Вы находитесь на странице: 1из 20

BAB I

PENDAHULUAN

Hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang


menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang
umumnya nonimunogenik.1 Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan
terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau
berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut
allergen.Hipersensitivitas adalah keadaan perubahan reaktivitas, tubuh bereaksi
dengan respon imun berlebihan atau tidak tepat terhadap suatu benda asing.
Reaksi hipersensitivitas di rongga mulut dapat menghasilkan berbagai penampilan
klinis termasuk lesi kemerahan atau putih,pembengkakan bibir, lidah dan mukosa
bukal.

Reaksi hipersensitivitas dari mukosa mulut terdiri dari berbagai manifestasi


klinis. Beberapa reaksi sulit untuk dibedakan dari reaksi toksik. Reaksi Tipe-I
adalah yang paling sering terlihat berhubungan dengan aplikasi polimer dalam
rongga mulut, seperti bonding dan fissure sealant bahan ortodontik. Reaksi TipeIV dapat dilihat berkaitan dengan sebagian besar material yang digunakan dari
amalgam dan emas untuk polimer. Reaksi-reaksi ini muncul sebagai kemerahan
kronis atau ulserasi mukosa mulut. Reaksi lichenoid memiliki karakteristik
histopatologi kompatibel dengan reaksi hipersensitivitas tipe-IV dan merupakan
reaksi merugikan yang paling umum terlihat di rongga mulut.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ETIOLOGI

Hipersensitivas disebabkan oleh reaksi immunologi pada zat asing noninfeksi


(antigen). Penyakit ini terdiri dari serangkaian reaksi berulang pada zat asing.
Reaksi-reaksi ini melibatkan berbagai tipe hipersensitivitas immunologis

dari

cabang-cabang humoral dan selular sistem kekebalan.Zat asing yang memicu


reaksi hipersensitivitas dinamakan alergen atau antigen. Dua tipe limposit
memainkan peran sentral dalam kedua cabang sistem kekebalan spesifik itu:
limposit B dalam cabang humoral dan limposit T dalam cabang selular. Ketiga
cabang sistem kekebalan tidak beroperasi secara independen. Limposit T
memainkan peran penting dalam pengaturan limposit B. Fungsi awal cabang
humoral dan cabang selular melibatkan pengenalan antigen tetapi sel-sel dan
kimia dari cabang non-spesifik sistem kekebalan dibutuhkan untuk memberantas
antigen.1,2
Dalam beberapa keadaan, kontak berulang dengan suatu antigen atau
keterpaparan pada suatu antigen bisa menyebabkan respon hipersensitivitas yang
bisa berbahaya atau merusak pada jaringan host dengan demikian reaksi
hipersensitivitas bisa melibatkan komponen-komponen selular atau humoral
sistem kekebalan. Reaksi-reaksi yang melibatkan sistem humoral paling sering
terjadi segera setelah kontak sudah dibuat dengan antigen.Tiga tipe reaksi

hipersensitivitas (tipe I, II, dan III) melibatkan elemen-elemen sistem kekebalan


humoral. Reaksi hipersensitivitas tipe IV melibatkan sistem kekebalan selular.
Reaksi alergi yang melibatkan sistem kekebalan selular sering mempunyai
delayed onset.1,2,3
2.2 PATOFISIOLOGI
Sistem Kekebalan Humoral, Limposit B mengenali konfigurasi kimia asing
spesifik via receptor pada selaput selnya. Agar antigen dikenali oleh limposit B
spesifik, ia harus pertama-tama diproses oleh limposit T dan macrophages.
Masing-masing clone (famili) limposit B mengenali status kimia spesifiknya
sendiri. Begitu pengenalan telah terjadi, limposit B mendiferensiasi dan
menggandakan, yang membentuk sel-sel plasma dan limposit B memori. Limposit
B memori tetap inaktif hingga kontak dibuat dengan tipe antigen yang sama.
Kontak ini mengubah sel memori menjadi sebuah plasma yang menghasilkan
immonoglobulin (antibodi) yang spesifik untuk antigen yang dilibatkan.
immunoglobulin E (IgE) adalah antibodi kunci yang dilibatkan dalam patogenesis
reaksi-reaksi hipersensitivitas tipe I.2
Alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T ,dimana sel T
tersebut yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi ( Ig E ).
Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan
oleh basofil. Ketika terjadinya paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang
sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:

1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek
terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel sel radang misalnya netrofil
dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan
panas.
2.

Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang

merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak ,
kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh
darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya
gatal,prutitus,angioderma,urtikaria,kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada saat
mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma
2.3 REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE I
Reaksi hipersensitivitas tipe I, yang terkait dengan sistem kekebalan humoral,
biasanya terjadi segera setelah kontak kedua sudah dibuat dengan antigen; tetapi
banyak orang mempunyai kontak berulang dengan obat atau bahan sebelum
mereka akhirnya menjadi alergi. Anaphylaxis adalah reaksi akut yang melibatkan
otot-otot halus bronchi di mana kompleks antigen/antibodi yang terbentuk
menyebabkan pelepasan histamine dari mast sel. Otot halus mengalami kontraksi,
dan ini bisa menyebabkan distress atau kegagalan respirasi akut. Atopy adalah
keadaan hipersensitivitas yang dipengaruhi oleh faktor-faktor hereditas. Hay
fever, asma, urticaria, dan edema angioneurotik adalah contoh-contoh dari reaksi
atopik. Lesi yang paling sering terkait dengan reaksi atopik mencakup urticaria,
yang merupakan lesi superfisial kulit, dan edema angioneurotik, yang merupakan

lesi yang terjadi di lapisan lebih dalam kulit atau di jaringan lain seperti larynx
atau lidah. Dalam reaksi alergi yang sesungguhnya, lesi-lesi ini disebabkan oleh
efek dari antigen dan antibodi-nya (IgE) pada mast cells di berbagai lokasi dalam
tubuh. Kompleks antigen/antibodi menyebabkan pelepasan mediator (histamine)
dari mast cells; kemudian mediator ini menghasilkan kenaikan dalam
permeabilitas struktur-struktur vaskular yang berdekatan, yang mengakibatkan
kehilangan fluida intravaskular ke ruang-ruang jaringan sekitar. Reaksi ini
menyebabkan lesi edematous urticaria, edema angioneurotik, dan sekresi yang
terkait dengan hay fever.1
Reaksi tipe I disebut juga reaksi cepat, atau reaksi alergi, yang timbul kurang
dari 1 jam sesudah tubuh terpapar oleh alergen yang sama untuk kedua kalinya.
Pada reaksi tipe ini, yang berperan adalah antibodi IgE, sel mast ataupun basofil,
dan sifat genetik seseorang yang cenderung terkena alergi (atopi). Prosesnya
adalah sebagai berikut1:

1.

Ketika suatu alergen masuk ke dalam tubuh, pertama kali ia akan terpapar
oleh makrofag. Makrofag akan mempresentasikan epitop alergen tersebut ke
permukaannya, sehingga makrofag bertindak sebagai antigen presenting cells
(APC). APC akan mempresentasikan molekul MHC-II pada Sel limfosit Th2,
dan

sel

Th2

mengeluarkan

mediator

IL-4

(interleukin-4)

untuk

menstimulasi sel B untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel


Plasma. Sel Plasma akan menghasilkan antibodi IgE dan IgE ini akan
berikatan di reseptor FC-R di sel Mast/basofil di jaringan. Ikatan ini mampu

bertahan dalam beberapa minggu karena sifat khas IgE yang memiliki afinitas
yang tinggi terhadap sel mast dan basofil. Ini merupakan mekanisme respon
imun yang masih normal.
2.

