Вы находитесь на странице: 1из 20

STATUS PENDERITA

A. Identitas Penderita
Nama

: Sdr. H

Umur

: 25 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Laren 03/04 bumiayu

Agama

: Islam

Status

: belum menikah

Pekerjaan

: wiraswasta

Tanggal masuk RSMS

: 07 Juni 2014

Tanggal periksa

: 09 Juni 2014

No.CM

: 759836

B. Anamnesis
Keluhan utama

: Pusing

Keluhan tambahan

: Lemas, BAB warna hitam

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD pada tanggal 7 Juni 2014 dengan keluhan pusing,
sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pusing yang dirasakan cekotcekot diseluruh kepala kambuh-kambuhan disertai leher yang kaku dan
semakin memeberat serta pasien menjadi lemas. Selain itu pasien mengeluh
adanya BAB warna hitam, sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien
berobat sebelumnya di bekasi 2 bulan sebelum masuk rumah sakit dan
diberitahu dokter bahwa pasien menderita sakit ginjal. Pasien menyangkal
BAK tidak lancar.
Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat keluhan yang sama

: keluhan pusing sering kambuh-

kambuhan.
2. Riwayat hipertensi

: ada, kurang lebih sejak 1 tahun ini

dan tidak terkontrol.


3. Riwayat DM

: Disangkal

4. Riwayat penyakit jantung

: Disangkal

5. Riwayat penyakit ginjal

: 2 bulan SMRS

6. Riwayat asam urat

: Disangkal

7. Riwayat alergi

: Disangkal

8. Riwayat mondok

: disangkal

9. Riwayat cuci darah

: Disangkal

Riwayat penyakit keluarga


1. Riwayat keluhan yang sama

: Disangkal

2. Riwayat sakit kuning

: Disangkal

3. Riwayat hipertensi

: Disangkal

4. Riwayat DM

: Disangkal

5. Riwayat penyakit jantung

: Disangkal

6. Riwayat penyakit ginjal

: Disangkal

Riwayat sosial ekonomi


1. Occupational
Saat ini pasien bekerja di Bekasi.
2. Diet
Pasien sering makan-makanan berlemak (daging kambing), fast food,
gorengan dan suka makan asin. Pasien makan 3 kali sehari dengan lauk
pauk seadanya.
3. Drug
Pasien tidak mengkonsumsi obat apapun.

C. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan di bangsal Mawar kamar 10 RSMS, 7 Juni 2014.
1. Keadaan umum

: Sedang

2. Kesadaran

: Compos Mentis

3. Vital sign
Tekanan Darah

: 180/100 mmHg

Nadi

: 92 x/menit

Respiration Rate

: 20 x/menit

Suhu

: 36,2 0C

4. Berat badan

: 63 kg

5. Tinggi badan

: 168 cm

6. Indeks Massa Tubuh : 22,5 kg/m2


7. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala
Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-)
2) Rambut
Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut dan terdistribusi merata
3) Mata
Simetris, konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
4) Telinga
Discharge (-), deformitas (-)
5) Hidung
Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)
6) Mulut
Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi : JVP R+2 cm
c. Pemeriksaan thoraks
Paru
Inspeksi

: Dinding dada tampak simetris, tidak tampak


ketertinggalan gerak antara hemithoraks kanan dan
kiri, kelainan bentuk dada (-)

Palpasi

: Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri


Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri

Perkusi

: Perkusi orientasi selurus lapang paru sonor


Batas paru-hepar SIC V LMCD

Auskultasi

: Suara dasar vesikuler +/+

Ronki basah halus -/Ronki basah kasar -/Wheezing -/Jantung


Inspeksi

: Ictus Cordis tampak di SIC V 2 jari medial LMCS

Palpasi

: Ictus Cordis teraba pada SIC V 2 jari medial LMCS


dan kuat angkat (-)

Perkusi

: Batas atas kanan

Auskultasi

: SIC II LPSD

Batas atas kiri

: SIC II LPSS

Batas bawah kanan

: SIC IV LPSD

Batas bawah kiri

: SIC VI 2 jari lateral LMCS

: S1>S2 reguler; Gallop (-), Murmur (-)

d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi

: Datar

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Perkusi

: Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)

Palpasi

: Nyeri tekan (-), undulasi (-),Nyeri Ketok CVA (-)

Hepar

: Teraba 1 jari BACD, tepi lancip, permukaan rata,


kenyal.

