian, dan tidak terkontrol.
Tingkatan Asma Terkontrol
Karakteristik

Gejala harian

Terkontrol

Tidak ada (dua kali

Terkonrol

Tidak

Sebagian

Terkonrol

Lebih dari dua

Tiga atau lebih gejala

atau

kali seminggu

dalam

kurang

kategori Asma

perminggu)

Terkontrol
Sebagian, muncul sewaktu
waktu

Pembatasan aktivitas

Tidak ada

Sewaktu-waktu

dalam seminggu

dalam seminggu

Gejala

Tidak ada

nokturnal/gangguan

Sewaktu waktu
dalam seminggu

tidur (terbangun)
Kebutuhan

Tidak ada (dua kali

Lebih dari dua

akan

atau kurang dalam

kali seminggu

reliever atau terapi

seminggu)

rescue
Fingsi Paru (PEF atau

Normal

FEV1*)

< 80% (perkiraan


atau dari kondisi
terbaik
bila
diukur)

Eksaserbasi

Tidak ada

Sekali atau lebih

Sekali

dalm setahun**)

seminggu***)

Keterangan :
*)Fungsi paru tidak berlaku untuk anak-anak di usia 5 tahun atau di bawah 5 tahun
**)Untuk semua bentuk eksaserbasi sebaiknya dilihat kembali terapinya apkah benar-benar
adekuat
***)Suatu eksaserbasi mingguan, membuatnya menjadi asma takterkontrol
Sumber : GINA 2006

4.3.LANGKAH UNTUK MENCAPAI KONTROL ASMA 11


Kontrol asma didefinisikan sebagai :

dalam

Gejala kronis yang minimal (idealnya tidak ada), termasuk gejala nokturnal.

Eksaserbasi yang minimal (tidak sering)

Tidak pernah mengunjungi UGD

Membutuhkan beta2-agonis minimal (idealnya tidak) dan kalau perlu saja

Tidak ada batasan terhadap aktivitas termasuk exercise

Variasi cicardian PEF kuran dari 20%

PEF normal atau mendekati normal

Efek samping minimal dari obat

4.3.1.Langkah 1 : Asma Intermitten 11.22


Disebut asma intermiten bila pasien mengalami eksaserbasi (episode batuk, wheezing dan sesak)
kurang dari sekali seminggu dalam jangka waktu sedikitnya 3 bulan, dan eksaserbasi hanya
berlangsung beberapa jam atau hari.Gejala asma nokturnal tidak lebih dari 2 kali sebulan. Diantara
eksaserbasi, pasien asimtomatis dan mempunyai fungsi paru normal yaitu FEV 1 atau PEF lebih dari
80% prediksi dan variabilitas PEF kurang dari 20%.
Pengobatan

mencakup

pemberian

obat

sebelum

exercise

(beta 2-agonis

inhalasi

atau

kromoglikat/nedokromil) dan sebelum paparan alergen (sodium kromoglikat atau nedokromil). Untuk
eksaserbasi diberikan beta2-agonis inhalasi short acting diberikan seperlunya untuk menghilangkan
gejala asma. Antikolinergik inhalasi, beta2-agonis oral short acting dan teofilin short acting dapat
dipertimbangkan sebagai pengganti beta2-agonis inhalasi short acting. Bila terapi diatas dibutuhkan
lebih dari sekali seminggu dalam waktu lebih dari 3 bulan, pasien harus ditingkatkan ke langkah
berikutnya berdasar juga pada pengukuran PEF nya.
4.3.2.Langkah 2 : Asma Persisten Ringan 11
Penderita mengalami eksaserbasi paling tidak sekali seminggu, tetapi kurang dari sekali sehari dalam
waktu 3 bulan dan beberapa eksaserbasi mempengaruhi tidur dan aktivitas, dan atau jika pasien
memiliki gejala kronis yang memmerlukan pengobatan simtomatis hampir setiap hari dan kejadian
gejala asma nokturnal lebih dari 2 kali sebulan. Pretreatment baseline PEF lebih dari 80% prediksi dan
PEF variabilitas 20 sampai 30%.
Pasien ini membutuhkan obat controller setiap hari untuk mencapai dan menjaga asma
terkontrol.Terapi primer adalah antiinflamasi harian, berupa inhalasi kortikosteroid 200-500 mcg/hari
beclometason dipropionat atau budesonid atau ekuivalennya.Inhalasi beta 2-agonis short acting bisa

