Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
1. Oligopoli
Tujuan
3. Pembagian wilayah
4. Pemboikotan
2. Penetapan harga
5. Kartel
6. Trust
7. Oligopsonih
8. Integrasi vertikal
Pemboikotan
9. Perjanjian tertutup
10. Perjanjian dengan pihak luar neger
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik
untuk tujuan dalam negeri maupun pasar luar negeri.
Kartel
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut
:
1. Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,
yang terdiri dari :
Pelaku usaha dilaarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha persaingnya yang
bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu
barang dan atau jasa.
Trust
Oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya
berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga
pasar.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang
lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap
perusahaan atau perseroan anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan
atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
Penetapan Harga.
Oligopsoni
Oligopoli
pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan tujuan
untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat
mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan.
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai
pembelian atau penerimaan pasokan, apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha menguasai lebih dari 75 % pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Integrasi Vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian
produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan
hasil pengelolahan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun
tidak langsung.
Pembagian Wilayah
Perjanjian Tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau
tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau
pada tempat tertentu.
Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat
ketentuan dan dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.
2. Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang
meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
Monopoli
Monopoli adalah situasi pengadaan barang dagangan tertentu (di pasar lokal atau
nasional) sekurang-kurangnya sepertiga dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok
sehingga harganya dapat dikendalikan.
Monopsoni
Monopsoni adalah keadaan pasar yang tidak seimbang, yang dikuasai oleh seorang
pembeli; oligopsoni yang terbatas pada seorang pembeli.
Penguasaan Pasar
Penguasaan pasar adalah proses, cara, atau perbuatan menguasai pasar. Dengan
demikian pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama pelaku usaha lainnya yang mengakibatkan praktik monopoli atau
persaingan usaha tidak sehat.
Persengkongkolan
Persekongkolan adalah berkomplot atau bersepakat melakukan kejahatan
(kecurangan).
Perjanjian yang dilarang , yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara
bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat
menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian
penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory
pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar
negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
Kegiatan yang dilarang , yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui
pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Posisi dominan , pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya
untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku
usaha lain.
Dalam pembuktian , KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar
membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain
mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat :
Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya,
yang lazim ditemui pada pasar monopoli
Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha
atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan/Badan Usaha
baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan/Badan Usaha
yang meleburkan diri dan Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri berakhir karena
hukum.
Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk
memperoleh atau mendapatkan baik seluruh atau sebagian saham dan atau aset
Perseroan/Badan Usaha. yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap
Perseroan/Badan Usaha tersebut.
Sanksi
Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi adalah dapat berupa penetapan pembatasan perjanjian,
pemberhentian integrasi vertikal, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan
posisi dominan, penetapan pembatalan atas penggabungan , peleburan dan
pengambilalihan badan usaha, penetapan pembayaran ganti rugi, penetapan denda
serendah-rendahnya satu miliar rupiah atau setinggi-tingginya dua puluh lima miliar
rupiah.
Sanksi Pidana Pokok dan Tambahan
Sanksi pidana pokok dan tambahan adalah dimungkinkan apabila pelaku usaha
melanggar integrasi vertikal, perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan monopoli,
melakukan monopsoni, penguasaan pasar, posisi dominan, pemilikan saham,
penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dikenakan denda minimal dua piluh lima
miliar rupiah dan setinggi-tingginya seratus miliar rupiah, sedangkan untuk pelanggaran
penetapan harga, perjanjian tertutup, penguasaan pasar dan persekongkolan, jabatan
rangkap dikenakan denda minimal lima miliar rupiah dan maksimal dua puluh lima
miliar rupiah.
Sementara itu, bagi pelaku usaha yang dianggap melakukan pelanggaran berat dapat
dikenakan pidana tambahan sesuai dengan pasal 10 KUH Pidana berupa :
pencabutan izin usaha
larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap
undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya
dua tahun dan selama-lamanya lima tahun,
penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada
pihak lain.
Firma (dari bahasa Belanda venootschap onder firma; secara harfiah: perserikatan
dagang antara beberapa perusahaan) atau sering juga disebut Fa, adalah sebuah bentuk
persekutuan untuk menjalankan usaha antara dua orang atau lebih dengan memakai nama
bersama. Pemiliki firma terdiri dari beberapa orang yang bersekutu dan masing-masing
anggota persekutuan menyerahkan kekayaan pribadi sesuai yang tercantum dalam akta
pendirian perusahaan.
Organisasi perusahaan seperti ini adalah organisasi perusahaan yang dimiliki oleh
beberapa orang. Di samping kemungkinan memperoleh modal yang lebih banyak,
kebaikan lain dari perusahaan perkongsian adalah tanggung jawab bersama didalam
menjalankan perusahaan. Setiap anggota perkongsian mempunyai tugas untuk
menjalankan dan mengembangkan perusahaan yang mereka dirikan.
