Вы находитесь на странице: 1из 10

PERAN BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN

REPUBLIK INDONESIA DALAM UPAYA PERLINDUNGAN


STATELESS PERSON SUKU TALAUD DI FILIPINA
Eriec Firman, Febrika Ganang, Monica Kristianti
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
email: firman.eriec@gmail.com

ABSTRAK
Artikel ini menjelaskan dan mengkaji permasalahan mengenai bagaimana
status stateless person Suku Talaud apabila ditinjau dari Undang-undang
kewarganegaraan dan bagaimana kewajiban pemerintah lewat peran Badan
Nasional Perbatasan dalam menyelesaikan permasalahan kewarganegaraan Suku
Talaud tersebut.
Artikel ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat deskriptif.Jenis
data sekunder meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier.Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah menggunankan pendekatan undangundang dan studi kepustakaan, instrumen yang dijadikan penelitian adalah
Undang-undang No. 6 Tahun 2011 tentang Kewarganegaraan.
Hasil dari artikel ini menunjukkan bahwa kawasan perbatasan bukan lagi
halaman belakang tetapi merupakan beranda depan Indonesia dimana banyak
permasalahan yang muncul salah satunya adalah stateless person dari Suku Talaud
yang tinggal di Filipina. Dengan dibentuknya Badan Nasional Pengelola
Perbatasan diharapkan dapat membantu koordinasi dengan Kementerian Lain
untuk menyelesaikan status kewarganegaraan ini untuk tujuan mensejahterakan
rakyat Indonesiadi perbatasan terutama Suku Talaud sendiri.
Kata kunci : Perbatasan, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Stateless Person.
ABSTRACT
This article describes and examines the problems regarding how the status
of stateless person of Talaus People in review of the Citizenship Act and how
State obligations through Badan Nasional Pengelola Perbatasan to resolves the
problems about the status of citizenship of Talaud People.
This article is normative legal research which is prescriptive. In nature the
data used in this article is secondary data including primary legal materials,
secondary and tertiary. Data collection techniques used is statute approach and
library study. Citizenship Act will be the main instrument to be considered.
The results shows that border area is no longer the backyard of the state but
the home front of Indonesia where many problems that appeared one of them is
stateless person of Talaud People that lived in Filipina. With establishment of
Badan Nasional Pengelola Perbatasan expected to help coordination with other
ministries to resolves this problem of status Citizenship of Talaud People for
purposes Indonesians welfare at the border area especially for Talaud People
itself in this problem.
Keywords : Border, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Stateless Person.

PENDAHULUAN
Perbatasan Negara menyandang status sangat strategis dan penting bagi
sebuah Negara. Dari perspektif pertahanan keamanan, perbatasan Negara
merupakan pagar paling depan penyangga masuknya anasir-anasir yang dapat
mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu,
pengamanan perbatasan menjadi satu keniscayaan yang tidak bisa ditawar- tawar.
Dari perspektif hubungan dan hukum internasional, perbatasan Negara
memiliki kompleksitas yang tinggi. Ketika dua negara menghadapi konflik satu
sama lain, penyelesaiannya tidak dilakukan malalui cara-cara tidak beradab
seperti agitasi dan perang. melainkan melalui proses diplomasi yang santun dan
produktif serta harus berlandaskan etika dan prinsip-prinsip hukum internasional.
Tidak sedikit permasalahan yang muncul mengenai perbatasan antar negara
yang masih terus diselesaikan.Permasalahan yang ada di perbatasan tidak selalu
mengenai batas wilayah antara negara, namun juga seringkali berhubungan
mengenai lintas batas negara yaitu imigrasi.
Dari permasalahan imigrasi yang ada di perbatasan antara IndonesisaFilipina yang menjadi perhatian secara khusus yaitu status kewarganegaraan orang
Talaud yang ada di Filipina. Mobilitas penduduk di wilayah perbatasan IndonesiaFilipina di Kepulauan Sangihe Talaud, Sulawesi Utara, yang sudah terjadi sejak
sebelum abad ke 19 (http://id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Nusa_Utara).
Mobilitas ini terutama disebabkan karena adanya ikatan kekerabatan
penduduk dua wilayah ini yang menurut sejarah pernah disatukan dibawah satu
kerajaan, yaitu Kerajaan Kandhar.Karena itu, banyak ditemukan Orang Talaud
yang tinggal di wilayah Filipina Selatan sejak berabad-abad yang lalu, menikah
dengan