dipakai seperlunya untuk menghilangkan gejala, tetapi pemakaiannya tidak lebih dari 3 sampai 4 kali
sehari. Antikolinergik inhalasi, beta 2-agonis oral short acting atau teofilin short acting dapat
dipertimbangkan sebagai pengganti beta 2-agonis inhalasi short acting. Bila gejala menetap,
kortikosteroid inhalasi ditingkatkan dari 400 atau 500 menjadi 750 atau 800 mcg tiap hari BDP atau
ekuivalen. Sebagai alternatif untuk mengurangi gejala nokturnal dapat diberikan beta2-agonis long
acting dan dosis rendah kortikosteroid.
4.3.3.Langkah 3 : Asma Persisten Sedang 11
Khas ditandai gejala harian dalam jangka waktu lama atau serangan asma nokturnal lebih dari sekali
seminggu. Pretreatment baseline PEF lebih dari 60% tapi kurang dari 80% prediksi dan PEF
variabilitas 20 sampai 30%.
Pasien ini membutuhkan obat controller harian.Kortikosteroid inhalasi 800 sampai 2000 mcg BDP
atau ekuivalen tiap hari.Bisa dipakai bronkodilator long acting, terutama untuk mengontrol gejala
mokturnal.Teofilin lepas lambat, beta2-agonis oral lepas lambat atau beta2-agonis inhalasi long acting
bisa dipakai.Pemberian antikolinergik dapat dipertimbangkan bila terjadi efek samping dengan
pemakaian beta2-agonis inhalasi.Beta2-agonis inhalasi short acting bisa digunakan seperlunya untuk
menghilangkan gejala, tetapi pemakaiannya tidak boleh lebih dari 3 atau 4 kali sehari. Obat
bronkodilator short acting yang lain bisa juga dipakai.

4.3.4.Langkah 4 : Asma Persisten Berat 11


Penderita mengalami variabilitas yang besar, gejala yang terus menerus dan gejala nokturnal yang
sering, mempunyai aktivitas yang terbatas, dan kadang mengalami eksaserbasi berat walaupun sedang
dalam pengobatan.Pretreatment baseline PEF kurang dari 60% prediksi dan variabilitas PEF lebih dari
30%.Untuk mengontrol asma ini mungkin tidak bisa, tujuan pengobatan adalah gejala berkurang,
berkurangnya kebutuhan beta2-agonis short acting, tercapainya PEF terbaik, variasi cicardian yang
berkurang dan pengurangan efek samping pengobatan.
Terapi membutuhkan obat controller harian kombinasi.Terapi primer adalah kortikosteroid inhalasi
dosis tinggi lebih dari 800-2000 mcg BDP atau ekuivalen.Teofilin lepas lambat oral atau beta 2-agonis
oral,

dan

atau

beta2-agonis

inhalasi

long

acting

juga

diberikan

sebagai

tambahan

kortikosteroid.Percobaan menggunakan antikolinergik harus juga dipertimbangkan terutama pada


mereka yang mengalami efek samping bila memakai beta 2-agonis.Beta2-agonis inhalasi short acting
bisa diberikan lebih dari 3 atau 4 kali sehari untuk menghilangkan gejala.Kortikosteroid oral jangka
panjang memakai dosis terendah yang masih mempunyai efek terapi.

Berikut ini tabel penatalaksanaan asma kronis :18


Klasifikasi
Berat Asma
Intermitten

Mild Persistent

TERAPI

TUJUAN

inhalasi beta agonis bila perlu


tidak perlu obat sehari-hari

kontrol gejala
menjaga
aktivitas

Tx sehari-hari : inhalasi kortiko

mencegah eksaserbasi
normalisasi
faal

normal
paru

steroid dosis rendah, teofilin

Moderate Persistent

lepas, lambat, anti leukotrien

optimalisasi farmakoterapi dg

- Inhalasi beta agonis bila perlu


Terapi
harian

efek

inhalasikortikosteroid

dosis

sedang, beta agonis jangka


Severe Persistent

panjang
Terapi
harian

samping

penyuluhan

minimal
perawatan

kepada pasien dan keluarga

inhalasi

kortikosteroid dosis tinggi


beta agonis jangka panjang
BAGIAN 5.11 Penetapan Rencana Untuk Penatalaksanaan Eksaserbasi
Eksaserbasi asma adalah perburukan progresif dari sesak, batuk, wheezing, dada terasa berat atau kombinasi
dari beberapa gejala ini.Eksaserbasi khas ditandai oleh penurunan aliran nafas ekspirasi yang dapat diukur
dengan pemeriksaan faal paru.Eksaserbasi biasanya mencerminkan kegagalan penatalaksanaan jangka
panjang atau terjadi paparan dengan triger.Derajad berat eksaserbasi asma bervariasi dari ringan sampai yang
mengancam jiwa.Penanganan eksaserbasi tergantung pada pasien, pengalaman dari instansi kesehatan yang
bersangkutan dan tersedianya obat-obatan dan fasilitas emergensi.Terapi primer dari eksaserbasi adalah
pemberian berulang beta2-agonis inhalasi short acting dan pemberian awal kortikosteroid oral atau parenteral
jika dibutuhkan. Tujuan pengobatan eksaserbasi adalah :

Menghilangkan obstruksi saluran nafas secepat mungin

Menghilangkan hipoksemia

Mengembalikan fungsi paru menjadi normal secepat mungkin

Merencanakan untuk menghindari relaps dimasa depan

Mendiskusikan rencana kerja dengan pasien dalam hal bila terjadi eksaserbasi selanjutnya