Lien

: Tidak teraba

e. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan

Edema
Sianosis
Akral dingin
Reflek fisiologis
Reflek patologis

Ekstremitas
superior
Dextra Sinistra
+
+
-

Ekstremitas inferior
Dextra
+
-

Sinistra
+
-

D. Pemeriksaan Penunjang
Tanggal

7 Juni 2014

8 Juni 2014

Nilai rujukan

Hemoglobin

4,9 g/dL

7 g/dL

11,5 13,5

Leukosit

9390 /uL

7730 /uL

4500 14500

Hematokrit

15 %

21 %

35 45

Eritrosit

1,8 x106/uL

2,5 x106/uL

4,0 5,2

Trombosit

90.000 /uL

82.000 /uL

MCV

81,2 fL

82,1 fL

79 99

MCH

27,1 pg

27,9 pg

27 31

MCHC

33,3 %

34,1 %

33 37

Eosinofil

0,1 %

0,1 %

01

Basofil

3,1 %

4,1 %

24

Batang

0,4 %

0,4 %

25

Segmen

81,0 %

69,7 %

40 70

Limfosit

10,4%

16,4 %

25 40

Monosit

5,0 %

9,3 %

28

Ureum

279,9 mg/dL

14,98 38,52

Kreatinin

20,14 mg/dL

0,80 1,30

GDS

162 mg/dL

< 200

Kalium

5,1 mmol/L

3,5 5,1

HbSAg

Non reaktif

Norn reaktif

Anti HCV

Non reaktif

Non reaktif

150000 - 450000

Hitung Jenis

E. Diagnosis
- CKD Grade V
GFR :

= 4,99 5

- HT gr II
- Anemia berat

F. Usulan Pemeriksaan Penunjang


1. Cek Lab TIBC dan FE

G. Penatalaksanaan
Farmakologi :
1. IVFD D5% 10 tpm
2. Inj. furosemid 3x2 amp
3. PO. Amlodipin 1x5 mg
4. PO. Natrium bikarbonat 3x1 tab
5. PO. Diovan 1x160 mg
6. Transfusi PRC sampai HB > 8

Non Farmakologi
1. Bed rest
2. Motivasi hemodialisa

Monitoring
1. Hb, Ureum dan Kreatinin
2. Tekanan darah

H. Prognosis
Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad sanationam

: dubia ad malam

Ad functionam

: dubia ad malam

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gagal ginjal kronik / Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan
sebagai penurunan progresif fungsi ginjal menahun dan perlahan yang
bersifat irreversible. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme atau keseimbangan cairan dan elektrolit, yang berakibat
terjadinya uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)
(Suwitra, 2007).
Batasan penyakit ginjal kronik :
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan penanda
kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan gambaran radiologi.
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.

B. Klasifikasi
CKD diklasifikasikan menjadi 5 derajat yang dilihat dari derajat penyakit
dan nilai GFR, semakin besar derajat CKD prognosis penyakit akan semakin
buruk (Eknoyan, 2009; Levey et., al., 2005).
Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi
glomerolus.
Derajat

Penjelasan

LFG
(mL/menit/1,73m2)

Kerusakan ginjal dengan LFG normal 90


atau

Kerusakan ginjal dengan LFG ringan

60-89

Kerusakan ginjal dengan LFG sedang

30-59

Kerusakan ginjal dengan LFG berat

15-29

Gagal ginjal

<15 atau dialisis

Tabel 2. Klasifikasi Chronic Kidney Disease


Derajat
1

Deskripsi
Kerusakan ginjal dengan
GFR Normal atau
meningkat
Kerusakan ginjal dengan
penurunan GFR ringan

