Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Perubahan-perubahan akan terjadi pada tubuh manusia sejalan dengan
semakin meningkatnya usia. Perubahan tubuh terjadi sejak awal kehidupan hingga
usia lanjut pada semua organ dan jaringan tubuh. Keadaan demikian itu tampak
pula pada semua sistem muskuloskeletal dan jaringan lain yang ada kaitannya
dengan kemungkinan timbulnya beberapa golongan reumatik.
Salah satu golongan penyakit reumatik yang menimbulkan gangguan
muskuloskeletal adalah rheumatoid arthritis. Reumatik dapat mengakibatkan
perubahan otot hingga fungsinya dapat menurun bila otot pada bagian yang
menderita tidak dilatih guna mengaktifkan fungsi otot. Dengan meningkatnnya
usia menjadi tua fungsi otot dapat dilatih dengan baik. Namun usia lanjut tidak
selalu mengalami atau menderita rematik. Bagaimana timbulnya kejadian
reumatik ini, sampai sekarang belum sepenuhnya dapat dimengerti. Reumatik
bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu sindrom. Golongan
penyakit yang menampilkan perwujudan sindroma reumatik cukup banyak,
namun semua menunjukkan adanya persamaan ciri. Menurut kesepakatan para
ahli dibidang rematologi, rematik dapat terungkap sebagai keluhan atau tanda.
Dari kesepakatan, dinyatakan ada tiga keluhan utama pada sistem muskuloskeletal
yaitu: nyeri, kekakuan (rasa kaku) dan kelemahan serta adanya tiga tanda utama
yaitu: pembengkakan sendi, kelemahan otot dan gangguan gerak. (sonarto,1982)
Dari berbagai masalah ksehatan itu ternyata gangguan muskuloskletal
menempati urutan kedua 14,5 % setelah pnyakit kardiovaskuler dalam pola
penyakit masyarakat usia >55 tahun (Household Survey on Health,1996) dan
berdasarkan WHO di jawa ditemukan bahwa rheumatoid arthritis menempati
urutan pertama ( 49% ) dari pola penyakit lansia (Boedhi Darmojo et.al, 1991).
B.
C.
RUMUSAN MASALAH
1.
2.
3.
4.
5.
6.
TUJUAN PENULISAN
1.
2.
3.
D.
5.
6.
METODE PENULISAN
Penulisan makalah ini menggunakan berdasarkan literatur yang
diperoleh dari buku ataupun sumber dari internet.
E.
MANFAAT PENULISAN
1. Sebagai informasi dasar untuk mengenal arthritis rheumatoid.
2. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai arthritis
rheumatoid.
BAB II
PEMBAHASAN
Hipersensitivitas tipe III ini diawali dengan adanya antigen yang khusus
yang dapat memicu pembentukan kompleks dari imunoglobulin tertentu.
Beberapa antigen yang dapat memicu kompleks antibodi adalah antigen dari
dalam diri (autoimun) seperti vimetin, fibrin, dll, kemudian dikatakan adanya
infeksi dari bakteri dan virus, serta adanya alergen seperti spoa dari aspergilus
yang menyebabkan terjadinya kompleks antibodi ada paru-paru. Kompleks
antibodi kemudian akan terdeposit pada jaringan terdekat (Marc, 2009).
Pada akhirnya, akan terjadi migrasi sel-sel imun seperti netrofil, basofil,
dan eosinofil yang juga melepaskan mediator-mediator inflamasi dan
menyebabkan peradangan sendi.
Selain itu, sel-sel imun yang lain juga berperan dalam proses inflamasi
seperti netrofil, makrofag, sel mast, dan NK-cells. Makrofag akan
mensekresikan mediator-mediator inflamasi seperti IL-6, IL-1, (juga 12, 15, 18,
dan 23) dan TNF alfa. Selain itu, makrofag akan memfagositosis sel-sel tulang
pada persendian sehingga menyebabkan kerusakan sendi. Selain makrofag,
netrofil juga berperan dalam patogenesis RA, sebagai pensintesis sitokin dan
senyawa oksigen reaktif. Sel Mast juga berperan dalam mensintesis beberapa
kemokin dan amina vasoaktif penyebab inflamasi pada sendi (Scott, 2010).
Beberapa sitokin yang berperan penting dalam patogenesis RA adalah
IL-1, IL-6, dan TNF alfa. Ketiga sitokin ini akan menyebabkan osteoklas
sehingga
menyebabkan
deformasi
sendi.
