Вы находитесь на странице: 1из 35

LAPORAN KASUS

PRIMERY MALIGNANT BONE TUMOR CRURIS PROKSIMAL


SINISTRA

Pembimbing:
dr. Bambang, Sp.OT

Disusun oleh:
Danny Aminati

G1A014037

Khozatin Zuni F

G1A013099

Nurvita Pranasari

G1A013100

SMF ILMU BEDAH


RSUD PROF. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2015

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
PRIMERY MALIGNANT BONE TUMOR CRURIS PROKSIMAL
SINISTRA

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti program profesi dokter
di Bagian Ilmu Bedah RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Disusun Oleh :
Danny Aminati

G1A0140037

Khozatin Zuni F

G1A013099

Nurvita Pranasari

G1A013100

Pada tanggal,

Januari 2015

Mengetahui
Pembimbing,

dr. Bambang, Sp.OT

BAB I
LAPORAN KASUS

1.

IDENTITAS PASIEN
Nama
Jenis Kelamin
Usia
Agama
Suku bangsa
Status marital
Alamat
Tanggal masuk RS
Tanggal pemeriksaan
Nomor CM

2.

: Sdr. P
: Laki-laki
: 18 tahun
: Islam
: Jawa
: belum menikah
: Ds. Cisuru 4/1 Cilacap
: 28 Januari 2015
: 29 Januari 2015
: 537966

ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS)
A. KELUHAN UTAMA
Benjolan di daerah lutut kiri
B. KELUHAN TAMBAHAN
Nyeri senut-senut yang hilang timbul pada benjolan di lutut kiri, nafsu
makan menurun, tidak dapat melakukan aktivtas seperti remaja
seusianya karena tidak bisa berjalan, terdapat luka pada benjolan, dan
badan terasa lemas
C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang ke poli ortopedi RSMS tanggal 28 Januari 2015 dengan
keluhan benjolan di lutut kiri sejak 1-11-2013 yang lalu, awalnya pasien
mengetahi ada benjolan hanya sebesar telur ayam kampung dibawah lutut
kiri bagain samping dalam. Ketika benjolan itu muncul disertai dengan
rasa nyeri pada kaki. Karena nyeri tersebut pasien tidak bisa berjalan. Hal
ini terjadi secara mendadak. kemudian keluarga membawa pasien ke RS
Majenang pada tanggal 13-1-2014, di RS tersebut pasien di rawat inap

untuk dilakukan pemeriksaan pataologi anatomi dan pada tanggal 21-12014 hasil patologi anatomi keluar. Dari dokter Rs Majenang merujuk
pasien ke RSMS. Ketika di RSMS, dokter menyarankan untuk diamputasi,
akan tetapi pasien tidak mau. Akhirnya benjolan tersebut semakin lama
semakin membesar disertai keluhan-keluhan lain. Pada tanggal 28-1-2015,
pasien ke poli ortopedi RSMS, pasien mengeluhkan benjolan sudah
memebesar 25 cm sangat keras, nyeri senut-senut yang hilang timbul
pada benjolan di lutut kiri, nafsu makan menurun, tidak dapat melakukan
aktivtas seperti remaja seusianya karena tidak bisa berjalan, terdapat luka
pada benjolan, dan badan terasa lemas.
D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
-

Riwayat penyakit yang sama sejak 1,5 tahun terakhir


Riwayat trauma disangkal.
Riwayat penyakit jantung disangkal.

E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


-

Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.

F. RIWAYAT PENGOBATAN DAN ALERGI


3.

Riwayat operasi yaitu biopsi di RS Majenang

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Tanggal 29 Desember 2015
A. STATUS GENERALIS

Keadaan umum

: Tampak sakit, lemah

Kesadaran

: kompos mentis

Tanda tanda vital


-

Tekanan darah: 100/70 mmHg


Nadi
: 88 x/menit
RR
: 20 x/menit
Suhu
: 37,7 C

Kulit

: Warna sawo matang, pucat, tidak ikterik, tidak


hiperemis, turgor cukup, benjolan pada lutut kiri
berwarna kehitaman disertai dengan adanya luka

Kepala

: Normocephal, tidak terdapat jejas, distribusi rambut


merata.

Mata

: Sklera tidak ikterik, konjungtiva anemik, pupil


isokor dengan diameter 3 mm/3mm, reflek cahaya
langsung dan tidak langsung +/+.

Hidung

: Normal, sekret -/- , tidak ada deviasi septum

Mulut

: Mukosa bibir basah dan pucat, faring tidak hipermis, dan


tonsil T0-T0.

Telinga

: Aurikula normal, serumen -/-, hiperemis -/-

Leher

: Kelenjar tiroid dan kelenjar getah bening tidak teraba


membesar

Pemeriksaan Thorax
Jantung
Inspeksi

: Simetris, ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus cordis teraba tak kuat angkat

Perkusi

: Batas atas kiri

: ICS II LPS sinistra

Batas atas kanan

: ICS II LPS dextra

Batas bawah kiri

: ICS V LMC sinistra

Batas bawah kanan : ICS IV LPS dextra


Auskultasi

: S1 > S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru
Inspeksi

: Dinding dada simetris, statis dan dinamis, retraksi


(-), ketinggalan gerak dada tidak ada.

Palpasi

: Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri,


ketinggalan gerak tidak ada, massa tidak ada.

Perkusi

: Sonor kedua lapang paru.

Auskultasi

: Suara dasar: vesikuler kanan dan kiri.


Suara nafas tambahan tidak didapatkan.

Pemeriksaan abdomen
Inspeksi

: Perut membuncit ( - ), sikatrik ( - ), massa ( - ),


bekas jejas trauma ( - )

Auskultasi

: Terdengar suara bising usus normal

Palpasi

: Supel, kembung ( - ), defans muskular ( - ), nyeri


tekan ( - ), hepar/lien tak teraba,

Perkusi

: Timpani di seluruh kuadran abdomen ( + ), nyeri


tekan ( - ), ascites ( - )

Pemeriksaan Ekstremitas
Ekstrimitas atas:
Dextra

: dbn

Sinistra

: dbn

Ekstrimitas bawah:
Dextra:

: dbn

Sinistra

: terdapat kelainan

St lokalis ekstrimitas bawah sinistra:


Look: Elastic Band (+)
Feel: nyeri tekan (+)
Move: ROM terbatas

4.

RESUME
a.