Penurunan GFR sedang

Penurunan GFR berat

Gagal ginjal

Klasifikasi Berdasarkan Keparahan


GFR
Keadaan Klinis
mL/min/1.73 m2
Albuminuria,
90
proteinuria,
hematuria
Albuminuria,
60-89
proteinuria,
hematuria
Insufisiensi ginjal
30-59
kronik
Insufisiensi ginjal
15-29
kronik, pre-ESRD
< 15
Gagal ginjal, uremia,
Atau dialisis
ESRD

(Eknoyan, 2009; Levey et., al., 2005)

C. Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya CKD antara lain (Sudoyo, 2006) :
1. Gangguan imunologis
a.

Glomerulonefritis

b.

Poliartritis nodosa

c.

Lupus eritematous

2. Gangguan metabolik
a.

Diabetes Mellitus

b.

Amiloidosis

c.

Nefropati Diabetik

3. Gangguan pembuluh darah ginjal


a.

Arterisklerosis

b.

Nefrosklerosis

4. Infeksi
a.

Pielonefritis

b.

Tuberkulosis

5. Gangguan tubulus primer


a.

Nefrotoksin (analgesik, logam berat)

6. Obstruksi traktus urinarius


a. Batu ginjal
b. Hipertopi prostat
c. Konstriksi uretra
7. Kelainan kongenital
a.

Penyakit polikistik

b.

Tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat kongenital (hipoplasia


renalis)

D. Epidemiologi
Insidens penyakit CKD di Amerika Serikat diperkirakan sejumlah 100
juta kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8%
setiap tahunnya. Terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya di
Malaysia, dan di negara berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan sekitar
40-60 kasis perjuta penduduk per tahun (Suwitra, 2007). Penyakit gagal ginjal
kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya pun lebih
sering pada kulit berwarna daripada kulit putih.
Beberapa penyebab CKD yang menjalani hemodialisis di Indonesia
pada tahun 2000 antara lain Glomerulonefritis (46,39%), Diabetes Mellitus
(18,65%), Obstruksi dan infeksi (12,85%), Hipertensi (8,46%), dan penyebab
yang lain dengan presentase sebesar (13,65%) (Murray et al, 2007).
E. Patofisiologi
Berdasarkan hipofisis nefron yang utuh, mengatakan bahwa bila nefron
terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron
yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan timbul jika jumlah nefron
sudah berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat
dipertahankan lagi (Price et al, 2005).
Sisa nefron yang ada beradaptasi dengan mengalami hipertrofi dalam
usahanya untuk mengimbangi beban ginjal. Terjadinya peningkatan filtrasi
dan reabsorbsi glomerulus tubulus dalam setiap nefron, meskipun GRF untuk
seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal,
namun jika 75% massa nefron telah hancur maka kecepatan filtrasi dan beban

