Вы находитесь на странице: 1из 14

REFERAT

TERAPI HIPERGLIKEMI PADA NEFROPATI DIABETIK

PEMBIMBING
dr. Muhammad Mahfudz Sp.PD
Oleh:
Ayu Diajeng Sekar Negari
(09030072)

REFERAT UNTUK MELENGKAPI


SYARAT-SYARAT KEPANITERAAN KLINIK
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD JOMBANG
2011

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Resiko Hipoglikemi pada Pengobatan Pasien DM dengan CKD..

2.2 Pengaruh Buruk Hiperglikemia Terhadap Nefropati Diabet.

2.3 Manfaat Menurunkan Glukosa Darah Pada ND

2.4 Insulin Atau Oral Anti Diabet (OAD) .

2.5 Problem Spesifik Terapi Glukosa pada ND..

2.6 Prinsip Terapi Hiperglikemi pada ND ..

DAFTAR PUSTAKA .

17

BAB 1
PENDAHULUAN

Penelitian observasional menunjukkan bahwa pada DM tipe 2 dan


tipe 1, kendali glukosa yang buruk meningkatkan kejadian serta memperparah
albuminuria. Penelitian Collaborative Study Group terhadap DM 1 dengan CKD
stage 2-3, menunjukkan HbA1c yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan
doubling serum kreatinin.
Penelitian meta-analysis terhadap DM tipe 1 menunjukkan bahwa dengan
terapi glukosa intensif berhasil menurunkan risiko kejadian albuminuria serta
perburukan nefropati secara nyata.
Pasien dialisis dengan gula darah yang normal mempunyai survival lebih
tinggi, serta memperlambat korriplikasi neuropati, retinopati, dan penyakit
makrovaskuler, dibandingkan pasien dialisis dengan gula darah tinggi.
Dalam penelitian UKPDS (UK prospects ve diabetes study) dan VADT
(Investigators in the Veterans Affairs Diabet 4s, terlihat bahwa penggunaan insulin
maupun OAD sama baiknya dalam hal outcome sepanjang target glukosa darah
tercapai.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Resiko Hipoglikemi pada Pengobatan Pasien DM dengan CKD
Pasien DM dengan CKD, terutama stage 3 - 5, mempunyai risiko
hipoglikemia oleh karena 3 sebab : menurunnya gluconeogenesis, menurunnya
kliren terhadap insulin dan OAD, menurunnya intake oral oleh karena uremia.
Risiko hipoglikemi pada pasien DM tipe 1 (dengan kreatinin serum 2,2 mg/dl)
yang mendapat terapi insulin adalah 5 kali lebih tinggi dibandingan GFR
normal.
Generasi kedua sulfonylurea : yaitu glipizide, gliclazide, glimepiride
merupakan pilihan, karena sebagian besar dimetabolisme di liver, dan
dieksresi di ginjal dalam bentuk metabolit non aktif , sehingga risiko
hipoglikemia adalah kecil.
Metformin sebaiknya tidak diberikan karena dieliminasi sepenuhnya
secara utuh di ginjal sehingga menimbulkan risiko asidosis laktat. Rosiglitazone
berbeda dengan sulfonylurea atau metformin, tidak hanya menurunkan gula darah,
tetapi punya peran spesifik yaitu menurunkan albuminuria.
Rapid-acting analogues mempunyai waktu paruh lebih pendek dan
konsentrasi maksimal lebih rendah dibandingkan dengan regular human in
sulinsehingga risiko hipoglikemi lebih rendah dibandingkan pasien dengan fungsi
ginjal normal. Long-acting Insulin Analogues (levemer, lantus) lebih aman dan
efektip dibandingkan intermediate-acting insulin (NPH/monotard), karena
dilepas lebih lambat, maksimal konsentrasi relatip konstan, serta peak lebih
landai.
4

