Вы находитесь на странице: 1из 36

BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sepsis adalah penyebab tersering di perawatan pasien di unit perawatan intensif.
Sepsis hampir diderita oleh 18 juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya. Insidennya
diperkirakansekitar 50-95 kasus diantara 100.000 populasi dengan peningkatan sebesar
9% tiap tahunnya. Syok akibat sepsis merupakan penyebab kematian tersering di unit
pelayananintensif di Amerika Serikat (AS). Penelitian epidemiologi sepsis di AS
menyatakaninsiden sepsis sebesar 3/1.000 populasi yang meningkat lebih dari 100 kali
lipat berdasarkanumur (0,2/1.000 pada anak-anak, sampai 26,2/1.000 pada kelompok
umur > 85 tahun). Angka perawatan sepsis berkisar antara 2 sampai 11% dari total
kunjungan ICU. Angka kejadian sepsisdi Inggris berkisar 16% dari total kunjungan
ICU. Insidens sepsis di Australia sekitar 11 tiap1.000 populasi. Sepsis berat terdapat
pada 39 % diantara pasien sepsis. Angka kematian sepsis berkisar antara 25 - 80 %
diseluruh dunia tergantung beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin,ras, penyakit
penyerta, riwayat trauma paru akut, sindrom gagal napas akut, gagal ginjal dan jenis
infeksinya yaitu nosokomial, polimikrobial atau jamur sebagai penyebabnya.
Sepsis dapat mengenai berbagai kelompok umur, pada dewasa, sepsis umumnya
terdapat pada orang yang mengalami immunocompromised yang disebabkan karena
adanya penyakit kronik maupun infeksi lainnya. Mortalitas sepsis di negara yang sudah
berkembang menurun hingga 9% namun, tingkat mortalitas pada negara yang sedang
berkembang seperti Indonesia.
Sepsis merupakan respons sistemik terhadap infeksi dimana pathogen atau
toksindilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivitas proses inflamasi
(infeksi dan inflamasi). Sepsis dibagi dalam derajat Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS) : sepsis , sepsis berat, sepsis dengan hipotensi, dan syok septik.
Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon sistemik
dapatdisebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam darah atau hanya
disebabkanproduk toksik dari mikroorganisme atau produk reaksi radang yang berasal
dari infeksi local.

Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks dimulai dengan
rangsangan endo atau eksotoksin terhadap sistem imunologi, sehingga terjadi aktivasi
makrofag,sekresi berbagai sitokin dan mediator, aktivasi komplemen dan netrofil,
sehingga terjadidisfungsi dan kerusakan endotel, aktivasi sistem koagulasi dan
trombosit yang menyebabkangangguan perfusi ke berbagai jaringan dan
disfungsi/kegagalan organ multipel.Oleh karena itu, sangatlah penting untuk dapat
memahami Sepsis dan Syok Sepsis mulaidari definisi, penyebab hingga
penatalaksanaannya

BAB II
PEMBAHASAN
II.1 DEFINISI
Sepsis adalah kumpulan gejala sebagai manifestasi respon sistemik (systemic
inflammatory response sindrom / SIRS ) terhadap infeksi. Respon inflamasi sistemik
adalah keadaan yang melatarbelakangi sepsis. Respon ini tidak hanya disebabkan oleh
adanya bakteremia, tetapi juga oleh sebab lain.
Dapat dikatan sepsis bila terdapat SIRS (systemic inflammatory response
sindrom) ditambah dengan infeksi yang diketahui ( ditemukan dengan biakan positif
terhadap organisme daritempat tersebut)
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon
tubuh yangberlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme. Ditandai dengan
panas, takikardia,takipnea, hipotensi dan disfungsi organ berhubungan dengan
gangguan sirkulasi darah.Sepsis sindroma klinik yang ditandai dengan:

Hyperthermia/hypothermia (>38C; <35,6C)


Tachypneu (respiratory rate >20/menit)
Tachycardia (pulse >100/menit)
>10% cell immature
Suspected infection

Terminology dalam sepsis menurut American College of ChestPhysicians/society of


Critical Care Medicine consensus Conference Committee :Critical Care Medicine, 1992
:
Infeksi, Fenomena microbial yang ditandai dengan munculnya respon
inflamasiterhadap munculnya / invasi mikroorganisme ke dalam jaringan
tubuhyang steril.
Bakteriemia , Munculnya atau terdapatnya bakteri di dalam darah.
SIRS (Systemic Inflamatory Response Syndrome)
Respon inflamasi secara sistemik yang dapat disebabkan oleh bermacam kondisi
klinis yang berat.
Sepsis sistemik Respon terhadap infeksi yang disebabkan oleh adanya sumber
infeksi yang jelas
Severe Sepsis

Keadaan sepsis dimana disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atauhipotensi.


Hipoperfusi atau gangguan perfusi mungkin juga disertaidengan asidosis laktat,
oliguria, atau penurunan status mentas secara mendadak.
Shok sepsis
Sepsis yang menyebabkan kondisi syok, dengan hipotensi walaupun telah dilakuakn
resusitasi cairan. Sehubungan terjadinya hipoperfusi juga bisa menyebabkan asidosis
laktat, oliguria atau penurunan status mental secara mendadak. Pasien yang
mendapatkan inotropik atau vasopressor mungkin tidak tampaka hipotensi walaupun
masih terjadi gangguan perfusi.
Sepsis Induce Hipotension
Kondisi dimana tekanan darah sistolik <90mmHg atau terjadi penurunan sistolik
>40mmHg dari sebelumnya tanpa adanya penyebab hipotensiyang jelas.
MODS (Multy Organ Dysfunction Syndroma)
Munculnya penurunan fungsi organ atau gangguan fungsi organ dan homeostasis
tidak dapat dijaga tanpa adanya intervensi.
II.2 EPIDEMIOLOGI
Dalam kurun waktu 23 tahun yang lalu bakterimia karena infeksi bakteri gram
negatif di ASyaitu antara 100.000-300.000 kasus pertahun, tetapi sekarang insiden ini
meningkat antara300.000-500.000 kasus pertahun (Bone 1987, Root 1991). Shock
akibat sepsis terjadi karenaadanya respon sistemik pada infeksi yang serius. Walaupun
insiden shock sepsis ini tak diketahui namun dalam beberapa tahun terakhir ini cukup
tinggi Hal ini disebabkan cukup banyak factor predisposisi untuk terjadinya sepsis
antara lain diabetes melitus, sirhosis hati,
alkoholisme,leukemia, limfoma, keganasan, obat sitotoksis dan imunosupresan, nutrisi
parenteral dan sonde,infeksi traktus urinarius dan gastrointestinal. Di AS syok sepsis
adalah penyebab kematian yangsering di ruang ICU
II.3 ETIOLOGI

Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon sistemik
dapatdisebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam darah atau hanya
disebabkan produk toksik dari mikroorganisme atau produk reaksi radang yang berasal
dari infeksi lokal(anonim, 2008).Umumnya disebabkan kuman gram negatif.
Insidensnya meningkat, antara lain karenapemberian antibiotik yang berlebihan,
meningkatnya penggunaan obat sitotoksik dan imunosupresif, meningkatnya frekuensi
penggunaan alat-alat invasive seperti
kateter intravaskuler, meningkatnya jumlah penyakit rentan infeksi yang dapat hidup
lama, serta meningkatnya infeksi yang disebabkan organisme yang resisten terhadap
antibiotic
II.4 PATOFISIOLOGI
Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis. Pada
bakteri gramnegatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu protein di
dalam plasma, dikenaldengan LBP ( Lipopolysacharide binding protein) yang disintesis
oleh hepatosit, diketahuiberperan penting dalam metabolisme LPS. LPS masuk ke
dalam sirkulasi, sebagian akan diikatoleh faktor inhibitor dalam serum seperti
lipoprotein, kilomikron sehingga LPS akan dimetabolisme. Sebagian LPS akan
berikatan dengan LBP sehingga mempercepat ikatan denganCD14.
Kompleks CD14-LPS menyebabkan transduksi sinyal intraseluler
melaluinuklear factor kappaB (NFkB), tyrosin kinase (TK), protein kinase C (PKC),
suatu faktor transkripsiyang menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel.
Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan,menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like
receptor-2 (TLR2) (Widodo, 2004).Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel
bakteri berupa Lipoteichoic acid (LTA) danpeptidoglikan (PG) merupakan induktor
sitokin. Bakteri gram positif menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin
sebagai superantigen dan komponen dinding sel
Yang menstimulasi imun. Super antigen berikatan dengan molekul MHC kelas II dari
antigen presenting cells dan V -chains dari reseptor sel T, kemudian akan mengaktivasi
sel T dalam jumlah besar untuk memproduksi sitokin proinflamasi yang berlebih
(Calandra, 2003). Peran Sitokin pada Sepsis Mediator inflamasi merupakan mekanisme

