Вы находитесь на странице: 1из 116

BAB I

EPIDEMIOLOGI TRAUMA VERTEBRA

Trauma pada tulang belakang merupakan peristiwa yang merugikan, baik secara biaya
ataupun sosial. Trauma vertebra di negara maju dan berkembang terutama sering didapatkan
pada laki-laki berusia 1832 tahun. Secara global, data mengenai insidensi dan prevalensi trauma
tulang belakang amat terbatas, khususnya di negara-negara berkembang, termasuk upaya dalam
pencegahan, perawatan kesehatan dan perencanaan sosial yang berhubungan dengan
penyakitnya.1,2
Prevalensi Trauma Vertebra Secara Mendunia
Angka prevalensi trauma tulang belakang secara global dilaporkan berada di antara
2364187 per sejuta penduduk. Data prevalensi tulang belakang sampai saat ini belum tercatat
dengan baik, seperti halnya di negara-negara Asia dan diperkirakan memiliki nilai dibawah
prevalensi global. Bahkan pada negara Afrika dan Amerika Selatan, data tersebut tidak
diterbitkan.3 Data AS menunjukkan 7214187 per sejuta penduduk, dengan rata-rata sekitar 853
per sejuta penduduk.9,20,21,22,23 Kawasan Asia Selatan dan Tenggara sebesar 236464 per sejuta
penduduk.26,27 Australasia sebesar 370 di 1987-681 per sejuta penduduk di 1998.28,29,30 Eropa
Barat sebesar 316 per sejuta penduduk.31 Li dan Ning34,35 memberikan data insiden daerah
terakhir untuk daratan China sebesar 60,6 per sejuta penduduk per tahun di Beijing dan 23,7 di
provinsi Tianjin. Kecelakaan transportasi darat menyumbang 49% dari trauma tulang belakang
pada populasi Taiwan dengan 65% dari kecelakaan tersebut terkait dengan kendaraan bermotor
roda dua.36
Australia dan New Zealand12,39 memiliki angka kejadian trauma tulang belakang yang
tinggi akibat kecelakaan transportasi darat (terutama dari kendaraan roda empat), sekitar 63%
dari cedera ini mengenaivertebra servikal.40 Di Selandia Baru, rugby berperan dalam 8% kasus
cedera tulang belakang yang berhubungan dengan olahraga.

Untuk

Eropa

Timur,

data

Estonia

yang

digabungan

dengan

data

regional

Rusia41,42,43menunjukkan bahwa penyebab utama trauma tulang belakang di Estonia dan Rusia
adalah akibat terjatuh (40%) dan kecelakaan saat berkendara (25%).
Di Eropa, insidensi trauma vertebra dilaporkan sebagai berikut; Denmark sebesar 9,2 per
sejuta penduduk, Finlandia sebesar 13,8 per sejuta penduduk, Prancis sebesar 19,4 per sejuta
penduduk, Jerman sebesar 10,7 per sejuta penduduk, Yunani sebesar 33,6 per sejuta penduduk,
Greenland sebesar 26 per sejuta penduduk, Islandia sebesar 20 per sejuta penduduk, Irlandia
sebesar 13,1 per sejuta penduduk, Italia sebesar 19 per sejuta penduduk, Belanda sebesar 7,5 per
sejuta penduduk, Norwegia sebesar 26,3 per sejuta penduduk, Spanyol sebesar 12,1 per sejuta
penduduk, Swiss sebesar 15 per sejuta penduduk.2 Median dari data ini adalah 16 per sejuta
penduduk.54,55,56,57,58,59
Kelangsungan Hidup Penderita Trauma Vertebra Secara Global
Kemampuan merawat penderita trauma vertebra tercermin dalam sejumlah statistik
kelangsungan hidup; tingkat kelangsungan hidup pada 1 dan 10 tahun pascacedera, dan harapan
hidup dibandingkan dengan populasi normal. Negara-negara berkembang memiliki angka
kematian 1 tahun yang tertinggi akibattrauma vertebra.60,61,62
Insidensi trauma vertebraakibat kecelakaan transportasi darat (kendaraan roda empat)
stabil atau cenderung menurun di negara-negara maju, tetapi terdapat peningkatan di negaranegara berkembang. Laporan status global keselamatan dunia menggariskan bahwa 90%
kecelakaan transportasi darat yang fatal pada tahun 2004 terjadi di negara berpenghasilan rendah
dan menengah, dan merupakan penyebab kematian tertinggi pada kelompok usia 1529 tahun,
tertinggi kedua pada kelompok usia 514 tahun, dan tertinggi ketiga pada kelompok usia 3044
tahun.67,68
Penduduk di negara maju memiliki mobil dengan teknologi yang lebih aman;
kemampuan menyerap energi benturan, penggunaan sabuk pengaman aktif dan kantong udara.
Selain itu,

desain jalan yang lebih baik, kewajiban untuk memiliki lisensi mengemudi

(SIM)sertapenyediaan sarana transportasi publik yang baik dan aman seperti monorail.Negaranegara berkembang memiliki infrastruktur jalan yang buruk, banyak kendaraan yang tak layak

beroperasi, serta regulasi dan penegakkan hukum serta budaya keselamatan berlalu-lintas yang
buruk.Insidensi trauma vertebraakibatkecelakaan transportasi darat di daerah seperti Asia akan
terus meningkat seiring tren peningkatan penggunaan sepeda motor dan mobil.67,68
Kekerasan terkait trauma vertebra terjadi di daerah-daerah konflik bersenjata (luka
tembak dan penusukan).7,46,74Tingginya insidensi cedera tembak terdapat di Amerika Serikat dan
Brazil, dan proporsi tertinggi terdapat di negara Afrika Selatan.46,51,74,75 Greenland (Eropa Barat)
juga memiliki proporsi trauma vertebrayang tinggi akibat percobaan bunuh diri.14Tingkat
percobaan bunuh diri tampaknya didominasi oleh negara-negara di Skandinavia.16,31
Perbedaan demografi dan ekonomi antara negara maju dan berkembang mempengaruhi
insidensi trauma vertebra berdasarkan jatuh dari ketinggian rendah dan tinggi. Jatuh rendah (1
meter atau pada tingkat yang sama (slip dan perjalanan)) sering mengakibatkan tetraplegia,
terutama pada lansia.76
Dibutuhkan kecepatan dan keamanan ketika merujukpenderita trauma vertebra dalam 72
jam pertama dan idealnya langsung ke Rumah Sakit Pusat Ortopedik dan Bedah Saraf untuk
mengurangi komplikasi, dan mengoptimalkan hasil terapi dalam jangka panjang.81

Daftar Pustaka
1

Fitzharris M, Cripps RA, Lee BB. Estimating the global burden of traumatic vertebra cord
injury. Vertebra Cord 2011 (in press).

Cripps R, Lee B, Wing P, Weerts E, Mackay J, Brown D. A global map for traumatic vertebra
cord injury epidemiology: towards a living data repository for injury prevention. Vertebra
Cord 2011; 49: 493501. | Article | PubMed |

Wyndaele M, Wyndaele JJ. Incidence, prevalence and epidemiology of vertebra cord injury:
what

learns

worldwide

literature

529. | Article | PubMed | ISI | CAS |

survey? Vertebra

Cord 2006;44:

523

Ackery A, Tator C, Krassioukov AA. Global perspective on vertebra cord injury


epidemiology. J Neurotrauma 2004; 21: 13551370. | Article | PubMed | ISI |

Blumer

CE,

Quine

S.

Prevalence

of

vertebra

cord

injury:

an

international

comparison. Neuroepidemiology 1995; 14: 258268. | Article | PubMed | ISI | CAS |


6

Harvard University, Institute for Health Metrics and Evaluation at the University of
Wasington, Johns Hopkins University, University of Queensland, World Health Organization
(WHO). Global Burden of Disease Operations Manual, final draft. WHO. 2009.

National Vertebra Cord Injury Statistical Center. Vertebra cord injury. Facts and figures at a
glance. J Vertebra Cord Med 2005; 28: 379380.

Jackson AB, Dijkers M, DeVivo MJ, Poczatek RBA. Demographic profile of new traumatic
vertebra cord injuries: change and stability over 30 years. Arch Phys Med Rehabil 2004; 85:
17401748. | Article | PubMed | ISI |

Lasfargues JE, Custis D, Morrone F, Carswell J, Nguyen T. A model for estimating vertebra
cord

injury

prevalence

in

the

United

States. Paraplegia1995; 33:

62

68. | Article | PubMed | ISI | CAS |


10 Farry A, Baxter D. The incidence and prevalence of vertebra cord injury in canada: overview
and estimates based on current evidence. Rick Hansen Institute and Urban Futures Institute,
Canada. 2010 pp 149.
11 Rick Hansen Vertebra Cord Injury Registry.. Vertebra Cord Injury Facts and Statistics.
Vancouver, British Columbia, Canada. 2006 pp 111.
12 Cripps R. Vertebra cord injury, Australia, 200607. In. Injury Research and Statistics Series
Number 48. Cat. no. INJCAT 119. Adelaide, AIHW. 2008.
13 Biering-Sorensen F, Pedersen V, Clausen S. Epidemiology of Vertebra Cord Lesions in
Denmark. Paraplegia 1990; 28: 105108. | Article | PubMed |

14 Pedersen V, Muller PG, Biering-Sorensen F. Traumatic Vertebra Cord Injuries in Greenland


19651986. Paraplegia 1989; 27: 345349. | Article | PubMed | CAS |
15 Knutsdottir

S.

Vertebra

cord

injuries

in

Iceland

19731989.

follow

up

study.Paraplegia 1993; 31: 6872. | Article | PubMed | CAS |


16 Divanoglou A, Levi R. Incidence of traumatic vertebra cord injury in Thessaloniki, Greece
and Stockholm, Sweden: a prospective population-based study. Vertebra Cord 2009; 47: 1
6. | Article | PubMed |
17 O'Connor RJ, Murray PC. Review of vertebra cord injuries in Ireland. Vertebra
Cord2006; 44: 445448. | Article | PubMed |
18 Exner G, Meinecke FW. Trends in the treatment of patients with vertebra cord lesions seen
within a period of 20 years in German centers. Vertebra Cord1997; 35: 415
419. | Article | PubMed | ISI | CAS |
19 Lee B, Cripps RA, Woodman RJ, Biering-Srensen F, Wing P, Campbell R et alDevelopment
of an international vertebra injury prevention module: application of the international
classification of external cause of injury to vertebra cord injury. Vertebra Cord 2010; 48:
498503. | Article | PubMed | ISI |
20 Harvey C, Rothschild BB, Asmann AJ. Stripling T. New estimates of traumatic sci
prevalence: a survey-based approach. Paraplegia 1990; 28: 537544. | Article | PubMed |
21 Kurtzke JF. Epidemiology of vertebra cord injury. Exp Neurol 1975; 48 (Part 2): 163
236. | Article | PubMed | ISI | CAS |
22 DeVivo MJ, Fine PR, Maetz HM, Stover SL. Prevalence of vertebra cord injury: a
reestimation

employing

life

table

techniques. Arch

Neurol 1980; 37:

707

708. | Article | PubMed | CAS |


23 Stover

SL,

Fine

PR.

The

epidemiology

and

economics

injury.Paraplegia 1987; 25: 225228. | Article | PubMed | ISI | CAS |

of

vertebra

cord

24 Dryden DM, Saunders LD, Rowe BH, May LA, Yiannakoulias N, Svenson LW et al The
epidemiology of traumatic vertebra cord injury in Alberta, Canada. Can J Neurol
Sci 2003; 30: 113121. | PubMed | ISI |
25 Noonan V, Fingas M, Farry A, Baxter D, Singh A, Fehlings MG et al The incidence and
prevalence

of

vertebra

cord

injury

in

Canada:

national

perspective. Neuroepidemiology 2012; 38: 219226. | Article | PubMed |


26 Razdan S, Kaul RL, Motta A, Kaul S, Bhatt RK. Prevalence and pattern of major
neurological disorders in rural Kashmir (India) in 1986.Neuroepidemiology 1994; 13: 113
119. | Article | PubMed |
27 Weerts E. Final reporting of project outcomes Vertebra Cord Injury care and Orthopedic
workshop, pp 13 ( Hanoi. 2009.
28 Walsh J. Costs of vertebra cord injury in Australia. Paraplegia 1988; 26: 380
388. | Article | PubMed | ISI | CAS |
29 O'Connor PJ. Prevalence of vertebra cord injury in Australia. Vertebra Cord 2005;43: 42
46. | Article | PubMed | CAS |
30 Yeo JD, Walsh J, Rutkowski SB, Soden RJ, Craven ML, Middleton JW. Mortality following
vertebra cord injury. Vertebra Cord 1998; 36: 329336. | Article | PubMed | ISI | CAS |
31 Dahlberg A, Kotila M, Leppanen P, Kautiainen H, Alaranta H. Prevalence of vertebra cord
injury in Helsinki. Vertebra Cord 2005; 43: 4750. | Article | PubMed | ISI | CAS |
32 United Nations: Department of Economic and Social Affairs/Population Division. World
Population Ageing 2009. In. New York: United Nations. 2009.
33 World Health Organization. The global burden of disease: 2004 update. Geneva, Switzerland:
World Health Organization. 2008.

34 Li J, Liu G, Zheng Y, Hao C, Zhang Y, Wei B et al The epidemiological survey of acute


traumatic vertebra cord injury (ATSCI) of 2002 in Beijing municipality.Vertebra Cord 2011
(Vertebra

Cord

advance

online

publication,

March

2011;

doi:

doi:10.1038/sc.2011.8). | Article |
35 Ning G-Z, Yu T-Q, Feng S-Q, Zhou X-H, Ban D-X, Liu Y et al Epidemiology of traumatic
vertebra

cord

injury

in

Tianjin,

China. Vertebra

Cord 2011; 49:

386

390. | Article | PubMed | ISI |


36 Chen HY, Chen SS, Chiu WT, Lee LS, Hung CI, Hung CL et al A nationwide
epidemiological

study

of

vertebra

cord

injury

in

geriatric

patients

in

Taiwan.Neuroepidemiology 1997; 16: 241247. | Article | PubMed | ISI | CAS |


37 Kovindha A. A retrospective study of vertebra cord injuries at Maharaj Nakorn Chiang Mai
Hospital, during 19851991. Chiang Mai Med Bull 1993; 32: 8592.
38 Pajareya K. Traumatic vertebra cord injuries in Thailand; an epidemiologic study in Siriraj
Hospital, 19891994. Vertebra Cord 1996; 34: 608610. | Article | PubMed | ISI |
39 Dixon GS, Danesh JN, Caradoc-Davies TH. Epidemiology of vertebra cord injury in New
Zealand. Neuroepidemiology 1993; 12: 8895. | Article | PubMed | ISI | CAS |
40 Norton L Vertebra cord injury, Australia 200708. Injury research and statistics series no. 52.
Cat. no. INJCAT 128 Canberra: AIHW. 2010.
41 Sabre L, Linnamagi U, Derrik G, Rekand T, Asser T, Korv J. Traumatic vertebra cord injuries
in Estonia from 2003 to 2007. ISCoS. University of Tartu: Florence. 2009.
42 Silberstein B, Rabinovich S. Epidemiology of vertebra cord injuries in Novosibirsk,
Russia. Paraplegia 1995; 33: 322325. | Article | PubMed | ISI | CAS |
43 Kondakov EN, Simonova IA, Poliakov IV. The epidemiology of injuries to the spine and
vertebra cord in Saint Petersburg. Zh Vopr Neirokhir Im N N Burdenko 2002; 2: 50
53. | PubMed |

44 Van den Berg ME, Castellote JM, Mahillo-Fernandez I, De Pedro-Cuesta J. Incidence of


traumatic vertebra cord injury in Aragon, Spain (19722008). J Neurotrauma 2011; 28: 469
477. | Article | PubMed |
45 Karacan I, Koyuncu H, Pekel O, Sumbuloglu G, Kirnap M, Dursun H et alTraumatic vertebra
cord injuries in Turkey: a nation-wide epidemiological study. Vertebra Cord 2000; 38: 697
701. | Article | PubMed | ISI | CAS |
46 Otom AS, Doughan AM, Kawar JS, Hattar EZ. Traumatic vertebra cord injuries in Jordanan
epidemiological study. Vertebra Cord 1997; 35: 253255. | Article | PubMed | ISI | CAS |
47 Alshahri S, Cripps RA, Lee BB. Traumatic vertebra cord injury in Saudi Arabia: An
epidemiological

estimate

from

Riyadh. Vertebra

Cord 2012; 50:

882

884. | Article | PubMed |


48 Quinones M, Nassal M, Al Bader KI, Al Muraikhi AE, Al Kahlout SR. Traumatic vertebra
cord

in

Qatar:

An

epidemiological

study. Middle

East

Journal

of

Emergency

Medicine 2002; 2: 15.


49 Chabok S, Safaee M, Alizadeh A, Dafchahi M, Taghinnejadi O, Koochakinejad L.
Epidemiology of traumatic vertebra injury: A descriptive study. Acta Med Iran 2010; 48:
308311. | PubMed |
50 Ditunno JF. Formal CS. Chronic vertebra cord injury. New Engl J Med 1994;330: 550
556. | Article | PubMed |
51 National Vertebra Cord Injury Statistical Centre Birmingham Alabama. Vertebra Cord Injury
Facts and Figures at a Glance. Alabama, USA. 2008.
52 Burney RE, Maio RF, Maynard F, Karunas RB. Incidence, characteristics, and outcome of
vertebra cord injury at trauma ceners in North America. Arch Surg1992; 128: 596
599. | Article |

53 Goebert DA, Ng MY, Varney JM, Sheetz DA. Traumatic vertebra cord injury in
Hawaii. Hawaii Med J 1991; 50: 4450. | PubMed |
54 Griffin MR, O'Fallon WM, Opitz JL, Kurland LT. Mortality, survival and prevalence:
traumatic vertebra cord injury in Olmsted county, Minnesota, 19351981. J Chron
Dis 1985; 38: 643653. | Article | PubMed | CAS |
55 Kraus JF, Franti CE, Riggins RS, Richards D, Borhani NO. Incidence of traumatic vertebra
cord lesions. J Chron Dis 1975; 28: 471492. | Article | PubMed |
56 Price C, Makintubee S, Herndon W, Istre GR. Epidemiology of traumatic vertebra cord
injury and acute hospitalization and rehabilitation charges for vertebra cord injuries in
Oklahhoma, 19881990. Am J Epidemiol 1994; 139: 3747. | PubMed | ISI | CAS |
57 Acton PA, Farley T, Freni LW, Ilegbodu VA, Sniezek JE, Wohlleb JC. Traumatic vertebra
cord

injury

in

Arkansas,

19801989. Arch

Phys

Med

Rehabil1993; 74:

1035

1040. | Article | PubMed | ISI | CAS |


58 Thurman DJ, Burnett CL, Jeppson L, Beaudoin DE, Sniezek JE. Surveillance of vertebra
cord injuries in Utah, USA. Paraplegia 1994; 32: 665669. | Article | PubMed | ISI | CAS |
59 Calancie B, Molano MR, Broton JG. Epidemiology and demography of acute vertebra cord
injury in a large urban setting. J Vertebra Cord Med 2005; 28: 9296. | PubMed | ISI |
60 Nwadinigwe CU, Iloabuchi TC, Nwabude IA. Traumatic vertebra cord injuries (SCI): A
study of 104 cases. Niger J Med 2004; 13: 161165. | PubMed |
61 Levy LF, Makarawo S, Madzivire D, Bhebhe E, Verbeek N, Parry O. Problems, struggles and
some success with vertebra cord injury in Zimbabwe. Vertebra Cord1998; 36: 213
218. | Article | PubMed | CAS |
62 Key AG, Retief PjM. Vertebra cord injuries: an analysis of 300 new lesions.Paraplegia, TelAviv: Paraplegia 1968, 243249.

63 Krause JS, Zhai Y, Saunders LL, Carter RE. Risk of mortality after vertebra cord injury: An
8-year prospective study. Arc Phys Med Rehabil 2009; 90: 17081715. | Article |
64 Hu R, Mustard CA, Burns C. Epidemiology of incident vertebra fracture in a complete
population. Spine 1996; 21: 492499. | Article | PubMed | ISI |
65 O'Connor PJ. Survival after vertebra cord injury in Australia. Arch Phys Med
Rehabil 2005; 86: 3747. | Article | PubMed | ISI |
66 Middleton JW, Dayton A, Walsh J, Soden RJ, Leong G, Duong S. Life expectancy after
vertebra

cord

injury:

fifty-year

study. Vertebra

Cord 2012;50:

803

811. | Article | PubMed |


67 World Health Organization In:. World report on road traffic injury preventionPeden M,
Scurfield R, Sleet D, Mohan D, Hyder AA, Jarawan E, Mathers C(eds) Geneva. 2004.
68 World Health Organization. Global status report on road safety: time for action. Geneva:
World Health Organization. 2009.
69 Shingu H, Ohama M, Ikata T, Katoh S, Akatsu T. A nationwide epidemiological survey of
vertebra cord injuries in Japan from January 1990 to December 1992. Paraplegia 1995; 33:
183188. | Article | PubMed | ISI | CAS |
70 Inamasu J, Guiot B, Sachs D. Ossification of the posterior longitudinal ligament: an update
on

its

biology,

epidemiology,

and

natural

history.Neurosurgery 2006; 58:

1027

1039. | Article | PubMed |


71 Raja IA, Viohra AH, Ahmed M. Neurotrauma in Pakistan. World J Surgery2001; 25: 1230
1237. | Article |
72 Hoque MF, Grangeon C, Reed K. Vertebra cord lesions in Bangladesh: an epidemiological
study 19941995. Vertebra Cord 1999; 37: 858861. | Article | PubMed | ISI | CAS |

73 Mukhida K, Sharma MR, Shilpakar SK. Pediatric neurotrauma in Kathmandu, Nepal:


implications for injury management and control. Childs Nerv Syst2006; 22: 352
362. | Article | PubMed |
74 Hart C, Williams E. Epidemiologyof vertebra cord injuries: a reflection of changes in South
African society. Paraplegia 1994; 32: 709714. | Article | PubMed | ISI | CAS |
75 Barros F, Taricco MA, Oliveira RP, Greve JM, Santos LC, Napoli MM. Epidemiological
study of patients with vertebra cord injuries. Rev hosp Fac Med S Paulo 1990; 45: 123126.
76 Ide M, Ogata H, Tokuhiro A, Takechi H. Vertebra cord injuries in okayama prefecture: an
epidemiological study '88-'89. J UOEH 1993; 15: 209215. | PubMed |
77 Maharaj JC. Epidemiology of vertebra cord paralysis in Fiji: 19851994. Vertebra
Cord 1996; 34: 549559. | Article | PubMed | ISI | CAS |
78 Masood Z, Wardug GM, Ashraf J. Vertebra injuries: experience of a local neurosurgical
centre. Pak J Med Sci 2008; 24: 368371.
79 Wang D. The Prevention of Acute Traumatic Vertebra Cord Injury (ATSCI) in China. ISCoS
Workshop 111, 28th October: Delhi, India. 2010.
80 Bajracharya S, Singh M, Singh GK, Shrestha BP. Clinico-epidemiological study of vertebra
injuries in a predominantly rural population of eastern Nepal: a 10 years analysis. Indian J
Orthop 2007; 41: 286289. | Article | PubMed |
81. Schiller MD, Mobbs RJ, Lee BB, Stanford RE, Marial O. Acute care for vertebra cord
injured patients at vertebra injury units: the influence of early and direct admission on
complications and length of stay. ANZCoS, Brisbane, Australia 2011.

BAB II
MEKANISME TRAUMA VERTEBRA

Definisi
Trauma vertebra terjadi jika berat beban melebihi kemampuan vertebra dalam menopang
beban tersebut.1
Etiologi
Penyebab terjadinya trauma vertebra adalah sebagai berikut:
1. Trauma langsung (direk)
Fraktur yang disebabkan oleh adanya benturan langsung pada jaringan tulang, seperti
pada kecelakaan lalulintas,terjatuh dari ketinggian, dan benturan benda keras secara langsung.1
2.Trauma tidak langsung (indirek)

Fraktur yang bukan disebabkan oleh benturan langsung, tapi lebih disebabkan oleh beban
yang berlebihan pada jaringan tulang atau otot, contohnya seperti pada olahragawan yang
menggunakan hanya satu tangannya untuk menumpu beban tubuhnya.1
3.Trauma patologis
Fraktur yang disebabkan oleh proses penyakit, seperti osteoporosis, tumor dan infeksi.1
Jenis Fraktur Vertebra
Vertebra merupakan satu kesatuan yang kuat, yang diikat oleh ligamen didepan dan
dibelakang, serta dilengkapi diskus intervertebralis yang mempunyai daya absorpsi terhadap
tekanan atau trauma yang memberikan fleksibilitas dan elastisitas. Semua trauma vertebra harus
dianggap suatu trauma berat, sehingga sejak awal pertolongan pertama dan transportasi kerumah
sakit, penderita harus diperlakukan secara hati-hati. Trauma pada vertebra dapat mengenai:1
1. Jaringan lunak pada vertebra, yaitu ligamen, diskus dan faset.
2. Vertebra
3. Sumsum tulang belakang
Mekanisme Trauma pada Vertebra
Terdapat beberapa mekanisme trauma pada vertebra, yaitu:
1. Fleksi
Merupakan suatu trauma yang terjadi akibat fleksi disertai dengan sedikit kompresi pada
vertebra. Vertebra mengalami tekanansehingga terbentuk remuk yang dapat menyebabkan
kerusakan, atau tanpa disertai kerusakan ligamen posterior. Apabila terdapat kerusakan ligamen
posterior, maka fraktur bersifat tidak stabil dan dapat terjadi subluksasi.2
2. Fleksi dan rotasi
Merupakan suatu trauma fleksi yang terjadi bersamaan dengan rotasi. Terdapat strain dari
ligamen dan kapsul, juga ditemukan fraktur faset. Pada keadaan ini terjadi pergerakan ke depan
atau dislokasi vertebra diatasnya. Semua fraktur dislokasi bersifat tidak stabil.2
3. Kompresi vertikal (aksial)

Merupakansuatu

trauma

vertikal

yang

secara

langsung

mengenai

vertebradan

menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan memecahkan permukaan serta korpus
vertebra secara vertikal. Material diskus akan masuk ke dalam korpus vertebra dan menyebabkan
vertebra pecah. Pada trauma ini, elemen posterior masih intak sehingga fraktur bersifat stabil.2
4. Hiperekstensi atau retrofleksi
Merupakan suatu trauma yang sering ditemukan pada vertebra servikal dan jarang pada
vertebra torakolumbal. Umumnya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi dan
ekstensi. Ligamen anterior dan diskus dapat mengalami kerusakan atau terjadi fraktur pada arkus
neuralis. Fraktur ini umumnya bersifat stabil.2
5. Fleksi lateral
Merupakan suatu trauma distraksi atau kompresi yang menimbulkan fleksi lateral dan
menyebabkan fraktur pada komponen lateral, yaitu pedikel, foramen vertebra dan sendi faset.

