Вы находитесь на странице: 1из 19

LAPORAN PENDAHULUAN CIDERA KEPALA

A. PENGERTIAN
Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah
gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun
trauma tajam. Deficit neorologis terjadi karena robeknya subtansia alba,
iskemia, dan pengaruh massa karena hemoragik, serta edema serebral
disekitar jaringan otak. ( batticaca, 2008 ).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin 2008).
Menurut Brain Injury Assosiation of America, 2006. Cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala bukan bersifat congenital ataupun
degenerative, tetapi disebabkan serangan/benturan fisik dari luar yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
B. ETIOLOGI
Cedera kepala disebabkan oleh :
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Jatuh
3. Trauma benda tumpul
4. Kecelakaan kerja
5. Kecelakaan rumah tangga
6. Kecelakaan olahraga
7. Trauma tembak dan pecahan bom (Ginsberg, 2007)
C. MANIFESTASIK KLINIK
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi
cedera otak
1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005)
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah
cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah
laku.
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu
atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2. Cedera kepala sedang, Diane C (2002)
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan
atau hahkan koma.

b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit


neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan
pergerakan.
3. Cedera kepala berat, Diane C (2002)
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
b. terjadinya penurunan kesehatan.
c. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera
d. terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
e. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
f. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area
g. tersebut.
D. PATOFISIOLOGI
Menurut Tarwoto (2007 : 127) adanya cedera kepala dapat
mengakibatkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada paremkim otak,
kerusakan pembuluh darah,perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak
seperti penurunan adenosis tripospat,perubahan permeabilitas faskuler.
Patofisiologi cedera kepala dapat di golongkan menjadi 2 yaitu cedera kepala
primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan suatu
proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat kepala terbentur
dan memberi dampak cedera jaringan otak. Cedera kepala primer adalah
kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat benturan
terjadi. Kerusakan primer ini dapat bersifat ( fokal ) local, maupun difus.
Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan yang terjadi pada bagian tertentu
saja dari kepala, sedangkan bagian relative tidak terganggu. Kerusakan difus
yaitu kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak dan
umumnya bersifat makroskopis.
Cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer, misalnya
akibat hipoksemia, iskemia dan perdarahan.Perdarahan cerebral menimbulkan
hematoma, misalnya Epidoral Hematom yaitu adanya darah di ruang Epidural
diantara periosteum tengkorak dengan durameter,subdural hematoma akibat
berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan sub arakhnoit dan
intra cerebal hematom adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral.

Benturan kepala
E. PATHWAY
Trauma kepala

Trauma pada jaringan lunak Trauma akibat deselerasi/ akselerasi

Rusaknya jaringan kepala

Luka terbuka

Robekan dan distorsi

Cedera jaringan

Jaringan sekitar tertekan

hematoma

Gangguan nyaman nyeri

Resiko tinggi terhadap


infeksi

Perubahan perfusi jaringan serebral

Merangsang inferior hipofise


Kerusakan hemisfer
Hipoksia jaringan
Merangsang
motorik
hipotalamus

Penurunan kesadaran

Hipotalamus terviksasi (pd


diensefalon) Mengeluarkan steroid &
Penurunan kekuatan
Kerusakan
danpertukaranGangguan
gas Kekacauan pola bah
adrenal
tahanan otot
persepsi
sinsorik
Produksi ADH &
aldosteron
Retensi Na+H2o

Pernafasan dangkal
Gangguan mobilisasi
fisik

Gangguanga keseimbangan
Perubahan nutrisi kurang dari
cairan & elektrolit kebutuhan tubuh

