Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Dosen Pembimbing:
Dr. Qomariyatus Sholihah, Dipl.hyp, ST., M.Kes
19780420 200501 2 002
Disusun Oleh:
M. Wahyudin Saputra
H1E109048
H1E110017
Radhiatul Istiqamah
H1E110032
H1E110035
Frenaldo
H1E110036
H1E110037
H1E110068
M. Azwar Ramadhani
H1E110069
H1E110202
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Karya tulis ini asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan
gelar akademik apapun, baik di Universitas Lambung Mangkurat
maupun di perguruan tinggi lainnya.
2. Karya
tulis
ini
adalah
merupakan
gagasan,
rumusan
dan
penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain kecuali arahan dari
Dosen Pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat orang lain,
kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam
naskah dengan disebutkan nama penulis dan dicantumkan dalam daftar
pustaka.
4. Program software komputer yang digunakan dalam penelitian ini
sepenuhnya menjadi tanggungjawab saya, bukan tanggungjawab
Universitas Lambung Mangkurat (apabila menggunakan software
khusus).
5. Pernyataan ini saya buat
menerima
sangsi
akademik
serta
sangsi
Tim Penulis
iii
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar penurunan parameter uji
(Fe dan Mn) air asam tambang menggunakan tanaman Purun tikus (Eleocharis
dulcis) dengan sistem Lahan Basah Buatan Aliran Vertikal Bawah Permukaan
(Vertical Subsurface-Constructed Wetland) serta waktu kontak efektif yang
dibutuhkan pada sistem pengolahan tersebut. Metode penelitian ini meliputi
reaktor lahan basah buatan berbahan kayu yang dilapisi plastik dengan dimensi
65 x 35 x 35 cm dengan sistem batch bertingkat menngunakan air asam tambang
sebagai objek penelitian, effluent air asam tambang yang kemudian diolah.
tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah Purun tikus (Eleocharis
dulcis) Kayu apu (Pistia stratiotes) yang merupakan jenis tumbuhan liar yang
dapat tumbuh dan beradaptasi dengan baik pada lahan rawa pasang surut. Hasil
penelitian didapat, bahwa efisiensi penurunan konsentrasi Fe terjadi pada hari
ke-3 dengan persentasi sebesar 91,06%. Sedangkan efisiensi penurunan
konsentrasi Mn terjadi pada hari ke 3 dengan persentasi sebesar 97,39%.
Kata Kunci: air asam tambang, kayu apu, lahan basah buatan , purun tikus
iv
ABSTRACT
The study was intended to determine the lower level parameters (Fe and
Mn) of acid mine drainage by using Purun tikus plant ( Eleocharis dulcis), and
Kayu apu plant (Pistia stratiotes) as a construted wetland system with vertical
subsurface flow and the decreasing of effective time in prosessing system. The
study method include constructed wetland reactor made of wood and plastic
inside with dimension 65x35x35 cm with a multilevel system of batch acid mine
drainage is used as an object of study then processed. The plants that used in this
study were Purun tikus and kayu apu that lived and grow in cat clay. This study
result obtained, that the efficiency decrease concentration of Fe in third day with
a percentage of 91,06%. Whereas the efficiency decrease concentration of Mn in
third day with a percentage of 97,39%.
Key words : acid mine drainage, constructed wetland, kayu apu, purun tikus.
KATA PENGANTAR
Penulis
DAFTAR ISI
Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2
1.3
1.4
1.5
1.6
2.2
2.3
3.2
3.3
Variabel Penelitian............................................................................... 34
3.4
3.5
3.6
4.1.1.
4.1.2.
Penurunan Fe ................................................................................ 43
4.1.3.
Penurunan Mn .............................................................................. 44
4.2.
Pembahasan ......................................................................................... 45
4.2.1.
Penurunan Fe ................................................................................ 45
4.2.2.
Penurunan Mn .............................................................................. 47
Kesimpulan ............................................................................................. 51
5.2.
Saran ....................................................................................................... 51
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR SINGKATAN
Singkatan
Nama
Halaman Pertama
Muncul
AAT
CW
Constructed Wetland
16
Fe
Besi
HSSF-CW
18
Constructed Wetland
LSD
46
Mn
Mangan
Ppm
SF
Surface Flow
17
SNI
44
SSA
39
SSF
Subsurface Flow
17
VSSF-CW
19
Wetland
BAB I
PENDAHULUAN
terbuka.
Penambangan
dengan
menggunakan
metode
metode umum yang digunakan, namun metode ini memerlukan biaya yang
tidak sedikit. Pada saat ini banyak metode pengelolaan menggunakan vegetasi
alami yaitu tumbuhan yang berada di sekitar. Seperti pada penelitian
Risnawati dan Damanhuri (2010) yang meneliti tentang penyisihan logam
pada lindi menggunakan constructed wetland yang mana menggunakan purun
tikus untuk mendegradasi logam Fe. Pada literatur dan beberapa penelitian
pun banyak meneliti tentang purun tikus dan kayu apu, karena diketahui dapat
menurunkan kadar logam berat yang ada di air limbah. Selain mudah didapat,
pengolahan limbah dengan menggunakan vegetasi alami merupakan cara yang
efektif, efisien, dan ekonomis dimana tidak seperti penggunaan kapur yang
membutuhkan biaya besar untuk pembelian bahan baku, lain halnya dengan
tanaman. Pengelolaan limbah dengan tanaman membutuhkan biaya yang
relatif murah dan tentunya ramah lingkungan.
Salah satu alternatif pengolahan limbah cair yang mudah, murah, dan
efektif dalam pengaplikasiannya adalah dengan menggunakan lahan basah
buatan (constructed wetland). Lahan basah buatan merupakan sistem
pengolahan terencana atau terkontrol yang telah didesain dan dibangun
menggunakan proses
alami
yang
melibatkan
vegetasi,
media,
dan
sumbangan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
b. Sebagai
informasi
(Eleocharis dulcis)
alternatif
penggunaan
tanaman
Purun
tikus
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menjelaskan teori-teori tentang penelitian. Bab ini terdiri dari lima
sub bab. Pada sub bab pertama menjelaskan secara rinci mengenai air asam
tambang. Pada sub bab kedua menjelaskan tentang logam berat pada penelitian
yaitu besi (Fe) dan mangan (Mn). Pada sub bab ketiga menjelaskan berbagai tipe
lahan basah buatan (constructed wetland). Pada sub bab keempat menjelaskan
deskripsi umum tanaman Purun tikus (Eleocharis dulcis). Terakhir pada sub bab
kelima menjelaskan deskripsi umum tanaman Kayu apu (Pistia stratiotes).
Air asam tambang mengakibatkan air di sekitar lokasi penambangan tidak layak
untuk mendukung kehidupan masyarakat sekitar. Air asam tambang ditandai
dengan berubahnya warna air menjadi merah jingga karena ion ferro (Fe2+) yang
terdapat pada mineral pirit teroksidasi menjadi ferri (Fe3+) (Widyati, 2009)
Secara fisik, aktivitas penyingkiran lapisan tanah di atas batubara
sekaligus menggusur kantong-kantong aliran air seperti sungai dan mata air di
lokasi tersebut. Secara kimia, formasi batuan tempat terbentuknya batubara di
Indonesia umumnya tersusun atas mineral sulfidik. Mineral yang tersisa ketika
bersinggungan dengan udara dan air akan cepat teroksidasi menghasilkan asam
sulfat. Karena asam sulfat merupakan asam kuat, maka pH tanah dan air akan
mengalami penurunan secara drastis (Widyati, 2009).