Anamnesis
Pasien datang ke poli ortopedi RSMS dengan keluhan benjolan di lutut

kiri sejak 1,5 tahun yang lalu, benjolan hanya sebesar telur ayam kampung,
ada nyeri di sekitar kaki kiri, disertai tidak bisa berjalan karena nyeri. Hal ini
terjadi secara tiba-tiba. Benjolan dirasakan semakin membesar secara
progresif, sangat nyeri sebut-senut hilang timbul. Pasien juga tampak pucat,
pasien pernah di biopsi 1 kali, pasien sudah di motivasi untuk amputasi
namun menolak.
b.

Pemeriksaan fisik

Keadaan umum

: Tampak sakit, lemah

Status generalis : kulit tampak pucat, conjungtiva anemis, mukosa


mulut dan bibir pucat.
St lokalis ekstrimitas bawah sinistra:
Look: Benjolan pada genue sinistra diameter 25 cm, batas tegas,
permukaan rata akan tetapi terdapat luka kecil, warna kehitaman
Feel: nyeri tekan (+), konsistensi keras, immobile
Move: ROM terbatas
5.

DIAGNOSIS
Primery Malignant Bone Tumor Cruris Proksimal Sinistra

6.

PEMERIKSAAN ANJURAN

Pemeriksaan Laboratorium
Hb, eritrosit, leukosit, Ht , sedimen urine, Ureum dan Creatinin,
SGOT, SGPT, trombosit, PT, APTT, CEA, HbSAg.

Foto polos X-ray regio patella sinistra dan foto X-ray thorak AP
Ct scan dengan kontras untuk mengetahui penyebaran tumor

7.

HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG

8.

PENATALAKSANAAN

Konservatif:
1. Managemen nyeri
2. Mengobati infeksi sekunder
3. Kemoterapi

Operatif
1. Amputasi

9.

PROGNOSIS
Quo ad vitam

: Dubia ad malam

Quo ad functionam

: Dubia ad malam

Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TEORI
1. Anatomi
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada daerah intra-seluler.
Tulang berasal dari embryonic hyaline cartilage

yang mana melalui

proses osteogenesis menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang
disebut osteoblast. Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan garam
kalsium. Tulang dalam garis besarnya dibagi atas :
1. Tulang panjang
Yang termasuk tulang panjang misalnya femur, tibia,fibula, ulna dan
humerus,dimana daerah batas disebut diafisis dan daerah yang
berdekatan dengan garis epifisis disebut metafisis. Daerah ini
merupakan daerah yang sangat sering ditemukan adanya kelainan atau
penyakit, oleh karena daerah ini merupakan daerah metabolik yang aktif
dan banyak mengandung pembuluh darah. Kerusakan atau kelainan
perkembangan pada daerah lempeng epifisis akan

menyebabkan

kelainan pertumbuhan tulang.


2. Tulang pendek
Contoh dari tulang pendek antara lain tulang vertebra dan tulang-tulang
karpal.
3. Tulang pipih
Yang termasuk tulang pipih antara lain tulang iga, tulang scapula dan
tulang pelvis.

Gambar 2.1 Tulang Panjang (Humerus)

2. Fisiologi
Tulang adalah jaringan yang terstruktur dengan baik dan
mempunyai lima fungsi utama, yaitu:
1. Membentuk rangka badan
2. Sebagai pengumpil dan tempat melekat otot
3. Sebagai bagian dari tubuh untuk melindungi dan mempertahankan alatalat dalam seperti otak, sumsum tulang belakang, jantung, dan paruparu.
4. Sebagai tempat deposit kalsium, fosfor, magnesium, dan garam.
5. Sebagai organ yang berfungsi sebagai jaringan hemopoetik untuk
memproduksi sel-sel darah merah, sel-sel darah putih, dan trombosit.
Pertumbuhan tulang dibagi atas:
1. Pertumbuhan memanjang tulang
Pertumbuhan interstisial tidak dapat terjadi di dalam tulang,Oleh karena
itu pertumbuhan interstisial terjadi melalui proses osifikasi endokondral
pada tulang rawan. Ada dua lokasi pertumbuhan tulang rawan pada
tulang panjang, yaitu:
a. Tulang rawan artikuler

Pertumbuhan tulang panjang terjadi pada daerah tulang rawan


artikuler dan merupakan tempat satu-satunya bagi tulang untuk
bertumbuh pada daerah epifisis.Pada tulang pendek, pertumbuhan
tulang dapat terjadi pada seluruh daerah tulang.
b. Tulang rawan lempeng epifisis
Tulang rawan lempeng epifisis memberikan

kemungkinan

metafisis dan diafisis untuk bertumbuh memanjang.Lempeng


epifisis adalah tulang rawan yang berbentuk diskus (piringan) yang
terletak antara epifisis dan metafisis.Lempeng epifisis merupakan
bagian tulang yang bertanggung jawab dalam perkembangan dan
pertumbuhan memanjang pada tulang matur. Terdapat beberapa
tempat osifikasi dalam tubuh yaitu pusat osifikasi primer,yang
bertanggung jawab untuk pertumbuhan tulang-tulang kecil seperti
tulang lunatum, navikular, talus; pada tulang panjang dikenal
adanya osifikasi sekunder atau epifisis tekanan,misalnya caput
femur dan sendi lutut; dikenal pula adanya epifisis traksi atau
apofisis pada daerah trokanter mayor, trokanter minor, tuberkulum
mayus humeri, sehingga perkembangan dan pertumbuhan tulang
pada tempat-tempat tersebut dapat terjadi melalui tekanan atau
tarikan yang sesuai dengan hokum Wolff. Proses pertumbuhan ini
terus-menerus pada manusia selama hidupnya.
Perkembangan

dan

pertumbuhan

sistem

muskuloskeletal

merupakan suatu proses yang berkelanjutan dimana terjadi


pembentukan, maturasi serta perombakan dari jaringan mesenkim,
pembentukan tulang rawan kemudian terjadi perombakan kembali
menjadi tulang.
Vaskularisasi lempeng epifisis berasal dari arteri metafisis dan
arteri

epifisis.Epifisis

dan

lempeng

epifisis

mempunyai

vaskularisasi yang unik.Permukaan epifisis ditutupi oleh tulang


rawan artikuler. Pembuluh darah epifisis juga bertanggung jawab
terhadap vaskularisasi sel-sel lempeng epifisis sehingga bila terjadi
iskemi pada epifisis maka akan terjadi kerusakan lempeng epifisis
yang menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan memanjang

tulang. Pertumbuhan memanjang tulang berasal dari lempeng


epifisis dimana epifisis berkembang dalam tiga dimensi dari zona
tulang rawan sendi yang dalam.
Lempeng epifisis tersusun atas tiga lapisan, yaitu :
1)

Zona pertumbuhan
Germinal
Proliferasi
Palisade
2) Zona transformasi tulang rawan
Hipertrofi
Kalsifikasi
Degenerasi
3) Zona osifikasi
Vascular entry
Osteogenesis

Gambar 2.2 Photomicrograph dari lempeng epifisis

2.