pertahanan pejamu terhadap infeksi dan invasi mikroorganisme. Pada sepsis terjadi
pelepasan dan aktivasi mediator inflamasi yang berlebih,yang mencakup sitokin yang
bekerja lokal maupun sistemik, aktivasi netrofil, monosit makrofag, sel endotel,
trombosit dan sel lainnya, aktivasi kaskade protein plasma seperti komplemen,
pelepasan proteinase dan mediator lipid, oksigen dan nitrogen radikal. Selain mediator
proinflamasi, dilepaskan juga mediator antiinflamasi seperti sitokin
antiinflamasi,reseptor sitokin terlarut, protein fase akut, inhibitor proteinase dan
berbagai hormon (Widodo,2004). Pada sepsis berbagai sitokin ikut berperan dalam
proses inflamasi
Awal sepsis dikarakteristikkan dengan peningkatan mediator inflamasi, tetapi
pada sepsisberat pergeseran ke keadaan immunosupresi antiinflamasi (Hotckin,
2003).Peran Komplemen pada Sepsis Fungsi system komplemen: melisiskan sel, bakteri
dan virus, opsonisasi, aktivasi responsimun dan inflamasi dan pembersihan kompleks
imun dan produk inflamasi dari sirkulasi. Padasepsis, aktivasi komplemen terjadi
terutama melalui jalur alternatif, selain jalur klasik. Potonganfragmen pendek dari
komplemen yaitu C3a, C4a dan C5a (anafilatoksin) akan berikatan pada reseptor di sel
menimbulkan respons inflamasi berupa: kemotaksis dan adhesi netrofil,
stimulasipembentukan radikal oksigen, ekosanoid, PAF, sitokin, peningkatan
permeabilitas kapiler dan ekspresi faktor jaringan (Widodo, 2004). Peran NO pada
Sepsis NO diproduksi terutama oleh sel endotel berperan dalam mengatur tonus
vaskular. Pada sepsis, produksi NO oleh sel endotel meningkat, menyebabkan gangguan
hemodinamik berupa hipotensi. NO diketahui juga berkaitan dengan reaksi inflamasi
karena dapat meningkatkan produksi sitokin proinflamasi, ekspresi molekul adhesi dan
menghambat agregasi trombosit.Peningkatan sintesis NO pada sepsis berkaitan dengan
renjatan septik yang tidak responsif dengan vasopressor

II.5 KLASIFIKASI BERDASAR SUMBER INFEKSI


TABLE 1

Jenis Sepsis

Sumber Infeksi

MRSA Sepsis

Sepsis yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus yang resisten terhadap

VRE Sepsis

Methicillin
Sepsis yang disebabkan oleh jenis bakteri Enterococcus yang resisten terhadap vancomycin

Urosespis

Sepsis yang berasal dari infeksi saluran kencing ( biasanya 4 minggu setelah kelahiran )

Wound Sepsis

Sepsis yang berasal dari infeksi luka

Neonatal Sepsis

Sepsis yang terjadi pada bayi baru lahir (biasanya 4 minggu setelah kelahiran)

Sepsis Abortion

Aborsi yang disebabkan oleh infeksi dengan sepsis pada ibu

II.6 FAKTOR RESIKO

jenis kelamin laki-laki,


cacat imun didapat atau kongenital galaktosemia (Escherichia coli),
pemberian besi intramuskular (Escherichia coli),
anomali kongenital (saluran kencing asplenia, myelomeningokel, saluran sinus),
amfalitis dan kembar (terutama kembar dua dari janin yang terinfeksi)
prematuritas

II.7 GEJALA KLINIS


Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak
toksik,takikardia, takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai terjadinya
sepsis(tersangka sepsis).Pada keadaan sepsis gejala yang nampak adalah gambaran
klinis keadaan tersangkasepsis disertai hasil pemeriksaan penunjang berupa lekositosis
atau lekopenia, trombositopenis, granulosit toksik, hitung jenis bergeser ke kiri, CRP
(+), LED meningkat dan hasil biakan kuman penyebab dapat (+) atau (-).Keadaan syok
sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tanda-tanda syok (nadi cepat dan
lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan produksi urin, dan penurunan tekanan
darah).Gejala syok sepsis yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan syok
hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0,5 cc/kgBB/jam,
tekanan darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien sepsis
dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai gejala takikardia,
kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang melebar

II.8 DERAJAT SEPSIS


1.Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan gejala sebagai
berikut:
a)
b)
c)
d)
e)

Hyperthermia/hypothermia (>38,3C; <35,6C)


Takipnea (resp >20/menit)
Tachycardia (nadi >100/menit)
Leukositosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
>10% cell immature

2.Sepsis : Infeksi disertai SIRS


3. Sepsis Berat : Sepsis yang disertai MODS/MOF, hipotensi, oliguria bahkan anuria.
4.Sepsis dengan hipotensi : Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg
ataupenurunan tekanan sistolik >40 mmHg).
5. Syok septik Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai
hipotensi yang diinduksisepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan,
dan disertai hipoperfusi jaringan
II.9 PERBEDAAN SYOK SEPSIS dan SEPSIS
Sindroma sepsis Takipneu, respirasi 20x/menit, Takikardi 90x/menit, Hipertermi
380c Hipotermi 35,60c, Hipoksemia Peningkatan laktat plasma Oliguria, Urine 0,5
cc/kgBB dalam 1 jam
Syok Sepsis : Sindroma sepsis ditambah dengangejala:Hipotensi 90 mmHgTensi
menurun sampai 40 mmHg daribaseline dalam waktu 1 jam Membaik dengan
pemberian cairandanpenyakit shock hipovolemik, infark miokard dan emboli pulmonal
sudahdisingkirkan
II.10 DIAGNOSIS

Diagnosis awal sepsis atau syok septik tergantung pada kepekaan dokter untuk
menilaipasien dengan dan tanda awal yang tidak spesifik seperti takipnnea, dispnea,
takikardia dengankeadaan hiperdinamik, vasodilatasi perifer, instabilitas tempratur, dan
perubahan keadaanmental. Keadaan seperti ini penting di perhatikan pada seperti pada
wanita wanita dengan resiko tinggi seperti pyelonefritis, korioamnionitis,
endometritis, abortus septik, atau telah menjalani prosudur operasi emergensi. Diagnosa
dan penanganan awal ini sangat menentukankeberhasilan hidup pasien.Tanda yang
tampak tergantung dari fase syok septik dan tipe kerusakan organ yang terjadi,tetapi
hipotensi selalu ditemukan. Kebanyakan pasien mengalami peningkatan temperatur dan
lekosit , tetapi pada beberapa pasien terjadi penurunan temperatur dan kadar leukosit
dibawah normal. Sebagai akibat dari keadaan hiperdinamik jantung, terjadi gejalagejala
pada jantung seperti iskemia, gagal jantung kiri, atau aritmia. Konsekuansi klinik dari
DICadalah perdarahan, trombosis dan hemolisis mikroangiopati. Karena pada syok
sepsis potensi terjadinya disfungsi ginjal dan hipovulemia, manifestasi klinik dapat
berupa oligouria, hematuria dan proteinuria. Dalam hal membantu menegakkan
diagnosa sepsis atau syok septik, selain melalui pemeriksaan fisik, juga diperlukan
pemeriksaan rongen dan kultur. Dua kuman yang sangatvirulen dengan angka mortalitas
yang tinggi adalah Streptokokus pyogens ( group Astreptokokus ) dan Clostridium
Sordeli
Riwayat
Menentukan apakah infeksi berasal dari komunitas atau nosokomial, dan apakah
pasienimmunocompromise. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:
1) Demam atau tanda yang tidak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi
2) Hipotensi, oliguria, atau anuria
3) Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab yang jelas
4) Perdarahan
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab
infeksi dan inflamasi yang terjadi,misalnya pada dugaan infeksi pelvis, dilakukan
pemeriksaan rektum, pelvis, dan genital.