Ketika alergen yang sama kembali muncul, ia akan berikatan dengan IgE
yang melekat di reseptor FC-R sel Mast/basofil tadi. Perlekatan ini tersusun
sedimikian

rupa

sehingga

membuat

semacam

jembatan

silang (crosslinking) antar dua IgE di permukaan (yaitu antar dua IgE yang
bivalen atau multivalen, tidak bekerja jika igE ini univalen). Hal inilah yang
akan menginduksi serangkaian mekanisme biokimiawi intraseluler secara
kaskade, sehingga terjadi granulasi sel Mast/basofil. Degranulasi ini
mengakibatkan pelepasan mediator-mediator alergik yang terkandung di
dalam granulnya seperti histamin, heparnin, faktor kemotaktik eosinofil,
danplatelet activating factor (PAF). Selain itu, peristiwa crosslinking tersebut
ternyata juga merangsang sel Mast untuk membentuk substansi baru lainnya,
seperti LTB4, LTC4, LTD4, prostaglandin dan tromboksan. Mediator utama
yang dilepaskan oleh sel Mast ini diperkirakan adalah histamin, yang
menyebabkan kontraksi otot polos, bronkokonstriksi, vasodilatasi pembuluh
darah, peningkatan permeabilitas vaskular, edema pada mukosa dan
hipersekresi.

2.4 REAKSI HIPERSENSITIFITAS TIPE II

Reaksi hipersensitivitas tipe 2 terjadi dalam waktu 5-8 jam setelah terpapar
antigen yang sama untuk kedua kalinya.Reaksi hipersensitifitas tipe II disebut

juga dengan reaksi sitotoksik, atau sitolisis. Reaksi ini melibatkan antibodi IgG
dan IgM yang bekerja pada antigen yang terdapat di permukaan sel atau jaringan
tertentu. Antigen yang berikatan di sel tertentu bisa berupa mikroba atau molekul2
kecil lain (hapten). Ketika pertama kali datang, antigen tersebut akan
mensensitisasi sel B untuk menghasilkan antibodi IgG dan IgM. Ketika terjadi
pemaparan berikutnya oleh antigen yang sama di permukaan sel sasaran, IgG dan
IgM ini akan berikatan dengan antigen tersebut. Ketika sel efektor (seperti
makrofag, netrofil, monosit, sel T cytotoxic ataupun sel NK) mendekat, kompleks
antigen-antibodi di permukaan sel sasaran tersebut akan dihancurkan olehnya. Hal
ini mungkin dapat menyebabkan kerusakan pada sel sasaran itu sendiri, sehingga
itulah kenapa reaksi ini disebut reaksi sitotoksik/sitolisis.1
Prosesnya ada 3 jenis mekanisme yaitu1,2:

1. Proses sitolisis oleh sel efektor. Antibodi IgG/IgM yang melekat dengan
antigen sasaran, jika dihinggapi sel efektor, ia (antibodi) akan berinteraksi
dengan reseptor Fc yang terdapat di permukaan sel efektor itu. Akibatnya, sel
efektor melepaskan semacam zat toksik yang akan menginduksi kematian sel
sasaran. Mekanisme ini disebut ADCC (Antibody Dependent Cellular
Cytotoxicity).
2. Proses sitolisis oleh komplemen. Kompleks antigen-antibodi di permukaan sel
sasaran didatangi oleh komplemen C1qrs, berikatan dan merangsang terjadinya
aktivasi komplemen jalur klasik yang akan berujung kepada kehancuran sel.

3. proses sitolisis oleh sel efektor dengan bantuan komplemen. Komplemen C3b
yang berikatan dengan antibodi akan berikatan di reseptor C3 pada pemukaan
sel efektor. Hal ini akan meningkatkan proses sitolisis oleh sel efektor.

