Вы находитесь на странице: 1из 34

BAB I

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG
Perubahan-perubahan akan terjadi pada tubuh manusia sejalan dengan

semakin meningkatnya usia. Perubahan tubuh terjadi sejak awal kehidupan hingga
usia lanjut pada semua organ dan jaringan tubuh. Keadaan demikian itu tampak
pula pada semua sistem muskuloskeletal dan jaringan lain yang ada kaitannya
dengan kemungkinan timbulnya beberapa golongan reumatik.
Salah satu golongan penyakit reumatik yang menimbulkan gangguan
muskuloskeletal adalah rheumatoid arthritis. Reumatik dapat mengakibatkan
perubahan otot hingga fungsinya dapat menurun bila otot pada bagian yang
menderita tidak dilatih guna mengaktifkan fungsi otot. Dengan meningkatnnya
usia menjadi tua fungsi otot dapat dilatih dengan baik. Namun usia lanjut tidak
selalu mengalami atau menderita rematik. Bagaimana timbulnya kejadian
reumatik ini, sampai sekarang belum sepenuhnya dapat dimengerti. Reumatik
bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu sindrom. Golongan
penyakit yang menampilkan perwujudan sindroma reumatik cukup banyak,
namun semua menunjukkan adanya persamaan ciri. Menurut kesepakatan para
ahli dibidang rematologi, rematik dapat terungkap sebagai keluhan atau tanda.
Dari kesepakatan, dinyatakan ada tiga keluhan utama pada sistem muskuloskeletal
yaitu: nyeri, kekakuan (rasa kaku) dan kelemahan serta adanya tiga tanda utama
yaitu: pembengkakan sendi, kelemahan otot dan gangguan gerak. (sonarto,1982)
Dari berbagai masalah ksehatan itu ternyata gangguan muskuloskletal
menempati urutan kedua 14,5 % setelah pnyakit kardiovaskuler dalam pola
penyakit masyarakat usia >55 tahun (Household Survey on Health,1996) dan
berdasarkan WHO di jawa ditemukan bahwa rheumatoid arthritis menempati
urutan pertama ( 49% ) dari pola penyakit lansia (Boedhi Darmojo et.al, 1991).

B.

C.

RUMUSAN MASALAH
1.

Apa yang dimaksud dengan rheumatoid arthritis?

2.

Apa saja patofisiologi rheumatoid arthritis ?

3.

Apa saja gejala dan tanda rheumatoid arthritis ?

4.

Bagaimana diagnosis rheumatoid arthritis ?

5.

Apa saja pemeriksaan laboratorium rheumatoid arthritis ?

6.

Bagaimana penatalaksanaan terapi rheumatoid arthritis ?

TUJUAN PENULISAN
1.

Untuk mengetahui pengertian rheumatoid arthritis.

2.

Untuk mengetahui patofisiologi rheumatoid arthritis.

3.

Untuk mengetahui gejala dan tanda rheumatoid arthritis

4. Untuk mengetahui diagnosis rheumatoid arthritis

D.

5.

Untuk mengetahui pemeriksaan laboratorium rheumatoid arthritis

6.

Untuk mengetahui penatalaksanaan terapi rheumatoid arthritis

METODE PENULISAN
Penulisan makalah ini menggunakan berdasarkan literatur yang
diperoleh dari buku ataupun sumber dari internet.

E.

MANFAAT PENULISAN
1. Sebagai informasi dasar untuk mengenal arthritis rheumatoid.
2. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai arthritis
rheumatoid.

BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI RHEUMATOID ARTHRITIS

Rheumatoid arthritis adalah suatu keadaan kronis dan biasanya merupakan


kelainan inflamasi progresif dengan etiologi yang belum diketahui yang
dikarakterisasi dengan sendi simetrik poliartikular dan manifestasi sistemik
(Sukandar, 2009).
Rheumatoid arthritis juga didefinisikan sebagai inflamasi kronis yang
umum disebabkan oleh kelainan autoimun dengan etiologi yang belum diketahui.
Inflamasi pada RA akan mengakibatkan penghancuran pada kartilago dan tulang
persendian. Kejadian inflamasi ini melibatkan bagian-bagian sendi terutama
membran sinovial (membran yang membungkus sendi berisi cairan sinovial).
Kesehatan penderita RA akan menurun dikarenakan rasa nyeri, kelelahan,
ketidakmampuan fungsional tubuh, serta ekonomi pasien yang dapat melemah
akibat perkembangan penyakit yang progresif (Gibofsky, 2012).
Rheumatoid Arthritis kerap dikaitkan dengan kelainan hipersensitivitas
tipe III. Hal ini dikarenakan dalam pemeriksaanya kerap ditemukan adanya
kompleks imunoglobulin G yang berada pada cairan sendi yang menyebabkan
terjadinya inflamasi. Selain itu, RA merupakan kelainan sistem imun yang
merupakan autoimun disease. Hal ini dikarenakan pada dasarnya terjadi kelainan
pada sel-sel limfosit yang mengakibatkan teraktivasinya jalur-jalur imun dan
protein-protein imun sehingga terjadi reaksi inflamasi.

B. PATOFISIOLOGI RHEUMATOID ARTHRITIS


Rheumatoid arthritis (RA) merupakan perubahan konformasi pada sendi
akibat adanya inflamasi kronis pada persendian tersebut. Inflamasi ini disebabkan
karena adanya kelainan pada sistem imun. RA kerap dihubungkan dengan adanya
hipersensitivitas tipe III dan adanya kelainan autoimun yang memicu
teraktivasinya sistem imun secara berlebihan.

1. Patofisiologi Hipersensitivitas tipe III


Secara umum, hipersensitivitas tipe III adalah kelainan sistem imun
yang disebabkan adanya kompleks antibodi (imunoglobulin) yang kemudian
menjadi suatu antigen yang mengaktivasi jalur komplemen. Karena kompleks
antibodi ini mengaktivasi jalur komplemen klasik, maka akan terjadi sekresi
protein-protein imun dan sel-sel imun yang kemudian dapat memicu reaksi
inflamasi sehingga dapat melukai sel ataupun bagian dimana kompleks imun
tersebut terbentuk seperti persendian dan glomerulus nefron.
Berbeda dengan hipersensitivitas tipe II, kompleks imun yang terbentuk
disebabkan oleh antigen yang terlarut dalam cairan (plasma, sinovial, dan
cairan tubuh lain) sehingga tidak terjadi kompleks dengan sel tubuh.
Hipersensitivitas tipe III ini dipicu oleh berbagai sebab seperti kelainan
autoimun, toxin bakteri, maupun antigen yang terpapar dari luar seperti spora
jamur (Marc, 2009).
Proses yang terjadi adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Pembentukan kompleks imun (Immunopaedia.org, 2010)

Hipersensitivitas tipe III ini diawali dengan adanya antigen yang khusus
yang dapat memicu pembentukan kompleks dari imunoglobulin tertentu.
Beberapa antigen yang dapat memicu kompleks antibodi adalah antigen dari
dalam diri (autoimun) seperti vimetin, fibrin, dll, kemudian dikatakan adanya
infeksi dari bakteri dan virus, serta adanya alergen seperti spoa dari aspergilus
yang menyebabkan terjadinya kompleks antibodi ada paru-paru. Kompleks
antibodi kemudian akan terdeposit pada jaringan terdekat (Marc, 2009).

Gambar 2. Aktivasi jalur komplemen klasik (Immunopaedia.org, 2010)

Adanya timbunan kompleks imun pada jaringan ini menyebabkan


teraktivasinya protein komplemen tipe 1 (C1) yang kemudian memicu
teraktivasinya komplemen jalur klasik. Protein C1 akan menempel pada Fc di
kompleks imun tersebut. Protein C1 (terdiri dari C1 q,r,s) akan membelah
protein C4 menjadi C4a dan C4b dimana C4b akan menempel pada kompleks
imun sebagai anafilotoksin yang memacu inflamasi. Selain itu, protein C1 akan
membelah protein C2 menjadi protein C2a dan C2b dimana protein C2b akan
menempel pada C4b membentuk C3 konvertase yang mengubah C3 menjadi
C3a dan C3b. C3b memiliki 2 peran yang pertama bergabung dengan C3
konvertase membentuk C5 konvertase dan yang kedua menempel pada
permukaan kompleks imun dan berperan sebagai opsonin bagi fagosit. C5
konvertase akan membelah C5 menjadi C5a sebagai opsonin dan C5b sebagai
MAC (membrane attack complex) bersama dengan protein komplemen lain
(C7, C8, dan C9).