penduduk

asli

dan

berketurunan

disana

(http://m.kompasiana.com/post/read/439285/1/kisah-1000-warga-sangir-akankahberakhir-seperti-sipadan-ligitan).
Pada tahun 1956 Indonesia-Filipina membuat kesepakatan mengenai Border
Crossing Agreement yang mengatur mengenai mobilisasi yang sering dilakukan
oleh

kedua

warga

negara

yang

ada

di

kedua

negara

tersebut

(http://kaltim.tribunnews.com/2012/02/29/1.000-orang-sangir-filipina-terluntalunta-di-bitung).

Border Crossing Agreement yang kemudian disebut dengan BCA


memberikan salah satu pencegahan dan penegakan hukum untuk pelanggaranpelanggaran hukum yang terjadi di daerah perbatasan Indonesia-Filipina seperti
illegal fishing, penyelundupan dan perdagangan manusia yang sering terjadi di
daerah-daerah yang berbatasan langsung tersebut.
Orang orang Talaud beserta keturunannya yang masih berada di Filipina
Selatan secara tidak sah akanmenimbulkan status stateless person sehingga
mereka tidak memiliki kewarganegaraan. Dalam upaya perlindungan atas seluruh
tumpah darah Indonesia, , maka telah ada suatu badan koordinasiyang dibentuk
sebagai amanat dari pasal 14

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008

menyebutkan bahwa untuk mengelola batas wilayah negara dan pengelolaan


kawasan perbatasan negara, maka dibentuklah dibentuk Badan Pengelola nasional
dan Badan Pengelola daerah. Kemudian, sebagai pelaksanaan UU No. 43 Tahun
2008 tersebut ditelurkanlah produk hukum berbentuk Peraturan Presiden Nomor
12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan

untuk

menyelesaikan problem tersebut maka digunakanlah peran Badan Nasional


Pengelolaan Perbatasan yang seterusnya akan disebut dengan BNPP untuk
mengkoordinasi lembaga lembaga lain yang diatur dalam Pasal 15 Undang
Undang No.43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara terkait masalah ini untuk
menyelesaikan problematika dibidang perbatasan.
Peran dari BNPP sebagai lembaga nasional yaitu sebatas merancang suatu
kebijakan atas problematika tersebut kemudian mengkoordinasi lembaga
lembaga atau Kementerian terkait sebagai pelaksana teknis untuk melaksanakan
kebijakan tersebut. Sebagai salah satu badan koordinasi yang dibentuk untuk
menyelesaikan dan membangun kawasan perbatasan maka untuk penyelesaian
stateless person ini butuh koordinasi dua arah antara BNPP dan kementerian lain
dalam menyelesaikan permasalahan ini.
Dari permasalahan kependudukan diatas, kemudian penulis melihat
terdapat hal yang menarik untuk kemudian dapat dikaji lebih mendalam, yakni
apakah tugas dan peran serta BNPP Republik Indonesia dalam menyikapi
permasalahan kependudukan masyarakat suku Talaud yang berada di Filipina. Hal
itu guna memberikan jaminan perlindungan bagi seluruh tumpah darah Indonesia

