Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Laringitis akut merupakan penyakit yang umum pada anak-anak, mempunyai onset yang
cepat dan biasanya sembuh sendiri. Bila laringitis berlangsung lebih dari 3 minggu maka disebut
laringitis kronik. Laringitis didefinisikan sebagai proses inflamasi yang melibatkan laring dan
dapat disebabkan oleh berbagai proses baik infeksi maupun non-infeksi. Laringitis sering juga
disebut juga dengan croup. Dalam proses peradangannya laringitis sering melibatkan saluran
pernafasan dibawahnya yaitu trakea dan bronkus. Bila peradangan melibatkan laring dan trakea
maka diagnosis spesifiknya disebut laringotrakeitis, dan bila peradangan sampai ke bronkus
maka diagnosis spesifiknya disebut laringotrakeobronkitis.1,2,3,4
BAB II
Epidemiologi
Dari penelitian di Seattle Amerika (Foy dkk, 1973), didapatkan angka serangan croup
pada bayi usia 0-5 bulan didapatkan 5.2 dari 1000 anak per tahun, pada bayi usia 6-12 bulan
didapatkan 11 dari 1000 anak per tahun, pada anak usia 1 tahun didapatkan 14.9 dari 1000 anak
per tahun, pada anak usia 2-3 tahun didapatkan 7.5 dari 1000 anak per tahun, dan pada anak usia
4-5 tahun didapatkan 3.1 dari 1000 anak per tahun. Dari penelitian di Chapel Hill NC (Danny
dkk, 1983) didapatkan data-data perbandingannya yaitu 24.3, 39.7, 47, 31.2, dan 14.5, dan dari
data-data tersebut didapatkan 1.26% membutuhkan perawatan di rumahsakit. Di Tuscon AZ
didapatkan angka serangan croup selama tahun pertama kehidupan 107 kasus dari 961 anak.
Laringitis atau croup mempunyai puncak insidensi pada usia 1-2 tahun. Sebelum usia 6 tahun
laki-laki lebih mudah terserang dibandingkan perempuan, dengan perbandingan lakilaki/perempuan 1.43:1 (Denny dkk, 1993). Banyak dari kasus-kasus croup timbul pada musim
gugur dimana kasus akibat virus parainfluenza lebih banyak timbul. Pada literatur lain
disebutkan croup banyak timbul pada musim dingin, tetapi dapat timbul sepanjang tahun. Kurang
lebih 15% dari para penderita mempunyai riwayat croup pada keluarganya.2,5,6
Anatomi Laring
Untuk mengerti patogenesis penyakit laringitis maka kita sebelumnya harus mengetahui
anatomi dari laring. Laring terdiri dari 4 kartilago besar yaitu thyroid, krikoid, arytenoid, dan
epiglotis, dihubungkan dengan otot, ligamen, dan membran fibroelastis dan membran mukus.
Anatomi dari laring pada bayi berbeda dari orang dewasa, dan perbedaan tersebut membuat bayi
lebih rentan pada infeksi saluran nafas atas. Laring pada neonatus terletak tinggi pada leher.
Epiglotisnya lebih sempit, berbentuk omega, dan posisinya vertikal. Submukosa dari area
subglotis merupakan daerah tersempit dari laring, tidak berserabut, menyebabkan ikatan yang
lebih longgar dari membran mukus dibanding orang dewasa, memudahkan terjadinya akumulasi
dari edema. Sebagai tambahan, kartilago yang menyokong saluran udara dari bayi bersifat lunak,
sehingga dapat menyebabkan saluran nafas collapse selama inspirasi. Saluran nafas dari neonatus
berukuran 5-6 mm di diameter pada titik tersempitnya, yaitu cincin krikoid, sehingga bayi berada
pada resiko tinggi terhadap gagal nafas.5
Etiologi dari laringitis akut yaitu penggunaan suara berlebihan, gastro esophago reflux
disease (GERD), polusi lingkungan, terpapar dengan bahan berbahaya, atau bahan infeksius yang
membawa kepada infeksi saluran nafas atas. Bahan infeksius tersebut lebih sering virus tetapi
dapat juga bakterial. Jarang ditemukan radang dari laring disebabkan oleh kondisi autoimun
seperti rematoid artritis, polikondritis berulang, granulomatosis Wagener, atau sarkoidosis.
Virus yang sering menyebabkan laringitis akut antara lain virus parainfluenza tipe 1
sampai 3 (75% dari kasus), virus influenza tipe A dan B, respiratory syncytial virus (RSV).
Virus yang jarang menyebabkan laringitis akut antara lain adenovirus, rhinovirus,
coxsackievirus, coronavirus, enterovirus, virus herpes simplex, reovirus, virus morbili (measles),
virus mumps.1,2,3,4,5,6
Patofisiologi
Laringitis akut merupakan inflamasi dari mukosa laring dan pita suara yang berlangsung
kurang dari 3 minggu. Parainfluenza virus, yang merupakan penyebab terbanyak dari laringitis,
masuk melalui inhalasi dan menginfeksi sel dari epitelium saluran nafas lokal yang bersilia,
ditandai dengan edema dari lamina propria, submukosa, dan adventitia, diikuti dengan infitrasi
selular dengan histosit, limfosit, sel plasma dan lekosit polimorfonuklear (PMN). Terjadi
pembengkakan dan kemerahan dari saluran nafas yang terlibat, kebanyakan ditemukan pada
dinding lateral dari trakea dibawah pita suara. Karena trakea subglotis dikelilingi oleh kartilago
krikoid, maka pembengkakan terjadi pada lumen saluran nafas dalam, menjadikannya sempit,
bahkan sampai hanya sebuah celah. Daerah glotis dan subglotis pada bayi normalnya sempit, dan
pengecilan sedikit saja dari diameternya akan berakibat peningkatan hambatan saluran nafas
yang besar dan penurunan aliran udara. Seiring dengan membesarnya diameter saluran nafas
sesuai dengan pertumbuhan maka akibat dari penyempitan saluran nafas akan berkurang.