Gambar 3.Inflamasi pada sel target (Immunopaedia.org, 2010)

Pada akhirnya, akan terjadi migrasi sel-sel imun seperti netrofil, basofil,
dan eosinofil yang juga melepaskan mediator-mediator inflamasi dan
menyebabkan peradangan sendi.

2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis Terkait Hipersensitivitas Tipe III


Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit yang dapat terjadi karena
penyebab internal berupa genetik maupun eksternal berupa antigen-antigen
khusus (toksin bakteri dan rokok). Dari segi genetik, seseorang akan
mengalami peningkatan prosentase menderita RA apabila pada DNA nya
terdapat gen HLA-DRB1 yang diekspresikan. Pengekspresian gen ini akan
menyebabkan perubahan epitope pada sel limfosti yang nantinya akan
berikatan dengan MHC dan menghasilkan antibodi IgG yang berbeda pada
orang normal. Antibodi ini disebut dengan ACPA (Anti Citrunillated Protein
Antigen). ACPA akan berikatan dengan protein-protein tersitrunilasi dan
menyebabkan pembentukan kompleks imun pada sendi yang disebut
Rheumatoid Factor (RF) (Mclnnes, 2011).
Selain adanya gen HLA-DRB1 yang diekspresikan, beberapa faktor
eksternal juga mempengaruhi terjadinya RA. Salah satu agen yang paling
banyak menyebabkan RA adalah rokok. Rokok dapat memicu terjadinya
sitrunilasi pada protein-protein yang berada dalam jaringan ikat seperti vimetin.
Vimetin merupakan protein yang terdapat banyak pada sel-sel jaringan ikat
terutama persendian. Pada penderita RA, vimetin tersitrunilasi merupakan
antigen utama pemicu kelainan ini. Selain itu, beberapa sekret bakteri dapat
menyebabkan terjadinya sitrunilasi tersebut (Klareskog, 2006). Apabila
terdapat sitrunilasi protein maka akan terbentuk antigen tersitrunilasi dan
ACPA akan berikatan dengan antigen tersebut sehingga terjadilah kompleks
imun (RF). Dalam diagnosisnya, ACPA positif belum tentu menunjukkan
adanya RF. Hal ini dikarenakan walaupun terdapat ACPA, namun belum tentu
seorang penderita terpapar dengan antigen tersitrunilasi sehingga belum tentu
terbentuk kompleks imun (Scott, 2010). Selain itu, walaupun tidak
diekspresikanya gen HLA-DRB1, dengan adanya antigen RA (protein
tersitrunilasi), aktivasi sel-sel imun pada cairan sinovial akan terjadi sehingga

menyebabkan terbentuknya IgG yang berlebihan dan membentuk kompleks


(Ursum, 2009).

3. Peradangan Sendi Akibat Reaksi Imun pada Rheumatoid Arthritis


Pada penderita RA, dalam cairan sinovialnya terdapat banyak sel
myeloid dan sel dendrit yang melimpah. Sel-sel ini akan terkatifasi dengan
adanya antigen berupa protein tersitrunilasi. Sel T helper terutama Th 1 dan
Th17 yang teraktivasi akan menghasilkan berbagai mediator-mediator
inflamasi seperti IL-17, IL-17F, IL-22, dan TNF alfa sedangkan sel dendrit dan
myeloid akan menghasilkan IL-1beta, IL-6, IL-21, dan, TGF-beta. Proteinprotein inflamasi ini akan menyebabkan deferensiasi IL-17 meningkat dan
menurunkan deferensiasi sel T regulatory (sel T yang dapat menekan sistem
imun). Pada penderita RA, ditemukan dalam cairan sinovialnya sel T
regulatory yang memiliki penurunan fungsi, sehingga tidak ada proses supresi
dari mediator-mediator inflamasi. Hal ini mengakibatkan adanya inflamasi
pada daerah persendian. Sel B (CD20) yang membantu Sel T pada membran
sinovial juga akan membentuk sel B plasma yang akan mensekresikan IgG.
Pada orang dengan alele HSL-DRB1, IgG yang dihasilkan merupakan IgG
dengan FC anti protein tersitrunilasi (ACPA) sehingga akan membentuk
kompleks imun dengan protein tersitrunilasi. Akibatnya, protein komplemen
akan teraktivasi menggunakan jalur klasik sehingga terjadi kerusakan pada
persendian (Mclnnes, 2011).

Gambar 4. Regulasi sel-sel imun pada proses inflamasi sendi

Selain itu, sel-sel imun yang lain juga berperan dalam proses inflamasi
seperti netrofil, makrofag, sel mast, dan NK-cells. Makrofag akan
mensekresikan mediator-mediator inflamasi seperti IL-6, IL-1, (juga 12, 15, 18,
dan 23) dan TNF alfa. Selain itu, makrofag akan memfagositosis sel-sel tulang
pada persendian sehingga menyebabkan kerusakan sendi. Selain makrofag,
netrofil juga berperan dalam patogenesis RA, sebagai pensintesis sitokin dan
senyawa oksigen reaktif. Sel Mast juga berperan dalam mensintesis beberapa
kemokin dan amina vasoaktif penyebab inflamasi pada sendi (Scott, 2010).
Beberapa sitokin yang berperan penting dalam patogenesis RA adalah
IL-1, IL-6, dan TNF alfa. Ketiga sitokin ini akan menyebabkan osteoklas
sehingga

menyebabkan

deformasi

sendi.

Keseluruhan

sitokin

yang

diseksresikan oleh sel-sel imun melalui protein reseptor tirosin kinase dengan
jalur JAK (Mclnnes, 2011).

4. Manifestasi Rheumatoid Arthritis


Inflamasi kronis yang terjadi akibat RA ini akan menyebabkan berbagai
macam manifestasi. Dua macam manifestasi yang paling banyak terjadi adalah
kerusakan tulang rawan dan erosi tulang.
a. Kerusakan Tulang Rawan
Pada penderita RA, terjadi kehilangan efek protektif dari sinovium (cairan
sendi) seperti menurunya ekspresi dari lubricin, mengubah karakter dari
permukaan protein binding pada kartilago, meningkatkan adhesi dan invasi
FLS (Fibroblast-Like Sinoviocyte). FLS akan mensintesis MMP (Matrix
Metaloproteinase) sehingga meningkatkan perombakan dari kolagen. Selain
itu, enzim matriks lain seperti ADAMTS akan mengurangi integritas dari
kartilago. Berbagai macam sitokin pada cairan sendi juga akan
meningkatkan perombakan tulang rawan pada persendian. Hal ini
menyebabkan

radiografi

pada

penderita

RA

menunjukan

adanya

penyempitan jarak antar persendian (Mclnnes, 2011).


b. Erosi Tulang
Erosi pada tulang terjadi pada 80% penderita setelah 1 tahun terdiagnosa
RA dan berhubungan dengan inflamasi yang berkepanjangan dan progresif.
Berbagai macam sel imun seperti makrofag akan menyebabkan perubahan
osteoklas dan invasi pada permukaan periosteal. TNF alfa dan IL-6, IL-17,
dan IL-1 akan meningkatkan deferensiasi dari osteoclast dan aktivasinya.
Osteoclast

akan

menyebabkan

reaksi

enzimatik

asam

yang

akn

menghancurkan jaringan bermineral termasuk tulang rawan dan tulang


(Mclnnes, 2011).

C. GEJALA DAN TANDA RHEUMATOID ARTHRITIS


Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada
tingkat peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini aktif.
Ketika jaringan berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi dapat terjadi

secara spontan atau dengan pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa
bulan atau tahun. Selama remisi, gejala penyakit hilang dan orang-orang pada
umumnya merasa sehat ketika penyakit ini aktif lagi (kambuh) ataupun gejala
kembali (AHRQ, 2008).
Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan
energi, kurangnya nafsu makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi dan
kekakuan. Otot dan kekauan sendi biasanya paling sering di pagi hari. Disamping
itu juga manifestasi klinis rheumatoid arthritis sangat bervariasi dan biasanya
mencerminkan stadium serta beratnya penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan,
panas, eritema dan gangguan fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik
untuk rheumatoid arthritis (AHRQ, 2008).
Gejala sistemik dari rheumatoid arthritis adalah mudah capek, lemah, lesu,
takikardi, berat badan menurun, anemia. Pola karakteristik dari persendian yang
terkena adalah : mulai pada persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki.
Secara progresif mengenai persendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan
kaki, tulang belakang serviks, dan temporomandibular. Awitan biasanya akut,
bilateral dan simetris. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi
hari berlangsung selama lebih dari 30 menit. Deformitas tangan dan kaki adalah
hal yang umum (AHRQ, 2008).
Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :
1. Stadium sinovitis
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai
hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat,
bengkak dan kekakuan.
2. Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga
pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.
3. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,
deformitas dan gangguan fungsi secara menetap (AHRQ, 2008).