solut bagi setiap nefron akan semakin tinggi. Ini mengakibatkan


keseimbangan glomerulus tubulus tidak dapat dopertahankan lagi (Price et al,
2005).
Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan kemih
menyebabkan BJ urin tetap pada nilai 1,010 atau 285m Osmot (sama dengan
konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia.
Retensi cairan dan natrium ini mengkibatkan ginjal tidak mampu
mengkonsentrasikan dan mengencerkan urin. Respon ginjal yang tersisa
terhadap masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Penderita
sering menahan cairan dan natrium, sehingga meningkatkan risiko terjadinya
edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi
akibat aktivasi aksis rennin dan angiotensin. Kerjasama keduanya
meningkatkan sekresi aldosteron. Saat muntah dan diare menyebabkan
penipisan air dan natrium yang dapat memepreberat stadium uremik. Dengan
berkembangnya penyakit renal terjadi asidosis metabolik seiring dengan
ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan.
Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal
mengekskresikan amonia dan mengabsorbsi natrium bikarbonat (Price et al,
2005).
Anemia pada CKD sebagai akibat terjadinya produksi erytropoetin
yang tidak adekuat dan memendekkan usia sel darah merah. Erytropoitin
adalah suatu substansi normal yang diprosuksi oleh ginjal, menstimulus sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Pada penderita CKD,
produksi erytropoetin menurun dan anemia berat akan terjadi disertai
keletihan, angina dan sesak nafas (Price et al, 2005).
Pada penderita CKD, juga terjadi gangguan metabolisme kalsium dan
fosfat. Kedua kadar serum tersebut memiliki hubungan yang saling
berlawanan. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat
peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium (Price et
al, 2005).
Pada pendeita DM, konsentrasi gula dalam darah yang meningkat,
menyebabkan kerusakan pada nefron ginjal atau menurunkan fungsinya yang

10

akhirnya akan merusak sistem kerja nefron untuk memfiltrasi zat zat sisa.
Keadaan ini bisa mengakibatkan ditemukannya mikroalbuminuria dalam
urine penderita. Inilah yang biasa disebut sebagai nefropati diabetik (Price et
al, 2005).
Penderita CKD juga dapat mengalami osteophorosis sebagai akibat dari
menurunnya fungsi ginjal untuk memproduksi vitamin D, sehingga terjadi
perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan hormone (Price et al,
2005).
Perjalanan penyakit CRF secara umum terjadi dalam beberapa tahapan,
yaitu (McCance dan Sue, 2006):
1. Penurunan Fungsi Ginjal
Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan GFR < 50%. Pada
keadaan ini, tanda dan gejala CRF belum muncul, namun sudah terdapat
peningkatan pada ureum dan kreatinin darah.
2. Insufisiensi Ginjal
Insufisiensi ginjal menandakan bahwa ginjal sudah tidak dapat lagi
menjalankan fungsinya secara normal, pada keadaan ini GFR mengalami
penurunan yang bermakna. Tanda dan gejala serta disfungsi ginjal yang
ringan sudah muncul. Nefron yang masih berfungsi akan melakukan
kompensasi untuk memaksimalkan fungsi ginjal. Kelainan konsentrasi
urin, nokturia, anemia ringan, dan gangguan fungsi ginjal saat stres dapat
terjadi pada tahapan ini.
3. Gagal Ginjal
Keadaan gagal ginjal dikarakteristikan dengan azotemia, asidosis,
ketidakseimbangan konsentrasi urin, anemia berat, dan gangguan elektrolit
(hipernatremia, hiperkalemia, dan hiperpospatemia). Keadaan gagal ginjal
terjadi saat GFR < 20% dan penyakit mulai memberikan efek pada sistem
organ lain.
4. ESRD
ESRD (End Stage Renal Disease) merupakan tahapan terakhir dari
gangguan fungsi ginjal. Fungsi filtrasi ginjal mengalami gangguan yang
berat. GFR hampir tidak ada lagi. Kemampuan reabsorbsi dan ekskresi

11

juga terganggu, dikarenakan perubahan yang besar dari elektrolit, regulasi


cairan, dan gangguan keseimbangan asam basa. Gangguan kardiovaskuler,
hematologi, neurologi, gastrointestinal, endokrin, metabolik, gangguan
tulang dan mineral juga dapat terjadi.
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis CKD terdiri dari kelainan hemopoeisis, saluran
cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan kardiovaskular (Murray et al.,
2007).
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU),
sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien
gagal ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal
lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi,
kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut
ataupun kronik (Suwitra, 2007).
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL
atau hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi
serum / serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity
(TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya ((Murray et al., 2007;
Suwitra, 2007).
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di
samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO)
merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal
kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak
cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan
perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi
klinik adalah 11-12 g/dL (Suwitra, 2007).

