Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
JOURNAL READING
MARET 2014
RESUSITASI CAIRAN
John A. Myburgh, M.B., B.Ch., Ph.D., and Michael G. Mythen, M.D., M.B., B.S.
DISUSUN OLEH
NOR SYAHIDA BINTI SULAIMAN
C 111 09 871
PEMBIMBING
dr. Asrah Alimin
KONSULEN
Dr. dr. Syafri K. Arif, Sp.An-KIC-KAKV
Nim
: C 111 09 871
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Anestesi, Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.
Makassar Maret 2014
Mengetahui :
Supervisor,
Pembimbing,
RESUSITASI CAIRAN
John A. Myburgh, M.B., B.Ch., Ph.D., and Michael G. Mythen, M.D., M.B., B.S.
lebih
dibandingkan
dengan
larutan
kristaloid
dalam
mempengaruhi
hemodinamika. Albumin dianggap sebagai standar larutan koloid, namun zat ini
memiliki sejumlah keterbatasan jika harus digunakan dalam praktek rutin. Meskipun
albumin dianggap aman sebagai larutan resusitasi pada pasien yang sakit berat dan
yang mengalami sepsis dini, namun penggunaan zat ini berhubungan dengan
peningkatan mortalitas untuk pasien yang mengalami cedera otak traumatik.
Penggunaan larutan hydroxyethyl starch (HES) berhubungan dengan peningkatan
insidensi terapi ganti ginjal dan efek samping lain jika digunakan untuk pasien
intensive care unit (ICU). Tidak ada bukti yang merekomendasikan penggunaan
larutan koloid semisintetik.
Larutan garam seimbang merupakan cairan resusitasi yang sering digunakan
pada awal terapi, namun hanya sedikit bukti langsung yang menunjukkan keamanan
dan khasiat zat ini. Penggunaan saline normal berhubungan dengan asidosis
metabolik dan cedera ginjal akut. Sedangkan tingkat keamanan larutan hipertonik
hingga saat ini belum diketahui.
masing-masing
cairan
agar
dapat
memaksimalisasi
khasiat
dan
meminimalisasi toksisitas.
Riwayat Resusitasi Cairan
Pada tahun 1832, Robert Lewins menjelaskan tentang efek larutan garam
alkali yang diberikan secara intravena untuk pasien yang mengalami pandemik
kolera. Dia menemukan bahwa kuantitas cairan yang perlu diinjeksikan pada pasien
kolera kemungkinan besar bergantung pada kuantitas serum yang hilang; tujuan
pemberian cairan adalah untuk mengembalikan sirkulasi pasien seperti keadaan
normalnya. Observasi Lewin yang ditemukan pada 200 tahun lalu, masih relevan
dengan temuan terkini.
Resusitasi cairan tanpa menggunakan darah di era moderen semakin maju
akibat temuan Alexis Hartmann, yang berhasil memodifikasi larutan garam fisiologis
yang sebelumnya sudah dikembangkan oleh Sidney Ringer pada tahun 1885 untuk
rehidrasi pasien anak yang mengalami gastroenteritis. Dengan adanya pengembangan
fraksinasi darah pada tahun 1942, albumin manusia berhasil diberikan dalam jumlah
besar untuk pertama kalinya berguna menjadi resusitasi pasien yang mengalami luka
bakar akibat serangan di Pearl Harbour pada tahun yang sama.
Saat ini, cairan non-darah hampir digunakan pada semua pasien yang
menjalani anestesia untuk bedah mayor, pada pasien yang mengalami trauma dan
luka bakar berat, dan pada pasien yang dirawat di ICU. Pemberian cairan telah
menjadi salah satu intervensi yang paling sering digunakan dalam pengobatan akut.
Terapi cairan hanyalah salah satu komponen dari suatu strategi resusitasi
hemodinamika. Tujuan utama pemberian cairan adalah mengembalikan volume
intravaskuler. Karena aliran balik vena setara dengan curah jantung, maka respon
simpatetik yang mengatur sirkulasi eferen kapasitansi (vena) dan aferen konduktansi
(arterial) hampir sama dengan yang mengatur kontraktilitas myokardial. Terapi
tambahan untuk resusitasi cairan, seperti penggunaan katekolamine untuk
meningkatkan kontraksi jantung dan aliran balik vena, dapat dipertimbangkan untuk
sebagai terapi awal untuk mendukung sirkulasi yang gagal. Selain itu, kita harus
mempertimbangkan efek pemberian cairan terhadap fungsi organ akhir dan
mikrosirkulasi organ vital yang terus-menerus mengalami perubahan saat berada
dalam kondisi patologis.