Menurut Costelo (2003) terjadinya air asam tambang diawali dari oksidasi
pirit seperti digambarkan pada reaksi berikut ini :
2 Fe2 (s) + 7 O2 (aq) + 2 H2O
Fe2+ + 4 SO42- + 4 H+
2 Fe3+ + H2O
Dari reaksi tersebut terlihat bahwa logam (Fe) akan terakumulasi baik
pada tanah maupun air. Disamping Fe juga dijumpai logam-logam lain seperti
Mn, Zn, Cu, Ni. Pb, Cd, dan lain-lain. Hal ini karena mineral umum yang terdapat
pada lahan bekas tambang batubara selain pirit (FeS) antara lain spalerit (ZnS),
galena (PbS), milerit (NiS), grinokit (CdS), covelit (CuS), kalkopirit (CuFeS), dan
lain-lain (Costelo, 2003). Akibat air asam tambang inilah yang mengakibatkan
lahan bekas tambang batubara memerlukan penanganan yang serius terutama
untuk memperbaiki tingkat kemasaman dan menurunkan akumulasi logam-logam.
Faktor penting yang mempengaruhi terbentuknya AAT di suatu tempat
adalah:
1. Konsentrasi, distribusi, mineralogi dan bentuk fisik dari mineral sulfida
2. Keberadaan oksigen, termasuk dalam hal ini adalah asupan dari atmosfir
melalui mekanisme adveksi dan difusi
3. Jumlah dan komposisi kimia air yang ada
4. Temperatur
5. Mikrobiologi
Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa
pembentukan
AAT
sangat
tergantung
pada
kondisi
tempat
Satuan
Kadar Maksimum
pH
6-9
Residu Tersuspensi
mg/l
400
Besi (Fe)
mg/l
Mangan (Mn)
mg/l
terdapat di air tanah. Meskipun besi dan mangan pada umumnya terdapat dalam
bentuk terlarut bersenyawa dengan bikarbonat dan sulfat, juga ditemukan kedua
unsur tersebut bersenyawa dengan hidrogen sulfida (H2S). Selain itu besi dan
mangan ditemukan pula pada air tanah yang mengandung asam yang berasal dari
humus yang mengalami penguraian dari tanaman atau tumbuhan yang bereaksi
dengan unsur besi untuk membentuk ikatan kompleks organik. Konsentrasi
mangan pada umumnya kurang dan 1,0 mg/l. Pada air permukaan yang belum
diolah ditemukan konsentrasi mangan rata-rata lebih dari 1 mg/l, walaupun
demikian dalam keadaan tertentu unsur mangan dapat timbul dalam konsentrasi
besar pada suatu reservoir/tandon atau sungai pada kedalaman dan saat tertentu.
Hal ini terjadi akibat adanya aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan dan
mereduksi bahan organik dan mangan (IV) menjadi mangan (II) pada kondisi
hypolimnion (kondisi adanya cahaya matahari) (Septiandina, 2010).
Pada tanah masam yang kaya aktif Mn dan bahan organik akan
menghasilkan Mn2+ terlarut yang tinggi pada 1-2 minggu setelah penggenangan
akan tetapi akan menurun kembali dan stabil pada 10 ppm sedangkan batas kritis
Mn pada tanah sebesar 15-60 ppm (Widowati, 2010).
Gejala keracunan zat besi pada tanaman :
1. Daun tanaman menguning jingga
2. Pucuk daun mengering
3. Tanamannya kerdil
4. Hasil tanaman rendah.
Ciri-ciri tingginya kadar besi dalam tanah :
1. Tampak gejala keracunan besi pada tanaman
2. Ada lapisan seperti minyak di permukaan air
3. Ada lapisan merah di pinggiran saluran (Sitorus, 2011).
Lahan basah, berdasarkan Sistem Klasifikasi Ramsar, diklasifikasikan
menjadi tiga kelompok utama, yaitu: lahan basah pesisir dan lautan, lahan basah
daratan, dan lahan basah buatan. Diantara ketiga kelompok utama lahan basah
tersebut, lahan basah buatan (human-made wetlands) mungkin bisa dianggap
sebagai satu-satunya kelompok lahan basah yang memiliki posisi paling dilematis,
karena di satu sisi pembangunan lahan basah buatan memang perlu dilakukan
10
11
berpindahnya
bahan pencemar
ke
biomassa
yang
dikonsumsi manusia.
Berdasarkan klasifikasi lahan basah, rawa buatan termasuk didalamnya,
dimana rawa buatan merupakan sebuah komplek rancangan manusia yang terdiri
dari substrat, tanaman, hewan, dan air yang meniru rawa alami untuk kegunaan
dan keuntungan manusia (Hammer dalam Puspita dkk., 2005). Ditinjau dari
fungsi rawa buatan yang pada umumnya digunakan bagi keperluan pengolahan air
tercemar, rawa buatan dapat didefinisikan sebagai ekosistem rawa buatan manusia
yang didesain khusus untuk memurnikan air tercemar dengan mengoptimalkan
proses-proses fisika, kimia, dan biologi dalam suatu kondisi yang saling
berintegrasi seperti yang biasanya terjadi dalam sistem rawa alami. Rawa buatan
dalam bahasa Inggris diistilahkan sebagai constructed wetlands, walaupun
seharusnya terjemahan dari constructed wetlands adalah lahan basah buatan,
namun istilah rawa buatan dianggap lebih tepat digunakan karena jika kita
mengacu pada definisi lahan basah menurut Konvensi Ramsar, istilah lahan basah
memiliki makna yang sangat luas (tidak hanya mencakup rawa saja).
12
tanaman
dimana
proses-proses
penjernihan
alami secara
aerobik berlangsung. Pengontrolan debit air perlu dilakukan agar tidak terbentuk
genangan air di bagian dasar sistem lahan basah buatan sehingga kondisi aerobik
dapat tercipta di seluruh bagian kolam (Meutia, 2003). Pada lahan basah buatan
dengan tipe aliran vertikal ini, air dialirkan di permukaan sistem lalu merembes
melalui substrat yang dipenuhi oleh akar tanaman hingga kemudian mencapai
dasar lahan basah untuk keluar dari sistem (Morel dan Diener, 2006).
13
permukaan sistem lalu merembes melalui substrat yang dipenuhi oleh akar
tanaman hingga kemudian mencapai dasar rawa untuk keluar dari sistem. Lahan
basah buatan dengan sistem aliran ini mudah mengalami penyumbatan (clogging).
AIR
AIR
KELUAR
14
2.
naik pelan-pelan melalui substrat hingga kemudian keluar melalui saluran yang
terletak di permukaan subtrat.
AIR
MASUK
AIR
KELUAR
2.
3.
pada reaktor vertikal menunjukkan nilai yang lebih besar dibandingkan reaktor
horizontal dengan efisiensi 40% sementara reaktor horizontal hanya 17%. Selain
itu dalam penelitian yang sama menyebutkan bahwa presentase berat Fe pada akar
tanaman dengan menggunakan reaktor vertikal lebih besar dibanding reakror
15
horizontal yaitu sebesar 88,10% pada aliran vertikal dan 84,65% pada aliran
horizontal.
Menurut Oktaviansyah (2010), terdapat tiga tipe utama yang bisa
dikategorikan sebagai lahan basah buatan:
1. Aliran Air Permukaan (Free Water Surface)
Pada wetland tipe ini, air mengalir secara keseluruhan diatas
permukaan tanah, dalam hal ini air mengalir langsung dari satu kolam ke
kolam lain tanpa merembes terlebih dahulu kedalam tanah. Permukaan air
tidak terlindungi atau bersentuhan langsung dengan udara luar. Proses
pengendapan merupakan mekanisme pengolahan utama pada tipe ini.