1. Proses Pendirian
Persekutuan Firma merupakan bagian dari persekutuan perdata, maka dasar hukum
persekutuan firma terdapat pada Pasal 16 sampai dengan Pasal 35 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD) dan pasal-pasal lainnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata) yang terkait. Dalam Pasal 22 KUHD disebutkan bahwa
persekutuan firma harus didirikan dengan akta otentik tanpa adanya kemungkinan untuk
disangkalkan kepada pihak ketiga bila akta itu tidak ada. Pasal 23 KUHD dan Pasal 28
KUHD menyebutkan setelah akta pendirian dibuat, maka harus didaftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri dimana firma tersebut berkedudukan dan kemudian akta
pendirian tersebut harus diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Selama akta pendirian belum didaftarkan dan diumumkan, maka pihak ketiga
menganggap firma sebagai persekutuan umum yang menjalankan segala macam usaha,
didirikan untuk jangka waktu yang tidak terbatas serta semua sekutu berwenang
menandatangani berbagai surat untuk firma ini sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 29
KUHD. Isi ikhtisar resmi akta pendirian firma dapat dilihat di Pasal 26 KUHD yang
harus memuat sebagai berikut:
a. Nama, nama kecil, pekerjaan dan tempat tinggal para sekutu firma.
b. Pernyataan firmanya dengan menunjukan apakah persekutuan itu umum ataukah
terbatas pada suatu cabang khusus perusahaan tertentu dan dalam hal terakhir dengan
menunjukan cabang khusus itu.
c. Penunjukan para sekutu yang tidak diperkenankan bertanda tangan atas nama firma.
d. Saat mulai berlakunya persekutuan dan saat berakhirnya.
e. Dan selanjutnya, pada umumnya bagian-bagian dari perjanjiannya yang harus dipakai
untuk menentukan hak-hak pihak ketiga terhadap para sekutu.
Pada umumnya Persekutuan Firma disebut juga sebagai perusahaan yang tidak berbadan
hukum karena firma telah memenuhi syarat/unsur materiil namun syarat/unsur formalnya
berupa pengesahan atau pengakuan dari Negara berupa peraturan perundang-undangan
belum ada. Hal inilah yang menyebabkan Persekutuan Firma bukan merupakan
persekutuan yang berbadan hukum.
2. Proses Pembubaran
Pembubaran Persekutuan Firma diatur dalam ketentuan Pasal 1646 sampai dengan Pasal
1652 KUHPerdata dan Pasal 31 sampai dengan Pasal 35 KUHD. Pasal 1646
untuk usaha tertentu. Lalu dengan besarnya perusahaan tersebut, biaya pengorganisasian
akan keluar sangat besar. Belum lagi kerumitan dan kendala yang terjadi dalam tingkat
personel. Hubungan antar perorangan juga lebih formal dan berkesan kaku.
D. Persekutuan Komanditer
Persekutuan Komanditer (commanditaire vennootschap atau CV) adalah suatu
persekutuan yang didirikan oleh seorang atau beberapa orang yang mempercayakan uang
atau barang kepada seorang atau beberapa orang yang menjalankan perusahaan dan
bertindak sebagai pemimpin.
Persekutuan komanditer biasanya didirikan dengan akta dan harus didaftarkan. Namun
persekutuan ini bukan merupakan badan hukum (sama dengan firma), sehingga tidak
memiliki kekayaan sendiri.
1. Prosedur Pendirian
Dalam KUH Dagang tidak ada aturan tentang pendirian, pendaftaran, maupun
pengumumannya, sehingga persekutuan komanditer dapat diadakan berdasarkan
perjanjian dengan lisan atau sepakat para pihak saja (Pasal 22 KUH Dagang). Dalam
praktik di Indonesia untuk mendirikan persekutuan komanditer dengan dibuatkan akta
pendirian/berdasarkan akta notaris, didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang
berwenang dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI. Dengan kata lain
prosedur pendiriannya sama dengan prosedur mendirikan persekutuan firma.
2. Berakhirnya Persekutuan
Karena persekutuan komanditer pada hakikatnya adalah persekutuan perdata (Pasal 16
KUH Dagang), maka mengenai berakhirnya persekutuan komanditer sama dengan
berakhirnya persekutuan perdata dan persekutua firma (Pasal 1646 s/d 1652 KUH
Perdata).
3. Keuntungan dan Kelemahan
a. Keuntungan
1) Pendiriannya mudah
2) Bisa memenuhi kebutuhan modal lebih besar dan relatif mudah, yaitu dengan cara
menyerahkan sekutu komanditer.