Laboratorium
Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi,
urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah
arteri, elektrokardiogram,dan rontgen dada. Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain
yang terinfeksi harus dilakukan.Temuan awal lain: Leukositosis dengan shift kiri,
trombositopenia, hiperbilirubinemia, danproteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Adanya
hiperventilasi menimbulkan alkalosis respiratorik.Penderita diabetes dapat mengalami
hiperglikemia. Lipida
serum meningkat.Selanjutnya, trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu
trombin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC.
Azotemia dan hiperbilirubinemia lebihdominan. Aminotransferase meningkat. Bila otot
pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum.Asidosis metabolik terjadi setelah
alkalosis respiratorik.
Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkanketoasidosis yang memperburuk hipotensi .

TABLE 2

10

SIRS

Denyut jantung

SEPSIS
kultur,

>90 detak per

pemeriksaan

menit waktu

warna, atau

SEPSIS SHOCK
refraktori pada

disfungsi

arteri

organ,
Adanya

menyebabkan

Chain Reaction),
pemeriksaan

hipoperfusi

hipoperfusi
kadar laktat

(>100.4F atau

WBCs di dalam

hipotensi

38o C) atau

cairan normal

istirahat
Temperature
tubuh tinggi

PCR(Polymerase

hipotermia
(<96.8F atau

SEVERE SEPSIS

adanya

tubuh,
rontgen

dan

hipotensi atau

serum > 4

mmol/dL
Oliguria
Adanya

36o C)
RR >20 napas

abdominal yang

gangguan

abnormal atau CT

mental

per menit atau

scan,
rontgen dada

PaCO2 <32
mmHg(4,3kPa)

abnormal (CXR)

WBC (>12000
sel/L atau
<4000 sel/L
atau >10%
Bands

http://www.scribd.com/doc/62217236/Sepsis-Ppt

TABLE 3. Diagnostic Criteria for Sepsis

11

Infection, documented or suspected, and some of the following:


General variables
Fever (> 38.3C)
Hypothermia (core temperature < 36C)
Heart rate > 90/min1 or more than two s d above the normal value for age
Tachypnea
Altered mental status
Significant edema or positive fluid balance (> 20 mL/kg over 24 hr)
Hyperglycemia (plasma glucose > 140 mg/dL or 7.7 mmol/L) in the absence of
diabetes
Inflammatory variables
Leukocytosis (WBC count > 12,000 L1)
Leukopenia (WBC count < 4000 L1)
Normal WBC count with greater than 10% immature forms
Plasma C-reactive protein more than two s d above the normal value
Plasma procalcitonin more than two s d above the normal value
Hemodynamic variables
Arterial hypotension (SBP < 90 mm Hg, MAP < 70 mm Hg, or an SBP decrease > 40
mm Hg in adults or less than two sd below normal for age)
Organ dysfunction variables
Arterial hypoxemia (Pao2/Fi o2 < 300)
Acute oliguria (urine output < 0.5 mL/kg/hr for at least 2 hrs despite adequate fluid
resuscitation)
Creatinine increase > 0.5 mg/dL or 44.2 mol/L
Coagulation abnormalities (INR > 1.5 or aPTT > 60 s)
Ileus (absent bowel sounds)
Thrombocytopenia (platelet count < 100,000 L1)
Hyperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 4 mg/dL or 70 mol/L)
Tissue perfusion variables
Hyperlactatemia (> 1 mmol/L)
Decreased capillary refill or mottling
WBC = white blood cell; SBP = systolic blood pressure; MAP = mean arterial pressure;
INR = international normalized ratio; aPTT = activated partial thromboplastin time.
Diagnostic criteria for sepsis in the pediatric population are signs and symptoms of inflammation plus infection with hyper- or
hypothermia (rectal temperature > 38.5 or < 35 C), tachycardia (may be absent in hypothermic patients), and at least one of the
following indications of altered organ function: altered mental status, hypoxemia, increased serum lactate level, or bounding
pulses.Adapted from Levy MM Fink MP, Marshall JC, et al: 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions
Conference. Crit Care Med 2003; 31: 12501256.

12

TABLE 4. Severe Sepsis


Severe sepsis definition = sepsis-induced tissue hypoperfusion or organ dysfunction (any of the
following thought to be due to the infection)
Sepsis-induced hypotension
Lactate above upper limits laboratory normal
Urine output < 0.5 mL/kg/hr for more than 2 hrs despite adequate fluid resuscitation
Acute lung injury with PaO2/FIO2 < 250 in the absence of pneumonia as infection source
Acute lung injury with PaO2/FIO2 < 200 in the presence of pneumonia as infection source
Creatinine > 2.0 mg/dL (176.8 mol/L)
Bilirubin > 2 mg/dL (34.2 mol/L)
Platelet count < 100,000 L
Coagulopathy (international normalized ratio > 1.5)
Adapted from Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al: 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions
Conference. Crit Care Med 2003; 31: 12501256.

TABLE 5. Determination of the Quality of Evidence


Underlying methodology
A (high) RCTs
B (moderate) Downgraded RCTs or upgraded observational studies
C (low) Well-done observational studies with control RCTs
D (very low) Downgraded controlled studies or expert opinion based on other evidence
Factors that may decrease the strength of evidence
1. Poor quality of planning and implementation of available RCTs, suggesting high likelihood of bias
2. Inconsistency of results, including problems with subgroup analyses
3. Indirectness of evidence (differing population, intervention, control, outcomes, comparison)
4. Imprecision of results
5. High likelihood of reporting bias
Main factors that may increase the strength of evidence
1. Large magnitude of effect (direct evidence, relative risk > 2 with no plausible confounders)
2. Very large magnitude of effect with relative risk > 5 and no threats to validity (by two levels)
3. Dose-response gradient
RCT = randomized controlled trial.

TABLE 6. Factors Determining Strong vs. Weak Recommendation

13

What Should be Considered

Recommended Process

High or moderate evidence

The higher the quality of evidence, the more

(Is there high or moderate quality

likely a strong recommendation.

evidence?)
Certainty about the balance of benefits vs.

The larger the difference between the desirable

harms and burdens (Is there certainty?)

and undesirable consequences and the certainty


around that difference, the more likely a strong
recommendation. The smaller the net benefit and
the lower the certainty for that benefit, the more

Certainty in or similar values

likely a weak recommendation


The more certainty or similarity in values and

(Is there certainty or similarity?)

preferences, the more likely a strong

Resource implications

recommendation
The lower the cost of an intervention compared to

(Are resources worth expected benefits?)

the alternative and other costs related to


the decisionie, fewer resources consumedthe
more likely a strong recommendation.

TAbLE 7. Recommendations: Initial Resuscitation and Infection Issues


A. Initial Resuscitation
1. Protocolized, quantitative resuscitation of patients with sepsis- induced tissue hypoperfusion
(defined in this document as hypotension persisting after initial fluid challenge or blood lactate
concentration 4 mmol/L). Goals during the first 6 hrs of resuscitation:
a) Central venous pressure 812 mm Hg
b) Mean arterial pressure (MAP) 65 mm Hg
c) Urine output 0.5 mL/kg/hr
d) Central venous (superior vena cava) or mixed venous oxygen saturation 70% or 65%, respectively
(grade 1C).
2. In patients with elevated lactate levels targeting resuscitation to normalize lactate (grade 2C).
b. Screening for Sepsis and Performance Improvement
1. Routine screening of potentially infected seriously ill patients for severe sepsis to allow earlier
implementation of therapy (grade 1C).
2. Hospitalbased performance improvement efforts in severe sepsis (UG).
C. Diagnosis
1. Cultures as clinically appropriate before antimicrobial therapy if no significant delay (> 45 mins) in
the start of antimicrobial(s) (grade 1C). At least 2 sets of blood cultures (both aerobic and anaerobic
bottles) be obtained before antimicrobial therapy with at least 1 drawn percutaneously and 1 drawn
through each vascular access device, unless the device was recently (<48 hrs) inserted (grade 1C).
2. Use of the 1,3 beta-D-glucan assay (grade 2B), mannan and anti-mannan antibody assays (2C), if

14

available and invasive candidiasis is in differential diagnosis of cause of infection.


3. Imaging studies performed promptly to confirm a potential source of infection (UG).
D. Antimicrobial Therapy
1. Administration of effective intravenous antimicrobials within the first hour of recognition of septic
shock (grade 1B) and severe sepsis without septic shock (grade 1C) as the goal of therapy.
2a. Initial empiric anti-infective therapy of one or more drugs that have activity against all likely
pathogens (bacterial and/or fungal or viral) and that penetrate in adequate concentrations into tissues
presumed to be the source of sepsis (grade 1B).
2b. Antimicrobial regimen should be reassessed daily for potential deescalation (grade 1B).
3. Use of low procalcitonin levels or similar biomarkers to assist the clinician in the discontinuation of
empiric antibiotics in patients who initially appeared septic, but have no subsequent evidence of
infection (grade 2C).
4a. Combination empirical therapy for neutropenic patients with severe sepsis (grade 2B) and for
patients with difficult-to-treat, multidrug- resistant bacterial pathogens such as Acinetobacter and
Pseudomonas spp. (grade 2B). For patients with severe infections associated with respiratory failure
and septic shock, combination therapy with an extended spectrum beta-lactam and either an
aminoglycoside or a fluoroquinolone is for P. aeruginosa bacteremia (grade 2B). A combination of
beta-lactam and macrolide for patients with septic shock from bacteremic Streptococcus pneumoniae
infections (grade 2B).