Sistem aliran air permukaan ditandai dengan kolam yang berisi tanaman
terapung, lapisan tanah di dasar kolam berfungsi sebagai media akar serta
kedalam air berkisar dari hanya beberapa cm sampai 80 cm, tergantung
dari tujuan dibangunnya constructed wetland tersebut. Kedalaman lapisan
tanah atau media yang sering dipakai adalah 30 cm (Bendorrichio dalam
Oktaviansyah 2010). Pada rawa buatan tipe surface flow (SF), volume air
yang dialiri ke dalam rawa buatan cukup banyak (ketinggian paras air
biasanya sampai kurang dari 40 cm) (Fujita Research & Sim dalam
Puspita dkk., 2005).
Beberapa aspek dapat mempengaruhi bentuk dari kolam atau
saluran wetland antara lain kemiringan dari kolam atau dari wetland
sebaiknya mempunyai kemiringan (slope) kurang dari 1%. Hal ini
bertujuan untuk mengontrol aliran air (run off). Menurut Steiner, Freeman,
Mitsch dan Gosselink (2006) dalam Oktaviansyah (2010), bahwa untuk
surface flow wetland, kemiringan substrat dari inlet sampai outlet adalah
sebesar 0,5 % atau kurang, guna mengontrol aliran limbah.
2. Aliran Vertikal Bawah Permukaan (Vertical Sub Surface Flow)
Aliran vertikal dapat dibuat melalui dua cara, yaitu dengan aliran
vertikal menurun dan vertikal menanjak. Pada aliran tipe vertikal
menurun, air dialirkan ke dalam lahan basah buatan dari lapisan atas media
dan saluran outlet dibuat di dasar media, sehingga air akan mengalir
kebawah dengan melewati zona akar dengan gaya gravitasi. Akan tetapi,
16
aliran air dari atas juga masih ada kemungkinan untuk mengalir langsung
ke bawah tanpa tersebar dengan merata di zona akar (Oktaviansyah, 2010).
Untuk rawa buatan tipe aliran vertikal bawah permukaan aliran air
di alirkan sampai setinggi sekitar 5 cm dibawah permukaan substrat yang
bertujuan agar aliran tetap berada di bawah permukaan tetapi air tetap
membasahi perakaran tanaman (Puspita, 2005). Rawa buatan dengan
sistem aliran bawah permukaan terdiri dari saluran-saluran atau kolamkolam dangkal yang berisi tanah, pasir, atau media porous (batu atau
kerikil) yang akan membantu proses penyaringan air. Dalam sistem
pengaliran air di bawah permukaan ini, mikroorganisme sangat berperan
dalam menghilangkan bahan pencemar. Mikroorganisme yang menempel
di dekat akar menguraikan bahan pencemar secara aerob; kondisi subtrat
yang aerob di dekat perakaran tumbuhan ini disebabkan oleh adanya
pasokan oksigen dari akar tanaman (Khiatuddin (2003) dalam Puspita
dkk., 2005).
17
18
d. Perlu diatur agar aliran terdistribusi secara merata pada seluruh lebar
zona inlet tersebut (Oktaviansyah, 2010).
2.3.1 Sistem Aliran Vertikal Bawah Permukaan (Vertical Sub Surface Flow)
Sistem Aliran Bawah Permukaan (sub surface flow - wetlands) merupakan
sistem pengolahan limbah yang relatif masih baru, namun telah banyak diteliti dan
dikembangkan oleh banyak negara dengan berbagai alasan. Menurut Tangahu &
Warmadewanthi dalam Supradata (2009), bahwa pengolahan air limbah dengan
sistem tersebut lebih dianjurkan karena beberapa alasan sebagai berikut :
1. Dapat mengolah limbah domestik, pertanian dan sebagian limbah industri
termasuk logam berat.
2. Efisiensi pengolahan tinggi (80%).
3. Biaya perencanaan, pengoperasian dan pemeliharaan murah dan tidak
membutuhkan ketrampilan yang tinggi.
Alasan lain yang lebih teknis dikemukakan oleh Haberl dan Langergraber
dalam Supradata (2009), bahwa berdasarkan pendekatan teknis maupun
efektivitas biaya, sistem tersebut lebih banyak dipilih dengan alasan sebagai
berikut :
1. Sistem lahan basah buatan seringkali pembangunannya lebih murah
dibandingkan dengan alternatif sistem pengolahan limbah yang lainnya.
2. Biaya
operasional
dan
pemeliharaan
yang
rendah
dan
waktu
19
Tabel 2.2 Kelebihan dan Kekurangan Dari Sub Surface Flow Wetland
Kelebihan
Penghilangan
kontaminan
Kekurangan
memiliki Membutuhkan lahan yang lebih luas
lahan
basah
buatan
dengan
metode
dari
segi
proses
persiapan
lebih
lambat
pengolahan
secara
lebih
sedikit
dalam Biaya
lebih
lahan
basah
buatan
kerusakan
ekologi
untuk
dibandingkan
mahal
diminimalkan
Kriteria desain yang sering digunakan dalam sistem lahan basah buatan
aliran bawah permukaan tersaji dalam Tabel 2.3 berikut ini.
20
Tabel 2.3 Kriteria Desain Untuk Pengolahan Pada Sub Surface Flow Wetland
Metode atau Sumber Referensi
Kriteria
ITRC dan
Desain
Tchobanoglous
Kadlec dan
WPCF
Wood
4 15
27
24
2 20
0.2 3.0
8 30
Kedalaman Media
49 79
30 60
0.001 0.008
0.001
0.002
0.0008
0.01
0.017
0.003
& Burton
HRT (hari) atau
Knight
waktu tinggal
HLR (cm/hari) atau
debit pengolahan
Disediakan
(acre/m3/day)
Sumber: Halverson (2004)
21
dengan lahan basah buatan adalah Novotny & Olem (2007) dalam Oktaviansyah,
2010):
1. Proses fisik yang terdiri dari sedimentasi dan filtrasi.
2. Proses fisik dan kimiawi, meliputi adsorpsi bahan polutan oleh tumbuhan
air, tanah dan substrat organik. Flok-flok yang terbentuk pada proses
sedimentasi akan mengadopsi partikel tersuspensi termasuk bahan organik.
3. Bahan biokimiawi, meliputi:
a. Penurunan bahan organik secara biokimiawi aerobik oleh bakteri
dalam air yang melekat pada tumbuhan, jaringan akar, serta dibagian
paling atas sedimen dan zona aerobik yang terletak di dekat aerah akar
maupun rhizome dari tumbuhan.
b. Proses nitrifikasi oleh bakteri nitrifikasi, yang dilakukan di bagian
paling atas dari sedimen pada daerah akar dan rhizome dari tumbuhan.
c. Proses denitrifikasi oleh bakteri anaerobik pada air dan sedimen.
d. Dekomposisi anaerobik terhadap bahan organik di sedimen dan air di
air pada kondisi anaerobik.
Dalam referensi lainnya dijelaskan bahwa proses pengolahan air limbah
dengan sistem ini, terdapat 4 (empat) faktor/komponen yang mempengaruhi
kinerja sistem tersebut, yaitu :
1. Media
Media yang digunakan dalam reaktor Lahan Basah Aliran Bawah
Permukaan (SSF-Wetlands) secara umum dapat berupa tanah, pasir, batuan
atau bahan bahan lainnya, namun khusus pada penelitian ini
menggunakan batuan pasir. Tingkat permeabilitas sangat berpengaruh
terhadap waktu detensi air limbah, dimana waktu detensi yang cukup akan
memberikan kesempatan kontak antara mikroorganisme dengan air
limbah, serta oksigen yang dikeluarkan oleh akar tanaman (Wood dalam
Supradata, 2009).