3) Kemampuan untuk memperoleh pinjaman (kredit) lebih mudah.
4) Menginvestasikan dana relatif lebih mudah.
5) Kemampuan manajemen lebih baik.
b. Kelemahan
1) Kelangsungan hidup persekutuan komanditer tidak pasti karena hanya mengandalkan
pada sekutu komplementer.
2) Untuk persekutuan campuran, yang persero aktifnya lebih dari seorang terjadi
kemungkinan perselisihan.
3) Tanggung jawab sekutu tidak sama.
4) Kemungkinan terjadi kecurangan dari sekutu aktif.
5) Kesulitan kembali untuk menarik modal yang telah disetor terutama sekutu
komplementer.
Pendirian yayasan dilakukan dengan akta notaris dan mempunyai status badan hukum
setelah akta pendirian memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia atau pejabat yang ditunjuk. Permohonan pendirian yayasan dapat diajukan
kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia yang
wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan yayasan. Yayasan yang telah memperoleh
pengesahan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Tanggung jawab tidak terbatas, artinya apabila firma bangkrut dan harta
bendanya tidak memadai untuk membayar utang-utang firma, maka harta benda pribadi
para sekutu bisa disita untuk dilelang dan membayar utang-utang firma.
Tanggung jawab solider, tanggung jawab ini khususnya terletak dalam hubungan
keuangan dengan pihak luar. Sekutu firma bertanggung jawab penuh atasperjanjianperjanjian yang ditutup oleh rekannya untuk dan atas nama firma.
Mengingat
Pasal 5 Ayat (1), Pasal 21 Ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG
Menetapkan
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Menimbang
:
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1.
bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil
dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
1.
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
2.
bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat
mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang
dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan
2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3.
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi.
4.
Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat
untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
1.
meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
5. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan
bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
2.
mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari
ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
6.
Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang
dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang
akan dan sedang diperdagangkan.
3.
meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4.
menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
8.
Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam
wilayah Republik Indonesia.
5.
menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;
9.
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga nonPemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan
menangani perlindungan konsumen.
6.
meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen.
10. Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi
oleh konsumen.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Konsumen
11. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani
dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
Pasal 4
12. Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk
membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.
1.
hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
13. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi
bidang perdagangan.
2.
hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
3.
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
Pasal 2
4.
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
7.
5.
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
e.
Pasal 7
6.
7.
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
8.
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
9.
Pasal 5
a.
b.
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.
memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
d.
menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
c.
d.
mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
e.
memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
f.
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
BAB IV
PERBUATAN YANG DILARANG
BAGI PELAKU USAHA
Pasal 6
Pasal 8
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang :
a.
hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b.
hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik;
c.
hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen;
d.
hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
a.
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.
tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c.
tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
d.
tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e.
tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
f.
tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan
atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h.
tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
"halal" yang dicantumkan dalam label;
c.
barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor,
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori
tertentu;
d.
barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor,
persetujuan atau afiliasi;
e.
f.
g.
h.
i.
secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
i.
tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan,
akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j.
menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak
mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
j.
tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk
diperdagangkan.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan
penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,
cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap
dan benar.
Pasal 10
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
k.
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat
pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai :
a.
b.
c.
kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
a.
barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus,
standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna
tertentu;
d.
e.
b.
Pasal 11
Pasal 9
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang
mengelabui/menyesatkan konsumen dengan :
c.
d.
mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
a.
menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar
mutu tertentu;
Pasal 15
b.
menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat
tersembunyi;
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara
pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis
terhadap konsumen.
c.
tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud
untuk menjual barang lain;
Pasal 16
d.
tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup
dengan maksud menjual barang yang lain;
e.
tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan
maksud menjual jasa yang lain;
f.
menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika
pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan
jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.
Pasal 13
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu
barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau
jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak
sebagaimana yang dijanjikannya.
(2) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat
tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara
menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.
Pasal 14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk :
a.
b.
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk :
a.
tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan
yang dijanjikan;
b.
Pasal 17
(1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang :
a.
mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga
barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b.
c.
memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau
jasa;
d.
e.
mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau
persetujuan yang bersangkutan;
f.
melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
periklanan.
(2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar
ketentuan pada ayat (1).
BAB V
KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
Pasal 18
Pasal 19
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian apabila:
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan
atau diperdagangkan.
a.
b.
menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen;
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang
atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan
kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
c.
menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
tanggal transaksi.
d.
menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih
lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
e.
mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan
jasa yang dibeli oleh konsumen;
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila
pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan
konsumen.
f.
memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g.
menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha
dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat
yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
Pasal 21
h.
menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila
importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar
negeri.
(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa
asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dinyatakan batal demi hukum.