Pertumbuhan melebar tulang


Pertumbuhan melebar terjadi akibat pertumbuhan aposisi osteoblas
pada lapisan dalam periosteum dan merupakan suatu jenis osifikasi

3.

intramembran.
Remodelling tulang
Selama pertumbuhan memanjang tulang maka daerah metafisis
mengalami remodelling (pembentukan) dan pada saat yang bersamaan
epifisis menjauhi batang tulang secara progresif.

3. Definisi
Osteosarkoma (osteogenik sarkoma) merupakan neoplasma sel
spindle yang memproduksi osteoid. Osteosarcoma adalah tumor ganas
primer dari tulang yang ditandai dengan pembentukan tulang yang
immatur atau jaringan osteoid oleh sel-sel tumor (Patel & Benjamin, 2008;
Picci, 2011).
Osteosarkoma biasanya terdapat pada metafisis tulang panjang di
mana lempeng pertumbuhannya (epiphyseal growth plate) yang sangat
aktif; yaitu pada distal femur, proksimal tibia dan fibula, proksimal
humerus dan pelvis. Pada orang tua umur di atas 50 tahun, osteosarkoma
bisa terjadi akibat degenerasi ganas dari pagets disease, dengan prognosis
sangat jelek (Kawiyana, 2009).
4. Etiologi
Di Amerika Serikat insiden pada usia kurang dari 20 tahun adalah
4.8 kasus per satu juta populasi. Insiden dari osteosarkoma konvensional
paling tinggi pada usia 10-20 tahun, Setidaknya 75% dari kasus
osteosarkoma

adalah

osteosarkoma

konvensional.

Observasi

ini

berhubungan dengan periode maksimal dari pertumbuhan skeletal. Namun


terdapat juga insiden osteosarkoma sekunder yang rendah pada usia 60
tahun, yang biasanya berhubungan dengan penyakit paget (Geoff, 2010)
Kebanyakan osteosarkoma varian juga menunjukkan distribusi usia
yang sama dengan osteosarkoma konvensional, terkecuali osteosarkoma
intraosseous low-grade, gnathic, dan parosteal yang menunjukkan insiden
tinggi pada usia dekade ketiga. Osteosarkoma konvensional muncul pada

semua ras dan etnis, tetapi lebih sering pada afrika amerika daripada
kaukasian. Osteosarkoma konvensional lebih sering terjadi pada pria,
dengan rasio 3:2 terhadap wanita. Perbedaaan ini dikarenakan periode
pertumbuhan skeletal yang lebih lama pada pria (Springfield, 2006; Patel
& Benjamin, 2008; Mehlman & Charles, 2014).

5. Faktor Resiko
Penyebab pasti dari osteosarkoma tidak diketahui, namun terdapat
berbagai faktor resiko untuk terjadinya osteosarkoma yaitu: (Mehlman &
Charles, 2014)
a. Pertumbuhan tulang yang cepat : pertumbuhan tulang yang cepat
terlihat sebagai predisposisi osteosarkoma, seperti yang terlihat bahwa
insidennya

meningkat

pada saat pertumbuhan

remaja.

Lokasi

osteosarkoma paling sering pada metafisis, dimana area ini merupakan


area pertumbuhan dari tulang panjang.
b. Faktor lingkungan: satu satunya faktor lingkungan yang diketahui
adalah paparan terhadap radiasi.
c. Predisposisi genetik: displasia tulang, termasuk penyakit paget, fibrous
dysplasia, enchondromatosis, dan hereditary multiple exostoses and
retinoblastoma (germ-line form). Kombinasi dari mutasi RB gene
(germline retinoblastoma) dan terapi radiasi berhubungan dengan resiko
tinggi untuk osteosarkoma, Li-Fraumeni syndrome (germline p53
mutation), dan Rothmund-Thomson syndrome (autosomal resesif yang
berhubungan dengan defek tulang kongenital, displasia rambut dan
tulang, hypogonadism, dan katarak).

6. Klasifikasi
Klasifikasi dari osteosarkoma merupakan hal yang kompleks, namun
75% dari osteosarkoma masuk kedalam kategori klasik, yang termasuk
osteosarkoma osteoblastic, chondroblastic, dan fibroblastic. Sedangkan
sisanya sebesar 25% diklasifikasikan sebagai varian berdasarkan:
a. Karakteristik klinik, seperti pada kasus osteosarkoma rahang,
osteosarkoma postradiasi, atau osteosarkoma paget;
b. Karakteristik morfologi, seperti pada osteosarkoma telangiectatic,
osteosarkoma small-cell, atau osteosarkoma epithelioid; dan
c. Lokasi, seperti pada osteosarkoma parosteal dan periosteal (Geoff,
2010; Mehlman & Charles, 2014)
Osteosarkoma klasik paling sering ditemui pada metafisis tulang
panjang, terutama pada distal femur (52%) dan proximal tibia (20%)
dikarenakan proses pertumbuhan tulang pada tempat tersebut cukup tinggi.
Tempat lainnya yang juga sering adalah pada metafisis humerus proximal
(9%). Penyakit ini biasanya menyebar dari metafisis ke diafisis atau epifisis.
Kebanyakan dari osteosarkoma varian juga menunjukkan predileksi yang
sama, terkecuali lesi gnathic pada mandibula dan maksila, lesi intrakortikal,
lesi periosteal dan osteosarkoma sekunder karena penyakit Paeget yang
biasanya muncul pada pelvis dan femur proximal (Patel & Benjamin, 2008;
Picci, 2011; Mehlman & Charles, 2014).

Gambar 1. Predileksi Osteosarkoma (Picci, 2007).


Stadium klasik yang biasa digunakan untuk tumor keras lainnya tidak
tepat untuk digunakan pada tumor skeletal, karena tumor ini sangat jarang
untuk bermetastase ke kelenjar limfa. Pada tahun 1980, Enneking
memperkenalkan

sistem

stadium

berdasarkan

derajat,

penyebaran

ekstrakompartemen, dan ada tidaknya metastase. Sistem ini dapat digunakan


pada semua tumor muskuloskeletal (tumor tulang dan jaringan lunak).
Komponen utama dari sistem stadium berdasarkan derajat histologi (derajat
tinggi atau rendah), lokasi anatomi dari tumor (intrakompartemen dan
ekstrakompartemen), dan adanya metastase (NCI, 2010).