Gangguan komuni
verbal

Pola nafas tidak efektif

F. KLASIFIKASI
Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang
secara deskripsi dapat dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan
beratnya cedera kepala. (IKABI, 2004).
1. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi
dua yaitu
a. Cedera kepala tumpul.
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu
lintas, jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi
akselerasi 7 dan decelerasi yang menyebabkan otak bergerak
didalam rongga kranial dan melakukan kontak pada protuberas
tulang tengkorak.
b. Cedera tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan. (IKABI,
2004)
2. Berdasarkan morfologi cedera kepala
Cedera kepala menurut (Tandian, 2011). Dapat terjadi diarea tulang
tengkorak yang meliputi
a. Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala.
Kulit kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim
SCALP) yaitu skin, connective tissue dan perikranii. Diantara galea
aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang
memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang
kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak
mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka
perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup
banyak.
b. Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi
menjadi :
1) Fraktur linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau
stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan
tulang kepala. Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang
bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan
tulang kepala bending dan tidak terdapat fragmen fraktur yang
masuk kedalam rongga intrakranial.
2) Fraktur diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura
tulamg tengkorak yang mengababkan pelebaran sutura-sutura

tulang 8 kepala. Jenis fraktur ini sering terjadi pada bayi dan
balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat. Fraktur
diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid
dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.
3) Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki
lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
4) Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan
tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala dan pada
area yang kecal. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat
menyebabkan penekanan atau laserasi pada duremater dan
jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi, jika
tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula
interna segmen tulang yang sehat.
5) Fraktur basis kranii
Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada
dasar tulang tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan
robekan pada durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak.
Fraktur basis kranii berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi
fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur fossa
posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis
kranii dan tulang kalfaria. Durameter daerah basis krani lebih
tipis dibandingkan daerah kalfaria dan durameter daerah basis
melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah kalfaria.
Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan
robekan durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan
cerebrospinal yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput
otak (meningitis).
Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon
eyes sign (fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan
batles sign (fraktur basis kranii fossa media). Kondisi ini juga 9
dapat menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering terjadi
adalah gangguan saraf penciuman (N,olfactorius). Saraf wajah
(N.facialis) dan saraf pendengaran (N.vestibulokokhlearis).
Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi pencegahan
peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak misalnya
dengan mencegah batuk, mengejan, dan makanan yang tidak
menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung
dan telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (konsultasi ahli
THT) pada tanda bloody/ otorrhea/otoliquorrhea. Pada penderita
dengan tanda-tanda bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur
dengan posisi terlentang dan kepala miring ke posisi yang sehat.
c. Cedera kepala di area intracranial

Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak


fokal dan cedera otak difus Cedera otak fokal yang meliputi :
1) Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH) Epidural
hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang
potensial antara tabula interna tulangtengkorak dan durameter.
Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran
adanya interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi
defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi
pupil itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit
kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.
2) Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang
subdural yang terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat
robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak.
Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan 10
prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan
epidural.
3) Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik Subdural hematom
kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3
minggu setelah trauma. Subdural hematom kronik diawali dari
SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang
subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehingga akan
terbentuk bekuan darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam
beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan
membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan
lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran tersebut
akan di ikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi
fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi atau likoefaksi
bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang
dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka
akan menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran
sehingga cairan subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang
dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala,
bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai
TIA (transient ischemic attack).disamping itu dapat terjadi defisit
neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan kejang.
4) Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen
dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral
hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak
dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi
dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya
pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak

atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang


ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya 11 penurunan
kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh
mekanisme dan energi dari trauma yang dialami.
5) Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)
Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh
darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu
akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut
sebagai perdarahan subarahnoit (PSA). Luasnya PSA
menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga
menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu
terjadinya vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan
iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.
3. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan beratnya
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, menurut (Mansjoer,
2000) dapat diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS dan
dikelompokkan menjadi:
a. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 15
1) Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi.
2) Tidak ada kehilangan kesadaran
3) Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
4) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
5) Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala
b. Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 13
Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi
respon yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan
1) Amnesia paska trauma
2) Muntah
3) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
4) Kejang
c. Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.
1) Penurunan kesadaran sacara progresif
2) Tanda neorologis fokal
3) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium
(mansjoer, 2000)
G. KOMPLIKASI
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan
hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi
dari cedera kepala adalah :
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin
berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan

2.

3.

4.