Sumbatan aliran udara pada saluran nafas atas akan berakibat terjadinya stridor dan kesulitan
bernafas yang akan menuju pada hipoksia ketika sumbatan yang terjadi berat. Hipoksia dengan
sumbatan yang ringan menandakan keterlibatan saluran nafas bawah dan ketidakseimbangan
ventilasi dan perfusi akibat sumbatan dari saluran nafas bawah atau infeksi parenkim paru atau
bahkan adanya cairan.1,4,5
Laringitis ditandai dengan suara yang serak, yang disertai dengan puncak suara (vocal
pitch) yang berkurang atau tidak ada suara (aphonia), batuk menggonggong, dan stridor inspirasi.
Dapat terjadi juga demam sampai 39-40, walaupun pada beberapa anak dapat tidak terjadi.
Gejala tersebut ditandai khas dengan perburukan pada malam hari, dan sering berulang dengan
intensitas yang menurun untuk beberapa hari dan sembuh sepenuhnya dalam seminggu. Gelisah
dan menangis sangat memperburuk gejala-gejalanya. Anak mungkin memilih untuk duduk atau
dipegangi tegak. Pada anak yang lebih dewasa penyakitnya tidak begitu parah. Pada anggota
keluarga lainnya mungkin didapatkan penyakit saluran pernafasan yang ringan. Kebanyakan
pasien hanya bergejala stridor dan sesak nafas ringan sebelum mulai sembuh. Gejala tersebut
sering disertai dengan gejala-gejala seperti pilek, hidung tersumbat, batuk dan sakit menelan.
Pada kebanyakan pasien gejala tersebut timbul 1 sampai 3 hari sebelum gejala sumbatan jalan
nafas terjadi.3,4,5,6
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan suara yang serak, coryza, faring yang meradang
dan frekuensi pernafasan dan denyut jantung yang meningkat, disertai pernafasan cuping hidung,
retraksi suprasternal, infrasternal dan intercostal serta stridor yang terus menerus, dan anak bisa
sampai megap-megap (air hunger). Bila terjadi sumbatan total jalan nafas maka akan didapatkan
hipoksia dan saturasi oksigen yang rendah. Bila hipoksia terjadi, anak akan menjadi gelisah dan
tidak dapat beristirahat, atau dapat menjadi penurunan kesadaran atau sianosis. Dan kegelisahan
dan tangisan dari anak dapat memperburuk stridor akibat dari penekanan dinamik dari saluran
nafas yang tersumbat. Dari penelitian didapatkan bahwa frekuensi pernafasan merupakan
petunjuk yang paling baik untuk keadaan hipoksemia. Pada auskultasi suara pernafasan dapat
normal tanpa suara tambahan kecuali perambatan dari stridor. Kadang-kadang dapat ditemukan
mengi yang menandakan penyempitan yang parah, bronkitis, atau kemungkinan asma yang
sudah ada sebelumnya.2,4,6
Dengan laringoskopi sering didapatkan kemerahan pada laring yang difus bersama
dengan pelebaran pembuluh darah dari pita suara. Pada literatur lain disebutkan gambaran
laringoskopi yang pucat, disertai edema yang berair dari jaringan subglotik. Kadang dapat
ditemukan juga bercak-bercak dari sekresi. Dari pergerakan pita suara dapat ditemukan asimetris
dan tidak periodik. Sebetulnya pemeriksaan rontagen leher tidak berperan dalam penentuan
diagnosis, tetapi dapat ditemukan gambaran staplle sign (penyempitan dari supraglotis) pada foto
AP dan penyempitan subglotis pada foto lateral, walaupun kadang gambaran tersebut tidak
didapatkan. Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan, kecuali didapatkan eksudat maka dapat
dilakukan pemeriksaan gram dan kultur dengan tes sensitivitas. Tetapi kultur virus positif pada
kebanyakan pasien. Dari darah didapatkan lekositosis ringan dan limfositosis.1,2,3,4,5,6
Otitis media akut, abses peritonsil, abses parafaring, toksemia, septikemia, bronkitis, nefritis
akut, miokarditis, dan artritis.
Manifestasi Klinis
Demam tinggi (39C), nyeri di mulut, gigi, serta nyeri kepala, sakit tenggorok, badan lemah,
gusi mudah berdarah, dan hipersalivasi, kadang-kadang terdapat gangguan pencernaan. Pada
pemeriksaan tampak membran putih keabuan di tonsil, uvula, dinding faring, gusi, serta prosesus
alveolaris. Mukosa mulut dan faring hiperemis. Mulut berbau. Kelenjar limfe leher membesar.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikroskopis pewarnaan Fontana untuk mencari kuman.
Penatalaksanaan
Memperbaiki higiene mulut. Obat yang diberikan adalah antibiotik (penisilin), vitamin C dan
vitamin B kompleks, dan obat kumur.
[Translate]
Share
Definisi
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga
tengah.
Etiologi
Bakteri piogenik seperti Streptococcus hemolyticus, Staphytococcus aureus, Pneumokok, H.
influenzae, E. coli, S. anhemolyticus, P. vulgaris dan P. aeruginosa.
Patofisiologi
Terjadi akibat terganggunya faktor pertahanan tubuh yang bertugas menjaga kesterilan telinga
tengah. Faktor penyebab utama adalah sumbatan tuba Eustachius sehingga pencegahan invasi
kuman tergenggu. Pencetusnya adalah infeksi saluran napas atas. Penyakit ini mudah terjadi pada
bayi karena tuba Eustachiusnya pendek, lebar, dan letaknya agak horizontal.