Keseluruhan
sitokin
yang
diseksresikan oleh sel-sel imun melalui protein reseptor tirosin kinase dengan
jalur JAK (Mclnnes, 2011).
radiografi
pada
penderita
RA
menunjukan
adanya
akan
menyebabkan
reaksi
enzimatik
asam
yang
akn
secara spontan atau dengan pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa
bulan atau tahun. Selama remisi, gejala penyakit hilang dan orang-orang pada
umumnya merasa sehat ketika penyakit ini aktif lagi (kambuh) ataupun gejala
kembali (AHRQ, 2008).
Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan
energi, kurangnya nafsu makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi dan
kekakuan. Otot dan kekauan sendi biasanya paling sering di pagi hari. Disamping
itu juga manifestasi klinis rheumatoid arthritis sangat bervariasi dan biasanya
mencerminkan stadium serta beratnya penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan,
panas, eritema dan gangguan fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik
untuk rheumatoid arthritis (AHRQ, 2008).
Gejala sistemik dari rheumatoid arthritis adalah mudah capek, lemah, lesu,
takikardi, berat badan menurun, anemia. Pola karakteristik dari persendian yang
terkena adalah : mulai pada persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki.
Secara progresif mengenai persendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan
kaki, tulang belakang serviks, dan temporomandibular. Awitan biasanya akut,
bilateral dan simetris. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi
hari berlangsung selama lebih dari 30 menit. Deformitas tangan dan kaki adalah
hal yang umum (AHRQ, 2008).
Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :
1. Stadium sinovitis
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai
hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat,
bengkak dan kekakuan.
2. Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga
pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.
3. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,
deformitas dan gangguan fungsi secara menetap (AHRQ, 2008).
10
11
pergelangan tangan, siku, pergelangan kaki dll. Nodul rheumatoid dapat juga
terjadi pada mata atau organ lain seperti paru-paru. Dalam paru-paru mereka dapat
menyebabkan komplikasi seperti akumulasi cairan di dalam dan sekitar paruparu.Gejala lain dari rheumatoid arthritis adalah anemia atau rendahnya jumlah sel
darah merah. Hal ini karena mungkin ada kekurangan produksi sel darah merah
baru untuk menebus yang hilang. Jumlah trombosit juga dapat diubah (NHS,
2012).
Beberapa pasien mungkin menderita radang pembuluh darah atau
vaskulitis arthritis. Komplikasi ini mungkin mengancam nyawa. Hal ini dapat
menyebabkan ulserasi kulit yang dapat terinfeksi, ulkus lambung dan kerusakan
saraf. Ulkus lambung dapat menyebabkan komplikasi seperti perdarahan atau
perforasi dan patologi saraf dapat menyebabkan nyeri, mati rasa atau kesemutan
sensasi. Pembuluh darah dari otak dan jantung juga mungkin terlibat
menyebabkan serangan jantung atau stroke. Dalam hati mungkin ada akumulasi
cairan yang disebut pericarditis. Otot-otot jantung bisa meradang menyebabkan
miokarditis. Kondisi ini dapat menyebabkan gagal jantung. Beberapa orang
mungkin mengalami peningkatan mendadak dalam gejala dan ini disebut flare-up.
Flare up biasanya sulit untuk memprediksi dan dapat terjadi lebih sering pada
pagi hari setelah bangun tidur (NHS, 2012).
Rheumatoid arthritis secara keseluruhan memiliki dampak yang parah
pada kualitas hidup. Ada dampak yang parah pada fungsi fisik, sosial dan
kesejahteraan emosional serta kesehatan mental. Kondisi terkait lainnya dengan
kondisi ini termasuk depresi dan kecemasan (NHS, 2012).
12
Psoriatic arthritis
Lupus
Keterlibatan simetris
dari tangan dan kaki
(khususnya
metacarpophalangeal,
metatarsophalangeal)
Reaktif arthritis
Spondyloathropaties
Polyarticular sepsis
Raynauds
Inflamasi okulariritis/uveitis
Urethritis
Inflammatory
bowel disease
Infeksius diare
Nephritis
Isolated distal
interphalangeal
joint
inflammation
Assosiation, telah dikritik untuk fokus mereka pada identifikasi pasien dengan
penyakit RA lebih pasti (yaitu, mereka yang telah mengembangkan erosif kronis
penyakit), sehingga kriteria yang dibuat tahun 1987 gagal mengidentifikasi pasien
dengan penyakit dini, yang memberikan keuntungan, bisa mendapatkan manfaat
paling banyak dari terapi yang tersedia (Aleteha, et al, 2010).