Gambar 2. Tabel Staging Osteosarkoma


(diadaptasi dari Enneking, 1980).
Untuk menjadi intra kompartemen, osteosarkoma harus berada
diantara periosteum. Lesi tersebut mempunyai derajat IIA pada sistem
Enneking. Jika osteosarkoma telah menyebar keluar dari periosteum maka
derajatnya menjadi IIB. Untuk kepentingan secara praktis maka pasien
digolongkan menjadi dua yaitu pasien tanpa metastase (localized
osteosarkoma) dan pasien dengan metastase (metastatic osteosarkoma)
(NCI, 2010).

7. Gejala Klinis
Gejala biasanya telah ada selama beberapa minggu atau bulan
sebelum pasien didiagnosa. Gejala yang paling sering terdapat adalah
nyeri, terutama nyeri pada saat aktifitas dan massa atau pembengkakan.
Tidak jarang terdapat riwayat trauma, meskipun peran trauma pada
osteosarkoma tidaklah jelas. Fraktur patologis sangat jarang terjadi,
terkecuali pada osteosarkoma telangiectatic yang lebih sering terjadi
fraktur patologis (Patel & Benjamin, 2008; Mehlman & Charles, 2014)
Nyeri pada ekstrimitas dapat menyebabkan kekakuan. Riwayat
pembengkakan dapat ada atau tidak, tergantung dari lokasi dan besar dari
lesi. Gejala sistemik, seperti demam atau keringat malam jarang terjadi.
Penyebaran tumor pada paru-paru sangat jarang menyebabkan gejala
respiratorik. Gejala paru muncul bila terjadi keterlibatan paru yang luas
(Mehlman & Charles, 2014).

Gambar 3. Pasien dengan osteosarkoma di femur distal


(Medscape)
Pada pemeriksaan fisik ditemukan benjolan pada tempat utama
tumor. Pada palpasi dapat ditemukan adanya massa ataupun tidak, yang
bergantung pada lokasi tumor, nyeri tekan dan rasa hangat pada palpasi,
meskipun gejala ini sukar dibedakan dengan osteomielitis. Pada inspeksi
dapat terlihat peningkatan vaskularitas kulit. Penurunan range of motion
pada sendi yang sakit dapat diperhatikan pada pemeriksaan fisik.

Lymphadenopathy merupakan hal yang sangat jarang terjadi (Mehlman &


Charles, 2014).
Bukti radiologis dari deposit metastase pada paru dan tempat
lainnya ditemukan pada 10% sampai 20% pasien pada saat diagnosis,
dengan 85% sampai 90% metastase berada pada paru-paru. Tempat
metastase lainnya yang paling sering adalah pada tulang, metastase pada
tulang lainnya dapat soliter atau multipel. Sindrom dari osteosarkoma
multipel ditujukan pada adanya multipel tumor pada berbagai tulang,
dengan keterlibatan metafisis yang simetris (NCI, 2010).
8. Diagnosis Banding
Beberapa kelainan yang menimbulkan bentukan massa pada tulang
sering sulit dibedakan dengan osteosarkoma, baik secara klinis maupun
dengan pemeriksaan pencitraan. Adapun kelainan-kelainan tersebut antara
lain: (Kawiyana, 2009).
1. Ewings sarcoma
2. Osteomyelitis
3. Osteoblastoma
4. Giant cell tumor
9. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium biasanya dilakukan untuk kepentingan
kemoterapi. Penting untuk mengetahui fungsi organ sebelum pemberian
kemoterapi dan untuk memonitor fungsi organ setelah kemoterapi.
Pemeriksaan

darah

untuk

kepentingan

prognosa

adalah

lactic

dehydrogenase (LDH) dan alkaline phosphatase (ALP). Pasien dengan


peningkatan nilai ALP pada saat diagnosis mempunyai kemungkinan
lebih besar untuk mempunyai metastase pada paru. Pada pasien tanpa
metastase, yang mempunyai peningkatan nilai LDH kurang dapat
menyembuh bila dibandingkan dengan pasien yang mempunyai nilai
LDH normal (Geoff, 2010).
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang penting termasuk
a. LDH
b. ALP (kepentingan prognostik)

c. Hitung darah lengkap


d. Tes fungsi hati: Aspartate aminotransferase (AST), alanine
aminotransferase (ALT), bilirubin, dan albumin.
e. Elektrolit : Sodium, potassium, chloride, bicarbonate, calcium,
f.

magnesium, phosphorus.
Tes fungsi ginjal: blood urea nitrogen (BUN), creatinine (Patel &
Benjamin, 2008).

2. Radiologi
Pemeriksaan x-ray merupakan modalitas utama yang digunakan
untuk investigasi. Ketika dicurigai adanya osteosarkoma, MRI
digunakan untuk menentukan distribusi tumor pada tulang dan
penyebaran pada jaringan lunak sekitarnya. CT scan kurang sensitf bila
dibandingkan dengan MRI untuk evaluasi lokal dari tumor namun dapat
digunakan untuk menentukan metastase pada paru-paru. Isotopic bone
scanning secara umum digunakan untuk mendeteksi metastase pada
tulang atau tumor synchronous, tetapi MRI seluruh tubuh dapat
menggantikan bone scan (Mehlman & Charles, 2014).
a. X-Ray
Foto polos merupakan hal yang berguna dalam evaluasi
pertama dari lesi tulang karena hasilnya dapat memprediksi
diagnosis dan penentuan pemeriksaan lebih jauh yang tepat.
Gambaran

foto

polos

dapat

bervariasi,

tetapi

kebanyakan

menunjukkan campuran antara area litik dan sklerotik. Sangat


jarang hanya berupa lesi litik atau sklerotik.

Gambar 4. Foto polos dari osteosarkoma dengan gambaran Codman triangle


(arrow) dan difus, mineralisasi osteoid diantara jaringan lunak.
Perubahan periosteal berupa Codman triangles (white arrow)
dan masa jaringan lunak yang luas (black arrow).
Lesi agresif dapat terlihat berupa mouth eaten (bekas gigitan)
dengan tepi tidak jelas atau dapat berupa lubang kortikal multipel yang
kecil. Setelah kemoterapi, tulang disekelilingnya dapat membentuk tepi
dengan batas jelas disekitar tumor. Penyebaran pada jaringan lunak
sering terlihat sebagai massa jaringan lunak. Dekat dengan persendian,
penyebaran ini biasanya sulit dibedakan dengan efusi. Area seperti awan
karena sclerosis dikarenakan produksi osteoid yang maligna dan
kalsifikasi dapat terlihat pada massa. Reaksi periosteal seringkali terdapat
ketika tumor telah menembus kortek. Berbagai spektrum perubahan
dapat muncul, termasuk Codman triangles dan multilaminated,
spiculated, dan reaksi sunburst, yang semuanya mengindikasikan proses
yang agresif (Patel & Benjamin, 2008; NCI, 2010; Geoff, 2010).