2.5 REAKSI HIPERSENSITIFITAS TIPE III

Reaksi hipersensitifitas tipe III ini mirip dengan tipe II, yang melibatkan
antibodi IgG dan IgM, akan tetapi bekerja pada antigen yang terlarut dalam
serum.Prosesnya adalah sebagai berikut Seperti tipe yang lainnya, ketika antigen
pertama kali masuk, ia akan mensensitisasi pembentukan antibodi IgG dan IgM
yang spesifik. Ketika pemaparan berikutnya oleh antigen yang sama, IgG dan IgM
spesifik ini akan berikatan dengan antigen tersebut di dalam serum membentuk
ikatan antigen-antibodi kompleks. Kompleks ini akan mengendap di salah satu
tempat dalam jaringan tubuh (misalnya di endotel pembuluh darah dan
ekstraseluler) sehingga menimbulkan reaksi inflamasi. Aktifitas komplemen pun
akan

aktif

sehingga

dihasilkanlah

mediator-mediator

inflamasi

seperti

anafilatoksin, opsonin, kemotaksin, adherens imun dan kinin yang memungkinkan


makrofag/sel efektor datang dan melisisnya. Akan tetapi, karena kompleks
antigen antibodi ini mengendap di jaringan, aktifitas sel efektor terhadapnya juga
akan merusak jaringan di sekitarnya tersebut. Inilah yang akan membuat
kerusakan dan menimbulkan gejala klinis, dimana keseluruhannya terjadi dalam
jangka waktu 2-8 jam setelah pemaparan antigen yang sama untuk kedua kalinya.
Contoh penyakit yang ditimbulkan: Systemic Lupus Erythematosus, Erythema

Nodosum, Polyarteritis nodosa, Arthus Reaction, Rheumatoid Arthritis,


Elephantiasis (Wuchereria bancrofti reaction), Serum Sickness.1

2.6 REAKSI HIPERSENSITIFITAS TIPE IV

Reaksi hipersensitifitas tipe IV berbeda dengan reaksi sebelumnya, karena


reaksi ini tidak melibatkan antibodi akan tetapi melibatkan sel-sel limfosit.
Umumnya reaksi ini timbul lebih dari 12 jam stelah pemaparan pada antigen,
sehingga reaksi tipe ini disebut reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Antigen untuk
reaksi ini bisa berupa jaringan asing, mikroorganisme intraseluler (virus, bakteri),
protein, bahan kimia yang dapat menembus kulit, dan lain-lain. 1

Ketika tubuh terpapar alergen pertama kali, ia akan dipresentasikan oleh sel
dendritik ke limfonodus regional. Disana ia akan mensensitasi sel Th untuk
berproliferasi

dan

berdiferensiasi

menjadi

sel

DTH

(Delayed

Type

Hypersensitivity). Bila sel DTH yang disensitasi terpajan ulang dengan antigen
yang sama, ia akan melepas sitokin (berupa IFN-, TNF-, IL-2,IL-3) dan
kemokin (berupa IL-8, MCAF, MIF) yang akan menarik dan mengaktifkan
makrofag yang berfungsi sebagai sel efektor dalam reaksi hipersensitifitas.

2.7 KOMPLIKASI DAN MANIFESTASI ORAL


Pada Hipersensitivitas tipe I

lesi oral bisa dihasilkan oleh reaksi

hipersensitivitas. Reaksi atopik pada berbagai makanan, obat, atau agen anestetik
bisa terjadi dalam atau di sekitar rongga mulut atau edema angioneurotik. Reaksi

ini umumnya cepat, dengan lesi berkembang dalam waktu singkat setelah kontak
dengan antigen. Pembengkakan jaringan lunak tak nyeri yang dihasilkan oleh
transudate dari pembuluh-pembuluh sekitarnya ini bisa menyebabkan gatal dan
rasa panas (burning). Lesi biasanya hadir selama 1 sampai 3 hari dan kemudian
mulai

pecah

secara

spontan.