sebagaimana yang diamanatkan oleh para Founding Fatherskita yang termaktub


dalam preambule konstitusi Indonesia.
TUJUAN PENULISAN
Adapun penulisan artikel ini bertujuan untuk memaparkan isu-isu yang ada
di wilayah perbatasan Indonesia, khususnya yang terkait dengan peran dari Badan
Nasional Pengelola Perbatasan Republik Indonesia dalam menangani masalah
status kependudukan masyarakat suku Talaud di Filipina. Dimana hal ini
kemudian penulis dasarkan pada pengamatan serta pengalaman penulis selama
melakukan kegiatan magang di Badan Nasional Pengelola Perbatasan Republik
Indonesia.
METODE PENULISAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah jenis
penelitian normatif. Menurut Peter Mahmud Marzuki, segala penelitian yang
berkaitan dengan hukum (legal research) adalah selalu normatif(Peter Mahmud
Marzuki, 2013:55-56).
Metode penelitian yang digunakan penulis dalam PKM ini adalah dengan
cara studi pustaka (library research), yakni dengan menganalisa data artikelartikel, buku-buku, jurnal-jurnal yang bersangkutan dengan materi dari berbagai
sumber seperti buku dan internet. Penulis juga mengumpulkan pendapat ahli serta
beberapa konvensi yang berkaitan dengan objek dari penelitian ini, selain itu
ditunjang dengan hasil wawancara sebagai bahan hukum sekunder.
Sifat penelitian PKM ini adalah penelitian peskriptif dengan menggunakan
pendekatan perundang-undangan dan konseptual.Penelitian hukum dilakukan
untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya dilakukan, bukan
membuktikan kebenaran hipotesis. Preskripsi itu harus timbul dari hasil telaah
yang dilakukan, tetapi preskripsi yang diberikan harus koheren dengan gagasan
dasar hukum yang berpangkal dari moral (Peter Mahmud Marzuki, 2013:41).
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah metode
deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor kemudian premis
minor.Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa untuk penalaran hukum yang
merupakan premis mayor adalah aturan hukum sedangkan premis minornya

adalah fakta hukum.Dari kedua hal tersebut kemudian ditarik kesimpulan atau
conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2013:89-90).
Lokasi penelitian berada di Kedeputian Bidang Pengelolaan Batas
Wilayah

Negara

Badan

Nasional

Pengelolaan

Perbatasan

Republik

Indonesia.Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data primer
dan data primer.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Problematika orang Sapi (Sangir Philipines)
Menurut

Sekretaris

Daerah

Kabupaten

Talaud,

Djemi

Gagola,

wargaketurunan Kabupaten Talaud, ProvinsiSulawesi Utara yang menetap di


Negaratetangga, Filipina diperkirakan mencapai 5000 (lima ribu) orang
(http://www.antarasulut.com/print/16426/sekitar-5000-warga-talaud-menetap-difilipina), memang belum ada data riil mengenai hal ini. Namun data yang ada di
Konsulat Jenderal Indonesia di Filipina, diperkirakan ada 5000 orang pada tahun
2012 dimana keberadaan mereka sebagai warganegara masih belum jelas apakah
sebagai warga NegaraFilipina atau warga negara Indonesia meskipun sudah
menetap sangat lama
Banyak pula Warga Talaud dari Filipina tersebut yang saat ini ada di
Bitung karena tertangkap melakukan illegal fishing di perairan Indonesia namun
tidak dapat segera diadili karena mereka merupakan warga negara dari Indonesia
juga dimana mereka tinggal di Filipina dan orang tuanya pun tidak memiliki
kewarganegaraan yang jelas (http://regional.kompas.com/read/2011/12/02/223
0304/Status.Orang.Sangir.di.Filipina.Diminta.Dituntaskan).
Bahkan menurut Asisten Deputi Bidang Pengelolaan Lintas Batas Negara,
BNPP-RI, Dr. Sony Soemarsono, MDM, tidak jarang akhirnya status mereka yang
tidak jelas tersebut dijadikan celah terbuka bagi oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran di perbatasan
Indonesia-Filipina terutama di laut Indonesia tersebut. Illegal fishing hanya salah
satu dari pelanggararan yang ada namun sering juga Warga Talaud ini
dimanfaatkan untuk penyelundupan dan perdagangan manusia di daerah
Indonesia-Filipina (Hasil wawancara dalam kegiatang magang di Badan Nasional
Pengelola Perbatasan, Jumat, 24 Januari 2014).