Gambar 5. Sunburst appearance pada osteosarkoma di femur distal


Osteosarkoma

telangiectatic

secara

umum

menunjukkan

gambaran litik, dengan reaksi periosteal dan massa jaringan lunak. Ketika
batas tumor berbatas tegas, dapat menyerupai gambaran aneurysmal
bone cyst. Osteosarkoma Small-cell terlihat sama dengan gambaran
osteosarkoma klasik, yang mempunyai gambaran campuran antara litik
dan sklerotik. Osteosarkoma intraosseous low-grade dapat berupa litik,
sklerotik atau campuran; seringkali mempunyai gambaran jinak dengan
batas tegas dan tidak adanya perubahan periosteal dan massa jaringan
lunak (Mehlman & Charles, 2014).
Gnathic tumor dapat berupa litik, sklerotik atau campuran dan
sering terjadi destruksi tulang, reaksi periosteal dan ekstensi pada
jaringan lunak. osteosarkoma intracortical dideskripsikan sebagai
gambaran radiolusen dan geographic, dan mengandung mineralisasi
internal dalam jumlah yang kecil. Osteosarkoma derajat tinggi
mempunyai gambaran massa jaringan lunak yang luas dengan berbagai
derajat mineralisasi yang muncul dari permukaan tulang. Osteosarkoma
parosteal secara tipikal merupakan tumor berdensitas tinggi yang muncul
dari area tulang yang luas. Tidak seperti osteochondroma, osteosarkoma
parosteal tidak melibatkan kavitas medulla tulang (Geoff, 2010).

b. CT Scan
CT dapat berguna secara lokal ketika gambaran foto polos
meragukan, terutama pada area dengan anatomi yang kompleks
(contohnya pada perubahan di mandibula dan maksila pada osteosarkoma
gnathic dan pada pelvis yang berhubungan dengan osteosarkoma
sekunder). Gambaran cross-sectional memberikan gambaran yang lebih
jelas dari destruksi tulang dan penyebaran pada jaringan lunak sekitarnya
dibandingkan foto polos. CT dapat memperlihatkan matriks mineralisasi
dalam jumlah kecil yang tidak terlihat pada gambaran foto polos. CT
terutama sangat membantu ketika perubahan periosteal pada tulang pipih
sulit untuk diinterpretasikan. CT jarang digunakan untuk evaluasi tumor
pada tulang panjang, namun merupakan modalitas yang sangat berguna
untuk menentukan metastasis pada paru (Geoff, 2010).
CT sangat berguna dalam evaluasi berbagai osteosarkoma varian.
Pada osteosarkoma telangiectatic dapat memperlihatkan fluid level, dan
jika digunakan bersama kontras dapat membedakan dengan lesi pada
aneurysmal bone cyst dimana setelah kontras diberikan maka akan
terlihat peningkatan gambaran nodular disekitar ruang kistik (Geoff,
2010).
c. MRI
MRI merupakan modalitas untuk mengevaluasi penyebaran lokal
dari tumor karena kemampuan yang baik dalam interpretasi sumsum
tulang dan jaringan lunak. MRI merupakan tehnik pencitraan yang paling
akurat untuk menentuan stadium dari osteosarkoma dan membantu dalam
menentukan manajemen pembedahan yang tepat. Untuk tujuan stadium
dari tumor, penilaian hubungan antara tumor dan kompartemen pada
tempat asalnya merupakan hal yang penting. Tulang, sendi dan jaringan
lunak yang tertutupi fascia merupakan bagian dari kompartemen (Geoff,
2010).

Gambar 6. Gambaran MRI menunjukkan kortikal destruksi dan


adanya massa jaringan lunak.
Penyebaran tumor intraoseus dan ekstraoseus harus dinilai. Fitur
yang penting dari penyakit intraoseus adalah jarak longitudinal tulang
yang

mengandung

tumor,

keterlibatan

epifisis,

dan

adanya skip metastase. Keterlibatan epifisis oleh tumor telah diketahui


sering terjadi daripada yang diperkirakan, dan sulit terlihat dengan
gambaran foto polos. Keterlibatan epifisis dapat didiagnosa ketika
terlihat intensitas sinyal yang sama dengan tumor yang terlihat di
metafisis yang berhubungan dengan destruksi fokal dari lempeng
pertumbuhan (Mehlman & Charles, 2014).
Skip metastase merupakan fokus synchronous dari tumor yang
secara anatomis terpisah dari tumor primer namun masih berada pada
tulang yang sama. Deposit sekunder pada sisi lain dari tulang
dinamakan transarticular skip metastase. Pasien dengan skip metasase
lebih sering mempunyai kecenderungan adanya metastase jauh dan
interval survival bebas tumor yang rendah. Penilaian dari penyebaran
tumor ekstraoseus melibatkan penentuan otot manakah yang terlibat dan
hubungan tumor dengan struktur neurovascular dan sendi sekitarnya. Hal
ini penting untuk menghindari pasien mendapat reseksi yang melebihi
dari kompartemen yang terlibat. Keterlibatan sendi dapat didiagnosa

ketika jaringan tumor terlihat menyebar menuju tulang subartikular dan


kartilago (Geoff, 2010; Mehlman & Charles, 2014).
d. Bone Scintigraphy
Osteosarcoma secara umum menunjukkan peningkatan ambilan
dari radioisotop pada bone scan yang menggunakan technetium-99m
methylene diphosphonate (MDP). Bone scan sangat berguna untuk
mengeksklusikan penyakit multifokal skip lesion dan metastase paruparu dapat juga dideteksi, namun skip lesion paling konsisten jika
menggunakan MRI. Karena osteosarkoma menunjukkan peningkatan
ambilan dari radioisotop maka bone scan bersifat sensitif namun tidak
spesifik (Geoff, 2010; Mehlman & Charles, 2014).

Gambar 7. Bone Scan yang membandingkan bagian bahu


dengan oseosarcoma dan yang sehat
3. Angiografi
Angiografi merupakan pemeriksaan yang lebih invasif. Dengan
angiografi dapat ditentukan diagnose jenis suatu osteosarkoma, misalnya
pada High-grade osteosarcoma akan ditemukan adanya neovaskularisasi
yang

sangat

ekstensif.