Namun temuan terkini mulai meragukan model klasik tersebut. Suatu jaringan
glycoprotein dan proteoglikan berbentuk membran pada sel endotel, berhasil
diidentifikasi dan diberi nama lapisan glycocalyx endotelial (gambar 1). Ruang
subglycocalyx dapat menghasilkan tekanan onkotik koloid yang sangat penting dalam
mengatur aliran cairan transkapiler. Kapiler nonpermeabel yang melewati ruang
interstisial juga berhasil diidentifikasi, hal ini mengindikasikan bahwa absorpsi cairan
tidak terjadi melalui kapiler venosa. Semua cairan dari ruang interstisial, yang masuk
melalui banyak pori-pori, dikembalikan ke sirkulasi sebagai limfe, yang kemudian
dapat regulasi secara simpatetik.
Struktur dan fungsi lapisan glycocalyx endotelial merupakan salah satu
penentu utama permeabilitas membran pada berbagai sistem vaskuler organ.
Integritas, atau kebocoran pada lapisan ini, dapat berpotensi mengakibatkan edema
interstisial, terutama pada kondisi inflamasi, seperti sepsis, dan pada kondisi pascabedah atau trauma.
Albumin
Albumin manusia (4-5%) dalam saline dianggap sebagai larutan koloid
standar. Zat ini diproduksi dari proses fraksionasi darah, yang kemudian dipanaskan
untuk mencegah penyebaran virus patogenik. Zat ini cukup mahal untuk diproduksi
dan didistribusikan, serta sangat jarang ditemukan pada negara-negara yang miskin
atau berkembang.
Pada
tahun
1998,
Cochrane
Injuries
Group
Albumin
Reviewer
Sebagai salah satu efek dari meta-analisis tersebut, para peneliti Australia dan
Selandia Baru melakukan penelitian Saline Versus Albumin Fluid Evaluation (SAFE).
Penelitian yang bersifat acak terkontrol dan tersamar ganda ini, melibatkan 6997
orang dewasa yang dirawat di ICU. Para pasien itu diberikan albumin selama
perawatan. Penelitian ini menakar efek resusitasi yang menggunakan albumin 4% dan
efek resusitasi yang menggunakan saline, terhadap insidensi kematian dalam 28 hari.
Penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan antara albumin dan saline terhadap
insidensi kematian (relative risk, 0.99; 95% CI, 0.91 to 1.09; P = 0.87) maupun
terhadap insidensi kegagalan organ.
Analisis tambahan dari penelitian SAFE telah memberikan pemahaman baru
mengenai resusitasi cairan pada pasien yang dirawat di ICU. Resusitasi yang
menggunakan albumin berhubungan dengan peningkatan insidensi kematian dalam 2
tahun terutama untuk pasien cedera otak traumatik (relative risk, 1.63; 95% CI,
1.17 to 2.26; P = 0.003). Peningkatan insidensi kematian berhubungan erat dengan
peningkatan tekanan intrakranial, terutama selama minggu pertama setelah cedera.
Resusitasi dengan menggunakan albumin juga berhubungan dengan penurunan resiko
kematian selama 28 hari untuk pasien yang mengalami sepsis berat (odds ratio, 0.71;
95% CI, 0.52-0.97; P=0.03), hal ini menunjukkan bahwa albumin dapat bermanfaat
untuk pasien sepsis berat. Namun untuk pasien yang mengalami hipoalbuminemia,
pemberian albumin tidak mempengaruhi insidensi kematian dalam 28 hari (kadar
albumin, 25 g per liter) (odds ratio, 0.87; 95% CI,0.73-1.05).
Dari penelitian SAFE, tidak ditemukan adanya perbedaan antara kristaloid
dan koloid jika dilihat dari indikator hemodinamika, seperti MAP atau denyut
jantung, namun penggunaan albumin berhubungan dengan peningkatan tekanan vena
sentral. Rasio volume albumin terhadap volume saline yang diberikan untuk
mencapai hasil seperti itu adalah 1:1.4.
Pada tahun 2011, para peneliti di Afrika sub-Sahara membuat penelitian acak,
terkontrol Fluid Expansion as
membandingkan penggunaan bolus albumin atau bolus saline dengan resusitasi cairan
tanpa bolus terhadap 3141 pasien pediatrik febris yang mengalami gangguan perfusi.