Manifestasi Klinis
Gejala klinis OMA tergantumg pada stadium penyakit dan umur pasien. Stadium OMA
berdasarkan perubahan mukosa telinga tengah:
Stadium Supurasi
Membran timpani menonjol ke arah telinga luar akibat edema yang hebat pada mukosa telinga
tengah dan hancurnya sel epitel superfisial, serta terbentuknya eksudat purulen di kavum
timpani.
Pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta nyeri di telinga bertambah hebat.
Apabila tekanan tidak berkurang, akan terjadi iskemia, tromboflebitis, dan nekrosis mukosa serta
submukosa. Nekrosis ini terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan kekuningan pada
membran timpani. Di tempat ini akan terjadi ruptur.
Stadium Perforasi
Karena pemberian antibiotik yang terlambat atau virulensi kuman yang tinggi, dapat terjadi
ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke telinga luar. Pasien
yang semula gelisah menjadi tenang, suhu badan turun, dan dapat tidur nyenyak.
Stadium Resolusi
Bila membran timpani tetap utuh, maka perlahan-lahan akan normal kembali. Bila terjadi
perforasi, maka sekret akan berkurang dan mengering. Bila daya tahan tubuh baik dan virulensi
kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi tanpa pengobatan. OMA berubah menjadi otitis
media supuratif subakut bila perforasi menetap dengan sekret yang keluar terus-menerus atau
hilang timbul lebih dari 3 minggu. Disebut otitis media supuratif kronik (OMSK) bila lebih
dari 1 atau 2 bulan. Dapat meninggalkan gejala sisa berupa otitis media serosa bila sekret
menetap di kavum timpani tanpa perforasi.
Pada anak, keluhan utama adalah rasa nyeri di daiam telinga dan suhu tubuh yang tinggi.
Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya.
Pada orang dewasa, didapatkan juga gangguan pendengaran berupa rasa penuh atau kurang
dengar.
Pada bayi dan anak kecil gejala khas OMA adalah suhu tubuh yang tinggi (>39,5C), gelisah,
sulit tidur, tiba-tiba menjerit saat tidur, diare, kejang, dan kadang-kadang memegang telinga
yang sakit. Setelah terjadi ruptur membran timpani, suhu tubuh akan turun, dan anak tertidur.
Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi mulai dari abses subperiosteal
sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi tersebut biasanya didapat
pada OMSK.
Penatalaksanaan
Terapi bergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk
mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik,
dan antipiretik.
o Stadium Oklusi
Terapi ditujukan untuk membuka kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga
tengah hilang. Diberikan obat tetes telinga HCl efedrin 0,5% untuk anak < 12 tahun atau HCl
efedrin 1% dalam larutan fisiologis untuk anak di atas 12 tahun dan dewasa. Sumber infeksi
lokal harus diobati. Antibiotik diberikan bila penyebabnya kuman.
o Stadium Presupurasi
Diberikan antibiotik, obat tetes hidung, dan analgesik. Bila membran timpani sudah terlihat
hiperemis difus, sebaiknya dilakukan miringotomi. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan
penisilin atau eritromisin. Jika terdapat resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam
klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar
konsentrasinya adekuat di dalam darah, sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan
pendengaran sebagai gejala sisa, dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari.
Pada anak diberikan ampisilin 4 x 50-100 mg/kg BB, amoksisilin 4 x 40 mg/kg BB/hari, atau
eritromisin 4 x 40 mg/kg BB/hari.
o Stadium Supurasi
Selain antibiotik, pasien harus dirujuk untuk dilakukan miringotomi bila membran timpani masih
utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur.
o Stadium Perforasi
Terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut. Diberikan obat cuci telinga H2O2 3%
selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan
perforasi akan menutup sendiri dalam 7-10 hari.
o Stadium Resolusi
Membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila
tidak, antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila tetap, mungkin telah terjadi mastoiditis.
Miringotomi
Miringotomi adalah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani agar terjadi drainase sekret
dari telinga tengah ke telinga luar. Tindakan bedah kecil ini harus dilakukan a vue (lihat
langsung), pasien harus tenang dan dikuasai. Lokasi insisi di kuadran posterior inferior.
Operator harus memakai lampu kepala dengan sinar yang cukup terang, corong telinga yang
sesuai, serta pisau: parasentesis yang kecil dan steril. Dianjurkan untuk melakukannya dengan
narkosis umum dan memakai mikroskop.
Bila pasien mendapat terapi yang adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali bila jelas
tampak adanya nanah di telinga tengah.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah perdarahan akbat trauma liang telinga luar, dislokasi
tulang pendengaran, trauma pada fenestra rotundum, trauma nervus fasialis, dan trauma pada
bulbus jugulare.
Parasentesis
Parasentesis adalah pungsi pada mernbran timpani dengan semprit, dan jarum khusus untuk
mendapatkan sekret guna pemeriksaan mikrobiologik. Komplikasinya kurang lebih sama dengan
miringotomi.
FARINGITIS AKUT
PENULARAN:
Melalui udara
Etiologi :
Streptokokus hemolitikus
Streptokokus viridans
Streptokokus piogenes
Infeksi virus (influenza adenovirus, dan ECHO).