10

Keterbatasan fungsi sendi dapat terjadi sekalipun stadium pada penyakit


yang dini sebelum terjadi perubahan tulang dan ketika terdapat reaksi inflamasi
yang akut pada sendi-sendi tersebut. Persendian yang teraba panas, membengkak,
tidak mudah digerakkan dan pasien cendrung menjaga atau melinddungi sendi
tersebut dengan imobilisasi. Imobilisasi dalam waktu yang lama dapat
menimbulkan kontraktur sehingga terjadi deformitas jaringan lunak. Deformitas
dapat disebabkan oleh ketidaksejajajran sendi yang terjadi ketika sebuah tulang
tergeser terhadap lainnya dan menghilangkan rongga sendi (AHRQ,2008).
Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi
pada lanjut usia menurut Buffer (2010), yaitu: sendi terasa kaku pada pagi hari,
bermula sakit dan kekakuan pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan
kaki, juga pada jari-jari, mulai terlihat bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba
akan terasa hangat, terjadi kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak
tertahan dapat menyebabkan demam, dapat terjadi berulang.
Kerusakan sendi berlangsung dengan rasa sakit. Gejala khas pada arthritis
adalah nyeri sendi. Nyeri hebat di pagi hari setelah istirahat malam. Nyeri juga
hebat ketika beristirahat daripada ketika bekerja. Kekakuan sendi adalah gejala
lain. Kekakuan otot-otot selama pagi setelah bangun terlihat pada pasien
rheumatoid arthritis serta osteoarthritis. Namun, di antara pasien dengan
osteoarthritis kekakuan pergi setelah sekitar setengah jam aktivitas. Untuk pasien
rheumatoid arthritis kekakuan dapat bertahan lebih lama. Sendi bisa menjadi
meradang. Hal ini ditandai dengan kehangatan dan kemerahan dari sendi. Ada
pembengkakan di atas sendi bersama dengan kemerahan. Sendi terasa panas dan
menyakitkan untuk disentuh. Seiring waktu sendi kecil dapat rusak dan
menyebabkan cacat permanen. Cacat yang disebabkan karena erosi tulang yang
berakhir pada sendi, erosi kartilago dan pecahnya tendon di sekitar sendi.
Kelainan ini bersifat terlihat di tangan dan sendi jari. Misalnya, ibu jari yang cacat
dan ini kita disebut deformitas Boutonniere jempol. Ujung jari melengkung atau
disebut cacat leher angsa dll (NHS, 2012).
Pada pasien rheumatoid arthritis mungkin terjadi radang di sekitar sendi.
Ini muncul sebagai lesi bengkak disebut nodul rematik. Ini biasanya tidak nyeri,
keras, oval atau bulat massa yang umum selama titik-titik tekanan seperti

11

pergelangan tangan, siku, pergelangan kaki dll. Nodul rheumatoid dapat juga
terjadi pada mata atau organ lain seperti paru-paru. Dalam paru-paru mereka dapat
menyebabkan komplikasi seperti akumulasi cairan di dalam dan sekitar paruparu.Gejala lain dari rheumatoid arthritis adalah anemia atau rendahnya jumlah sel
darah merah. Hal ini karena mungkin ada kekurangan produksi sel darah merah
baru untuk menebus yang hilang. Jumlah trombosit juga dapat diubah (NHS,
2012).
Beberapa pasien mungkin menderita radang pembuluh darah atau
vaskulitis arthritis. Komplikasi ini mungkin mengancam nyawa. Hal ini dapat
menyebabkan ulserasi kulit yang dapat terinfeksi, ulkus lambung dan kerusakan
saraf. Ulkus lambung dapat menyebabkan komplikasi seperti perdarahan atau
perforasi dan patologi saraf dapat menyebabkan nyeri, mati rasa atau kesemutan
sensasi. Pembuluh darah dari otak dan jantung juga mungkin terlibat
menyebabkan serangan jantung atau stroke. Dalam hati mungkin ada akumulasi
cairan yang disebut pericarditis. Otot-otot jantung bisa meradang menyebabkan
miokarditis. Kondisi ini dapat menyebabkan gagal jantung. Beberapa orang
mungkin mengalami peningkatan mendadak dalam gejala dan ini disebut flare-up.
Flare up biasanya sulit untuk memprediksi dan dapat terjadi lebih sering pada
pagi hari setelah bangun tidur (NHS, 2012).
Rheumatoid arthritis secara keseluruhan memiliki dampak yang parah
pada kualitas hidup. Ada dampak yang parah pada fungsi fisik, sosial dan
kesejahteraan emosional serta kesehatan mental. Kondisi terkait lainnya dengan
kondisi ini termasuk depresi dan kecemasan (NHS, 2012).

D. DIAGNOSIS RHEUMATOID ARTHRITIS


Pendekatan perawatan pasien dengan RA dapat digolongkan menjadi 2
grup :
RA dini (early RA/ERA) didefinisikan sebagai pasien dengan gejala yang
terjadi kurang dari 3 bulan
Pasien dengan penyakit tetap yang mempunyai gejala yang timbul karena
inflamasi dan /atau karena kerusakan sendi.

12

Membedakan Arthritis Dengan Inflamasi Dari Arthritis Tanpa Inflamasi


Ciri-ciri
Dengan Inflamasi
Tanpa Inflamasi
Nyeri sendi
Dengan aktivitas dan pada Dengan aktivitas
saat istirahat
Pembengkakan sendi
Jaringan lunak
Pada banyak tulang
Erythema local
Kadang-kadang
Tidak ada
Panas Lokal
Berkali-kali
Tidak ada
Kekakuan pagi hari
> 30 menit
< 30 menit
Gejala sistematik
Umum, khususnya
Tidak ada
keletihan
(Aleteha, et al, 2010).

Membedakan RA Dari Arthritis Dengan Inflamasi Lainnya


Kemungkinan RA
Diagnosis pembeda
Anjuran ciri-ciri
Diagnosis alternatif
Kekakuan pada pagi
Kristal arthropathy
Mucosal ulcer,
hari > 30 menit
fotosensitif,
psoriasis, ruam
pada kulit
Raynauds
Pembengkakan atau
nyeri sendi pada 3
atau lebih sendi

Psoriatic arthritis
Lupus

Keterlibatan simetris
dari tangan dan kaki
(khususnya
metacarpophalangeal,
metatarsophalangeal)

Reaktif arthritis
Spondyloathropaties
Polyarticular sepsis

Raynauds
Inflamasi okulariritis/uveitis
Urethritis
Inflammatory
bowel disease
Infeksius diare
Nephritis
Isolated distal
interphalangeal
joint
inflammation

Durasi 4 minggu atau


lebih
Source : www. BCGuidelines.ca (BCGuidelines.ca : Rheumathoids Arthritis : Diagnosis,
Manajemen and Monitoring, 2012)

Diagnosis Reumathoid Arthritis (RA) dilakukan secara klinis didasarkan


terutama pada temuan pemeriksaan fisik. Ada 2 kriteria klasifikasi utama
diringkas dalam Tabel1. Kriteria klasifikasi yang diterbitkan pada tahun 1987 oleh
American College of Rheumathology (ACR), sebelumnya American Rheumatism
13