Pada penelitian ini diketahui bahwa resusitasi yang diberikan melalui bolus albumin
atau saline dapat mengakibatkan insidensi kematian dalam 48 jam yang hampir sama
jumlahnya, namun apabila dibandingkan dengan terapi non-bolus, maka terapi bolus
saline atau koloid memiliki insidensi kematian dalam 48 jam yang lebih tinggi
(relative rsik, 1.45;95% CI, 1.13-1.86; p=0.003). Penyebab utama kematian pada para
pasien tersebut justru kolaps kardiovaskuler, bukannya kelebihan cairan ataupun
faktor neurologis, hal ini menunjukkan bahwa ada interaksi yang merugikan antara
bolus resusitasi cairan dengan respon kompensasi neurohormonal. Meskipun
percobaan ini dilakukan pada populasi pediatrik tertentu yang fasilitas perawatan
kritisnya tidak ada atau terbatas, namun hasil penelitian ini juga mempertanyakan
peranan bolus resusitasi cairan, baik yang berupa albumin ataupun saline.
Berbagai penelitian tersebut meragukan konsep fisiologis mengenai khasiat
albumin dan peranannya sebagai cairan resusitasi. Pada penyakit akut, albumin
nampaknya memberikan efek hemodinamika dan luaran yang menyerupai saline.
Meskipun untuk populasi pasien tertentu, seperti sepsis berat, resusitasi albumin
masih membutuhkan konfirmasi lebih lanjut.
Koloid Semisintetik
Keterbatasan dan mahalnya albumin manusia telah memicu pengembangan
dan penggunaan cairan koloid semisintetik selama 40 tahun terakhir. Secara global,
cairan HES telah menjadi koloid semisintetik yang paling banyak digunakan,
terutama di Eropa. Koloid semisintetik lainnya antara lain gelatin suksinil, sediaan
gelatin-polygeline yang berikatan dengan urea, dan dextran. Penggunaan cairan
dextran telah tergantikan oleh jenis cairan koloid semisintetik lainnya.
konsisten dengan percobaan terdahulu yang menggunakan HES 10% (200/0.5) pada
populasi pasien yang sama.
Dari percobaan acak terkontrol, tersamar ganda, yang disebut Crystalloid
versus Hydroxyethyl Starch Trial (CHEST), yang melibatkan 7000 orang dewasa di
ICU, penggunaan HES 6% (130/0.4) jika dibandingkan dengan saline, justru
ditemukan tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam aspek insidensi kematian
selama 90 hari (relative risk, 1.06; 95% CI, 0.96-1.18; p=0.26). Namun, penggunaan
HES berhubungan dengan peningkatan relatif insidensi terapi ganti ginjal.
Penelitian Skandinavia dan CHEST menunjukkan bahwa HES dan kristaloid
tidak memiliki perbedaan yang signifikan jika ditilik dari indikator hemodinamika,
meskipun pada penelitian CHEST terlihat bahwa penggunaan HES dapat
meningkatkan tekanan vena sentral dan menurunkan penggunaan vasopressor. Rasio
penggunaan HES terhadap kristaloid pada penelitian ini mendekati 1:1.3, yang
konsisten dengan rasio albumin terhadap kristaloid pada penelitian SAFE maupun
penelitian-penelitian lain.
Pada penelitian CHEST diketahui bahwa HES berhubungan dengan
peningkatan curah urin pada pasien yang beresiko rendah mengalami cedera ginjal
akut namun pada saat yang bersamaan HES juga meningkatan kadar kreatinin serum
yang justru meningkatkan resiko cedera ginjal akut. Selain itu, penggunaan HES juga
berhubungan dengan peningkatan penggunaan produk darah dan peningkatan efek
samping, seperti gatal-gatal.
Namun hingga saat ini masih belum diketahui apakah hasil penelitian
mengenai HES dapat dijadikan patokan untuk larutan koloid semisintetik lainnya,
seperti gelatin atau polygeline. Hasil penelitian observasional terbaru telah
menimbulkan kekhawatiran mengenai resiko cedera ginjal akut pada penggunaan
larutan gelatin. Hanya saja, larutan koloid semisintetik lainnya belum pernah diteliti
dalam suatu percobaan acak terkontrol yang berkualitas tinggi. Dengan bukti-bukti
yang ada saat ini, kita masih sulit untuk membenarkan pernyataan yang menyatakan
bahwa penggunaan koloid semisintetik tidak memberikan manfaat klinis, berpotensi
menimbulkan nefrotoksisitas, dan mahal.
Kristaloid
Natrium klorida (saline) merupakan larutan kristaloid yang paling sering
digunakan di seluruh dunia, terutama Amerika Serikat. Saline normal (0.9%)
mengandung natrium dan klorida dalam konsentrasi yang sama, hal ini yang
membuat larutan ini lebih isotonik jika dibandingkan cairan larutan ekstraseluler.