5.

dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang


berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat
tekanan intrakranial meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk
memcoba mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin
kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi
berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk
keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg,
yang membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala.
Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih
banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah
paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan
difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan
peningkatan TIK lebih lanjut.
Peningkatan TIK
Tekana intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg,
dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah
yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. Yang
merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal
pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut.
Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan
menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral
disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama kejang,
perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas
paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk
mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang
paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena.
Hati-hati terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama pemberian
diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek
meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh
dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah
hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung
atau telinga.
Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya
berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke
system saraf yang lain.

H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Spinal X ray
Membantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang terjadi
(perdarahan atau ruptur atau fraktur).
2. CT Scan
Memeperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya
jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.
3. Myelogram
Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal
aracknoid jika dicurigai.
4. MRI (magnetic imaging resonance)
Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta
besar/ luas terjadinya perdarahan otak.
5. Thorax X ray
Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
6. Pemeriksaan fungsi pernafasan
Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting
diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan
(medulla oblongata).
7. Analisa Gas Darah
Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan
I. PENATALAKSANAAN
1. Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui sub kutan membuat
luka mudah dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi
untuk mengeluarkan benda asing dan miminimalkan masuknya infeksi
sebelum laserasi ditutup.
2. Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan;
lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan
dengan memasang collar cervikal, pasang guedel/mayo bila dapat ditolerir.
Jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas,maka pasien harus
diintubasi.
3. Menilai pernafasan : tentukan apakah pasien bernafas spontan/tidak.
Jikatidak beri O2 melalui masker O2. Jika pasien bernafas spontan selidiki
dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks tensif,
hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi untuk menjaga saturasi
4. O2 minimum 95%. Jika jalan nafas pasien tidak terlindung bahkan
terancan/memperoleh O2 yang adekuat ( Pa O2 >95% dan Pa CO2<40%
mmHg serta saturasi O2 >95%)atau muntah maka pasien harus diintubasi
serta diventilasi oleh ahli anestesi.
5. Menilai sirkulasi : otak yg rusak tdk mentolerir hipotensi. Hentikan
semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan adanya cedera
intraabdomen/dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan

darah pasang EKG. Pasang jalur intravena yg besar.Berikan larutan


koloidsedangkan larutan kristaloid menimbulkan eksaserbasi edema.
6. Obati kejang : Kejang konvulsif dpt terjadi setelah cedera kepala dan
harusdiobati mula-mula diberikan diazepam 10mg intravena perlahanlahan dandpt diulangi 2x jika masih kejang. Bila tidak berhasil diberikan
fenitoin15mg/kgBB.
7. Menilai tingkat keparahan : CKR,CKS,CKB6. Pada semua pasien dengan
cedera kepala dan/atau leher,lakukan fototulang belakang servikal
( proyeksi A-P,lateral dan odontoid ),kolar servikal baru dilepas setelah
dipastikan bahwa seluruh keservikal C1-C7normal7.Pada semua pasien dg
cedera kepala sedang dan berat :- Pasang infus dgn larutan normal salin
( Nacl 0,9% ) atau RL cairanisotonis lebih efektif mengganti volume
intravaskular daripada cairanhipotonis dan larutan ini tdk menambah
edema cerebri- Lakukan pemeriksaan : Ht, periksa darah perifer lengkap,
trombosit, kimia darah. Lakukan CT scan. Pasien dgn CKR, CKS, CKB
harusn dievaluasi adanya :1.Hematoma epidural2.Darah dalam sub
arachnoid dan intraventrikel3.Kontusio dan perdarahan jaringan
otak 4.Edema cerebri5.Pergeseran garis tengah6.Fraktur kranium8.Pada
pasien yg koma ( skor GCS <8) atau pasien dgn tanda-tanda
herniasilakukan : Elevasi kepala 30, Hiperventilasi, Berikan manitol 20%
1gr/kgBB intravena dlm 20-30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4-6
jam kemudian yaitu sebesar dosis semulasetiap 6 jam sampai maksimal
48 jam I- Pasang kateter foley-Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi
opoerasi (hematom epidural besar,hematom sub dural,cedera kepala
terbuka,fraktur impresi >1 diplo).