Predisposisi :
Infeksi virus
Kelelahan, kedinginan
Morbili
Pneumonia
Scarlet fever
Influenza
Gejala klinik :
1. Subjektif :
-
Sakit menelan
Otalgia
Batuk iritatif
Stadium awal : hiperemis, oedematous, banyak exudat, mula-mula serous, mukoid, kering
dan menempel pada dinding faring
1. Objektif :
-
Lateral band : daerah di belakang pilar posterior yang berbatas tegas dengan dinding
faring lateral, kadang dapat menonjol, merah seperti daging
-
Rasa sakit pada telinga dihantarkan oleh N.IX (karena mempersarafi tonsil dan faring)
Patofisiologi :
Penularan melalui droplet, kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis
maka jaringan limfoid superficial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi
leukosit polimorfonuklear (PMN).
Manifestasi klinis :
Suhu tubuh dapat naik sampai 40C, rasa gatal atau kering di tenggorokan, lesu, nyeri sendi,
odinofagi, anorexia, otalgia, serak (bila mengenai laring).
Pemeriksaan fisik :
Faring hiperemis
Komplikasi :
Bronchitis
Nefritis akut
Miokarditis
Arthritis
Pemeriksaan penunjang :
Kultur bakteri
Diagnosa banding :
Tonsilitis Difteri
Scarlet Fever
Angina Granulositosis
Penatalaksanaan :
Antipiretik
Nasal dekongestan
Obat kumur
Angina Ludovici
Definisi
Angina ludovici adalah selulitis atau flegmon ruang potensial sublingual dan submandibula
(suprahioid). Disebut juga Ludwigs angina atau selulitis submandibula.
Etiologi
Kuman penyebab mungkin kuman aerob dan anaerob. Sering berasal dari gigi, tapi dapat juga
dari peradangan supuratif kelenjar limfe servikal di dalam ruang submandibula.
Manifestasi Klinis
Demam, nyeri tenggorok, dan leher, disertai pembengkakan di daerah submandibula yang
tampak hiperemis, nyeri tekan, dan keras pada perabaan (seperti kayu). Dasar mulut
membengkak, dapat mendorong lidah ke atas belakang sehingga menimbulkan sesak napas.
Komplikasi
Dapat terjadi sumbatan jalan napas, penjalaran ke ruang leher dalam yang lain, penjalaran ke
mediastinum, dan sepsis.
Diagnosis Banding
Limfadenitis submandibula dan abses gigi.
Penatalaksanaan
Pasien dirujuk untuk dirawat. Diberikan antibiotik dosis tinggi untuk kuman aerob dan anaerob
secara parenteral, penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin 2-4 x 500-1.000 mg atau
gentamisin 2 x 40-80 mg, kloramfenikol 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3 x 250-500 mg. Juga
dilakukan eksplorasi untuk dekompresi dan evakuasi pus atau jaringan nekrotik dalam narkose.
Insisi dilakukan di garis tengah secara horizontal setinggi os hioid (3-4 jari di bawah mandibula).
Sebelum dilakukan insisi dan drainase, harus dipersiapkan untuk kemungkinan trakeostami
karena intubasi sulit dilakukan. Penyebab infeksi harus diobati untuk mencegah kekambuhan.
Komplikasi yang terjadi diatasi, misalnya dengan trakeostomi untuk sumbatan jalan napas atau
infus ringer laktat bila syok septik. Pasien dirawat inap sampai infeksi reda.
Laringitis Akut
Definisi
Umumnya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis akut atau manifestasi dari radang saluran
napas atas. Pada anak dapat menimbulkan sumbatan jalan napas dengan cepat karena rima
glotisnya relatif lebih sempit.
Etiologi
Bakteri (lokal) atau virus (sistemik). Biasanya merupakan perluasan radang saluran napas atas
oleh bakteri Haemophilus influenzae, stafilokok, siteptokok, dan pneumokok.
Faktor Predisposisi
Perubahan cuaca/suhu, gizi kurang/malnutrisi, imunisasi tidak lengkap, dan pemakaian suara
berlebihan.
Manifestasi Klinis
Demam, malaise, gejala rinofaringitis, suara parau sampai afoni, nyeri ketika menelan atau
berbicara, rasa kering di tenggorokan, batuk kering yang kelamaan disertai dahak kental, gejala
sumbatan laring sampai sianosis.
Pada pemeriksaan, tampak mukosa laring hiperemis, membengkak, terutama di atas dan bawah
pita suara. Biasanya tidak terbatas di laring, juga ada tanda radang akut di hidung, sinus
paranasal, atau paru.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan apusan dari laring untuk kultur dan uji resistensi pada kasus yang lama atau sering
residif.
Penatalaksanaan
Istirahat bicara dan bersuara selama 2-3 hari, menghirup udara lembab, dan menghindari iritasi
pada laring dan faring. Untuk terapi medikamentosa diberikan antibiotik penisilin anak 3 x 50
mg/kg BB dan dewasa 3 x 500 mg. Bila alergi dapat diganti eritromisin atau basitrasin. Dapat
diberikan kortikosteroid untuk mengatasi edema. Dipasang pipa endotrakea atau trakeostomi bila
terdapat sumbatan lar
http://wikimed.blogbeken.com/laringitis-akut
Penyakit infeksi masih merupakan penyakit utama di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia; terutama
infeksi pernapasan akut (ISPA), baik infeksi saluran per-napasan atas maupun bagian bawah. Hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1997 menunjukkan bahwa prevalensi ISPA untuk usia 0-4 tahun 47,1 %,
usia 5-15 tahun 29,5 % dan dewasa 23,8 %. serta lebih dari 50% penyebabnya
Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 20
(1)
Abdoerachman H, Fachrudin D., Infeksi Campuran Aerob dan Anaerob di Bidang THT. MKI 4 (2/3): 56-60.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_144_tht.pdf
http://www.wartamedika.com/2008/02/konjungtivitis-mata-merah.html
Tonsilitis Difteri biasanya menyerang anak usia 2-5 tahun. Penularan melalui udara, benda atau
makanan yang terkontaminasi. Masa inkubasi 2-7 hari.