Pada tabel dibawah ini, disajikan karakteristik media yang umum
digunakan pada sistem Lahan Basah Buatan Aliran bawah Permukaan
yang terbagi menjadi 5 (lima) tipe, yaitu:
22
Tabel 2.4 Karakteristik Media Pada sistem Lahan Basah Buatan Aliran bawah
Permukaan
Tipe Media
Medium
Diameter
Porositas
Konduktivitas
Butiran (mm)
()
Hidrolik (ft/det)
0,30
1640
0,32
3280
0,35
16400
32
0,40
32800
128
0,45
328000
Sand
(pasir medium)
Coarse Sand (pasir
kuarsa)
Gravelly
Sand
(pasir bergranular)
Medium
Gravel
(kerikil medium)
Coarse
Gravel
(kerikil kuarsa)
Sumber: Crites & Tchobanoglous dalam Supradata (2009)
Peranan utama dari media pada Lahan Basah Buatan Aliran Bawah
Permukaan (SSF-Wetlands) tersebut adalah:
a. Tempat tumbuh bagi tanaman
b. Media berkembang-biaknya mikroorganisme
c. Membantu terjadinya proses sedimentasi.
d. Membantu penyerapan (adsorbsi) bau dari gas hasil biodegradasi
Sedangkan peranan lainnya adalah tempat terjadinya proses
transformasi kimiawi, tempat penyimpanan bahanbahan nutrien yang
dibutuhkan oleh tanaman.
2. Tanaman
Jenis tamanan yang sering digunakan untuk Lahan Basah Buatan
Aliran Bawah Permukaan adalah jenis tanaman air atau tanaman yang
tahan hidup diair tergenang (submerged plants atau amphibiuos plants).
Pada umumnya tanaman air tersebut dapat dibedakan menjadi 3 (tiga)
tipe/kelompok, berdasarkan area pertumbuhannya didalam air. Adapun
ketiga tipe tanaman air tersebut adalah sebagai berikut :
23
harus
dapat
mencukupi
kebutuhan
untuk
kehidupan
Spirillaceae,
Pseudomonadaceae,
Rhizobiaceae.
24
25
gabungan dari kedua proses tersebut. Proses pengolahan awal (primer) secara
abiotik, antara lain melalui :
1. Settling & sedimentasi, efektif untuk menghilangkan partikulat dan
padatan tersuspensi.
2. Adsorpsi dan absorpsi, merupakan proses kimiawi yang terjadi pada
tanaman, substrat, sediment maupun air limbah, yang berkaitan erat
dengan waktu retensi air limbah.
3. Oksidasi dan reduksi, efektif untuk mengikat logam-logam B3 dalam
Lahan Basah Buatan.
4. Fotodegradasi/oksidasi, degradasi (penurunan) berbagai unsure polutan
yang berkaitan dengan adanya sinar matahari.
5. Volatilisasi, penurunan polutan akibat menguap dalam bentuk gas.
Proses secara biotik, seperti biodegradasi dan penyerapan oleh tanaman
juga merupakan bentuk pengurangan polutan seperti halnya pada proses abiotik.
Beberapa proses pengurangan polutan yang dilakukan oleh mikrobia dan tanaman
dalam Lahan Basah, antara lain sebagai berikut :
1. Biodegradasi secara aerobik/anaerobik, merupakan proses metabolisme
mikroorganisme yang efektif menghilangkan bahan organik dalam Lahan
Basah.
2. Fitoakumulasi, proses pengambilan dan akumulasi bahan anorganik oleh
tanaman.
3. Fitostabilisasi, merupakan bentuk kemampuan sebagian tanaman untuk
memisahkan bahan anorganik pada akar tanaman.
4. Fitodegradasi, tanaman dapat menghasilkan enzim yang dapat memecah
bahan organik maupun anorganik dari polutan sebelum diserap, selama
proses transpirasi.
5. Rizodegradasi, akar tanaman dapat melakukan penyerapan bahan polutan
dari hasil degradasi bahan organik yang dilakukan oleh mikrobia.
6. Fitovolatilisasi / evapotranspirasi, penyerapan dan transpirasi pada daun
tanaman terhadap bahan-bahan yang bersifat volatil.
Proses penurunan polutan dalam bentuk bahan organik tinggi, merupakan
nutrient bagi tanaman. Melalui proses dekomposisi bahan organik oleh jaringan
26
Steenis
subdivisi
(2006),
purun
tikus
termasuk
dalam
Angiospermae,
kelas
Monocotyledoneae,
divisi
ordo
27
tumbuh dengan baik pada tanah sedikit lebih asam (Flach & Rumawas, 1996).
Tumbuhan ini bersifat spesifik lahan sulfat masam karena tahanan terhadap
kemasaman tanah yang tinggi (pH 2,5-3,5) sehingga menjadi vegetasi indikator
untuk tanah sulfat masam (Noor, 2004). Menurut Priatmadi dkk (2006), vegetasi
purun tikus dapat tumbuh pada pH 3, dengan kandungan aluminium (Al) sebesar
5,35 me/100 g, kandungan sulfat larut (SO4 2-) sebesar 0,90 me/100 g, dan
kandungan besi larut (Fe2+) sebesar 1,017 ppm. Oleh karena itu, purun tikus
(Eleocharis dulcis) mampu tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki
kandungan kimia tanah seperti tersebut di atas. Sebagian unsur hara yang
dibutuhkan tumbuhan diserap dari tanah melalui akar, kecuali karbon dan oksigen
yang diserap dari udara oleh daun. Sistem perakaran lebih dikendalikan oleh sifat
genetis dari tumbuhan tersebut, tetapi dapat juga dipengaruhi oleh kondisi tanah.
Faktor yang mempengaruhi pola penyebaran akar antara lain suhu tanah, aerasi,
ketersediaan air dan ketersediaan unsur hara. Jenis tumbuhan rumput-rumputan
memiliki sistem perakaran serabut yang menyebar dangkal dekat permukaan tanah
(Lakitan, 2001). Akar bergerak menuju ke daerah yang larutan tanahnya
mengandung unsur hara yang dapat ditransportasikan ke permukaan akar.
Transportasi unsur hara dari larutan tanah ke permukaan akar terjadi dengan dua
cara yaitu, aliran massa dan difusi. Mekanisme aliran massa adalah suatu
mekanisme gerakan unsur hara di dalam tanah menuju ke permukaan akar
bersama-sama dengan gerakan massa air. Selama proses transpirasi berlangsung,
terjadi proses penyerapan air oleh akar tumbuhan. Pegerakan massa air ke akar
membawa unsur hara yang terkandung dalam air tersebut (Agustina, 2004).
Purun tikus adalah salah satu tanaman air yang banyak ditemukan pada
tanah sulfat masam tipe tanah lempung atau humus yang menempati wilayah yang
terbuka/ terbakar (Flach & Rumawas, 1996). Tanaman ini diperbanyak dengan
umbi atau biji.
selama 2-3 hari, kemudian direndam dengan air bersih selama 2 hari. Kemudian
di tanam pada bedengan yang ternaungi, dengan jarak tanam berupa segi empat
berukuran 50-100 cm
Setelah
penanaman, tanah digenangi air selama 24 jam dan dibiarkan (Wardiono, 2007).
Klasifikasi purun tikus menurut Steenis (2003) adalah sebagai berikut:
28
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledoneae
Ordo
: Cyperales
Famili
: Cyperaceae
Genus
: Eleocharis
Spesies
Pada ketinggian sampai 1.350 m dpl umbi akan bertunas pada media
29
30
pH yang rendah dan kandungan Al-dd, SO42-, serta Fe terlarut yang tinggi. Purun
tikus sering kali menjadi indikator bahwa produktivitas tanah sangat rendah.