Gejala Trauma Vertebra


Pada sebagian besar kasus, pasien tidak menceritakan riwayat trauma yang signifikan,
meskipun mereka kadang-kadang menuturkan riwayat aktivitas yang meningkatkan tarikan pada
vertebra, seperti membuka jendela, mengangkat anak kecil dari tempat tidur, atau gerakan
melenturkan badan secara berlebihan. Trauma dengan energi yang besar biasanya ditemukan
pada pasien berusia muda, terutama pada laki-laki dengan densitas tulang yang normal.
Hanya sepertiga kasus kompresi vertebra yang menunjukkan gejala. Pada fraktur yang
terasa nyeri, biasanya dikeluhkan nyeri yang dalam pada sisi fraktur. Jarang sekali menyebabkan
kompresi pada sumsum tulang belakang, tampilan klinis menunjukkan fraktur mielopati dengan
tanda dan gejala nyeri radikuler yang nyata. Rasa nyeri pada fraktur disebabkan oleh banyak
gerak, dan pasien biasanya merasa lebih nyaman dengan beristirahat.
Fraktur kompresi biasanya bersifat insidental, menunjukkan gejala nyeri tulang belakang
ringan sampai berat. Dapat mengakibatkan perubahan postur tubuh akibatterjadinya kifosis dan
skoliosis. Pasien juga menunjukkan gejala-gejala pada abdomen, seperti rasa perut tertekan,

cepat kenyang, anoreksia dan penurunan berat badan. Gejala pada sistem pernapasan dapat
terjadi akibat berkurangnya kapasitas paru.
Komplikasi Fraktur Kompresi vertebra
Apakah fraktur kompresi vertebra menunjukkan gejala atau tidak, komplikasi jangka
panjangnya tetapharus dicermati. Komplikasinya dapat dikategorikan sebagai biomekanika,
fungsional, dan psikologis.
1 Biomekanika
Nyeri vertebra persistenberkaitan dengan faktor-faktor mekanik dan kelemahan otot pada
kifosis.Gangguan pada abdomen, kifosis progresif, terutama dengan fraktur kompresi multipel,
menyebabkan pemendekan vertebra torakalis, sehingga menyebabkan penekanan pada abdomen
dan dapat menyebabkan gejala gastrointestinal, seperti rasa cepat kenyang dan tekanan pada
abdomen. Pada beberapa pasien yang mengalami pemendekan segmen torakolumbal yang
signifikan, kosta bagian terbawah akan bersandar pada pelvis, menyebabkan terjadinya
abdominal discomfort. Gejala-gejala pada gangguan abdomen dapat berupa anoreksia yang dapat
mengakibatkan penurunan berat badan, terutama pada pasien yang berusia lanjut.Konsekuensi
pada paru akibat adanya fraktur kompresi pada vertebra dan kifosis umumnya ditandai dengan
penyakit paru restriktif dengan penurunan kapasitas vital paru sekitar 9%. Oleh karena terjadinya
kifosis, maka beban berlebih akan ditopang oleh tulang disekitarnya, dan jika terdapat
osteoporosis, makaakan meningkatkan risiko terjadinya fraktur. Adanya satu atau lebih vertebra
yang mengalami fraktur kompresi semakin meningkatkanrisiko terjadinya fraktur tambahan lima
kali lipat dalam satu tahun.
2.

Fungsional
Pasien yang mengalami fraktur kompresi memiliki level yang lebih rendah dalam kinerja

fungsional dibandingkan dengan kelompok kontrol, lebih banyak membutuhkan bantuan dan
mengalami kesulitan dalam aktivitas sehari-hari, serta lebih sering mengalami sakit saat bekerja.
3.

Psikologis

Insidensi depresi meningkat 410% pada penderita fraktur kompresi vertebra akibat nyeri
kronik, perubahan bentuk tubuh, penurunan kemampuan merawat diri sendiri, dan akibat tirah
baring

yang lama. Pasien yang mengalami depresi umumnya mengalami lebih dari satu

fraktur,dan menjadi lebih cepat tua dan terisolasi secara sosial.

Daftar Pustaka
1

A.H. Menezas, VK. H. Sontag. 1996. Principles of vertebra surgery. Vol. 2 New York:

McGreaw Hill, p. 817-885


Youmans. 1996. Neurological surgery.. Vol. 3. 2nd ed W.B. Sounders, p. 2037-2041

BAB III
PENCITRAAN PADA TRAUMA VERTEBRA
Baku emas pencitraan trauma vertebra terus berubah seiring ketersediaan teknologi baru.
Computed tomography (CT-scan) terbaru memungkinkan pencitraan vertebra yang

lebih

akuratdan cepat dibandingkan dengan sebelumnya.1


Magnetic resonance imaging (MRI) juga memiliki peran penting dalam algoritma
pencitraan trauma vertebra. Terdapat beberapa studi yang menyelidiki urgensi pencitraan
padatrauma vertebra servikal. Tujuan umum dari pedoman (algoritma) ini adalah untuk
memprediksi secara akurat pasien yang berisiko mengalami fraktur akibat trauma vertebra
servikal, serta menghindari implikasi burukakibat luputdalam mendiagnosis fraktur vertebra

servikal. Manfaat sekunder pedoman tersebut adalah untuk mengurangi biaya pemeriksaan yang
tidak diperlukan.1
Radiografik polos (rontgen) telah terbukti kalah manfaatnya dibandingkan dengan CTscan dalam mendeteksi fraktur pada studi acak terkontrol yang membandingkan dua modalitas.
Suatu metaanalisis terbaru oleh Holmes dan Akkinepalli menunjukkan bahwa sensitivitas
radiografik polos adalah sebesar 52% dan untuk CT-scansebesar 98% untuk mengidentifikasi
pasien dengan cedera vertebra servikal. Timbul pertanyaan, kapan saat yang tepat untuk
memanfaatkan CT-scansebagai penunjang lini pertama cedera vertebra servikal?1
Di era rasionalisasi ekonomi, analisis biaya-manfaat menjadi bagian integral dalam
layanan kesehatan. Sementara biaya CT-scan lebih besar dibandingkan dengan radiografik polos,
baik Blackmore dkk. dan Grogan dkk. menunjukkan bahwa ketika biaya institusional terkait
upaya mencari fraktur vertebra servikal diperhitungkan, CT-scan menjadi tes skrining yang
disukai untuk kelompok risiko tinggi dan moderat.1
Selain mengurangi sensitivitas dalam mendeteksi fraktur, kekurangan lainnya dari
radiografik polos dibandingkan dengan CT-scan adalah waktu pemeriksaan yang lebih lama.
Pada pasien multitrauma, pencitraan yang cepat dan tepat untuk mengetahui fraktur vertebra
servikalmerupakan elemen penting dari manajemen diagnostik dan terapi.1
Pencitraan Radiografik
Pencitraan radiografik standar untuk vertebra di antaranyaantero-posterior (AP), lateral,
dan oblik (miring). Radiografik AP diperoleh dengan posisi pasien terlentang. Lutut pasien
dilipat untuk mengurangi lordosis lumbal. Sinar-X diarahkan ke perut tengah di atas umbilikus
dan krista iliaka. Pencitraan radiografik lumbal lateral diperoleh dengan posisi pasien berbaring
pada kedua sisi dengan lutut dan pinggul ditekuk. Sinar-X diarahkan pada vertebra lumbal
ketiga (L3). Radiografik dalam tampilan oblik diperoleh dengan rotasi 45, dengan sinar-X
diarahkan pada vertebra L3.Gambar radiografik dari cedera traumatik vertebra ditunjukkan pada
Gambar 3.1 dan 3.2.2,3

Gambar 3.1 dan 3.2 Radiografik Cedera Traumatik Vertebra


Sumber: laporan jaga bedah saraf FK Unpad-RS.Dr. Hasan Sadikin tahun 2013

Pada radiografik AP, jarak interpedikuler meningkat dari L1 ke L5. Pada radiografik
lateral, korpus vertebra L1 sering sedikit terjepit di anterior karena kondensasi endplates.
Pembengkakan jaringan lunak dapat menunjukkan fraktur, bahkan jika fraktur tidak dapat
langsung divisualisasikan. Struktur yang terbaik tampak pada radiografik oblik.4,5,6
Fraktur burst, yang merupakan salah satu cedera serius pada vertebra lumbal, umumnya
mudah terdeteksi pada radiografik AP lumbal. Pada radiografik lateral, kriteria ketidakstabilan
adalah tinggi korpus vertebra berkurang lebih dari 50%, angulasi torakolumbal junction lebih
dari 20, terdapat cedera neurologik, dan penyempitan kanal lebih dari 30%, seperti tampak pada
Gambar 3.3, 3.4 dan 3.5. 2,3

Gambar 3.3, 3.4 dan 3.5 Fraktur Burst


Sumber: laporan jaga bedah saraf FK Unpad-RS.Dr. Hasan Sadikin tahun 2013

Intervensi bedah secara dini diindikasikan untuk cedera seperti ini, sehingga kompresi
tambahan pada fraktur dan cedera neurologik yang lebih berat dapat dihindari. Vertebra
torakolumbalis junction yang normal memiliki sudut 0 antara T12 dan L1.2,3,6
Radiografik oblik vertebra lumbal berguna untuk mengevaluasi spondilolisis dari pars
interartikularis. Yang dimaksud dengan Scottie dog configuration menunjukkan terdapatnya
kelainan di leher dengan dog-shaped configurationpada pasien dengan spondilolisis.2,3
Pada pasien yang telah menjalani operasi vertebra, radiografik merupakan modalitas yang
paling umum digunakan untuk pencitraan pascaoperasi. Pemeriksaan CT-scan dan MRI mungkin
berguna pascaoperasi, tetapi perangkat logam yang digunakan pada tulang pascaoperasi dapat
menyebabkan timbulnya artefak.7,8
Computed Tomography(CT-scan)
Potongan CT-scan aksial merupakan teknik yang paling sensitif untuk mendiagnosis
fraktur lumbal. CT-scan vertebra lumbal sangat penting karena dapat menghasilkan gambar

dengan resolusi tinggi, bahkan selama evaluasi multisistem pada kasus trauma. Oleh karena
tingginya insidensi trauma multipel, CT-scan abdomen, pelvis, dan vertebra lumbal dianjurkan
pada trauma tumpul. Luka traumatik vertebra lumbal ditampilkan pada Gambar 3.6, 3.7, 3.8,
dan 3.9.2,9

Gambar 3.6,3.7,3.8 dan 3.9 Gambaran CT-scanTrauma Vertebra Lumbal


Sumber: laporan jaga bedah saraf FK Unpad-RS.Dr. Hasan Sadikin tahun 2013

Computed tomography

lebih baik dalam mengidentifikasi trauma vertebra lumbal

dibandingkan dengan radiografik konvensional. Namun demikian, sebagian besar fraktur tampak
jelas pada radiografik polos, misalnya fraktur prosesus spinosus, fraktur prosesus transversus.10,11

Dengan diperkenalkannya CT-scan, evaluasi yang cermat dari vertebra lumbal dapat dilakukan
pada semua pasien tanpa melalui pemeriksaan khusus pada daerah lumbal.
Computed tomography vertebra sangat efektif dan akurat dalam mendiagnosis fraktur
karena tidak ada struktur yang tumpang tindih, dan dapat dimodifikasi dengan kontras. Tingkat
kepercayaan untuk diagnosis fraktur vertebra lumbal dengan CT-scan aksial lebih dari 98%.3,9
Pada sejumlah besar pasien trauma vertebra yang dievaluasi dengan CT-scan, kadang
didapatkan temuan insidentil penyakit yang berat,seperti neoplasma otak, paru, hati, ginjal dan
kanker payudara. Untuk perawatan jangka panjang dan pertimbangan medikolegal, pasien perlu
diberitahu tentang temuan insidental ini karena dibutuhkan evaluasi lebih lanjut.5,9

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Peran MRI pada trauma vertebra akut adalah untuk mengevaluasi gejala-gejala neurologik dan
dugaan terdapatnya

ligament disruption. Magnetic resonance imaging

dapat langsung

memvisualisasikan medula spinalis, yang memungkinkan dilakukan penilaian adanya kompresi


sumsum tulang belakang, memar, dan perdarahan. Pada kasus mielopatiakut traumatik, lesi
seperti hematoma epidural, prolaps diskus akut, dangangguan ligamen dapat ditunjukkan dan ini
merupakan suatu keunggulan dari MRI.Hasil pemeriksaan MRI inibermanfaat dalam melakukan
koreksi pembedahan dan menyelamatkan fungsi neurologik.1
Pemeriksaan MRI medula spinalis merupakan sarana yang sangat efektif untuk
mendeteksi dan mengevaluasi trauma vertebra lumbal. Gambar diperoleh dalam beberapa
proyeksi dengan menggunakan MRI 1,5T.14 Tampilan MRI trauma vertebra lumbal tampak pada
Gambar 3.10 dan 3.11.3,8
Pemeriksaan MRI vertebra lumbal dapat menunjukkan fraktur vertebra, dan sebagian
besar kelainan kesegarisan (alignment). Pola cedera sama dengan yang ditunjukkan pada
radiografik polos. Magnetic resonance imaging lebih unggul dibandingkan dengan radiografik
polos dan CT-scan untuk mendeteksi cedera jaringan lunak pada ligamen, kapsul segidan ruang
prevertebral. Magnetic resonance imaging juga unggul untuk mendeteksi perdarahan epidural
pada kasus cedera vertebra. Namun demikian, oleh karena resolusi MRI jauh lebih kecil
dibandingkan dengan CT-scan pada fraktur vertebra, maka MRI menjadi metode sekunder untuk
mengevaluasi fraktur vertebra.

Gambar 3.10 dan 3.11 Gambaran MRI TraumaVertebra Lumbal


Sumber: laporan jaga bedah saraf FK Unpad-RS.Dr. Hasan Sadikin tahun 2013

Pada dasarnya T2 MRI tulang belakang menunjukkan fraktur kompresi dengan


menunjukkan tulang kortikal gelap (hitam) dan cairan serebrovertebra dan edema sumsum tulang
belakang sebagai terang (putih). Subakut perdarahan di tulang belakang atau dalam ruang
epidural dapat dilihat sebagai daerah kerentanan intensitas sinyal hilang.MRI lebih unggul CT
dalam identifikasi tanda-tanda tidak langsung patah tulang, seperti edema paravertebra atau
perdarahan, perdarahan epidural, dan keseleo ligamen paravertebra dan intravertebra.
Pemeriksaan MRI vertebra bermanfaat dalam memprediksi perkembangan Schmorl node dan
fraktur kompresi vertebral endplates.3,8,9,11
Spektroskopi MR menunjukkan fraksi lemak meningkat pada tulang vertebra abnormal
lemah. Temuan MRI kelemahan tulang lebih sering terjadi pada pasien yang lebih tua dengan
fraksi lemak abnormal tinggi daripada orang lain. Dalam sebuah studi oleh Hanson et al, MRI
keseluruhan tulang berhasil menentukan jumlah lumbar pada 750 orang dari 762pasien rawat
jalan (98%).

Daftar Pustaka
1

Pramit M. Phal, MBBS, and James C. Anderson, MD. Imaging in Vertebra Trauma. Cited in
http://www.med.uottawa.ca

Barrett TW SM, Zhou C, Colfax JD, Russ S, Conatser P, et al. Prevalence of incidental
findings in trauma patients detected by computed tomography imaging. Am J Emerg Med.
2009.

G Mazzioti BA, Porcelli T. Vertebral fractures in patients with acromegaly: a 3-year


prospective study. J Clin Endocrinol Metab. 2013:3402-10.

Athanasakopoulus M MA, Triantafyllopoulos. Posterior vertebra fusion using pedicle screws.


Orthopedics. 2013.

Mandel S SJ, Peterson E. A retrospective analysis of vertebral body fractures following


epidural steroid injections. J Bone Joint Surg Am. 2013:961-4.

Rush JK KD, Astur N, Creek A, Dawkins R, Younas S, et al. Associated injuries in children
and adolescents with vertebra trauma. J Pediatr Orthop. 2013.

Cheng LM WJ, Zeng ZL, Zhu R, Yu Y, Li C, et al. . Pedicle screw fixation for traumatic
fractures of the thoracic and lumbar spine. Cochrane Database Syst Rev. 2013.

Hanson EH MR, Chang DS, Perkins TG, Bonifield DR, Tandy RD, et al. Sagittal wholespine magnetic resonance imaging in 750 consecutive outpatients: accurate determination of
the number of lumbar vertebral bodies. J Neurosurg Spine. 2010:47-55.

EA G. Computed tomographic screening for thoracic and lumbar fractures: is spine


reformatting necessary? Am J Emerg Med. 2010.

10 Abdelrahman H SA, Shawky A. Infection after vertebroplasty or kyphoplasty. A series of


nine cases and review of literature. Spine J. 2013.
11 Dai LY DW, Wang XY, Jiang LS, Jiang SD, Xu HZ. Assessment of ligamentous injury in
patients with thoracolumbar burst fractures using MRI. J Trauma. 2009:1610-5.

BAB IV
PENATALAKSANAAN PRE-HOSPITAL TRAUMA VERTEBRA
Pengetahuan tentang pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) perlu dipahami oleh
masyarakat karena kita tidak pernah tahu kapan terjadinya keadaan gawat darurat yang
mengancam jiwa dan tanpa kehadiran tim medis di lokasi kejadian.Dalam menolong
korban/penderita kecelakaan atau kondisi gawat darurat, harus diperhatikan kaidah golden
hour, mengingat setiap detik amat berarti dalam menyelamatkan jiwa korban. Penderita yang
terluka parah pada saat terjadi kecelakaan lalu lintas atau musibah lainnya memerlukan penilaian
yang cepat dan pengelolaan yang tepat. Penderita yang terluka akibat kecelakaan (termasuk
kecelakaan kerja) dan sebagainya dapat mengalami berbagai jenis trauma. Trauma adalah cedera
atau kerusakan salah satu atau beberapa organ tubuh yang dapat mengakibatkan kehilangan
fungsi organ yang rusak tersebut.1,2
Penanganan penderita pada tahap awal atau persiapan sebelum dirujuk ke rumah sakit
terdekat terdiri atas dua fase, yaitu:
-

Pre-hospital (sebelum ke rumah sakit), dapat dilakukan oleh tim safety di unit kerja yang
bekerja sama dengan tim medis,

In-hospital (fase di rumah sakit), dilakukan persiapan untuk menerima penderita sehingga
dapat segera dilakukan resusitasi.3
Yang perlu dipahami oleh masyarakat non-medis adalah fase pre-hospital. Pada fase pre-

hospital, diperlukan koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan petugas lapangan
di tempat kejadian (tim safety). Sebaiknya rumah sakit terdekat telah diberitahu sebelum
penderita dibawa ke rumah sakit. Pemberitahuan ini memungkinkan pihak rumah sakit
mempersiapkan tim khusus untuk menangani penderita dengan cepat dan tepat.4
Metode sederhana yang perlu dilakukan untuk menolong penderita adalah dengan
memeriksa keadaan vital penderita secara umum. Periksalah kesadaran, denyut nadi, pupil mata
dan suhu tubuh penderita. Setelah itu dilakukan primary survey, sedangkansecondary survey
hanya dapat dilakukan oleh tim medis. Primary survey dilakukan dengan urutan A,B,C,D,E
sebelum dilakukan resusitasi:

: airway (jalan napas)

: breathing (pernapasan)

: circulation (sirkulasi darah)

: disability (ketidakmampuan penderita, dilihat dari status neurologik/kesadaran)

: exposure/environmental control (evaluasi penderita)3,5


Untuk tahap ABC dapat dilakukan oleh masyarakat umum, sedangkan tahap D dan E

dilakukan oleh tim medis.Tahap ABC merupakan langkah awal yang perlu dilakukan pada saat
terjadi

trauma,

sebelum

dilakukan

resusitasi

jantung

paru

(RJP).

3,6

A. Airway
Jalan napas penderita harus terbuka dan lancar untuk mempermudah pemulihan pernapasan.
Harus dipastikan jalan napas benar-benar lancar. Penyebab kematianutama pada kasus trauma
adalah gangguan airway, yaitu ketidakmampuan untuk mengantarkan darah yang teroksigenasi
ke otak dan struktur vital lainnya. Apabila penderita tidak sadar atau muntah, kemungkinan besar
airway-nya mengalami gangguan berat, segera hubungi dokter. Pengelolaan sederhana untuk
mempertahankan airway penderita adalah dengan metode chin lift dan jaw thrust. Langkahlangkah mempertahankan airway penderita adalah sebagai berikut:7,8
1

Penderita ditelentangkan di tempat yang datar. Apabila masih bayi, tangan kita dapat
digunakan sebagai alas,

Segera bersihkan mulut penderita dan jalan napasnya dengan menggunakan jari,

Bebaskan jalan napas dengan menggunakan metode chin lift atau jaw thrust sebagai berikut:
a

Chin lift: jari-jemari pada salah satu tangan diletakkan di bawah rahang penderita,
kemudian secara hati-hati dan perlahan, dagu penderita diangkat. Sementara ibu jari
penolong (dengan menggunakan tangan yang sama) menekan secara ringan bibir bawah
penderita untuk membuka mulutnya. Pastikan saat melakukan ini tidak terdapat
ketegangan pada leher penderita.

Jaw thrust: tangan si penolong memegang sudut rahang bawah kiri dan kanan penderita,
kemudian rahang bawahnya di dorong ke depan.

Apabila penderita bayi atau anak-anak, cukup dongakkan sedikit saja kepalanya agar jalan
napasnya tidak tertutup.

Intubasi

untuk

membebaskan

jalan

napaspaling

baik

dilakukandengan

menggunakanimobilisasiin-linemanual untuk menghindarifleksileher. Intubasifiberoptikjuga


dapat mengurangimanipulasivertebra. Status neurologikpasiensertafungsi paruharus dinilaidan
dicatat, terutama pasiendengantetraparese.9,10.
B. Breathing
Langkah ini dilakukan setelah jalan napas (airway) dipastikan baik. Perlu dipastikan apakah
penderita dapat bernapas dengan baik. Hal ini dapat dilakukan melalui look (melihat) dan listen
(mendengarkan). Dengan melihat, kita dapat menilai apakah dada penderita bergerak untuk
bernapas, sedangkan untuk mendengarkan suara napas, diperlukan bantuan dokter dengan
penilaian melalui stetoskopnya. Apabila tidak ada dokter di sekitar lokasi kejadian, dan penderita
dipastikan belum dapat bernapas, berilah pernapasan buatan. Pernapasan buatan dilakukan
dengan menutup lubang hidung penderita, dan mulut penolong ditempelkan pada mulut
penderita, lalu penolong menghembuskan napasnya sebanyak dua kali. Setiap kali selesai
menghembuskan napas, penolong mengambil napas panjang kembali. Apabila terlihat dada
penderita telah mengembang/bergerak, berarti pernapasan penderita telah pulih.1,9,10
Pada penderita yang tidak dapat bernapas akibat tenggelam, penderita terlebih dahulu
diletakkan dalam posisi tengkurap dan wajahnya menghadap ke samping. Kosongkan dulu air
yang tertelan pada penderita dengan meletakkan telapak tangan penolong di perut penderita, lalu
penderita diangkat. Setelah dipastikan air telah keluar, penderita diletakkan dalam posisi
telentang dan dilakukan pernapasan buatan.1
C. Circulation
Pastikan sirkulasi darah penderita dengan menilai kesadaran, melihat warna kulit dan meraba
denyut nadi. Untuk melakukan pertolongan sirkulasi darah dan resusitasi jantung-paru,
diperlukan keterampilan khusus. Petugas lapangan (tim safety) yang bertugas sebagai tim
penanganan gawat darurat perlu diberikan pelatihan (teori dan praktik) dari tim medis untuk
melakukan resusitasi jantung-paru.1
Syok hipovolemik dan neurogenik dapat terjadipada trauma sumsum tulang belakang.
Penyebab hipotensi harus ditentukan dan segera diterapi. Hipotensi harus dianggap sebagai tanda
perdarahan perut, cedera aorta atau jantung, kehilangan darah eksternal, atau cedera okultisme,

sebelum dipertimbangkan terdapatnya syok neurogenik. Terlepas dari apapun penyebabnya, syok
harus ditangani secara agresif untuk mencegah cedera iskemik berlanjut ke sumsum tulang
belakang. Pengobatan terdiri atas administrasi cairan dan vasopresor untuk mempertahankan
tekanan darah sistemik sekitar 90 mmHg. Pasien dievaluasi secara kontinyu di instalasi gawat
darurat. Tindakan resusitasi dilanjutkan dan dimodifikasi sesuai kebutuhan penderita.1,2

Diperkirakansekitar

325%

cedera

vertebra

merupakan

trauma

iatrogenic,selaintraumaasal, baik selama fase merujuk (transportasi) atauketika dilakukan


resusitasiawal. Setelah kondisi penderita stabil di lokasi kejadian, leher harus diimobilisasi
dengan collar neckpada setiap pasien yangtidak sadarataudicurigai terdapat cederasumsum
tulang belakang. Scoop stretcherataupapandengantaliharus digunakanuntuklog-rolling. Pasien
harus tetapberada di ataspapansampaidievaluasidi instalasi gawat darurat. Transportasike rumah
sakit definitifharus segera dilakukan karena penundaanmengakibatkan hasil yang lebih buruk,
rawat inap lebih lama, danbiaya yang lebih tinggi.1,3,5
Pemeriksaan

korban

trauma

vertebra

harus

dilakukan

dalam

posisi

netral

(tanpamelakukan fleksi, ekstensi dan rotasi pada vertebra).Pasien hanya boleh dibalik atau
dimiringkan dengan cara log-rolling. Harus dilakukan imobilisasi sebaik-baiknya dengan cara
in-line immobilization, memasang stiff cervical collar dan bantal pasir diletakkan di kiri-kanan
kepala penderita.Transportasi penderita dilakukan dalam posisi netral.
Apabila terdapat trauma vertebra yang mungkin disertai kerusakan sumsum tulang
belakang, periksalah:

Apakah terdapat nyeri tekan?


Apakah terdapat deformitas dan tanda step-off posterior?
Apakah terdapat pembengkakan?
Tanda klinis yang menyertai kerusakan akibat trauma vertebra servikal adalah:

Kesulitan bernapas (pola napas diafragma, pola napas paradoksal),


Kelumpuhan otot dan hilangnya refleks (periksa sfinkter ani),
Hipotensi dengan bradikardia.

Jika tersedia alat rontgen, maka perlu dilakukan foto vertebra servikal pada posisi anteroposterior (AP) dan posisi lateral yang menampakkan sendi atlas-aksis dan tujuh ruas vertebra
servikal.11,12
Imobilisasi Leher, Vertebradan Fraktur
Pasien dengan trauma tumpul yang luas harus didugamengalami trauma medula spinalis,
dan pencegahan trauma lebih lanjut harus dilakukan dengan imobilisasi vertebra. Identifikasi dan
pembidaian fraktur dan imobilisasi semua bagian yang cedera sebelum dirujuk sangat
pentingpada pertolongan pertama. Penanganan yang tidak tepat pada pasien cedera dapat
memperburuk cederanyaatau menimbulkan syok.Lakukan pembidaian ditempat, sedikit
pengecualian ketika harus memindahkan pasien dari bahaya api, ledakan, gas beracun dan lainlain. Imobilisasi harus dikerjakan dengan segera dan dirujuk ke rumah sakit terdekat.5

Daftar Pustaka
1.

Doherty GM. Current Diagnosis & Treatment Surgery. 13 ed. 13, editor. United States:
Lange Medical Publications; 2010.

2.

Davis DP HD, Ochs M, et al. The effect of paramedic rapid sequence intubation on
outcome in patients with severe traumatic brain injury. J Trauma 2003;54(3):444453.
The effect of paramedic rapid sequence intubation on outcome in patients with severe
traumatic brain injury. J Trauma. 2003;54:444-53.

3.

Student AC. Advanced Trauma Life Support. 7 ed. Chicago2004.

4.