Orang orang Sangihe-Talaud yang bermukim di Filipina banyak yang


telah menikah dengan sesama orang Sangihe-Talaud maupun dengan orang
Filipina dan memiliki keturunan. Selama orang Sagihe-Talaud tersebut berada di
Filipina sejak dahulu sampai sekarang tidak diakui oleh pemerintah Filipina dan
tidak memiliki tanda kependudukan dari pemerintah Indonesia sehingga mereka
tidak memiliki kewarganegaraan (apatride).Dubes Johanis Kristanto menyebut
sekitar 9.000 orang Sangir dan Talaud hidup di Filipina, terutama di bagian
selatan. Mereka sudah ratusan tahun hidup di sana dan beranak pinak. Akan tetapi
mereka tidak diakui sebagai warga Negara Filipina dan diwajibkan memiliki
Aliance Certificate Registrati-on (ACR).Untuk memperoleh ACR, mereka harus
membayar setiap tahunya ke pemerintah Filipina senilai 600 peso (sekitar Rp
150.000) (http://m.kompasiana.com/post/read/439285/1/kisah-1000-warga-sangirakankah-berakhir-seperti-sipadan-ligitan).
Problematika orang orang Sangihe-Talaud yang tidak memiliki
kewarganegaraan ini pada akhirnya menjadi perdebatan dan berimplikasi hukum
ketika mereka ditangkap karena illegal fishing di laut teritorial Indonesia karena
mereka menyebut dirinya Sapi (Sangir-Philipines) yang artinya mereka berasal
dari orang tua Sangihe-Talaud yang menikah dengan orang Filipina dan tidak
memiliki tanda kewarganegaraan sehingga secara paham ius sanguinis atau
kewarganegaraan berdasarkan darah ayah atau ibu secara biologis, maka mereka
adalah warga Indonesia sehingga tidak bisa diadili. Pada akhirnya orang Sangir di
Filipina dijadikan obyek dan subyek dalam setiap kegiatan pelanggaran laut
teritorial dan kepentingan serta hak hak nya tidak terpenuhi di wilayah Filipina.
B. Stateless Person Ditinjau Dari Kewarganegaraan
Problematika

mengenai

stateless

person

menjadi

perhatian

bagi

pemerintah bagaimana cara perlindungan yang dapat diberikan kepada Suku


Talaud tersebut yang ada di Filipina. Menurut Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang temasuk Warga Negara
Indonesia, yaitu:
Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undangundang sebagai warga negara.

Menurut ketentuan ini dapat dilihat bahwasannya tidaklah terdapat suatu


ketentuan yang secara eksplisit menunjukkan bahwa Indonesia menganut asas ius
soli ataupun asas ius sanguinis yang biasa digunakan dalam teori-teori yang
terkait dengan pewarganegaraan.Sehingga, Suku Talaud secara tidak langsung
merupakan Warga Negara Indonesia yang menjadi tanggung jawab bagi
Pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada rakyatnya.
Tidak dapat dikesampingkan pula mengenai sistem keturunan yang
Indonesia anut menekankan untuk Pemerintah berperan aktif dalam penyelesaian
permasalahan tersebut. Di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan dapat disimpulkan alasan mengapa warga keturunan
Talaud dapat mendapatkan status sebagai seorang WNI, yaitu:
i. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada
waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
k. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan
ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya.
Hal ini berkaitan dengan anak-anak dari Suku Talaud yang lahir di wilayah
yang termasuk bagian dari negara Republik Indonesia, sedangkan manakala ayah
dan ibunya tersebut merupakan orang keturunan Talaud yang berasal dari
Indonesia namun belum atau tidak memiliki kewarganegaraan (apatrride),
ketentuan pasal ini dapat memberikan jaminan ataupun kesempatan bagi anak
tersebut untuk kemudian dapat menjadi Warga Negara Indonesia menurut UU
Kewarganegaraan

ini

tanpa

perlu

mengajukan

prosedur-prosedur

pewarganegaraan sebagaimana yang diatur oleh peraturan perundang-undangan.