Assosiation, telah dikritik untuk fokus mereka pada identifikasi pasien dengan
penyakit RA lebih pasti (yaitu, mereka yang telah mengembangkan erosif kronis
penyakit), sehingga kriteria yang dibuat tahun 1987 gagal mengidentifikasi pasien
dengan penyakit dini, yang memberikan keuntungan, bisa mendapatkan manfaat
paling banyak dari terapi yang tersedia (Aleteha, et al, 2010).
Baru-baru ini, ACR dan European League Against Rheumatism (EULAR)
menciptakan kelompok kerja sama dengan tujuan utama untuk mengembangkan
kriteria klasifikasi untuk mengidentifikasi pasien RA awal (dini) selama proses
perkembangan penyakit. Seperti pada usaha kriteria tahun 1987, kriteria
klasifikasi tahun 2010 adalah sarana untuk mengidentifikasi pasien untuk uji
klinis, untuk membedakan pasien dengan sinovitis, dan untuk menentukan
kelompok resiko tertinggi untuk mengembangkan persisten atau erosif RA.
Namun, klasifikasi ACR/EULAR tahun 2010 juga diciptakan secara skematis
untuk mengidentifikasi RA tetap (Aleteha, et al, 2010).
Ada beberapa perbedaan penting antara kriteria RA 1987 dan kriteria
klasifikasi 2010 untuk RA, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Kriteria 1987
dipersyaratkan score minimal 4 dari keseluruhan 7 domain meliputi : kekakuan di
pagi hari, jumlah keseluruhan sendi yang terlibat, presence of symmethry,
Rheumathoid nodule, uji faktor rheumatoid positif (RF), dan tes perubahan
radiografi. Dalam kriteria 2010, penilaian pasien ditujukan bagi mereka dengan
sinovitis klinis setidaknya 1 sendi (joint) tidak dijelaskan oleh penyakit lain.
Sistem penilaian penyakit menggunakan dari 0-5 berdasarkan dari angka dan tipe
joint yang terlibat. Joint yang terlibat didefinisikan sebagai pembengkakan sendi
atau nyeri sendi pada pemeriksaan indikasi sinovitis aktif. sendi besar (Large
Joint) meliputi bahu, siku, pinggul, lutut, dan pergelangan kaki. Sendi kecil (Small
Joint) mengacu pada metacarpophalangeal (MCP), proximal interphalangeal
(PIP), 2-5 Metarshophalangeal (MTP), sendi interphalangeal jempol, dan
pergelangan tangan, dan sendi metatarsophalangeal kecuali dari assessment
karena tergabung dalam ostheoarthritis (Aleteha, et al, 2010).
Tidak ada persyaratan khusus untuk rheumathoid tangan, arthritis nodul,
atau arthritis simetris dalam kriteria 2010. Penulis mencatat bahwa keterlibatan
simetris bukan merupakan kriteria independen dari RA, meskipun kemungkinan

14

dari presentasi bilateral meningkat dengan adanya peningkatan lebih besar sendisendi yang terlibat dan lebih progresifnya penyakit (Aleteha, et al, 2010).
Mirip dengan kriteria 1987, kriteria 2010 memanfaatkan ada atau tidak
adanya RF (afinitas tinggi auto-antibodi terhadap bagian Fc immunoglobulin)
sebagai salah satu domain. Disamping itu, kriteria 2010 memanfaatkan adanya
atau tidak adanya yang baru-baru in diidentifikasi yaitu anti-citrullinated protein
antibody (ACPA). Nilai dari RF dan ACPA merupakan penanda dari disfungsi
autoimun, dinilai berdasarkan range nilai; dimana Normal didefinisikan sebagai
kurang dari upper limit normal (ULN) dari hasil laboratorium, positif-rendah
diantara ULN dan kurang dari 3 kali nilai ULN, dan positif tinggi lebih dari 3 kali
nilai ULN. Penanda (marker) inflamasi, kecepatan sedimentasi eritrosit (ESR)
dan C-reactive protein (CRP) level dinilai berdasarkan referensi standar
laboratorium (Aleteha, et al, 2010).
Tidak seperti pada kriteria 1987, pada kriteria 2010 durasi terapi
dipertimbangkan, tetapi tidak dengan perubahan raiografik, sebagai faktor dari
nilai akhir. Pada kriteria 2010 nilai paling tidak 6-10 dianggap cukup indikatif
untuk RA, dan karenanya pasien akan dipertimbangkan untuk menjalani
pengobatan (Aleteha, et al, 2010).
Karena itu disarankan menggunakan kriteria 2010 ACR/EULAR untuk
assessmentdari pasien yang telah ada dan yang akan datang untuk memfasilitasi
lebih awal pengobatan yang mampu mengubah perkembangan penyakit.

E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM RHEUMATOID ARTHRITIS


Beberapa tes yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan RA. Pemeriksaan
tersebut antara lain :
1. Rheumatoid Factor
Rheumatoid Factor (RF) merupakan antibodi atau immunoglobulin
yang dimiliki oleh sekitar 70 sampai 80 persen orang dewasa yang memiliki
rheumatoid arthritis. Beberapa orang dengan kondisi kronis lainnya
peradangan, dan sampai 5 persen orang sehat, juga positif memiliki faktor
rheumatoid. Tes untuk faktor rheumatoid dilakukan dengan menggunakan
aglutinasi lateks atau nephelometry. Jika hasil tes positif untuk faktor

15

rheumatoid, sampel darah Anda lebih lanjut dianalisis menggunakan seri


pengenceran untuk mendapatkan titer yang (pengenceran darah pasien masih
menghasilkan hasil yang positif). Menggunakan uji aglutinasi lateks, titer lebih
besar dari 1:20 tidak normal. Titer tinggi juga berkorelasi dengan keparahan
penyakit. Sebagai contoh, 1:320 kemungkinan akan mencerminkan keparahan
dari rheumatoid arthritis dibandingkan

1:40. Menggunakan nephelometry,

hasil lebih dari 23 unit dan titer lebih dari 1:80 tidak normal. Beberapa tes
faktor rheumatoid kini dilaporkan dalam IU (International Unit) (Eustice,
2007).
Rheumatoid Arthritic Factor (RF) adalah pemeriksaan penyaring untuk
mendeteksi adanya antibodi golongan IgM , IgG atau IgA yang terdapat dalam
serum pada penderita rheumatoid arthritis ( Nerl, 2012).
Serum dari pasien dengan rheumatoid arthritis biasanya berisi
autoantibodi ke bagian Fc IgG manusia. Autoantibodi ini disebut "faktor
rematik" karena hubungan mereka dengan penyakit terkait. Faktor Rheumatoid
terutama dimiliki untuk kelas IgM imunoglobulin. Namun, faktor rheumatoid
telah dikaitkan dengan masing-masing subclass IgG manusia dan dengan IgA
dan IgE. Peningkatan kadar faktor rheumatoid tidak hadir dalam penyakit sendi
lainnya seperti osteoarthritis, ankylosing spondylitis, gout, demam rematik,
arthritis supuratif, psoriatic arthritis, arthritis colitic dan sindrom Reiter. Karena
ini tingkat kekhususan, deteksi arthritis. Faktor sangat berguna sebagai
indikator rheumatoid arthritis. tes RF dapat membantu dokter dalam deteksi,
diagnosis, prognosis, dan pemantauan terapi rheumatoid arthritis. Tes untuk
faktor rheumatoid adalah tes serologi yang paling banyak digunakan sebagai
bantuan untuk diagnosis rheumatoid arthritis. Metode penentuan RF meliputi
presipitasi kapiler, radioimmunoassay, laser dan tingkat nephelometry dan tes
aglutinasi partikel (Nerl, 2012).

2. UJI ACPA
Test ACPA dikenal juga sebagai tes antibody anti-cyclic citrullinated
peptide (anti-CCP) yang merupakan enzyme-linked immunosorbent assay
dimana tes ini untuk melihat kehadiran antibodi yang mengenali antigen

16

tertentu yang mengandung citrulline. Citrulline merupakan non-standar asam


amino yang dibuat dengan modifikasi enzimatik arginin (proses yang dikenal
sebagai citrullination) (Suwannalai, 2011).
Antibody protein anti-citrullinated (ACPA) terlibat dalam patogenesis
penyakit rheumatoid arthritis (RA). ACPA dapat ditemukan pada awal
perjalanan penyakit bahkan sebelum onset penyakit, dan adanya ACPA pada
saat diagnosis dapat memprediksi perjalanan penyakit. Selain itu, ACPA dapat
berkontribusi untuk patogenesis penyakit dengan mengaktifkan sel-sel
kekebalan tubuh dan sistem komplemen. Respon ACPA kemungkinan
merupakan respon B-sel T-cell-dependent, mengingat sifat protein dari antigen
yang dikenali dan mengikat kuat dengan antigen leukosit manusia bersamasama dengan alel epitop. Evolusi seperti respon biasanya ditandai dengan
gelombang pertama antibodi IgM setelah kontak dengan antigen pertama,
segera diikuti oleh kehadiran IgG. Setelah paparan antigen berulang, respon
IgG yang lebih didorong sedangkan penurunan puncak IgM. Pengamatan
terakhir ini dijelaskan oleh kehadiran Ig-switched, afinitas matang, sel memori
B yang terbentuk dalam kehadiran sel T CD4 +. Sel-sel T helper memberikan
aktivitas yang diperlukan untuk pematangan afinitas, switching isotipe dan
pembentukan sel memori (Suwannalai, 2011).
ACPA tes didasarkan pada deteksi autoantibodi dengan ELISA atau
MEIA atau immunoenzymofluorimetry. Pemeriksaan ACPA meliputi anticyclic citrullinated peptide (Anti- CCP) dan anti-mutated citrullinated vimentin
(anti-MCV).
- Anti-Cyclic Citrullinated Peptide (Anti- CCP)
Antibodi Anti CCP adalah singkatan anti-cyclic antibodi peptida
citrullinated. Ini adalah protein yang diproduksi sebagai bagian dari proses
yang mengarah ke peradangan sendi pada rheumatoid arthritis. Ini adalah
tes yang digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis rheumatoid arthritis.
Saat ini, antibodi anti-CCP adalah penanda paling spesifik untuk
rheumatoid arthritis. Dengan spesifisitas sekitar 98%, itu adalah penanda
diandalkan untuk mengkonfirmasi diagnosis rheumatoid arthritis.