Manfaat lain Purun tikus, menurut Asikin & Thamrin (1991) berfungsi
sebagai tanaman perangkap penggerek batang padi dan Purun tikus tersebut dapat
memerangkap telur mencapai 6.000 lebih dibandingkan tanaman padi hanya
sekitar 200 butir. Purun tikus juga berpotensi sebagai sumber bahan attraktan
penggerek batang padi. Selain Purun tikus ditemukan juga jenis tanaman
perangkap lainnya yaitu Scirpus grosus, Stenochlaena palutris, Lepironea
articulata dan Phragmites karka, tetapi dari jenis tumbuhan tersebut yang paling
banyak memerangkap telur penggerek batang padi adalah Purun tikus. Selain itu
pula Purun tikus, Scirpus grosus, Stenochlaena palutris, Lepironea articulata dan
Phragmites karka, berfungsi sebagai habitat musuh alami serangga hama padi
yaitu dari ordo Arachnida, Odonata, Coleoptera, Orthoptera, Diptera dan
Hymenoptera
: Plantae
Subkerajaan
: Tracheobionta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
31
Ordo
: Arales
Famili
: Araceae
Genus
: Pistia
Spesies
: Pistia stratiotes L.
Kayu apu (Pistia stratiotes L.) merupakan salah satu jenis gulma air yang
mempunyai potensi untuk dijadikan herba. Khasiat kayu apu adalah daun kayu
apu berkhasiat sebagal obat batuk rejan, demam dan untuk pelancar air seni.
Kandungan kimia kayu apu (Pistia stratiotes L) yaitu flavonoid dan polifenol.
Menurut Arisandi (2006), kayu apu mengandung berbagai macam mineral Na, K,
Mg, Ca, Fe, Cu, Zn dan P. Kayu apu sebagai tumbuhan air yang memiliki potensi
dalam menurunkan kadar pencemaran air limbah, memiliki kadar bahan
organik tinggi. Kayu apu (Pistia stratiotes L.) merupakan salah satu tanaman
fitoremediator greywater (limbah domestik) (Ratih, 2009).
Manfaat tumbuhan air seperti kayu apu dapat mengurangi konsentrasi
limbah cair dalam limbah dapat dilakukan dengan proses fitoremediasi. Dari hasil
penelitian oleh Ulfin (2000) diketahui bahwa tanaman air ternyata seperti kayu
apu dapat menurunkan kadar pencemaran logam berat Fe dalam limbah cair.
32
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini terdiri dari enam sub bab. Pada sub bab pertama menjelaskan
rancangan penelitian, pada sub bab kedua menjelaskan bahan dan peralatan
penelitian. Pada sub bab ketiga menjelaskan variabel penelitian, pada sub bab
keempat menjelaskan lokasi penelitian. Pada sub bab kelima menjelaskan
prosedur penelitian dan teknik pengumpulan data. Terakhir pada sub bab keenam
menjelaskan analisis data pada penelitian.
33
c. Air asam tambang batubara PT. Arutmin Indonesia Tambang Asam Asam,
daerah Jorong, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan.
d. Bahan kimia untuk analisis parameter uji Fe dan Mn, meliputi air bebas
mineral; asam nitrat (HNO3) pekat; larutan standar logam besi (Fe); logam
mangan (Mn) dengan kemurnian minimum 99,0%; gas asetilen (C 2H2) HP
dengan tekanan minimum 100 psi; larutan pengencer HNO3 0,05 M; larutan
pencuci HNO3 5%; larutan kalsium.
3.2.2 Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Jerigen penampung sampel terbuat dari plastik dengan kapasitas 35 liter
sebanyak 5 buah.
b. Drum plastik dengan kapasitas 130 liter sebanyak 1 buah untuk
menghomogenkan sampel.
c. Pipa PVC inch sebagai pipa outlet pada bagian bawah reaktor sepanjang
10 cm.
d. Reaktor penelitian berbahan kayu dengan dimensi 65 cm x 35 cm x 35 cm.
Dimensi tersebut dipilih berdasarkan penelitian yang dilakukan Risnawati &
Damanhuri (2010).
e. Plastik sebagai bahan pelapis bagian dalam reaktor kayu.
f. Gayung plastik sebagai alat menyiram tanaman
g. Ember plastik sebagai alat penampung air sebelum dipindahkan kedalam
reaktor.
h. Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) sebagai alat untuk mengukur kadar
besi dan mangan.
i.
Botol plastik sebagai tempat menampung sampel air yang akan diuji.
j.
Kain sebagai alat penahan antara tanah dengan pipa agar tidak terjadi
penyumbatan.
34
Variabel terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kadar besi dan mangan effluent
pada reaktor lahan basah buatan Sistem Aliran Vertikal Bawah Permukaan
(vertical subsurface flow) menggunakan tanaman purun tikus (Eleocharis dulcis),
dan kayu apu.
3.4 Lokasi Penelitian
Lokasi-lokasi yang digunakan sebagai tempat penelitian ini adalah:
a. PT. Arutmin Indonesia Tambang Asam Asam
Lokasi pengambilan contoh air asam tambang batubara di salah satu kolam pit
PT. Arutmin Indonesia Tambang Asam Asam.
b. Desa Puntik Tengah
Lokasi pengambilan contoh tanaman purun tikus (Eleocharis dulcis) dan tanah
sulfat masam.
c.
Rawa di daerah desa Tungkaran untuk mengambil tanaman kayu apu (Pistia
stratiotes)
tempat
pengujian
kadar
Fe
dan
Mn
menggunakan
35
36
2. Pengoperasian Reaktor
a. Memasukkan air asam tambang batubara PT. Arutmin Indonesia Tambang
Asam Asam ke dalam drum plastik dan melakukan pengadukan, hal ini
berfungsi untuk menghomogenkan air asam tambang batubara.
b. Setelah air asam tambang batubara homogen, kemudian memasukkan air
asam tambang batubara kedalam masing-masing reaktor.
c. Mengisi air asam tambang batubara sampai batas ketinggian reaktor atau
sekitar 11 liter air asam tambang batubara.
d. Mengambil sampel air effluent dari reaktor dan menempatkannya dalam
botol plastik berkapasitas 330 ml untuk pengujian parameter Fe dan Mn.
e. Melakukan analisis laboratorium terhadap parameter air asam tambang
batubara dan media tanah sesuai dengan standar, yaitu :
1. Untuk air Fe sesuai dengan SNI 6989.4:2009
2. Untuk air Mn sesuai dengan SNI 6989.5:2009
f. Melakukan pengujian di Laboratorium Dasar, Fakultas MIPA, Universitas
Lambung Mangkurat.
g. Melakukan analisis data yang disajikan dalam tabulasi data berupa tabel
dan grafik serta analisis deskriptif, yaitu dengan membandingkan data
hasil analisis kandungan Fe dan Mn pada air asam tambang batubara
sebelum perlakuan dengan setelah perlakuan pada reaktor.
3. Teknik Pengumpulan Data
Data didapatkan dari hasil pengujian laboratorium dengan pengukuran
nilai kadar Besi dan Mangan pada air sebelum dan sesudah pengoperasian setiap
harinya, selama 14 hari penelitian.
37
Ide Studi
Observasi Awal
Studi Literatur
Identifikasi
Masalah
38
Data-data yang diperoleh tersebut harus diringkas dengan baik dan teratur,
baik dalam bentuk tabel atau presentasi grafik sebagai dasar untuk pengambilan
keputusan. Penyajian data yang digunakan dalam statistik deskriptif seperti:
1. Tabel
2. Presentasi grafis seperti scatter, line chart dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan maka dilakukan analisis ragam (Uji
F), selanjutnya jika perlakuan berpengaruh terhadap parameter yang diukur maka
dilanjutkan dengan uji LSD pada taraf kesalahan 5%.