BAGIAN 6 11Tersedianya Unit Perawatan Follow Up


Pasien dengan asma membutuhkan supervisi dan dukungan dari unit kesehatan profesional, yang mengerti
tentang kondisinya.Monitoring berkala sangat diperlukan untuk menilai keberhasilan terapi.Selama pasien
asma masih terkontrol, harus juga dilakukan kunjungan kontrol secara berkala.
Rujukan Kasus Asma
Dokter umum / puskesmas harus merujuk pasien asma dengan kondisi tertentu ke RS
yang memiliki pelayanan spesialistik seperti :

Serangan berat

Serangan yang mengancam jiwa

Pada tatalaksana jangka panjang, apabila dengan kortikosteroid inhalasi dosis rendah (untuk anak sampai
dengan 200 mcg/hari, sedangkan dewasa 400 mcg/hari) selama 4 minggu tidak ada perbaikan (tidak
terkontrol).

Asma dengan keadaan khusus seperti ibu hamil, hipertensi, diabetes dll
BRONKIENTASIS

Bronkientasis adalah suatu perusakan dan pelebaran (dilatasi) abnormal dari saluran pernapasan yang besar.
Bronkiektasis bukan merupakan penyakit tunggal, dapat terjadi melalui berbagai cara dan merupakan akibat
dari beberapa keadaan yang mengenai dinding bronkial, baik secara langsung maupun tidak, yang
mengganggu sistem pertahanannya. Keadaan ini mungkin menyebar luas, atau mungkin muncul di satu atau
dua tempat.
Secara khusus, bronkiektasis menyebabkan pembesaran pada bronkus yang berukuran sedang, tetapi bronkus
berukuran kecil yang berada dibawahnya sering membentuk jaringan parut dan menyempit. Kadang-kadang
bronkiektasis terjadi pada bronkus yang lebih besar, seperti yang terjadi pada aspergilosis bronkopulmoner
alergika (suatu keadaan yang disebabkan oleh adanya respon imunologis terhadap jamur Aspergillus).
Dalam keadaan normal, dinding bronkus terbuat dari beberapa lapisan yang ketebalan dan komposisinya
bervariasi pada setiap bagian dari saluran pernapasan. Lapisan dalam (mukosa) dan daerah dibawahnya
(submukosa) mengandung sel-sel yang melindungi saluran pernapasan dan paru-paru dari zat-zat yang
berbahaya. Sel-sel ini terdiri dari:

sel penghasil lendir

sel bersilia, yang memiliki rambut getar untuk membantu menyapu partikel-partikel dan lendir ke
bagian atas atau keluar dari saluran pernapasan

sel-sel lainnya yang berperan dalam kekebalan dan sistem pertahanan tubuh, melawan organisme
dan zat-zat yang berbahaya lainnya.

Struktur saluran pernapasan dibentuk oleh serat elastis, otot dan lapisan kartilago (tulang rawan), yang
memungkinkan bervariasinya diameter saluran pernapasan sesuai kebutuhan. Pembuluh darah dan jaringan
limfoid berfungsi sebagai pemberi zat makanan dan sistem pertahanan untuk dinding bronkus.
Pada bronkiektasis, daerah dinding bronkus rusak dan mengalami peradangan kronis, dimana sel bersilia
rusak dan pembentukan lendir meningkat. Ketegangan dinding bronkus yang normal juga hilang. Area yang
terkena menjadi lebar dan lemas dan membentuk kantung yang menyerupai balon kecil. Penambahan lendir
menyebabkan kuman berkembang biak, yang sering menyumbat bronkus dan memicu penumpukan sekresi
yang terinfeksi dan kemudian merusak dinding bronkus.
Peradangan dapat meluas ke kantong udara kecil (alveoli) dan menyebabkan bronkopneumonia, jaringan
parut dan hilangnya fungsi jaringan paru-paru. Pada kasus yang berat, jaringan parut dan hilangnya
pembuluh darah paru-paru dapat melukai jantung.
Peradangan dan peningkatan pembuluh darah pada dinding bronkus juga dapat menyebabkan batuk darah.
Penyumbatan pada saluran pernapasan yang rusak dapat menyebabkan rendahnya kadar oksigen dalam
darah.
Bronkiektasis bisa disebabkan oleh:
1. Infeksi pernapasan
o

Campak

Pertusis

Infeksi adenovirus

Infeksi bakteri contohnya Klebsiella, Staphylococcus atau Pseudomonas br>- Influenza

Tuberkulosa

Infeksi jamur

Infeksi mikoplasma

2. Penyumbatan bronkus
o

Benda asing yang terisap

Pembesaran kelenjar getah bening

Tumor paru

Sumbatan oleh lendir

3. Cedera penghirupan
o

Cedera karena asap, gas atau partikel beracun

Menghirup getah lambung dan partikel makanan

4. Keadaan genetik
o

Fibrosis kistik

Diskinesia silia, termasuk sindroma Kartagener

Kekurangan alfa-1-antitripsin

5. Kelainan imunologik

Sindroma kekurangan imunoglobulin

Disfungsi sel darah putih

Kekurangan koplemen

Kelainan autoimun atau hiperimun tertentu seperti rematoid artritis, kolitis ulserativa

6. Keadaan lain
o

Penyalahgunaan obat (misalnya heroin)

Infeksi HIV

Sindroma Young (azoospermia obstruktif)

Sindroma Marfan.