Antihistamina

oral

harus

diberi;

oral

diphenhydramine, 50 mg setiap 4 jam, adalah regimen yang direkomendasikan.


Perlakuan diberi selama 1 sampai 3 hari. Kontak lebih lanjut dengan antigen harus
dihindari.

Gambar 2.1 Angioneurotik pada mukosa oral1

Pada Hipersensitivitas tipe III, Makanan, obat, atau agen yang ditempatkan
dalam rongga mulut bisa menyebabkan lesi putih, erythematous, atau ulceratif
sebagaimana ditentukan oleh kehadiran hipersensitivitas tipe III atau reaksi
kompleks immun. Lesi-lesi ini berkembang secara agak cepat, biasanya dalam
periode 24 jam, setelah kontak dibuat dengan offending antigen. Beberapa kasus
aphthous stomatitis bisa disebabkan oleh hipersensitivitas tipe III, tetapi sebagian
besar terkait dengan disfungsi limposit menunjukkan sebuah dermatitis alergi
yang terjadi setelah archwire (kawar lengkung) dan braket orthodontik (yang
mengandung nikel) dipasang1.

10

Gambar 2.2 stomatitis apthosa4

Erythema multiforme merepresentasikan reaksi kompleks immun.Sekitar


setengah dari pasien pada mana erythema multiforme didiagnosa (Gambar 2.3)
ditemukan mempunyai suatu disposing factor seperti alergi obat atau infeksi
herpes simplex yang dilibatkan dalam permulaan penyakit mereka.1

Gambar 2.3 Erythema multiforme3

diagnosa ditemukan mempunyai suatu disposing factor seperti alergi obat atau
infeksi herpes simplex yang dilibatkan dalam permulaan penyakit mereka.
Pada hipersensitivitas tipe IV Stomatitis kontak adalah reaksi alergi
tertunda yang terkait dengan respon kekebalan selular dalam sebagian besar kasus.

11

Karena sifat tertunda dari reaksi itu setelah kontak dibuat dengan alergen dalam
kasus-kasus stomatitis kontak, dokter gigi harus menyelidiki mengenai kontak
dengan bahan yang mungkin telah terjadi 2 sampai 3 hari sebelum lesi muncul.
Antigen mungkin ditemukan dalam bahan-bahan gigi, pasta gigi,obat kumur,
lipstik, serbuk wajah, dan sebagainya. Dalam banyak kasus, tidak ada perlakuan
lebih lanjut perlu begitu sumber antigen sudah diidentifikasi dan dihilangkan dari
kontak lebih lanjut dengan pasien; tetapi, jika reaksi tissue parah atau persisten,
corticosteroids topikal harus digunakan. Suatu sediaan yang baik untuk
penggunaan topikal adalah triamcinolone acetonide dalam Orabase.1,2
Berbagai bahan dental telah dilaporkan sebagai sebab dari reaksi alergi
dalam pasien. Bahan-bahan cetak yang mengandung katalis sulfonate aromatik
telah dilaporkan menyebabkan reaksi alergi tertunda pada wanita postmenopause.
Reaksi itu terdiri dari ulserasi tissue dan nekrosis yang menjadi semakin
memburuk dengan masing-masing keterpaparan.
Beberapa penulis telah melaporkan bahwa lesi mulut bisa ditemukan
berhubungan erat dengan restorasi amalgam. Lesi-lesi (mukosa) ini telah
digambarkan sebagai keputih-putihan, kemerah-merahan, ulceratif, atau lichenoid
dan dianggap disebabkan oleh iritasi toksik atau reaksi hipersensitivitas pada
restorasi amalgam. Dalam beberapa studi, pengujian kulit untuk mengetahui
sensitivitas pada merkuri dilakukan. Semua laporan menunjukkan bahwa
beberapa dari lesi oral disebabkan oleh luka toksik pada mukosa, dan yang
lainnya adalah akibat dari reaksi hipersensitivitas tipe IV pada merkuri dalam
amalgam.1
12