17

Pada pasien RA sering menghasilkan autoantibodi diarahkan


terhadap protein dan peptida yang mengandung citrulline asam amino.
Citrulline dihasilkan dalam lingkungan inflamasi oleh modifikasi asam
amino arginine oleh enzim peptidylarginine deiminase. Sehingga metode
anti-CCP ini dapat digunakan sebagai metode uji untuk mendiagnosis
penyakit RA (Langguth, 2006).

Pada sel, beberapa protein struktural menjalani 'citrullination' di


bawah arahan enzim seluler. Residu arginin menjalani deimination untuk
membentuk asam amino non-standar citrulline. Peptida citrullinated lebih
cocok ke dalam HLA-DR4 molekul yang sangat terkait dengan
perkembangan rheumatoid arthritis, keparahan dan prognosis. Hal ini juga
diketahui bahwa banyak jenis peptida citrullinated hadir dalam tubuh, baik
di dalam maupun di luar sendi. Pada akhir 1990-an, antibodi terhadap
peptida citrullinated yang 'ditemukan'. Sera dari pasien dengan rheumatoid
arthritis mengandung antibodi yang bereaksi terhadap peptida citrullinated.
Peptida buatan digunakan dalam tes antibodi terhadap CCP (tes anti-CCP).
Serum pasien dicampur dengan ini peptida dan jika mengandung antibodi
anti-CCP mereka akan mengikat bersama-sama. Pengikatan ini dapat
dideteksi oleh immunosorbent assay enzim-linked (Langguth, 2006).
- Anti MCV (Mutated Citrunilated Vimentin)
Anti MCV adalah suatu isoform antigenik baru dari vimentin yang
ditemukan pada pasien rheumatoid arthritis. Dan termasuk dalam golongan

18

ACPA. Marker alami anti-MCV merupakan pengembangan lebih lanjut dari


anti-CCP. Anti MCV menunjukkan sensitivitas yang lebih tinggi dibanding
anti-CCP mauapun RF untuk diagnosis dini rheumatoid arthritis. vimentin
citrullinated identik dengan sebelumnya dikenal antigen Sa, yang
merupakan singkatan dari Savoie, nama pasien di antaranya respon
autoantibody pertama kali diidentifikasi. Antibodi anti-Sa memberikan
spesifisitas yang tinggi> 98%, tetapi sensitivitas terbatas 22% sampai 40%
untuk pasien dengan alat tes komersial untuk mendeteksi antibodi anti-SA,
studi yang dilakukan sejauh ini menunjukkan kemungkinan nilai prognostik
untuk klinis yang parah pada rheumatoid arthritis. Selain itu, antibodi antiSa memiliki Nilai prediktif tinggi sekitar 84% sampai 99% untuk
rheumatoid arthritis dan yang terkait erat dengan manifestasi extraartikular
dan keterlibatan sendi yang parah. Penelitian terbaru telah menunjukkan
bahwa kedua citrullination dan mutasi dapat mempengaruhi antigenitas
vimentin. ELISA berdasarkan mutation citrullinated vimentin (MCV) telah
tersedia secara komersial untuk diagnosis rheumatoid arthritis untuk
beberapa waktu dan memiliki sekitar kepekaan diagnostik yang sama dan
spesifisitas sebagai antibodi anti-CCP (Egerer , 2009)

3. X-RAY
X-ray sendi mungkin normal atau hanya menunjukkan pembengkakan
jaringan lunak pada awal penyakit. Sebagai penyakit berlangsung, X-ray dapat
memperlihatkan erosi tulang khas rheumatoid arthritis pada sendi. Sendi X-ray

19

dapat membantu dalam memantau perkembangan penyakit dan kerusakan


sendi dari waktu ke waktu. Scanning tulang, prosedurnya menggunakan sedikit
zat radioaktif, juga dapat digunakan untuk menunjukkan sendi yang meradang.
Pemindaian MRI juga dapat digunakan untuk menunjukkan kerusakan sendi
(Stoppler, 2013).
American College of Rheumatology telah mengembangkan sistem
untuk mengklasifikasikan rheumatoid arthritis yang terutama didasarkan pada
penampilan X-ray dari sendi. Sistem ini membantu para profesional medis
menggolongkan keparahan rheumatoid arthritis sehubungan dengan tulang
rawan, ligamen, dan tulang.

Tahap I
Tidak ada kerusakan terlihat pada X-ray, meskipun mungkin ada tandatanda penipisan tulang.
Tahap II
1. Pada X-ray terlihat bukti penipisan tulang di sekitar sendi dengan atau
tanpa/sedikit kerusakan tulang
2. Kemungkinan adanya sedikit kerusakan tulang rawan
3. Mobilitas sendi mungkin terbatas, tidak ada kelainan bentuk sendi
4. Atropi pada otot yang berdampingan
5. Kemungkinan adanya kelainan jaringan lunak disekitar sendi
Tahap III
1. Pada X-ray, terlihat bukti kerusakan tulang rawan dan tulang dan
penipisan tulang di sekitar sendi
2. Deformitas sendi tanpa pengkakuan permanen atau fiksasi sendi
3. Atrofi otot yang ekstensif
4. Kemungkinan adanya kelainan jaringan lunak di sekitar sendi
Tahap IV
1. Pada X-ray terlihat bukti kerusakan tulang rawan dan tulang dan
osteoporosis di sekitar sendi
2. Deformitas sendi dengan fiksasi permanen sendi (disebut sebagai
ankilosis)

20

3. Atrofi otot yang ekstensif


4. Kemungkinan adanya kelainan jaringan lunak sekitar sendi (Stoppler,
2013).

Reumatologis juga mengklasifikasikan status fungsional penderita RA


sebagai berikut:
Kelas I

: benar-benar mampu melakukan aktivitas seperti biasa sehari-hari

Kelas II : mampu melakukan kegiatan perawatan diri dan pekerjaan biasa tapi
terbatas dalam kegiatan diluar pekerjaan (seperti berolahraga,
pekerjaan rumah tangga)
Kelas III : mampu melakukan aktivitas perawatan diri biasa tapi terbatas
dalam pekerjaan dan kegiatan lainnya
Kelas IV : terbatas dalam kemampuan untuk melakukan perawatan diri biasa,
pekerjaan, dan kegiatan lainnya (Stoppler, 2013).