Selain itu di dalam Prinsip Dasar Lampiran A di dalam Border Crossing
Agreement

1956

Indonesia-Filipina

disebutkan

sebagai

berikut:

The Purpose of the Border Crossing System is to regulate the movement of the
inhabitants within the Border areas in order to prevent violation of laws of both
countries.
The Border Crossing Card-issuing stations as well as border crossing
entry and exit stations are located as follow:
a.

Indonesia

(2)

Miangas

(1)

Marore

(3)

Tarakan

b. Philippines

(2)

Cape San Agustin

(1)

(3)

Bangao, Tawi-tawi

Mabila, Balut Island

Dimana terdapat perlakuan khusus bagi setiap orang atau warga negara
yang ada di wilayah-wilayah yang disebutkan di atas untuk memudahkan
mobilisasi yang sudah ada sejak lama.Sehingga, harus ada perlakuan khusus yang
diberikan Pemerintah terhadap keturunan Talaud yang ada di Filipina supaya ada
status yang jelas untuk keturunan Talaud tersebut.Salah satu kekurangan dari
Perjanjian ini adalah tidak menyeluruhnya mengenai pengaturan yang dapat
dikatakan mengenai pelanggaran dari hukum tersebut.
Dimana salah satunya adalah mengenai status kewarganegaraan dari orang
Talaud yang ada di Filipina dan sudah bertahun-tahun menetap disana bahkan
telah menikah dan memiliki keturunan namun banyak juga yang statusnya masih
merupakan

warga

negara

Indonesia

jika

diliat

secara

keturunan

dan

historis.Perjanjian ini hanya mengatur mengenai kartu lintas batas, daerah-daerah


yang ditentukan sebagai pintu keluar masuk untuk RI-Filipina, dan pengaturan
mengenai batas barang bawaan dan pengangkutan namun tidak mengatur secara
jelas apabila ada pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan diatas.
Dalam hal ini orang Talaud yang ada di Filipina melanggar yang ada di
dalam perjanjian karena banyak dari orang Talaud tersebut yang tidak memiliki
identitas maupun surat-surat yang berhubungan mengenai imigrasi seperti Kartu
Lintas Batas, Visa, Pasport dan Kartu Tinggal Sementara, sehingga perlu
dilakukan peninjauan lebih lanjut yang tujuannya untuk menyelesaikan
permasalahan dari orang Talaud tersebut supaya orang Talaud tersebut memiliki
jaminan perlindungan jika mereka memiliki identitas maupun kelengkapan yang
lengkap dan jelas.
Dengan adanya ketentuan treatment tersebut di atas maka dapat
disimpulkan untuk orang Talaud pun dapat diberlakukan sekalipun ketentuan di
atas hanya menyebutkan mengenai perlakuan yang akan diberikan jika terjadi
pelanggaran yang dilakukan oleh Pemegang Kartu Lintas Batas dan akan dapat
dilakukan repatriasi untuk orang-orang Talaud yang berada di Filipina dan
merupakan keturunan asli dari Indonesia, sehingga menjadi sangat rentan untuk

terjadi pelanggaran terhadap orang-orang Talaud tersebut karena tidak memiliki


kelengkapan yang resmi.
Dengan banyaknya jumlah dari keturunan Talaud perlu ada strategi khusus
bagi Indonesia dalam menangani mengenai stateless person dari keturunan Talaud
tersebut. Di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan memberikan Faktor pendorong/alasan Warga Talaud harus
mendapatkan kewarganegaraan khususnya WNI, yaitu:
Setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia diperlakukan sebagai
orang asing.
Hal ini tentu berkaitan dengan jaminan atas perlindungan yang akan
diberikan bagi seluruh warga negara Indonesia, sebagaimana yang diamanatkan
dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Dimana jika
warga