Tidak ada studi mendalam yang mengaitkan gejala nonspesifik seperti depresi,
kelelahan, dan sakit kepada pada efek merkuri dalam restorasi amalgam. Praktek
penghindaran penggunaan restorasi amalgam pada pasien dengan gejala-gejala
nonspesifik tidak mempunyai landasan ilmiah. Tetapi pelepasan suatu restorasi
amalgam yang kontak dengan mukosa mulut yang menunjukkan lesi yang
konsisten dengan reaksi toksik atau hipersensitivitas pada merkuri adalah sesuatu
yang rasional1.

Pada kejadian-kejadian langka, bahan-bahan komposit gigi telah


dilaporkan menyebabkan reaksi alergi. Acrylic monomer yang digunakan dalam
konstruksi denture telah menyebabkan reaksi alergi; tetapi sebagian besar
perubahan jaringan di bawah denture ini disebabkan oleh trauma dan infeksi
sekunder dengan bakteri atau fungi. Emas, nikel, dan merkuri telah dilaporkan
menyebabkan reaksi alergi yang mengakibatkan ulserasi dan erithema jaringan1

2.8 DENTAL MANAGEMENT


Dokter gigi sering menghadapi masalah-masalah yang terkait dengan
hipesensitivitas. Salah satu persoalan paling umum adalah pasien yang
melaporkan alergi pada anestetis lokal, antibiotik, atau analgesik. Riwayat harus
diperluas, dengan usaha-usaha spesifik dibuat untuk menentukan secara tepat zat
apa yang menyerang dan bagaimana persisnya pasien itu bereaksi pada zat itu.
Jika reaksi buruk itu mempunyai sifat alergis, satu atau lebih dari tanda atau gejala
klasik alergi mestinya telah tampak. Jika tanda-tanda atau gejala-gejala ini tidak
dilaporkan, pasien itu mungkin tidak mengalami reaksi alergi yang sebenarnya.

13

Reaksi yang paling sering terkait dengan anestetik lokal adalah reaksi toksik,
yang biasanya disebabkan oleh injeksi intravena tak sengaja larutan anastesi.
Jumlah berlebihan anestetik juga bisa menyebabkan reaksi toksik atau reaksi pada
vasoconstrictor.1,2 Tanda-tanda dan gejala-gejala reaksi vasoconstrictor mencakup
tachycardia, ketakutan, berkeringat, dan hiperaktivitas. Reaksi umum lainnya pada
anestetik lokal melibatkan pasien cemas yang khawatir menerima suatu suntikan,
mengalami tachycardia, keringatan, pucat, dan syncope .
Analgesik Aspirin bisa menyebabkan gangguan gastrointestinal, tetapi ini
bisa

dihindari

jika

dikonsumsi

dengan

makanan

atau

segelas

susu.

Ketidaknyamanan bisa mencakup rasa panas dalam perut, mual, muntah, atau
pendarahan gastrointestinal. Aspirin tidak boleh digunakan oleh pasien yang
mengalami ulcer, gastritis, atau hiatal hernia dan harus digunakan dengan hati-hati
oleh pasien yang karena kondisinya membuatnya cenderung mual, muntah,
dyspepsia, atau ulserasi gastrik. Aspirin juga diketahui memperpanjang waktu
prothombin dan menghambat fungsi platelet, yang biasanya tidak begitu penting
secara klinis, kecuali dalam pasien yang mempunyai penyakit hemorhagis atau
peptic ulcer. Pada pasien-pasien ini aspirin harus dihindari. Reaksi alergi pada
aspirin bisa serius, dan dilaporkan adanya kematian.1
Sejumlah laporan telah menunjukkan bahwa pekerja perawatan kesehatan
dan pasien tertentu menghadapi risiko untuk reaksi hipersensitivitas pada lateks
atau agen-agen yang digunakan dalam pemproduksian sarung tangan karet atau
bahan-bahan terkait (misalnya, dam karet, cuff tekanan darah, kateter). Lateks dari
sarung tangan bedah telah diketahui menyebabkan kolaps kardiovaskular dalam
14