Selain itu

angiografi

dilakukan

untuk

mengevaluasi keberhasilan pengobatan preoperative chemotheraphy,


yang mana apabila terjadi mengurang atau hilangnya vaskularisasi

tumor menandakan respon terapi kemoterapi preoperatif berhasil (Patel


& Benjamin, 2008).
4. Biopsi
Biopsi

merupakan

diagnosis

pasti

untuk

menegakkan

osteosarkoma. Biopsi yang dikerjakan tidak benar sering kali


menyebabkan kesalahan diagnosis (misdiagnosis) yang lebih lanjut akan
berakibat fatal terhadap penentuan tindakan. Akhir-akhir ini banyak
dianjurkan dengan biopsi jarum perkutan (percutaneous needle biopsy)
dengan berbagai keuntungan seperti: invasi yang sangat minimal, tidak
memerlukan waktu penyembuhan luka operasi, risiko infeksi rendah dan
bahkan tidak ada, dan terjadinya patah tulang post biopsy dapat dicegah
(Geoff, 2010).
Pada gambaran histopatologi akan ditemukan stroma atau dengan
high-grade sarcomatous dengan sel osteoblast yang ganas, yang akan
membentuk jaringan osteoid dan tulang. Pada bagian sentral akan terjadi
mineralisasi yang banyak, sedangkan bagian perifer mineralisasinya
sedikit. Sel-sel tumor biasanya anaplastik, dengan nukleus yang
pleomorphik dan banyak mitosis. Kadang-kadang pada beberapa tempat
dari tumor akan terjadi diferensiasi kondroblastik atau fibroblastik
diantara jaringan tumor yang membentuk osteoid (Mehlman & Charles,
2014).

10. Penatalaksanaan
Preoperatif

kemoterapi

diikuti

dengan

pembedahan limb-

sparing (dapat dilakukan pada 80% pasien) dan diikuti dengan postoperatif
kemoterapi merupakan standar manajemen. Osteosarkoma merupakan
tumor yang radioresisten, sehingga radioterapi tidak mempunyai peranan
dalam manajemen rutin (Springfield, 2006; Mehlman & Charles, 2014).
a. Medikamentosa
Sebelum penggunaan kemoterapi (dimulai tahun 1970),
osteosarkoma ditangani secara primer hanya dengan pembedahan
(biasanya amputasi). Meskipun dapat mengontrol tumor secara lokal
dengan baik, lebih dari 80% pasien menderita rekurensi tumor yang

biasanya

berada

pada

paru-paru.

Tingginya

tingkat

rekurensi

mengindikasikan bahwa pada saat diagnosis pasien mempunyai


mikrometastase. Oleh karena hal tersebut maka penggunaan adjuvant
kemoterapi

sangat

penting

pada

penanganan

pasien

dengan

osteosarkoma (Mehlman & Charles, 2014)


Kemoterapi merupakan pengobatan yang sangat vital pada
osteosarkoma, terbukti dalam 30 tahun belakangan ini dengan
kemoterapi

dapat

mempermudah

melakuan

prosedur

operasi

penyelamatan ekstremitas (limb salvage procedure) dan meningkatkan


survival rate dari penderita. Kemoterapi juga mengurangi metastase ke
paru-paru dan sekalipun ada, mempermudah melakukan eksisi pada
metastase tersebut (Kawiyana, 2009).
Regimen standar kemoterapi yang dipergunakan dalam pengobatan
osteosarkoma

adalah

kemoterapi

preoperatif

(preoperative

chemotherapy) yang disebut juga dengan induction chemotherapy atau


neoadjuvant chemotherapy dan kemoterapi postoperatif (postoperative
chemotherapy) yang disebut juga dengan adjuvant chemotherapy (Patel
& Benjamin, 2008; Kawiyana, 2009; Geoff, 2010).
Kemoterapi preoperatif merangsang terjadinya nekrosis pada tumor
primernya, sehingga tumor akan mengecil. Selain itu akan memberikan
pengobatan secara dini terhadap terjadinya mikro-metastase. Keadaan
ini akan membantu mempermudah melakukan operasi reseksi secara
luas

dari

tumor

ekstremitasnya.

dan

sekaligus

Pemberian

masih

kemoterapi

dapat

mempertahankan

postoperatif

paling

baik

dilakukan secepat mungkin sebelum 3 minggu setelah operasi


(Kawiyana, 2009).
Obat-obat kemoterapi yang mempunyai hasil cukup efektif untuk
osteosarkoma adalah: doxorubicin (Adriamycin), cisplatin (Platinol),
ifosfamide (Ifex), mesna (Mesnex), dan methotrexate dosis tinggi
(Rheumatrex). Protokol standar yang digunakan adalah doxorubicin dan
cisplatin dengan atau tanpa methotrexate dosis tinggi, baik sebagai
terapi induksi (neoadjuvant) atau terapi adjuvant. Kadang-kadang dapat
ditambah dengan ifosfamide. Dengan menggunakan pengobatan multiagent ini, dengan dosis yang intensif, terbukti memberikan perbaikan

terhadap survival rate sampai 60 - 80% (Kawiyana, 2009; Mehlman &


Charles, 2014).
b. Pembedahan
Tujuan utama dari reseksi adalah keselamatan pasien. Reseksi
harus sampai batas bebas tumor. Semua pasien dengan osteosarkoma
harus menjalani pembedahan jika memungkinkan reseksi dari tumor
prmer. Tipe dari pembedahan yang diperlukan tergantung dari beberapa
faktor yang harus dievaluasi dari pasien secara individual. Batas radikal,
didefinisikan sebagai pengangkatan seluruh kompartemen yang terlibat
(tulang, sendi, otot) biasanya tidak diperlukan. Hasil dari kombinasi
kemoterapi dengan reseksi terlihat lebih baik jika dibandingkan dengan
amputasi radikal tanpa terapi adjuvant, dengan tingkat 5-year survival
rates sebesar 50-70% dan sebesar 20% pada penanganan dengan hanya
radikal amputasi (Mehlman & Charles, 2014).
Fraktur patologis, dengan kontaminasi semua kompartemen dapat
mengeksklusikan penggunaan terapi pembedahan limb salvage, namun
jika dapat dilakukan pembedahan dengan reseksi batas bebas tumor
maka pembedahan limb salvage dapat dilakukan. Pada beberapa
keadaan amputasi mungkin merupakan pilihan terapi, namun lebih dari
80% pasien dengan osteosarkoma pada eksrimitas dapat ditangani
dengan pembedahan limb salvage dan tidak membutuhkan amputasi.
Jika memungkinkan, maka dapat dilakukan rekonstruksi limb-salvage
yang harus dipilih berdasarkan konsiderasi individual, sebagai berikut
(Mehlman & Charles, 2014):
1) Autologous bone graft: hal ini dapat dengan atau tanpa
vaskularisasi. Penolakan tidak muncul pada tipe graft ini dan tingkat
infeksi rendah. Pada pasien yang mempunyai lempeng pertumbuhan
yang imatur mempunyai pilihan yang terbatas untuk fiksasi tulang
yang stabil (osteosynthesis).
2) Allograft: penyembuhan graft

dan

infeksi

dapat

menjadi

permasalahan, terutama selama kemoterapi. Dapat pula muncul


penolakan graft.
3) Prosthesis: rekonstruksi sendi dengan menggunakan prostesis dapat
soliter atau expandable, namun hal ini membutuhkan biaya yang

besar. Durabilitas

merupakan

permasalahan

tersendiri

pada

pemasangan implant untuk pasien remaja.