keturunan

Suku

Talaud

tersebut

jika

belumlah

mendapatkan

kewarganegaraan sebagai seorang WNI, maka ia akan diperlakukan laiknya orang


asing yang sudah tentu menyebabkan rentannya posisi mereka sebagai orang
tanpa warga negara (apatride) karena tidak mendapatkan perlindungan dari suatu
negara manapun. Hal ini tentu harus diperjuangkan bagi warga keturunan Talaud
terkait dengan amanat dari pembukaan konstitusi kita yang menyebutkan bahwa
melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia..., sehingga sebagai
orang yang memiliki keturunan Indonesia maka sudah sepatutnya warga dari suku
Talaud itu mendapatkan perlindungan dari Indonesia guna menjalankan hal yang
sebagaimana diamanatkan oleh para founding fathers dari Indonesia yang
dituangkan dalam konstitusi.
KESIMPULAN
Dalam hal ini diperlukan peran aktif Pemerintah Indonesia dalam
menyelesaikan permasalahan stateless person Keturunan Talaud tersebut dengan
membangun

hubungan

baik

dan

penyelesaian

pembaharuan

perjanjian

internasional antara Indonesia-Filipina yang dapat mengakomodir mengenai


permasalahan keturunan Talaud tersebut serta memberikan peningkatan
kesejahteraan untuk warga kawasan perbatasan dan Suku Talaud pada khususnya
lewat koordinasi Badan Nasional Pengelola Perbatasan dengan Kementerian lain
yang terkait.Dimana perlindungan terhadap Keturunan Talaud ini menjadi sangat

rentan karena tidak ada negara atau pertanggungjawaban langsung dari negara
dalam memberikan kesejahteraan kepada stateless person terutama dalam hal ini
Keturunan Talaud.
UCAPAN TERIMAKASIH
Dalam penulisan artikel ilmiah ini, tak lupa penulis ungkapkan ucapan
terima kasih kepada para pihak yang membantu penulisan artikel ilmiah, adapun
kemudian ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Bapak Pranoto, S.H., M.H. selaku Ketua Gugus Kegiatan Magang
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;
2. Ibu Sasmini, S.H.,LL.M. selaku Dosen Pembimbing Penulis dalam
Penulisan Program Kreativitas Mahasiswa dalam bentuk Artikel Ilmiah;
3. Deputi Bidang Pengelolaan Batas Wilayah Negara Badan Nasional
Pengelola Perbatasan Republik Indonesia beserta jajarannya selaku mitra
Kegiatan Magang Mahasiswa Periode XVI Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta;
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Slide dan Artikel
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, 2013, Jakarta, Kencana
Prenada Media Grup.
Perundang-undangan
Undang Undang No.43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
Border Crossing Agreement antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah
Filipina tahun 1956.
Hasil Wawancara
Hasil wawancara dengan Sony Soemarsono, dalam kegiatang magang di Badan
Nasional Pengelola Perbatasan, Jumat, 24 Januari 2014
Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Nusa_Utara.
http://regional.kompas.com/read/2011/12/02/2230304/Status.Orang.Sangir.di.Fili
pina.Diminta.Dituntaskan
http://kaltim.tribunnews.com/2012/02/29/1.000-orang-sangir-filipina-terluntalunta-di-bitung
http://m.kompasiana.com/post/read/439285/1/kisah-1000-warga-sangir-akankahberakhir-seperti-sipadan-ligitan
http://manado.antaranews.com/m/berita/16426/sekitar-5000-warga-talaudmenetap-di-filipina

10

Вам также может понравиться