Gejalanya bisa berupa: - batuk menahun dengan banyak dahak yang berbau busuk - batuk darah - batuk
semakin memburuk jika penderita berbaring miring - sesak napas yang semakin memburuk jika penderita
melakukan aktivitas - penurunan berat badan - lelah - clubbing fingers (jari-jari tangan menyerupai tabuh
genderang) - wheezing (bunyi napas mengi/bengek) - warna kulit kebiruan - pucat - bau mulut.
Pada pemeriksaan fisik dengan menggunakan stetoskop, biasanya di paru-paru bagian bawah akan terdengar
suara ronki.
Pemeriksaan yang biasa dilakukan:
1. Rontgen dada
2. CT scan dada
3. Biakan dahak
4. Hitung jenis darah
5. Pemeriksaan keringat atau pemeriksaan fibrosis kistik lainnya
6. Analisa serum immunoglobulin
7. Serum presipitin (pemeriksaan untuk antibodi jamur, aspergillus)
8. Tes PPD untuk infeksi TBC.
Tujuan dari pengobatan adalah mengendalikan infeksi dan pembentukan dahak,membebaskan penyumbatan
saluran pernapasan serta mencegah komplikasi.
Drainase postural yang dilakukan secara teratur setiap hari, merupakan bagian dari pengobatan untuk
membuang dahak. Seorang terapis pernapasan bisa mengajarkan cara melakukan drainase postural dan batuk
yang efektif. Untuk mengatasi infeksi seringkali diberikan antibiotik, bronkodilator Dan ekspektoran.
Pengangkatan paru melalui pembedahan dilakukan pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap
pemberian obat atau pada penderita yang mengalami perdarahan hebat.
Imunisasi campak dan pertusis pada masa kanak-kanak membantu menurunkan angka kejadian
bronkiektasis.
Vaksin influenza berkala membantu mencegah kerusakan bronkus oleh virus flu. Vaksin pneumokok
membantu mencegah komplikasi berat dari pneumonnia pneumokok.
Minum antibiotik dini saat infeksi juga mencegah bronkiektasis atau memburuknya penyakit.

Pengobatan dengan imunoglobulin pada sindroma kekurangan imunoglobulin mencegah infeksi berulang
yang telah mengalami komplikasi.
Penggunaan anti peradangan yang tepat (seperti kortikosteroid), terutama pada penderita bronkopneumonia
alergika aspergilosis, bisa mencegah kerusakan bronkus yang akan menyebabkan terjadinya bronkiektasis.
Menghindari udara beracun, asap (termasuk asap rokok) dan serbuk yang berbahaya (seperti bedak atau
silika) juga mencegah bronkiektasis atau mengurangi beratnya penyakit.
Masuknya benda asing ke saluran pernapasan dapat dicegah dengan: - memperhatikan apa yang dimasukkan
anak ke dalam mulutnya - menghindari kelebihan dosis obat dan alkohol - mencari pengobatan medis untuk
gejala neurologis (seperti penurunan kesadaran) atau gejala saluran pencernaan (seperti regurgitasi atau
batuk setelah makan).
Tetes minyak atau tetes mineral untuk mulut atau hidung jangan digunakan menjelang tidur karena dapat
masuk ke dalam paru.
Bronkoskopi dapat digunakn untuk menemukan dan mengobati penyumbatan bronkus sebelum timbulnya
kerusakan yang berat.
BRONKIEKTASIS
Definisi
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi (ektasis) dan distorsi
bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik, persisten atau irreversible. Kelainan bronkus
tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen-elemen
elastic, otot-otot polos bronkus, tulang rawan dan pembuluh-pembuluh darah. Bronkus yang terkena
umumnya adalah bronkus kecil,(kira-kira generasi percabagan keempat sampai kesembilan) sedangkan
bronkus besar umumnya jarang.
Terdapat 2 bentuk anatomis yang lazim : sakular dan silindris. Brokiektasis sakular yaitu dilatasi
berupa rongga yang bulat seperti kavitas, seringkali ditemukan pada bronkus yang mengalami dilatasi dan
khas pada orang dewasa. Bronkiektasis timbul apabila dinding bronkus melemah akibat perubahan
peradangan kronik yang mengenai mukosa serta lapisan otot. Bahan-bahan purulen terkumpul pada daerah
yang melebar ini dan mengakibatkan infeksi yang menetap pada segmen atau lobus yang terserang. Infeksi
kronik selanjutnya semakin merusak dinding bronkus, dan terbentuk suatu lingkaran setan yang tak
berkesudahan. Tidak ada penyebab tunggal yang khas dari bronkiektasis karena penyakit ini dilandasi oleh
suatu kelainan anatomis.
Etiologi
1.

sebagai gejala sisa infeksi paru


Pneumonia nekrotikans atau supuratif, terutama akibat organisme virulen, seperti staphylococcus aureus
atau klebsiella spp, dapat mempermudah bronkiektasis. Dahulu, bronkiektasis pascainfeksi kadangkadang menjadi sekuele dari pneumonia pada anak yang menjadi penyulit campak, batuk rejan, dan
influenza, tetapi hal ini telah jauh berkurang berkat keberhasilan imunisasi. Bronkiektasis
pascatuberkulosis masih merupakan penyebab morbiditas yang bermakna di daerah endemic.