Pasal 22
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undangundang ini.
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan
tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan
pembuktian.
Pasal 23
BAB VI
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi
ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen
atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
a.
barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk
diedarkan;
b.
Pasal 24
c.
(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
d.
a.
pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun
atas barang dan/atau jasa tersebut;
b.
pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan
barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai degan contoh,
mutu, dan komposisi.
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab
atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang
membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan
perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 25
e.
lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau
lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal 28
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan
tanggung jawab pelaku usaha.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 29
(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam
batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau
fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang
diperjanjikan.
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan
ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut :
a.
tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas
perbaikan;
b.
tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas
penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi
yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
a.
terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha
dan konsumen;
Pasal 27
b.
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian
yang diderita konsumen, apabila :
c.
meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan
penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
a.
memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan
kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
(2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
b.
melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku di bidang perlindungan konsumen;
c.
melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan
konsumen;
(4) Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang
dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen,
Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
d.
f.
menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
(6) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL
Bagian Pertama
Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas
e.
menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan
memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
g.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan
Perlindungan Konsumen Nasional dapat bekerja sama dengan organisasi konsumen
internasional.
Bagian Kedua
Susunan Organisasi dan Keanggotaan
Pasal 31
Pasal 35
(1) Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas seorang ketua merangkap
anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya 15 (lima
belas) orang dan sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima) orang anggota yang mewakili
semua unsur.
Pasal 32
Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik
Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 33
(2) Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.
(3) Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen
Nasional selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan berikutnya.
e.
f.
diberhentikan.
(4) Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.
Pasal 39
Pasal 36
pemerintah;
2.
pelaku usaha;
3.
4.
akademisi; dan
5.
tenaga ahli.
(2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris
yang diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
(3) Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 40
Pasal 37
Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah:
a.
b.
berbadan sehat;
c.
berkelakuan baik;
Pasal 42
d.
e.
f.
Pasal 38
Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena :
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
a.
meninggal dunia;
b.
BAB IX
LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN
SWADAYA MASYARAKAT
c.
Pasal 44
d.
Pasal 46
(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a.
b.
a.
menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan
kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
c.
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,
yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan
dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran
dasarnya;
b.
c.
bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan
konsumen;
d.
membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan
atau pengaduan konsumen;
e.
melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan
perlindungan konsumen.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB X
PENYELESAIAN SENGKETA
Bagian Pertama
Umum
d.
pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi
atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang
tidak sedikit.
(2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang
tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan
Pasal 47
Pasal 45
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga
yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
menghilangkan tanggungjawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
Pasal 48
(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,
gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan
tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Pasal 49
(1) Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II
untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen,
seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut :
(3) Pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan
penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 52
Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
a.
a.
melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara
melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b.
berbadan sehat;
b.
c.
berkelakuan baik;
c.
d.
d.
melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam
Undang-undang ini;
e.
f.
(3) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah, unsur
konsumen, dan unsur pelaku usaha.
(4) Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah sedikit-dikitnya
3 (tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
(5) Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 50
Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1)
terdiri atas :
a.
b.
c.
anggota.
Pasal 51
(1) Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
sekretariat.
(2) Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan
anggota sekretariat.
e.
menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f.
g.
memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
h.
memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
i.
meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli,
atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia
memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
j.
mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k.
memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
l.
memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;
m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
Undang-undang ini.
Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian
sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.
Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dimintakan penetapan
eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.
Pasal 54
Pasal 58
(2) Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjil dan sedikitdikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49 ayat (3), serta dibantu oleh seorang panitera.
(2) Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para
pihak dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(3) Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.
Pasal 55
BAB XII
PENYIDIKAN
Pasal 59
Pasal 56
(1) Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik
(1) Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan
penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha
wajib melaksanakan putusan tersebut.
(2) Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14
(empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
(3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa
konsumen.
(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dijalankan
oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan
tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
(5) Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
Pasal 57
f.
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang perlindungan konsumen.
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal 63
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia.
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan
hukuman tambahan, berupa:
BAB XIII
SANKSI
Bagian Pertama
Sanksi Administratif
a.
b.
c.
Pasal 60
d.
perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen;
e.
f.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen
yang telah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Undang-undang ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Undang-undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pasal 4 (1) Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
(2) Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN
bersumber dari: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. kapitalisasi cadangan;
c. sumber lainnya. (3) Setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN
atau perseroan terbatas yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (4) Setiap perubahan penyertaan modal
negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), baik berupa penambahan maupun
pengurangan, termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atas saham Persero atau
perseroan terbatas, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (5) Dikecualikan dari
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) bagi penambahan penyertaan modal
negara yang berasal dari kapitalisasi cadangan dan sumber lainnya. (6) Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara dalam rangka
pendirian atau penyertaan ke dalam BUMN dan/atau perseroan terbatas yang sebagian
sahamnya dimiliki oleh negara, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
BUMN terdiri dari Persero dan Perum.