12

b. Kelainan saluran cerna


Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian
pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis
mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan
dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah
yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus
halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang
setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian
kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah
beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat,
misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati)
mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada
pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada
conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa
pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder
atau tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas
dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan
gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit
biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea
pada kulit muka dan dinamakan urea frost (Kumar et al., 2007).
e. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik
sangat

kompleks.

Beberapa

faktor

seperti

anemia,

hipertensi,

aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien


gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung.

13

G. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis CKD berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik mengenai manifestasi klinis yang ada pada pasien dan dibantu hasil
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya seperti DM, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, lupus
Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
b. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus,
perikarditis, kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya, seperti anemia, asidosis metabolik, dan
sebagainya.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah ditemukan anemia normositik normokrom dan
terdapat sel Burr pada uremia berat. Leukosit dan trombosi masih dalam
batas normal. Klirens kreatinin meningkat melebihi laju filtrasi
glomerulus dan turun menjadi kurang dari 5 ml/menit pada gagal ginjal
terminal. Dapat ditemukan proteinuria 200-1000mg/hari.
b. Penurunan fungsi ginjal berupa penurunan ureum dan kreatinin serum,
dan penghitungan TKK
c. Kelainan biokimiawi darah seperti penurunan kadar hemoglobin dan
asam urat.
d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria dan leukosuria.
3. Gambaran radiologis;
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b. USG bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.

14

4. Biopsi
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat dilakukan pada
penderita dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana
diagnosis secara invasif sulit ditegakkan (Suwitra, 2007).
H. Penatalaksanaan
Diagnosis CRF harus dilakukan berdasarkan klasifikasi etiologi dan
patologi sehingga petugas kesehatan dapat merencanakan terapi yang tepat
untuk mencegah progresi penyakit dan memperbaiki keadaan umum. Tujuan
dari terapi CRF adalah (K/DOQI, 2002):
1. Terapi Spesifik terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah
sebelum penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi.
Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 2030% dari normal, terapi terhadap penyakit dasarnya sudah tidak banyak
bermanfaat (Suwitra, 2006).
2. Pencegahan dan Terapi terhadap Kondisi Komorbid
Penting untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG
pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi
komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor
komorbid ini antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang
tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan
radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya (Suwitra,
2006).
3. Memperlambat Pemburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi
glomerulus ini adalah dengan (Suwitra, 2006):
a. Pembatasan asupan protein
Pembatasan mulai dilakukan pada LFG 60 ml/menit, sedangkan
di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu
15

dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari, yang 0,35-0,50 gr di


antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang
diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Bila terjadi malnutrisi, jumlah
asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak
dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi
dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama
diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, fosfat, sulfat, dan ion nonorganic lain juga
diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi
protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi

nitrogen dan ion

anorganik lain dan

mengakibatkan gangguan klinis dan metabolic yang disebut uremia,


dengan

demikian

pembatasan

protein

akan

mengakibatkan

berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan


protein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal
berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang
akan

meningkatkan

progresivitas

pemburukan

fungsi

ginjal.

Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan


fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama.
Pembatasa fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia
(Suwitra, 2006).
b. Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus
Pemakaian

obat

antihipertensi,

selain

bermanfaat

untuk

memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk


memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerulus dan hipertrfi glomerulus. Selain itu, sasaran
terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria, karena
proteinuria merupakan factor risiko terjadinya pemburukan fungsi
ginjal. Beberapa obat antihipertensi terutama golongan ACE inhibitor
melalui

berbagai

studi

terbukti

dapat

memperlambat

proses

pemburukan fungsi ginjal (Suwitra, 2006).