2.

obstruksi bronkus. Penyebab yang sering adalah tumor, benda asing, dan kadang-kadang sumbatan
mucus. Pada keadaan ini, bronkiektasis terletak di segmen paru yang tersumbat. Bronkiektasis juga dapat
menjadi penyulit asma atopik dan bronchitis kronis.

3.

kelainan congenital atau herediter


o

pada fibrosis kistik, terjadi bronkiektasis berat yang luas akibat obstruksi dan infeksi karena sekresi
mucus yang terlalu kental. Ini adalah penyulit yang penting dan serius.

Pada keadaan imunodefisiensi, terutama defisiensi immunoglobulin,mudah terjadi bronkiektasis


karena meningkatnya kerentanan terhadap infeksi bakteri berulang,dapat terjadi bronkiektasis local
atau difus.

Syndrome Kartagener, suatu gangguan resesif autosomal, sering berkaitan dengan bronkiektasis dan
sterilitas pasa laki-laki. Kelainan structural silia menghambat pembersihan jalan nafas oleh
mukosilia sehingga terjadi infeksi persisten dan berkurangnya mobilitas spermatozoa. Syndrome
kartagener terdiri dari trias : bronkiektasis, sinusitis, dan dekstro kardi/ situs inversus.

4. Atelektasis
Patogenesis
1. Faktor Radang dan Nekrosis
Radang pada saluran pernapasan menyebabkan silia dari epitel bronkus tidak berfungsi. Epitel kolumnar
mengalami degenerasi dan diganti menjadi epitel bertatah. Selanjutnya elemen kartilago muskularis
mengalami nekrosis dan jaringan elastis yang terdapat di sekitarnya mengalami kerusakan sehingga
berakibat dinding bronkus menjadi lemah, melebar tidak beraturan dan permanent. Bila ulserasi
mengenai pembuluh darah, dapat terjadi batuk darah berulang. Selain itu, timbul hipertrofi dari
pembuluh darah serta terbentuk banyak anastomosis antara vena bronkialis dengan vena pulmonalis
(right to left shunt) dengan akibat timbul hipoksemia kronis dan berakhir dengan kor pulmonal kronis.
2. Faktor Mekanik
o

Distensi mekanik sebagai akibat dinding bronkus yang lemah, secret yang menumpuk dalam
bronkus, adanya tumor atau pembesaran kelenjar limfe.

Peningkatan tekanan intra bronchial distal dari penyempitan akibat batuk.

Penarikan dinding bronkus oleh karena fibrosis jaringan paru, sebagai akibat timbulnya perlekatan
local yang permanent dari dinding bronkus

Factor intrinsik juga mempuyai peranan, sebab tidak semua penderita dengan infeksi disertai obstruksi
bronkus akan berakibat menjadi bronkiektasis. Pelebaran bronkus dapat mmbentuk sakuler,tubuler dan
varikosis
Terdapat dua proses penting yang saling terkait dalam patogenesis bronkiektasis: obstruksi dan infeksi
persisten kronis .salah satu dari keduanya dapat terjadi lebih dahulu. Mekanisme pembersihan normal
terhambat oleh obstruksi, sehingga segera terjadi infeksi sekunder, sebaliknya, infeksi kronis pada
saatnya menyebabkan kerusakan dinding bronkus sehingga terjadi perlemahan dan dilatasi. Sebagai