J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status
kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah
kejadian.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau
Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing
( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan
produksi sputum pada jalan napas.
2) Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan

3)

4)

5)

6)

transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan


mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia)
Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi
adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran
sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,
kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan
hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus cranialis, maka dapat terjadi :
a) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku
dan memori).
b) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
c) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi
pada mata.
d) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
e) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada
nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
f) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah
jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan
menelan.
Bladder
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi,
inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual,
muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan
selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses
eliminasi alvi.
Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese,
paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena
imobilisasi
dan
dapat
pula
terjadi
spastisitas
atau
ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan
refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus
otot.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema
serebral dan peningkatan tekanan intrakranial
b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial,
neurovaskuler, kerusakan medula oblongata neuromaskuler
c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
pengeluaran urine dan elektrolit meningkat
d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
melemahnya otot yang digunakan untuk mengunyah dan menelan
e. Gangguan rasa nyeri berhubungan dengan cedera psikis, alat traksi
f. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi
sensori dan kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan
g. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan
kesadaran, peningkatan tekanan intra
h. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan
penurunan keseadaran
i. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan
kulit kepala
3. Intervensi dan Rasional
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema
serebral dan peningkatan tekanan intracranial
Tujuan:
Setelah dilalukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
perfusi jaringan serebral kembali normal
Kiteria Hasil:
1) Kien melaporkan tidak ada pusing atau sakit kepala
2) Tidak terjadi peningkatan tekanan intracranial
3) Peningkatan kesadaran, GCS 13
4) Fungsi sensori dan motorik membaik, tidak mual, tidak ada mutah

Intervensi

Rasional

1) Kaji tingkat kesadaran.


2) Pantau status neurologis secara

1) Mengetahui kestabilan klien.


2) Mengkaji adanya kecendeungan

teratur, catat adanya nyeri kepala,


pusing.

pada tingkat kesadaran dan resiko


TIK meningkat.
3) Untuk menurunkan tekanan vena
jugularis.
4) Peningkatan
tekanan
darah
sistemik yang diikuti dengan
penurunan tekanan darah diastolik
serta napas yang tidak teratur
merupakan tanda peningkatan
TIK.
5) Mengurangi keadaan hipoksia

3) Tinggikan posisi kepala 15- 30

derajat
4) Pantau TTV, TD, suhu, nadi, input
dan output, lalu catat hasilnya.

5) Kolaborasi pemberian Oksigen.


6) Anjurkan orang terdekat untuk

berbicara dengan klien.

6) Ungkapan

keluarga
yang
menyenangkan
klien
tampak
mempunyai efek relaksasi pada
beberapa klien koma yang akan
menurunkan TIK.

b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial,


neurovaskuler, kerusakan medula oblongata, hiperventilasi.
Tujuan : Setelah dilakuan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan pola nafas efektif dengan
Kriteria hasil:
1) Klien tidak mengatakan sesak nafas
2) Retraksi dinding dada tidak ada, dengan tidak ada otot-otot
3) dinding dada.
4) Pola nafas reguler, RR. 16-24 x/menit, ventilasi adekuat
5) bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien,
6) kepatenan jalan nafas dapat dipertahankan.
Intervensi
Rasional
1) Kaji
kecepatan,
kedalaman, 1) Hipoventilasi biasanya terjadi atau
frekuensi, irama nafas, adanya
menyebabkan akumulasi/atelektasi