39
BAB VI
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini menjelaskan hasil dan pembahasan dari penelitian yang telah
dilakukan. Terdiri dari dua sub bab. Pada sub bab pertama menjelaskan hasil
penelitian. Pada sub bab kedua menjelaskan hasil yang didapat selama proses
penelitian dilakukan, terdapat nilai besi (Fe) dan mangan (Mn) baik itu dari data
inffluent maupun hasil effluent dari reaktor penelitian.
4.1. Hasil Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode sistem Lahan Basah Buatan Aliran
Vertikal Bawah Permukaan menggunakan tanaman Purun Tikus (Eleocharis
dulcis) dan Kayu Apu (Pistia stratiotes) sebagai biofilter. Dimensi reaktor adalah
65 cm x 35 cm x 35 cm, yang mana didasari dari penelitian sebelumnya oleh
Risnawati & Damanhuri (2010). Ketinggian media yaitu berupa tanah sulfat
masam yang digunakan adalah 30 cm yang mana merupakan kriteria desain
minimal yang diperbolehkan oleh Kadlec dan Knight dalam Halverson (2004).
Volume air yang akan diolah yaitu berupa air asam tambang digunakan sebanyak
11 liter, air asam tambang itu sendiri diambil dari salah satu settling pond di PT.
Arutmin Asam Asam. Pengaliran alir pada reaktor ini menggunakan sistem
vertikal menurun dengan memanfaatkan gaya gravitasi secara batch bertingkat.
Tanaman yang digunakan adalah tanaman purun tikus (Eleocharis dulcis)
dan kayu apu (Pistia stratiotes) yang telah dipilih dan diaklimatisasi terlebih
dahulu selama 3 hari, yang ditandai dengan pertambahan tinggi batang pada purun
tikus dan kelopak daun segar pada kayu apu. Media tanam yang digunakan adalah
tanah sulfat masam. Baik tanaman Purun Tikus dan tanah sulfat masam, keduanya
diambil di daerah Puntik Tengah, Kabupaten Barito Kuala. Sedangkan tanaman
Kayu Apu diambil di derah rawa Tungkaran, Martapura.
Pengambilan sampel dilakukan pemilihan secara sengaja dengan
pertimbangan tertentu yang dianggap penting dan dapat mewakili keadaan
(Siegel,2009). Tanaman purun tikus dan kayu apu yang diambil merupakan
anakan, dengan pertimbangan tingkat penyerapan Fe dan Mn yang cukup tinggi.
40
41
mangan (Mn). Dari data hasil laboratorium didapat nilai air asam tambang
tersebut memiliki kadar besi 76,40 ppm dan kadar mangan sebesar 10,87 ppm.
seperti tertera di Tabel 4.1
Satuan
Data Awal*
Baku Mutu **
mg/l
76,4
mg/l
10,87
pH
Peningkatan pH
Awal
Akhir
3,04
4,77
1,73
3,04
5,12
2,08
3,04
5,63
2,59
3,04
5,22
2,18
42
Waktu
Peningkatan pH
Tinggal (hari)
Awal
Akhir
4,77
5,07
2,03
5,12
6,25
3,21
5,63
6,77
3,73
5,22
6,39
3,35
Hasil pengukuran awal pH pada air asam tambang sebesar 3,04 dan setelah
melalui proses treatment dalam lahan basah buatan dengan sistem reaktor batch
bertingkat kemudian dilakukan pengukuran berdasarkan waktu tinggal yang telah
ditentukan, nilai pH berkisar antara 4,77 sampai 6,39. Ketersediaan logam-logam
tanah untuk tanaman berkaitan dengan pH tanah itu sendiri. Dalam penelitian
Mevi (2012) mengatakan bahwa peningkatan pH larutan tanah bersifat
menstabilkan reduksi Fe3+, sehingga dihasilkan ion Fe2+ dalam konsentrasi tinggi.
Meningkatnya nilai pH tanah dimulai dengan reduksi nitrat (NO 3-) menjadi ion
amonium (NH4+). Setelah semua nitrat lenyap, sebarang oksida-mangan (MnO2)
yang ada akan direduksi menjadi ion Mn2+. Kemudian reduksi Fe3+ (ferri-oksida)
mulai terjadi, yang menghasilkan Fe2+ (ferro) yang melimpah, dan peningkatan
pH oleh karena dihasilkannya senyawa hidrokarbonat dalam larutan tanah.
Tabel 4.2 dan 4.3 menunjukkan pH tanah berada dalam rentang 4 6,
dimana pada pH ini ketersediaan ion logam untuk tanaman lebih banyak sehingga
lebih mudah diserap oleh tanaman. Suasana asam akan membantu terciptanya
proses reduksi ion logam dalam tanah sehingga besi dan mangan akan terurai
menjadi logam yang mudah dipertukarkan.
43
4.1.2. Penurunan Fe
Berikut grafik penurunan effluen besi (Fe) dan efisiensi dapat dilihat pada
Gambar 4.1 dan Gambar 4.2
Fe (ppm)
2016,494
15
10
6,83
6,185
5,827
Effluent
5
0
1
Hari
R (%)
94
92
90
88
86
84
82
8078,41
92,37
91,06
91,90
78
76
1
Hari
Pada Gambar 4.1 dan Gambar 4.2 dapat dilihat nilai effluen Fe pada hari
pertama sebesar 16,94 dengan efisiensi 78,4%, pada hari ketiga sebesar 6,83
dengan efisiensi 91,06% pada hari kelima sebesar 5,82 dengan efisiensi 92,37%,
dan pada hari ketujuh sebesar 6,185 dengan efisiensi 91,90%.
44
4.1.3. Penurunan Mn
Berikut grafik penurunan effluen Mangan (Mn) dan efisiensi dapat dilihat
pada Gambar 4.3 dan Gambar 4.4
4,08
Mn (ppm)
4
3
2,29
1,99
1,34
Effluent
1
0
1
Hari
R (%)
98,24
98,5
98
97,5
97
96,5
96
95,5
95
94,5
94
97,39
96,99
94,65
Hari
Pada Gambar 4.3 dan Gambar 4.4 dapat dilihat nilai effluen Fe pada hari
pertama sebesar 4,08 dengan efisiensi 94,65%, pada hari ketiga sebesar 1,99
dengan efisiensi 97,39% pada hari kelima sebesar 1,34 dengan efisiensi 98,24%,
dan pada hari ketujuh sebesar 2,29 dengan efisiensi 96,99%.
45
4.2. Pembahasan
Pada penelitian ini yang digunakan adalah sistem lahan basah buatan
aliran vertikal bawah permukaan dengan metode batch bertingkat. Pada penelitian
ini, sistem aliran vertikal yang digunakan adalah aliran vertikal menurun yang
memanfaatkan gaya gravitasi atau downflow. Pada aliran tipe vertikal menurun,
air dialirkan ke dalam lahan basah buatan dari lapisan atas media dan saluran
outlet dibuat di dasar media, sehingga air akan mengalir kebawah dengan
melewati zona akar dengan gaya gravitasi. Pada sistem aliran vertikal menurun ini
diharapkan adanya kontak langsung antara zona perakaran tanaman purun tikus
dengan air asam tambang batubara. Sehingga proses penurunan Fe dan Mn dapat
tercapai. Selain itu mikroorganisme juga diharapkan dapat berperan dalam sistem
ini.
4.2.1. Penurunan Fe
Proses yang terjadi dalam sistem pengolahan air limbah, dengan lahan
basah buatan adalah proses fisik yang terdiri dari sedimentasi dan filtrasi.