2.2 Pengaruh Buruk Hiperglikemia Terhadap Nefropati Diabet (ND)


Penelitian observasional menunjukkan bahwa pada DM tipe 2 dan tipe 1,
kendali glukosa yang buruk meningkatkan kejadian serta memperparah
albuminuria (369). Penelitian lain, Collaborative Study Group terhadap DM 1
dengan CKD stage 2-3, menunjukkan HbAlc yang tinggi berhubungan dengan
peningkatan doubling serum kreatinin.2
Hiperglikemia merupakan awal kejadian dari disfungsi endotel, yang
kemudian berkembang menjadi penyebab komplikasi menahun dari diabetes
mellitus (DM) karena terbentuknya AGE (Advanced Glycation End Products).
Oleh karena itu, regulasi DM (glukosa) harus dilaksanakan secepat mungkin
dalam 24 jam (dalam 24 jam: masih terbentuk Schiff Base, masih reversibel).
Apabila tidak maka terbentuklah Amadori Product yang sudah semi-reversibel.
Bila terjadinya hiperglikemia sudah melebihi 1 (satu) minggu atau lebih-lebih 1
(satu) bulan, maka AGE sudah mulai terbentuk dengan segala akibatnya.12
Hiperglikemia mempunyai 7 efek toksik (Tjokroprawiro 1999), yang
untuk mudahnya disingkat dengan akronim DIR-C-GOS,yaitu:
Trisula-I: DIR
1. D: Direct effect pada endotel (permeabilitas meningkat)
2. I:

Immunology

terganggu,

yang

dapat

berkembang

menjadi

"Immunocompromised"
3. R: Rheology juga terganggu

Tombak: C

4. C: Cytokines akan terbentuk; yang paling toksik adalah TNF _ dan IL-1
Trisula II : GOS
5. G: Glycation process; semua protein tubuh akan mengalami proses glikasi
dengan segala akibatnya.
6. O: Oxidant. Karena terjadi glukooksidasi, terbentuklah Radikal Bebas
Oksigen (RBO) dan Radikal Hidroksil (RH)
7. S: Sorbitol. Melalui poliol pathway, terbentuklah Sorbitol dengan segala
akibatnya.
Trisula-II (GOS) akan memberi akibat terbentuknya RBO dan RH (atres
oksidatif) yang dapat menyebabkan peningkatan (dikutip dari Askandar
Tjokroprawiro 1993, 1998, 1999): (a) proses oksidasi LDL; (b) Cytosolic Ca+
+; (c) proliferasi SMC; (d) proses koagulasi; (e) VCAM-1; (f) ICAM-1; dan (g)
hipoksia.
Trisula-II (GOS) dapat pula menyebabkan penurunan (Giugliano et al 1996):
(a) heparan sulphate; (b) NCV (Nerve Conduction Velocity); dan (c)
endoneural blood flow. DIR-C-GOS (terutama GOS) inilah yang menjadi
penyebab timbulnya komplikasi vaskular diabetik melalui 10 proses tersebut.
2.3 Manfaat Menurunkan Glukosa Darah Pada ND
Sebagian besar bukti manfaat terapi glukosa pada ND berasal dari
penelitian DM tipe 1 dan 2 pada CKD stad 1 dan 2. End point yang dilihat
adalah

terjadinya,

mikroalbuminuria, progresikemakro albuminuria, dan

perubahan fungsi ginjal. Hanya sedikit penelitian yank melihat efek terapi
glukosa pada CKD stadium lanjut, atau pada pasien dialysis dan transplantasi
ginjal.

Penelitian meta-analysis terhadap DM tipe 1 menunjukkan bahwa dengan


terapi intensif glukosa berhasil menurunkan risiko perburukan nefropati secara
nyata (366). DCCT adalah clinical trial, multicenter, randomized, dengan
subyek 1.441 pasien DM tipe 1, membandingkan efek terapi intensif glukosa
dibandingkan terapi konvensional, terhadap terjadinya komplikas jangka
panjang akibat diabet. Saat baseline, rata-rata kadar HbAlc kedua group adalah
sama. Setelah 3 bulan, group dengan terapi intensif glukosa mencapai
kadar HbAlc 2% lebih rendah dibandingkan kontrol (7.2% versus 9.1%;
P< 0.001). Dan setelah pengamatan 6,5 tahun, terbukti terapi intensif bias
menurunkan kejadian mikro albuminuria sebesar 34 %. 4
Penelitian lain dilakukan Kumamoto terhadap 110 pasien DM 2, dibag
atas kelompok intensif (HbA1c,7.1%) dan konvensional (HbAlc,9.4%).
Selama 8 tahun pengamatan, kejadian barn mikro albuminuria pada kelompok
intensif lebih sedikit, yaitull,S%. Sedangkan pada kelompok konvensional
sebesar 43,5%. Albuminuria memburuk sebesar 7,7% pada intensif,
dibandingkan 28% pada konvensional.
Pasien yang menjalani dialysis juga memerlukan pengendalian gula darah,
untuk memperlambat komplikasi neuropati, retinopati, dan penyakit
makrovaskuler. Survival terbukti lebih tinggi pada pasien dengan normal gula
darah, baik pasien hemodialysis maupun peritoneal dialysis. 6
2.4 Insulin Atau Oral Anti Diabet (OAD)
Outcome pengobatan glukosa pada nefropati diabet adalah mencapai target
glukosa darah yang ideal, sehingga bisa menurunkan mortalitas dan morbiditas
yang terkait diabet. Penelitian berskala lugs UKPDS (UK prospective diabetes