sianosis. Kaji suara nafas tambahan


atau pneumonia (komplikasi yang
(rongki, mengi, krekels).
sering terjadi).
2) Atur posisi klien dengan posisi 2) Meningkatkan
ventilasi
semua
semi fowler 30o. Berikan posisi
bagian paru, mobilisasi serkret
semi prone lateral/ miring, jika tak
mengurangi resiko komplikasi,
ada kejang selama 4 jam pertama
posisi
tengkulup
mengurangi
rubah posisi miring atau terlentang
kapasitas vital paru, dicurigai dapat
tiap 2 jam.
menimbulkan peningkatan resiko
terjadinya gagal nafas.
3) Anjurkan pasien untuk minum 3) Membantu mengencerkan sekret,
hangat (minimal 2000 ml/hari).
meningkatkan
mobilisasi
sekret/sebagai ekspektoran.
4) Kolaborasi terapi oksigen sesui 4) Memaksimalkan
bernafas
dan
indikasi.
menurunkan kerja nafas. Mencegah
hipoksia, jika pusat pernafasan
tertekan.
Biasanya
dengan
menggunakan ventilator mekanis.
5) Penghisapan yang rutin, beresiko
5) Lakukan section dengan hati-hati
terjadi hipoksia, bradikardi (karena
(takanan, irama, lama) selama 10respons vagal), trauma jaringan oleh
15 detik, catat, sifat, warna dan bau
karenanya kebutuhan penghisapan
secret
didasarkan
pada
adanya
ketidakmampuan
untuk
mengeluarkan sekret.
6) Kolaborasi dengan pemeriksaan 6) Menyatakan keadaan ventilasi atau
AGD, tekanan oksimetri.
oksigen, mengidentifikasi masalah
pernafasan, contoh: hiperventilasi
(PaO2 rendah/ PaCO2 mengingkat)
atau adanya komplikasi paru.
Menentukan kecukupan oksigen,
keseimbangan
asam-basa
dan
kebutuhan akan terapi.

c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan


pengeluaran urine dan elektrolit meningkat.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
ganguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat teratasi dengan
Kriteria Hasil:
1) Menunjukan membran mukosa lembab
2) Tanda vital normal , haluaran urine adekuat dan bebas oedema.

Intervensi
Rasional
1) Kaji tanda klinis dehidrasi atau 1) Deteksi dini dan intervensi dapat
kelebihan cairan
mencegah
kekurangan/kelebihan
fluktuasi keseimbangan cairan.
2) Catat masukan dan haluaran, 2) Kehilangan
urinarius
dapat
hitung keseimbangan cairan, ukur
menunjukan terjadinya dehidrasi dan
berat jenis urine.
berat jenis urine adalah indikator
hidrasi dan fungsi renal.
3) Berikan air tambahan sesuai 3) Dengan formula kalori lebih tinggi,
indikasi
tambahan air diperlukan untuk
mencegah dehidrasi.
4) Kolaborasi
pemeriksaan
lab. 4) Hipokalimia/fofatemia dapat terjadi
kalium/fosfor serum, Ht dan
karena perpindahan intraselluler
albumin serum.
selama pemberian makan awal dan
menurunkan fungsi jantung bila tidak
diatasi.

d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


melemahnya otot yang digunakan untuk mengunyah dan menelan
Tujuan : Pasien tidak mengalami gangguan nutrisi setelah dilakukan
perawatan selama 3 x 24 jam dengan Kiteria Hasil:
1) Tidak mengalami tanda- tanda mal nutrisi dengan nilai lab. Dalam
rentang normal.
2) Peningkatan berat badan sesuai tujuan.
Intervensi
Rasional
1) Kaji kemampuan pasien untuk 1) Faktor ini menentukan terhadap
mengunyah dan menelan, batuk dan
jenis makanan sehingga pasien
mengatasi sekresi.
harus terlindung dari aspirasi.
2) Auskultasi bising usus, catat adanya 2) Bising usus membantu dalam
penurunan/hilangnya atau suara
menentukan respon untuk makan
hiperaktif.
atau berkembangnya komplikasi
seperti paralitik ileus.
3) Jaga keamanan saat memberikan 3) Menurunkan
regurgitasi
dan
makan
pada
pasien,
seperti
terjadinya aspirasi.
meninggikan kepala selama makan
atatu selama pemberian makan
lewat NGT.
4) Berikan makan dalam porsi kecil 4) Meningkatkan proses pencernaan
dan sering dengan teratur.
dan toleransi pasien terhadap nutrisi
yang
diberikan
dan
dapat
meningkatkan kerjasama pasien saat
makan

5) Kolaborasi dengan ahli gizi.