II. 11 TERAPI :
Tujuan Terapi :

Menetapkan pathogen
Eliminasi sumber infeksi

- Tujuan: menghilangkan patogen penyebab sumber infeksi harus dicari dengan teliti
bila sumber teridentifikasi, dilakukan :
a.Drainase sumber infeksi
b.Melepaskan obstruksi
c. reaksi organ

Inisiasi awal dari terapi antimikrobial yang agresif


Menghentikan kemungkinan terjadinya shok sepsis
Menghindari kegagalan organ

Tiga prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis:


1. Stabilisasi pasien langsungPasien dengan sepsis berat harus dimasukkan
dalam ICU. Tanda vital pasien harusdipantau. Pertahankan curah jantung dan ventilasi
yang memadai dengan obat.Pertimbangkan dialisis untuk membantu fungsi ginjal.

15

Pertahankan tekanan darah arteripada pasien hipotensif dengan obat vasoaktif, missal
dopamin, dobutamin, dan norepinefrin.
2. Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganismePerlu segera perawatan
empiric dengan antimikrobial, yang jika diberikan secara dinidapat menurunkan
perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah sampel didapatkandari pasien,
diperlukan regimen antimikrobial dengan spektrum aktivitas luas. Bila telah ditemukan
penyebab pasti, maka antimikrobial diganti sesuai dengan agen penyebab sepsis tersebut
(Hermawan, 2007). Sebelum ada hasil kultur darah, diberikan kombinasi antibiotik
yang kuat, misalnyaantara golongan penisilin/penicillinase resistant penicillin dengan
gentamisin.
a) Golongan penicillin
- Procain penicillin 50.000 IU/kgBB/hari im, dibagi dua dosis
- Ampicillin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-10 hari.
b) Golongan penicillinase resistant penicillin
- Kloksasilin (Cloxacillin Orbenin) 4x1 gram/hari iv selama 7-10 hari sering
dikombinasikan dengan ampisilin), dalam hal ini masing-masing dosis obat diturunkan
setengahnya, atau menggunakan preparat kombinasi yang sudah ada (Ampiclox 4 x
1gram/hari iv).
- Metisilin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-14 hari
c) Gentamycin Garamycin, 5 mg/kgBB/hari dibagi tiga dosis im selama 7 hari,
hati-hati terhadap efek nefrotoksiknya.Bila hasil kultur dan resistensi darah
telah ada, pengobatan disesuaikan. Beberapa bakteri gram negatif yang sering
menyebabkan sepsis dan antibiotik yang dianjurkan:
Escherichia coli , Ampisilin/sefalotin
- Sefalotin : 1-2 gram tiap 4-6 jam, biasanya dilarutkan dalam50-100 ml cairan,
diberikan perdrip dalam 20-30 menit untuk menghindari flebitis.
-Klebsiella, Enterobacter Gentamisin
3. Fokus infeksi awal harus diobatiHilangkan benda asing. Salurkan eksudat
purulen, khususnya untuk infeksianaerobik. Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan
atau potong jaringan yang gangren.
Terapi suportif

16

a. Resusitasi
Terutama pada pasien sepsis berat dengan hipertensi atau syok
Tujuan resusitasi pasien dengan sepsisberat atau yang mengalami hipoperfusi
dalam 6 jam pertama adalah CVP8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine >0.5
ml/kg/jam dan saturasi oksigen>70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi
oksigen tidak mencapai 70%dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg,
maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau
pemberian dobutamin (sampai maksimal 20 g/kg/menit).
Dilakukan secepat mungkin, secara intensif :
1. Airway, breathing , circulation
Gagal nafas sering terjadi dan berkembang menjadi keadaan yang buruk sehingga
diperlukan pemeriksaan yang berulang . Penurunan kesadaran adalah yang paling sering
menyebabkan obstruksi . Pasien dengan reflex jalan nafas yang tidak adekuat harus
dirawat pada posisi pemulihan dan jika memungkinkan dilakukan intubasi dan ventilasi
mekanik . Jalan nafas yang bersih tidak menggambarkan pernafasan yang efektif.
2. Oksigenasi
3. Terapi cairan
4. Transfusi darah bila diperlukan Anemia sering terjadi pada pasien sepsis
b. Oksigenasi .
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan
penurunankesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.
c. First line agen terapi sepsis antibiotik spektrum luas lactam karena tempat infeksi
dan mikroorganisme biasanya belum diketahui awalnya. Pemilihan antibiotika
berdasarkan :
Pengalaman tentang jenis organisme penyebab dengan sensitivitasnya di rumah
sakit, sumber infeksi, infeksi didapat di luar rumah sakit atau di rumah sakit. Antibiotika
yang diberikan harus dapat mencapai sumber infeksi dan diberikan dosis optimal. Untuk
gram positif sering dipakai vancomycin . Selain itu digunakan juga apabila pasien
resistan terhadap methicillin untuk melawan Staphylococcus aureus . Pada gram negatif
digunakan antibiotik yang mencegah pelepasan endotoksin

17

d. Terapi cairan

Hipovolemia dapat terjadi karena penurunan venous return, dehidrasi,


pendarahan dan kebocoran plasma mengganggu transpor oksigen dan nutrisi
dan dapat mengakibatkan syok. Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan

kristaloid (NaCl 0.9%atau ringer laktat) maupun koloid.


Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik melebihi

tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.


Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila kadarHb
rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard danrenjatan septik.
Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih kontroversi antara 8-10 g/dL.

e. Vasopresor dan inotropic


Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian
cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor diberikan mulaidosis
rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg atau tekanan darah
sistolik 90mmHg. Dapat dipakai dopamine >8g/kg/menit, norepinefrin 0.031.5g/kg/menit, phenylepherine 0.5 - 8g/kg/menit atau epinefrin 0.1 - 0.5g/kg/menit.
Inotropik dapat digunakan: dobutamine 2- 28 g/kg/menit, dopamine 3- 8
g/kg/menit, epinefrin 0.1- 0.5 g/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan
milrinone). Bikarbonat Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum
bikarbonat <9mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.

f. Disfungsi renal akibat gangguan perfusi organ.


Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segeradiperbaiki dengan pemberian cairan
adekuat, vasopresor dan inotropik biladiperlukan. Dopamin dosis renal (13g/kg/menit) seringkali diberikan untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis,
namun secara evidence based belum terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut
dapat dilakukanhemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu.

18

g. Nutrisi Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi


(glikolisis,glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi
danpenumpukan laktat dan kecenderungan hiperglikemia akibat
resistensi insulin. Selain itu terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia dan proses katabolisme
protein. Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori (asam amino), asam lemak, vitamin
danmineral perlu diberikan sedini mungkin.
h. Kontrol gula darah .
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan
mortalitas sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien yang diberikan insulin untuk
mencapaikadar gula darah antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada kelompok dimana
insulin baru diberikan bila kadar gula darah >115 mg/dL.
Namun apakah pengontrolan gula darah tersebut dapat diaplikasikan dalam praktek
ICU, masih perlu dievaluasi, karena ada risiko hipoglikemia.
i. Gangguan koagulasi .
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi
danDIC (konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di sirkulasi).
Pada sepsis berat dan renjatan, terjadi penurunan aktivitas antikoagulan dan supresi
proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus menumpuk di sirkulasi mengakibatkan
kegagalan organ. Terapi antikoagulan, berupa heparin,antitrombin dan substitusi faktor
pembekuan bila diperlukan dapat diberikan, tetapi tidak terbukti menurunkan mortalitas.
Untuk masa mendatang pengobatan dengan antibodi monoklonal merupakan harapan
dan diharapkan dapat menurunkan biaya pengobatan dan dapat meningkatkan
efektifitas. Pada binatang percobaan pemberian TNF antibody hanya efektif bila
diberikan sebagai profilak. Suatu studi preklinik dengan antibodi CB0006 dan TNF
antibodi lainnya dapat digunakan sebagai profilak danmungkin juga dapat digunakan
untuk pengobatan walaupun therapeutic window-nya sempit. Pemberian HA-1A Human
monoclonal antibody sebaiknya dipertimbangkan pada pasien sepsis yang penyebabnya
dicurigai bakteri Gram negative, terutama pada sumber infeksi saluran cerna dan saluran
kemih yang sering disebabkan kuman Gram negatif (Mansjoer, 2001).