Chan PD. Pediatrics. USA2007.

5.

RM

D.

Prehosp

Emerg

Care

1999.

Indications

for

prehospital

vertebra

immobilization1999. p. 251-3.
6.

Ezekiel MR. Handbook of Anesthesiology2008.

7.

Loftus CM. Neurosurgical Emergencies. New York: Thieme; 2008.

8.

Siddiqi J. Neurosurgical Intensive Care. USA: Thieme; 2008.

9.

Bond RJ KJ, Preshaw RM. Field trauma triage: Combining mechanism of injury with the
prehospital index for an improved trauma triage tool. J Trauma. 1997:283-7.

10.

Hopson LR HE, Delgado J, et al. Guidelines for withholding or termination of


resuscitation in prehospital traumatic cardiopulmonary arrest: A joint position paper from
the National Association of EMS Physicians Standards and Clinical Practice Committee
and the American College of Surgeons Committee on Trauma. Prehosp Emerg Care

2003;7(1):141146. Prehosp Emerg Care Guidelines for withholding or termination of


resuscitation in prehospital traumatic cardiopulmonary arrest2003. p. 141-6.
11.

Wilson SE. Current Clinical Strategies Surgery. USA. 2006.

12.

Wilson WC. Trauma Emergency Resuscitation Perioperative Anesthesia Surgical


Management. USA. 2007.

BAB V
PENATALAKSANAAN OPERATIF
TRAUMA VERTEBRA SERVIKAL
Pendahuluan
Fraktur vertebra servikal mencakup 2030% dari seluruh kasus fraktur vertebra,
sedangkan cedera medula spinalis servikal mencakup 50% dari seluruhkasus cedera medula
spinalis.Insidensi cederamedula spinalis servikal dilaporkan sebesar 48% yang terjadi
bersamaan dengan cedera kepala. Tingkat keparahan cedera kepala dilaporkan memiliki korelasi
positif dengan cedera servikal.1
Cedera servikal terjadi pada level yang berbeda-beda sesuai kelompok usia. Secara
umum,insidensi cedera servikal sebesar 75% terjadi dibawah level C4, namun pada usia dibawah
8 tahun terjadi pada level C3 keatas. Cedera servikal atas bersifat fatal, dimana atlanto-occipital
dislocation (AOD) dihubungkan dengan mortalitas sebesar 70100%. Perbedaan anatomi
servikal anak dan dewasa merupakan penyebab utama perbedaan pola cedera.1

Gambar 5.1 Fraktur Dislokasi dan Spondilolistesis Vertebra C4 dan C5


Sumber: laporan jaga bedah saraf FK Unpad-RS.Dr. Hasan Sadikin tahun 2013

Stabilisasi Pembedahan
Penanganan bedah pada konteks fraktur dislokasi vertebra servikal masih merupakan isu
kontroversial. Pasien yang menunjukkan defisit neurologikkomplet setelah beberapa jam atau
lebih pascacedera memiliki peluang yang kecil untuk pulih. Hampir semua ahli sependapat
bahwa intervensi pembedahan adalah bagi pasien yang tidak stabil dan secara progresif
menunjukkan defisit neurologik. Pada pasien yang stabil, pemilihan waktu yang tepat untuk
dilakukan dekompresi tidak jelas. Alasan perlu dilakukannya dekompresi dini adalah untuk
meminimalisasi cedera sekunder dengan meningkatkan perfusi, mengurangi distorsi anatomis,
dan mengembalikan sirkulasi cairan serebrovertebra yang optimal. Namun beberapa ahli yang
tidak setuju dengan dekompresi dini mengajukan argumentasi bahwa medula spinalis yang
mengalami cedera lebih rentan terhadap manipulasi dan perubahan hemodinamik yang dapat
terjadi pada intervensi pembedahan, dan risiko pembedahan merupakan morbiditas yang
potensial.1,2
Laminotomi Servikal, Laminektomi, Laminoplasti, dan Foraminotomi
Terdapat beberapa prosedur yang memungkinkan adanya akses terhadap kanalis spinalis
atau foramen neural.Setiap prosedur memiliki keuntungan dan kerugiannya masing-masing.
Pendekatandorsal memiliki 3 keuntungan,yaitu: 1) usaha minimal dalam mengekspos atau
mendekompresi pada level yang multipel, 2) seringkali stabilitas setelah dilakukan pendekatan
dorsal tidak memerlukan tambahan instrumentasi dan atau fusi, sehingga menurunkan kebutuhan
terhadap imobilisasi dan kerusakan daerah donor, 3) prosedur ini tidak membuat pergerakan

antar segmen menjadi kaku, sehingga tidak mempercepat degenerasi spondilotik pada level yang
terlibat.
Beberapa deformitas vertebra berat dapat terjadi apabila tidak terdapat pertimbangan
yang adekuat dari stabilitas vertebra secara keseluruhan, terutama pada pasien muda dan pasien
yang telah menjalani laminektomi pada beberapa level. Pasien dengan perubahan degeneratif
yang ekstensif memiliki mobilitas vertebra yang terbatas, dan perubahan tersebut dapat
memberikan efek stabilisasi tambahan. Pada pasien dengan kelainan neurologik seperti
neoplasma atau syrinx seringkali terjadi deformitas pada vertebra. Hal ini mungkin disebabkan
oleh kelainan tonus otot yang diakibatkan oleh gangguan input neurologik serta gangguan pada
tulang yang diakibatkan oleh pembedahan. Penggantian pada struktur di daerah dorsal
diharapkan dapat mencegah terjadinya deformitas pada beberapa kasus.
Pada beberapa kasus yang lain, fusi dorsal yang lebih luas diperlukan, dengan atau tanpa
instrumentasi. Dalam rangka meminimalisasi instabilitas dan biomekanika yang abnormal, telah
dikembangkan berbagai macam modifikasi laminektomi. Hemilaminektomi parsial, dengan atau
tanpa foraminotomi, telah menjadi pendekatan dorsolateral standar untuk diskus pada regio
servikal dan lumbal. Pendekatan lebih lateral dapat dilakukan dengan cara transpendikular atau
transversektomi, seringkali lebih menguntungkan untuk kelainan pada diskus di daerah toraks
lateral oleh karena sempitnya daerah kanalis spinalis. Teknik laminektomi standar tidak
disarankan untuk tindakan pada diskus di daerah toraks. Defek sentral dengan dasar yang luas,
terutama yang berekstensi sampai parenkim medula spinalis atau diasosiasikan dengan kifosis,
disarankan untuk dilakukan tindakan dengan pendekatan yang lebih ventral.
Laminektomi Multilevel
Tidak terdapat hubungan yang jelas antara insidensi deformitas, jumlah lamina yang
dibuang dan kondisi neurologikpascalaminektomi. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa
perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut pada pasien, terutama yang berusia muda, yang
menjalani laminektomi lumbal yang dikombinasikan dengan fasetektomi total unilateral.4,5
Laminoplasti
Dalam rangka menjaga integritas dorsal dari vertebra, telah diajukan beberapa tambahan
dan modifikasi laminoplasti. Berbagai variasi dari laminoplasti dengan pengembalian lamina
pada lokasi awal telah dikembangkan. Beberapa penulis menyarankan tindakan pengangkatan

total bilateral dari lamina. Penulis lain menyarankan modifikasi dari teknik tersebut berupa open
door laminoplasty yang telah dideskripsikan oleh Hirabayashi. Teknik open door laminoplasty
saat ini digunakan untuk menangani mielopati spondilotik servikalis. Rekonstruksi dari kanalis
spinalis dapat memberikan beberapa keuntungan terhadap fungsi medula spinalis dengan
membentuk lingkungan yang lebih alamiah. Efek scarring dari otot pada duramater
dibandingkan dengan struktur normal tulang belakang akan secara negatif berpengaruh terhadap
aspek mekanisvertebra. Pada beberapa kasus, hal tersebut dapat menimbulkan nyeri
pascalaminektomi yang lebih kuat. Perlu juga diperhatikan bahwa tindakan laminoplasti
sebaiknya tidak mengganggu dekompresi ataupun meningkatkan risiko operasi karena
instabilitas maupun perkembangan deformitas jarang ditemukan, terutama apabila dilakukan
pada pasien yang tidak memiliki riwayat instabilitas. 4,5
Teknik Pembedahan
Posisi dan Monitoring Intraoperatif
Kebanyakan ahli bedah lebih menyukai posisi prone untuk pendekatan dorsal dari
vertebra. Walaupun demikian, beberapa ahli bedah lainnya lebih menyarankan posisi duduk
dalam tindakan yang melibatkan level servikal dan torakal atas. Hal ini terutama lebih
ditekankan pada tindakan yang tidak memerlukan instrumentasi dan fusi. Permasalahan yang
berkaitan dengan emboli udara pada posisi duduk amat jarang, walaupun monitoring ketat dapat
mendeteksi adanya udara yang memasuki sistem vena pada sekitar 7% tindakan laminektomi
pada posisi duduk. Walau demikian, insidensi emboli udara yang signifikan dapat dijumpai pada
prosedur yang melibatkan level servikal tinggi, misalnya prosedur pada daerah foramen
magnum. Prosedur monitoring rutin yang digunakan adalah doppler prekordial dan pengukuran
end-expired CO2 and nitrogen dengan mass spectrometer. Ekokardiografi esofagusdapat
digunakan apabila risiko dinilai lebih besar. Apabila pasien berada dalam posisi duduk, kateter
vena biasanya digunakan dengan ujung pada atrium kanan, sehingga udara yang memasuki
sistem vena dapat diaspirasi.
Perlu ditekankan bahwa emboli udara dapat terjadi apabila dilakukan tindakan operasi di
mana terdapat vena yang terbuka pada lapang operasi dengan ketinggian beberapa sentimeter di
atas jantung. Pada kasus seperti itu, perlu dilakukan monitoring dan terapi pencegahan yang
tepat. Apabila pasien berada dalam posisi prone, seringkali operator tergoda untuk melakukan

fleksi pada leher untuk memperoleh lapang pandang yang lebih baik daerah foramen magnum.
Hal ini perlu dihindari, baik pada pasien dengan posisi prone ataupun duduk, terutama apabila
didapatkan adanya instabilitas dari servikal atas. 4,5
Insisi dan EksposVertebra
Setelah pasien diposisikan, dibersihkan, dan dilakukan drapping, dilakukan insisi kulit
vertikal untuk mengekspos elemen dorsal yang dibutuhkan dalam prosedur. Diseksi yang tidak
perlu tidak hanya

menyebabkan ketidaknyamanan pascaoperasi, namun juga dapat

mengakibatkan kerusakan faset, timbulnya jaringan parutdan kerusakan jaringan lunak sehingga
mengakibatkan morbiditas. Pada anak, ekspos lamina dapat mengakibatkan fusi elemen dorsal
spontan yang tidak diinginkan. Dengan ekspos yang minimal, radiografik umumnya dibutuhkan
untuk mengidentifikasi dan mengkonfirmasi level yang diperlukan. Diseksi subperiosteal
kemudian dilakukan untuk membebaskan otot dan jaringan lunak dari prosesus spinosus dan
lamina. 4,5

Dekompresi Duramater
Banyak pernyataan dogmatis telah dibuat mengenai teknik yang digunakan untuk
mengangkat lamina. Wajar apabila dikatakan bahwa teknikapapun yang digunakan, perlu
diperhatikan agar tidak terjadi kompresi pada duramater atau elemen saraf yang berada di
bawahnya. Banyak ahli bedah vertebra yang menggunakan bor berkecepatan tinggi untuk
menipiskan lamina sehingga dapat dipisahkan dari duramater dengan menggunakan kuret atau
rongeur Kerrison bersudut kecil. Walau demikian, rongeur bersudut kecil sekalipun sulit
diletakkan di antara duramater dan lamina apabila kanalis spinalis cukup sempit.
Walaupun banyak yang menulis tentang tidak sesuainya penggunaan rongeur Adson atau
Leksell untuk mengangkat lamina, alat tersebut dapat digunakan dengan aman apabila tidak
digunakan dibawah lamina. Apabila digunakan untuk menipiskan lamina dan tidak meletakkan
moncong alat di bawah lamina (Gambar 5.2), lamina dapat ditipiskan dengan efisien dan pada
beberapa kasus dapat diangkat tanpa memindahkan atau menekan jaringan di bawahnya. Penting
untuk diingat

bahwa tulang harus diangkat sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan

kompresi

yang

signifikan

pada

duramater

atau

radiks

di

bawahnya.

Gambar 5.2. Teknik Laminektomi


Sumberhttp://www.eastbayspine.com/laminectomy-procedures-spine-surgery-east-bay-area.html

Gambar 5.3 dan 5.4 Teknik Pengangkatan Ligamen Flavum

Sumberhttp://doctorstock.photoshelter.com/

Banyak teknik yang digunakan untuk mengangkat ligamen flavum. Walau demikian,
metode yang paling umum adalah untuk membuat insisi vertikal paralel dengan aksis
longitudinal dari kanalis spinalis, di mana lamina bertemu dengan prosesus spinosus. Setelah
duramatertampak di bawah potongan ini, alat tumpul dapat diletakkan untuk memperbesar
lubang searah dengan serabut. Ujung tumpul dari bayonet seringkali sulit untuk menembus
duramater, setipis apapun. Setelah dilakukan insisi vertikal pada ligamen, Kerrison atau kuret
dapat digunakan untuk memotong sisa dari ligamen karena menempel pada lamina di atas dan di
bawahnya (Gambar 5.3 dan 5.4). Dengan menyertakan lebih kurang 1 mm tulang pada
pengangkatan, ligamen dapat diangkat dari tulang dan memaksimalkan ekspos dari duramater.
Sudah disampaikan sebelumnya bahwa harus berhati-hati agar tidak mengangkat tulang lebih
dari yang diperlukan. Laminotomi atau ekspos yang terlalu kecil dapat mengakibatkan retraksi
duramater atau radiks yang berlebihan. 4,5

Dekompresi Radiks
Laminoforminotomi keyhole untuk kompresi radiks servikal umumnya aman dan dapat
memberikan ekspos yang memuaskan. Teknik ini tidak menambah waktu operasi dan angka
morbiditas, serta mempertahankan struktur anatomi normal. Tindakan memperbesar foramen
dapat dikerjakan tanpa merusak sendi faset. Destruksi sendi faset dapat mengakibatkan
penurunan stabilitas. Raynor menunjukkan bahwa pengangkatan faset bilateral lebih dari 50%
akan secara signifikan mengurangi kekuatan dari vertebra servikal.Seluruh bagian dari foramen
dapat diperbesar secara aman menggunakan kuret atau bor dengan tetap melakukan preservasi
faset lebih dari 50% dengan bekerja secara parallel dan di bawah radiks.Setelah diperoleh
ruang,kemudian dilakukan pengangkatan batas foramen yang terletak dorsal dari radiks (Gambar
5.5). 4,5

Gambar 5.5 Dekompresi Radiks


Sumber http://www.neurologyindia.com

Pembedahan pada Herniasi Diskus dan Stenosis Foramen


Pada kasus kelainan diskus servikal atau kompresi radiks servikal akibat stenosis
foramen, dekompresi dimulai dengan hemilaminektomi parsial di bagian atas dan bawah dari
daerah yang dicurigai memiliki kelainan. Dengan mengangkat batas inferior dari lamina superior
ke arah lateral dan ligamen flavum, identifikasi dari batas duramater lateral dan asal radiks dapat
dilakukan. Aksila kemudian dapat diekspos dengan mudah. Walaupun ekspos terutama pada
bagian inferior, akan lebih baik apabila dapat mengekspos batas superior dari radiks untuk dapat
melakukan identifikasi sempurna dan memperoleh ruang untuk mobilisasi radiks secara minimal.
Hal ini diperlukan setelah diskus yang terekstrusi diangkat. Seringkali terdapat ruang kecil
inferior dari radiks. Ruang ini harus diperbesar dengan kuret atau bor berkecepatan tinggi. Perlu
diingat untuk mengekspos aksila dari radiks, sehingga radiks motorik tidak tertukar dengan
bagian diskus yang terekstrusi. Identifikasi bagian atas dari pedikel cukup membantu untuk
menghindari kerusakan radiks motorik.
Ekspos yang inadekuat dari aksila dapat menyebabkan operator secara tidak sengaja
memisahkan radiks sensorik dan motorik karena menganggap radiks sebagai jaringan fibrosa
atau bagian dari diskus. Setelah mengidentifikasi aksila dan melakukan cukup foraminotomi
sehingga operator cukup yakin mengenai arah dari radiks, hook tumpul dapat digunakan untuk

mengangkat radiks yang bersangkutan sehingga bagian bawahnya dapat dieksplorasi untuk
mencari keberadaan ekstrusi diskus.
Apabila didapatkan ekstrusi diskus, ligamen longitudinalis posterior (LLP) dapat diinsisi
dengan tekanan ringan di atas LLP dan menyebabkan fragmen terdorong keluar di bawah radiks.
Fragmen tersebut kemudian dapat dikeluarkan dengan menggunakan pinset. Setelah
pengangkatan fragmen, seringkali terdapat ruang tambahan sehingga foramen dapat eksplorasi
dan diperbesar apabila diperlukan. Apabila hanya terdapat batas tulang keras diatas radiks, tulang
tersebut tidak perlu diangkat karena seringkali hanya dengan melakukan dekompresi radiks ke
arah dorsal di dalam foramendapat meringankan gejala. Namun demikian, kadang perlu
dilakukan pengangkatan osteofit lateral yang terletak ventral dari radiks apabila dilihat menekan
radiks secara signifikan, walaupun telah dilakukan dekompresi dorsal. Ligamen longitudinalis
posterior dibuka di bawah aksilla, dan dengan menggunakan LLP untuk melindungi radiks dan
duramater, bor berdiameter 23 mm dapat dimasukkan melalui rongga pada LLP sehingga tulang
dan osteofit dibawahnya dapat dibuang. Lapisan tulang tipis yang tersisa dapat dipatahkan untuk
mendekompresi radiks servikal tanpa mengganggu retraksi radiks. Kadangkala sebagian kecil
faset media harus diangkat untuk mendapatkan visualisasi yang baik dari foramen, namun pada
umumnya foramen dapat diperbesar dengan sendi faset yang tetap intak.Upaya ini dapat tercapai
dengan cara membatasi reseksi tulang pada bagian medial dari faset.
Setelah pengangkatan diskus servikal yang terekstrusi, tidak perlu dan tidak disarankan
untuk memasuki rongga diskus servikal untuk mengangkat material diskus yang berdegenerasi
lebih banyak karena tindakan tersebut dapat berbahaya. Umumnya visualisasi ruang akan
membutuhkan retraksi radiks yang signifikan dan dapat mengakibatkan kerusakan pada radiks.
Untungnya hal tersebut tidak perlu dilakukan karena didukung oleh fakta bahwa angka rekurensi
ekstrusi diskus servikal tanpa memasuki rongga diskus adalah kurang dari 1% pada banyak
penelitian. 4,5
Laminoplasti
Oleh karena insidensi kompresi medula spinalis sekunder terhadap ossification of
posterior longitudinal ligament (OPLL) cukup tinggi, timbul inovasidalam mengembangkan
prosedur dekompresi dan mempelajari efek biomekanika

dari laminektomi, terutama pada

dekompresiekstensif yang melibatkan beberapa level vertebra. Terdapat

beberapa laporan

mengenai instabilitas pascalaminektomi, namun kasus tersebut umumnya terjadi pada anak dan
dewasa muda yang kelainan utamanya berupa keluhan neurologik, atau berupa kelainan tulang
yang terlokalisir. Menurut pengalaman kami, laminektomi dekompresi standar, termasuk
fasetektomi minimal pada pasien yang berusia lanjut dengan kelainan degeneratif hiperostosis
pada tulang, tidak secara signifikan mempengaruhi stabilitas. Terkadang tindakan dekompresi
adekuat membutuhkan fasetektomi parsial dan hal ini memiliki efek yang signifikan pada
stabilitas vertebra.
Efek biomekanika sebenarnya dari laminoplasti pada otot servikal belum pernah diukur
melalui simulasi komputer; walaupun demikian usaha penilaian biomekanika dengan
menggunakan beban telah dilakukan. Bukti empiris menyatakan bahwa terdapat alasan yang kuat
secara anatomis mengenai perlekatan multisegmental dari otot dorsal yang mungkin terganggu
oleh laminektomi.
Laminoplasti merupakan prosedur dimana elemen tulang bagian dorsal digantikan setelah
suatu proses dekompresi, prosedur ini memungkinkan otot dorsal yang sebelumnya dilepaskan,
disambungkan kembali secara segmental pada tulang. Apabila diperlukan, dapat dilakukan
fasetektomi pada satu atau kedua sisi dengan gangguan stabilitas yang minimal. Pergerakan
servikal sedikit dipengaruhi oleh laminoplasti, namun setelah 2 tahun akan tampak perbedaan
yang signifikan apabila dibandingkan dengan fusi ventral pada jumlah level yang sama.
Laminoplasti atau laminektomi paling baik digunakan pada keadaan lordotik. Kebalikan
dari lordotik servikal (kifosis) merupakan kontraindikasi pada prosedur dorsal karena medula
spinalis jarang bermigrasi kearah dorsal pascadekompresi. Radiografik fleksi dan ekstensi dapat
membantu dalam evaluasi, kompresi ventral yang signifikan merupakan kontraindikasi relatif
dekompresi dorsal, sedangkan pada kompresi dorsal disarankan untuk menggunakan dekompresi
dorsal. Walaupun banyak variasi laminoplasti yang telah dijelaskan, tidak terdapat perbedaan
yang signifikan pada hasil akhir. Tujuan dari tindakan laminoplasti adalah untuk dekompresi
elemen saraf dan mempertahankan efek dekompresi tersebut. Teknik yang dijelaskan disini
relatif sederhana dan bertujuan untuk mencapai hal tersebut. 1,4,5
Teknik Laminoplasti
Teknik terdahulu yang digunakan untuk laminoplasti, saat ini jarang digunakan. Teknik
tersebut meliputi diseksi otot dorsal pada garis tengah sampai bebas dari perlekatannya pada

tulang, kemudian memotong lamina hingga bebas secara bilateral pada atau berdekatan dengan
sendi faset. Lamina kemudian disambung kembali dengan menggunakan kawat. Metode ini
dinilai kasar dan sulit untuk mempertahankan ruang dekompresi oleh karena perlekatan tidak
mampu menyediakan fiksasi yang kuat. Elemen tulang pada bagian dorsal seringkali terlepas dan
jarang mengalami fusi ulang dengan elemen lateral.
Dokter di Jepang telah mengembangkan dan mempopulerkan teknik Open door
laminoplasty. Sesuai namanya, teknik ini meniru pergerakan pintu. Pada dasarnya terdapat dua
jenis pintu; pintu berdaun satu yang membuka dengan berpegang pada engsel, danjenisFrench
door terdiri dari dua daun pintu yang terpisah ditengah dengan engsel masing-masing bagian
lateral dan terbuka dari arah tengah. Terdapat berbagai variasi dari open door laminoplasty,
namun semuanya dapat digolongkan kedalam satu dari dua tipe diatas. 4,5
Open Door Laminoplasty
Teknik yang pertama kali dan paling banyak digunakan adalah dari Hirabayashi yang
akan dijelaskan dibawah ini.
Prosedur dapat dikerjakan pada posisi prone atau duduk, bergantung padapengalaman dan
preferensi dari operator.Secara teknis operasi, lebih mudah dikerjakan pada posisi duduk karena
ekspos yang lebih baik, namun kemungkinan emboli udara membutuhkan ahli anestesi yang
berpengalaman dan monitoring yang ketat. Perlu ditekankan bahwa udara juga dapat memasuki
vena pada pasien dalam posisi prone apabila lapang pembedahan terletak diatas jantung. Fiksasi
kuat pada kepala disarankan pada posisi apapun. Posisi yang optimal memerlukan sedikit fleksi
tanpa meningkatkan kompresi pada medula spinalis. Secara umum disarankan untuk melakukan
dekompresi satu tingkat diatas dan dibawah daerah stenosis, namun C2 dengan perlekatan otot
yang rumit sebaiknya ditinggalkan, kecuali perlu dilakukan dekompresi dilokasi tersebut.
Insisi kulit midline dibuat pada daerah yang akan dilakukan dekompresi, insisi
diperpanjang sampai sedalam

dorsal vertebra. Perlu berhati-hati untuk tidak merusak

ligameninterspinosus dengan menggunakan kauter dan elevator tajam periosteal, perlekatan otot
pada bagian dorsal tulang belakang dan lamina didiseksi secara subperiosteal, diseksi dilanjutkan
kearah lateral sampai dengan batas faset, namun tidak sampai merusak kapsul sendi, retraktor
kemudian dipasang.

Open door laminoplasty memerlukan pelepasan salah satu sisi dari lamina dari fasetnya
dengan meninggalkan sisi yang lain. Sisi engsel umumnya berlawanan dari sisi dengan gejala
radikuler yang dominan .
Bor berkecepatan tinggi dengan mata bor kecil (umumnya 2mm) digunakan untuk
membuat alur pada lamina yang akan dibuka secara bilateral.Alur dibuat pada sambungan
lamina-faset (Gambar 5.6). Alur selebar beberapa milimeter dibuat sepanjang daerah yang akan
didekompresi, alur tersebut dibuat bilateral dengan meninggalkan cukup tulang pada daerah
engsel untuk memberikan sokongan, namun cukup tipis untuk dibengkokkan. Pada sisi yang
berlawanan, tulang ditipiskan dan direseksi dengan Kerisson. Umumnya terdapat ekstensi dari
ligamenflavum yang menjembatani rongga antara kedua sisi lamina. Ligamen ini harus diinsisi
dengan hati-hati, dan disarankan menggunakan perbesaran untuk mencegah kerusakan pada
struktur dibawahnya.

Gambar 5.6Open Door Laminoplasty


Sumber:http://www.neurologyindia.com

Saat ini pintu sudah terbentuk. Pintu tersebut menempel pada satu sisi oleh tulang yang
telah ditipiskan diantara lamina dan faset lamina pada sisi kontralateral dan dapat dipisahkan
dengan sempurna.