Etiologi
Corynebacterium diphteriae.
Manifestasi Klinis
Gejala umum terdapat kenaikan suhu subfebril, nyeri tenggorok, nyeri kepala, tidak nafsu
makan, badan lemah, dan nadi lambat.
Gejala lokal berupa nyeri tenggorok, disfagia, mual, muntah, tonsil membengkak ditutupi
bercak putih kotor, makin lama meluas dan menyatu membentuk membran semu. Membran ini
melekat erat pada dasar dan bila diangkat akan timbul perdarahan. Jika membran ini menutupi
laring akan terjadi serak dan stridor inspirasi, bila menghebat akan terjadi sesak napas dan
retraksi otot-otot bantu pernapasan, sianosis, dan apnea. Bila infeksi ini tidak terbendung,
kelenjar limfe leher akan membengkak, menyerupai leher sapi (bull neck atau burgemeesters
hals).
Gejala pada jantung akibat eksotoksin dapat timbul miokarditis dan payah jantung. Dapat
mengenai saraf kranial dan bila mengenai ginjal terjadi albuminuria.
Komplikasi
Laringitis difteri, miokarditis, kelumpuhan otot palatum mole, kelumpuhan otot mata, otot
faring laring sehingga suara parau, kelumpuhan otot pernapasan, dan albuminuria.
Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan tes Schick dan pemeriksaan laboratorium berupa pembuatan preparat langsung kuman
(dari permukaan bawah membran semu). Medium transpor yang dapat dipakai adalah agar
MacConkey atau Loeffler.
Penatalaksanaan
Pemberian antidifteri serum dengan dosis 20.000-100.000 unit, tergantung usia pasien, berat dan
lamanya penyakit, setelah uji kulit.
Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid untuk mengurangi
edema pada laring, dan obat simtomatik.
Pasien diisolasi karena menular, tirah baring untuk menghindari komplikasi jantung selama 2-3
minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3 kali negatif.
Trakeostomi bila perlu untuk mengatasi sumbatan jalan napas. Tonsilektomi dilakukan pada
kasus karier.
Tonsilitis akut pada dasarnya termasuk penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limiting
disease) terutama pada pasien dengan daya tahan tubuh yang baik. Pasien dianjurkan istirahat
dan makan makanan yang lunak. Berikan pengobatan simtomatik berupa analgetik, antipiretik,
dan obat kumur yang mengandung desinfektan. Berikan antibiotik spektrum luas misalnya
sulfonamid. Ada yang menganjurkan pemberian antibiotik hanya pada pasien bayi dan orang tua
.
by :www.klinikindonesia.com : Klinik
gambar 2.12. gambaran rontagen laringitis akut, gambaran steeple sign, dibandingkan
dengan gambaran rontagen normal.5
Terapi
pasien dengan laringitis harus ditangani dengan tenang dan dengan sikap yang
menentramkan hati, karena emosi atau marah akan memperburuk keadaan distress pernafasan
anak. Kebanyakan pasien mengalami hipoksemia, sehingga oksigenisasi harus dilakukan dan
diberikan oksigen yang dilembabkan. Oksigenisasi dapat dinilai pertama-tama dengan cara
oximetry pulse noninvasif untuk meminimalkan ketidaknyamanan dan memaksimalkan
ketenangan pasien. Bila distres pernafasan parah dan tidak responsif terhadap perawatan pertama
makan harus diukur tekanan gas darah arteri untuk menilai hiperkapnia dan asidosis respiratori.
Tetapi harus diingat bahwa PaCO2 normal dapat tidak menggambarkan keparahan penyakit
karena sumbatan dapat terjadi tiba-tiba. Bila terjadi hiperkapnea maka kebanyakan pasien
membutuhkan jalan nafas buatan.5
badan, sampai dosis maksimum 1.5 ml. Epinefrin rasemic ini harus diberikan dengan nebulisasi
dalam oksigen, karena dapat menyebabkan perburukan sementara dari ketidaksesuaian ventilasi
dan perfusi dalam paru-paru. Irama jantung dan nadi harus dimobitor dan obat harus dihentikan
bila terjadi aritmia. Bila tidak terdapat epinefrin rasemic maka dapat digunakan epinefrin saja
dengan dosis 5 ml larutan 1:1000 ternyata manjur setara 0,5 efinefrin rasemic 2.25% yang
dilarutkan dengan 4.5 ml normal saline dalam memperbaiki distres pernafasan pada laringitis.
Efeknya juga hilang dalam 2 jam seperti resemic epinefrin.4,5,6
dexamethasone
pada
pasien
dengan
laringitis
yang
parah
sekarang
dosis 2 mg telah menunjukkan kemanjuran dalam memperbaiki stridor, batuk, dan berbagai
kegawatan 2 jam setelah pengobatan. Onset yang cepat ini menunjukkan efek steroid pada
permeabilitas vaskular dibandingkan dengan efek anti inflamasi saja. Konsep ini didukung oleh
penelitian lebih baru yang menunjukkan nebulisasi 2 mg budesonide sama efektifnya dengan
nebulisasi 4 mg epinefrin dalam melegakan gejala. Lebih lanjut, nebulisasi 2 mg bunesonide
secara statistik sama manjurnya dengan 0.6 mg/kg dexamethasone per oral dalam mengurangi
gejala, mengurangi kebutuhan nebulisasi epinefrin dan mengurangi lama perawatan. Jadi dapat
disimpulkan bahwa pada anak yang laringitis harus menerima minimal 0.15 sampai 0.6 mg/kg
deksametason dosis tunggal secara peroral, intramuscular, maupun intravena. Dan bukti sekarang
menunjukkan perlunya nebulisasi bunesonide, dengan dosis 2 mg terutama pada keadaan darurat.