19

j. Kortikosteroid .
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison dengan
dosis 50 mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan renjatan septik
menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa syok,
kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi sepsis. Pemberian
kortikosteroid pada binatang percobaan yang dibuat sepsis dapatmenurunkan angka
mortalitas. Pada suatu studi prospektif pada manusiapemberian dosis tinggi 30 mg metil
prednisolon/kgBB dan diikuti 5 mg/kgBB/jamsampai 9 jam pada ke dua studi ini tidak
didapatkan peningkatan angka mortalitas(Root, 1991).
Pada penelitian yang lain juga didapatkan hasil yang sama danhanya dapat memperbaiki
keadaan shock tetapi tidak memperbaiki angkamortalitas (Sprung,1984; Bone, 1987;
Hinshaw 1987; Cohen, 1991).
Implementasi EGDT dalam tatalaksana sepsis berat dan syok septik pada anak.
Implementasi EGDT di unit gawat darurat dan unit perawatan intensif dalam tatalaksana
sepsis berat dan syok septik pada bayi dan anak diajukan dalam bentuk diagram alur
berikut ini:

20

Algoritme berbasis waktu ini dalam 1 jam pertama bertujuan untuk mengembalikan dan
mempertahankan denyut jantung ke nilai normal, mencapai waktu pengisian kapiler < 2
detik, serta menormalkan tekanan darah. Dukungan oksigenasi dan ventilasi diberikan
sesuai dengan indikasi.

21

Target-target berikutnya diharapkan tercapai dalam waktu 6 jam di unit perawatan


intensif.
1. Kerangka waktu: Nol sampai dengan 5 menit pertama
Dalam lima menit pertama, klinisi harus dapat mengidenfikasi pasien dengan
sepsis berat dan syok septik. Identifikasi dini sangat berhubungan dengan menurunnya
morbiditas dan mortalitas kasus sepsis berat dan syok septik. Dalam waktu lima menit
pertama ini pula secara simultan dilakukan manajeman jalan nafas (airway) dan
pernafasan (breathing), serta pemasangan akses intravena (circulation).
1.1 Identifikasi dini pasien dengan sepsis berat dan syok septik
Trias demam, takikardi, dan vasodilatasi umum ditemukan pada anak dengan
tanda-tanda infeksi. Syok septik harus menjadi pertimbangan diagnosis bila trias di atas
ditemukan, disertai dengan perubahan status mental yang bermanifestasi sebagai
iritabilitas, bingung, mengantuk, hingga penurunan kesadaran yang lebih dalam. Sepsis
berat dan syok septik diketahui berhubungan dengan hipoksia jaringan yang luas.
Hipoksia pada susunan saraf pusat akan menyebabkan gangguan berupa penurunan
kesadaran. Selain itu, klinisi juga harus dapat mengidentifikasi tanda-tanda gangguan
perfusi jaringan yang disebabkan oleh disfungsi kardiovaskuler pada sepsis.
Syok septik dibedakan ke dalam 2 jenis, yaitu warm shock dan cold shock.
Warm shock ditandai dengan curah jantung yang tinggi, kulit yang hangat dan kering,
serta bounding pulse. Sedangkan cold shock ditandai oleh curah jantung yang rendah,
kulit lembab dan dingin, serta nadi yang lemah. Stadium awal syok septik dapat dikenali
dengan ditemukannya takikardia, bounding pulse, serta gangguan kesadaran. Produksi
urin kurang dari 1 mL/kgbb/jam.23 Pada stadium yang lebih lanjut, dapat ditemukan
waktu pemanjangan kapiler, dan pada stadium akhir ditandai dengan hipotensi

22

1.2 Mempertahankan jalan nafas dan pemberian terapi oksigen


Manajemen jalan nafas dan pernafasan dapat dilakukan dengan mengacu pada
Pediatric Advanced Life Support (PALS), di antaranya dengan memposisikan kepala,
serta pemberian terapi oksigen.
1.3 Memasang akses intravaskular
Penelitian yang dilakukan oleh Kanter dkk (1986) mendapatkan bahwa usaha
pemasangan akses intravena perifer pada pasien anak dengan sakit kritis memerlukan
waktu rata-rata 4 menit 30 detik, tercepat 40 detik. American Heart Association bersama
dengan American Academy of Pediatrics dalam PALS merekomendasikan untuk situasi
darurat, pemasangan akses intravena harus terpasang dalam waktu 5 menit. Bila dalam
jangka waktu tersebut belum berhasil, maka dilakukan pemasangan akses intraoseus.
1. Setelah terpasang akses intravena segera diambil sampel darah untuk
pemeriksaan penunjang.
2. Kerangka waktu: 5 sampai dengan 15 menit berikutnya Pada segmen 5 menit
hingga 15 menit berikut ini, dilakukan resusitasi cairan hingga didapatkan
perbaikan perfusi jaringan, dengan pemantauan terhadap tanda-tanda overload
cairan. Secara simultan pula dilakukan koreksi kelainan metabolik seperti
hipoglikemi/hiperglikemi, serta koreksi kelainan elektrolit yang mungkin
ditemukan, dan pemberian antibiotik empiris spectrum luas.
2.1 Resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik
2.1.1 Volume cairan resusitasi
Penelitian pendahuluan telah dilakukan pada hewan percobaan dengan sepsis
berat, didapatkan bahwa resusitasi cairan hingga 60 mL/kgbb ternyata berhasil
memperbaiki curah jantung, penghantaran oksigen serta stabilitas hemodinamik.27 Dari
penelitian Han dkk (2003) pada pasien dengan sepsis berat dan syok septik, didapatkan
pula bahwa kelompok non-survivor menerima volume cairan resusitasi lebih sedikit (20
mL/kgbb) dan kecenderungan dilanjutkan dengan terapi inotropik.
Mengenai volume cairan resusitasi yang diberikan, Carcillo dkk (1991)
melaporkan penelitian mengenai resusitasi cairan pada pasien pediatrik dengan syok
septik yang diberikan dalam 1 jam pertama, pemberian cairan resusitasi secara cepat
dengan volume di atas 40 mL/kgbb (rata-rata 69 + 19 mL/kgbb) berhubungan dengan

23

outcome (survival) yang lebih baik. Pemberian cairan secara cepat juga tidak
berhubungan dengan kejadian Acute Respiratory Distress Syndrome(ARDS).
Rekomendasi dari Surviving Sepsis Campaign 2008 yaitu resusitasi cairan
inisial diawali dengan pemberian cairan kristaloid bolus 20 mL/kgbb selama 5-10 menit,
dititrasi dengan pemantauan klinis terhadap curah jantung, dalam hal ini meliputi denyut
jantung, produksi urin, waktu pengisian kapiler, dan derajat kesadaran. Biasanya defisit
cairan cukup besar sehingga awal resusitasi memerlukan volume cairan 40-60
mL/kgbb,1 namun dapat mencapai hingga 200 mL/kgbb. Pemantauan terhadap tandatanda overload cairan yaitu dengan memperhatikan adanya onset baru hepatomegali,
bertambahnya usaha nafas pasien, ditemukannya rales pada pemeriksaan fisis paru, atau
bertambahnya berat badan lebih dari 10%. Untuk mengatasinya dapat diberikan
diuretik. Tindakan lain untuk mengatasi overload cairan yaitu dengan dialysis peritoneal
bila didapatkan oliguria, atau continuous renal replacement therapy (CRRT) bila
diperlukan.
Untuk pemeriksaan secara bed-site, dari penelitian Pamba dan Maitland (2004)
didapatkan bahwa pemanjangan waktu pengisian kapiler > 3 detik merupakan faktor
prognostik perlunya resusitasi cairan, sehingga cukup prediktif digunakan sebagai alat
untuk menilai adekuatnya terapi cairan yang diberikan pada pasien dengan sepsis berat
dan syok septik.
2.1.2 Jenis cairan resusitasi
Pemilihan jenis cairan pada resusitasi sepsis berat dan syok septik bersifat
liberal. Secara umum,cairan isotonis cukup efektif, aman, dan efektif dibandingkan
dengan koloid, sehingga disarankan sebagai cairan lini pertama pada resusitasi.
Penelitian di India yang dilakukan oleh Upadhyay (2005) mendapatkan tidak adanya
perbedaan outcome pasien syok septik yang diresusitasi dengan cairan kristaloid
dibandingkan dengan koloid. Namun hal yang berlawanan didapatkan dari penelitian
Schierhout dan Roberts, bahwa resusitasi dengan cairan koloid dapat menyebabkan efek
samping berupa gangguan hemostasis. Pada saat ini penelitian klinis banyak dilakukan
untuk mengetahui kegunaan penggunaan cairan hipertonis dalam resusitasi sepsis
berat dan syok septik.
2.2 Koreksi hipoglikemia