4. Laju Endap Darah (Erythrocyte Sedimentation Rate)


Laju endap darah adalah uji yang umumnya digunakan untuk penilaian
aktivitas penyakit. Tes ini untuk memastikan keparahan inflamasi dan
digunakan untuk memonitor pekembangan pengobatan RA (McNeil, 2005).
Laju endap darah mengukur seberapa cepat eritrosit mengendap pada
test tube. Protein tertentu akan ada pada inflamasi yang melekat pada eritrosit,
yang menyebabkan mereka terikat bersama dan lebih cepat jatuh ke bawah test
tube. Kecepatan jatuh ESR diukur dalam jam (McNeil, 2005).
Pada

RA laju endap darah biasanya meningkat, merefleksikan

inflamasi dari penyakit. RA merupakan penyakit yang tidak hanya pada sendi,
namun seluruh tubuh. Dan pasien yang mempunyai RA memiliki inflamasi
sistemik yang merata pada seluruh tubuh, dan ditunjukkan pada laju endap
eritrosit (Ruderman, 2008).
Salah satu metode yang digunakan untuk pemeriksaan laju endap darah
adalah metode westergren.
a. Metode Westergren

21

Keseluruhan serum di anti koagulasi dengan sodium sitrat dan


didiamkan. Setelah 1 jam, jarak dalam milimeter antara bagian atas tube dan
sedimen eritrosit yang terukur. Nilai normal tidak disesuaikan dengan umur
dan gender pada beberapa laboratorium, padahal karakteristik ini
mempengaruhi laju endap darah. Laju endap darah umumnya meningkat
bersamaan dengan usia dan agak meningkat pada wanita. Batasan tinggi
normal pada pria adalah sama dengan usia dibagi 2, sedangkan pada wanita,
ditambah usia ditambah 10 dan dibagi 2 (Klipple, 2008).
Laju endap darah dapat diguNakan untuk mengidentifikasi seberapa
keparahan yang diderita pasien awal dalam menentukan artritis mereka, dan
juga digunakan untuk memonitor terapi. Pasien yang pengobatannya tepat
dan perkembangan penyakit yang membaik, akan menunjukan laju endap
eritrosit yang menurun dan dapat menunjukan respon dari pengobatan
(Ruderman, 2008).
b. C-Reactive Protein (CRP)
Selama proses inflamasi, protein abnormal spesifik yang disebut Creactive protein (CRP) muncul dalam darah pada respon inflamasi sitokin
seperti IL-6. Protein ini hampir tidak ada pada serum darah orang sehat.
Level CRP dapat meningkat dramatis (100 kali atau lebih) setelah trauma
parah, infeksi bakteri, inflamasi, bedah, atau proliferasi neoplastik.
Pengukuran CRP sudah banyak digunakan dalam aktivitas penilaian dari
penyakit inflamasi, untuk mendeteksi infeksi setelah bedah, untuk
mendeteksi penolakan transplantasi, dan memonitor progres inflamasi
(Fishbach, 2009).
Level serum CRP berubah dengan cepat dibandingkan laju endap
darah; dengan stimulus yang adekuat, CRP dapat meningkat dalam waktu 4
sampai 6 jam dan normal dalam 1 minggu. CRP sering diukur secara
simultan dengan laju endap darah sebagai pengukuran inflamasi yang umum
(McNeil, 2005).
c. Metode Nephelometri
Nephelometri menggunakan antibodi untuk berikatan dengan target
protein dan mengukur penyebaran cahaya oleh antigen-antibodi kompleks.

22

ELISA menggunakan coated plate untuk membentuk ikatan kompleks


antibodi-antigen. Ikatan kompleks ini dideteksi oleh tambahan antibodi
kedua yang dilabeli dengan enzin, kemudian dicampurkan dengan substrat,
menghasilkan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometri. Karena
CRP adalah serum protein stabil dan pengukurannya tidak mempengaruhi
komponen serum yang lain, maka cenderung kurang tidak tetap
dibandingkan laju endap darah. CRP dipengaruhi oleh usia dan gender.
Umumnya, level <0,2 mg/dL dinilai normal dan level >1 mg/dL dianggap
konsisten dengan inflamasi (McNeil, 2005).

F. PENATALAKSANAAN TERAPI RHEUMATOID ARTHRITIS


1. Non-farmakologi (lifestyle)
Terapi non-farmakologi RA, dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
a.

Berhenti merokok

b.

Melakukan operasi penggantian sendi

c.

Memelihara aktivitas fisik

d.

Melakukan diet sehat

e.

Menjaga berat badan agar tetap ideal


Intervensi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

a.

Melakukan olahraga teratur

b.

Melakukan terapi okupasi

c.

Hidroterapi

d.

Memberikan edukasi kepada pasien. (Gcelu and Kalla, 2011).


Istirahat merupakan hal yang dibutuhkan untuk terapi non-farmakologi.

Istirahat menjadi pengobatan dalam mengurangi sakit. okupasi dan terapi fisik
dapat dilakukan pasien dengan olahraga ringan atau menjaga mobilitas
(pergerakkan). Mengurangi berat badan dapat membantu mengurangi radang
pada sendi (Singh, et al 2012).

23

2. Farmakologi
Terapi farmakologi RA menggunakan obat-obatan sebagai berikut :
a. Symptom-modifying anti-rheumatic drugs (SMARDs)
Obat golongan SMARDs ini merupakan golongan obat analgesik
sederhana berupa NSAID (Gcelu and Kalla, 2011). NSAIDs atau golongan
kortikosteroid digunakan untuk mengurangi gejala-gejala rematik jika
dibutuhkan. NSAID jarang digunakan sebagai monoterapi untuk rheumatoid
arthritis karena NSAIDs tidak menyembuhkan penyakit melainkan hanya
sebagai tambahan bagi obat golongan DMARDs. Kortikosteroid dapat
digunakan untuk mengontrol gejala RA sebelum memulai penggunaan
DMARDs (Singh, et al 2012).
- Glukokortikoid
Pada awal inflamasi arthritis, steroid dapat diberikan sebagai dosis
tunggal,

baik

secara

intramuskuler

atau

intra-arterikuler

untuk

menginduksi berkurangnya inflamasi. Prednison pada dosis rendah dapat


digunakan untuk meredakan gejala jangka pendek dan tanda-tanda
penyakit dari RA (Gcelu and Kalla, 2011).

b. Disease-modifying anti-rheumatic drugs (DMARDs)


Ada bukti kuat bahwa terapi dini dengan menggunakan sintetis
DMARDs dapat mengurangi perkembangan radiografi, dan juga terapi
DMARD tidak harus ditunda. Pada pasien dengan inflamasi artritis sebelum
memenuhi kriteria ACR untuk RA, terapi menggunakan sintetis DMARDs
mengurangi proses kerusakan karena radiografi (Gcelu and Kalla, 2011).
DMARDs menjadi first-line terapi untuk RA. Untuk terapi dengan
DMARD harus dimulai pada 3 bulan pertama setelah simptomnya muncul.
Pengobatan dini dengan menggunakan DMARD dapat mengurangi resiko
kematian. Pasien yang menderita RA, resiko kematiannya lebih tinggi
dibanding dengan orang-orang yang tidak terkena RA (Singh, et al 2012).
1) Methotrexate
Methotrexate dianggap sebagai obat pilihan DMARD oleh pakar
rematologi untuk mengobati RA. Methotrexate memiliki kontraindikasi

24

dengan kehamilan dan ibu menyusui. Selain itu, Methotrexate memiliki


kontraindikasi dengan pasien penyakit hati kronik, imunodefisiensi,
kelainan darah, leukopenia, trombositopenia, dan dengan pasien yang
memiliki klirens kreatinin kurang dari 40 mL/menit. Methotrexate
bersifat teratogenik, sehingga harus dihindari pada pasian yang sedang
hamil. Selain itu, Methotrexate juga merupakan antagonis asam folat,
sehingga dapat menyebabkan defisiensi asam folat dalam tubuh.
Methotrexate menghambat produksi sitokin, menghambat biosintesis
purin, dan menstimulasi pelepasan adenosin, yang semuanya dapat
sebagai antiinflamasi. Obat ini memiliki onset yang cepat, hasilnya dapat
dilihat 2- 3 minggu setelah terapi. Pemberian Methotrexate dapat
dilakukan dengan cara oral, intramuskular (i.m), atau secara subkutan
(Singh, et al 2012).
2) Leflunomide
Leflunomide merupakan DMARDs yang menghambat sintesis pirimidin,
menurunkan

proliferasi

limfosit

dan

modulasi

dari

inflamasi.

Leflunomide diberikan secara oral dengan dosis awal 100 mg perhari


selama 3 hari, dan diikuti dosis harian 20 mg sehari. Leflunomide
memiliki memiliki efektivitas yang sama dengan MTX. Leflunomide
dapat menyebabkan toksisitas di hari dan memiliki kontraindikasi dengan
pasien yang memiliki riwayat penyakit hati. Selain itu juga, Leflunomide
dapat menyebabkan toksisitas pada sumsum tulang dan juga bersifat
teratogenik (Singh, et al 2012).
3) Hydroxychloroquine
Farmakokinetik

obat

hydroxychloroquine

kurang

dipahami.