5) Metode
yang
efektif
untuk
memberikan kebutuhan kalori

e. Gangguan rasa nyeri berhubungan dengan cedera psikis, alat traksi.


Tujuan : Setelah dilakuan tindakan keperawatan selama 2x24 jam rasa
nyeri dapat berkurang/ hilang dengan Kriteria Hasil:
1) Sekala nyeri berkurang 3-1
2) Klien mengatakan nyeri mulai berkurang, ekspresi wajah klien
rileks
Intervensi
Rasional
1) Teliti
keluhan
nyeri,
catat 1) Mengidentifikasi karakteristik nyeri
intensitasnya,
lokasinya
dan
merupakan faktor yang penting
lamanya.
untuk menentukan terapi yang
cocok
serta
mengevaluasi
keefektifan dari terapi.
2) Catat kemungkinan patofisiologi 2) Pemahaman terhadap penyakit yang
yang khas, misalnya adanya
mendasarinya membantu dalam
infeksi, trauma servikal.
memilih intervensi yang sesuai.
3) Berikan tindakan kenyamanan, 3) Menfokuskan kembali perhatian,
misal
pedoman
imajinasi,
meningkatkan rasa kontrol dan
visualisasi, latihan nafas dalam,
dapat meningkatkan koping.
berikan aktivitas hiburan, kompres
4) Kolaborasi dengan pemberian obat 4) Tindakan alternatif mengontrol
anti nyeri, sesuai indikasi misal,
nyeri.
Dibutuhkan
untuk
dentren
(dantrium)
analgesik;
menghilangkan spasme/nyeri otot
antiansietas
missal
diazepam
atau untuk menghilangkan ansietas
(valium).
dan meningkatkan istirahat.

f. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi


sensori dan kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan.
Tujuan : Pasien dapat melakukan mobilitas fisik setelah mendapat
perawatan dengan Kriteri Hasil :
1) Tidak adanya kontraktur, footdrop.
2) Ada peningkatan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit.
3) Mampu mendemonstrasikan aktivitas yang memungkinkan
dilakukannya
Intervensi
Rasional
1) Periksa kembali kemampuan dan 1) Mengidentifikasi kerusakan secara
keadaan secara fungsional pada
fungsional
dan
mempengaruhi
kerusakan yang terjadi.
pilihan intervensi yang akan
dilakukan.

2) Berikan bantu untuk latihan rentang 2) Mempertahankan mobilitas dan


gerak
fungsi
sendi/
posisi
normal
ekstrimitas
dan
menurunkan
terjadinya vena statis.
3) Bantu pasien dalam program 3) Proses penyembuhan yang lambat
latihan dan penggunaan alat
seringakli menyertai trauma kepala
mobilisasi. Tingkatkan aktivitas
dan pemulihan fisik merupakan
dan partisipasi dalam merawat diri
bagian
yang
sangat
penting.
sendiri sesuai kemampuan
Keterlibatan pasien dalam program
latihan sangat penting untuk
meningkatkan kerja sama atau
keberhasilan program.
g. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan
kesadaran, peningkatan tekanan intra kranial.
Tujuan : Fungsi persepsi sensori kembali normal setelah dilakukan
perawatan selama 3x 24 jam dengan Kriteria Hasil :
1) Mampu mengenali orang dan lingkungan sekitar.
2) Mengakui adanya perubahan dalam kemampuannya.
Intervensi
Rasional
1) Kaji kesadaran sensori dengan 1) peningkatan
atau
penurunan
sentuhan, panas/ dingin, benda
sensitivitas atau kehilangan sensasi
Semua sistem sensori dapat
untuk menerima dan berespon sesuai
terpengaruh
dengan
adanya
dengan stimuli.
perubahan
yang
melibatkan
tajam/tumpul
dan
kesadaran
terhadap gerakan.
2) Evaluasi secara teratur perubahan 2) Fungsi cerebral bagian atas biasanya
orientasi, kemampuan berbicara,
terpengaruh lebih dahulu oleh adanya
alam perasaan, sensori dan proses
gangguan
sirkulasi,
oksigenasi.
pikir.
Perubahan persepsi sensori motorik
dan
kognitif
mungkin
akan
berkembang dan menetap dengan
perbaikan respon secara bertahap
3) Bicara dengan suara yang lembut 3) Pasien
mungkin
mengalami
dan pelan. Gunakan kalimat pendek
keterbatasan
perhatian
atau
dan sederhana. Pertahankan kontak
pemahaman selama fase akut dan
mata.
penyembuhan. Dengan tindakan ini
akan membantu pasien untuk
memunculkan komunikasi.
4) Berikan lingkunganterstruktur rapi, 4) Pasien
mungkin
mengalami
nyaman dan buat jadwal untuk
keterbatasan
perhatian
atau
klien jika mungkin dan tinjau
pemahaman selama fase akut dan