study) dan VADT (Investigators in the Veterans Affairs Diabetes) , pada kedua
peneltian terlihat bahwa penggunaan insulin maupun OAD sama baiknya dalam
hat outcome sepanjang target glukosa darah tercapai. Namur baik insulin
maupun OAD, dalam penggunaannya memerlukan monitor glukosa dan GFR
lebih ketat, karena risiko hipoglikemi yang lebih sering terjadi dibandingkan
pasien dengan GFR normal.
2.5 Problem Spesifik Terapi Glukosa pada ND
Risiko utama ketika melakukan terapi intensif untuk mencapai HbAlc
dibawah 7% adalah hipoglikemia. Risiko ini terutama terjadi pada pemberian
terapi insulin,khususnya bibet tipe 1. Penelitian UKPDS menunjukkan bahwa
sulfonilerea juga dihubungkan dengan hipoglikemia, sekalipun resiko tersebut
lebih kecil
Pasien DM dengan CKD, terutama stage 3 - 5, mempunyai risiko
hipoglikemia oleh karena 2 sebab :
1.

Menurunnya glukoneogenesis

2.

Menurunnya kliren terhadap insulin dan OAD

Dengan berkurangnya massa ginjal, sejumlah glukoneugenesis yang


berlangsung di ginjal akan berkurang. Hal ini menurunkan mekanis
merespon kompensasi pembentukan glukosa ketika pasien mengalami
hipoglikemi akibat kur~ng makan atau karena kelebihan dosis obat diabet.
Sepertiga dari degradasi insulin berlangsung di ginjal, sehingga
penurunan fungsi ginjal akan memperpanjang half-life insulin. Pasien
DM tips 1(dengan kreatinin serum 2,2 mg/dl) yang mendapat terapi
insulin punya risiko hipoglikemi sebesar 5 kali lipat (143) . Kliren

terhadap sulfonil uria dan metabolit aktifnya juga menurun, sehingga


dosis yang diberikan perlu diturunkan untuk mencegah hipoglikemi.
Sulfonil uria terikat kuat pada albumin, sehingga tidak mudah
dikeluarkan lewat hemodialysis. Dan ikatan terhadap albumin tersebut
mudah lepas oleh pengaruh obat beta bloker, salisilat dan warfarin,
sehingga kadar obat bebas dalam darah meningkat dan meningkatkan
risiko hipoglikemi.
2.6 Prinsip Terapi Hiperglikemi pada ND
Generasi

pertama

sulfonylurea

(chlorpropamide,

tolazamide,

tolbutamide) sebaiknya dihindari pada pasien CKD karena eliminasiobat


tersebut semata-mata di ginjal. Dari generasi kedua sulfonylurea : yaitu
glipizide, gliclazide, glimepiride merupakan pilihan, karena preparat
sebagian besar dimetabolisme di liver, dan dieksresi di ginjal dalam bentuk
metabolit non aktif atau aktif lemah, sehingga risiko hipoglikemia
adalah kecil. Glipizide paling kecil risiko hipoglikemirrya.
Untuk kelas meglitinide, baik nateglinide dan repaglinide keduanya di
metabolisme di ginjal. Namun efek hipoglikemi repaglinide lebih kecil
dibandingkan nateglinide.
Non sulfonylurea insulin secretagogues, yaitu incretin mimetic
(exenatide, sitagliptin) di metabolism dan diekskresi di ginjal. Meskipun
efek hipoglikemi sediaan ini kecil, namun penggunaan harus hati-hati
pada pasien dengan GFR yang menurun. Dosis harus diturunkan menjadi
25-50% dari dosis normal.
Metformin sebaiknya tidak dibenkan bila kreatinin diatas 1,5