Hydroxychloroquine memiliki keuntungan yaitu kurangnya toksisitas


myelosuppresive, hati, dan ginjal yang mungkin terdapat pada DMARD
yang lain. Hydroxychloroquine diberikan secara oral dengan dosis awal
berkisar 200-300 mg, setelah 1-2 bulan dapat diturunkan menjadi 200 mg
perhari (Singh, et al 2012).

25

4) Sulfasalazine
Sulfasalazine merupakan prodrug yang diubah oleh bakteri di kolon
menjadi sulfapyridine dan asam 5-aminosalisilat. Ketika sulfasalazine
mencapai kolon, bakteri-bakteri yang berada di kolon akan memutuskan
hubungan antara kedua molekul-molekul. Setelah memisah dari 5-ASA,
sulfapyridine diserap kedalam tubuh dan kemudian dikeluarkan dalam
urin. Efek-efek sampingan ini termasuk mual, rasa panas di dada
(heartburn), sakit kepala, anemia, ruam kulit (skin rashes), dan, dalam
kejadian-kejadian yang jarang, hepatitis dan peradangan ginjal. Pada
pria-pria, sulfasalazine dapat mengurangi jumlah sperma. Pengurangan
jumlah sperma kembali normal setelah pemberhentian sulfasalazine atau
oleh perubahan ke suatu senyawa 5- ASA yang berbeda. Sulfasalazine
digunakan dalam dosis hingga 2-4 g / hari (Singh, et al 2012).
5) Minocycline
Minocycline merupakan obat yang diresepkan untuk pasien dengan
gejala rheumatoid arthritis ringan. Minocycline juga kadang-kadang
dikombinasi dengan obat lain untuk mengobati pasien dengan gejala
persisten dari bentuk arthritis. Minocycline mengurangi produksi zat
yang menyebabkan peradangan, seperti prostaglandin dan leukotrien,
sambil meningkatkan produksi interleukin-10, suatu zat yang mengurangi
peradangan. Minocycline biasanya diberikan sebagai kapsul (mg) 100
miligram dua kali sehari. Penggunaan Minocyline selama kehamilan
dapat memperlambat pertumbuhan gigi atau tulang pada bayi setelah
lahir serta menyebabkan perubahan warna gigi bayi yang baru lahir
ketika diambil selama paruh terakhir kehamilan. Minocycline dapat
mengurangi efektivitas beberapa pil KB (Singh, et al, 2012).
6) Garam Emas
Garam emas merupakan DMARD yang sekarang sedang banyak
digunakan di negara-negara maju. Bentuk sediaan yang biasa digunakan
adalah injeksi dengan dosis 50mg/minggu. Cara kerja dari obat ini belum
banyak diketahui dengan pasti (Singh, et al 2012).

26

c. Terapi DMARD Biologis


DMARDs biologis memberikan kontrol peradangan yang cepat dan
telah terbukti keampuhannya baik dari segi hasil klinis dan kerusakan
struktural pada awal penyakit. Terapi biologis efektif ketika obat DMARDs
tidak berhasil dalam terapi RA. Namun, DMARDs biologis lebih mahal
daripada DMARDs tradisional, dan ini membatasi penggunaannya pada
awal penyakit (Gcelu and Kalla, 2011). Terapi biologis adalah rekayasa
genetika molekul protein yang memblok proinflamasi sitokin TNF-alfa dan
IL-1, mengurangi sel B perifer, atau berikatan dengan CD80/86 pada sel T
untuk mencegah co-stimulasi yang dibutuhkan untuk melengkapi aktivitas
sel T. Obat-obat penghambat sitokin TNF-alfa antara lain infliximab,
etanercept, adalimumab, penghambat IL-1 yaitu anakinra, pengurang sel B
perifer yaitu rituximab dan yang berikatan dengan CD80/86 yaitu abatecept
(Singh, et al 2012).
1) Etanercept
Etanercept adalah protein fusi yang terdiri dari 2 reseptor TNF p75
terkait dengan fragmen fc dari IgG1 manusia. Ikatan obat dengan TNF,
sehingga secara biologis membuat etanercept aktif dan mencegahnya
berinteraksi dengan permukaan sel reseptor TNF yang menyebabbkan
aktivasi sel. Obat ini diberikan secara injeksi subkutan, 50 mg sekali
seminggu atau 25 mg dua kali seminggu. Pemberian etanercept dihindari
oleh pasien dengan multipel sklerosis. Banyak uji klinik telah
menggunakan etanercept pada pasien yang gagal terapinya menggunakan
DMARDs (Singh, et al 2012).
2) Infliximab
Infliximab merupakan antibodi simerik gabungan dari IgG1 tikus dan
manusia. sebuah antibodi anti-TNF yang diciptakan dengan mengekspos
tikus ke TNF manusia. Bagian yang berikatan dari antibodi tersebut
digabungkan ke bagian IgG kontan manusia untuk mengurangi
antigenitas dari protein asing. Antibodi tersebut, ketika diinjeksikan pada
manusia, berikatan dengan TNF dan mencegah interaksi dengan reseptor
TNF pada sel inflamasi. Infliximab diberikan secara infusi intavena

27

dengan dosis 3 mg/kg pada 0, 2, dan 6 minggu dan kemudian setiap 8


minggu. Untuk mencegah pembentukan antibodi karena ada protein
asing, methotrexate seharusnya diberikan secara oral pada dosis tipikal
yang digunakan untuk terapi RA sepanjang pasien menggunakan
infliximab. Infliximab diindikasikan untuk psoriatrik artritis dan
ankylosing spondylitis (Singh, et al 2012).
3) Adalimumab
Adalimumab merupakan antibodi IgG1 manusia terhadap TNF. Karena
tidak ada komponen protein asing, adalimumab kurang antigenik dari
pada infliximab. Obat ini disediakan dalam bentuk injeksi 40 mg, yang
diaplikasikan secara subkutan setiap 14 hari (Singh, et al 2012).
4) Antagonis reseptor IL-1
Anakinra adalah sebuah antagonis reseptor IL-1 yang merupakan
antiinflamasi yang terjadi secara alami. Dengan berikatan pada reseptor
IL-1 pada sel target dapat mencegah interaksi antara IL-1 dengan sel. IL1 sangat penting dalam patogenesis RA. IL-1 menstimulasi pelepasan
faktor kemotaksis dan molekul adhesi, dan memperantarai perpindahan
dari leukosit ke jaringan. Selain itu juga melepaskan faktor yang
diketahui dapat memperbesar pembuluh darah dan direct sitotoksin yang
menghasilkan kerusakan jaringan (Singh, et al 2012).
5) Abatacept
Abatacept merupakan modulator co-stimulan yang terbukti mengobati
RA pada pasien dengan untuk penyakit sedang hingga berat yang gagal
mencapai respon yang memadai dari satu atau lebih DMARD. Dengan
berikatan pada reseptor CD80/CD86 di sel antigen, abatacept
menghambat interaksi antara sel antigen dan sel T, mencegah sel T
mengativasi proses inflamasi, yang mana menghasilkan pengurangan
sitokin, proliferasi sel T, dan konsekuensi lainnya dari aktivasi sel T.
Abatacept adalah perpaduan protein yang digunakan pada ekstraseluler
dari domain 4 dari antigen sitotoksik limfosit T ( bagian yang berikatan
dengan obat) dan fragmen dari domain fc dari modifikasi IgG manusia
untuk mencegah fiksasi komplemen. Obat ini diberikan dengan cara infus