24

Hipoglikemia dapat menyertai suatu sepsis dan menimbulkan gangguan


kesadaran. Keadaan ini dapat dikoreksi dengan pemberian Dextrose-10% pada cairan
rumatan dengan kecepatan 8 mg/kg/menit pada neonatus, 5 mg/kgbb/menit pada anak,
dan 2 mg/kgbb/menit pada remaja. Bila disertai dengan kegagalan fungsi hati, penderita
mungkin membutuhkan kecepatan infus glukosa yang lebih tinggi, dapat mencapai 16
mg/kgbb/menit. Hiperglikemia dapat pula menyertai keadaan sepsis, yang didefinisikan
sebagai kadar glukosa sewaktu > 140 mg/dL.
Penatalaksanaan hiperglikemia dapat dengan menggunakan cairan Dextrose-5%
dan dapat dikombinasikan dengan terapi insulin.16, 23 Direkomendasikan untuk
mempertahankan kadar glukosa > 80 dan <150 mg/dL.23 Insulin reguler yang
digunakan dalam bentuk bolus atau infus kontinu. Dosis yang diberikan yaitu 0,025
U/kgbb/kali atau 0,025 0,1 U/kgbb/jam (2,5 U/kgbb dalam 50 mL Albumin 4%
dengan kecepatan 0,5 2 mL/jam); selanjutnya 1 U/10 gram dextrose.
2.3 Koreksi hipokalsemia
Kadar konsentrasi kalsium berbeda sesuai dengan usia, berkisar 8,5 10,5 mg/dL
untuk kalsium total dan 4,0 5,0 g/dL ion kalsium dalam darah. Hipokalsemia dapat
menyebabkan gangguan kontraktilitas dan irama jantung, selain juga menyebabkan
hipotensi serta kelainan neuromuskuler lainnya. Koreksi hipokalsemia dapat diberikan
peroral atau intravena. Pasien dengan hipokalsemia simptomatik dapat diberikan bolus
kalsium glukonas 100-200 mg/kgbb dalam waktu 10-20 menit. Infus kontinu kalsium
glukonas sebagai alternatif diberikan dengan dosis awal 10-30 mg/kgbb/jam,
selanjutnya dititrasi sesuai dengan hasil pengukuran serum kalsium selanjutnya.

2.4 Pemberian terapi antibiotik


Terapi antibiotik merupakan terapi utama dalam sepsis, dengan penggunaan
antibiotik empiris berspektrum luas di awal terapi. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa pemberian antibiotik cepat dan sesuai berhasil menurunkan morbiditas dan
mortalitas pasiendengan sepsis. Namun harus dipertimbangkan juga bahwa penggunaan
antibiotik spectrum luas dapat menyebabkan peningkatan resistensi mikroorganisme.

25

Pemberian antibiotik tidak ditunda, dan faktor waktu memegang peranan


penting. Dari penelitian Houck dkk, pemberian antibiotika dalam 4 jam pertama
berhubungan dengan menurunnya mortalitas hingga 6,8% sejak pasien datang ke rumah
sakit, dan menurunkan mortalitas hingga 11,6% dalam 30 hari perawatan, selain itu juga
membantu mengurangi lama perawatan di rumah sakit hingga 42%. Dalam SSC 2008,
direkomendasikan pemberian antibiotik dalam 1 jam pertama setelah dilakukan
pengambilan kultur.34 Durasi terapi antibiotik yang dianjurkan yaitu 7-10 hari, dan
kemudian disesuaikan dengan hasil kultur. Namun pada pasien dengan neutropenia,
durasi terapi antibiotik dapat diperpanjang hingga 14 hari. Keputusan untuk
menghentikan pemberian antibiotik bergantung pada penilaian klinis. Terapi kombinasi
antimikroba dilaporkan lebih baik dibandingkan dengan monoterapi, sebagaimana
dilaporkan dari penelitian Micek dkk. Terapi awal antibiotik sangat kritis bagi pasien
anak dengan sepsis, seperti halnya pasien dewasa.
3 Kerangka waktu: 15 menit sampai 60 menit berikutnya
Dalam waktu 15 menit pertama, ditentukan apakah suatu syok septik responsif
atau refrakter terhadap terapi cairan. Syok dinyatakan refrakter terhadap cairan bila
belum menunjukkan perbaikan hemodinamika setelah mendapat terapi cairan hingga 40
mL/kgbb. Langkah selanjutnya pada pasien dengan syok septik yang refrakter terhadap
terapi cairan yaitu dengan secara simultan melakukan pemasangan akses vena sentral,
memulai terapi inotropik dan vasopresor serta melakukan pemantauan tekanan arterial.
Namun berbeda dengan populasi dewasa, pemasangan akses vena sentral pada
anak menjadi suatu isu karena kesulitan dalam pelaksanaannya. Pemasangan vena
sentral pada pasien pediatric tidak familier, dalam prosedur pemasangannya yang cukup
sulit sehingga melampaui kerangka waktu (time-frame) yang diharapkan pada EGDT
khususnya di unit emergensi. Penatalaksanaan dalam kerangka waktu 15 menit hingga
60 menit berikutnya dijelaskan sebagai berikut:
3.1 Memulai pemberian inotropik dan vasopresor
Hipotensi yang menetap meskipun telah dilakukan resusitasi cairan optimal
merupakan ciri dari syok septik, yang terjadi akibat gangguan kontraktilitas miokardium
selain juga terdapat gangguan pada resistensi vaskuler sistemik. Akibat gangguan di

26

atas, maka diperlukan pemberian vasopresor dan terapi inotropik untuk memperbaiki
tekanan darah serta mempertahankan penghantaran oksigen ke jaringan.12 Dalam
penatalaksanaan sepsis, harus dilakukan usaha secepat mungkin untuk mengembalikan
hemodinamika. Oleh karena itu, vasopresor diberikan segera setelah resusitasi cairan
optimal diberikan.Pemberian vasoaktif direkomendasikan bila syok tidak teratasi
dengan resusitasi cairan sampai dengan 40 mL/kgbb. Jenis obat yang digunakan yaitu
katekolamin dan derivat sintetisnya, meliputi dopamin, dobutamin, epinefrin,
norepinefrin.
Dopamin disarankan sebagai pilihan terapi pertama untuk pasien pediatrik
dengan hipotensi yang refrakter terhadap resusitasi cairan, atau pada keadaan cold
shock. Dopamin dan norepinefrin diketahui berfungsi meningkatkan tekanan darah dan
curah jantung. Dopamin lebih poten dibandingkan norepinefrin, dan lebih sering
menyebabkan takikardia. Pada dosis rendah, dopamin menyebabkan vasodilatasi
sirkulasi renal dan mesenterika. Pada dosis 2-10 mikrogram/kgbb/menit, dopamin
memiliki efek inotropik positif dan kronotropik positif, sedangkan pada dosis yang lebih
tinggi menyebabkan vasokonstriksi perifer. Penelitian Levy dkk menemukan bahwa
populasi pasien syok septik yang resisten dengan terapi dopamine meningkatkan risiko
mortalitas. Bila syok refrakter terhadap terapi dopamin, maka diberikan epinefrin.
Epinefrin diberikan dengan dosis 0.05- 0.3 mcg/kgbb/menit. Pada keadaan warm shock,
diberikan titrasi norepinefrin. Norepinefrin pada dosis 1-20 mikrogram/menit baik
untuk meningkatkan MAP, resistensi vaskuler sistemik, penghantaran oksigen jaringan.
Dobutamin dapat digunakan sebagai agen inotropik pada pasien dengan curah jantung
yang rendah, diberikan dengan dosis 2,520 mikrogram/kgbb/menit.
3.2 Mempertahankan jalan nafas
Dilakukan penilaian terhadap usaha nafas pasien dan komplians paru. Keputusan
untuk melakukan intubasi bergantung pada penilaian klinis usaha nafas pasien, adanya
hipoventilasi, atau akibat penurunan kesadaran. Intubasi dipertimbangkan pada pasien
dengan syok refrakter disertai dengan tanda gagal nafas, penurunan kesadaran, serta
untuk pemantauan hemodinamik invasif. Selain itu, ventilasi mekanik juga dapat
membantu mekanika sirkulasi. Diketahui bahwa sekitar 40% curah jantung diperlukan
untuk mendukung fungsi pernafasan, sehingga ventilasi mekanik berguna untuk