Masih tidak diketahui apakah pemberian kortikosteroid berulang aman dan menguntungkan.
Efek samping yang dapat terjadi pada pemakaian kortikosteroid jangka lama antara lain
candidiasis.4,5,6
Penggunaan helium-oksigen telah berhasil meningkatkan aliran udara pada pasien dengan
obstruksi saluran nafas atas. Kepadatan helium yang rendah mengurangi hambatan aliran udara
yang turbulen.5,6
Selain pengobatan kadang pasien memerlukan juga intubasi endotrakeal. Intubasi harus
dilakukan dengan perhatian penuh, sehingga meminimalkan cedera dan inflamasi saluran nafas.
Tube endotrkea harus sampai 1 ukuran lebih kecil dari ukuran seharusnya berdasarkan usia
pasien (atau seukuran dengan jari kelingking pasien) dan tube dipotong untuk memperpendek
panjangnya dan mengurangi resistensi aliran udara. Setelah diintubasi pasien jarang memerlukan
bantuan ventilator mekanik. Pasien harus diberi oksigen lembab selama diintubasi. Penghisapan
harus diminimalkan untuk mengurangi cedera saluran nafas. Anak dengan laringitis memerlukan
perawatan di rumah sakit untuk 24 jam sampai seminggu atau lebih, dan kriteria pemulangan
pasien harus terjadi perbaikan distres pernafasan dan tidak diperlukan terapi spesifik dalam 24
jam.5
BAB III
Kesimpulan
Laringitis akut merupakan proses peradangan atau inflamasi yang terjadi pada laring dan
dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab. Penyebab tersering dari laringitis akut ini adalah
virus parainfluenza.
Gejala yang terjadi pada laringitis akut ini adalah batuk yang menggonggong, suara
serak, stridor inspirasi dan sesak nafas, dapat juga disertai dengan demam. Gejala biasanya lebih
berat pada malam hari. Bisa didahului oleh pilek, hidung tersumbat, batuk dan sakit menelan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan suara serak, coryza, faring yang meradang dan frekuensi
pernafasan dan denyut jantung yang meningkat, disertai pernafasan cuping hidung, retraksi
suprasternal, infrasternal dan intercostal serta stridor terus menerus, megap-megap (air hunger),
hipoksia, saturarsi oksigen yang rendah, dan sianosis. Dari pemeriksaan penunjang bisa
didapatkan pada laringoskopi ditemukan kemerahan pada laring yang difus bersama dengan
pelebaran pembuluh darah dari pita suara, kadang bercak-bercak dari sekresi, pergerakan pita
suara dapat ditemukan asimetris dan tidak periodik. Dari pemeriksaan rontagen leher dapat
ditemukan gambaran staplle sign pada foto AP dan penyempitan subglotis pada foto lateral.
Dapat dilakukan pemeriksaan gram dan kultur dengan tes sensitivitas. Dari darah didapatkan
lekositosis ringan dan limfositosis.
Pada pasien dengan keadaan gawat tidak boleh diberikan makan dan harus diberikan
cairan intravena untuk mempertahankan rehidrasi. Nebulisasi epinefrin rasemic dapat
memperbaiki distres pernafasan, tetapi bila tidak terdapat epinefrin rasemic maka dapat
digunakan epinefrin saja. Anak yang menderita laringitis harus menerima minimal 0.15 sampai
0.6 mg/kg deksametason dosis tunggal secara peroral, intramuscular, maupun intravena. Dan
bukti sekarang menunjukkan perlunya nebulisasi bunesonide, dengan dosis 2 mg terutama pada
keadaan darurat. Selain pengobatan kadang pasien memerlukan juga intubasi endotrakeal. Pasien
harus diberi oksigen lembab selama diintubasi. Anak dengan laringitis memerlukan perawatan di
rumah sakit. Pemberian antibiotik tidak disarankan kecuali hasil kultur menunjukkan adanya
streptococcus.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.emedicine.com/ent/topic353.htm
2. Herry Garna, Heda Melinda D. Nataprawira. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Indonesia:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. 2005. h 388-392.
3. Kasper, Dennis L. Harrisons Principles of Internal Medicine, Edisi 16. USA: McGraw Hill.
2005. h 192.
6. Rosevelt, Genie E. Acute Inflammatory Upper Airway Obstruction. Dalam: Nelson Textbook
of Pediatrics. Edisi 17. USA: W.B. Saunders. 2004. h 1405-1408.
7. http://www.visualsunlimited.com
8. http://www.akh-wien.ac.at/hno/kkentz_de.htm
9. http://www.entorg.net/laryngitis_2.htm
http://www.ari http://www.arisclinic.com/wp-content/uploads/2011/04/Saluran-Napas.jpg
sclinic.com/wp-content/uploads/2011/04/SaluranNapas.jpg
ASUHAN KEPERAWATAN TONSILITIS (AMANDEL)
A. DEFINISI
Tonsilitis akut adalah peradangan pada tonsil yang masih bersifat ringan. Radang tonsil pada anak
hampir selalu melibatkan organ sekitarnya sehingga infeksi pada faring biasanya juga mengenai tonsil
B. ETIOLOGI
Penyebab tonsilitis bermacam macam, diantaranya adalah yang tersebut dibawah ini yaitu :
1. Streptokokus Beta Hemolitikus
2. Streptokokus Viridans
3. Streptokokus Piogenes
4. Virus Influenza
Infeksi ini menular melalui kontak dari sekret hidung dan ludah ( droplet infections )
C. PROSES PATOLOGI
Bakteri dan virus masuk masuk dalam tubuh melalui saluran nafas bagian atas akan menyebabkan
infeksi pada hidung atau faring kemudian menyebar melalui sistem limfa ke tonsil. Adanya bakteri dan
virus patogen pada tonsil menyebabkan terjadinya proses inflamasi dan infeksi sehingga tonsil
membesar dan dapat menghambat keluar masuknya udara. Infeksi juga dapat mengakibatkan
kemerahan dan edema pada faring serta ditemukannya eksudat berwarna putih keabuan pada tonsil
sehingga menyebabkan timbulnya sakit tenggorokan, nyeri telan, demam tinggi bau mulut serta otalgia.