Pada titik ini, fasetektomi parsial dan foraminotomi untuk mendekompresi radiks dapat
dikerjakan, namun pada sisi engsel, tindakan ini dibatasi sedemikian rupa agar engsel tetap
terjaga. Pada sisi yang bebas dekompresi dapat dilakukan lebih ekstensif, walaupun
pertimbangan biomekanika menyarankan untuk menjaga agar setidaknya duapertiga dari sendi
faset tetap intak.
Pintu kemudian siap dibuka untuk melakukan dekompresi dari medula spinalis, Kocher
atau klem dipasang pada prosesus spinosus yang intak, kemudian diangkat dan ditarik secara
hati-hati kearah sisi engsel, apabila masih terdapat tahanan perlu dilakukan penipisan lebih
lanjut.
Sisi yang terbuka dapat diangkat menggunakan tulang yang terletak lateral dari alur
sebagai tuasnya. Teknik ini harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah kerusakan dari
jaringan dibawahnya. Pada saat lamina diangkat secara perlahan dan hati-hati,jaringan lunak
dibawahnya akan terlihat, jaringan lunak tersebut umumnya mengganggu pengangkatan pintu
dan harus dipotong secara hati-hati. Pintu lamina diangkat secukupnya agar operator dapat
melihat struktur yang terletak dibawahnya. Duramater harus dibebaskan sehingga dapat
berekspansi dan bermigrasi kearah dorsal secara bebas.
Setelah pintu terbuka dan dekompresi tercapai, perlu dilakukan stabilisasi. Hal ini dicapai
dengan cara mengikatkan benang diantara lamina dan sendi faset. Jaringan fiksasi seringkali
tidak terlalu banyak, dan benang dapat tercabut sehingga pintu dapat tertutup sebagian dan
menurunkan efek dekompresi. Plat digunakan untuk mempertahankan elevasi lamina yang
diinginkan. Pemasangan 2 atau 3 plat dapat menstabilisasi dekompresi dan mencegah lamina dari
pergerakan. Otot kemudian dijahitkan pada prosesus spinosus lalu luka dijahit (Gambar 5.7 dan
5.8). 4,5

Gambar 5.7 dan 5.8 Lokasi wiring dan suturing pada Laminoplasty
Sumber:http://www.neurologyindia.com

French Door Laminoplasty


Variasifrenchdoor laminoplasty

memerlukan pemotongan lamina pada garis tengah,

sambungan lamina faset ditipiskan secara bilateral namun tetap intak kedua hemi lamina,
kemudian dibuka dan graft diletakkan antara kedua tepi medial dari lamina yang terpisah. 5

Perbandingan Teknik
Tidak terdapat perbedaaan pada hasil kedua metode tersebut.Opendoor laminoplasty
memiliki keuntungan pada dekompresi lebih dari dua level, terutama pada pasien muda yang
rentan terhadap perubahan degeneratif diatas dan dibawah daerah fusi ventral. 5
Simpulan
Keamanan pendekatan dorsal terhadap kanalis spinalis semakin meningkat dengan
menggunakan teknik pembedahan yang sesuai, dan pengenalan pendekatan alternatif pada
kanalis spinalis. Secara umum, seluruh kelainan intraduramater lebih baik didekati dari dorsal
atau dorsolateral.
Laminoplasti amat disarankan terutama untuk menangani kelainan jinak pada pasien
muda. Pada pasien yang lebih tua, degenerasi ekstensif membuat instabilitas atau deformitas

yang progresif tidak terlalu dipermasalahkan. Risiko adanya tindakan tambahan serta waktu
operasi perlu dipertimbangkan terhadap keuntungan yang ingin dicapai.
Lebih banyak tulang yang dibuang tidak selalu lebih baik. Tujuan dari prosedur dorsal
adalah untuk mendapat visualisasi yang baik untuk dekompresi atau intervensi patologik, serta
untuk mencapai dan menjaga stabilitas. Walaupun demikian, terlalu sedikit membuang tulang
akan meningkatkan risiko laserasi duramater, kesulitan mengenali radiks, atau gagal melihat
adanya fragmen bebas dari diskus atau kelainan lainnya. Penambahan langkah pada prosedur
pembedahan akan menambah risiko dan waktu pembedahan. Hal ini tidak diperbolehkan kecuali
terdapat hal yang diharapkan dari tindakan tersebut. Tujuan dari tindakan dekompresi pada
medula spinalis dan radiks servikal harus juga menyertakan upaya untuk menjaga stabilitas
vertebra tanpa mempercepat perubahan degeneratif. 4,5

Gambar 5.9 Kumpulan Gambar Prosedur Laminoplasti


Sumber: laporan jaga bedah saraf FK Unpad-RS.Dr. Hasan Sadikin tahun 2013

Daftar Pustaka
1

Vollmer DG, Eichler ME, Jenkins AL III. Assesment of the cervical spine After Trauma. In:
Winn HR, ed Youmans Neurological Surgery Vol.3, 6 th edition. Philadelphia Elsevier

2011.p.3166-3185
Ducker TB. Treatment of vertebra cord injury. N Engl J Med 1990; 96:285-291
3 Vaccaro, Alexander : Cervical Laminectomy C1 C7 : Spine Surgery, Tricks of the Trade,
2

Thieme, 2003.

Ebersold J. Michael., Raynor B., Richard.,Cervical laminotomy, laminectomy, laminoplasty,


and foraminotomy., et Benzel C. Edward MD., in Spine Surgery. 2nd ed..Elsever, 2005. (387-

393)
J.Lu James. MD., Cervical Laminectomy: technique et

Neurosurgery-online Journal .,

volume 60., January 2007. Winn, Richard. YOMANS : Neurological Surgery. Elevier6
7

Saunders. 2011. Philadelphia.


Baaj, Ali A. Et al. Handbook of Spine Surgery. Thieme. 2012. New York-USA.
Masquelet, Alain. An ATLAS of Surgical Anatomy. Taylor & Francis. 2005. United

8
9

Kingdom.
Greenberg, Mark S. Handbook of Neurosurgery, 7th edition. 2010. New York.
Initial closed reduction of cervical spine fracture-dislocation injuries.

Neurosurgery. 2002;50(3 suppl):S44-50.


10 Holdsworth FW. Diagnosis and treatment of fractures of the spine. Manit
Med Rev. 1968;48(1):13-15.
11 Harms J, Melcher RP. Posterior C1-C2 fusion with polyaxial screw and rod
fixation. Spine. 2001;26(22):2467-2471.
12 Laporan Jaga Bedah Saraf FK Unpad-RS. Hasan Sadikin tahun 2013.

BAB VI
PENATALAKSANAAN OPERATIF
TRAUMA VERTEBRA TORAKOLUMBAL
Pendahuluan
Torakolumbal merupakan segmen vertebra yang paling sering mengalami fraktur. Dari
3.142 pasien fraktur vertebra traumatika, Wang et al., 2012 melaporkan bahwa sekitar 54,9% di
antaranya mengalami fraktur torakolumbal. Cedera vertebra servikal lebih sering terjadi setelah

kecelakaan lalu lintas, sedangkan cedera vertebralumbal lebih sering terjadi setelah
terjatuh.Pada pasien dengan defisit neurologik lengkap umumnya juga terdapat fraktur sternum,
hal ini mungkin disebabkan diameter kanal yang lebih kecil jika dibandingkan dengan vertebra
servikalis atau torakolumbal. Diagnosis dini dan manajemen yang tepat dapat meningkatkan
hasilterapi dan mengurangi risiko kecacatan.1
Umumnyafraktur torakolumbalis (kompresi/wedge/burst) dapat diobati secara konservatif
dengan bracing, hanya frakturburstberat yang

memerlukan stabilisasi bedah.

Defisit

neurologikmerupakan salah satu indikasi bedah untuk dekompresi dan stabilisasi. Indikasi umum
lainnya untuk stabilisasi bedah frakturburst termasuk kehilangan atau gangguan kompleks
ligamen posterior, yang dapat disimpulkan dari 25kifosis pada radiografik, atau visualisasi
langsung

dari

gangguan

kompleks

ligamen

posterior

pada

pemeriksaanMRI

T2-

weightedsagital.Klasifikasi digunakan untuk menentukan apakah fraktur burst akan gagal


dilakukan tindakan instrumentasi fiksasi short-segment dan memerlukan rekonstruksi kolom
anterior lebih lanjut.2
Setelah masuk rumah sakit dan dilakukan stabilisasi klinis, pasien dengan potensi trauma
vertebra harus dilakukan pemeriksaan neurologik. Radiografik polos, meskipun berharga,
memiliki keterbatasan terkait visualisasi tiga dimensi (3D), posisi pasien, habitus tubuh, dan
anatomi tulang tumpang tindih di segmenvertebra tertentu, seperti torakal, servikotorakal, dan
atau kranioservikaljunction. Dalam konteks ini, CT-scan tersedia di hampir semua pusat trauma
dan memberikan informasi yang memadaiserta rinci tentang anatomi tulang serta
kesegarisanvertebra, lebih cepat dan lebih akurat dibandingkan dengan radiografik polos.1
Cedera tipe seat belt dan patah tulang Chance, di mana terdapatkehilangan integritas pada
kolom posterior,dapat dikelola secara konservatif, tetapi sering memerlukan instrumentasi
posterior untuk mengembalikan ketegangan posterior. Fraktur rotasi merupakan patah tulang
yang paling tidak stabil dan memiliki risiko tertinggi menyebabkan cedera neurologik, oleh
karena itu hampir selalu memerlukan stabilisasi bedah. Cedera translasi berat sering
membutuhkan

pendekatanpembedahangabungan

stabilitas vertebra.2

anterior-posterior

untuk

mengembalikan

Gambar 6.1 Fraktur Dislokasi Vertebra L1


Sumber : laporan jaga Bedah Saraf FK Unpad-RS. Dr. Hasan Sadikintahun 2013

Lokasi fraktur pada vertebra torakolumbalmenentukan pendekatan pembedahan yang


akan dilakukan. Luka neurologik vertebra torakal bagian atas (T15) sangat sulit untuk diobati,
selain itu sulit pula dilakukan stabilisasi bedah karena visualisasi intraoperatif yang terbatas di
daerah ini. Pendekatan pembedahan anterior di vertebra torakal bagian atas sangat sulit
dilakukan, sering membutuhkan langkah-langkah seperti sternotomi untuk mendapatkan lapang
pandang yang memadai dari ventral vertebra. Selain itu,terbatasnya instrumentasi yang dirancang
khusus untuk mengatasi fraktur di daerah ini.Instrumentasi konstruksi posterior yang melintasi
servikotorakal junction juga terbatas.3

Gambar 6.2 Radografik Fraktur Burst Vertebra L2 Tanpa Defisit Neurologik


Sumber : laporan jaga Bedah Saraf FK Unpad-RS.Dr. Hasan Sadikintahun 2013

Gambar 6.3 Instrumentasi Anterior dan Expandable cages


Sumber: http://www.medicalexpo.com/prod/depuy-synthes/vertebral-body-replacement-implants-thoraco-lumbar-79814-498538.html

Teknik Pembedahan
Pendekatanpembedahanposterior dengan fiksasi gagang sekrup paling sering digunakan
untuk mengoreksiketidakstabilan neurologik di torakolumbal, namun demikian, pedikel di
vertebra torakal bagian atas berukuran sangat kecil terutama T4, T5, dan T6 yang membuat
fiksasi sekrup lebih sulit dilakukan. Kait lamina dan kait proses transversus dapat digunakan
untuk memperkuat stabilitas fiksasi sekrup pedikel.3
Cedera vertebra torakal (T610) dapat menampung imobilisasi yang lebih baik dari
cedera torakal atas dan dengan dukungan tambahan dari kosta, dapat dikelola secara konservatif.
Kedua pendekatan instrumentasi pembedahan anterior maupun posterior tersedia untuk
mengoreksifraktur di daerah ini.
Pendekatan pembedahan anterior bermanfaat untuk rekonstruksi vertebra anterior.
Instrumentasi anterior telah berkembang dan meminimalkan risiko cedera pada organ dada.
Instrumentasi anterior menggunakan sekrup anterior yang ditempatkan ke dalam korpus vertebra
dari lintasan lateral dan menggunakan batang untuk menghubungkan sekrup sebagai stabilisasi.
Sistem platingbaru yang memiliki profil yang lebih rendah menggunakan fiksasi sekrup ke
dalam tubuh vertebral. Expandable cages dapat digunakan dalam dada dan lumbar tulang
belakang untuk memberikan stabilitas struktural langsung ke kolom anterior setelah corpectomy
atau vertebrectomy.3
Jika keputusan untuk melakukan tindakan pembedahan telah diambil, maka pertimbangan
selanjutnya adalah menentukan jenis tindakan bedah yang sesuai untuk setiap kasus. Sama
pentingnya dengan menentukan tindakan tersebut berupa konservatif atau operatif.1
Pendekatan Pembedahan Posterior
Walaupun terdapat berbagai prinsip umum dalam penatalaksanaan cedera torakolumbal,
indikasi pembedahan posterior secara umum bergantung pada tipe cedera yang spesifik.
Beberapa tipe cedera yang mungkin mendapatkan keuntungan dengan pembedahan posterior
adalah fraktur kompresi, fraktur burst, cedera fleksi-distraksi, dan fraktur dislokasi.
Secara umum teknik operasi stabilisasi dan fusi posterior terdiri atas:

Exposure

Pedicle screw insertion


Hook placement
Rod placement and reduction aneuvers
Distraction for indirect decompression
Fusion bed preparation
Bone graft harvest
Fusion and closure

Pendekatan Pembedahan Anterior


Dari sudut pandang biomekanika, kerusakan vertebra harus ditangani sesuai dengan
mekanisme dan lokasi terjadinya cedera. Pada cedera fleksi dengan fraktur pada pedikel dan
korpus vertebra, stabilisasi dapat dilakukan dengan pendekatan pembedahan dorsaldan fungsi
tension band sampai tahap penyembuhan tulang.2
Sekitar 80% axial load dari vertebra yang intak didukung oleh kolom anteriorjika terjadi
cedera signifikan pada kolom anterior, kemampuan penopang anterior secara dramatis berkurang
10%, mengakibatkan 90% beban ditanggung implan dan elemen posterior. Pertimbangan
biomekanika mendukung penggunaan penopang anterior.2
Indikasi utama pendekatan pembedahan anterior adalah dekompresi vertebra yang
insufisien, restorasi kolom anterior yang insufisien,penekanan kanalis spinalis pada pasien
dengan defisit neurologik yang tidak dapat secara adekuat diselesaikan dengan pendekatan
pembedahan posterior semata. Indikasi tambahan untuk pendekatan pembedahan anterior adalah
fraktur korpus vertebra dengan dislokasi dan fraktur komunitif yang substansial, yang tidak dapat
diatasi dengan pendekatan pembedahan posterior semata.6
Pendekatan Pembedahan Invasif Minimal
Pendekatan pembedahan konvensional untuk terapi fraktur torakolumbal membutuhkan
ekspos yang ekstensif dan sering mengakibatkan morbiditas dan nyeri yang signifikan
pascaoperasi. Metodepembedahan invasif minimal telah dikembangkan untuk mengurangi risiko
tambahan yang diakibatkanoleh akses pembedahan yang luas. Penggunaan sistem retraktor
seperti synframe memungkinkan pendekatan pembedahan vertebraanterior dapat diakses dengan
pembedahan terbuka, tetapi dengan cara yang kurang invasif.

Kosmann dkk. melaporkan komplikasi yang minimal intra atau pascaoperasi yang
berhubungan dengan prosedur pembedahan invasif, tidak dijumpai neuralgia interkosta, sindrom
nyeri pascatorakotomi, infeksi luka operasi, dan deep veins thrombosis (DVT).
Pembedahan torakoskopivertebra merupakan teknik lain yang mengurangi morbiditas
dari pembedahan terbuka yang luas, sementara tujuan utama untuk dekompresi, rekonstruksi dan
stabilisasi dapat dicapai. Sejak saat itu, perkembangan instrumen dan implan yang didesain
khusus untuk kepentingan prosedur ini meningkat. Teknik operasi torakoskopi menjadi semakin
mudah dan nyata. Melalui pendekatan pembedahan transdiafragma, dimungkinkan untuk
membuka batas torakolumbaltermasuk segmen retroperitoneal dari vertebra dengan teknik
endoskopi. Keuntungan lain dari teknik endoskopi adalah tercapainya dekompresi kanalis
spinalis anterior dengan hasil yang menjanjikan.2
Kombinasi Pendekatan Pembedahan Anterior-Posterior
Penelitian mengenai stabilisasi posterior dari fraktur torakolumbal menunjukkan bahwa
fraktur komunitif pada kolom anterior sering mengakibatkan kegagalan pembedahan. Oleh
karena itu, beberapa teknik pembedahan telah dikembangkan untuk menstabilkan kolom anterior.
Pada beberapa institusi, dokter bedah lebih menyukai prosedur dua tahap dengan reduksi fraktur
via stabilisasi posterior pada tahap pertama, dan kemudian pembedahan dengan pendekatan
pembedahan anterior bergantung pada kondisi pasien.2
Instrumentasi posterior di torakolumbal telah berevolusi dari batang dan kabel, seperti
batang Harrington dan hook, menjadi batang konstruksi untuk sekrup gagang bunga (Gambar
6.4) yang menghasilkan fiksasi tiga kolom vertebra yang kuat. Penempatan sekrup gagang bunga
menciptakan stabilitaskolom anterior, tengah dan posterior yang lebih kuatdan dapat digunakan
untuk mengoreksi fraktur, atau mengurangideformitaspada trauma torakolumbal (T11L2).
Transisi antara vertebra toraks dan lumbal, menciptakan titik tumpu di torakolumbaljunction.4
Terdapatnya transfer energi darivertebra torakal yang kifotik ke vertebra lumbalyang
lordotik, menciptakan tegangan maksimum di torakolumbaljunction. Akibatnya, sekitar 75%
fraktur torakolumbal terjadi di torakolumbaljunction, dan merupakan lokasi fraktur kedua yang
paling umum dijumpai setelah fraktur vertebra servikal. Pengelolaan fraktur ini sangat
kompleksdan kontroversial.Beberapa dokter mendukung terapi bedah yang lebih agresif karena

kekuatan biomekanika yang tinggi dan sensitivitas konus medularis terkompresi di daerah ini.
Seperti pengelolaan cedera di daerah lainnya, mungkin terdapat bias penggunaan instrumentasi
posterior pada cedera torakolumal karena kemudahan pendekatan pembedahan transtorakal dan
torakoskopik.4
Daftar Pustaka
1

Joaquim Af, Aa Patel. Thoracolumbar Spine Trauma: Evaluation And Surgical Decision-

Making. June Craniovert Spine J, 2013; 4:3-9


Vaccaro Ar, Silber Js. Post-Traumatic Vertebra Deformity. Spine. 2001: 26 (24 Suppl): S111-

118.
Lifshutz J, Colohan A. A Brief History Of Therapy For Traumatic Vertebra Cord Injury.

Neurosurg Focus. 2004: 16 (1) :1-8.


J. Markham Surgery Of The Vertebra Cord And Vertebral Column. In: Walker, A, Ed. A

History Of Neurological Surgery. New York: Hafner; 1967:364-392.


Deshaies E, Dirisio D, Popp J. Medieval Management Of Vertebra Injuries: Parallels
Between Theodoric Of Bologna And Contemporary Spine Surgeons. Neurosurg Focus. 2004:

16 (1) :1-3.
Singh H, Rahimi Sy, Dj Yeh, Et Al. History Of Posterior Thoracic Instrumentation.
Neurosurg Focus. 2004: 16 (1) :1-4.

BAB VII
BIOMEKANIKA LUMBAL
Pendahuluan
Kolom vertebra terdiri atas 33 buah tulang yang membentuk kurva dan secarastruktural
terbagi atas 5 regio. Dari superior ke inferior, mulai dari 7 segmen vertebra servikal, 12 segmen
vertebra torakal, 5 segmen vertebra lumbal, 5 vertebra sakral yangmenyatu dan 4 vertebra
koksigeal yang menyatu.Oleh karena terdapat perbedaan struktural dan adanya sejumlah kosta,
maka besarnya gerakan yang dihasilkan juga beragam antarvertebra yang berdekatan pada regio
servikal, torakal, dan lumbal.1
Pada setiap regio, dua vertebra yang berdekatan dan jaringan lunak antara kedua
vertebratersebut

dikenal

dengan segmen

gerak

(segmen

Junghans).

Segmen

gerak

tersebutmerupakan unit fungsional dari vertebra. Setiap segmen gerak terdiri atas tiga sendi.
Korpus vertebra terpisah oleh adanya diskus intervertebralis yang membentuk tipesimfisis dari
amfiartrosis. Sendi faset kiri dan kanan antara prosesus artikularis superior dan inferior
merupakan tipe plane/glide dari diartrosis yang dilapisi oleh kartilago sendi.1
Lebih jelasnya, unit fungsional dari kolom vertebra terdiri ataspilar anterior
dan posterior.Pilar anterior dibentuk oleh korpus vertebra dan diskus intervertebralis yang
merupakan bagian hidrolik, weight bearing, dan shock absorbing. Pilar posterior dibentuk oleh
prosesus artikularis dan sendi faset, yang merupakan mekanisme slide untuk bergerak. Selain itu,
pilar posterior juga dibentuk oleh dua arkus vertebra, dua prosesus transversus, dan
prosesusspinosus.1,2
Anatomi Vertebra

Pilar anterior
Korpus vertebra pada regio servikal lebih kecil dibandingkan dengan torakal dan lumbal.
Secara progresif, korpus vertebra semakin besar ke bawah dari regio servikal sampai regio
lumbal. Pada regio lumbal, korpus vertebranya besar dan lebih tebal dibandingkan dengan
regio di atasnya. Hal ini sesuai dengan tujuan fungsional, yaitu pada saat posis tubuh tegak,

maka setiap vertebra harus menopang semua berat trunkus, lengan dan kepala sehingga area
permukaan vertebra lumbal yang luas/besar akan mengurangi besarnya stres. Diskus
intervertebralis merupakan kompleks fibrokartilago yang membentuk artikulasi antara korpus
vertebra, yang dikenal sebagai sendi simfisis. Diskus intervertebralis pada orang dewasa
memberi kontribusi sekitar dari tinggi vertebra. Diskus intervertebralis merupakan salah
satu komponen kompleks tiga sendi antara dua vertebra yang berdekatan, yang semakin ke
kaudal semakin tebal.3,4
Pilar posterior
Bagian pilar posterior yang paling penting adalah sendi faset, yang dibentuk oleh
prosesus artikularis superior vertebra bawah dan prosesus artikularis inferior vertebra di
atasnya. Sendi faset termasuk dalam sendi non-aksial diatrosus. Setiap sendi faset
mempunyai kavitas artikuler dan terbungkus oleh sebuah kapsul. Gerakan yang terjadi
pada sendi faset adalah gliding (gerak geser), menekuk dan rotasi sehingga
memungkinkan terjadi gerak tertentu yang lebih dominan pada segmen tertentu. Fungsi
mekanis sendi faset adalah mengarahkan gerakan. Besarnya gerakan pada setiap vertebra
sangat ditentukan oleh arah permukaan faset artikuler. Arah faset servikal pada bidang
transversal, sedangkan torakal pada bidang frontal, dan lumbal pada bidang sagital. Sendi
faset dan diskus memberikan sekitar 80% kemampuan vertebra untuk menahan gaya
rotasi torsion dan shear, di mana setengahnya diberikan oleh sendi faset. Sendi faset juga
menopang sekitar 30% beban kompresi pada vertebra, terutama pada saat vertebra
hiperekstensi.46
Sistem Ligamen pada Vertebra
Struktur ligamen yang memperkuat vertebra adalah:
1

Ligamen longitudinalis anterior


Ligamen ini melekat dari basis oksiput ke sakrum pada bagian anterior vertebra.
Ligamen longitudinalis anterior merupakan ligamen yang tebal dan kuat, dan

berperan sebagai stabilisator pasif pada saat gerakan ekstensi.1,7


2 Ligamen longitudinalis posterior
Ligamen ini melekat dari basis oksiput ke kanalis sakrum pada bagian
posterior vertebra, tetapi pada regio lumbal, ligamen longitudinalis posterior mulai
menyempit dan semakin sempit pada lumbosakral, sehingga ligamen ini lebih lemah

dibandingkan dengan ligamen longitudinalis anterior, dan diskus intervertebralis


lumbal pada bagian posterolateral (tidak terlindungi oleh ligamen longitudinalis
posterior). Ligamen ini sangat sensitif karena banyak mengandung serabut saraf nyeri
aferen (A delta dan tipe C) dan kaya akan sirkulasi darah.1,7
3 Ligamen flavum
Ligamen ini sangat elastis dan melekat pada arkus vertebra, tepatnya pada setiap
lamina vertebra. Ke arah anterior dan lateral, ligamen ini menutup kapsul dan ligamen
anteriomedial sendi faset. Ligamen ini mengandung lebih banyak serabut elastin
dibandingkan dengan serabut kolagen, yang berbeda dari ligamen-ligamen lainnya
pada vertebra.1,7
4 Ligamen interspinosus
Ligamen ini sangat kuat melekat pada setiap prosesus spinosus dan memanjang ke
5

arah posterior dengan ligamen supraspinosus.