BAB II PERSERO Bagian Pertama Pendirian
Pasal 10 (1) Pendirian Persero diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai dengan
dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri Teknis dan Menteri
Keuangan. (2) Pelaksanaan pendirian Persero dilakukan oleh Menteri dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Pasal 11 Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku
bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas.
.Bagian Kedua Maksud dan Tujuan
Pasal 5 (1) Pengurusan BUMN dilakukan oleh Direksi. (2) Direksi bertanggung jawab
penuh atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN serta mewakili
BUMN, baik di dalam maupun di luar pengadilan. (3) Dalam melaksanakan tugasnya,
anggota Direksi harus mematuhi anggaran dasar BUMN dan peraturan perundangundangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi,
transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran.
Pasal 6 (1) Pengawasan BUMN dilakukan oleh Komisaris dan Dewan Pengawas. (2)
Komisaris dan Dewan Pengawas bertanggung jawab penuh atas pengawasan BUMN
untuk kepentingan dan tujuan BUMN. (3) Dalam melaksanakan tugasnya, Komisaris dan
Dewan Pengawas harus mematuhi Anggaran Dasar BUMN dan ketentuan peraturan
perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme,
efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran.
Pasal 7 Para anggota Direksi, Komisaris dan Dewan Pengawas dilarang mengambil
keuntungan pribadi baik secara langsung maupun tidak langsung dari kegiatan BUMN
selain penghasilan yang sah.
Pasal 8 (1) Anggota Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas tidak berwenang
mewakili BUMN, apabila: a. terjadi perkara di depan pengadilan antara BUMN dan
anggota Direksi atau Komisaris atau Dewan Pengawas yang bersangkutan; atau b.
anggota Direksi atau Komisaris atau Dewan Pengawas yang bersangkutan mempunyai
kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan BUMN. (2) Dalam anggaran dasar
ditetapkan yang berhak mewakili BUMN apabila terdapat keadaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1). (3) Dalam hal anggaran dasar tidak menetapkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), RUPS mengangkat 1 (satu) orang atau lebih
pemegang saham untuk mewakili Persero, dan Menteri mengangkat 1 (satu) orang atau
lebih untuk mewakili Perum.
Pasal 12 Maksud dan tujuan pendirian Persero adalah : a. menyediakan barang dan/atau
jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat; b. mengejar keuntungan guna
meningkatkan nilai perusahaan.
Bagian Ketiga Organ
Pasal 13 Organ Persero adalah RUPS, Direksi, dan Komisaris. Bagian Keempat
Kewenangan RUPS
Pasal 14 (1) Menteri bertindak selaku RUPS dalam hal seluruh saham Persero dimiliki
oleh negara dan bertindak selaku pemegang saham pada Persero dan perseroan terbatas
dalam hal tidak seluruh sahamnya dimiliki oleh negara. (2) Menteri dapat memberikan
kuasa dengan hak substitusi kepada perorangan atau badan hukum untuk mewakilinya
dalam RUPS. (3) Pihak yang menerima kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri untuk mengambil keputusan dalam
RUPS mengenai : a. perubahan jumlah modal; b. perubahan anggaran dasar; c. rencana
penggunaan laba; d. penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, serta
pembubaran Persero; e. investasi dan pembiayaan jangka panjang; f. kerja sama Persero;
g. pembentukan anak perusahaan atau penyertaan; h. pengalihan aktiva.
Bagian Kelima Direksi Persero
Pasal 15 (1) Pengangkatan dan pemberhentian Direksi dilakukan oleh RUPS. (2) Dalam
hal Menteri bertindak selaku RUPS, pengangkatan dan pemberhentian Direksi ditetapkan
oleh Menteri.
Pasal 16 (1) Anggota Direksi diangkat berdasarkan pertimbangan keahlian, integritas,
kepemimpinan, pengalaman, jujur, perilaku yang baik, serta dedikasi yang tinggi untuk
lainnya pada instansi/lembaga pemerintah pusat dan daerah; dan/atau c. jabatan lainnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 27 (1) Pengangkatan dan pemberhentian Komisaris dilakukan oleh RUPS. (2)
Dalam hal Menteri bertindak selaku RUPS, pengangkatan dan pemberhentian Komisaris
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pengangkatan dan
pemberhentian anggota Direksi diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 21 (1) Direksi wajib menyiapkan rancangan rencana jangka panjang yang
merupakan rencana strategis yang memuat sasaran dan tujuan Persero yang hendak
dicapai dalam jangka waktu 5 (lima) tahun. (2) Rancangan rencana jangka panjang yang
telah ditandatangani bersama dengan Komisaris disampaikan kepada RUPS untuk
mendapatkan pengesahan.