27

menurunkan beban kerja paru-paru. Meningkatnya tekanan intratorakal juga berperan


menurunkan afterload ventrikel kiri, sehingga dapat membantu pasien dengan curah
jantung rendah dan resistensi vaskuler perifer yang tinggi.
Disarankan penggunaan ketamin dan atropin sebagai agen sedasi-intubasi pada
pasien dengan syok septik. Ketamin bekerja dengan cara menghambat transkripsi
factor-kappa B dan mengurangi produksi Interleukin-6 di sistemik, namun
mempertahankan fungsi adrenal, sehingga mempertahankan stabilitas fungsi
kardiovaskuler. Ketamin untuk fungsi sedasi diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgbb i.v.
Ketamin juga dapat berfungsi sebagai infus analgesia dan atau sedasi untuk
mempertahankan stabilitas fungsi kardiovaskuler pada saat dilakukan pemasangan
ventilasi mekanik.
Pada pasien anak dengan gagal nafas dan memerlukan ventilator, prinsip lungprotective therapy perlu diterapkan sebagaimana pada pasien dewasa. Pasien dengan
Acute Lung Injury/Acute Respiratory Distress Syndrome ditargetkan mendapat volume
tidal 6 mL/kgbb dan plateau pressure < 30 cm H2O, strategi permissive hypercapnia
untuk meminimalkan plateau pressure dan volume tidal. Positive End Expiratory
Pressure (PEEP) juga diterapkan untuk mencegah kolaps alveolar di akhir ekspirasi.
Posisi prone pada suatu penelitian multisenter didapatkan berguna untuk memperbaiki
hipoksemia.
4 Kerangka waktu: 6 jam berikutnya di Unit Perawatan Intensif
Bila ditemukan keadaan syok yang resisten dengan terapi katekolamin, maka
penatalaksanaan selanjutnya yaitu dengan pemberian hidrokortison. Hidrokortison
diberikan pula pada anak yang diduga atau terbukti disertai dengan insufisiensi adrenal.
Pasien berisiko mengalami insufisiensi adrenal yaitu anak dengan syok septik,
sebelumnya menerima terapi steroid untuk penyakit kronis, dan anak dengan
abnormalitas adrenal atau hipofisis. Bila jelas faktor risikonya, maka disarankan
pemberian hidrokortison secara intermiten atau infus kontinu dengan dosis mulai 1-2
mg/kgbb/hari, dititrasi hingga 50 mg/kgbb/hari.
Keadaan insufisiensi adrenal ini dinyatakan bila kadar kortisol basal < 18 g/Dl
kadar puncak ACTH-stimulated cortisol < 18 g/dL. Pemberian hidrokortison jangka
panjang (6 mg/kgbb/hari selama 7 hari) telah dilaporkan pada pasien dewasa, namun

28

pada anak masih menjadi kontroversi. Penelitian berupa pemberian hidrokortison


intermiten dengan dosis 3 mg/kgbb/hari selama 7 hari pada bayi dengan syok septik
resisten katekolamin didapatkan bahwa kebutuhan pemberian terapi dopamin dapat
dikurangi, namun tidak memperbaiki angka mortalitas. Penelitian multisenter di Eropa
oleh CORTICUS (Corticosteroid Therapy of Septic Shock) pada 499 pasien dengan
syok septik, membandingkan kelompok yang diberikan terapi hidrokortison dosis
rendah dan kelompok dengan plasebo selama 5 hari. Dari penelitian ini didapatkan tidak
ada perbedaan mortalitas di antara kedua kelompok.
Penggunaan steroid juga berpotensi terhadap kejadian kandidiasis diseminata.
Kortikosteroid dapat bermanfaat pada stadium awal dari sepsis. Sebagai alternatif bila
tidak tersedia hidrokortison maka dapat diberikan metilprednisolon 30 mg/kgbb/dosis
intravena atau deksametason 3 mg/kgbb/dosis intravena. Pemberiannya dapat diulang 4
jam kemudian, namun bila tidak memberikan respon maka pemberiannya dihentikan.
Namun demikian, masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai efikasi terapi
kortikosteroid pada sepsis di populasi pediatrik.
Anak dengan syok resisten katekolamin dapat memberikan tampilan klinis curah
jantung rendah/resistensi vaskuler sistemik tinggi, curah jantung tinggi/resistensi
vaskuler sistemik rendah, atau curah jantung rendah dengan resistensi vaskuler sistemik
rendah. Oleh karena itu, pemantauan hemodinamik dapat dilakukan dengan pemasangan
kateter vena sentral, serta monitoring kontinu tekanan arterial. Dilakukan pemantauan
CVP dengan target mencapai MAPCVP dan ScvO2 > 70%. Untuk mempertahankan
saturasi tersebut juga dilakukan dengan mempertahankan kadar Hb > 10 g/dL. Saturasi
vena sentral (ScvO2) akan memberikan informasi keseimbangan antara kebutuhan dan
pemenuhan oksigenasi di jaringan,5, 11 yang dilaporkan berhasil mengurangi mortalitas
hingga 40% dibandingkan pada pasien yang tidak dilakukan pemantauan ScvO2. Flow
ScvO2 juga bergunauntuk memperkirakan aliran darah dari otak. Nilai > 40
mL/kgbb/menit berhubungan dengan outcome neurologis yang lebih baik dan juga
survival pasien.
Dengan pemasangan vena sentral, dapat dilakukan pemantauan terhadap
keberhasilan penatalaksanaan syok, khususnya pada keadaan syok yang refrakter, yaitu
karena titrasi cairan, inotropik, dan vasopresor ataupun vasodilator dilakukan dengan
memerhatikan parameterparameter di atas.

29

4.1Cold shock dengan tekanan darah normal


Pada keadaan cold shock, dilakukan titrasi cairan dan pemberian epinefrin,
untuk mencapai ScvO2 > 70%, dengan mempertahankan kadar hemoglobin > 10 g/dL.
Bila kadar ScvO2 masih di bawah 70%, kemungkinan didapatkan syok dengan Cardiac
Index yang rendah, tekanan darah normal, dengan resistensi vaskuler sistemik yang
tinggi. Hal ini serupa dengan anak yang mengalami syok kardiogenik, yang dalam
penatalaksanaannya bertujuan untuk mengurangi afterload untuk memperbaiki aliran
darah dengan berkurangnya afterload ventrikel, sehingga akan dapat meningkatkan
pengosongan ventrikel. Oleh karena itu, nitroprusside atau nitrogliserin menjadi
vasodilator lini pertama pada syok resisten epinefrin dengan tekanan darah normal.
Vasodilator diberikan dengan sebelumnya dilakukan loading cairan terlebih dahulu.
Nitrogliserin pada dosis 10-60 g/menit dapat membantu menurunkan afterload.
Vasodilator yang termasuk di dalamnya yaitu Milrinone, yang pemberiannya
dipertimbangkan bila masih didapatkan curah jantung yang rendah. Milrinone
(Primacor) diberikan dengan dosis 50mcg/kg i.v. bolus selama 15 menit, dilanjutkan
dengan infus kontinu 0,5 0,75 mcg/kgbb/menit dan dititrasi hingga tercapai efek yang
diinginkan.
4.2 Cold shock dengan tekanan darah rendah
Pada keadaan ini didapatkan syok dengan Cardiac Index yang rendah, tekanan
darah yang rendah, serta resistensi vaskuler perifer yangrendah pula. Untuk
penatalaksanaan selanjutnya yaitu dilakukan titrasi cairan dan epinefrin untuk
meningkatkan tekanan darah diastolik dan meningkatkan resistensi vaskuler perifer. Bila
tekanan darah yang adekuat sudah tercapai, maka untuk memperbaiki Cardiac Index dan
mencapai ScvO2 > 70% dapat diberikan dobutamin, selain itu kadar Hb juga
dipertahankan > 10 g/dL. Bila pasien masih hipotensi, pertimbangkan pemberian
norepinefrin. Bila ScvO2 masih di bawah 70%, pertimbangkan pemberian dobutamin,
milrinone, enoximone, atau levosimendan. Levosimendan bekerja dengan cara
meningkatkan sensitivitas kalsium dari aparatus kontraktil miokardium, juga berfungsi
seperti halnya type III PDE inhibitor-activity lain. Enoximone juga merupakan type III
PDE inhibitor yang lebih selektif dan menjaga cadangan c-AMP yang diproduksi -1