Ligamen supraspinosus
Ligamen ini melekat pada setiap ujung prosesus spinosus. Ligamen ini menonjol
secara luas pada regio servikal, dan dikenal sebagai ligamen nuchae atau ligamen
neck. Pada regio lumbal, ligamen ini kurang jelas karena menyatu dengan serabut
insersi otot lumbodorsal. Bersama dengan ligamen longitudinalis posterior, ligamen
flavum dan ligamen interspinosus bekerja sebagai stabilisator pasif pada gerakan
fleksi.8

Hubungan Antar Vertebra


Untuk memahami fungsi vertebra lumbosakral, maka harus diperhatikan hubungan antar
komponen kolom vertebra. Pada bidang sagital, kolom vertebra menampakkan empat buah
kurva;servikal (konkaf posterior), toraks (konveks posterior), lumbal (konkaf posterior), dan
sakral (terfiksasi dan tidak bergerak). Kurva ini akan berkembang selama evolusi (filogenik)
dengan adanya perubahan dari keadaan quadruped menjadi bipedal.4,9
Awalnya vertebra berbentuk konkaf ke arah anterior. Vertebralumbal awalnya lurus, lalu
berinversi. Perubahan yang sama terjadi juga selama ontogenik (perkembangan seseorang). Pada
hari pertama kehidupan, vertebra lumbal berbentuk konkaf ke arah anterior. Pada usia 5 bulan,
vertebra lumbal sedikit konkaf ke anterior, dan pada usia 13 bulan bentuk konkaf tersebut

menghilang. Sejak usia 3 tahun dan seterusnya, lordosis lumbal mulai tampak, dan
menggambarkan keadaan dewasa pada usia 10 tahun.
Kurva kolom vertebra meningkatkan tahanannya terhadap gaya kompresi aksial sebagai
perbandingan terhadap gaya yang diperlukan agar vertebra tetap dalam orientasi lurus sempurna.
Keseluruhan vertebra dengan tiga kurva fisiologisnya diseimbangkan pada sakrum. Sakrum
merupakan bagian pelvis, terdiri atas dua tulang iliaka, pubis dan iskium.3

Gambar 7.1 Ligamen Penyokong Vertebra


Sumber:http://www.spineuniverse.com/anatomy/spinal-ligaments-tendons

Dua sendi sakroiliaka, simfisis pubis, dan tulang yang melekat padanya membentuk
cincin tertutup yang mentransmisikan secara vertikal gaya dari kolom vertebra ke ekstremitas
bawah. Berat yang disangga oleh L5 didistribusikan secara merata ke dalam sayap pelvis, iskium
dan asetabulum di kedua sisi. Tekanan pada punggung dari berat badan melawan
gravitasiditransmisikan ke asetabulum oleh kepala dan leher femur. Tekanan yang dipaparkan
pada kedua tulang pubis akan dilawan oleh simfisis pubis.3
Sakrum dan tulang iliaka bergerak sebagai satu unit. Pelvis diseimbangkan pada aksis
transversal antara sendi pinggul, yang menyebabkan terjadinya gerakan rotasi pada bidang

anterior-posterior. Bagian anterior pelvis dapat berotasi keatas, menurunkan sakrum dengan
adanya penurunan sudut lumbosakral.3
Pergerakan ke bawah dari bagian depan pelvis akan meningkatkan tekanan pada bagian
ujung belakang pelvis dan sakrum, dan meningkatkan sudut lumbosakral. Sudut lumbosakral
ditetapkan sebagai sudut yang dibentuk oleh garis yang ditarik secara paralel dengan batas
superior sakrum dalam hubungannya dengan garis horizontal.3
Sistem Ototpada Vertebra
Otot-otot vertebraterdiri atas otot-otot intrinsik dan ekstrinsik dengan fungsi
utamasebagai stabilisator, selain berfungsi sebagai penggerak.Pada bagian depan regio servikal
terdapat otot rektus kapitis anterior, otot rektus kapitis lateralis, ototkapitislongus, otot koli
longus, dan 8 buah otot hioideus. Padaabdomen terdapat ototrektus abdominis, ototoblikus
eksternus dan internus.Bagian belakang regio servikal terdapat otot splenius kapitis, otot splenius
servisissebagai ekstensor utama.Pada torakal dan lumbal terdapat otot torakalis posterior,
ototsakrospinalis, ototsemispinalis, otot spinalis, otot longisimus dan otot iliokostalis, dan otototot spinalis dalamotot-otot multifidi, otot-otot rotator, otot-otot interspinalis, otot-otot
intertransversalis, otot levator kosta.2,10
KinetikaVertebra
Sistem stabilitas vertebra dipengaruhi oleh tiga subsistem yang bekerja dalam koordinasi,
yaitu subsistem saraf, subsistem gerak aktif dan subsistem gerak pasif. Pada posisi berdiri tegak
statis di posisi yang netral, ligamen merupakan sistem yang bersifat subpasif dan tidak berperan
dalam stabilitas. Serabut kolagen dari ligamen tetap melingkar dan tidak dibawah suatu tekanan.
Pada akhir dari rentang luas gerak sendi, maka terjadi gaya reaktif ligamen yang menahan
pergerakan vertebra. Pada titik ini, rentang luas gerak sendi tendo bertindak sebagai transduser
yang menginisiasi aspek motorik dari subsistem gerak aktif via subsistem saraf. Hal ini juga
dapat terjadi saat pembebanan minimal diberikan pada keadaan statis. Beban yang dapat
ditopang oleh subsistem gerak pasif sebelum adanya penekukan disebut dengan beban kritis
dari kolom spinalis. Pada penelitian in vitro beban yang dapat menyebabkan terjadinya
penekukan vertebra terjadi pada berat 20 N (2 Kg) di T1 dan 90N (9 Kg) di L5, yang jumlahnya

sama dengan dua hingga tiga kali berat badan (140210 Kg). Respons jaringan yang timbul lebih
merupakan respons otot terhadap deformasi ligamen dibandingkan dengan respons terhadap
pembebanan.2,10
Deformasi ligamen akan memberikan mekanisme feedback dalam mempertahankan
stabilitas vertebra.1,2,7 Pada saat vertebra berdiri tegak statis secara fisiologik, otot erektor spinal
merupakan subsistem gerak pasif. Otot batang tubuh bekerja hanya untuk menghasilkan tonus
dan vertebra secara keseluruhan konsisten dengan pusat gravitasi. Berat badan ditopang oleh
tekanan intradiskus intrinsik dan tonus ligamen. Dengan adanya gerakan fleksi dan rotasi pelvis,
keseimbangan

ligamen

dan

sendi

hilang,

sehingga

menginisiasi

sejumlah

faktor

neurofisiologikyang akan mengaktivasi sistem gerak aktif. Sistem spindle dari otot erektor spinal
menjadi aktif. Serabut ekstrafusal secara eksentris akan berkontraksi dan secara bertahap
memanjang. Pola aksi neuromuskuler ini terjadi secara sentral di korteksserebri.1,9
Dengan adanya gerakan fleksi ini, maka fasia akan memanjang secara pasif sesuai
dengan sifat elastisitas yang dimilikinya, yang merupakan konfigurasi dari serabut kolagen.
Selama fleksi terjadi juga pemanjangan ligamen ekstravertebra, ligamen longitudinalis posterior
dan serabut anular posterior diskus. Nukleus diskus berubah bentuk dalam batas fisiologik.
Pergerakan setiap segmen dikontrol secara aktif oleh otot-otot dan secara pasif oleh ligamen.
Pergerakan terbesar vertebra lumbal tampak pada saat fleksi ke depan dan ekstensi. Pergerakan
yang lebih kompleks akan melibatkan kombinasi fleksi ke depan, menekuk ke samping, dan
berputar. Pergerakan vertebra sendiri sering merupakan gabungan; ketika satu vertebra bergerak
relatif terhadap yang lainnya, maka akan terjadi rotasi dan translasi pada waktu yang bersamaan.
Pergerakan vertebra lumbal dilakukan dalam hubungannya dengan komponen-komponen lain
vertebra dan pelvis. Lumbar-pelvic rhythm merupakan aktivitas neuromuskuler dalam proses
kembalinya secara simultan lordotik lumbal dan perubahan posisi pelvis.3
Komponen lumbal dari ritme ini menyebabkan vertebralumbosakral berubah dari konkaf,
menjadi lurus,lalu berubah konfigurasi menjadi konveks. Selama perubahan yang progresif,
komponen pelvis akan merotasikan pelvis disekitar aksis transversal yang menghubungkan dua
sendi pinggul untuk meningkatkan sudut lumbal. Pergerakan vertebra lumbal adalah fleksi,
ekstensi, fleksi lateral, dan rotasi. Keluasan pergerakan pada bidang-bidang gerak ini dibatasi

oleh ekstensibilitas ligamen longitudinal, permukaan artikuler dan kapsul, cairan dalam diskus,
dan kelenturan otot. Ekstensi vertebra lumbal mempunyai rentang luas gerak 30 0 dan dibatasi
oleh ligamen longitudinalis anterior. Fleksi ke depan mempunyai rentang luas gerak untuk
vertebra lumbal 450, yang terjadi paling besar (75%) di ruang antara L5 dan S1. Lateral fleksi
dibatasi 200300.3
Rentang segmen maksimal antara L3 dan L4, dan minimal antara L5 dan S1. Untuk
kolom lumbal sebagai suatu kesatuan, rentang rotasi dihitung kurang lebih hanya sebesar 10 0.
Rotasi sangat tajam dibatasi oleh orientasi vertikal permukaan artikuler sendi faset terhadap
vertebra lumbal. Sendi apofisial faset menahan terjadinya torsi sebesar 45% (menurut Farfan)
dan 10% oleh ligamen interspinosus dan intraspinosus. Struktur kapsulligamen posterior serta
otot erektor spinal juga melindungi jaringan anular diskus pada gerakan rotasi.1,2,4,7 Pada saat
fleksi ke depan, sendi lumbal melakukan fleksi dan otot ekstensor akan menurunkan batang
tubuh. Setelah 450 fleksi, tegangan ligamen meningkat dan kontraksi otot paravertebra menurun.
Apabila fleksi berlanjut, pelvis akan berotasi lebih jauh disertai dengan adanya relaksasi
hamstring dan otot gluteus. Seiring dengan kembalinya batang tubuh ke posisi tegak, urutan
pengaktifan otot terjadi sebaliknya dengan kontraksi awal dari hamstring, lalu gluteus, yang akan
merotasikan pelvis untuk fleksi sebesar 450, dimana otot erektor spinal menjadi aktif dan
mengembalikan batang tubuh ke posisi tegak.7,8
Pergerakan pinggul normal memerlukan kondisi yang baik dari komponen vertebra dan
otot di sekitarnya, diskus yang intak, sendi faset yang simetris, dan ligamen penopang dalam
keadaan tidak terlalu panjang atau terlalu pendek. Otot paraspinosus dan hip girdle harus sesuai
elastisitas, kekuatan, dan fleksibilitasnya serta fungsi sendi pinggul harus dalam kondisi baik,
demikian pula dengan fungsi kaki bawah. Abnormalitas akan menyebabkan terjadinya disfungsi
kinetik dan atau statis.10
Daftar Pustaka
1.

FH N. The Netter Collection Of Medical Illustrations: Icon Learning Systems; 1983.

2.

al DRe. Gray's Anatomy For Students. Philadelphia: Elsevier; 2005.

3.

Benzel EC. Spine Surgery. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012.

4.

White AA III JR, Panjabi MM. Biomechanical analysis of clinical stability in the spine.
Clin Orthop Relat Res. 1975:85-96.

5.

al AABe. Handbook Of Spine Surgery. New York: Thieme; 2012.

6.

F D. The three column spine and its significance in the classification of thoracolumbar
vertebra. 1983:817-31.

7.

Jr WT. Anatomy of the thoracolumbar spine. Clin Orthop. 1977:78-92.

8.

Panjabi MM WAI, Johnson RM. Cervical spine mechanics as a function of transection of


components. J Biomech. 1975:327-36.

9.

Greenberg MS. Handbook Of Neurosurgery. New York: Thieme; 2010.

10.

Winn HR. Youman. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.

BAB VIII
PENATALAKSANAAN TRAUMA LUMBAL

Terdapat kontroversi di antara para ahli bedah mengenai perawatan yang optimal dari
trauma vertebra, terutama mengenai waktu intervensi dan jenis pendekatan bedah. Melalui
intervensi bedah, para ahli bedah menganjurkan untuk; (a) melakukan dekompresi elemen
sarafpada kasus defisit neurologik,(b) mencegah kemungkinan cedera neurologik pada fraktur
yang tidak stabil,(c) mencegah deformitas yang dapat mengakibatkan nyeri aksial kronik atau
defisit neurologik, dan (d) mobilisasi dini dan mencegah komplikasi tirah baring
berkepanjangan.
Pendekatan bedahanterior, posterior, serta kombinasi antara anterior dan posterior, dapat
digunakan untuk mengoreksi ketidakstabilan pada kasus trauma vertebra. Pendekatan bedah
yang dipilih bergantung pada pola fraktur, status neurologik pasien, dan preferensi dokter bedah.
Pendekatan bedah anterior lebih disukai padakasus herniasi diskus, di mana fragmen
tulangmenyebabkan kompresi pada bagian ventral medula spinalis. Selain itu, pola fraktur pada
kolom anterior vertebra paling baik dikoreksi melalui pendekatan pembedahan anterior untuk
mengembalikan stabilitas struktural kolom anterior vertebra.Pendekatan bedah juga mencakup
berbagai bentuk instrumentasi. Instrumentasi vertebramerupakan metode untuk meluruskan dan
menstabilkan vertebra setelah dilakukan fusi dengan menggunakan kait, batang, dan kawat untuk
mendistribusikan tekanan dan menjaga kesegarisan vertebra.

Gambar8.1Terapi Fraktur Torakolumbal


Ket: fraktur torakolumbal dapat diterapi dengan (A) orthosis adjustable-fit torakolumbalis sacral
(Aspen TLSO), (B) clam shell, dan (C)casting
Sumber:http://www.spineuniverse.com/anatomy/spinal-ligaments-tendons

Pendekatan

bedah

posterior

dengan

instrumentasi

biasanya

dilakukan

untuk

meminimalisasi kemungkinan kecacatan di kemudian hari, dan dapat memulihkan ketegangan

(band)posterior

padacedera yang melibatkan struktur ligamen posterior. Struktur ligamen

posterior (ligamen flavum, interspinous, supraspinous, dan sebagainya) berfungsi untuk


mempertahankanvertebraagar sesuai posisi anatomisnya.
Gangguan ketegangan vertebraumumnyadisebutketegangan (band)posterior. Cedera pada
struktur ligamen posterior dapat menyebabkan vertebra menjadi lebih kifotik.Penggunaan
instrumentasi

posterior

pada

proses

pemulihan

trauma

diperlukan

untuk

mempertahankanvertebraagar sesuai posisi anatomisnya. Instrumentasi posterior (sekrup massa


lateral) biasanya memberikan fiksasi yang lebih baik dan keuntungan mekanis karena dapat
digunakan pada manuver reduksi untuk mengembalikan kesegarisan vertebra.
Pada cedera translasi (frakturdislokasi), apabila berat dan terdapat gangguan pada kolom
vertebra, maka prosedur instrumentasi kombinasi anterior dan posterior dapat digunakan untuk
memaksimalkan stabilitas dan meningkatkan fusi vertebra. Instrumentasi kombinasi anterior dan
posterior lebih sering digunakan di daerahyang terdapat stres biomekanika tinggi,
sepertiservikotorakal dan torakolumbal junction, di mana kekuatan biomekanika pada vertebra
lebih besar dan membuat daerah ini lebih rentan mengalami kegagalan prosedur stabilisasi.
Tidak ada satu jenis pendekatan operatifyang lebih disukai untuk berbagai jenis fraktur
vertebra.Preferensi ahli bedahlebih diutamakan. Meskipun teknik bedah dan perangkat
instrumentasi vertebra semakin berkembang, namun kekurangan panduanoperasiyang baik
seringmenjadi kendala terapifraktur vertebra. Secara umum, pendekatan posterior lebih disukai
karena kemudahannyabagi beberapa ahli bedah. Pendekatan anterior pada fraktur vertebra
torakolumbal cenderung lebih sulit dilakukan karena perlu memobilisasi paru-paru, usus, dan
pembuluh darah besar, dan mungkin memerlukan bantuan dari dokter bedah umum atau toraks.
Beberapa skema klasifikasi (Tabel 8.1) telah diusulkan untuk membantu menentukan
frakturvertebra torakolumbal dan meningkatkan konsistensi komunikasi antar dokter bedah.
Masih belum ada konsensus umum mengenai penggunaan skema ini. Pada tahun 1968,
Holdsworth54merupakan salah satu pelopordalam mengklasifikasikan fraktur torakolumbal. Ia
mengusulkan sebuah model dua kolom (Gambar 8.3) yang membagi vertebra ke dalam kolom
anterior dan posterior, dan menekankan pada integritas ligamen longitudinalis posterior(PLL)
dan elemen posterior untuk memprediksi stabilitas vertebra. Pada model dua kolom Holdsworth,
semua elemen ventral ke PLL dianggap kolom anterior,sedangkan elemen posterior PLL
merupakan kolom posterior.
Secara mekanis, klasifikasi Holdsworth dibagi menjadi fraktur fleksi, fleksi dan rotasi,
ekstensi, dan kompresi. Klasifikasi Whitesides55memperluas model dua kolom Holdsworth

dengan mengelompokkan fraktur vertebra berdasarkan pada stabilitasnya (stabil atau tidak
stabil), dan menekankan pentingnya kompleks ligamen posterior dalam menentukan stabilitas
vertebra.
Menurut Whitesides, fraktur vertebra yang stabil termasuk fraktur kompresi sederhana
dan burst dengan unsur-unsur posterior yang utuh, sedangkan fraktur tidak stabil termasuk
fraktur slice,burst dengan gangguan elemen posterior, cedera fleksi-distraksi, dan cedera
ekstensi.

Gambar 8. 2 Radiografik Fraktur Dislokasi Vertebra Lumbal 12


Sumber: laporan jaga Bedah Saraf RS. Dr. Hasan Sadikintahun 2013

Tabel 8.1 Klasifikasi Fraktur Vertebra Torakolumbal

Sumber:http://www.spineuniverse.com/anatomy/spinal-ligaments-tendons

Fraktur vertebra torakolumbal secara umum diklasifikasikan menjadi 3 kategori utama,


yaitu: tipe A (kompresi), tipe B(distraksi), tipe C(multiarah dengan translasi). Terdapat
peningkatan risiko ketidakstabilan dan defisitneurologik, seperti pada perubahan fraktur tipe A ke
tipe C, dan klasifikasi fraktur dapat dibedakan lagi berdasarkan tingkat keparahannya.
Pada tahun 1983, Denis56 mengusulkan model tiga kolom (Gambar 8.3) untuk fraktur
vertebra torakolumbal berdasarkan gambar CT-scan aksial.Fraktur vertebra torakolumbal ini
diklasifikasikan menjadi4 kategori; kompresi, burst, tipeseat-belt, dan dislokasi. Berbeda dengan
penulis sebelumnya yang menekankan pentingnya kolom posterior dalam memprediksi stabilitas
vertebra, model tiga kolom Denis menekankan pentingnya kolom tengah. Kolom tengah terdiri
atas bagian posterior korpus vertebra, anulus fibrosus posterior, dan ligamen longitudinalis
posterior. Denis percaya bahwa keterlibatan dua dari tiga kolom mengakibatkan fraktur menjadi
tidak stabil.56 McAfee et al .57menyepakati model tiga kolom Denis, namun klasifikasi Denis
dinilai terlalu rumit. Mereka mengusulkan skema klasifikasi baru dengan lebih menekankan pada
mekanisme cedera, dan fraktur vertebra torakolumbal dikategorikan sebagai berikut;fraktur baji
kompresi, burst stabil, bursttidak stabil, Chance, cedera fleksi-distraksi, dan cedera translasi.
Fraktur burst stabil dan tidak stabil dibedakan berdasarkan kompetensi elemen posterior.
Pada tahun 1994, McCormack et al.58 mengusulkan klasifikasi untuk fraktur burst untuk
membantu memprediksi pasien yang mungkin mengalami kegagalan dengan fiksasi posterior
short segmen.Klasifikasi ini mencirikan fraktur burst dengan skala titik39berdasarkan jumlah
kominusi, aposisi fragmen, dan derajat kifotik preoperasi. Fraktur burst dengan tujuh titik atau

lebih pada skala ini lebih rentan terhadap kegagalan instrumentasi hanya dengan fiksasi
posteriorshortsegmen. Hal ini umumnya disebabkan oleh kegagalan kolom anterior untuk
memberikan dukungan struktural.Oleh karena itu, skala ini berguna untuk menentukan
penggunaan prosedur anterior tambahan.

Gambar8.3Klasifikasi Fraktur Vertebra Torakolumbal Model Dua dan Tiga kolom


Ket: klasifikasi ini digunakan untuk mengklasifikasitraumavertebra torakolumbal dan membantu
mengukur ketidakstabilan pada masing-masing kolom. Pada model dua kolom (sebelah kiri
garis vertikal merah), semua struktur yang terletak ventral dari ligamenlongitudinalis posterior
(garis putus-putus) merupakan bagian dari kolom anterior. Pada model tiga kolom Denis (sebelah
kanan garis vertikal merah), struktur kolom anterior dibagi menjadi anterior dan kolom tengah
dibagi pada pertengahan korpus vertebra.
Sumber:http://www.spineuniverse.com/anatomy/spinal-ligaments-tendons

Modifikasi Komprehensif Klasifikasi ( Arbeitsgemeinschaft fr Osteosynthesefragen /


Asosiasi untuk Studi of Internal Fixation [ AO / ASIF ] ) , awalnya digambarkan oleh Magerl et
al . ( 59 ) dan kemudian dimodifikasi oleh Gertzbein ( 60 ) , saat ini sistem klasifikasi yang
paling umum digunakan untuk fraktur thoraco - lumbar . Sistem klasifikasi ini membagi fraktur

menjadi tiga jenis utama : A , kompresi , B , gangguan , dan C , multiarah dengan terjemahan
(Gambar 3-13 ) . Pemanfaatan sistem ini adalah tertib di mana itu peringkat fraktur berdasarkan
tingkat keparahan . Ada peningkatan risiko ketidakstabilan dan penghinaan neurologis seperti
cedera kemajuan dari tipe A ke tipe C patah tulang , dan masing-masing jenis fraktur lebih jauh
lagi dibagi berdasarkan tingkat keparahan . Meskipun klasifikasi tertib patah tulang dalam sistem
ini, kesulitan bisa timbul dengan sistem klasifikasi AO / ASIF karena kompleksitas dari 27
subtipe nya . Banyak ahli bedah menggunakan sistem klasifikasi ini, tetapi hanya sedikit
menggunakan semua 27 subtipe dalam sistem klasifikasi ini.

Gambar8.4 Modifikasi Komprehensif Sistem Klasifikasi (AO / ASIF). Tipe A : Kompresi cedera
pada anterior dan kolom tengah, Tipe B : cedera selingan yang melibatkan kolom posterior, Tipe
C : Translation (fraktur - dislokasi) cedera.

TerapiBedah Sesuai Pola Fraktur Torakolumbal


Umumnyafraktur torakolumbal (kompresi/wedge/burst) dapat diterapi secara konservatif dengan
bracing, hanya fraktur burst berat yang memerlukan stabilisasi bedah. Defisit neurologik dalam
pengaturan kompromi kanal

merupakan salah satu indikasi bedah untuk dekompresi dan

stabilisasi. Indikasi lainnya untuk melakukan stabilisasi bedah pada fraktur burst termasuk
kehilangan atau gangguan kompleks ligamen posterior, yang dapat disimpulkan dari 25 derajat
kifotik pada radiografik, atau visualisasi langsung dari gangguan kompleks ligamen posterior
pada T2-weighted MRI sagital.Telah ada kecenderungan selama dekade terakhir terhadap short segmen fiksasi di persimpangan torakolumbalis dalam upaya untuk melestarikan gerakan pada
tingkat yang berdekatan. The McCormack et al. 58mengungkapkan bahwa klasifikasi dapat
digunakan untuk menentukan fraktur burst akan mengalami kegagalanpada instrumentasi short
segmen dan memerlukan rekonstruksi kolom anterior lebih lanjut. Cedera tipe distraksi, seat belt,
dan fraktur Chance, di mana terdapatkehilangan integritas kolom posterior, dapat dikelola secara
konservatif, tetapi sering memerlukan instrumentasi posterior untuk mengembalikan ketegangan
(band)posterior. Cedera atau fraktur rotasi merupakan yang tidak paling stabil dan memiliki
risiko tertinggi untuk mengalami cedera neurologik, dan hampir selalu memerlukan stabilisasi
bedah. Cedera translasi berat sering membutuhkan pendekatan kombinasianterior dan posterior
untuk mengembalikan stabilitas vertebra.

Gambar8.5Instrumentasi Anterior Pada Vertebra Torakolumbal


Ket: Instrumentasi anterior telah menjadi lebih populer di dada dan lumbar tulang belakang . A :
AP radiografik menunjukkan Kaneda perangkat (Depuy Spine) menstabilkan corpectomy a . B :
MACS - TL (Aesculap) adalah baru , lebih rendah sistem profil di mana kepala sekrup flush
dengan plat fiksasi dapat ditempatkan thoracoscopically. C : kandang diupgrade (Synex
kandang , Synthes Corp) telah dirancang untuk dada dan lumbar tulang belakang untuk
mengembalikan integritas kolom anterior dan memberikan perhatian untuk membantu cacat yang
benar.
Radiografik Intraoperatif
Radiografik intraoperatif sering digunakan oleh ahli bedah untuk mengkonfirmasi level vertebra
dan meningkatkan akurasi penempatan instrumen. Fluoroskopi dan radiografik polos masingmasing dapat digunakan untuk mengkonfirmasi level vertebra intraoperatif, tapi fluoroskopi
memiliki fleksibilitas tambahan pada aspek gambar real-time. Fluoroskopilateral paling sering

digunakan, namun demikian, posisi AP, oblik, dan biplanar (AP dan lateral) memiliki peran
masing-masing bergantung pada kebutuhan bedah. Perhatian harus dilakukan untuk
mendapatkan

gambar lateral yang sebenarnya, atau gambaran AP dengan penyesuaian

fluoroskopi untuk menghilangkan kesan miring, yang dapat menyebabkan kesalahan persepsi.
Pada vertebra servikal, penyelarasan sendi faset diperlukan sebagai panduan yang baik untuk
mendapatkan tampilan lateral yang benar.Pada vertebra torakolumbal, endplateskorpus vertebra
dapat digunakan untuk mendapatkan keselarasan lateral yang sempurna pada fluoroskopi. Pada
bidang AP, pedikel dan prosesus spinosusus berfungsi sebagai landmarkuntuk menyesuaikan
fluoroskopidan menghilangkan kesan miring.

Gambar 8.6 Instrumentasi Vertebra Torakolumbal Posterior


Sumber: laporan jaga Bedah Saraf RS. Dr. Hasan Sadikin tahun 2013

Ket: sekrup gagang bunga merupakan instrumentasi yang paling umum digunakan pada
terapifraktur

vertebra

torakolumbal,dan

biasanya

ditempatkan

di

seluruh

daerah

torakolumbal,bergantung pada anatomi individu dan ukuran pedikel (T46 biasanya memiliki
pedikel terkecil).

A: CT-scan aksial menunjukkan sekrup gagang bunga ditempatkan melalui pedikel ke dalam
korpus vertebra.
B: radiografik polos lateral menunjukkan batang terhubung ke sekrup gagang bunga.
Servikotorakal junction merupakan daerah yang paling sulit untuk divisualisasikan
dengan fluoroskopi intraoperatif. Manuver menarik bahu ke arah kaki dapat membantu
memaksimalkan visualisasi di vertebra servikal yang lebih rendah.Fluoroskopi

balok

Collimating ke lokasi bunga juga dapat meningkatkan visualisasi dan mengurangi paparan
radiasi. Pada pasien obesitas, visualisasi fluoroskopi mungkin tampak marginal sepanjang
vertebra, tetapi dapat ditingkatkan dengan manuver yang sama.
Menghitung level vertebra di daerah dada untuk lokalisasi dapat sangat sulit dilakukan.
Lebih baik menghitung naik dari tingkat yang dikenal di daerah pinggang dibandingkan dengan
menghitung mundur dari servikotorakal junction. Jika lokalisasi tersebut tercapai, penanda kulit
atau subkutan dapat membantu studi preoperasi. Sistem navigasi stereotaktis yang lebih
kompleks dengan menggunakan CT-scan preoperasi atau fluoroskopi intraoperatif canggih juga
tersedia untuk membantu lokalisasi intraoperatif, tetapi kualitas gambar dan akurasi sering tidak
optimal.
Meskipun teknik bedah dan instrumentasi untuk terapifraktur vertebra telah berkembang,
namun masihterdapat perbedaan pengelolaanbedah trauma vertebra karena kurangnya bukti dan
pedoman untuk sebagian besar kasus traumavertebra. Indikasi dan pendekatan yang diambil
untuk mengelola trauma vertebra sangat bervariasi di antara ahli bedah. Instrumentasi memiliki
peran penting dalam stabilisasi fraktur vertebra yang tidak stabil. Evolusi instrumentasi dan
teknik bedah invasif minimal diharapkan mampu meminimalisasi morbiditas perioperatif dan
lama rawat inap secara keseluruhan.
Daftar Pustaka
1. Vaccaro AR , Silber JS . Post-traumatic deformitas tulang belakang . Spine . 2001; 26 ( 24
suppl ) : S111 - 118 .
2. Winn, Richard. YOMANS : Neurological Surgery. Elevier-Saunders. 2011. Philadelphia.
3. Baaj, Ali A. Et al. Handbook of Spine Surgery. Thieme. 2012. New York-USA.
4. Schnuere, Tony. Lumbar (Low Back) Surgical Implants. 2009. Website :
www.spineuniverse.com

5. Alanay, Ahmed MD. Short-segment Pedicle Instrumentation of Thoracolumbal Burst


Fractures : Does Transpedicular Intracorporeal Grafting Prevent Early Failure? Spine
Journal-LWW. 2001.
6. Masquelet, Alain. An ATLAS of Surgical Anatomy. Taylor & Francis. 2005. United
Kingdom.
7. Greenberg, Mark S. Handbook of Neurosurgery, 7th edition. 2010. New York.
8. Vaccaro AR, Silber JS. Post-traumatic vertebra deformity.

Spine.

2001;26(24 suppl):S111-118.
9. Markham J. Surgery of the vertebra cord and vertebral column. In: Walker,
A, ed. A History of Neurological Surgery . New York: Hafner; 1967:364-392.
10. Frankel HL, Hancock DO, Hyslop G, et al. The value of postural reduction
in the initial management of closed injuries of the spine with paraplegia and
tetraplegia. I. Paraplegia. 1969;7(3):179-192.
11. Roos JE, Hilfiker P, Platz A, et al. MDCT in emergency radiology: is a
standardized chest or abdominal protocol sufficient for evaluation of thoracic
and lumbar spine trauma? AJR. 2004;183:959-968.
12. Holdsworth FW. Diagnosis and treatment of fractures of the spine. Manit
Med Rev. 1968;48(1):13-15.
13. Whitesides TE Jr. Traumatic kyphosis of the thoracolumbar spine. Clin
Orthop. 1977(128):78-92.
14. Denis F. The three column spine and its significance in the classification
of acute thoracolumbar vertebra injuries. Spine. 1983;8(8):817-831.
15. Laporan Jaga Bedah Saraf FK U npad-RS. Hasan Sadikin tahun 2013.