Pasal 22 (1) Direksi wajib menyiapkan rancangan rencana kerja dan anggaran
perusahaan yang merupakan penjabaran tahunan dari rencana jangka panjang. (2)
Direksi wajib menyampaikan rancangan rencana kerja dan anggaran perusahaan kepada
RUPS untuk memperoleh pengesahan.
Pasal 23 (1) Dalam waktu 5 (lima) bulan setelah tahun buku Persero ditutup, Direksi
wajib menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS untuk memperoleh pengesahan.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh semua
anggota Direksi dan Komisaris.
(3) Dalam hal ada anggota Direksi atau Komisaris tidak menandatangani laporan tahunan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), harus disebutkan alasannya secara tertulis.
Pasal 24 Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana jangka panjang, rencana kerja dan
anggaran perusahaan, laporan tahunan dan perhitungan tahunan Persero diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 25 Anggota Direksi dilarang memangku jabatan rangkap sebagai: a. anggota
Direksi pada BUMN, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, dan jabatan
lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; b. jabatan struktural dan fungsional
Pasal 32 (1) Dalam anggaran dasar dapat ditetapkan pemberian wewenang kepada
Komisaris untuk memberikan persetujuan kepada Direksi dalam melakukan perbuatan
hukum tertentu. (2) Berdasarkan anggaran dasar atau keputusan RUPS, Komisaris dapat
melakukan tindakan pengurusan Persero dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu
tertentu.
Pasal 33 Anggota Komisaris dilarang memangku jabatan rangkap sebagai: a. anggota
Direksi pada BUMN, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, dan jabatan
lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; dan/atau b. jabatan lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketujuh Persero Terbuka
Pasal 34 Bagi Persero Terbuka berlaku ketentuan Undang-undang ini dan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan perundangundangan di bidang pasar modal.
Pasal 42 (1) Setiap tahun buku Perum wajib menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih
untuk cadangan. (2) Penyisihan laba bersih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan sampai cadangan mencapai sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari
modal Perum. (3) Cadangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang belum
mencapai jumlah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hanya dapat dipergunakan
untuk menutup kerugian yang tidak dapat dipenuhi oleh cadangan lain.
Pasal 43 Penggunaan laba bersih Perum termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk
cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ditetapkan oleh Menteri.
Bagian Ketujuh Direksi Perum
Pasal 44 Pengangkatan dan pemberhentian Direksi ditetapkan oleh Menteri sesuai
dengan mekanisme dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 45 (1) Yang dapat diangkat sebagai anggota Direksi adalah orang perseorangan
yang mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau
menjadi anggota Direksi atau Komisaris atau Dewan Pengawas yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan atau Perum dinyatakan pailit atau orang yang tidak pernah
dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara. (2) Selain
kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) anggota Direksi diangkat berdasarkan
pertimbangan keahlian, integritas, kepemimpinan, pengalaman, jujur, perilaku yang baik,
serta dedikasi yang tinggi untuk memajukan dan mengembangkan Perum. (3)
Pengangkatan anggota Direksi dilakukan melalui mekanisme uji kelayakan dan
kepatutan. (4) Calon anggota Direksi yang telah dinyatakan lulus uji kelayakan dan
kepatutan wajib menandatangani kontrak manajemen sebelum ditetapkan
pengangkatannya sebagai anggota Direksi. (5) Masa jabatan anggota Direksi ditetapkan
5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. (6) Dalam
hal Direksi terdiri atas lebih dari seorang anggota, salah seorang anggota Direksi
diangkat sebagai direktur utama.
Pasal 46 Anggota Direksi sewaktu-waktu dapat diberhentikan berdasarkan Keputusan
Menteri dengan menyebutkan alasannya. Pasal 47 Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota Direksi diatur
dengan Keputusan Menteri. Pasal 48 Dalam melaksanakan tugasnya, Direksi wajib
mencurahkan tenaga, pikiran, dan perhatian secara penuh pada tugas, kewajiban, dan
pencapaian tujuan Perum. Pasal 49 (1) Direksi wajib menyiapkan rancangan rencana
jangka panjang yang merupakan rencana strategis yang memuat sasaran dan tujuan
Perum yang hendak dicapai dalam jangka waktu 5 (lima) tahun. (2) Rancangan rencana
jangka panjang yang telah ditandatangani bersama dengan Dewan Pengawas
disampaikan kepada Menteri untuk mendapatkan pengesahan.