Sedimentasi atau pengendapan adalah suatu unit operasi untuk menghilangkan
materi tersuspensi atau flok kimia secara gravitasi. Hal ini dibuktikan dengan
adanya penambahan konsentrasi pada media tanam tanah sulfat masam. Proses
sedimentasi tersebut terjadi ketika konsentrasi besi mengalami pengendapan
dalam waktu tinggal selama penelitian berlangsung. Sedangkan proses filtrasi bisa
terjadi pada tanaman purun tikus, kayu apu, maupun pada media. Dikarenakan
juga karena air olahan yang akan disaring berupa cairan yang mengandung butiran
halus atau bahan-bahan yang larut dan menghasilkan endapan, maka bahan-bahan
tersebut dapat dipisahkan dari cairan melalui filtrasi. Pada tanaman purun tikus
dan kayu apu, berperan sebagai biofilter, dimana proses tersebut terjadi karena
kemampuan sistem perakaran membentuk filter yang dapat menahan dan meyerap
logam Fe yang terdapat dalam air limbah, sedangkan pada media, proses filtrasi
terjadi ketika partikel-partikel tanah sulfat masam yang memiliki pori
memisahkan logam Fe yang terlarut dalam sampel air asam tambang batubara.
Konsentrasi Fe awal pada air asam tambang batubara menunjukkan
penurunan. Sedangkan adanya kenaikan konsentrasi effluent Fe pada hasil data
46
47
4.2.2. Penurunan Mn
Pada logam Mn, penurunan konsentrasi effluent dimulai dari hari ke-1
hingga hari ke-7 dengan dua kali pengulangan. Pada hari tertentu terjadi kenaikan
konsentrasi Mn. Kecenderungan penurunan konsentrasi Mn pada reaktor lahan
basah buatan aliran vertikal bawah permukaan dikarenakan adanya pengaruh
mikroorganisme yang sangat berperan dalam menghilangkan bahan pencemar.
Mikroorganisme yang menempel di tanaman menguraikan bahan pencemar secara
48
aerob; kondisi subtrat yang aerob di tumbuhan ini disebabkan oleh adanya
pasokan oksigen dari akar tanaman. Sehingga penurunan konsentrasi logam Mn
juga dimungkinkan adanya peran dari mikroorganisme yang terdapat di zona
perakaran tanaman purun tikus dan kayu apu. Adanya pasokan oksigen dari akar
tanaman, maka akan terjadi proses oksidasi selain adanya peran mikroorganisme,
yang mana sangat efektif dalam menurunkan kandungan logam Mn pada air asam
tambang batubara.
Selain proses fisik terdapat pula proses fisik dan kimiawi, meliputi
adsorpsi bahan polutan oleh purun tikus dan tanah sulfat masam. Proses adsorpsi
bahan polutan oleh tanaman purun tikus dapat terlihat dari adanya penurunan
konsentrasi logam Mn, meskipun konsentrasi serapan logam oleh tanaman purun
tikus terbilang sangat sedikit dibandingkan dengan tanah sulfat masam sebagai
media tanam. Hal ini didukung dari data hasil penelitian paralel Latifah (2014)
yang meneliti tentang serapan Fe dan Mn pada tanaman purun tikus dan kayu apu
dan penelitian Alpian (2014) yang meneliti tentang dinamika Fe dan Mn pada
media tanam yaitu tanah sulfat masam. Proses yang terakhir adalah bahan
biokimiawi, meliputi: penurunan bahan organik secara biokimiawi aerobik oleh
bakteri dalam air yang melekat pada tumbuhan, jaringan akar, serta dibagian
paling atas sedimen dan zona aerobik yang terletak di dekat daerah akar maupun
rhizome dari tumbuhan. Dalam sistem pengaliran air di bawah permukaan ini,
mikroorganisme sangat berperan dalam menghilangkan bahan pencemar.
Mikroorganisme yang menempel di dekat akar menguraikan bahan pencemar
secara aerob; kondisi subtrat yang aerob di dekat perakaran tumbuhan ini
disebabkan oleh adanya pasokan oksigen dari akar tanaman. Sehingga penurunan
konsentrasi logam Mn juga dimungkinkan adanya peran dari mikroorganisme
yang terdapat di zona perakaran tanaman purun tikus. Adanya pasokan oksigen
dari akar tanaman, maka akan terjadi proses oksidasi karena adanya peran
mikroorganisme, yang mana sangat efektif dalam menurunkan kandungan logam
Mn pada air asam tambang batubara.
Pada penelitian ini media yang digunakan adalah tanah sulfat masam
untuk purun tikus, sedangkan kayu apu tidak menggunakan media. Kandungan
Mn pada air asam tambang diukur terlebih dahulu sebelu diolah dalam sistem
49
lahan basah buatan ini. Setelah pengoperasian reaktor selama 14 hari,sampel air
diukur masing masing sesuai urutan hari yang telah ditetapkan.
Hubungan antara waktu dengan konsentrasi effluent besi disajikan dengan
grafik garis, sehingga dapat dilihat secara visual dengan menyesuaikan hubungan
antara keduanya. Grafik garis digunakan untuk melihat trend penurunan data.
Berdasarkan hasil grafik tersebut maka dapat dijadikan patokan pengambilan
kesimpulan dalam menentukan interval waktu efektif untuk menurunkan
konsentrasi effluent besi dalam sistem lahan basah buatan aliran vertikal bawah
permukaan dengan sistem batch bertingkat. Grafik penurunan Mangan (Mn) dapat
dilihat pada Gambar 4.2 Namun grafik saja tidak cukup untuk melihat perlakuan
hari efektif, untuk itu penggunaan uji statistik diperlukan.
Berdasarkan uji statistik dapat dilihat bahwa perlakuan hari berpengaruh
sangat nyata terhadap penurunan kandungan mangan (Mn) di dalam air. Pada uji
statistik ini, diketahui bahwa perlakuan pada hari ke 3,5, dan 7 tidak berbeda
nyata (non significant) dikarenakan data yang dihasilkan tidak berbeda jauh.
Namun apabila dikaitkan lagi dengan nilai ambang batas atau baku mutu limbah
cair tentunya berbeda. Sama halnya dengan Fe, pada Mn perlakuan dari hari ke 1
sampai dengan hari ke 5 mengalami penurunan yang sangat baik, pada reaktor
hari ke 3 nilai Mn sudah memenui baku mutu, pada hari ke 5 nilai semakin
membaik, namun pada hari ke 7 keadaan air mulai jenuh Mn dan mengalami
sedikit kenaikan kandungan Mn. Hal ini disebabkan karena media mengeluarkan
Mn dapat dilihat dari penelitian Alpian (2014) nilai kandungan Mn pada tanah
menurun pada hari ke 7. Dapat disimpulkan, media tanah sufat masam
mengeluarkan mangan ke air sehingga kandungan Mn pada air kembali
meningkat.
Dari hasil analisis data penelitian maka didapatlah total efesiensi
penurunan besi dan mangan pada reaktor. Pada parameter besi maupun mangan
diperoleh waktu kontak efektif pada hari ke 3, hasil ini didapat berdasarkan
analisis uji statistik dan dikaitkan dengan nilai ambang batas/baku mutu limbah
cair pertambangan. Pengertian efektif di sinipun dikaitkan dengan waktu dan
biaya apabila diterapkan ke lapangan. Penambahan waktu treatment tidak
berdampak besar terhadap perubahan kenaikan besi maupun mangan, walaupun
50
97,39%.