contoh, obstruksi akibat karsinoma bronkogenik atau benda asing mengganggu pembersihan sekresi
sehingga terbentuk lahan yang subur bagi infeksi. Peradangan yang terjadi merusak dinding bronkus dan
eksudat yang tertimbun semakin melebarkan jalan napas sehingga terjadi dilatasi irreversible.
Sebaliknya, peradangan nekrotikans persisten di bronkus atau bronkiolus dapat menghasilkan sekresi
obstruktif, peradangan diseluruh dinding (disertai fibrosis peribronkus dan traksi jaringan parut terhadap
dinding ) dan akhirnya rangkaian kejadian yang telah dijelaskan di atas. Pada kasus yang biasa, dapat
dibiakan beragam flora dari bronkus yang terkena, termasuk stafilokokus, streptokokus, pneumokokus,
organisme enteric, bakteri anaerob dan mikroaerofilik dan (terutama pada anak) Haemophilus influenzae
dan Pseudomonas aeruginosa.
Epidemiologi
Bronkiektasis paling sering timbul pada masa anak-anak akibat infeksi berulang saluran napas
bagian bawah, yang timbul sebagai komplikasi penyakit campak,batuk rejan atau influenza. Penyumbatan
bronkus akibat neoplasma atau aspirasi benda asing (terutama benda asing terutama kacang) juga dapat
menimbulkan bronkiektasis dan infeksi sekunder pada percabagan bronkus bagian distal. Bronkiektasis pada
lobus atas dapat dikaitkan dengan tuberculosis, meskipun keadaan ini seringkali tidak menimbulkan gejala
karena drainase bronkus dapat terjadi dengan bantuan gravitasi.
Diagnosis
1. Anamnesis
2. pemeriksaan fisik
penderita tampak kurang Gizo, anemia, dipsnue, kadang-kadang sianosis dan sering di dapatkan jari tab
pada tangan dan kaki. Ronki basah persisten pada lobus interior paru seringkali merupakan kelainan
yang Amat penting. Gejala tersebut lebih jelas terdengar bila pemeriksaan dilakukan sebelum dan
sesudah posisi drainase postural dan penderita disuruh batuk. Gejala pneumonia mingkin ditemukan bila
ada infeksi akut.
3. pemeriksaan laboratorium
tidak khas, Hb dapat rendah (anemia), dapat pula tinggi bila tidak ada polisitemia sekunder sebagai
akibat dari insufisiensi paru. Lekositosis dengan laju endap darah yang tinggi sering dijumpai bila ada
infeksi sekunder.
4. pemeriksaan radiologi
o

foto torak PA dan lateral : tampak infiltrat pada paru bagian basal dengan daerah radiolusen yang
multiple menyerupai sarang lebah (Honey Comb Appearance)

bronkografi : merupakan sarana diagnosis pasti untuk bronkiektasis, karena dengan bahan kontras
yang dimasukan kedalam saluran napas atas akan tampak kelainan ektasis

5. bronkoskopi
tidak dapat digunakan intuk melihat ektasis, akan tetapi dapat untuk mengetahui adanya tumor atau
benda asing, sumber batuk darah, sputum dan perdarahan.

6. pemeriksaan faal paru


untuk melihat kelainan retriksi dan atau obstruksi
Gejala Klinis
Gambaran klinis utama dari bronkiektasis adalah batuk kronik yang jarang, bersifat produktif dengan
banyak sputum mukopurulen yang berbau busuk. Batuk semakin berat kalau pasien berubah posisi. Jumlah
sputum yang dikeluarkan bergantung pada stadium penyakit,tetapi pada kasus yang berat dapat mencapai
200 ml sehari. Hemoptisis sering terjadi, biasanya berupa sputum yang mengandung darah. Gambaran
penyakit lanjut dan tidak diobati adalah pneumonia rekurea, malnutrisi, jari-jari tabuh, kor pulmonale dan
gagal jantung kanan.
Derajat gangguan fungsional bergantung pada luas jaringan paru yang terkena. Bronkiektasis yang
terbatas pada satu atau dua segmen paru mungkin hanya menyebabkan gangguan fungsi yang
ringan,sedangkan bronkiektasis difus dapat disertai anastomosis antara sirkulasi bronkus dan sirkulasi
pulmonary sehingga mengakibatkan pirau dari kanan kekiri.
Penatalaksanaan
Pengobatan yang paling penting adalah pembersihan bronkus setiap hari dengan seksama, disertai
drainase postural yang biasanya harus dilanjutkan seumur hidup. Bronkodilator yang digunakan untuk
menurunkan kejadian obstruksi saluran napas dan untuk membantu pembersihan secret,berguna pada pasien
dengan saluran napas yang hiperreaktif. Pemberian antibiotic untuk mengontrol infeksi juga merupakan
terapilain yang penting.Sebelum penemuan antibiotic, bronkiektasis lebih sering timbul dan prognosisnya
sangat buruk. Pasien ini jarang dapat hidup lebih dari usia 40 tahun.
Vaksinasi diberikan tepat pada waktunya terhadap penyakit anak-anak yang sering disertai
komplikasi pneumonia, penggunaan antibiotic yang benar dan penggobatan lain pada pneumonia, serta
pengangkatan segera benda asing yang aspirasi, semuanya merupakan tindakan pencegahan.