Baru-baru ini, ACR dan European League Against Rheumatism (EULAR)
menciptakan kelompok kerja sama dengan tujuan utama untuk mengembangkan
kriteria klasifikasi untuk mengidentifikasi pasien RA awal (dini) selama proses
perkembangan penyakit. Seperti pada usaha kriteria tahun 1987, kriteria
klasifikasi tahun 2010 adalah sarana untuk mengidentifikasi pasien untuk uji
klinis, untuk membedakan pasien dengan sinovitis, dan untuk menentukan
kelompok resiko tertinggi untuk mengembangkan persisten atau erosif RA.
Namun, klasifikasi ACR/EULAR tahun 2010 juga diciptakan secara skematis
untuk mengidentifikasi RA tetap (Aleteha, et al, 2010).
Ada beberapa perbedaan penting antara kriteria RA 1987 dan kriteria
klasifikasi 2010 untuk RA, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Kriteria 1987
dipersyaratkan score minimal 4 dari keseluruhan 7 domain meliputi : kekakuan di
pagi hari, jumlah keseluruhan sendi yang terlibat, presence of symmethry,
Rheumathoid nodule, uji faktor rheumatoid positif (RF), dan tes perubahan
radiografi. Dalam kriteria 2010, penilaian pasien ditujukan bagi mereka dengan
sinovitis klinis setidaknya 1 sendi (joint) tidak dijelaskan oleh penyakit lain.
Sistem penilaian penyakit menggunakan dari 0-5 berdasarkan dari angka dan tipe
joint yang terlibat. Joint yang terlibat didefinisikan sebagai pembengkakan sendi
atau nyeri sendi pada pemeriksaan indikasi sinovitis aktif. sendi besar (Large
Joint) meliputi bahu, siku, pinggul, lutut, dan pergelangan kaki. Sendi kecil (Small
Joint) mengacu pada metacarpophalangeal (MCP), proximal interphalangeal
(PIP), 2-5 Metarshophalangeal (MTP), sendi interphalangeal jempol, dan
pergelangan tangan, dan sendi metatarsophalangeal kecuali dari assessment
karena tergabung dalam ostheoarthritis (Aleteha, et al, 2010).
Tidak ada persyaratan khusus untuk rheumathoid tangan, arthritis nodul,
atau arthritis simetris dalam kriteria 2010. Penulis mencatat bahwa keterlibatan
simetris bukan merupakan kriteria independen dari RA, meskipun kemungkinan
14
dari presentasi bilateral meningkat dengan adanya peningkatan lebih besar sendisendi yang terlibat dan lebih progresifnya penyakit (Aleteha, et al, 2010).
Mirip dengan kriteria 1987, kriteria 2010 memanfaatkan ada atau tidak
adanya RF (afinitas tinggi auto-antibodi terhadap bagian Fc immunoglobulin)
sebagai salah satu domain. Disamping itu, kriteria 2010 memanfaatkan adanya
atau tidak adanya yang baru-baru in diidentifikasi yaitu anti-citrullinated protein
antibody (ACPA). Nilai dari RF dan ACPA merupakan penanda dari disfungsi
autoimun, dinilai berdasarkan range nilai; dimana Normal didefinisikan sebagai
kurang dari upper limit normal (ULN) dari hasil laboratorium, positif-rendah
diantara ULN dan kurang dari 3 kali nilai ULN, dan positif tinggi lebih dari 3 kali
nilai ULN. Penanda (marker) inflamasi, kecepatan sedimentasi eritrosit (ESR)
dan C-reactive protein (CRP) level dinilai berdasarkan referensi standar
laboratorium (Aleteha, et al, 2010).
Tidak seperti pada kriteria 1987, pada kriteria 2010 durasi terapi
dipertimbangkan, tetapi tidak dengan perubahan raiografik, sebagai faktor dari
nilai akhir. Pada kriteria 2010 nilai paling tidak 6-10 dianggap cukup indikatif
untuk RA, dan karenanya pasien akan dipertimbangkan untuk menjalani
pengobatan (Aleteha, et al, 2010).
Karena itu disarankan menggunakan kriteria 2010 ACR/EULAR untuk
assessmentdari pasien yang telah ada dan yang akan datang untuk memfasilitasi
lebih awal pengobatan yang mampu mengubah perkembangan penyakit.
15
hasil lebih dari 23 unit dan titer lebih dari 1:80 tidak normal. Beberapa tes
faktor rheumatoid kini dilaporkan dalam IU (International Unit) (Eustice,
2007).
Rheumatoid Arthritic Factor (RF) adalah pemeriksaan penyaring untuk
mendeteksi adanya antibodi golongan IgM , IgG atau IgA yang terdapat dalam
serum pada penderita rheumatoid arthritis ( Nerl, 2012).