Pasal 50 (1) Direksi wajib menyiapkan rancangan rencana kerja dan anggaran
perusahaan yang merupakan penjabaran tahunan dari rencana jangka panjang. (2) Direksi
wajib menyampaikan rancangan rencana kerja dan anggaran perusahaan kepada Menteri
untuk memperoleh pengesahan.
Pasal 51 (1) Dalam waktu 5 (lima) bulan setelah tahun buku Perum ditutup, Direksi
wajib menyampaikan laporan tahunan kepada Menteri untuk memperoleh pengesahan.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh semua
anggota Direksi dan Dewan Pengawas.
(3) Dalam hal ada anggota Direksi atau Dewan Pengawas tidak menandatangani laporan
tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus disebutkan alasannya secara
tertulis.
Pasal 52 Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana jangka panjang, rencana kerja dan
anggaran perusahaan, laporan tahunan dan perhitungan tahunan Perum diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 53 Anggota Direksi dilarang memangku jabatan rangkap sebagai: a. anggota
Direksi pada BUMN, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, dan jabatan
lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; b. jabatan struktural dan fungsional
lainnya pada instansi/lembaga pemerintah pusat dan daerah; dan/atau c. jabatan lainnya
sesuai dengan ketentuan dalam peraturan pendirian Perum dan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pasal 54 Direksi wajib memelihara risalah rapat dan
menyelenggarakan pembukuan Perum.
Pasal 55 (1) Direksi hanya dapat mengajukan permohonan ke pengadilan negeri agar
Perum dinyatakan pailit berdasarkan persetujuan Menteri. (2) Dalam hal kepailitan
terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan Perum tidak cukup untuk
menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung
renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut. (3) Anggota Direksi yang dapat
membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya tidak
bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut. (4) Dalam hal
tindakan Direksi menimbulkan kerugian bagi Perum sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), Menteri mewakili Perum untuk melakukan tuntutan atau gugatan terhadap Direksi
melalui pengadilan.
dipimpin oleh seorang ketua yang bertanggung jawab kepada Komisaris atau Dewan
Pengawas. (3) Selain komite audit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Komisaris atau
Dewan Pengawas dapat membentuk komite lain yang ditetapkan oleh Menteri. (4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai komite audit dan komite lain diatur dengan Keputusan
Menteri.
BAB VII PEMERIKSAAN EKSTERNAL
Pasal 64 (2) Pembubaran BUMN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (3) Apabila
tidak ditetapkan lain dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
sisa hasil likuidasi atau pembubaran BUMN disetorkan langsung ke Kas Negara.
Pasal 65 (1) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan, peleburan,
pengambilalihan, dan pembubaran BUMN, diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2)
Dalam melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kepentingan
BUMN, pemegang saham/pemilik modal, pihak ketiga, dan karyawan BUMN harus tetap
mendapat perhatian.
BAB V KEWAJIBAN PELAYANAN UMUM
Pasal 66 (1) Pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk
menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan
tujuan kegiatan BUMN. (2) Setiap penugasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan RUPS/Menteri.
BAB VI SATUAN PENGAWASAN INTERN, KOMITE AUDIT, DAN KOMITE
LAIN
Bagian Pertama Satuan Pengawasan Intern Pasal 67 (1) Pada setiap BUMN dibentuk
satuan pengawasan intern yang merupakan aparat pengawas intern perusahaan. (2)
Satuan pengawasan intern sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipimpin oleh seorang
kepala yang bertanggung jawab kepada direktur utama.
Pasal 68 Atas permintaan tertulis Komisaris/Dewan Pengawas, Direksi memberikan
keterangan hasil pemeriksaan atau hasil pelaksanaan tugas satuan pengawasan intern.
Pasal 69 Direksi wajib memperhatikan dan segera mengambil langkah-langkah yang
diperlukan atas segala sesuatu yang dikemukakan dalam setiap laporan hasil pemeriksaan
yang dibuat oleh satuan pengawasan intern. Bagian Kedua Komite Audit dan Komite
Lain
Pasal 70 (1) Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN wajib membentuk komite audit
yang bekerja secara kolektif dan berfungsi membantu Komisaris dan Dewan Pengawas
dalam melaksanakan tugasnya. (2) Komite audit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pasal 71 (1) Pemeriksaan laporan keuangan perusahaan dilakukan oleh auditor eksternal
yang ditetapkan oleh RUPS untuk Persero dan oleh Menteri untuk Perum. (2) Badan
Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap BUMN sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII RESTRUKTURISASI DAN PRIVATISASI Bagian Pertama Maksud dan
Tujuan Restrukturisasi
Pasal 72 (1) Restrukturisasi dilakukan dengan maksud untuk menyehatkan BUMN agar
dapat beroperasi secara efisien, transparan, dan profesional. (2) Tujuan restrukturisasi
adalah untuk: a. meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan; b. memberikan manfaat
berupa dividen dan pajak kepada negara; c. menghasilkan produk dan layanan dengan
harga yang kompetitif kepada konsumen; dan d. memudahkan pelaksanaan privatisasi.