Вам также может понравиться

  • LP Ppok
    LP Ppok
    Документ36 страниц
    LP Ppok
    EkaPutri Dwayu Gex
    100% (5)
  • Tentang Kretek
    Tentang Kretek
    От Everand
    Tentang Kretek
    Оценок пока нет
  • Kasus 1 Farmakoterapi
    Kasus 1 Farmakoterapi
    Документ13 страниц
    Kasus 1 Farmakoterapi
    Tiya Syahrani
    100% (2)
  • Responsi PPOK
    Responsi PPOK
    Документ18 страниц
    Responsi PPOK
    Adi Suryadarma Moo
    Оценок пока нет
  • Referat Ppok Radiologi
    Referat Ppok Radiologi
    Документ14 страниц
    Referat Ppok Radiologi
    pzpitha
    Оценок пока нет
  • Askep Ppok
    Askep Ppok
    Документ12 страниц
    Askep Ppok
    GP RS EMC
    Оценок пока нет
  • Referat PPOK
    Referat PPOK
    Документ31 страница
    Referat PPOK
    Diki Apriwan
    Оценок пока нет
  • Referat PPOK
    Referat PPOK
    Документ32 страницы
    Referat PPOK
    rifqizafril
    100% (2)
  • Makalah Copd
    Makalah Copd
    Документ24 страницы
    Makalah Copd
    Wijayanto Hendi
    Оценок пока нет
  • CPC
    CPC
    Документ56 страниц
    CPC
    Fionna Pohan
    Оценок пока нет
  • Laporan Pendahuluan Ppok
    Laporan Pendahuluan Ppok
    Документ15 страниц
    Laporan Pendahuluan Ppok
    yosep pratama
    Оценок пока нет
  • LP Ppok
    LP Ppok
    Документ34 страницы
    LP Ppok
    Nugra
    Оценок пока нет
  • LP Ppok
    LP Ppok
    Документ20 страниц
    LP Ppok
    Daryati -
    Оценок пока нет
  • Fathia Khairani G2a009079 Bab 2 Kti
    Fathia Khairani G2a009079 Bab 2 Kti
    Документ14 страниц
    Fathia Khairani G2a009079 Bab 2 Kti
    MimMajatengahKemangkon
    Оценок пока нет
  • PPOK
    PPOK
    Документ18 страниц
    PPOK
    Novan Fachrudin
    Оценок пока нет
  • Ageng RP 2c LP + Askep PPOK
    Ageng RP 2c LP + Askep PPOK
    Документ39 страниц
    Ageng RP 2c LP + Askep PPOK
    Siti Maimunah Waroh
    Оценок пока нет
  • Referat Copd
    Referat Copd
    Документ46 страниц
    Referat Copd
    Errina Yustira
    Оценок пока нет
  • Referat Ppok Asma
    Referat Ppok Asma
    Документ17 страниц
    Referat Ppok Asma
    Miranti Dewi Puspitasari
    Оценок пока нет
  • LP Ppok
    LP Ppok
    Документ18 страниц
    LP Ppok
    dewi
    0% (1)
  • Laporan Pendahuluan Paru Obstruksi Kronik
    Laporan Pendahuluan Paru Obstruksi Kronik
    Документ23 страницы
    Laporan Pendahuluan Paru Obstruksi Kronik
    Dwi Kristiarini
    Оценок пока нет
  • Referat PPOK
    Referat PPOK
    Документ43 страницы
    Referat PPOK
    Indra Lesmana
    100% (4)
  • LP Ppok
    LP Ppok
    Документ16 страниц
    LP Ppok
    Iin Apriyanti Husni
    100% (2)
  • Referat PPOK Huda
    Referat PPOK Huda
    Документ24 страницы
    Referat PPOK Huda
    Khairul Huda Pgdgn
    Оценок пока нет
  • Penyakit Paru Obstruktif Kronik
    Penyakit Paru Obstruktif Kronik
    Документ7 страниц
    Penyakit Paru Obstruktif Kronik
    Arnisa Amalia
    Оценок пока нет
  • LP Copd
    LP Copd
    Документ11 страниц
    LP Copd
    Sopan Supriadi
    100% (3)
  • Ppok
    Ppok
    Документ15 страниц
    Ppok
    Widia erning
    Оценок пока нет
  • LP Copd
    LP Copd
    Документ14 страниц
    LP Copd
    ARIS MUNANDAR
    Оценок пока нет
  • Fengki Ayu Lestari (LP Ppok)
    Fengki Ayu Lestari (LP Ppok)
    Документ24 страницы
    Fengki Ayu Lestari (LP Ppok)
    jumadil
    Оценок пока нет
  • Laporan Pendahuluan Ppok
    Laporan Pendahuluan Ppok
    Документ13 страниц
    Laporan Pendahuluan Ppok
    novhy
    Оценок пока нет
  • Makalah PPOK Paru
    Makalah PPOK Paru
    Документ19 страниц
    Makalah PPOK Paru
    Satriani Jee
    Оценок пока нет
  • LP Ppok
    LP Ppok
    Документ35 страниц
    LP Ppok
    Bobhbob Bebhbeb
    Оценок пока нет
  • LP-PPOK B
    LP-PPOK B
    Документ29 страниц
    LP-PPOK B
    Azmi
    Оценок пока нет
  • Makalah PPOK
    Makalah PPOK
    Документ25 страниц
    Makalah PPOK
    vandhani79
    Оценок пока нет
  • LP Copd
    LP Copd
    Документ11 страниц
    LP Copd
    Zola Ismu Arjunanto
    Оценок пока нет
  • Beda Ppom Dan Asthma
    Beda Ppom Dan Asthma
    Документ12 страниц
    Beda Ppom Dan Asthma
    gita
    Оценок пока нет
  • Ppok
    Ppok
    Документ28 страниц
    Ppok
    Nur Hidayah
    Оценок пока нет
  • LP PPOK
    LP PPOK
    Документ14 страниц
    LP PPOK
    Melfin Alfatih
    Оценок пока нет
  • Sak Ppok
    Sak Ppok
    Документ36 страниц
    Sak Ppok
    Kusmawan Id
    Оценок пока нет
  • LP Ppok
    LP Ppok
    Документ31 страница
    LP Ppok