pasien bedah, anaphylaksis pada dokter gynokologi dan obstetrics, reaksi


hipersensitivitas dalam pekerja perawatan kesehatan lainnya, dan anaphylaksis
pada pasien lain. Sekitar 3% dari dokter dan perawat rumah sakit telah terinfeksi
oleh reaksi hipersensitivitas pada lateks. Tetapi sebagian besar dari kasus-kasus
ini adalah reaksi tipe IV, yang disebabkan oleh agen-agen yang digunakan dalam
pemproduksian produk-produk karet. Reaksi alergi tipe I pada lateks jarang. Atas
dasar temuan-temuan ini, bisa disimpulkan bahwa reaksi hipersensitivitas tipe I
serius bisa terjadi pada dokter, dokter gigi, pekerja perawatan kesehatan lain, dan
pasien sebagai akibat dari kontak dengan produk-produk lateks seperti sarung
tangan, dam karet, balon, atau kateter.1
Dokter gigi harus sadar bahwa alergi lateks bisa hadir sebagai anaphilaksis
selama kerja perawatan gigi ketika pasien atau dokter gigi telah tersentisisasi pada
lateks. Anaphilaksis bisa terjadi pada orang yang tersentisisasi setelah kontak
sudah dibuat dengan sarung tangan karet, bahan dam karet, cuff tekanan darah,
atau produk lain yang mengandung lateks. Sejumlah studi telah menunjukkan
bahwa orang-orang yang alergi lateks mempunyai antibodi IgE untuk protein
lateks tertentu. Tes kulit lateks adalah alat yang memuaskan untuk
mengidentifikasi orang-orang yang mungkin tersentisisasi pada lateks.1

15

BAB III
PEMBAHASAN

Salah satu dari emergensi medis paling umum yang bisa terjadi di dental office
adalah emergensi reaksi hipersentivitas.. Empat alasan berikut menunjukkan
kenapa dokter gigi harus mengetahui hipersensitivitas1:
1. Untuk mengidentifikasi pasien dengan riwayat alergi yang sesungguhnya,
sehingga emergensi medis akut yang mungkin terjadi di dental office karena
reaksi hipersensitivitas bisa dicegah.
2. Untuk mengenali perubahan-perubahan jaringan lunak didalam mulut yang
mungkin disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas
3. Untuk mengidentifikasi dan merencanakan perawatan gigi bagi pasien yang
mempunyai perubahan-perubahan besar sistem kekebalan mereka karena
radiasi, terapi obat, atau immune deficiency disorders.
4. Untuk mengenali tanda-tanda dan gejala-gejala reaksi alergi akut dan
menangani masalah-masalah ini secara tepat.
Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, dokter gigi

pertama-tama harus

memperoleh pemahaman dasar mengenai alergi. Dokter gigi sering menghadapi


masalah-masalah yang terkait dengan hipesensitivitas. Salah satu persoalan paling
umum adalah pasien yang melaporkan alergi pada anestetis lokal, antibiotik, atau
analgesik. Riwayat harus diperluas, dengan usaha-usaha spesifik dibuat untuk
menentukan secara tepat zat apa yang menyerang dan bagaimana persisnya pasien
itu bereaksi pada zat itu. Jika reaksi buruk itu mempunyai sifat alergis, satu atau