(3) Pelaksanaan restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap
memperhatikan asas biaya dan manfaat yang diperoleh. Bagian Kedua Ruang Lingkup
Restrukturisasi
Pasal 73
Restrukturisasi meliputi : a. restrukturisasi sektoral yang pelaksanaannya disesuaikan
dengan kebijakan sektor dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan; b.
restrukturisasi perusahaan/korporasi yang meliputi : 1) peningkatan intensitas persaingan
usaha, terutama di sektor-sektor yang terdapat monopoli, baik yang diregulasi maupun
monopoli alamiah; 2) penataan hubungan fungsional antara pemerintah selaku regulator
dan BUMN selaku badan usaha, termasuk di dalamnya penerapan prinsip-prinsip tata
kelola perusahaan yang baik dan menetapkan arah dalam rangka pelaksanaan kewajiban
pelayanan publik. 3) restrukturisasi internal yang mencakup keuangan, organisasi/
manajemen, operasional, sistem, dan prosedur.
Bagian Ketiga Maksud dan Tujuan Privatisasi
Pasal 74 (1) Privatisasi dilakukan dengan maksud untuk : a. memperluas kepemilikan
masyarakat atas Persero; b. meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan; c.
menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang baik/kuat; d.
menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif; e. menciptakan Persero yang
berdaya saing dan berorientasi global; f. menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro,
dan kapasitas pasar. (2) Privatisasi dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja
dan nilai tambah perusahaan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan
saham Persero.
Bagian Keempat Prinsip Privatisasi dan Kriteria Perusahaan yang Dapat Diprivatisasi
Pasal 75 Privatisasi dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip transparansi,
kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran.
Pasal 76 (1) Persero yang dapat diprivatisasi harus sekurang-kurangnya memenuhi
kriteria: a. industri/sektor usahanya kompetitif; atau b. industri/sektor usaha yang unsur
teknologinya cepat berubah. (2) Sebagian aset atau kegiatan dari Persero yang
melaksanakan kewajiban pelayanan umum dan/atau yang berdasarkan Undang-undang
kegiatan usahanya harus dilakukan oleh BUMN, dapat dipisahkan untuk dijadikan
penyertaan dalam pendirian perusahaan untuk selanjutnya apabila diperlukan dapat
diprivatisasi.
Pasal 77 Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: a. Persero yang bidang usahanya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN;
b. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan
keamanan negara; c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah
diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan
kepentingan masyarakat; d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam
yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk
diprivatisasi.
Pasal 78
Bagian Ketujuh Kerahasiaan Informasi
Privatisasi dilaksanakan dengan cara: a. penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar
modal; b. penjualan saham langsung kepada investor; c. penjualan saham kepada
manajemen dan/atau karyawan yang bersangkutan.
Bagian Kelima Komite Privatisasi
Pasal 79 (1) Untuk membahas dan memutuskan kebijakan tentang privatisasi sehubungan
dengan kebijakan lintas sektoral, pemerintah membentuk sebuah komite privatisasi
sebagai wadah koordinasi. (2) Komite privatisasi dipimpin oleh Menteri Koordinator
yang membidangi perekonomian dengan anggota, yaitu Menteri, Menteri Keuangan, dan
Menteri Teknis tempat Persero melakukan kegiatan usaha. (3) Keanggotaan komite
privatisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 80
(1) Komite privatisasi bertugas untuk: a. merumuskan dan menetapkan kebijakan umum
dan persyaratan pelaksanaan Privatisasi; b. menetapkan langkah-langkah yang
Pasal 85 (1) Pihak-pihak yang terkait dalam program dan proses Privatisasi diwajibkan
menjaga kerahasiaan atas informasi yang diperoleh sepanjang informasi tersebut belum
terbuka. (2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedelapan Hasil Privatisasi
Pasal 86 (1) Hasil Privatisasi dengan cara penjualan saham milik negara disetor langsung
ke Kas Negara. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyetoran hasil
Privatisasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 87 (1) Karyawan BUMN merupakan pekerja BUMN yang pengangkatan,
pemberhentian, kedudukan, hak dan kewajibannya ditetapkan berdasarkan perjanjian
kerja bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan. (2) Karyawan BUMN dapat membentuk serikat pekerja sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Serikat pekerja wajib memelihara
keamanan dan ketertiban dalam perusahaan, serta meningkatkan disiplin kerja.
Tahun 1969 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2904); dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 95 Undang-undang ini berlaku sejak tanggal diundangkan.
Pasal 88 (1) BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan
pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyisihan dan penggunaan laba sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.