    Yuniar Dewi Atapsari
    Оценок пока нет
  • Beda Asma Dan PPOK
    Beda Asma Dan PPOK
    Документ14 страниц
    Beda Asma Dan PPOK
    Susan
    0% (1)
  • PPOK - Emfisema
     PPOK - Emfisema
    Документ6 страниц
    PPOK - Emfisema
    RidoBlg
    Оценок пока нет
  • Definisi DLL, Ppok
    Definisi DLL, Ppok
    Документ22 страницы
    Definisi DLL, Ppok
    Marcella
    Оценок пока нет
  • COPD ASUHAN KEPERAWATAN Oleh Deta Helisanova
    COPD ASUHAN KEPERAWATAN Oleh Deta Helisanova
    Документ27 страниц
    COPD ASUHAN KEPERAWATAN Oleh Deta Helisanova
    Oppahdeta
    100% (1)
  • Rangkuman Modul 2 Blok 15
    Rangkuman Modul 2 Blok 15
    Документ64 страницы
    Rangkuman Modul 2 Blok 15
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Kelompok 2
    Kelompok 2
    Документ83 страницы
    Kelompok 2
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Rngkumn Ayu
    Rngkumn Ayu
    Документ67 страниц
    Rngkumn Ayu
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Kelompok 5
    Kelompok 5
    Документ28 страниц
    Kelompok 5
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Kelompok 5
    Kelompok 5
    Документ41 страница
    Kelompok 5
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Kelompok 1
    Kelompok 1
    Документ96 страниц
    Kelompok 1
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Kelompok 6
    Kelompok 6
    Документ50 страниц
    Kelompok 6
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Kelompok 1
    Kelompok 1
    Документ63 страницы
    Kelompok 1
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Tugas Referat THT OMSK
    Tugas Referat THT OMSK
    Документ28 страниц
    Tugas Referat THT OMSK
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Omsk Kia Rindut
    Omsk Kia Rindut
    Документ35 страниц
    Omsk Kia Rindut
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Blok 19 Modul 2
    Blok 19 Modul 2
    Документ55 страниц
    Blok 19 Modul 2
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Blok 19 Modul 1
    Blok 19 Modul 1
    Документ33 страницы
    Blok 19 Modul 1
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Fraktur Pelvis
    Fraktur Pelvis
    Документ49 страниц
    Fraktur Pelvis
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Sken 1
    Sken 1
    Документ11 страниц
    Sken 1
    Nur Afifah
    Оценок пока нет
  • Laporan Kasus RiYu
    Laporan Kasus RiYu
    Документ11 страниц
    Laporan Kasus RiYu
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Laporan Kasus RiYu
    Laporan Kasus RiYu
    Документ10 страниц
    Laporan Kasus RiYu
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Tutorial Kasus Gizi Dr. Will Terbaruuu
    Tutorial Kasus Gizi Dr. Will Terbaruuu
    Документ64 страницы
    Tutorial Kasus Gizi Dr. Will Terbaruuu
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Makalah Kelompok 5 Modul 1 Blok 10
    Makalah Kelompok 5 Modul 1 Blok 10
    Документ58 страниц
    Makalah Kelompok 5 Modul 1 Blok 10
    Yuji Aditya
    Оценок пока нет
  • Makalah Kelompok 6 Modul 1 Blok 10
    Makalah Kelompok 6 Modul 1 Blok 10
    Документ24 страницы
    Makalah Kelompok 6 Modul 1 Blok 10
    Yuji Aditya
    Оценок пока нет
  • Nejm
    Nejm
    Документ5 страниц
    Nejm
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Kelompok 4
    Kelompok 4
    Документ1 страница
    Kelompok 4
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Gangguan Penggunaan Nikotin
    Gangguan Penggunaan Nikotin
    Документ19 страниц
    Gangguan Penggunaan Nikotin
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Kelompok 1
    Kelompok 1
    Документ99 страниц
    Kelompok 1
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Kelompok 4
    Kelompok 4
    Документ44 страницы
    Kelompok 4
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Kelompok 1 Modul 3
    Kelompok 1 Modul 3
    Документ39 страниц
    Kelompok 1 Modul 3
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Kelompok 2
    Kelompok 2
    Документ56 страниц
    Kelompok 2
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Kelompok 5
    Kelompok 5
    Документ48 страниц
    Kelompok 5
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Kelompok 1
    Kelompok 1
    Документ66 страниц
    Kelompok 1
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Kelompok 5
    Kelompok 5
    Документ21 страница
    Kelompok 5
    Rizkia Mulyasari
    Оценок пока нет
  • Kelompok 6
    Kelompok 6
    Документ39 страниц
    Kelompok 6
    Yuji Aditya
    Оценок пока нет