4) Rotationplasty: tehnik ini biasanya sesuai untuk pasien dengan
tumor yang berada pada distal femur dan proximal tibia, terutama
bila ukuran tumor yang besar sehingga alternatif pembedahan hanya
amputasi.
a) Selama reseksi tumor, pembuluh darah diperbaiki dengan
cara end-to-end anastomosis untuk mempertahankan patensi dari
pembuluh darah. Kemudian bagian distal dari kaki dirotasi 180
dan disatukan dengan bagian proksimal dari reseksi. Rotasi ini
dapat membuat sendi ankle menjadi sendi knee yang fungsional.
b) Sebelum keputusan diambil lebih baik untuk keluarga dan
pasien melihat video dari pasien yang telah menjalani prosedur
tersebut.
5) Resection of pulmonary nodules: nodul metastase pada paru-paru
dapat disembuhkan secara total dengan reseksi pembedahan.
Reseksi lobar atau pneumonectomy biasanya diperlukan untuk
mendapatkan batas bebas tumor. Prosedur ini dilakukan pada saat
yang sama dengan pembedahan tumor primer. Meskipun nodul yang
bilateral dapat direseksi melalui median sternotomy, namun
lapangan pembedahan lebih baik jika menggunakan lateral
thoracotomy.

Oleh

karena

itu

direkomendasikan

untuk

melakukan bilateral thoracotomies untuk metastase yang bilateral


(masing-masing dilakukan terpisah selama beberapa minggu)
(Mehlman & Charles, 2014).
c. Penanganan jangka panjang
Penanganan jangka panjang pada pasien dibagi menjadi penanganan
pada rawat inap dan rawat jalan. Penanganan pada pasien yang dirawat
inap antara lain (Mehlman & Charles, 2014):
1) Siklus kemoterapi: hal ini secara umum memerlukan pasien untuk
masuk rumah sakit untuk administrasi dan monitoring. Obat aktif
termasuk methotrexate, cisplatin, doxorubicin, and ifosfamide.
Pasien yang ditangani dengan agen alkylating dosis tinggi
mempunyai resiko tinggi untuk myelodysplasia dan leukemia. Oleh
karena itu hitung darah harus selalu dilakukan secara periodik,

2) Demam dan neutropenia: diperlukan pemberian antibiotic intravena.


3) Kontrol lokal: penanganan di rumah sakit diperlukan untuk kontrol
lokal dari tumor (pembedahan), biasanya sekitar 10 minggu.
Reseksi dari metastase juga dilakukan pada saat ini.
Sedangkan yang perlu diperhatikan pada pasien yang rawat jalan antara
lain:
1) Hitung jenis darah: pengukuran terhadap hitung jenis darah
dilakukan dua kali seminggu terhadap granulocyte colonystimulating factor (G-CSF) pasien, pengukuran G-CSF dapat
dihentikan ketika hitung neutrophil mencapai nilai 1000 atau
5000/L.
2) Kimia darah: sangat penting untuk mengukur kimia darah dan
fungsi hati pada pasien dengan nutrisi parenteral dengan riwayat
toksisitas (terutama jika penggunaan antibiotik yang nephrotoxic
atau hepatotoxic dilanjutkan.
3) Monitoring rekurensi: monitoring harus tetap dilanjutkan terhadap
lab darah dan radiografi, dengan frekuensi yang menurun seiring
waktu. Secara umum kunjungan dilakukan setiap 3 bulan selama
tahun pertama, kemudian 6 bulan pada tahun kedua dan seterusnya.
Follow-up jangka panjang: ketika pasien sudah tidak mendapat
terapi selama lebih dari 5 tahun, maka pasien dipertimbangkan
sebagai survivors jangka panjang. Individu ini harus berkunjung untuk
monitoring dengan pemeriksaan yang sesuai dengan terapi dan efek
samping yang ada termasuk evaluasi hormonal, psychosocial, kardiologi,
dan neurologis (Mehlman & Charles, 2014).
II.

Prognosis
Faktor yang mempengaruhi prognosis termasuk lokasi dan besar dari
tumor, adanya metastase, reseksi yang adekuat, dan derajat nekrosis yang
dinilai setelah kemoterapi (NCI, 2010; Mehlman & Charles, 2014).
a. Lokasi tumor
Lokasi tumor mempunyai faktor prognostik yang signifikan pada
tumor yang terlokalisasi. Diantara tumor yang berada pada ekstrimitas,

lokasi yang lebih distal mempunyai nilai prognosa yang lebih baik
daripada tumor yang berlokasi lebih proksimal. Tumor yang berada pada
tulang belakang mempunyai resiko yang paling besar untuk progresifitas
dan kematian. Osteosarkoma yang berada pada pelvis sekitar 7-9% dari
semua osteosarkoma, dengan tingkat survival sebesar 20% 47%.
b. Ukuran tumor
Tumor yang berukuran besar menunjukkan prognosa yang lebih
buruk dibandingkan tumor yang lebih kecil. Ukuran tumor dihitung
berdasarkan ukuran paling panjang yang dapat terukur berdasarkan dari
dimensi area cross-sectional.
c. Metastase
Pasien dengan tumor yang terlokalisasi mempunyai prognosa yang
lebih baik daripada yang mempunyai metastase. Sekitar 20% pasien
akan mempunyai metastase pada saat didiagnosa, dengan paru-paru
merupakan tempat tersering lokasi metastase. Prognosa pasien dengan
metastase bergantung pada lokasi metastase, jumlah metastase, dan
resectability dari metasstase. Pasien yang menjalani pengangkatan
lengkap dari tumor primer dan metastase setelah kemoterapi mungkin
dapat bertahan dalam jangka panjang, meskipun secara keseluruhan
prediksi bebas tumor hanya sebesar 20% sampai 30% untuk pasien
dengan metastase saat diagnosis.
Prognosis juga terlihat lebih baik pada pasien dengan nodul
pulmoner yang sedikit dan unilateral, bila dibandingkan dengan nodul
yang bilateral, namun bagaimanapun juga adanya nodul yang terdeteksi
bukan berarti metastase. Derajat nekrosis dari tumor setelah kemoterapi
tetap merupakan faktor prognostik. Pasien dengan skip metastase dan
osteosarkoma multifokal terlihat mempunyai prognosa yang lebih buruk
d. Reseksi tumor
Kemampuan untuk direseksi dari tumor mempunyai faktor
prognosa karena osteosarkoma relatif resisten terhadap radioterapi.
Reseksi yang lengkap dari tumor sampai batas bebas tumor penting
untuk kesembuhan.
e. Nekrosis tumor setelah induksi kemoterapi
Kebanyakan protokol untuk osteosarkoma merupakan penggunaan
dari kemoterapi sebelum dilakukan reseksi tumor primer, atau reseksi