Tabel 4.4 Efesiensi Penurunan Besi (Fe) dan Mangan (Mn)
Effluent Fe
Hari 1
Hari 3
Hari 5
Hari 7
16,494
6,83
5,827
6,185
Effluent Mn
Hari 1
Hari 3
Hari 5
Hari 7
4,085
1,9915
1,3445
2,295
Total Penurunan Fe
59,906
69,57
70,573
70,215
Total Penurunan Mn
72,315
74,4085
75,0555
74,105
Efesiensi
Penurunan(%)
78,41
91,06
92,37
91,90
Efesiensi
Penurunan(%)
94,65
97,39
98,24
96,99
51
BAB V
KESIMPULAN
5.1.Kesimpulan
Pada penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu
1. Besar penurunan parameter uji (Fe dan Mn) pada pengolahan air asam
tambang dengan sistem Lahan Basah Buatan Aliran Vertikal Bawah
Permukaan VSSF-Constructed Wetlands menggunakan tanaman Purun
tikus (Eleocharis dulcis), dan Kayu Apu (Pistia stratiotes) menggunakan
metode Batch bertingkat didapat hasil yaitu untuk besi (Fe) sebesar
91,06% dan untuk mangan (Mn) sebesar 97,39%.
2. Interval waktu kontak efektif dan optimal yang dibutuhkan dalam
pengolahan air asam tambang dengan tanaman Purun tikus (Eleocharis
dulcis), dan Kayu Apu (Pistia stratiotes) pada sistem pengolahan tersebut
yaitu reaktor pada interval hari ke 3.
5.2.Saran
Pada penelitian yang telah dilakukan maka saran yang dapat diberikan, yaitu
1.
2.
52
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, L. 2004. Dasar Nutrisi Tumbuhan (edisi revisi). PT Rineka Cipta. Jakarta.
Alpian, Nor. 2014. Dinamika Fe dan Mn di dalam Tanah pada Proses Fitoremediasi
Menggunakan Tanaman Purun Tikus (Eleocharis dulcis) pada Air Asam
Tambang dalam Lahan Basah Buatan. In progress. Program Studi Teknik
Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru
Aribawa. I.B. 2001. Pengaruh Dosis Kapur dan Bahan Organik Purun Tikus
Terhadap Perubahan Sifat Kimia Tanah dan Hasil Padi di Lahan Sulfat
Masam. Laporan Hasil Penelitian Bag. Pro. Sumberdaya
Lahan. Puslitbangtanak. Bogor.
Asikin, S. 2001. Intensitas Serangan Penggerek Batang Padi di Lahan Pasang
Surut. Laporan Hasil Penelitian. Balittra. Banjarbaru.
Chen, Mengzhi, Yingying Tang, Xianpo Li, & Zhaoxiang Yu. 2009. Study on the
Heavy Metals Removal Efficiencies of Constructed Wetlands with
Different Substrates. J. Water Resources and Protection, Volume 1, Pages
1-57.
Costello, C. 2003. Acid Mine Drainage: Innovative Treatment Technologies.
Environmental Protection Agency
Flach, M. & F. Rumawas.1996. Plants Yielding Non-Seed Carbohydrates. Plant
Resources of South-East Asia (PROSEA). 9:97-100.http://www.prosea.org
Diakses tanggal 13 Mei 2014.
Halverson, Nancy V. 2004. Review of Constructed Subsurface Flow vs. Surface
Flow Wetlands. Westinghouse Savannah River Company. U.S.
Hardiansyah. 1995. Jenis-jenis Tumbuhan Palatable dan Kemelimpahannya pada
Padang Penggembalaan Kerbau Rawa (Bulbalus bulbalis Linn.) di Desa
Pandak Daun Kec. Daha Utara Kab. HSS. Inovasi Teknologi Pengelolaan
Sumberdaya Lahan Rawa.
Henny, C., Ajie. GS., & Susanti. E. 2012. Pengolahan Air Asam Tambang
Menggunakan Sistem Passive Treatment. Jakarta
Hoffmann, Heike, Christoph Platzer, Martina Winker & Elisabeth von Muench.
2011. Technology review of constructed wetlands. Subsurface flow
constructed wetlands for greywater and domestic wastewater treatment.
53
54
(Lactuca
sativa)
secara
Masam.
55
LAMPIRAN
56
Lampiran 1
Contoh pehitungan
Hari 1
Hari 3
Hari 5
Hari 7
Fe
41,96
17,464
9,275
11,602
16,494
6,83
5,827
6,185
Hari 1
Hari 3
Hari 5
Hari 7
Mn
5,643
2,653
1,928
2,4495
4,085
1,9915
1,3445
2,295
Total Penurunan
Fe (ppm)
59,906
69,57
70,573
70,215
Total Penurunan
Mn (ppm)
72,315
74,4085
75,0555
74,105
Efesiensi
Penurunan(%)
78,41099476
91,06020942
92,37303665
91,90445026
Efesiensi
Penurunan(%)
94,65314136
97,39332461
98,24018325
96,9960733
a. Parameter Fe
ANALISIS RAGAM RAL SATU FAKTOR
Ulangan
Perlakuan
(kode)
awal
Hari 1
Hari 3
Hari 5
Hari 7
Jumlah
76,500
13,088
5,770
5,334
5,670
106,4
76,4
19,900
7,890
6,320
6,700
117,2
Jumlah
Rata-rata
152,90
32,99
13,66
11,65
12,37
223,6
76,45
16,49
6,83
5,83
6,19
22,4
F-tabel
Sumber
Keragaman
db
Perlakuan
Galat
Total
4
5
9
JK
KT
7472,58 1868,14
26,47
5,29
7499,05
F-hitung
352,87
**
KK =
5%
5,19
1%
Pvalue
11,39 0,000
10,29%
57
2
5
5,29
Jarak Nyata
:
LSD 5%
LSD 1%
5,91
9,27
No Urut A-Z
Kode
Nilai
tengah
1
2
3
4
5
AAT
H1
H3
H5
H7
76,45
16,49
6,83
5,83
6,19
Pilih LSD
:
5%
muh_mahbub@yahoo.co.id
Nilai
No.
Kode
Tengah
(A-Z)
1
H5
5,83
2
H7
6,19
3
H3
6,83
4
H1
16,49
5
AAT
76,45
ns = non
Ket : significant
s = significant
H5
ns
ns
ns
s
s
H7
ns
ns
s
s
H3
ns
s
s
H1
ns
s
AAT
ns
Superskrip
a
a
a
b
c
58
b. Parameter Mn
ANALISIS RAGAM RAL SATU FAKTOR
Perlakuan
(kode)
awal
Hari 1
Hari 3
Hari 5
Hari 7
Jumlah
Sumber
Keragaman
Perlakuan
Galat
Total
Ulangan
1
2
10,900
10,9
3,970
4,200
1,390
2,593
1,503
1,186
2,460
2,130
20,2
21,0
Jumlah
Rata-rata
21,75
8,17
3,98
2,69
4,59
41,2
10,88
4,09
1,99
1,34
2,30
4,1
db
JK
KT
4
5
9
122,39
0,86
123,25
30,60
0,17
Data dari
Tabel
Anova
Nilai
n
db galat
KT galat
2
5
0,17
Jarak
Nyata :
LSD 5%
LSD 1%
1,06
1,66
F-hitung
178,73
**
KK =
F-tabel
P5%
1% value
5,19 11,39 0,000
10,05%
59
No Urut A-Z
Kode
Nilai
tengah
1
2
3
4
5
AAT
H1
H3
H5
H7
10,88
4,09
1,99
1,34
2,30
Pilih LSD
:
5%
muh_mahbub@yahoo.co.id
Nilai
No.
Kode
Tengah
(A-Z)
1
H5
1,34
2
H3
1,99
3
H7
2,30
4
H1
4,09
5
AAT
10,88
Ket : ns = non significant
s = significant
H5
ns
ns
ns
s
s
H3
ns
ns
s
s
H7
ns
s
s
H1
ns
s
AAT
ns
Superskrip
a
a
a
b
c