Serum dari pasien dengan rheumatoid arthritis biasanya berisi
autoantibodi ke bagian Fc IgG manusia. Autoantibodi ini disebut "faktor
rematik" karena hubungan mereka dengan penyakit terkait. Faktor Rheumatoid
terutama dimiliki untuk kelas IgM imunoglobulin. Namun, faktor rheumatoid
telah dikaitkan dengan masing-masing subclass IgG manusia dan dengan IgA
dan IgE. Peningkatan kadar faktor rheumatoid tidak hadir dalam penyakit sendi
lainnya seperti osteoarthritis, ankylosing spondylitis, gout, demam rematik,
arthritis supuratif, psoriatic arthritis, arthritis colitic dan sindrom Reiter. Karena
ini tingkat kekhususan, deteksi arthritis. Faktor sangat berguna sebagai
indikator rheumatoid arthritis. tes RF dapat membantu dokter dalam deteksi,
diagnosis, prognosis, dan pemantauan terapi rheumatoid arthritis. Tes untuk
faktor rheumatoid adalah tes serologi yang paling banyak digunakan sebagai
bantuan untuk diagnosis rheumatoid arthritis. Metode penentuan RF meliputi
presipitasi kapiler, radioimmunoassay, laser dan tingkat nephelometry dan tes
aglutinasi partikel (Nerl, 2012).
2. UJI ACPA
Test ACPA dikenal juga sebagai tes antibody anti-cyclic citrullinated
peptide (anti-CCP) yang merupakan enzyme-linked immunosorbent assay
dimana tes ini untuk melihat kehadiran antibodi yang mengenali antigen
16
17
18
3. X-RAY
X-ray sendi mungkin normal atau hanya menunjukkan pembengkakan
jaringan lunak pada awal penyakit. Sebagai penyakit berlangsung, X-ray dapat
memperlihatkan erosi tulang khas rheumatoid arthritis pada sendi. Sendi X-ray
19
Tahap I
Tidak ada kerusakan terlihat pada X-ray, meskipun mungkin ada tandatanda penipisan tulang.
Tahap II
1. Pada X-ray terlihat bukti penipisan tulang di sekitar sendi dengan atau
tanpa/sedikit kerusakan tulang
2. Kemungkinan adanya sedikit kerusakan tulang rawan
3. Mobilitas sendi mungkin terbatas, tidak ada kelainan bentuk sendi
4. Atropi pada otot yang berdampingan
5. Kemungkinan adanya kelainan jaringan lunak disekitar sendi
Tahap III
1. Pada X-ray, terlihat bukti kerusakan tulang rawan dan tulang dan
penipisan tulang di sekitar sendi
2. Deformitas sendi tanpa pengkakuan permanen atau fiksasi sendi
3. Atrofi otot yang ekstensif
4. Kemungkinan adanya kelainan jaringan lunak di sekitar sendi
Tahap IV
1. Pada X-ray terlihat bukti kerusakan tulang rawan dan tulang dan
osteoporosis di sekitar sendi
2. Deformitas sendi dengan fiksasi permanen sendi (disebut sebagai
ankilosis)
20
Kelas II : mampu melakukan kegiatan perawatan diri dan pekerjaan biasa tapi
terbatas dalam kegiatan diluar pekerjaan (seperti berolahraga,
pekerjaan rumah tangga)
Kelas III : mampu melakukan aktivitas perawatan diri biasa tapi terbatas
dalam pekerjaan dan kegiatan lainnya
Kelas IV : terbatas dalam kemampuan untuk melakukan perawatan diri biasa,
pekerjaan, dan kegiatan lainnya (Stoppler, 2013).
inflamasi dari penyakit. RA merupakan penyakit yang tidak hanya pada sendi,
namun seluruh tubuh. Dan pasien yang mempunyai RA memiliki inflamasi
sistemik yang merata pada seluruh tubuh, dan ditunjukkan pada laju endap
eritrosit (Ruderman, 2008).
Salah satu metode yang digunakan untuk pemeriksaan laju endap darah
adalah metode westergren.
a. Metode Westergren
21
22
Berhenti merokok
b.
c.
d.
e.
a.
b.
c.
Hidroterapi
d.
Istirahat menjadi pengobatan dalam mengurangi sakit. okupasi dan terapi fisik
dapat dilakukan pasien dengan olahraga ringan atau menjaga mobilitas
(pergerakkan). Mengurangi berat badan dapat membantu mengurangi radang
pada sendi (Singh, et al 2012).