mg/dl, karena dieliminasi sepenuhnya secara utuh di ginjal sehingga,


menimbulkan risiko lactic acidosis.8
Thiazolidinediones (TZDs) di metabolisme di liver dan sedikit yang
diekskresi lewat ginjal, sehingga risiko hipoglikemi kecil Berta tidak
perlu penurunan dosis pada pasien dengan CKD. Namun efek
samping adalah meningkatkan retensi air, sehingga penggunaannya
tidak aman untuk pasien yang disertai gagal jantung.9
Rosiglitazone berbeda dengan sulfonylurea atau metformin,
tidak hanya menurunkan gula darah, tetapi punya peran spesifik yaitu
menurunkan albuminuria.10
Alpha-glucosidase inhibitors, seperti acarbose atau miglitol,
dimetabolisme sepenuhnya di GI tract dan hanya sedikit yang diekskresi di
ginjal. Namun karena belum ada data tentang keamanan obat ini untuk pasien
dengan kreatinindiatas 2 mg/dl, maka penggunaannya sebaiknya dibatasi pada
CKD stad 1 sampai 3.
Insulin adalah terapi paling efektif untuk diabet, karena melengkapi
kebutuhan akan insulin secara basal maupun prandial. Keterbatasannya adalah
efek hipoglikemi,dan harus disuntik. Terdapat 4 kelompok terapi dari insulin :
rapid-actinginsulin analogues, short-acting insulin (regular human), intermediateacting insulin (human), dan long-acting insulin analogues. Insulin analogue, dibuat
dengan recombinant DNA technology, dengan merubah susunan asam amino
human insulin, sehingga profile lebih fisiologis.
Dibandingkan pasien dengan fungsi ginjal normal, pasien diabet dengan
fungsi ginjal yang menurun membutuhkan dosis insulin yang lebih rendah. Regular

10

human insulin (actrapid) mempunvai half life lebih lama serta maksimal
konsentrasi lebih tinggi bila dibandingkan dengan rapid-acting analogues
(apidra), sehingga risiko hipoglikemi pada CKD lebiht inggi dibandingkan
pasien normal fungsi ginjal. Hal yang sama berlaku, dimana long-acting insulin
analogues (levemer,lantus) lebih aman dan efektif dibandingkan intermediateacting insulin (NPH/monotard), karena dilepas lebih lambat, maksimal
konsentrasi relatif konstan, serta peak lebih landai. Walaupun demikian,
penggunaan insulin pada pasien CKD memerlukan monitor glukosa dan
pemeriksaaan GFR lebih sering.
Titik tangkap pengendalian hiperglikemia dengan insulin dan OAD adalah: 13
1). Insulin
Optimalisasi terapi insulin eksogen sangat penting .
a). Normalisasi metabolisme seluler dapat mencegah

penimbunan

toksin seluler (polyol) dan metabolitnya (myoinocitol)


b). Insulin dapat mencegah kerusakan glomerulus
c). Mencegah dan mengurangi glikolisis protein

glomerulus yang

dapat menyebabkan penebalan membran basal dan hilangnya


kemampuan untuk seleksi protein dan kerusakan glomerulus
(permselectivity).
d). Memperbaiki fatal tubulus proksimal dan mencegah reabsorpsi
glukosa sebagai pencetus nefomegali. Kenaikan konsentrasi urinary
N-acetyl-Dglucosaminidase

(NAG)

sebagai

petanda

hipertensi

esensial dan nefropati.

11

e). Mengurangi dan menghambat stimulasi growth hormone (GH) atau


insulin-like growth factors (IGF-I) sebagai pencetus nefromegali.
f). Mengurangi capillary glomerular pressure (Poc)
2). Obat antidiabetik oral (OADO)
Alternatif pemberian OADO terutama untuk pasien-pasien dengan
tingkat edukasi rendah sebagai upaya memelihara kepatuhan
(complience). Pemilihan macam/tipe OADO harus diperhatikan efek
farmakologi dan farmakokinetik antara lain :
a). Eleminasi dari tubuh dalam bentuk obat atau metabolitnya.
b). Eleminasi dari tubuh melalui ginjal atau hepar.
c). Perbedaan efek penghambat terhadap arterial smooth muscle cell
d). Retensi Na sehingga menyebabkan hipertensi.
6. Monitor glukosa darah
Icodextrin yang terdapat daiam cairan peritoneal dialisat mempengaruhi
metode pengukuran kadar glukosa darah, yaitu metode glucose dehydrogenase
pyrroloquinolinequinone [GDH-PQQ] or glucose-dye-oxidoreductase methods
[GDO1. Sehingga seolah kadar glukosa meningkat.
Pengukuran HbAlc secara serial adalah indikator akurat untuk menilai
kendali glukosa pada DM. Namun metode pengukuran HbAlc tersebut
dipengaruhi oleh kadar urea yang tinggi, sehingga hasilnya seolah kadar
HbAlc tinggi pada pasien dengan gaga) ginjal. Defisiensi zat besi, transfuse,
erythropoeisis karena pemberian erythropoeitin, danasi dosis metabolic juga
memepengaruhi metode pengukuran sehingga kadar HbAlc seolah rendah.
Pengukuran glycated albumin dianggap lebih akurat pada pasien dengan ND