BAB IX
PENATALAKSANAAN TRAUMA VERTEBRA NON-OPERATIF

Pendahuluan
Penatalaksanaantrauma vertebra selain melalui tindakan operatif,dapat jugadilakukan
secara non-operatif (konservatif). Penanganan non-operatif sama seperti penanganan operatif,
bertujuan mengurangi mortalitas, mempercepat pemulihan neurologik, mengurangi biaya
perawatan, mencegah kerusakan vertebra lebih lanjut dengan prinsip stabilisasi vertebra,
mencegah cedera sekunder, dan komplikasi.1,2
Sebagian besar kasus trauma vertebra tidak memerlukan penanganan operatif dan
dapatditangani secara konservatif. Setiap kasus harus diperiksa dengan cermat sehingga
penanganannya tepat.1
Penatalaksanaan pasien cedera vertebra pada tahap pre-hospitalyang tepat dapat
meningkatkan outcome. Penatalaksanaan ini harus memberikan lingkungan biologis dan
biomekanik yang memungkinkan pemulihan jaringan lunak dan tulang yang akurat, dan pada
akhirnya menciptakan kolom vertebra yang stabil dan bebas nyeri.3

Penanganan Nyeri
Rasa nyeri pada trauma vertebra merupakan salah satu alasan pasien mencari pengobatan.
Nyeri merupakan salah satu gejala akibat gangguan terhadap medula spinalis yang terjadi akibat
trauma. Penanganan nyeri bergantung pada derajat nyeri. Ada beberapa modalitas penanganan
nyeri antara lain:

Medikamentosa
Terapi manajemen nyeri dengan obat-obatan (medikamentosa) dapat dilakukan dengan
pemberian antiinflamasi, analgesik, relaksan otot, narkotik, antidepresan.
a

Antiinflamasi
Obat-obatan ini bertujuan untuk mengurangi peradangan dalam jaringan, dan
berguna untuk mengatasi nyeri ringan dan sedang. Efek samping yang dapat
terjadi antara lain gangguan lambung, ginjal dan hepar.

Analgesik
Golongan obat ini mengurangi rasa nyeri, namun tidak bekerja pada sumber nyeri.
Golongan obat ini berguna untuk meringankan gejala yang ada, akan tetapi tidak
menghilangkan penyebab nyeri.

Relaksan otot
Golongan obat ini bertujuan mengurangi rasa tegang dan iritasi otot. Dengan
berkurangnya spasme otot, maka rasa nyeri akan berkurang.

Golongan narkotik
Golongan obat ini merupakan antinyeri yang sangat kuat. Berguna untuk
mengobati rasa nyeri yang berat. Obat-obatan ini tidak dijual bebas dan dapat
menimbulkan adiksi.

Antidepresan
Pada beberapa kasus, antidepresan berguna untuk mengurangi nyeri.4

2. Non-medikamentosa

a. Kompres dingin/hangat
Kompres dingin dapat mengurangi rasa nyeri dan bengkak, sedangkan kompres
hangat dapat membantu melancarkan sirkulasi darah pada

area cedera dan

mempercepat penyembuhan.
b. Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)
Transcutaneous electrical nerve stimulation dilakukan dengan meletakkan
langsung sadapan elektrik yang dialiri arus listrik kecil pada kulit untuk
mengurangi rasa nyeri.

c. Pemijatan
Pemijatan dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri dengan melancarkan sirkulasi
darah dan mengurangi spasme otot.
d. Ultrasound
Mekanisme kerjanya adalah dengan memberikan getaran gelombang ultrasound
pada jaringan yang dapat menembus kulit sehingga mencapai pusat nyeri.
Gelombang ini mengurangi spasme otot dan memperlancar sirkulasi darah.
e. Akupuntur
Di negara-negara Asia, akupuntur sudah dikenal dan dipercaya dapat meredakan
nyeri melalui penusukan jarum pada area-area tertentu.

3. Imobilisasi eksternal
Pasien yang mengalami defisit neurologik akut sering mengalami subluksasi yang nyata
pada pencitraan radiografik, akibatnya dapat terjadi kompresi medula spinalis. Contoh yang
umum adalah pasien dengan locked facet unilateral atau bilateral, fraktur servikal tipe burst,
fraktur odontoid. Selama puluhan tahun telah dipraktikkan penggunaan reduksi tertutup dini
untuk penanganan cedera ini. Tujuannya adalah untuk dekompresi medula spinalis yang cepat,
mengembalikan stabilitas struktur servikal dan imobilisasi.
Pemulihan stabilitas vertebra adalah penting untuk meminimalisasi risiko cedera
sekunder dan memungkinkan mobilisasi dini pasien, dan mengurangi risiko yang berhubungan
dengan tirah baring jangka panjang.
Imobilisasi eksternal dari vertebra servikal dilakukan dengan pemasangan collar neck
yang terdiri atas berbagai desain,poster type orthoses, cervicothoracic devices termasuk
Minerva-type braces, dan halo orthosis.
Collar neck terdiri atas beberapa tipe; collar Philadelphia, Miami J, Aspen, Newport, dan
berbagai tipe rigid collar. Soft collar memberikan perlindungan yang minimal dan restriksi
pergerakan yang sangat kecil, sehingga peranannya pada manajemen trauma sangatlah terbatas.

Poster type orthoses terdiri atas orthoses Guilford dan sternal-occipital-mandibular


immobilization (SOMI). Perlengkapan ini memberikan imobilisasi yang lebih baik dari collar
neck, tetapi jarang dapat diaplikasikan pada trauma akut.

Gambar 9.1 Soft Collar Neck


Sumber: laporan jaga Bedah Saraf FK Unpad/ RS. Dr. Hasan Sadikin, Bandung tahun 2013

Gambar 9.2 Philadelphia CollarNeck


Sumber:http://www.bracesbyorthigo.be/fr/products/view/398/collier-cervical-mousse-c1-ezy-wrap

Gambar 9.3 Minerva Type Braces


Sumber:http://www.bracesbyorthigo.be/fr/products/view/398/collier-cervical-mousse-c1-ezy-wrap

Halo vest merupakan alat yang paling dapat diandalkan untuk mengontrol pergerakan
vertebra servikal dan merupakan peralatan standar pada cedera servikal. Halo vest dapat
membatasi fleksi dan ekstensi, rotasi aksial, dan fleksi lateral dari servikal atas, di mana level ini
jarang dapat terlindungi dengan peralatan lain. Dengan kemampuannya membatasi pergerakan
mulai oksiput sampai C3, halo vest direkomendasikan secara umum untuk terapi fraktur
dislokasi aksis, fraktur odontoid, fraktur kombinasi C12, dan juga sebagai imobilisasi
pascaoperasi. Penggunaan halo vest lebih terbatas pada kelompok pediatrik di mana ketebalan
tulang tengkorak dan penggunaan pin dapat menimbulkan masalah.5

Gambar 9.4 Halo Vest


Sumber:http://www.indiamart.com/active-medical/spinal-orthosis-braces.html

Fraktur torakolumbal cenderung untuk kembali pada deformitas semula. Oleh karena itu,
reposisi mungkin tidak dibutuhkan. Konsep terapi fungsional dimulai dengan fase berbaring pada
posisi pronasi di tempat tidur, dan apabila diperlukan dengan lordotic support. Waktu imobilisasi
di tempat tidur tergantung pada tipe fraktur.3

4. Traksi servikal
Traksi servikal merupakan pemasangan traksi pada dahi dan di belakang oksiput dengan
tujuan untuk stabilisasi sementara pada cedera servikal. Traksi ini harus segera digantikan oleh
traksi skeletal dan beban tidak boleh lebih dari 5 Kg untuk jangka waktu lebih dari 2 jam. Traksi
Gardner-Wells merupakan yang paling sering digunakan untuk traksi skeletal.2

Gambar 9.5 Traksi Gardner-Wells


Sumber:http://www.bracesbyorthigo.be/fr/products/view/398/collier-cervical-mousse-c1-ezy-wrap

5. Rehabilitasi fisik
Salah satu penatalaksanaan non-operatif adalah program rehabilitasi fisik. Program ini
berguna untuk mempercepat pemulihan kekuatan otot. Otot-otot vertebra sangat penting dalam
menjaga stabilitas vertebra sebagai penopang tubuh. Faktor usia, jenis cedera atau masalah
penyerta dapat menyebabkan kelemahan pada otot punggung. Program latihan fisik dapat
membantu memperkuat otot-otot tersebut. Sejumlah studi menunjukkan bahwa latihan aerobik
dapat menurunkan angka kekambuhan cedera vertebra.6,7

Daftar Pustaka
1.

Grundy D, Tromans A, Carvell J, Jamil F. Medical Management in the Vertebra Injuries

Unit. In: Grundy D, Swain A, editors. ABC of Vertebra Cord Injury. 4th ed. London: BMJ
Books; 1996.
2.

Morone MA, Ball PA. Vertebra Traction. Benzel EC, editor. Philadelphia: Elsevier; 1999.

3.

Boos N AM. Thoracolumbar Vertebra Injuries. Vertebra Disorder. New York: Springer;

2006. p. 883-924.
4.

Wells JCD, Miles JB. Pain and its Management. Findlay G, Owen R, editors. Oxford:

Blackwell Scientific Publications; 1992.


5.

Johnson RM HD, Simmons EF, et al. Cervical Orthoses: A study comparing their

effectiveness in restricting cervical motion in normal subjects. J Bone Joint Surg Am.
1977(5):464-75.
6.

TB D. Treatment of vertebra cord injury. N Engl J Med. 1990(96):285-91.

7.

Fang HSY, Bedbrook GM. Rehabilitation and the Paralysed Patient. Findlay G, Owen R,

editors. Oxford: Blackwell Scientific Publications; 1992.

BAB X
PEMASANGAN IMPLAN PADA TRAUMA VERTEBRA
Fakta bahwa operasivertebra berhubungan langsung dengan medula spinalis dan serabutserabutnya, membuat teknik atau prosedur bedah ini sangatlah tidak mudah dilakukan.
Kesalahan kecildapat mengakibatkan kerusakan saraf yang permanen atau paralisis. Selain
kesalahan manusia, terdapat beberapa risiko tinggi dalam operasi vertebra yang harus dipahami,
terutama penggunaan instrumentasi dan implan.
Implan vertebra merupakan alat yang digunakan oleh pada ahli bedah saraf

untuk

memperbaiki deformitas, menstabilkan dan menguatkan vertebra, dan membantu penyatuannya.


Beberapa gangguan pada vertebra yang menggunakan implan vertebra meliputi penyakit
degeneratif pada diskus vertebra, skoliosis, kifosis, spondilolistesis, dan fraktur vertebra.
Dekompresi secara pembedahan meliputi pelepasan tekanan atau dorongan jaringan
terhadap medula spinalis atau serabut saraf. Stabilisasi vertebra meliputi fusi dua vertebra atau
lebih. Pemasangan implan seperti cages, screws, rods dapat digabungkan dengan bone
graftmenyebabkan tidak adanya pergerakan dari korpus vertebra.
Implan terbuat dari material yang biocompatible dan mampu memberikan stabilitas dan
kekuatan pada vertebra. Secara umum, implan vertebra dibagi menjadi fusi dan non-fusi.

1
2

Implan fusi menggunakan cangkokan unsur tulang (bone graft)


Contohnya: rod, plate, screw, interbody cage
Implan non-fusi tidak menggunakan bone graft
Contohnya: diskus artifisial, growth sparing devices*.
*Growth sparing devices digunakan pada pasien yang belum mencapai maturitas tulang.
Alat yang termasuk di dalamnya seperti vertical expandable prosthetic titanium rib
(VEPTR) yang dapat digunakan pada penangan skoliosis.
Implan terbuat dari beberapa material seperti titanium, titanium-alloy, stainless steel, dan

plastik. Implan titanium tergolong kuat, ringan, dan dapat digunakan dalam pemeriksaan
pencitraan magnetic resonance imaging(MRI).

Gambar 10. 1 Beberapa Tipe Implan Vertebra (Meditronic)


Sumber:http://www.bizrice.com/products/Orthopedic-Implants-Spine-Implants.html

Alat-alat tersebut dibuat berbeda-beda sesuai bentuk dan ukuran,misalnyarods yang dapat
disesuaikan dengan anatomi pasien. Contoh lain, pedicle screw yang dapat dilapisi dengan
material yang mampu merangsang fusi (penyatuan) tulang.

Gambar 10.2. Diameter terluar dan terdalam (pusat screw), kedalaman serta jarak antara ulir
pada Screw.
Sumber:Benzel EC. Implant-bone interfaces. /n: Benzel EC, ed. Biomechanics of Spine Stabil ization. Rolling Meadows, IL: AANS Publications;
and New York: Thieme; 200 1 : 1 59. Reprinted by permission.

Implan lumbal merupakan alat yang sering digunakan ahli bedah saraf untuk dekompresi
dan stabilisasi vertebra, khususnya lumbal. Secara spesifik, implan yang digunakan pada fusi
lumbal dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
1
2

Implan pada disc space (interbody space)


Implan pada tulang vertebra yang menghasilkan stabilisasi

Gambar 10. 3 Implan Plate dan Screw (Aesculap)


Sumber:http://urogen.co.id/

Implan Interbody
Tujuan penggunaan implan interbody pada lumbal adalah:

Mempertahankan sela diskus antar vertebra sehingga membantu mencegah kompresi

2
3
4
5

saraf,
Mempertahankan lengkung vertebra lumbal pada asalnya,
Membantu fusi/penyambungan vertebra,
Mempertahankan stabilitas,
Sebagai media (carrier) untuk penyambungan material seperti bone graft.
Implan interbody (cages) tersedia dalam berbagai bentuk dan ukuran. Sebagian besar

berbentuk silinder, selain itu ada yang berbentuk kubus. Cages juga terbuat dari berbagai macam
bahan seperti logam, tulang, carbon fiber, dan plastik. Cages biasanya terbungkus bersama
serbuk-serbuk tulang atau subtansi lain yang membantu penyembuhan dan penyambungan
tulang. Satu atau dua cages yang sesuai menempati ruang diskus (interbody space) yang kosong.
Beberapa teknik operasi hanya menggunakan cages untuk membantu penyambungan dan
stabilisasi vertebra.
Keutamaan Bone Graft
Apapun implan yang digunakan oleh ahli bedah saraf, hasil akhirnya diharapkan memberi
keuntungan bagi pasien terutama pada proses fusi, maupun fusi yang dipercepat oleh bone graft.
Protein buatan sebagai hasil rekayasa genetik, yang dikenal sebagai recombinant human bone
morphogenetic protein (rhBMP-2) dapat membantu menstimulasi proses penulangan.
Bone graft dapat diperoleh dari beberapa sumber. Masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangannya.
Autograft,yaitu tulang atau cangkoknya berasal dari dari tubuh sendiri.
Tulang yang sering diambil berasal dari tulang pinggul pada krista iliaka,
oleh karena segmen ini memiliki kecepatan fusi yang tinggi karena

kandungan sel-sel bakal tulang dan proteinnya.


Allograft, yaitutulang yang berasal bukan dari diri sendiri, disebut juga
donor tulang. Tulang ini biasanya diperoleh dari orang lain yang bersedia
mendonorkan tulangnya setelah meninggal. Kekurangan pada donor
tulang ini tidak memiliki sel-sel bakal tulang yang mampu tumbuh

dengan cepat.
Bone graft tersubstitusi. Cangkok tulang ini dimulai dari pembuatan berbahan
plastik, keramik, atau komponen yang bioresorbable,yang dilapisi serbuk atau serpihan
tulang intraoperatif.

Komplikasi Penggunaan Implan dan Proses Fusi


Beberapa komplikasi penggunaan implan dan proses fusi di antaranya, yaitu:
1. Non-union
Kemampuan penyatuan vertebra (fusi) mengacu pada penyambungan atau penyatuan dua
vertebra yang disebabkan karena diskus diantara keduanya rusak. Gangguan berupa nonunionyaitu tidak terjadinya fusi vertebra, sehingga operasi harus dilakukan kembali. Apabila
penyatuan vertebra yang melibatkan instrumen atau implan dapat mengganggu penyatuan tulang,
maka perlu dipikirkan penggunaan bone graft, karena akan mempercepat proses penyatuan
tulang atau fusi. Di samping itu, operasi yang kedua dapat memperbaiki masalah yang timbul
pascaoperasi yang pertama.
2. Delayed union
Proses fusi yang memerlukan waktu yang lebih lama disebut sebagai delayed union.
Pseudoartrosis mengacu pada pergerakan dua tulang yang seharusnya menyatu.
3. Implan rusak atau patah
Metal screw, plate, pin dan rods digunakan dalam mempertahankan kesegarisan
vertebraselama penyembuhan. Implan ini dapat patah atau rusak sehingga harus
dilakukan operasi yang kedua.
4. Migrasi implan (implan yang berpindah)
Dapat terjadi pada 12% kasus. Sering terjadi pascaoperasi, pada saat proses
penyembuhan dan penyatuan terjadi. Migrasi dapat bergerak ke depan, yang dapat
melukai pembuluh darah besar. Pada kasus seperti ini, operasi kedua mutlak dilakukan
dengan lebih memperkuat cages.
5. Kerusakan saraf atau nyeri yang permanen
Setiap operasi vertebra dapat mengakibatkan adanya luka atau kerusakan saraf, maupun
medula spinalis. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa rasa baal, kesemutan, bahkan
paralisis. Hal tersebut sering disebabkan karena kerusakan serabut saraf itu sendiri
akibatherniasi diskus. Beberapa kasus herniasi diskus yang lama tentu akan menyebabkan
kerusakan yang permanen, walaupun telah dilakukan tindakan dekompresi.

Gambar 10.4 Evaluasi Pemasangan Implan Secara Radiologik


Sumber:http://www.lowback-pain.com/surgery.spinalstimulator.technique.htm

Kesimpulan
Pemakaian implan oleh ahli bedah saraf, harus memperhitungkan keuntungan dan
kerugian bagi pasien. Pengetahuan, pengalaman, dan hasil dari pemakaian implan akan
mendorong penelitian dan peningkatan mutu pada tahun-tahun berikutnya.
Daftar Pustaka
1
2
3

Winn, Richard. YOMANS : Neurological Surgery. Elevier-Saunders. 2011. Philadelphia.


Baaj, Ali A. Et al. Handbook of Spine Surgery. Thieme. 2012. New York-USA.
Schnuere, Tony. Lumbar (Low Back) Surgical Implants. 2009. Website

www.spineuniverse.com

Alanay, Ahmed MD. Short-segment Pedicle Instrumentation of Thoracolumbal Burst


Fractures : Does Transpedicular Intracorporeal Grafting Prevent Early Failure? Spine

5
6
7

Journal-LWW. 2001.
Masquelet, Alain. An ATLAS of Surgical Anatomy. Taylor & Francis. 2005. United Kingdom.
Greenberg, Mark S. Handbook of Neurosurgery, 7th edition. 2010. New York.
Bose B: Anterior cervical instrumentation enhances fusion rates in multilevel reconstruction

in smokers. J Vertebra Disord 14:3-9, 2001.


Hilibrand AS, et al.: Impact of smoking on the outcome of anterior cervical arthrodesis with

interbody or strut-grafting. J Bone Joint Surg Am 83-A:668-73, 2001.


Xie JC, Hurlbert RJ. Discectomy versus discectomy with fusion versus discectomy with
fusion and instrumentation: a prospective randomized study. Neurosurgery 61:107-16, 2007

10 Vaccaro, Alexander, et al. Spine Surgery. Thieme. 2003. New York-USA.


11 Laporan Jaga Bedah Saraf FK Unpad-RS. Hasan Sadikin tahun 2013.

BAB XI
KONSEP SEL PUNCA PADA TRAUMA VERTEBRA

A Sel Punca
Sesuai dengan namanya, sel punca saraf (SPS) memiliki kemampuan menjadi berbagai
macam sel didalam otak dan vertebra (sel saraf dan glia), memiliki kemampuan memperbanyak
dirinya sendiri (self-renewing) dan menjadi sel-sel otak dan sel vertebra dewasa (differentiation)
sesuai dengan lineage-nya; sifat-sifat ini disebut pluripoten. Sedangkan istilah progenitor
memiliki derajat yang lebih rendah dari pluripoten5karena hanya dapat menjadi satu jenis sel,
misalnya sel progenitorsaraf hanya dapat menjadi sel saraf dan tidak dapat menjadi sel glia,
begitupun sebaliknya untuk sel progenitorglia. Sel punca saraf dapat diisolasi, baik dari otak
individu dewasa maupun fetus, bahkan pada saat embrio. Populasi SPS dapat ditemukan
didaerahsubventrikel (SVZ) pada ventrikel lateral dan didaerah subdentatusgirus pada
hipokampus,5 didaerah telensefalon pada fetus dan inner cell mass pada tahapblastosit pada fase
embrio.
Sel-sel SPS dapat ditumbuhkan atau dibiakkan secara in vitro pada cawan petri dengan
keberadaan mitogen growth factor-nya dalam medium pembiakannya; seperti basic fibroblast
growth factor (bFGF) dan epidermal growth factor (EGF). Setelah proses pengkulturan beberapa
pasase (kali), sel-sel tersebut dapat dirangsang untuk berdiferensiasi menjadi sel dewasa dengan
mengurangi atau menghilangkan growth factor dalam mediumnya. Sel-sel SPS ini juga dapat
kita arahkan atau kita setir menjadi sel yang kita kehendaki. Pada dasarnya SPS secara alamiah
(tanpa adanya intervensi untuk menyetirnya,apabila kita hilangkan growth factor dari
mediumnya) akan berdiferensiasi menjadi 10% sel-sel saraf dan 90% sel-sel glia beserta selsel pembuluh darahnya (Gambar 11.1).

Nucleus
(DAPI)

Astrocyte
(GFAP)

Neuron
(Tuj1)

Gambar 11.1 Diferensiasi Sel Punca Saraf/Neural Stem CellMenjadi Sel-sel Otak Matur
Sumber: Ahmad Farieds unpublished data

Jumlah sel saraf yang 10% tersebut dapat kita tingkatkan menjadi lebih banyak lagi
apabila ada upaya intervensi untuk menyetirnya menjadi sel saraf (Gambar 11.4) dengan cara
menambahkan mediator perangsang khusus pada medium pertumbuhan SPS untuk
menjadikannya sel saraf (Retinoic Acid, Neuron Growth Factor). Dengan dasar pemahaman ini,

kita dapat mencirikan sel-sel progenitor dan sel dewasa yang kita harapkan tersebut dengan
menggunakan marker-marker spesifik untuk setiap jenis sel dengan menggunakan teknik
imunologi (misalnya, Tuj-1 untuk marker sel saraf; GFAP untuk marker sel glia, O4 untuk
marker sel oligodendrosit).
Oligodendrocyte
marker (O4)
NSCs medium -bFGF and EGF

NSCs medium 20ng bFGF and EGF

Co-culture release DIV10

Neural Stem Cells

Gambar 11.2Perbanyakan Sel Saraf Melalui Co-culture System dengan Sel Endotel
Sumber: Ahmad Farieds unpublished data

B Sel Punca Saraf (SPS)


Sistem saraf pusat (SSP) pada individu dewasa memiliki kapasitas yang sangat terbatas
dalam kemampuan mereparasi dirinya sendiri setelah terjadinya suatu cedera/trauma. Hal ini
disebabkan tidak dimilikinya sifat pluripoten yang dapat menghasilkan sel saraf baru, tidak
memiliki kemampuan beradaptasi untuk perbaikan fungsi dan untuk pertumbuhan aksonal.
Dengan mentransplantasikan multipoten SPS diharapkan mampu mengatasi permasalahan
tersebut diatas. Hal ini juga disambut dengan sangat antusias, baik oleh peneliti
maupunklinisi,untuk dapat diaplikasikan pada upaya memperbaiki sel saraf yang rusak seperti
pada kasus trauma vertebra.
Sel-sel SPS dapat diisolasi dari jaringan otak pada fase embrio ataupun dewasa dan dari
berbagai macam spesies mamalia termasuk mencit, tikus ataupun manusia.5,6 Sel-sel tersebut
terbukti stabil dalam proses perbanyakan selnya tanpa kehilangan karakteristik sel punca yang
dimilikinya.7 Perbedaan sifat antara multipoten dan pluripoten mengacu kepada kemampuan
SPS-nya menjadi berbagai macam atau hanya satu macam sel otak; seperti sel saraf, sel astrosit,
sel oligodendrosit, sel schwan, dan lain-lain. Sel-sel ini juga terbukti memiliki kemampuan
untuk survive, migrasi dan reparasi yang tinggi pada saat ditransplantasikan kedalam SSP yang
mengalami trauma/cedera. Hal ini juga diamati pada sel punca yang diisolasi dari organ selain
otak, dengan kemampuan yang sama dalam hal mereparasi sel-sel didaerah cedera.7
Hasil penelitian terkini membuktikan bahwa SPS dapat dihasilkan dari sumber isolat sel
punca sumsum tulang, darah tali pusat (Gambar 11.3), yang dikenal dengan sel punca eksogen
yang bukan berasal dari sel otak.8 Dari hasil percobaan in vitro dan in vivo, dibuktikan bahwa sel
punca dari sumsum tulang dan plasenta dapat disetir menjadi sel-sel saraf dan sel-sel glia; dan
seperti halnya dengan SPS, sel punca eksogen dan endogen ini dapat ditanamkansecara langsung
ke lesi cedera diotak. Untuk sel punca yang diambil dari sumsum tulang ini akan memberikan
keuntungan tersendiri karena penderita mendapatkan sel punca dari tubuhnya sendiri, yang dapat
diperbanyak diluar tubuhnya dan setelah mendapatkan sejumlah sel-sel yang dibutuhkan, maka
sel-sel tersebut dapat ditransplantasikan kembali ketubuh pasien yang bersangkutan. Hal ini juga
menguntungkan karena tidak membutuhkan terapi imunosupresi sebelumnya dan ini dapat
menurunkan angka morbiditas. Secara eksperimental, analog sumsum tulang yang disetir
menjadi SPS dapat digunakan sebagai terapi seluler pada lesi cedera kepala dan trauma vertebra.