Klik Gambar Untuk Memperbesar
E. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala tonsilitis akut adalah :
1. nyeri tenggorok
2. nyeri telan
3. sulit menelan
4. demam
5. mual
6. anoreksia
7. kelenjar limfa leher membengkak
8. faring hiperemis
9. edema faring
10. pembesaran tonsil
11. tonsil hiperemia
12. mulut berbau
13. otalgia ( sakit di telinga )
14. malaise
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosa tonsilitis akut adalah
pemeriksaan laboratorium meliputi :
1. Leukosit : terjadi peningkatan
2. Hemoglobin : terjadi penurunan
3. Usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitifitas obat
G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat muncul bila tonsilitis akut tidak tertangani dengan baik adalah :
1. tonsilitis kronis
2. otitis media
H. PENATALAKSANAAN
Penanganan pada klien dengan tonsilitis akut adalah :
1. penatalaksanaan medis
antibiotik baik injeksi maupun oral seperti cefotaxim, penisilin, amoksisilin, eritromisin dll
5. gangguan persepsi sensori : pendengaran berhubungan dengan adanya obstruksi pada tuba eustakii
K. FOKUS INTERVENSI
1. DP : hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi pada tonsil
Intervensi :
Pantau suhu tubuh anak ( derajat dan pola ), perhatikan menggigil atau tidak
Pantau suhu lingkungan
Batasi penggunaan linen, pakaian yang dikenakan klien
Berikan kompres hangat
Berikan cairan yang banyak ( 1500 2000 cc/hari )
Kolaborasi pemberian antipiretik
2. DP : nyeri berhubungan dengan pembengkakan pada tonsil
Intervensi :
Pantau nyeri klien(skala, intensitas, kedalaman, frekuensi )
Kaji TTV
Berikan posisi yang nyaman
Berikan tehnik relaksasi dengan tarik nafas panjang melalui hidung dan mengeluarkannya pelan
pelan melalui mulut
Berikan tehnik distraksi untuk mengalihkan perhatian anak
Kolaborasi pemberian analgetik
3. DP : resiko perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan adanya
anoreksia
Intervensi :
Kaji conjungtiva, sclera, turgor kulit
Timbang BB tiap hari
Berikan makanan dalam keadaan hangat
Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi seringsajikan makanan dalam bentuk yang menarik
Tingkatkan kenyamanan lingkungan saat makan
Kolaborasi pemberian vitamin penambah nafsu makan
4. DP : intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan
Intervensi :
Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktifitas
Observasi adanya kelelahan dalam melakukan aktifitas
Monitor TTV sebelum, selama dan sesudah melakukan aktifitas
Berikan lingkungan yang tenang
Tingkatkan aktifitas sesuai toleransi klien
5. DP : gangguan persepsi sensori : pendengaran berhubungan dengan adanya obstruksi pada tuba
eustakii
Intervensi :
Kaji ulang gangguan pendengaran yang dialami klien
Lakukan irigasi telinga
Berbicaralah dengan jelas dan pelan
Gunakan papan tulis / kertas untuk berkomunikasi jika terdapat kesulitan dalam berkomunikasi
Kolaborasi pemeriksaan audiometri
Kolaborasi pemberian tetes telinga
DAFTAR PUSTAKA
1. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung
Waluyo,
dkk.
Editor
Monica
Ester,
dkk.
Ed.
8.
Jakarta
:
EGC;
2001.
2. Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan
pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999
3. Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok
Kepala
Leher.
Jakarta
:
Balai
Penerbit
FKUI;
2001
4. R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ; 1997
Diusahakan untuk minum banyak air atau cairan seperti sari buah, terutama selama
demam.
Jangan minum es, sirop, es krim, makanan dan minuman yang didinginkan, gorengan,
makanan awetan yang diasinkan, dan manisan.
Berkumur air garam hangat 3-4 kali sehari. Menaruh kompres hangat pada leher setiap
hari. diberikan terapi antibiotik (atas petunjuk dokter) apabila ada infeksi bakteri dan
untuk mencegah komplikasi. Berikut ini beberapa contoh ramuan tumbuhan obat yang
dapat digunakan untuk radang amandel (tonsilitis) :
Bubuk sambiloto sebanyak 3 4,5 gram diseduh dengan 200 cc air panas, tambahkan 1 sendok
makan madu, diaduk, lalu diminum hangat-hangat. Atau 30 gram sambiloto segar/15 gram yang
kering, direbus dengan 800 cc air hingga tersisa 400 cc, disaring, airnya ditambahkan 200 cc jus
buah nanas, diaduk, lalu diminum untuk 3 kali sehari, setiap kali minum 200 cc.
ABSTRAK
Penyakit infeksi masih merupakan penyakit utama di Indonesia,
terutama infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) baik infeksi saluran
pernafasan atas maupun infeksi saluran pernafasan bawah. Terapi
antimikroba digunakan bila infeksi disebabkan oleh bakteri (kuman);
salah satu mikroba terpilih adalah antimikroba golongan betalaktam.