Istilah saline normal berasal dari penelitian lisis eritrosit oleh fisiolog Belanda,
Hartog Hamburger pada tahun 1882 dan 1883, dari penelitian ini diketahui bahwa
0.9% merupakan konsentrasi garam dalam darah manusia, bukannya konsentrasi
aktual 0.6%.
Perbedaan ion kuat dalam saline 0.9% adalah nol, hampir tidak ada, sehingga
pemberian saline dalam jumlah besar dapat mengakibatkan asidosis metabolik
hiperkloremik. Efek samping seperti disfungsi imunitas dan disfungsi ginjal dapat
ditemukan pada asidosis metabolik, hanya saja konsekuensi klinis dari efek ini masih
belum diketahui.
Kekhawatiran mengenai kelebihan natrium dan air yang berhubungan dengan
resusitasi saline telah melahirkan konsep resusitasi kristaloid volume kecil yang
menggunakan larutan saline hipertonik (3%, 5%, dan 7.5%). Namun penggunaan
saline hipertonik secara dini dalam resusitasi, terutama untuk pasien cedera otak
traumatik, tidak memperbaiki luaran jangka panjang maupun jangka pendek.
Kristaloid yang mengandung senyawa kimiawi yang mendekati cairan
ekstraseluler disebut juga dengan istilah larutanseimbang atau larutan fisiologis.
Pada umumnya, larutan-larutan ini merupakan derivat dari larutan Hartmann dan
Ringer. Hanya saja, tidak ada satu pun cairan tersebut yang benar-benar seimbang
atau fisiologis (Tabel 1).
Larutan garam seimbang relatif bersifat hipotonik karena konsentrasi
garamnya cenderung lebih rendah dari cairan ekstraseluler. Karena adanya instabilitas
larutan yang mengandung bikarbonat dalam kontainer plastik, maka anion alternatif,
seperti laktat, asetat, glukonat, dan malate lebih sering digunakan. Pemberian larutan
garam
seimbang
yang
dilakukan
secara
berlebihan
dapat
mengakibatkan
pada
beberapa
larutan
dapat
mengakibatkan
mikrotrombus
jika
dikombinasikan dengan transfusi sel darah merah yang mengandung pengawet sitrat.
Karena adanya kekhawatiran yang berhubungan dengan kelebihan natrium
dan klorida yang berhubungan dengan saline normal, maka larutan garam seimbang
lebih sering direkomendasikan sebagai cairan resusitasi lini pertama untuk pasien
yang menjalani operasi, pasien trauma, dan pasien yang mengalami ketoasidosis
diabetik. Resusitasi dengan menggunakan larutan garam seimbang merupakan salah
satu komponen penting dalam penatalaksanaan awal pasien luka bakar, hanya saja hal
ini menimbulkan kekhawatiran mengenai efek samping pemberian cairan berlebihan,
oleh karena itu lahir konsep mengenai hipovolemia permisif pada pasien-pasien
seperti itu.
Ada sebuah penelitian observasional kohort yang membandingkan insidensi
komplikasi mayor pada 213 pasien yang hanya mendapatkan 0.9% saline dan 714
pasien yang hanya mendapatkan larutan garam seimbang bebas kalsium (PlasmaLyte)
untuk mengganti cairan yang hilang selama operasi. Penggunaan larutan garam
seimbang berhubungan dengan penurunan insidensi komplikasi mayor (odds ratio,
0.79; 95% CI, 0.66-0.97; p<0.05), serta berhubungan dengan penurunan insidensi
infeksi postoperatif, terapi ganti ginjal, transfusi darah, dan asidosis.
mengenai definisi strategi terapi restriktif cairan, maka diperlukan suatu percobaan
berkualitas tinggi pada populasi pasien tertentu untuk mengkonfirmasi temuan
sebelumnya.
Tabel 2: Rekomendasi untuk Resusitasi Cairan pada Pasien yang Mengalami
Penyakit Akut
Cairan harus diberikan secara hati-hati ketika digunakan secara bersamaan
dengan obat-obatan intravena
mengatasi syok
Kebutuhan cairan senantiasa berubah setiap saat pada pasien yang sakit berat
Dosis kumulatif resusitasi dan cairan maintenance berhubungan erat dengan
edema interstisial
menggunakan sel darah merah dan komponen darah lain sesuai indikasi
Cairan garam seimbang, isotonik merupakan cairan resusitasi yang sering
dan alkalosis
Pertimbangkan penggunaan albumin selama resusitasi awal pada pasien yang
sepsis berat
Kristaloid isotonik atau saline diindikasikan untuk pasien yang mengalami
traumatik
Hydroxyethyl starch tidak diindikasikan untuk pasien yang mengalami sepsis