Umbilical Cord Whaton


Blood s

Jelly MSCs

Gambar 11.3 Sel Punca yang Berasaldari Plasenta


Sumber: Ahmad Farieds unpublished data

C Sel Punca Saraf dari Eksogen


Hasil percobaan menunjukkan SPS mampu bertahan hidup (survive), dapat bermigrasi
dan berdiferensiasi setelah ditransplantasikan kedalam SSP.9,10,11 Hasil percobaan menunjukkan
bahwa sel-sel tersebut berespons secara baik dengan reaksi lokal ditempat lesi,baik di SSP
maupun di sumsum tulang belakang.7 Saat SPS ditanamkan pada lesi trauma vertebra, sel-sel
tersebut berdiferensiasi hanya menjadi sel astrosit dan progresivitas pembentukannya hanya
sementara, kemudian menurun kembali,12,13mekanisme tersebut diatas masih belum diketahui.
Keberhasilan transplantasi sel saraf pusat dan perifer idealnya membutuhkan sel-sel yang
sudah berdiferensiasi menjadi sel-sel saraf, hal ini untuk menghindari pengaruh lingkungan yang
dapat menyebabkan sel tersebut menjadi sel jenis lain, misalnya glia. Prekursor dari organ
lainnya yang dapat diarahkan menjadi SPS (neuron restricted precursor; NRP) diantaranya dapat
berasal dari hasil isolasi sel punca embrionik, juga terbukti dapat ditanamkan pada lesi trauma
vertebra pada percobaan menggunakan tikus; sel punca yang ditanam dapat berdiferensiasi
secara progresif menjadi sel saraf akan tetapi pada fase selanjutnya akan mengalami

penurunan.Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlu adanya modifikasi untuk mempertahankan


viabilitas sel graft dan mengontrol lingkungannya dalam upaya menyokong sel tersebut menjadi
matur sempurna.7 Faktor interinsik dari SPS sendiri juga merupakan faktor yang sangat penting. 14
Sifat dan karakter sel punca yang diisolasi dari tempat berbeda akan menghasilkan kekhasannya
sendiri dan memiliki sifat serta karakter yang berbeda pula. Sifat NRP yang berasal dari isolasi
sumsum tulang belakang yang ditanamkan di SVZ akan bermigrasi dan menghasilkan sel-sel
saraf yang matur dengan bantuan berbagai macam zat neurokimia dan akan menjadi sel yang
beraneka ragam morfologinya.15 Jika NRP disiloasi dari SVZ, kemudian hasilnya ditanam
kembali kedalam SVZ, maka sel-sel tersebut tidak akan bermigrasi dan akan berdiferensiasi
menjadi sel saraf yang matang. Neuron restricted precursor yang diisolasi dari sumsum tulang
belakang, diamati dapat berdiferensiasi menjadi sel saraf yang menghasilkan choline
acethyltransferase, dimana pada bagian otak tempat ditanamnya NRP tersebut tidak
menghasilkan choline acethyltransferase. Hal ini menunjukkan bahwa faktor interinsik dari sel
NRP yang ditransplantasikan menjadikannya jenis sel tertentu dalam otak, bahkan setelah
dipaparkan kedalam lingkungan barunya.7 Kesimpulannya adalah pentingnya mengisolasi sel
perkusor tertentu yang spesifik untuk setiap area dalam SSP untuk menjadikannya berfungsi
sesuaidengan fungsi sel saraf di lokasi tersebut.7
Banyak penelitian yang menunjukkan keberhasilan transplantasi SPS dan NRP kedalam
SSP, akan tetapi keberhasilan perbaikan fungsinya secara fisiologik dari hasil graft tersebut
belum sepenuhnya dapat dihasilkan dan masih perlu banyak pembuktian. McDonald et al16
membuktikan bahwa terdapat perbaikan fungsi lokomotor setelah dilakukannya transplantasi
SPS derivat dari Embryonic stem cells kedalam trauma vertebra pada binatang percobaan tikus
model dengan cedera karena kontusio. ESCs tersebut dalam bentuk embryoid bodies yang
berasal dari sel line D3 tikus;17 pada hari 4-/4+ (4 hari tanpa dan 4 hari dengan penambahan
retinoic acid pada mediumnya) ditransplantasikan kedalam area lesi. Sel-sel tersebut
diinjeksikan dalam bentuk agregat (gumpalan), 9 hari setelah dilakukan perusakan atau cedera
pada tulang belakang tikus percobaan. Dua minggu setelah transplantasi sel tersebut, tikus
dikorbankan dan sel-sel graft tersebut dilabel dengan bromodeoxyuridine (BrdU) dan atau
dengan antibodi spesifik untuk M2, EMA atau Thy untuk mempermudah pendeteksiannya secara
in situ. Sel tersebut didapati mengisi daerah lesi, tetapi hanya sejauh 8 mm dari sisi terluar
lesinya, baik dilihat dari rostral maupun dari kaudal;sebesar 43% sel, dengan pemeriksaan

immonihistokimia (IHC), menjadi sel oligodendrosit, sedangkan 19% lainnya menjadi sel
astrosit. Derivat yang menjadi oligodendrosit bereaksi positif dengan myelin basic protein.
Sebesar 8% berubah menjadi sel saraf, yang terwarnai dengan antibodi neuron spesifik nuclear
protein (NeuN).
Satu bulan setelah transplantasi, didapatkan dua skor Blood brain barrier (BBB) yang
berbeda(7,9 dan 10) antara binatang yang ditransplantasi dengan ESCs dibandingkan dengan
kelompok kontrol yang tidak ditranspalantasikan ESCs. Perbedaan skor BBB menggambarkan
kemampuan mobilisasi pembuluh darah pada tungkai belakang tikus, yang diberikan
pembebanan dan dinilai juga koordinasinya; akan tetapi masih kurang jelas faktor-faktor apa saja
yang bertanggung jawab terhadap perbaikan skor fungsi hasil transplantasi tersebut.
Embryonic stem cells juga dapat menjadi sel yang dapat melakukan remielinisasi pada
akson-akson yang cedera atau menyediakan growth factor berupa neurotropik atau memberikan
efek penyebaran sel; lebih jauh ESCs yang berdiferensiasi akan menjadi sel saraf yang matur dan
memberikan kondisi yang kondusif untuk memperbaiki fungsi pada jaras-jaras vertebra
yangmengalami cedera. Perbaikan yang cepat dari fungsi motorik dapat diamati dengan
banyaknya ESCs yang berdiferensiasi menjadi oligidendrosit, yang positif dengan pewarnaan
myelin basic protein,yang membentuk remielinisasi. Faktanya adalah prekursor oligodendrosit
yang ditransplantasikan pada lesi terbukti berhubungan dengan proses remielinisasi dan
peningkatan konduksi akson.18 Banyak alasan yang mendasari rasionalisasi dari transplantasi
menggunakan SPS dan NRP sumsum tulang belakang, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
hampir mustahil Stem Cells yang ditransplantasikan dapat memperbaiki cedera secara
menyeluruh,baik jaras asenden sekaligus jaras desenden-nya, pada trauma vertebra. Hasil
penelitian membuktikan bahwa SPS memiliki ion channel yang sama persis dengan sel saraf
aslinya, dan juga memiliki kemampuan menghasilkan potensial aksi yang sama. Akan tetapi
belum ada studi yang menyatakan apakah sel-sel tersebut dapat terintegrasi kedalam sirkuit sel
host dan membentuk sinaps fungsional. Diyakini sel-sel transplantasi tersebut berfungsi menjadi
sel-sel neuroprotektor (tissue sparing), dukungan growth factor dan mielinisasi, lebih jauh
termasuk sel punca graft menyediakan faktor-faktor lingkungan (niche) yang baik untuk
meningkatkan pertumbuhan dan regenerasi akson.
D Sel Punca Saraf dari Endogen

Penggunaan sel punca eksogen memerlukan teknik transplantasi dan grafting yang masih
memerlukan tambahan terapi imunosupresi. Sedangkan penggunaan sel punca endogen tidak
memerlukan terapi imunosupresi, atau bisa dikatakan sangat rendah, dan lebih jauh dapat
mengatasi permasalahan yang muncul karena intervensi yang berlebihan pada sel punca eksogen.
Saat ini sudah banyak diterima teori yang menyatakan terdapatnya pembentukan sel-sel
saraf baru pada SSP dewasa. Proses ini banyak didemonstrasikan pada sel otak dari SVZ dan
hipokampus.1922 Lois dan Alvarez-Bullya21 melabel otak tikus jantan dewasa dengan
[3H]Thynidine; hasilnya ditemukan sel-sel proliferasi dan sel-sel yang aktif membelah, yang
terlokalisasi pada sebagian besar daerah SVZ dan untuk memastikan bahwa sel-sel SVZ ini
merupakan sel punca, maka sel-sel tersebut dikultur dimedium khusus. Pada pasase generasi ke6, kumpulan sel isolasi tersebut bertambah dan bergenerasi membentuk sel yang positif dengan
perwarnaan glia. Bersamaan dengan hal tersebut, ditemukan juga sel-sel saraf yang dapat dilihat
dengan mewarnai sel dengan antibodi spesifik tertentu (MAP-2, NF, NSE) dan negatif untuk
marker-marker sel glia. Pada waktu yang bersamaan didapatkan sebesar84% sel saraf yang
terwarnai. Hasil ini menunjukkan sel-sel yang aktif berproliferasi memang terdapat di dalam
jaringan SSP otak dewasa (secara in vivo) dan sel-sel tersebut memiliki kemampuan untuk
membentuk sel saraf dan sel glia. Eriksson dkk 19 menunjukkan hasil yang serupa pada sel-sel
yang diisolasi dari girus dentatus daerah hipokampus manusia. Hasil dari penelitian tersebut,
ditemukannya sel-sel yang terlabel positif dengan BrdU (marker proliferasi sel) pada daerah
hipokampus di sel-sel granular girus dentatus; pada saat sel tersebut di double-stainning, sel-sel
tersebut positif untuk pewarnaan marker sel-sel saraf (NeuN). Hasil serupa ditemukan pada selsel yang diisolasi di SVZ (Gambar 11.6). Dari serangkaian penelitian tersebut menunjukkan
bahwa sel-sel yang diisolasi tersebut merupakan sel progenitor; sel-sel tersebut harus bermigrasi
keluar niche-nya untuk tumbuh berdiferensiasi menjadi sel dewasa. Sel-sel punca yang diisolasi
dari tubuh individu sendiri dikenal dengan sebutan sel punca endogen. Mekanisme induksi dan
kontrolnya sampai saat ini belum banyak diketahui.

Gambar 11.4 Isolasi Sel Punca Saraf dari Area Subventrikel


Sumber: Ahmad Farieds unpublished data

Salah satu aplikasi kegunaan sel punca endogen ini adalah untuk menggantikan sel-sel
saraf yang cedera, dan pemikiran ini harus dicobakan serta diamati pada model hewan uji
terlebih dahulu. Johansson dkk (23) menunjukkan bahwa SPS bermigrasi kearah lesi cedera
setelah dilakukan pemotongan funikulus dorsalis sumsum tulang belakang binatang percobaan;
akan tetapi seperti halnya pada percobaan menggunakan sel punca eksogen, sebagian besar selsel yang ditransplantasikanberubah menjadi sel-sel astrosit. Setelah pemberian BrdU pada
sumsum tulang belakang tikus, ditemukan sekelompok sel ependimberlabel BrdU disekitar

kanalis sentralis. Setelah dilakukan pemotongan atau cedera pada sumsum tulang belakang,
cedera diamati setelah satu hari, pada funikulus setinggi T2

ditemukan 50x peningkatan pertumbuhan sel ependim yang berproliferasi, pada


pengamatan dengan mikroskop elektron ditemukan pembelahan sel-sel yang asimetris (menjauhi
niche untuk berdiferensiasi menjadi sel dewasa).
Untuk mengetahui nasib dari sel-sel ependim tersebut, dengan menggunakan hewan
percobaan (yang sel-selnya dilabel dengan marker flouresen Dil) setelah sel berlabel ditanam di
lesi cedera, satu minggu setelah terapi, sel-sel transplantasi tersebut berdiferensiasi menjadi
astrosit, bukan menjadi sel saraf (marker beta tubulin) ataupun sel oligodenrosit (marker O4).
Dengan hasil ini diketahui bahwa growth factorlokal sangat berpengaruh dan permasalahan
tersebut dapat diatasi agar sel-sel transplantasi tersebut dapat kita setir menjadi sel-sel saraf atau
oligodendrosit, bukan menjadi astrosit. Kesimpulannya adalah sel punca endogen bukan
merupakan kandidat yang baik untuk terapi trauma vertebra.
E Remielinisasi Sumsum Tulang Belakang
Prekursor sel glia ditemukan selama perkembangan SSP, sebagian besar sel glia di
sumsum tulang belakang adalah sel oligodendrosit. Dari data awal, pada saat sumsum tulang
belakang tikus dilabel dengan 5-bromodeoxyuridine (BrdU), ditemukan sebesar 7075% sel
terwarnai double-contras dengan NG2 sebagai marker dari prekursor oligodendrosit.24 Fungsi
dari sel-sel tersebut masih belum banyak diketahui, sebagian peneliti berspekulasi sel-sel tersebut
berfungsi untuk proses remielinisasi pada cedera SSP. Hal tersebut terbukti dari percobaan pada
model hewan trauma vertebra dan demielinisasi.25,26
Data tersebut memunculkan potensi kegunaan prekursor sel glia untuk transplantasi pada
trauma tulang belakang untuk membuat remielinisasi akson dan meningkatkan perbaikan fungsi
selnya. Pada pembahasan sebelumnya sudah di jelaskan bahwa SPS yang ditransplantasikan ke
dalam cedera SSP, hanya sebagian kecil sel yang menjadi oligodendrosit; oleh karena itu
rangsangan in vitro untuk mengarahkan sel menjadi oligodendrosit-lineage sebelum transplantasi
menjadi sangat diperlukan untuk mencapai proses remielinisasi; populasi sel tersebut dikenal
dengan nama oligosfer pada percobaan in vitro. Pada saat oligosfer ditransplantasikan kedalam
tulang belakang tikus percobaan, ditemukan peningkatan yang signifikan dari proses mielinisasi
dibandingkan dengan plasebo kontrolnya.27
Pada percobaan lainnya, ditemukan prekursor sel-sel glia tersebut memiliki kemampuan
memperbaiki fungsi sehingga transplantasinya jauh lebih efektif menjadikannya sel oligodenrosit

dan astrosit untuk saling bantu dalam proses mielinisasi dibandingkan dengan hanya
menggunakan sel progenitor oligodendrosit.28 Sejauh ini efisiensi prekursor sel glia ini untuk
proses mielinisasi fungsionalnya masih menjadi pertanyaan. Apabila sel punca berasal dari luar
tubuh, maka diperlukan faktor-faktor neuroprotektif dan mekanisme trofik yang didapatkan pada
pengamatan dibawah mikroskop, dan ditemukan remielinisasi akson29; tetapi dengan memakai
elektrofisiologis untuk melihat penyembuhan pada hewan coba masih menghadapi kesulitan. 7 Ini
menjadi tantangan dimasa depan untuk melakukan terapi regenerasi sel-sel saraf setelah
terjadinya cedera.
F Transplantasi SPS untuk Trauma Vertebra
Ketika seorang neuroanatomis kenamaan, Ramon C. Cajal, melaporkan pada tahun 1928
bahwasa SSP dewasa tidak dapat menghasilkan sel-sel saraf baru 30; sejak itu dipercaya bahwa
saraf mamalia dewasa tidak memiliki kapasitas menghasilkan sel saraf baru untuk proses reparasi
setelah terjadinya cedera. Pada tahun 1970-an dilakukan riset awal tentang transplantasi sel-sel
saraf dan hasilnya menunjukkan bahwa sel saraf yang diambil dari otak tikus percobaan dapat
diisolasi dan bertahan hidup diluar lingkungannya secara in vitro, dan

dapat membentuk

jaringan saraf serta mengembalikan gangguan motor sel otak ketika ditanamkan pada model
penyakit Parkinsonbinatang percobaan. Temuan ini menunjukkan kemampuan SPS untuk dapat
ditransplantasikan serta dapat memperbaiki fungsi sel-sel yang rusak.
Studi awal tersebut merangsang ketertarikan para penelti di bidang transplantasi sel-sel
otak sehingga lahirlah cabang ilmu baru yang dikenal dengan functional neurosurgery. Pada
tahun 1980-an peneliti mencoba mengaplikasikan transplantasi tersebut pada penyakit Parkinson
untuk menggantikan sel-sel otak yang rusak dan tidak menghasilkan dopaminergik dengan selsel normal yang menghasilkan dopamin. Namun pada pelaksanaannya, aplikasi ini masih sangat
terbatas disebabkan kurangnya ketersediaan donor otak yang sehat dan jaringan vertebra. Saat ini
sudah banyak bukti-bukti terdapatnya sekelompok sel di SSP yang memiliki sifat-sifat selfrenewal, multipoten, bahkan diotak individu dewasa sekalipun; dimana sel tersebut dapat
diisolasi dan dipanen sebagai sumber transplantasi. Perkembangan teknologi terbaru
dikembangkan untuk mengidentifikasi, mengisolasi, dan memperbanyak SPS yang sangat
potensial untuk aplikasi klinis pada trauma dan gangguan sistem saraf.31

Penelitian dibidang sel progenitor saraf secara umum terbagi menjadi beberapa topik;
aktifitas SPS endogen secara in situ dan transplantasi SPS hasil isolasi dari jaringan otak maupun
sumsum tulang belakang. Setidaknya untuk trauma vertebra, penggunaan sel punca endogen
tidak langsung dapat digunakan pada aplikasi klinisnya, ini dikarenakan sel-sel tersebut dapat
tumbuh dan berkembangbiak akan tetapi hanya menjadi sel astrosit pada percobaan
binatang.3234Namun demikian, banyak penelitian yang melaporkan keberhasilan SPS untuk
penyakit-penyakit pada SSP dan trauma. Sel-sel punca ini bukan hanya dapat merekonstruksi
jaringan saraf, akan tetapi dapat juga mengembalikan fungsinya.
G Definisi dan Sistem Kultur pada Sel Punca Saraf
Sel punca saraf didefinisikan sebagai sel saraf yang memiliki potensi self-renewal dan
berkembang biak menjadi 3 jenis sel yang terdapat diotak (sel saraf, astrosit, oligodentrosit).
Keberadaan SPS pada mamalia dewasa pertama kali diperkenalkan oleh peneliti-peneliti seperti
Altman, Bayer dan Kaplan, yang melakukan rangkaian risetnya pada awal tahun 1960-an.
Namun baru sekitar tahun 1990-an, peneliti baru dapat membuktikan bahwa SPS dapat diisolasi
dan dikultur diluar lingkungan aslinya. Banyak kemajuan yang sudah dicapai untuk mengetahui
properti biologis dari SPS beserta lokasinya didalam otak. Reynolds dan Weiss mengembangkan
teknik kultur berupa pembentukan neurosfer sebagai kultur selektif untuk SPS pada tahun 1992.
Populasi SPS ini dapat berasal dari embryo-striated-body dan dari sumsum tulang belakang yang
ditumbuhkan pada medium yang bebas serum, ditambahkan dengan insulin, transferin, selenium,
progesteron, growth factor seperti EGF dan bFGF. Sel selain SPS tidak akan dapat hidup dalam
medium yang tidak terdapat serum; sementara yang dapat hidup dan berkembangbiak akan
menggumpal membentuk agregat atau dikenal dengan neurosfer (Gambar 11.5). Saat neurosfer
tersebut dihomogenisasi menjadi sel-sel tunggal, sel tunggal ini akan kembali tumbuh menjadi
neurosfer baru dengan sifat-sifat self-renewal-nya. Selanjutnya diferensiasi menjadi sel otak
dewasa dapat dicetuskan dengan menghilangkan growth factor dalam medium, dan ini akan
menunjukkan sifat multipoten dari SPS tersebut.

DIV1

DIV2
DIV3

Neurosphere

Nestin

BrdU

Gambar 11.5 Neurosfer dengan Marker Nestin dan 5-bromodeoxyuridine (BrdU)


Sumber: Ahmad Farieds unpublished data

H Studi Transplantasi SPS untuk Trauma Vertebra


Eksperimen untuk mentransplantasikan sel SSP pada penderita trauma tulang belakang
sudah dimulai sejak tahun 1980-an dengan terapi transplantasi saraf perifer oleh Aguayo dkk.55
Kemudian pada tahun 1993, Bregman56 melaporkan hasil percobaan menggunakan tikus imatur
dan tikus dewasa yang sumsum tulang belakang toraksnya sebagian dipotong kemudian di terapi
sel sumsum tulang belakang yang diisolasi dari fetus; hasilnya menunjukkan terdapatnya
perbaikan fungsi dan perpanjangan jarak akson yang cedera. Eksperimen ini menunjukkan
bahwa faktor lingkungan didaerah lesi dapat memperbaiki akson yang rusak tersebut. Sebagai
tambahan, studi lain menjelaskan kelemahan dari regenerasi sumsum tulang, termasuk perlu
penambahan faktor neurotrofil untuk merangsang pertumbuhan sel yang cepat

57

dan identifikasi

faktor-faktor inhibisi untuk pertumbuhan akson.58Pada tahun 1999, McDonald dkk59


mengembangkan kultur medium yang sesuai untuk mengarahkan sel isolasi dari ESC menjadi
SPS secara in vitro, kemudian mentransplantasikannya ke dalam lesi trauma pada torakssumsum
tulang belakang yang cedera pada hewan percobaan; hasilnya didapatkan sel-sel graft tersebut
berdiferensiasi menjadi sel saraf, sel astrosit dan sel oligodendrosit; pada model tikus dengan
trauma tulang belakang didapatkan peningkatan atau perbaikan fungsi motor ekstremitas bawah
dibandingkan dengangrup kontrolnya. Eksperimen oleh Vacenti dkk (60) melakukan percobaan
yang sama dengan memasukan SPS bersama gel matriks dan memberikan hasil yang serupa.
Grup peneliti dari Jepang, melakukan eksperimen untuk melihat time-line dan perubahan
microenvironment setelah trauma vertebra; pada hari 17 disebut fase akut, hari ke-9 setelah
trauma disebut fase sub-akut. Pada fase subakut terbentuknya jaringan parut glia bertambah.
Apabila pada fase sub-akut diinjeksikan SPS, maka akan banyak didapatkan sel-sel yang
berdiferensiasi menjadi sel saraf yang bersinaps dengan akson sel host-nya dan terjadi perbaikan
fungsi motornya.61,62
I

Waktu yang tepat untuk melakukan transplantasi sel punca saraf


Sel punca saraf yang didapat dari jaringan otak dewasa dapat berdiferensiasi dan

merupakan alternatif terapi yang potensial untuk selanjutnya ditransplantasikan ke dalam otak
individu dewasa kembali (girus dentatus hipokampus).63 Sudah sangat dipahami, bahwasa
microenvironment memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kesejahteraan sel untuk
dapat bertahan hidup dan berdiferensiasi. Menjawab pertanyaan, kapan waktu yang tepat untuk
SPS/sel progenitor ditransplantasikan; maka eksperimen yang ditujukkan untuk melihat
perubahan-perubahan lingkungan sel pascatrauma menjadi sangat penting. Pada kasus trauma
vertebra, ekspresi mRNA dari berbagai faktor proinflamasi sitokin (TNS-alpha, IL-1 alpha/beta,
IL-6) akan mencapai puncaknya pada 612 jam setelah terjadi cedera dan akan menetap sampai
dengan hari ke-4.64Proinflamasi sitokin diketahui memiliki aksi bifasik, baik sebagai neurotoksik
dan neurotropik, reaksi toksik ini sangat membahayakan cedera yang terjadi di sumsum tulang
belakang. Ekspresi yang tinggi dari faktor proinflamasi sitokin menunjukkan kondisi
microenvironmentyang tidak kondusif untuk transplantasi SPS bertahan hidup didalamnya. Johe
dkk65 melaporkan bahwa platelet-derived growth factor, ciliary neurotropic factor dan hormon
tiroid (T3) dapat merangsang sel hipokampus fetus tikus-SPS menjadi sel saraf, astrosit dan

oligodendrosit. Taga dkk66 melaporkan bahwa leukemia-inhibitory factor, BMP-2 dapat


merangsang diferensiasi sel neuroepitel fetus tikus-SPS menjadi sel astrosit. Kedua studi tersebut
menunjukkan bahwa super-famili dari IL-6 (ciliary neurotropic factor dan leukemia-inhibitory
factor) sinyalnya menginisiasi unit reseptor sitokin Gp130untuk merangsang diferensiasi sel
menjadi astrosit. Selama fase infark akut, setelah trauma vertebra, kondisi lingkungan host
mengandung IL-6 yang tinggi, kondisi ini mempermudah SPS menjadi astrosit, bukan sel
lainnya. Diketemukan juga ekspresi dari antiinflamasi sitokin, TGF-beta tidak meningkat segera
pascacedera, tetapi meningkat secara bertahap hingga puncaknya pada hari ke-4 pascacedera. 64
Hal tersebut menunjukkan TGF-beta berperan dalam meredakan lonjakan sinyal-sinyal inflamasi
(Gambar 11.8). Pengamatan ini mengidentifikasikan bahwa saat yang tepat untuk dilakukannya
transplantasi adalah tidak sesegera mungkin pascatrauma vertebra ataupun terlalu lama; apabila
terlalu lama, maka akan timbul jaringan parut glia disekitar lesi dan akan menghambat
pertumbuhan akson. Diperkirakan waktu yang tepat untuk melakukan transplantasi adalah antara
hari ke-7 sampai hari ke-14 pascatrauma. Sebagai tambahan, keuntungan ditransplantasikannya
SPS antara 714 hari adalah membantu regulasi dari microenvironment berupa mikrovaskuler
didaerah edemnya, hasil ini berdasarkan riset pada SPS yang ditanam kedalam korteks.67,68 Studi
lainnya melaporkan bahwa pembentukan pembuluh-pembuluh darah sangat aktif pada hari 714
pascatrauma pada percobaan binatang.69

Gambar 11.6 Time-line Microenvironment untuk Memperkirakan Waktu Injeksi Sel Punca Saraf
Sumber: Miyoshi Y et al38,39

Terapi untuk Cedera tulang belakang (CBT) menggunakan sumsum tulang belakang fetus
tikus; transplantasi sel punca saraf yang diberikan pada fase subakut
Berdasarkan pemikiran diatas, peneliti asal Jepang membuat model hewan percobaan

dengan kontusi disumsum tulang belakang yang dilakukan laminektomi pada C4C5 tulang
leher tikus dewasa dan diberikan tambahan cedera dengan 35 gram bandul pemberat ditimpakan
pada duramater selama 15 menit. Pada hari ke-9, ditransplantasikan sumsum tulang belakang
dari fetus tikus-isolat SPS yang telah dikultur dan diperbanyak dengan teknik neurosfer serta
dilabel dengan BrdU, kemudian diinjeksikan ke dalam dan disekitar lesi cedera.

Gambar 11.7 Model Hewan Coba Trauma Vertebra dan Transplantasi NSPCs-nya
Sumber: Okano H.et al27

Sel-sel yang ditransplantasikan tersebut dapat bertahan hidup didalam sumsum tulang belakang
host dan berdiferensiasi menjadi sel saraf, astrosit dan oligodendrosit pada minggu ke-5 setelah
diinjeksikan (Gambar 11.7). Untuk menyelidiki properti dari sel-sel saraf yang baru terbentuk
tersebut, peneliti menggunakan marker alpha1-tubilin yang spesifik untuk melihat sel-sel saraf,
bukan sel-sel glia.7073 Hasilnya membuktikan bahwa sel SPS donor tersebut mengalami mitosis
pembentukan sel saraf baru di dalam sumsum tulang belakang host. Lima minggu sejak
transplantasi tersebut, neurosfer donor memberikan gambaran-gambaran sel-sel saraf yang
mengembangkan akson-aksonnya didalam sumsum tulang host. Dengan teknik pewarnaan
khusus, didapatkan bahwa sel-sel saraf tersebut dikelilingi oleh sinaptomisin yang merupakan
marker sel-sel saraf presinaps, peneliti juga mendapatkan beberapa sel yang positif dengan sel
presinaps yang berhubungan membuat koneksi dengan motor neuron host dilokasi lesi.
Dibandingkan dengan tikus kontrolnya, tikus-tikus yang ditransplantasikan mengalami perbaikan
fungsi yang signifikan.61 Hasil tersebut menunjukkan, jika SPS diinjeksikan pada fase subakut
(714 hari), bukan pada fase akut ataupun kronis, maka akan terjadi perbaikan jaringan dan
pernyambungan jaras saraf yang terluka. Hal-hal penting yang harus dipertimbangkan di
antaranya:
1

Sel-sel SPS yang ditransplantasikan dapat berdiferensiasi menjadi sel saraf yang
membentuk sinaps dengan sel-sel diatas ataupun dibawah lesi cedera,

Sel-sel tersebut juga dapat berdiferensisi menjadi sel oligodendrosit yang akan
melakukan proses remielinisasi pada akson-akson yang mengalami demielinisasi akibat
cedera,

Sel-sel tersebut akan melepaskan neurotropic factors yang menghambat proses-proses


kematian sel ataupun mengaktifkan SPS endogen untuk bermigrasi dan memperbaiki selsel yang rusak.