28

intravena berdasarkan berat pasien ( < 60 kg : 500 mg ; 60-100 kg : 750


mg ; > 100 kg ; 1000 mg) setiap 2 minggu untuk 2 dosis setelah dosis
awal dan kemudian setiap 4 minggu. Untuk pasien yang gagal mencapai
respon yang memadai dengan inhibitor TNF-alfa, setengahnya memiliki
respon klinis terhadap abatacept (Singh, et al 2012).
6) Rituximab
Rituximab merupakan antibodi monoklonal simerik yang terdiri dari
protein utama manusia dengan bagian antigen berikatan berasal dari
antibodi tikus untuk mendapatkan protein CD20 pada permukaan sel dari
sel limfosit B dewasa. Ikatan rituximab dengan sel B menghasilkan
deplesi perifer sel B, dengan pemulihan bertahap setelah beberapa bulan.
Efek berkepanjangan pada sel B menghasilkan durasi aksi yang
memungkinkan untuk terapi intermiten yang bervariasi berdasarkan
reaksi gejala arthritis. Rituximab berguna bagi pasien yang terapinya
gagal menggunakan methotrexate atau inhibitor TNF. 2 infus 1000 mg
diberikan 2 minggu secara terpisah (Singh, et al 2012).
7) Tocilizumab
Tocilizumab adalah yang pertama dikelas pengobatan RA dengan
menargetkan reseptor interleukin-6 (IL-6) yang merupakan zat kimia
dalam tubuh yang menyebabkan rasa sakit dan peradangan yang
sistemik menetap yang dialami penderita Artritis Rematoid. Tocilizumab
adalah suatu antibodi yang menghambat titik dimana IL-6 menempel
pada permukaan sel. Ketika IL-6 tidak dapat menempel pada sel, sel
tidak dapat mengaktifkan sistem inflamasi pada RA. Tujuan dari terapi
dengan Tocilizumab adalah untuk mengurangi gejala dari RA, termasuk
nyeri dan bengkak. Studi lain juga menunjukkan hasil terapi dengan
tocilizumab memperlambat dan mencegah kerusakan lanjut pada sendi
akibat penyakit RA. Tocilizumab diberikan 4 mg per kg berat badan
dengan cara diinjeksikan sekali setiap 4 minggu (Singh, et al, 2012).
8) Certolizumab pegol
Certolizumab pegol direkomendasikan untuk terapi penyakit Rheumatoid
arthritis yang telah mencoba MTX dan DMARDs lainnya selama 6

29

bulan, serta memiliki rheumatoid arthritis aktif yang parah.


Certolizumab pegol memiliki struktur yang berbeda dengan inhibitor
TNF lainnya. Certolizumab pegol terdiri dari fragmen ikatan antibodi
(Fab) dari antibodi monoklonal manusia terhadap konjugasi PEG TNF,
karena itu, tidak seperti agen lainnya, tidak mengandung fragmen Ig
konstan. Dosis yang direkomendasikan untuk RA adalah 400 mg ( 2 kali
injeksi 200 mg) untuk awal dan pada minggu kedua dan keempat, diikuti
dengan dosis 20 mg setiap minggu (Singh, et al, 2012).
9) Golimumab
Golimumab

adalah

inhibitor

TNF-antibodi

monoklonal

yang

menargetkan dan menetralkan membran yang terikat TNF-alpha.


Golimumab sedang diselidiki untuk administrasi oleh subkutan (SC)
injeksi dan intravena (IV) infus. Untuk awal, Golimumab diberikan 50
mg secara subkutan sebulan sekali (Singh, et al, 2012).

Terapi kombinasi dengan 2 atau lebih DMARDs mungkin efektif ketika


terapi single DMARDs tidak berhasil. Kombinasi antara siklosporine plus
methotrexate dan methotrexate plus sulfasalazine dan Hydroxychloroquine
khususnya efektif. Suatu penelitian menyarankan bahwa terapi kombinasi awal
dengan salah satunya menggunakan methotrexate, sulfasalazine plus prednisone,
atau infliximab plus methotrexate merupakan kombinasi DMARDs pada
rheumatoid arthritis awal (Singh, et al 2012).

30

MTX / DMARD lain + Prednisone + NSAID selama 3 bulan

poor
respon

DMARD lain

DMARD kombinasi

DMARD biologi

poor
respon

DMARD triple combination (DMARD + biologi) +Prednison dosis rendah


Terapi kombinasi ini diperlukan untuk menekan lebih dari satu penyebab
RA. Kombinasi terapi yang sering digunakan adalah DMARD (MTX) dengan
NSAID maupun kortikosteroid. Dari kombinasi ini, penyebab imuologis dari RA
dapat dihambat dengan MTX, sedangkan rasa nyeri dari RA akibat peradangan
dapat ditekan dengan NSAID atau kortikosteroid. Penggunaan DMARD secara
bersamaan juga merupakan alternatif apabila single DMARD tidak berhasil. Hal
ini penyebab RA tidak hanya dikarenaan satu hal saja melainkan banyak.
Penggunaan satu DMARD hanya akan menghambat sebagian penyebab RA.
Misalkan penggunaan MTX hanya akan menghambat pembentukan sitokin dan
sintesis purin, namun bila dilakukan kombinasi dengan sulfasalazine dapat
menyebabkan hambatan pada sintesis mediator inflamasi yang lebih luas (Singh,
et al 2012).
Pengobatan lini kedua dari RA adalah menggunakan DMARD biologis.
DMARD biologis merupakan DMARD dengan kerja spesifik, misal menghambat
interaksi TNF alfa dengan reseptornya, menghambat aktivasi dari sel B CD20,

31

dan lain sebagainya. Efek farmakologis yang ditimbulkan dari DMARD biologis
memang lebih baik karena kerjanya yang sepesifik. Akan tetapi harganya yang
sangat mahal membuat obat ini menjadi lini kedua dalam pengobatan RA (Singh,
et al 2012).

32

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Rheumatoid

Arthritis

merupakan

penyakit

autoimun

yaitu

kegagalan suatu organisme untuk mengenali bagian dari dirinya sendiri,


yang membuat respon kekebalan melawan sel dan jaringan miliknya
sendiri. Atau dengan kata lain sel itu akan menyerang dirinya sendiri.
Sistem auto imun Rheumatoid Arthritis juga disebabkan oleh faktor
rheumatoid (rheumatoid factor, RF) yaitu immunoglobulin yang bereaksi
dengan molekul IgG. Karena penderita juga mengandung IgG dalam
serum, maka RF ini belum diketahui pasti, walaupun aktivasi komplemen
akibat adanya interaksi RF dengan IgG memegang peranan yang penting
pada rematik artritis (rheumatoid arthritis, RA) dan penyakit-penyakit lain
dengan RF positif . Sebagian besar RF adalah IgM, tetapi dapat juga
berupa IgG atau IgA.

B. Saran
Mempelajari materi tentang penyakit Rheumatoid Arthritis itu
sangat penting. Karena Rheumatoid Arthritis adalah suatu keadaan kronis
dan biasanya merupakan kelainan inflamasi progresif dengan etiologi yang
belum diketahui. Dengan demikian sebaiknya kita menjaga aktivitas, pola
tidur, diet dan yang lainnya agar seimbang, untuk menghindari
Rheumatoid Arthritis menyerang pada sistem imun kita.

33

DAFTAR PUSTAKA

AHRQ, 2008, Rheumatoid Arthritis Medicines: A Guide for Adults,


http://www.effectivehealthcare.ahrq.gov/repFiles/RheumArthritisConsumerG
uide_Singlepage.pdf, diakses pada tanggal 18 April 2013.
Aleteha, D., Neogi T., Silman, A.J., et al., 2010, Rheumathoid Arthritis
Classification Criteria : An American College Of Rheumathology/European
League Against Rheumatism Collaborative Initiative. Arthritis Rheum.,
2010; 62(9): 2569-2581.
Blumental, 2012, Rheumatoid Arthritis And The Incidence Of Influenza And
Influenza-Related Complications: A Retrospective Cohort Study BMC
Musculoskeletal Disorders 2012, 13:158, 2-10.
Bose , N, MD ., 2012 , Should I Order An Anti-CCP Antibody Tes to Diagnose
Rheumatoid
Arthritis? , Cleveland Clinic Journal Of Medicine, Ohio.
Egerer, K., 2009, The Serological Diagnosis of Rheumatoid Arthritis, Deutsches
rzteblatt
International, Germani.
Eustice, C., 2007, Everything Health Guide To Arthritis, Adam Media, Avon, pp.
53.
Fischbach, F., dan Dunning, M.B., 2009, A Manual of Laboratory and Diagnosic
Test, 8th Edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, pp. 634.
Gcelu, A., and Kalla, A.A., 2011, Current Diagnosis And Treatment Strategies In
Rheumatoid Arthritis, CME, August 2011, Vol.29, No.8.
Gibofsky, 2012, Overview of Epidemiology, Pathophysiology, and Diagnosis of
Rheumatoid Arthritis, The American Journal of Managed Care, VOL. 18,
No. 13, pp :295-302.
Klareskog, 2006, A New Model for an Etiology of Rheumatoid Arthritis Smoking
May Trigger HLADR (Shared Epitope)Restricted Immune Reactions to
Autoantigens Modified by Citrullinationm, American College of
Rheumatology, vol 54 no 1 pp : 38-46.
Klipple, J.H., Crofford, L.J., dan Stone, J.H., 2008, Primer On The Rheumatic
Disease, Springer, London, pp.15-16.

34

Вам также может понравиться