Вы находитесь на странице: 1из 6

ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

TUGAS KE-10

MENGENAI

MANUSIA, NILAI, MORAL DAN HUKUM

Oleh :

Wino Oktofand

88596/2007

JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2009
Manusia sebagai makhluk social dan berbudaya pada dasarnya dipengaruhi oleh
nilai-nilai kemanusiaan. Nilai tersebut berupa: etika yang erat hubungannya dengan
moralitas, maupun estetika yang berhubungan dengan keindahan.
Dalam realitas sosial, pengembangan supremasi hukum sangat tergantung pada empat
komponen, yaitu :

1. Materi hukum
2. Sarana prasarana hukum
3. Aparatur hukum
4. Budaya hukum masyarakat.

Tatkala terjadi dilema antara materi hukum, konflik diantara penegak hukum,
kurangnya sarana dan prasarana hukum, serta rendahnya budaya hukum masyarakat,
maka setiap orang (masyarakat dan aparatur hukum) harus mengembalikan pada rasa
keadilan hukum masyarakat, artinya harus mengutamakan moralitas masyarakat.
Demikian pula dalam pengembangan estetika yang akan menjadi wujud budaya
masyarakat sangat mungkin terjadi dilema dan benturan dengan nilai etika.

Makhluk social dan berbudaya pada dasarnya dipengaruhi oleh nilai-nilai


kemanusiaan. Nilai tersebut berupa: etika yang erat hubungannya dengan
moralitas, maupun estetika yang berhubungan dengan keindahan. Dalam
realitas sosial, pengembangan supremasi hukum sangat tergantung pada empat
komponen, yaitu (a) materi hukum, (b) sarana prasarana hukum, (c) aparatur
hukum, dan (sd) budaya hukum masyarakat. Tatkala terjadi dilema antara materi
hukum, konflik diantara penegak hukum, kurangnya sarana dan prasarana
hukum, serta rendahnya budaya hukum masyarakat, maka setiap orang
(masyarakat dan aparatur hukum) harus mengembalikan pada rasa keadilan
hukum masyarakat, artinya harus mengutamakan moralitas masyarakat.
Demikian pula dalam pengembangan estetika yang akan menjadi wujud budaya
masyarakat sangat mungkin terjadi dilema dan benturan dengan nilai etika.
Nilai (value) adalah harga, makna, isi dan pesan, semangat, atau jiwa yang
tersurat dan tersirat dalam fakta, konsep, dan teori sehingga bermakna secara fungsional
(Djahiri, 1999).

Nilai merupakan suatu konsepsi tentang apa yang benar atau salah (nilai moral),
baik atau buruk (nilai etika), serta indah atau jelek (nilai estetika). Dari sistem nilai
kemudian tumbuh norma yang merupakan patokan atau rambu-rambu yang mengatur
perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat.

Norma-norma yang dihadapi manusia ada yang bercorak moral yaitu kewajiban
moral dan nilai moral, dan ada pula yang bercorak bukan moral (nilai yang nonmoral)
yang sifatnya teknis dan tidak mengandung pertimbangan-pertimbangan nilai.

Norma-norma moral ada yang bersifat evaluatif, artinya norma-norma itu berlaku
dan dianggap baik bagi komunitas tertentu pada waktu tertentu, tetapi pada suatu saat
dapat saja berubah, tidak lagi dapat diberlakukan karena mungkin sudah dianggap tidak
baik lagi, atau norma-norma itu dapat berlaku baik bagi komunitas tertentu, tetapi belum
tentu baik bagi komunitas lain.

Moral adalah tuntutan sikap dan perilaku yang diminta oleh norma dan nilai. Kata
moral berasal dari kata mores (bahasa latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau
adat istiadat. John Dewey mengatakan bahwa moral sebagai hal-hal yang berhubungan
dengan nilai-nilai susila, sedangkan Baron, dkk (1980) mengatakan bahwa moral adalah
hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau
benar.

Frans Magnis Suseno (1987) mengemukakan bahwa kata moral selalu mengacu
pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang
kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Kesadaran moral
hanya dimiliki oleh manusia yang berakal, mempunyai perasaan, dan memiliki kehendak
yang bebas (otonomi) untuk selalu mewujudkan perbuatan baik semata.
Manusia sebagai makhluk individual dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya akan
berhadapan dengan kepentingan manusia lain. Konflik kepentingan secara alami akan
mendorong manusia untuk saling berkompetisi dan saling mengalahkan di antara
sesamanya. Kondisi ini jika tidak terkendali akan melahirkan kekacauan yang justru akan
mengancam eksistensi manusia itu sendiri.

Untuk mewujudkan keteraturan, mula-mula manusia membentuk tatanan sosial


yang bernama masyarakat. Untuk membangun dan mempertahankan tatanan sosial
masyarakat yang teratur, maka dibutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua hal,
yaitu aturan (hukum) dan si pengatur (kekuasaan). Dari sinilah hukum tercipta, yakni
sebagai bagian pranata pengatur disamping pranata lain yaitu kekuasaan. Kedua unsur
pranata pengatur ini berhubungan secara sistemik sehingga tidak bisa dipisah-pisahkan,
keberadaan yang satu meniscayakan keberadaan yang lain.

Untuk menciptakan keteraturan dibuatlah hukum sebagai alat pengatur, dan agar
hukum tersebut dapat memiliki kekuatan untuk mengatur, maka perlu suatu entitas
lembaga kekuasaan yang dapat memaksakan keberlakuan hukum tersebut sehingga dapat
bersifat imperatif. Sebaliknya, adanya entitas kekuasaan ini perlu diatur pula dengan
hukum untuk menghindari terjadinya penindasan melalui kesewenang-wenangan ataupun
dengan penyalah gunaan wewenang. Mengenai hubungan hukum dan kekuasaan ini,
terdapat adagium yang populer: “Hukum tanpa kekuasaan hanyalah angan-angan, dan
kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman.”

Dalam negara hukum, semestinya hukumlah yang pertama-tama dianggap sebagai


pemimpin dalam penyelenggaraan kehidupan bersama, bukan orang, “the rule of law, and
not of man”. Orang bisa berganti, tetapi hukum sebagai satu kesatuan sistem diharapkan
tetap tegak sebagai acuan dan sekaligus pegangan bersama. Prinsip inilah yang
dinamakan dengan nomokrasi atau kekuasaan yang dipimpin oleh nilai hukum sebagai
pendamping terhadap konsep demokrasi.

Dalam demokrasi, yang diidealkan adalah kepemimpinan dari rakyat, oleh rakyat,
untuk rakyat, dan bahkan bersama rakyat. Dalam nomokrasi, yang diidealkan sebagai
pemimpin adalah hukum. Titik temu di antara keduanya terletak pada prinsip demokrasi
yang berdasar atas hukum, dan prinsip nomokrasi atau negara hukum yang demokratis.
Dalam negara hukum, hukum haruslah dibangun dan dikembangkan secara
demokratis dan mengikuti logika demokrasi dari bawah. Hukum tidak boleh hanya
diciptakan sendiri oleh para penguasa, dan pelaksanaan serta penegakannya juga tidak
boleh hanya didasarkan atas interpretasi sepihak oleh mereka yang berkuasa.
DAFTAR PUSTAKA

http://nimassaad.blogspot.com

http://www.pandawa5.neT

http://yudihartono.wordpress.com

Вам также может понравиться