Akan tetapi patofisiologis sebenarnya dari transplantasi SPS belum sepenuhnya dimengerti.
Bregman dkk74,75 mentransplantasikan sumsum tulang belakang tikus dan membagi dua
kelompok penelitiannya: (a) tikus yang ditransplantasikan SPS segera setelah trauma dan (b)
tikus yang dinjeksikan 2 minggu setelah cedera. Hasilnya menunjukkan pada grup (b) tikus
mengalami regenerasi sel yang lebih baik pada akson-akson yang cedera, serta perbaikan fungsi
tungkai bawah yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrolnya. Hasil tersebut juga

mendukung teori keefektifan terapi trauma vertebra dengan menginjeksikan transplantasi SPS
pada fase subakut, yaitu 2 minggu setelah cedera (Gambar 11.8).

Gambar 11.8. Transplantasi NSPCs Meningkatkan Perbaikan Fungsi Motor


Ket: A.tes pengambilan makan
B.hasil dari tes pengambilan makan
Sumber: Bregman BS.et al46

K Aplikasi klinis untuk transplantasi sel punca saraf pada manusia


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, eksperimen transplantasi SPS sudah banyak
dilakukan pada hewan coba dengan tujuan akhir adalah dapat diaplikasikan secara klinis pada
manusia. Setelah isolasi SPS dapat di-established menggunakan teknik kultur sel yang khusus,
tahap selanjutnya adalah menentukan waktu serta teknik injeksinya secara klinis. Dvendsen
mengemukakan untuk pertama kalinya tentang transplantasi jaringan otak pada tikus model
Parkinson. Flax dkk76 menggunakan SPS telensefalon fetus manusia dengan metode neurosfer
yang ditransplantasikan kedalam otak tikus yang baru lahir; didapatkan hasil bahwa sel-sel
tersebut berdiferensiasi menjadi sel saraf, sel astrosit dan sel oligodendrosit. Brustle dkk 77 juga
melakukan transplantasi dari kultur SPS fetus manusia, kedalam otak fetus tikus dan dilaporkan
terjadinya diferensiasi pada daerah fore brain mid brain, hindbrain. Pada tahun 2001, Ourednik

dkk78 mentransplantasikan SPS fetus manusia ke dalam otak fetus monyet dan ditemukan sel-sel
tersebut berdiferensiasi menjadi sel-sel saraf dan glia.
Dari semua hasil percobaan dan laporan percobaan-percobaan tersebut, menggambarkan
potensi yang menjanjikan dalam hal transplantasi SPS sebagai terobosan untuk melakukan uji
klinis pada manusia. Sama halnya dengan keberhasilan percobaan pada hewan coba, diharapkan
penerapannya pada manusia akan memberikan hasil yang memuaskan.
L Prospek di masa depan
Masih banyak permasalahan yang harus dipecahkan sebelum transplantasi SPS menjadi
pilihan terapi dalam aplikasi klinisnya untuk pasien-pasien dengan trauma tulang belakang.
Teknik ini memerlukan banyak penelitian dan modifikasi untuk mendapatkan teknik yang paling
efisien dalam mengisolasi serta memperbanyak jumlah SPS. Bersamaan dengan itu, percobaan
hewan coba juga harus terus didorong untuk membuktikan keberhasilan injeksi SPS serta
perbaikan fungsi motor sel yang mengalami cedera. Sumber SPS yang berasal dari eksogen;
MSCs, HSCs, sel punca plasental; dapat juga menjadi alternatif sel yang akan diinjeksikan.
Permasalahan lainnya yang akan dihadapi adalah bagaimana teknik mengevaluasi
mekanisme autoregulasinya dari proses diferensiasi dari SPS yang ditransplantasikan tersebut.
Tantangannya adalah cara menciptakan microenvironment,baik bagi SPS eksogen maupun
endogen; untuk merangsang migrasi cepat ke lokasi lesi dan menghasilkan mikromolekul yang
mendukung proses reparasi, selain itu diharapkan penggunaan SPS eksogen dapat
diminimalisasi. Jawaban untuk permasalahan diatas adalah pemanfaatan neurotropic factor serta
pengontrolan aktivitas sistem imunitas.
Saat ini, paradigma baru tentang plastisitas SPS mulai difamahi. Kondo dan Raff 79
menunjukkan bahwa prekursor oligodendroglia memiliki properti multipoten yang mirip SPS
setelah dimanipulasi terlebih dahulu menggunakan medium kultur khusus. Clarke dkk 80
membuktikan bahwa kondisi SPS-tikus, yang ditransplantasikan kedalam rongga amnion embrio
ayam dan blastokis-tikus berdiferensiasi menjadi sel ektoderm, mesoderm dan endoderm serta
menjadi jaringan. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa SPS memiliki properti yang serupa
dengan ESCs, bergantung pada faktor lingkungan dan interaksinya dengan sinyal-sinyal dari selsel disekitarnya. Hasil lainnya memperlihatkan bahwa sel-sel punca selain dari progenitor sel,
seperti MSCs ternyata dapat diarahkan menjadi sel saraf secara in vitro 81; dan dapat juga

bermigrasi ke serebrum dan serebelum dan berdiferensiasi menjadi astrosit setelah


ditransplantasikan kedalam otak tikus.82 Lebih jauh, penelitian menggunakan sel stroma sumsum
tulang belakang yang ditransplantasikan ke dalam trauma tulang belakangtikus, satu minggu
pascacedera terbentuk jembatan jaringan yang berasosiasi dengan astrosit imatur dan dianggap
terjadi regenerasi akson yang menyebabkan terjadinya perbaikan fungsi motor.83Selstroma
sumsum tulang belakang yang seharusnya berdiferensiasi menjadi osteosit, kondrosit,
adiposityternyata dapat juga diarahkan menjadi seperti SPS, akan tetapi hasil ini harus divalidasi
apakan pluripotensinya dapat diberlakukan pada percobaan secara in vivo.
Masih banyak lagi permasalahan yang belum terjawab pada studi trauma vertebra
berkaitan dengan transplantasi SPS. Sangat penting menciptakan atau menghadirkan
microenvironment yang kondusif di lesi cedera. Banyak hal yang harus difasilitasi untuk
menciptakan lingkungan yang baik pada transplantasi SPS, seperti menghilangkan inhibitorinhibitor untuk pertumbuhan sel; seperti nogo55, myelin assosiated glicoprotein84, serotonin45,
kondroitin sulfat; yang diproduksi segera

pascatrauma. Pendekatan lainnya dengan

menambahkan neurotropic-factor (neurothrofin-3, BDGF).


Yang paling penting dan mendasar adalah bagaimana meregenerasi sel-sel sumsum tulang
belakang yang sudah lama mengalami kerusakan (kronis). Pendekatan terapi SPS ini diharapkan
dapat menumbuhkan sel-sel saraf baru dan menumbuhkan jaras-jaras akson yang sudah lama
mengalami cedera. Di jepang terdapat lebih dari 100.000 orang dan di Amerika Serikat 250.000
orang yang merupakan pasien-pasien trauma vertebra kronis.27Apabila kita dapat melakukan
terobosan baru dalam hal pendekatan terapi pada pasien-pasien trauma vertebra kronis, upaya ini
akan menjadi daya dobrak untuk merawat pasien-pasien dengan trauma vertebra akut.
Daftar Pustaka
1

Gage FH. Mammalian neural stem cells. Science. 2000 Feb 25;287(5457):1433-8. Review.

Flax JD, Aurora S, Yang C, Simonin C, Wills AM, Billinghurst LL, Jendoubi M, Sidman RL,
Wolfe JH, Kim SU, Snyder EY. Engraftable human neural stem cells respond to
developmental cues, replace neurons, and express foreign genes. Nat Biotechnol. 1998
Nov;16(11):1033-9.

McKay R. Stem cells in the central nervous system. Science. 1997 Apr 4;276(5309):66-71.
Review.

Zhang SC, Wernig M, Duncan ID, Brstle O, Thomson JA. In vitro differentiation of
transplantable neural precursors from human embryonic stem cells. Nat Biotechnol. 2001
Dec;19(12):1129-33.

Cao Q, Benton RL, Whittemore SR. Stem cell repair of central nervous system injury. J
Neurosci Res. 2002 Jun 1;68(5):501-10.

Sanchez-Ramos JR. Neural cells derived from adult bone marrow and umbilical cord blood.
J Neurosci Res. 2002 Sep 15;69(6):880-93. Review.

Brstle O, Choudhary K, Karram K, Httner A, Murray K, Dubois-Dalcq M, McKay RD.


Chimeric brains generated by intraventricular transplantation of fetal human brain cells into
embryonic rats. Nat Biotechnol. 1998 Nov;16(11):1040-4.

Rosser AE, Tyers P, Dunnett SB. The morphological development of neurons derived from
EGF- and FGF-2-driven human CNS precursors depends on their site of integration in the
neonatal rat brain. Eur J Neurosci. 2000 Jul;12(7):2405-13.

Cao QL, Zhang YP, Howard RM, Walters WM, Tsoulfas P, Whittemore SR. Pluripotent stem
cells engrafted into the normal or lesioned adult rat vertebra cord are restricted to a glial
lineage. Exp Neurol. 2001 Jan;167(1):48-58.

10 Chow SY, Moul J, Tobias CA, Himes BT, Liu Y, Obrocka M, Hodge L, Tessler A, Fischer I.
Characterization and intravertebra grafting of EGF/bFGF-dependent neurospheres derived
from embryonic rat vertebra cord. Brain Res. 2000 Aug 25;874(2):87-106.
11 White PM, Morrison SJ, Orimoto K, Kubu CJ, Verdi JM, Anderson DJ. Neural crest stem
cells undergo cell-intrinsic developmental changes in sensitivity to instructive differentiation
signals. Neuron. 2001 Jan;29(1):57-71.
12 McDonald JW, Liu XZ, Qu Y, Liu S, Mickey SK, Turetsky D, Gottlieb DI, Choi DW.
Transplanted embryonic stem cells survive, differentiate and promote recovery in injured rat
vertebra cord. Nat Med. 1999 Dec;5(12):1410-2.
13 Bain G, Kitchens D, Yao M, Huettner JE, Gottlieb DI. Embryonic stem cells express
neuronal properties in vitro. Dev Biol. 1995 Apr;168(2):342-57.
14 Gimenez y Ribotta M, Orsal D, Feraboli-Lohnherr D, Privat A. Recovery of locomotion
following transplantation of monoaminergic neurons in the vertebra cord of paraplegic rats.
Ann N Y Acad Sci. 1998 Nov 16;860:393-411. Review.

15 Eriksson PS, Perfilieva E, Bjrk-Eriksson T, Alborn AM, Nordborg C, Peterson DA, Gage
FH. Neurogenesis in the adult human hippocampus. Nat Med. 1998 Nov;4(11):1313-7.
16 Gould E, Tanapat P. Lesion-induced proliferation of neuronal progenitors in the dentate
gyrus of the adult rat. Neuroscience. 1997 Sep;80(2):427-36.
17 Lois C, Alvarez-Buylla A. Proliferating subventricular zone cells in the adult mammalian
forebrain can differentiate into neurons and glial. Proc Natl Acad Sci U S A. 1993 Mar
1;90(5):2074-7.
18 Rietze R, Poulin P, Weiss S. Mitotically active cells that generate neurons and astrocytes are
present in multiple regions of the adult mouse hippocampus. J Comp Neurol. 2000 Aug
28;424(3):397-408.
19 Johansson CB, Momma S, Clarke DL, Risling M, Lendahl U, Frisn J. Identification of a
neural stem cell in the adult mammalian central nervous system. Cell. 1999 Jan 8;96(1):2534.
20 Keirstead HS, Levine JM, Blakemore WF. Response of the oligodendrocyte progenitor cell
population (defined by NG2 labelling) to demyelination of the adult vertebra cord. Glial.
1998 Feb;22(2):161-70.
21 Levine JM, Reynolds R. Activation and proliferation of endogenous oligodendrocyte
precursor cells during ethidium bromide-induced demyelination. Exp Neurol. 1999
Dec;160(2):333-47.
22 McTigue DM, Wei P, Stokes BT. Proliferation of NG2-positive cells and altered
oligodendrocyte numbers in the contused rat vertebra cord. J Neurosci. 2001 May
15;21(10):3392-400.
23 Zhang SC, Lipsitz D, Duncan ID. Self-renewing canine oligodendroglial progenitor
expanded as oligospheres. J Neurosci Res. 1998 Oct 15;54(2):181-90.
24 Herrera J, Yang H, Zhang SC, Proschel C, Tresco P, Duncan ID, Luskin M, Mayer-Proschel
M. Embryonic-derived glial-restricted precursor cells (GRP cells) can differentiate into
astrocytes and oligodendrocytes in vivo. Exp Neurol. 2001 Sep;171(1):11-21.
25 Akiyama Y, Honmou O, Kato T, Uede T, Hashi K, Kocsis JD. Transplantation of clonal
neural precursor cells derived from adult human brain establishes functional peripheral
myelin in the rat vertebra cord. Exp Neurol. 2001 Jan;167(1):27-39.

26 Ramon Y Cajal S: Degeneration and Regeneration of The Nervous System (translated by


RM Day from the 1913 Spanish edition). Oxford, Oxford University Press, 1928.
27 Okano H: Stem cell biology of the central nervous system. J Neurisci Res 2002; 69: 698707.
28 Frisen J, Johansson CB, Torok C, Risling M, Lendahl U: Rapid, widespread, and longlasting induction of nestin contributes to the generation of glial scar tissue after CNS injury.
J Cell Biol 1995; 131: 453-464.
29 Johansson CB, Momma S, Clarke DL, Risling M, LEndahl U, Frisen J: Identification of a
neural stem cell in the adult mammalian central nervous system. Cell 1999; 96:26-34.
30 Namiki J, Tator CH: Cell proliferation and nestin expression in the ependyma of the adult rat
vertebra cord after injury. J Neuropathol Exp Neurol 1999; 58:489-498.
31 Okano H: Neural stem cells: Progression of basic research and perspective for clinical
application. Keio J Med 2002; 51:115-128.
32 Davis AA, Temple S: A self-renewing multipotential stem cell in embryonic rat cerebral
cortex. Nature 1994; 372:263-266.
33 Palmer TD, Markakis EA, Willhoite AR, Safar F, Gage FH: Fibroblast growth factor2activates a latent neurogenic program in neural stem cells from diverse regions of the adult
CNS. J Neurosci 1999; 19:8487-8497.
34 Lendahl u, Zimmerman LB, McKay RD: CNS stem cells express a new class of intermediate
filament protein. Cell 1990; 60:585-595.
35 Sakakibara S, Imai T, Hamaguchi K, Okabe M, Aruga J, Nakajima K, Yasutomi D, Nagata T,
Kurihara Y, Uesugi S, Miyata T, Ogawa M, Mikoshiba K, Okano H: Mouse-Musashi-1, a
neural RNA-binding protein highly enriched in the mammalian NS stem cell. Dev Biol
1996; 176:230-242.
36 Reynolds BA, Weiss S: Generation of neurons and astrocytes from isolated cells of the adult
mammalian central nervous system. Science 1992; 255:1707-1710.
37 Reynolds BA, Tetzlaff W, Weiss S: A multipotent EGF-responsive striatal embryonic
progenitor cell produces neurons and astrocytes. J Neurosci 1992; 12: 4565-4574.
38 Weiss S, Dunne C, Hewson J, WOhl C, Wheatley M, Peterson A, Reynolds BA: Multipotent
CNS stem cells are present in the adult mammalian vertebra cord and ventricular neuroaxis.
J Neurosci 1996;16:7599-7609.
39 Gritti A, Parati EA, Cova L, Frolichsthal P, Galli R, Wanke E, Faravelli L, Morassutti DJ,
Roisen F, Nickel DD, Vescovi AL: Multipotential stem cells from the adult mouse brain
proliferate and self-renew in response to basic fibroblast growth factor. J Neurosci 1996; 16:
1091-1100.

40 Eriksson PS, Perfilieva E, Bjork-Eriksson T, Alborn AM, Nordborg C, Peterson DA, Gage
FH: Neurogenesis in the adult human hippocampus. Nat Med 1998;4:1313-1317.
41 Pincus DW, Keyoung HM, Harrison-Restelli C, Goodman RR, Fraser RA, Edgar M,
Sakakibara S, Okano H, Nedergaard M, Goldman SA: Fibroblast growth factor-2/brainderived neurotrophic factor-associated maturation of new neurons generated from adult
human subependymal cells. Ann Neurol 1998;43:576-585.
42 Yamamoto S, Yamamoto N, Kitamura T, Nakamura K, Nakafuku M: Proliferation of
parenchymal neural progenitors in response to injury in the adult rat vertebra cord. Exp
Neurol 2001;172:115-127.
43 Nakatomi H, Kuriu T, Okabe S, Yamamoto S, Hatano O, Kawahara N, Tamura A, Kirino T,
Nakafuku M: Regeneration of hippocampal pyramidal neurons after ischemic brain injury
by recruitment of endogenous neural progenitors. Cell 2002;110:429-441.
44 Arvidsson A, Collin T, Kirik D, Kokaia Z, Lindvall O: Neuronal replacement from
endogenous precursors in the adult brain after stroke. Nat Med 2002;8:963-970.
45 Kawaguchi A, Miyata T, Sawamoto K, Takashita N, Murayama A, Akamatsu W, Ogawa M,
Okabe M, Tano Y, Goldman SA, Okano H: Nestin-EGFP transgenic mice: Visualization of
the self-renewal and multipotency of CNS stem cells. Mol Cell Neurosci 2001;17:259-273.
46 Bjorkund A, Stenevi U: reconstruction of the nigrostriatal dopamine pathway by
intracerebral nigral transplants. Brain Res 1979;177:555-560.
47 Piccini P, Brooks DJ, Bjorklund A, Gunn RN, Grasby PM, Rimoldi O, Brundin P, Hagell P,
Rehnrona S, Widner H, Lindvall O: Dopamine release from nigral transplants visualized in
vivo in a Parkinsons patient. Nat Neurosci 1999;2:1137-1140.
48 Svendsen CN, Carke DJ, Rosser AE, Dunnett SB: Survival and differentiation of rat and
human epidermal growth factor-responsive precursor cells following grafting into the
lesioned adult central nervous system. Exp Neurol 1996; 137:376-388.
49 Svendsen CN, Caldwell MA, Shen J, ter Borg MG, Rosser AE, Tyers P, Karmiol S, Dunnett
SB: Long-term survival of human central nervous system progenitor cells transplanted into a
rat mode of Parkinsons disease. Exp Neurol 1997;148:135-146.
50 Sawamoto K, Nakao N, Kakishita K, Ogawa Y, Toyama Y, Yamamoto A, Yamaguchi M,
Mori K, Goldman SA, Itakura T, Okano H: Generatio of dopaminergic neurons in the adult
brain from mesencephalic precursor cells labeled with a nestin-GFP transgene. J Neurosci
2001;21:3895-3903.
51 Richardson PM, McGuinness UM, Aguayo AJ: Aksons from CNS neurons regenerate into
PNS grafts. Nature 1980;284:264-265.

52 Bregman BS, Kunkel-Bagden E, Reier PJ, Dai HN, McAtee M, Gao D: Recovery of
function after vertebra cord injury: Mechanisms underlying transplant-mediated recovery of
function differ after vertebra cord injury in newborn and adult rats. Exp Neurol 1993;123:316.
53 Cai D, Shen Y, De Bellard M, Tang S, Filbin MT: Prior exposure to neurotrophins blocks
inhibition of axoxnal regeneration by MAG and myelin via a cAMP-dependent mechanism.
Neuron 1999;22:89-101.
54 Chen MS, Huber AB, van der Haar ME, Frank M, Schnell L, Spillmann AA, Christ F,
Schwab ME: Nogo-A is a myelin-associated neurite outgrowth inhibitor and an antigen for
monoclonal antibody IN-1. Nautre 2000;403:434-439.
55 McDonald JW, Lui XZ , Qu Y, Liu S, Mickey SK, Turetsky D, Gottlieb DI, Choi DW:
Transplanted embryonic stem cells survive, differentiate and promote recovery in injured rat
vertebra cord. Nat Med 1999;5:1410-1412.
56 Vacanti MP, Leonard JL, Dore B, Bonassar LJ, Cao Y, Stachelek SJ, Vacanti JP, OConnel F,
Yu CS, Farwell AP, Vacanti CA: Tissue-engineered vertebra cord. Transplant Proc
2001;33:592-598.
57 Ogawa Y, Sawamoto K, Miyata T, Miyao S, Watanabe M, Toyama Y, Nakamura M,
Bregman BS, Koike M, Uchiyama Y, Toyama Y, Okano H: transplantation of in vitro
expanded fetal neural progenitor cells results in neurogenesis and functional recovery after
vertebra cord contusion injury in rats. J Neurosci Res 2002;69:925-933.
58 Okano H, Ogawa Y, Nakamura M, Kaneko S, Iwanami A, Toyama Y: Transplantation of
neural stem cells into the vertebra cord after injury. Semin Cell Dev Biol 2003;14:191-198.
59 Shihabuddin LS, Horner PJ, Ray J, Gage FH: Adult vertebra cord stem cells generate nurons
after transplantation in the adult dentate gyrus. J Nurosci 2000;20:8727-8735.
60 Nakamura M, Houghtling RA, MacArthur L, Bayer BM, Bregman BS: Differences in
cytokine gene expression profile between acute and secondary injury in adult rat vertebra
ord. Exp Neurol 2003;184:313-325.
61 Johe KK, Hazel TG, Muller T, Dugich-Djordjevic MM, McKay RD: Single factors direct the
differentiation of stem cells from the fetal and adult central nervous system. Genes Dev
1996;10:3129-3140.
62 Nakashima K, Yanagisawa M, Arakawa H, Kimura N, Hisatsune T, Kawabata M, Miyazono
K, Taga T: Synergistic signaling in fetal brain by STAT3-Smad1 complex bridged by p300.
Science 1999;284:479-482.

63 Miyoshi Y, Date I, Ohmoto T: Three-dimensional morphological study of microvascular


regeneration in cavity wall of the rat cerebral cortex using the scanning electorn microscope:
Implications for delayed neural grafting into brain cavities. Exp Neurol 1995;131:69-82.
64 Miyoshi Y, Date I, Ohmoto T: Neovascularization of rat fetal neocortical grafts transplanted
into a previously prepared cavity in the cerebral cortex: A three-dimensional morphological
study using the scanning electron microscope. Brain Res 1995;681:131-140.
65 Casella GT, Marcillo A, Bunge MB, Wood PM: New vascular tissue rapidly replaces neural
parenchyma and vessels destroyed by a contusion injury to the rat vertebra cord. Exp Neurol
2002;173:63-76.
66 Gloster A, Wu W, Speelman A, Weiss S, ausing C, Pozniak C, Reynolds B, Chang E, Toma
JG, Miller FD: The T-1-tubulin promoter specifies gene expression as a function of
neuronal growth and regeneration in transgenic mice. J Neurosci 1994;14;7319-7330.
67 Wang S, Wu H, Jiang J, Delohery TM, Isdell F, Goldman SA: Isolation of neuronal
precursors by sorting embryonic forebrain transfected with GFP regulated by the T-1
tubulin promoter. Nat Biotechnol 1998;16:196-201.
68 Roy NS, Wang S, Jiang L, Kang J, Restelli C, Fraser RAR, Couldwell WL, Kawaguchi A,
Okano H, Nedergaard M, Goldman S: In vitro neurogenesis by neural progenitor cells
isolated from the adult human hippocampus. Nat Med 2000;6:271-278.
69 Sawamoto K, Yamamoto A, Kawaguchi A, Yamaguchi M, Mori K, Goldman SA, Okano H.
Visualization and direct isolation of neuronal progenitor cells by dual-color flow cytometric
detection of fluorescent proteins. J Neurosci Res 2001;65:220-227.
70 Diener PS, Bregman BS: Fetal vertebra cord transplants supports growth of supravertebra
and segmental projections after cervical vertebra cord hemisection in the neonatal rat. J
Neurosci 1998;18:779-793.
71 Coumans JV, Lin TT, Dai HN, MacArthur L, McAtee M, Nash C, Bregman BS: Aksonal
regeneration ad functional recovery after complete vertebra cord transaction in rats by
delayed treatment with transplants and neurotrophins. J Neurosci 2001;21:9334-9;344.
72 Flax JD, Aurora S, yang C, Simonin C, Wills AM, Bilinghurst LL, Jendoubi M, Sidman RL,
Wolfe JH, Kim SU, Snyder EY: Engraftable human neural stem cells respond to
developmental cues, replace neurons, and express foreign genes. Nat Biotechnol
1998;16:1033-1039.
73 Brustle o, Choudhary K, Karram K, Huttner A, Murray K, Dubois-Daleq M, McKay RD:
Chimeric brains generated by intraventricular transplantation of fetal human brain cells into
embryonic rats. Nat Biotechnol 1998;16:1040-1044.

74 Ourednik V, Ourednik J,Flax JD, Zawada WM, Hutt C, Yang C, Park KI, Kim SU, Sidman
RL, Freed CR, Snyder EY: Segregation of human neural stem cells in the developing
primate forebrain. Science 2001:293:1820-1920.
75 Kondo T, Raff M: Oligodendrocyte precursor cells reprogrammed to become multipotential
CNS stem cells. Science 2000;289:1754-1757.
76 Clarke DL, Johansson CB, Wilbertz J, Veress B, Nilsson E, Karlstrom H, Lendahl U, Frisen
J: Generalized potential of adult neural stem cells. Science 2000;288:1660-1663.
77 Woodbury D, Schwarz EJ, Prockop DJ, Black IB: Adult rat and human bone marrow stromal
cells differentiate into neurons. J Neurosci Res 2000;61:364-370.
78 Kopen GC, Prockop DJ, Phinney DG: Marrow stromal cells migrate throughout forebrain
and cerebellum, and they differentiate into astrocytes after injection into neonatal mouse
brains. Proc Natl Acad Sct USA 1999;96::10711-10716.
79 Hofstetter CP, Schwarz EJ, Hess D, Widenfalk J, El Manira A, Prockop DJ, Olson L:
Marrow stromal cells form guiding strands in the injured vertebra cord and promote
recovery. Proc Natl Acad Sci USA 2002;99:2199-2204.
80 Teng YD, Lavik EB, Qu X, Park Kl, Ouredmk J, Zurakowski D, Langer R, Snyder EY:
Functional recovery following traumatic vertebra cord injury mediated by a unique polymer
scaffold seeded with neural stem cells. Proc NAtl Acad Sci USA 2002;99:3024-3029.

Вам также может понравиться