Untuk mengetahui sensitivitas kuman isolat usap tenggorok terhadap
antimikroba betalaktam, dilakukan penelitian Pola sensitivitas kuman
hasil usap tenggorok penderita tonsilo-faringitis akut terhadap
Antimikroba Betalaktam di Puskesmas Jakarta Pusat.
Metoda penelitian cross-sectional, dilakukan terhadap 83 pasien
tonsilo-faringitis akut pengunjung dua puskesmas di Jakarta Pusat pada
bulan September 1999 sampai bulan Nopember 1999. Pemeriksaan isolat
dan sensitivitas kuman terhadap anti-mikroba dilakukan di Laboratorium
Mikrobiologi FK-UI.
Ditemukan 132 kuman yang terdiri dari 12 spesies. Lima spesies
terbanyak adalah: Streptococcus viridans 54,2%, Branhamella catarrhalis
22,9 %, Streptococcus -hemolyticus 6,11%, Streptococcus pneumoniae
3,82% dan Streptococcus non-hemolyticus 3,82%. Penurunan
sensitivitas kuman-kuman Streptococcus viridans, Branhamella
catarrhalis, Streptococcus -hemolyticus, Streptococcus pneumoniae dan
Streptococcus nonhemolyticus terutama terhadap antimikroba Cephradin
berturutturut adalah 73,3 %; 53,52%; 87,5%; 40% dan 80%. Penurunan
sensitivitas kuman Branhamella catarrhalis terhadap Antimikroba
Penisilin G adalah 30%, sedangkan kuman Streptococcus pneumoniae
dan Klebsiella pneumoniae terhadap antimikroba Ceftriaxone 20%.
Total resistensi tertinggi kuman-kuman usap tenggorok adalah
terhadap Cephradin, yakni sebesar 68.04%.
Kata kunci : Tonsilo-faringitis, Betalaktam, Streptococcus sp, B.catarrhalis
PENDAHULUAN
Penyakit infeksi masih merupakan penyakit utama di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia; terutama
infeksi pernapasan akut (ISPA), baik infeksi saluran per-napasan atas maupun bagian bawah. Hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1997 menunjukkan bahwa prevalensi ISPA untuk usia 0-4 tahun 47,1 %,
usia 5-15 tahun 29,5 % dan dewasa 23,8 %. serta lebih dari 50% penyebabnya
Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 20
(1)
adalah virus . Infeksi sekunder bakterial pada ISPA dapat terjadi akibat komplikasi terutama pada anak dan
usia lanjut, dan memerlukan terapi antimikroba. Beberapa kuman pe-nyebab komplikasi infeksi ISPA yang pernah
diisolasi dari usap tenggorok antara lain Streptococcus, Staphylococcus, Klebsiella, Branhamella, Pseudomonas,
(2)
Escherichia, Proteus, dan Haemophillus , dan untuk mengatasinya seringkali di-gunakan antimikroba golongan
(4)
sampai 40 C, sakit menelan, tonsil membesar dan merah dengan tanda-tanda detritus, batuk, hiperemis, kadangkadang disertai folikel bereksudat. Semua subyek telah menyatakan kesediaannya mengikuti penelitian ini dengan
menandatangani informed consent, dan belum pernah mendapatkan antibiotika selama sakit.
Spesimen usap tenggorok dikumpulkan dalam media transport dan dilakukan uji sensitivitas di Laboratorium
Mikro-biologi FK-UI. Kultur dan isolasi kuman dilakukan dengan menggunakan media perbenihan agar darah dan
0
agar coklat pada suhu 37 C selama 24 jam. Identifikasi dilakukan berdasar-kan morfologi koloni, sifat hemolisis
agar darah, fermentasi karbohidrat, dan uji-uji khusus lainnya. Kuman hasil isolasi diuji sensitivitasnya dengan
metoda cakram Kirby-Bauer pada media Mueller-Hinton, terhadap beberapa antimikroba golong-an betalaktam,
yakni dengan mengukur zona hambatan.
HASIL
Sejumlah 132 kuman yang terdiri atas 12 spesies Gram positif dan Gram negatif berhasil diisolasi dan
diidentifikasi dari 83 sampel usap tenggorok penderita tonsilofaringistis, (Tabel 1).
Enam jenis kuman terbanyak yang berhasil diisolasi dari spesimen usap tenggorok berturut-turut adalah:
Streptococcus viridans (54.2%), Branhamella catarrhalis (22.9%), Streptococcus -haemolyticus (6.11%),
Streptococcus pneumoniae (3.82%), Streptococcus non-haemolyticus (3.82%) dan Klebsiella pneumoniae (3.05%).
Isolat-isolat kuman yang didapat tersebut kemudian diuji sensitivitasnya terhadap antimikroba betalaktam, dan
hasilnya menunjukkan profil resistensi (Tabel 2).
Tabel 1. Frekuensi distribusi jenis kuman dari 83 spesimen usap tenggorok No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Jumlah
Jenis (spesies)
kuman
Streptococcus
viridans
Branhamella
catarrhalis
Streptococcus
haemolyticus
Streptococcus
pneumoniae
Streptococcus nonhaemolyticus
Klebsiella
pneumoniae
Acinobacter spp.
Yeast (ragi)
Staphylococcus
aureus
Alkaligenes dispar
Pseudomonas
aeruginosa
Staphylococcus
epidermidis
Jumlah (%)
71 (54.2)
30 (22.9)
8 (6.11)
5 (3.82)
5 (3.82)
4 (3.05)
2 (1.53)
2 (1.53)
2 (1.53)
1 (0.76)
1 (0.76)
1 (0.76)
132 (100)