kembali.

penyembuhan. Dengan tindakan ini


akan membantu pasien untuk
memunculkan komunikasi.
5) Kolaborasi pada ahli fisioterapi, 5) Pendekatan antar disiplin ilmu dapat
terapi okupasi, terapi wicara dan
menciptakan
rencana
terapi kognitif.
panatalaksanaan terintegrasi yang
berfokus pada masalah klien
h. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan
penurunan keseadaran.
Tujuan: Kerusakan komunikasi verbal tidak terjadi.
Kriteria hasil: Mengidentifikasi pemahaman tentang masalah
komunikasi dan klien dapat menunjukan komunikasi dengan baik
Intervensi
Rasional
1) Kaji derajat disfungsi

1) Membantu menentukan daerah atau


derajat kerusakan serebral yang
terjadi dan kesulitan pasien dalam
proses komunikasi
2) Mintalah klien untuk mengikuti 2) Melakukan
penelitian
terhadap
perintah
adanya kerusakan sensori
3) Anjurkan
keluarga
untuk 3) Untuk
merangsang
komunikasi
berkomunikasi dengan klien
pasien, mengurangi isolasi sosial dan
meningkatkan
penciptaan
komunikasi yang efektif..
i. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan
kulit kepala.
Tujuan : Tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3x 24 jam dengan Kiteria Hasil:
1) Bebas tanda-tanda infeksi, Mencapai penyembuhan luka tepat
waktu
2) Suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5OC)
Intervensi
Rasional
1) Berikan perawatan aseptic dan 1) Cara pertama untuk menghindari
antiseptik, pertahankan teknik
nosokomial infeksi, menurunkan
cuci tangan
jumlah kuman patogen .
2) Observasi daerah kulit yang 2) Deteksi dini perkembangan infeksi
mengalami
kerusakan,
kaji
memungkinkan untuk melakukan
keadaan luka, catat adanya
tindakan dengan segera dan
kemerahan, bengkak, pus daerah
pencegahan terhadap komplikasi
yang terpasang alat invasi dan
selanjutnya, monitoring adanya
TTV
infeksi.

3) Anjurkan klien untuk memenuhi


nutrisi dan hidrasi yang adekuat.
4) Batasi pengunjung yang dapat
menularkan infeksi
5) Pantau hasil pemeriksaan lab,
catat adanya leukositosis
6) Kolaborasi pemberian atibiotik
sesuai indikasi.

3) Meningkatkan imun tubuh terhadap


infeksi
4) Menurunkan pemajanan terhadap
pembawa kuman infeksi.
5) Leukosit meningkat pada keadaan
infeksi
6) Menekan pertumbuhan kuman
pathogen.

DAFTAR PUSTAKA
Batticaca, F. B. (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan.
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. 2006. Diunduh pada
27 Februari 2015 dari: http://www.biausa.org/pages/type_of_brain_injury
Muttaqin, arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
persyarafan. Jakarta : salemba medika
Tarwoto. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : CV. Sagung Seto

Вам также может понравиться