16

lebih dari tanda atau gejala klasik alergi mestinya telah tampak. Jika tanda-tanda
atau gejala-gejala ini tidak dilaporkan, pasien itu mungkin tidak mengalami reaksi
alergi yang sebenarnya.
Pada kasus penggunaan alat ortho cekat,reaksi hipersensitivitas yang timbul
dapat disebabkan antara lain oleh senyawa kimia dan logam yang terkandung di
dalarn bracket, arch wire, band, kawat ligatur dan juga karet elastic, power 0,
power chain serta bonding agent dan composite yang digunakan untuk
melekatkan bracket pada permukaan gigi. Beberapa metallic alloy banyak
digunakan di bidang ortodonti, seperti cobalt-chromium, nikel-titanium, dan betatitanium,Kebanyakan dari alloy ini rnerniliki nikel sebagai salah satu
componennya. Nickel merupakan penyebab aiergi kontak yang paling sering
terjadi pada wanita5. Frekuensi hipersensitivitas terhadap nickel dilaporkan sekitar
20 % pada wanita muda, dan kurang lebih 10 kali lebih besar dibanding dengan
pria. Proses sensitisasi nikel dalam skala besar disebabkan oleh melimpahnya
bahan ini di dalam pernak-pernik logam yang digunakan dalam kehidupan seharihari. Dinamika dalam dunia mode ikut berperan di dalam meningkatkan potensi
sensitisasi nikel ini bahkan di kalangan anak anak.Banyak sekali asesoris yang
menyertai penampilan baik wanita maupun pria memiliki bahan dasar nikel
tentunya akan menyebabkan proses sensitisasi. Logam, di mana terdapat saliva
sebagai medium penghubung, dapat menimbuikan arus elektrogalvanik yang
mengakibatkan terlepasnya dan metallic compound. Produk ini dapat ikut tertekan
atau menempel pada permukaan gigi dan permukaan mukosa mulut.Tertepasnya
ion nikel yang rnerupakan immunologi sensitizer kuat, dapat mengakibatkan

17

hipersensitifitas kontak .Kasus alergi yang diakibatkan oleh pemakaian


composite-bonding agent pada perawatan ortodonti pernah dilaporkan, tetapi
jarang sekali terjadi. Derivat epoxy yang merupakan salah satu konstituen
composite,diduga

sebagai

penyebab

alergi

dengan

gejala-gejala

seperti

pembengkakan bibir atas dan bawah, rasa sakit di dalam mulut, eritema
sirkumoral dan disertai dengan rasa gatal. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
menggunakan patch test.1
.

18

BAB IV
KESIMPULAN

Hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang


menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang
umumnya nonimunogenik. Dalam beberapa keadaan, kontapk berulang dengan
suatu antigen atau terpapar pada suatu antigen bisa menyebabkan respon
hipersensitiv yang bisa berbahaya atau merusak pada jaringan dengan demikian,
reaksi hipersensitivitas bisa melibatkan komponen-komponen selular atau
humoral sistem kekebalan.
Dokter gigi harus memperoleh pemahaman dasar mengenai hipersensitivitas,
dengan meningakatnya kasus hipersensitivitas diharapkan dengan memiliki
pemahaman mengenai hipersensitivitas dalam rongga mulut dokter gigi dapat
memberikan penanganan awal sebelum penatalaksanaan lebih lanjut.

19

DAFTAR PUSTAKA

1.

Little

JW,

Dental

Management

of

Medically

Compromised

Patient.7thEd.Canada:2008
2.

Greenberg MS, Glick M. Burkets Oral Medicine Diagnosis and Treatment.


10th Ed. Canada: BC Decker Inc; 2003.

3.

Scully C. Oral and Maxillofacial Medicine The Basis of Diagnosis and


Treatment. 2nd Ed. Edinburgh: Churchill Livingstone Elsevier; 2008.

4.

Oral Hypersensitivity Reaction (cited 2014 October 10). Available from:


www.oralmedicinedentist.com/wp-content/uploads/2010/pdf/...

5.

Pricillia PS. Faktor Alergi Pada Alat Orthodonti Cekat (Fixed Appliance)
(cited 2014 October 10). Available from: es.scribd.com/doc/131605991

20

Вам также может понравиться