metastase pada pasien dengan metastase. Derajat nekrosis yang lebih


besar atau sama dengan 90% dari tumor primer setelah induksi dari
kemoterapi mempunyai prognosa yang lebih baik daripada derajat
nekrosis yang kurang dari 90%, dimana pasien ini mempunyai derajat
rekurensi 2 tahun yang lebih tinggi. Tingkat kesembuhan pasien dengan
nekrosis yang sedikit atau sama sekali tidak ada, lebih tinggi bila
dibandingkan dengan tingkat kesembuhan pasien tanpa kemoterapi.

B. PEMBAHASAN
Osteosarkoma disebut juga osteogenik sarkoma adalah suatu
neoplasma ganas yang berasal dari sel primitif (poorly differentiated cells) di
daerah metafise tulang panjang, terutama pada femur distal dan tibia
proksimal dan dapat pula ditemukan pada radius distal dan humerus
proksimal. Disebut osteogenik oleh karena perkembangannya berasal dari seri
osteoblastik sel mesensim primitif. Osteosarkoma merupakan neoplasma
primer dari tulang yang paling sering terjadi. Osteosarkoma adalah tumor
tulang dengan angka kematian 80% setelah 5 tahun didiagnosis.
Osteosarkoma klasik didefinisikan dengan sarkoma sel spindel dengan derajat
malignansi tinggi dan sangat khas memproduksi matriks osteoid (Patel &
Benjamin, 2008; Picci, 2011; Mehlman & Charles, 2014)
Terdapat dua elemen yang penting pada pemeriksaan histologis dari
tumor. Pertama yang didapat dari biopsi yaitu tipe dari tumor, dan kedua
didapat dari reseksi definitif setelah kemoterapi untuk menilai respon
terhadap pengobatan. Secara umum karakteristik dari osteosarkoma adalah
adanya osteoid pada lesi (Springfield, 2006; Mehlman & Charles, 2014)
Sel stromal dapat berbentuk spindle dan atipikal, dengan nucleus yang
berbentuk irregular. Terdapat beberapa tipe osteosarkoma yang berbeda, dan
gambarannya

dikelompokkan

dengan

sel

yang

paling

banyak

yaitu osteoblastic, chondroblastic, dan fibroblastic, meskipun tipe ini secara


klinis tidak dapat dibedakan. Osteosarkoma tipe telangiectatic mengandung
ruangan yang luas berisi darah. Pembentukan kartilago merupakan fitur
utama pada osteosarkoma periosteal dan parosteal, dan biasanya muncul dari

kortek tulang, pada aspek posterior distal dari femur (Springfield, 2006;
Mehlman & Charles, 2014)
Osteosarkoma mengadakan metastase secara hematogen, paling sering
ke paru atau pada tulang lainnya dan didapatkan sekitar 15%-20% telah
mengalami metastase pada saat diagnosis ditegakkan. Metastase secara
limpogen hampir tidak terjadi (Kawiyana, 2009; Mehlman & Charles, 2014).
Diagnosis ditegakkan dengan gejala klinis, pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan radiografi seperti plain foto, CT scan, MRI, bone scan,
angiografi dan dengan pemeriksaan histopatologis melalui biopsi. Prognosis
osteosarkoma tergantung pada staging dari tumor dan efektif-tidaknya
penanganan (Picci, 2011).
Penanganan osteosarkoma saat ini dilakukan dengan memberikan
kemoterapi, baik pada preoperasi (induction = neoadjuvant chemotherapy),
dan pascaoperasi (adjuvant chemotherapy). Pengobatan secara operasi,
prosedur Limb Salvage merupakan tujuan yang diharapkan dalam operasi
suatu osteosarkoma. Follow-up post-operasi pada penderita osteosarkoma
merupakan langkah tindakan yang sangat penting (Kawiyana, 2009).

BAB III
KESIMPULAN
Osteosarkoma merupakan tumor ganas, Dalam tubuh manusia terdapat
rangka matang yang terdiri dari tulang, jaringan fibrosa dan rawan. Dari sel-sel ini
atau jaringan mesenkim primitif asalnya, bisa berkembang neoplasma rangka
primer jinak atau ganas. Neoplasma juga bisa muncul dari jaringan tubuh mana
saja yang nantinya akan menginvasi tulang dan menyebabkan destruksi tulang
local, hal ini lah yang dinamakan neoplasma sekunder. Pada pasien dengan
neoplasma, tujuan perawatan yang diberikan adalah untuk menyembuhkan tulang
yang terserang penyakit dan tentu saja menghilangkan tumor jika tumor tersebut
dianggap berbahaya. Terapi mencakup pembedahan, kemoterapi, dan radiasi yang
tergantung pada tipe tumor dan penyebarannya. Perawatan tumor tulang
metastatic sering bersifat palliative, yaitu hanya meredakan gejala tetapi tidak
untuk menyembuhkan.

DAFTAR PUSTAKA

Kawiyana, S. 2009. Osteosarcoma Diagnosis dan Penanganannya.


http://ejournal.unud.ac.id/abstak/dr%20siki_9.pdf. 4 Januari 2015
Mehlman

T.
Charles.
2010.
Osteosarcoma.
http://emedicine.medscape.com/atricel/1256857-overview. 4 Januari
2015.

Patel SR, Benjamn RS. 2008. Soft Tissue and Bone Sarcomas and Bone
Metastases. Dalam:kasper DL et al. Harrisons Priciples of Internal
Medicine 17th ed. USA: McGRAW-HILL
Picci P. 2007. Osteosarcoma (Osteogenic Sarcoma). Orphanet Hournal of Rare
Disease. http;//www.OJRD.com/content/2/2/6

Вам также может понравиться