4. Pencegahan dan Terapi terhadap Penyakit Kardiovaskular

16

Lebih kurang 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik


disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam
pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah pengendalian
diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia, hperfosfatemia, dan terapi
terhadap cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait
dengan terapi dan pencegahan terhadap koplikasi penyakit ginjal kronik
secara keseluruhan (Suwitra, 2006).
5. Pencegahan dan Terapi terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi,
yaitu sebagai berikut (Suwitra, 2006):
a. Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan (LFG 60-89
ml/menit) : tekanan darah mulai meningkat
b. Penurunan LFG sedang (LFG 30-59 ml/menit) : hiperfosfatemia,
hipokalsemia,

anemia,

hiperparatiroid,

hipertensi,

dan

hiperhomosisteinemia
c. Penurunan LFG berat (LFG 15-29 ml/menit) : malnutrisi, asidosis
metabolik, kecenderungan hiperkalemia, dan dislipidemia
d. Gagal ginjal (LFG < 15 ml/menit) : gagal jantung dan uremia
6. Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5, yaitu pada LFG 15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat
berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra,
2006).
Monitoring balance cairan, tekanan darah, ureum, kreatinin, Hb, dan Gula
darah

juga perlu dilakukan untuk mecegah progresivitas penyakit untuk

berkembang lebih cepat (K/DOQI, 2002).


I.

Komplikasi
1. Hiperkalemia
Hiperkalemia dapat terjadi akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik,
katabolisme dan masukan diit berlebih.

17

2. Perkarditis akibat terjadinya infeksi akibat efusi pleura dan tamponade


jantung akibat produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem reninangiotensin-aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
rendah, metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar aluminium.
J.

Prognosis
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium
terminal atau stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis
yang mendasari, keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing.
Pasien yang menjalani dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan
kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang
menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani
dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%),
infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%)
(Medscape, 2011).

K. Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah
mulai dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya
pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal
dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah
makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak
darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan
pengendalian berat badan.

18

DAFTAR PUSTAKA
Jakarta: Editorial. Gagal Ginjal Kronik. Diunduh dari: http://emedicine.
medscape.com/article/238798-overview, 05 Februari 2011.
Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:
Evaluation,
Classification,
and
Stratification.
Diunduh
dari:
http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm GGK,
05 Februari 2011.
Eknoyan, Garabed. 2009. Definition and Classification of Chronic Kidney
Disease. US Nephrology: 13-7.
Kidney Disease Outcome Quality Initiative. 2002. Clinical Practice Guidelines
for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification.
New York: National Kidney Foundation.
Kumar, Vinay., Cotran, Ramzi S., Robbins, Stanley L. 2007. Robbins buku ajar
patologi volume 2 edisi 7. Jakarta: EGC.
Levey, Andrew S., Kai-Uwe E., Yusuke T., Adeera L., Josef C., Jerome R., Dick
DZ., Thomas H. H., Norbert L., Garabed E. 2005. Definition and
Classification of Chronic Kidney Disease: A Position Statement from
Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO). Kidney
International: 67; 2089-2100.
Lopez-Novoa, Jose M., Carlos MS., Ana B. RP., Francisco J. L. H. 2010.
Common Pathophysiological Mechanism of Chronic Kidney Disease:
Therapeutic Perspectives. Pharmacology and Therapeutics: 128; 61-81.
McCance, K. L., Sue E. Huether. 2006. Pathophysiology: The Biologic of Disease
in Adults and Children. Canada: Elsevier Mosby.
Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Oxford Handbook
of Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University; 2007. 294-97.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis R,
Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. 2006. Panduan
Pelayanan Medik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.. hlm
168-70.
Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses
Perjalanan Penyakit. Volume 1, Edisi 6. Jakarta: EGC.

Sudoyo, Aru W, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
Keempat. Jilid I. Jakarta Balai Penerbit FKUI. p. 725 33 ; 766 71.

19

Suwitra, K. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A,


Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hlm 570-3.

20

Вам также может понравиться