12

dibandingkan HbAlc .11


Meskipun ada kendala akurasi, kadar HbAlc antara 6-7% dianggap,
kendali gula darah yang bask. Target ideal kendali glukosa pada ND menurut
guidelines NKF/KDOQI 2007 adalah HbAlc <7%. Pasien yang menjalani
dialysis, target gula darah puasa adalah <140 mg/dl, post prandial glukosa<200
mg/dl, HbAlc antara 6-8%. Pada pasien dialysis target kadar glukosa tidak
seketat pasien ND non dialysis,oleh karena seringnya kejadian hipoglikemi,
gejala hipoglikemi yang sering tidak terlihat, dan kurangnya akurasi
pengukuran HbAlc.
Tabel 2.1 Target Kadar Gula Darah, Lipid dan HbA1c 13

DAFTAR PUSTAKA
13

1. Gilbert RE, Tsalamandris C, Bach LA, et al: Longterm glycemic control and
the rate of progression of early diabetic kidney disease. Kidney Int 44:855859, 1993.
2. Greyer JA, Bain RP, Evans JK, et al: Predictors of the progression of renal
insufficiency in patients with insulin-dependent diabetes and overt diabetic
nephropathy.The Collaborative Study Group. Kidney Int 50:1651-1658,1996.
3. Wang PH. Lau J, Chalmers TC: Meta-analysis of effects of intensive bloodglucose control on late complications of type I diabetes. Lancet 341:13061309, 1993.
4. The Diabetes Control and Complications Trial Research Group: The effect of
intensive treatment of diabetes on the development and progression of longterm complications in insulin-dependent diabetes mellitus. N Engl J Med
329:977-986, 1993.
5. Kawazu S, Tomono S, Shimizu M, et a): The relationship between early
diabetic nephropathy and control of plasma glucose in non-insulin-dependent
diabetes mellitus.The effect of glycemic control on the development and
progression of diabetic nephropathy in an 8-year follow-up study. J Diabetes
Complications 8:13-17, 1994.
6. Morioka T, Emoto M, Tabata T, et al: Glycemic control is a predictor of
survival for diabetic patients on hemodialysis. Diabetes Care 24:909-913,
2001.
7. Hasslacher C, Wittmann W: [Severe hypoglycemia in diabetics with impaired
renal function]. Dtsch Med Wochenschr 128:253-256, 2003.
8. 391. Davidson MB, Peters AL: An overview of metformin in the treatment of
type 2 diabetes mellitus. Am J Med 102:99-110, 1997.
9. Thompson-Culkin K, Zussman B, Miller AK, Freed MI: Pharmacokinetics of
rosiglitazone in patients with end-stage renal disease. J Int Med Res 30:391399, 2002.
10. Bakris G, Viberti G, Weston WM, Heise M, Porter LE, Freed MI:
Rosiglitazone reduces urinary albumin excretion in type II diabetes. J Hum
Hypertens 17:7-12, 2003.
11. Peacock, TP, Shihabi, ZK, Bleyer, AJ, et al. Comparison of glycated albumin
and hemoglobin A(lc) levels in diabetic subjects on hemodialysis. Kidney Int
2008; 73:1062.
12. Tjokroprawiro, Askandar dan Hendromartono . Nefropati diabetik dan
disfungsi endotel (delapan faktor patogenetik dan terapi) pusat diabetes dan
nutrisi, RSUD dr. Soetomo fakultas kedokteran universitas airlangga,
Surabaya
13. American Diabetes Association. 2004. Standards of medical care for patients
with diabetes mellitus. Diabetes Care : pp. 616-623.

14

Вам также может понравиться