23
2. Farmakologi
Terapi farmakologi RA menggunakan obat-obatan sebagai berikut :
a. Symptom-modifying anti-rheumatic drugs (SMARDs)
Obat golongan SMARDs ini merupakan golongan obat analgesik
sederhana berupa NSAID (Gcelu and Kalla, 2011). NSAIDs atau golongan
kortikosteroid digunakan untuk mengurangi gejala-gejala rematik jika
dibutuhkan. NSAID jarang digunakan sebagai monoterapi untuk rheumatoid
arthritis karena NSAIDs tidak menyembuhkan penyakit melainkan hanya
sebagai tambahan bagi obat golongan DMARDs. Kortikosteroid dapat
digunakan untuk mengontrol gejala RA sebelum memulai penggunaan
DMARDs (Singh, et al 2012).
- Glukokortikoid
Pada awal inflamasi arthritis, steroid dapat diberikan sebagai dosis
tunggal,
baik
secara
intramuskuler
atau
intra-arterikuler
untuk
24
proliferasi
limfosit
dan
modulasi
dari
inflamasi.
obat
hydroxychloroquine
kurang
dipahami.
25
4) Sulfasalazine
Sulfasalazine merupakan prodrug yang diubah oleh bakteri di kolon
menjadi sulfapyridine dan asam 5-aminosalisilat. Ketika sulfasalazine
mencapai kolon, bakteri-bakteri yang berada di kolon akan memutuskan
hubungan antara kedua molekul-molekul. Setelah memisah dari 5-ASA,
sulfapyridine diserap kedalam tubuh dan kemudian dikeluarkan dalam
urin. Efek-efek sampingan ini termasuk mual, rasa panas di dada
(heartburn), sakit kepala, anemia, ruam kulit (skin rashes), dan, dalam
kejadian-kejadian yang jarang, hepatitis dan peradangan ginjal. Pada
pria-pria, sulfasalazine dapat mengurangi jumlah sperma. Pengurangan
jumlah sperma kembali normal setelah pemberhentian sulfasalazine atau
oleh perubahan ke suatu senyawa 5- ASA yang berbeda. Sulfasalazine
digunakan dalam dosis hingga 2-4 g / hari (Singh, et al 2012).
5) Minocycline
Minocycline merupakan obat yang diresepkan untuk pasien dengan
gejala rheumatoid arthritis ringan. Minocycline juga kadang-kadang
dikombinasi dengan obat lain untuk mengobati pasien dengan gejala
persisten dari bentuk arthritis. Minocycline mengurangi produksi zat
yang menyebabkan peradangan, seperti prostaglandin dan leukotrien,
sambil meningkatkan produksi interleukin-10, suatu zat yang mengurangi
peradangan. Minocycline biasanya diberikan sebagai kapsul (mg) 100
miligram dua kali sehari. Penggunaan Minocyline selama kehamilan
dapat memperlambat pertumbuhan gigi atau tulang pada bayi setelah
lahir serta menyebabkan perubahan warna gigi bayi yang baru lahir
ketika diambil selama paruh terakhir kehamilan. Minocycline dapat
mengurangi efektivitas beberapa pil KB (Singh, et al, 2012).
6) Garam Emas
Garam emas merupakan DMARD yang sekarang sedang banyak
digunakan di negara-negara maju. Bentuk sediaan yang biasa digunakan
adalah injeksi dengan dosis 50mg/minggu. Cara kerja dari obat ini belum
banyak diketahui dengan pasti (Singh, et al 2012).
26
27
28
29
adalah
inhibitor
TNF-antibodi
monoklonal
yang
30
poor
respon
DMARD lain
DMARD kombinasi
DMARD biologi
poor
respon
31
dan lain sebagainya. Efek farmakologis yang ditimbulkan dari DMARD biologis
memang lebih baik karena kerjanya yang sepesifik. Akan tetapi harganya yang
sangat mahal membuat obat ini menjadi lini kedua dalam pengobatan RA (Singh,
et al 2012).
32
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rheumatoid
Arthritis
merupakan
penyakit
autoimun
yaitu
B. Saran
Mempelajari materi tentang penyakit Rheumatoid Arthritis itu
sangat penting. Karena Rheumatoid Arthritis adalah suatu keadaan kronis
dan biasanya merupakan kelainan inflamasi progresif dengan etiologi yang
belum diketahui. Dengan demikian sebaiknya kita menjaga aktivitas, pola
tidur, diet dan yang lainnya agar seimbang, untuk menghindari
Rheumatoid Arthritis menyerang pada sistem imun kita.
33
DAFTAR PUSTAKA
34