30

aktivator reseptor sel miokardium, sehingga dapat memperbaiki performa jantung


dengan lebih sedikit efek hipotensi.
4.3Warm shock dengan tekanan darah rendah
Pada keadaan ini didapatkan syok dengan Cardiax Index tinggi, dan resistensi
perifer yang rendah. Maka penatalaksanaan selanjutnya yaitu dengan pemberian titrasi
cairan dan norepinefrin, untuk mempertahankan ScvO2 > 70%. Bila masih didapatkan
hipotensi, pertimbangkan vasopresin, terlipresin, atau angiotensin untuk memperbaiki
tekanan darah; namun perlu diperhatikan pula bahwa obat-obat vasokonstriktor di atas
dapat menyebabkan berkurangnya curah jantung, sehingga dalam penggunaan obat
tersebut direkomendasikan dengan pemantauan curah jantung dan ScvO2. Bila ScvO2
masih di bawah 70% pertimbangkan untuk pemberian epinefrin dosis rendah.
Vasopresin (Vasopressin, Pitressin) diberikan dalam infus kontinu mulai dari 0.5
mili-unit/kgbb/jam, dosis dinaikkan tiap 30 menit sesuai kebutuhan hingga maksimal 10
mili-unit/kgbb/jam (0.01 U/kgbb/jam).
4.4 Syok resisten katekolamin yang persisten
Bila pasien masih belum responsif dengan terapi yang diberikan di atas, maka
dikatakan sebagai syok resisten katekolamin yang persisten. Untuk itu perlu
disingkirkan dan diperbaiki berbagai keadaan yang berkontribusi terhadap syok
refrakter terapi cairan dan katekolamin, di antaranya yaitu adanya efusi perikardial,
pneumotoraks, peningkatan tekanan intraabdomen lebih dari 12 mmHg. Pertimbangkan
pula kemungkinan adanya perdarahan, keadaan imunosupresi, ketidaksesuaian kontrol
pengendalian infeksi (misalnya jenis dan dosis antibiotik yang diberikan belum
memadai). Pada saat ini, dipertimbangkan untuk memandu titrasi cairan, inotropik,
vasopresor, vasodilator dan terapi hormonal dengan pemasangan akses arteri
pulmonalis, PICCO (pulse contour cardiac output), atau Femoral Arterial
Thermodilution (FATD) Cathether, dan ultrasonografi doppler untuk memantau curah
jantung. Kateter arteri pulmonalis dapat mengukur tekanan penutupan arteri pulmonaris
sehingga dapat mengidentifikasi disfungsi ventrikel kiri, serta dapat digunakan untuk
menentukan kontribusi relatif fungsi ventrikel kanan dan kiri. PICCO berguna untuk
memperkirakan volume akhir diastolik keseluruhan ruang jantung serta mengukur

31

cairan paru ekstravaskuler, sehingga dapat membantu penilaian apakah preload sudah
adekuat atau belum. Monitoring non-invasif seperti penggunaan pulse oxymetri, saturasi
oksigen vena per-kutan, dan lainnya masih dalam tahap evaluasi. Tujuan terapi pada
saat ini yaitu mencapai dan mempertahankan Cardiac Index 3,3 6 L/menit/m2.
Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) merupakan salah satu
alternatif terapi yang perlu dipertimbangkan, telah dilakukan secara terbatas pada syok
yang refrakter dan atau keadaan gagal nafas yang tidak bisa ditangani dengan terapi
konvensional. ECMO telah dilakukan pada pasien dengan syok septik, namun
pengaruhnya sendiri masih belum jelas. Penelitian yang menganalisis 12 pasien sepsis
dengan ECMO, 8 orang di antaranya bertahan hidup dan pada follow up rentang 4 bulan
hingga 4 tahun, didapatkan bahwa rata-rata setelah 1 tahun mereka dapat menjalani
kehidupan dengan normal.
4.5 Monitoring hemodinamik dan pencapaian target-target terapeutik
Tujuan akhir resusitasi syok septik yaitu tercapainya normalisasi denyut jantung,
waktu pengisian kapiler < 2 detik, ekstremitas yang hangat, produksi urin yang cukup
(>1mL/kgbb/jam), skala kesadaran yang normal, serta kadar glukosa dan kalsium yang
normal. Tujuan akhir lainnya yang juga digunakan pada populasi dewasa yaitu
berkurangnya kadar laktat serum serta defisit basa, ScvO2 > 70% atau SvO2 > 65%,
CVP 8-12 mmHg atau dengan metode lainnya untuk menilai fungsi pengisian jantung,
yaitu mencapai dan mempertahankan Cardiac Index 3,3 6 L/menit/m2. Target
pencapaian ScvO2 > 70%, didukung pula dengan transfuse PRC bila hematokrit kurang
dari 30%, maupun dengan pemberian inotropik. Untuk pemberian transfusi, sebuah
penelitian multisenter terandomisasi mendapatkan bahwa batas ambang transfusi Hb 7
g/dL dibandingkan dengan ambang batas Hb 9,5 g/dL, ternyata memberikan
outcome yang sama. Namun, dalam rangka memperbaiki penghantaran oksigen ke
jaringan, Hb dipertahankan di atas 10 g/dL.
Target-target di atas diharapkan tercapai dalam 6 jam sejak pasien masuk unit
gawat darurat maupun pada tempat perawatan intensif, ternyata berhasil menurunkan
morbiditas dan mortalitas akibat sepsis, sepsis berat, dan syok septik.

32

Implementasi EGDT di Rumah Sakit


EGDT merepresentasikan penatalaksanaan kegawatdaruratan yang terbukti
memperbaiki prognosis pasien dengan sepsis berat dan syok septik. Namun
pelaksanaannya kadang masih belum sesuai dengan protokol yang ada, dengan latar
belakang bervariasi. Pada saat ini, berbagai kendala yang ditemukan dalam
implementasi EGDT yaitu kurangnya pemahaman tentang patofisiologi sepsis, teori
yang mendasari EGDT, serta kurangnya keterampilan maupun penguasaan prosedur
medis dan teknis yang dilakukan dalam penanganan pasien dengan sepsis berat dan
syok septik.15 Selain itu, model rumah sakit, sarana serta prasarana yang ada juga
berperan terhadap keberhasilan implementasi EGDT. Agar implementasinya konsisten
dan terorganisir, diperlukan suatu model protokol yang disesuaikan dengan sumber daya
manusia, sarana dan prasarana penunjang di rumah sakit tersebut. Implementasinya di
rumah sakit dikatakan dapat mereduksi biaya-biaya hingga 23,4%. Efektivitas biaya ini
dapat tercapai bila EGDT dilakukan mulai di unit gawat darurat atau ruang perawatan
intensif dengan respon tim yang cepat.
Untuk implementasi EGDT secara optimal, maka diperlukan dukungan mutlak
institusi dalam hal penyediaan sarana dan prasarana. Klinisi juga diharapkan
meningkatkan keterampilan dalam prosedur tindakan yang diperlukan dalam
implementasi EGDT.
II.12 PROGNOSIS
Keseluruhan angka kematian pada pasien dengan syok septik menurun dan
sekarang rata-rata40% (kisaran 10 to 90%, tergantung pada karakteristik pasien). Hasil
yang buruk sering mengikuti kegagalan dalam terapi agresif awal (misalnya, dalam
waktu 6 jam dari diagnose dicurigai). Setelah laktat asidosis berat dengan
asidosis metabolik decompensated menjadimapan, terutama dalam hubungannya dengan
kegagalan multiorgan, syok septik cenderung ireversibel dan fatal.

33

BAB III
KESIMPULAN
Sepsis adalah kumpulan gejala sebagai manifestasi respon sistemik (systemic
inflammatory response sindrom / SIRS ) terhadap infeksi. Respon inflamasi sistemik
adalah keadaan yang melatarbelakangi sepsis. Respon ini tidak hanya disebabkan oleh
adanya bakteremia , tetapi juga oleh sebab lain.
Dapat dikatakan sepsis bila terdapat SIRS (systemic inflammatory response
sindrom)ditambah dengan infeksi yang diketahui ( ditemukan dengan biakan positif
terhadap organisme daritempat tersebut).
Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak
toksik,takikardia, takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai terjadinya
sepsis(tersangka sepsis). Pada keadaan sepsis gejala yang nampak adalah gambaran
klinis keadaan tersangkasepsis disertai hasil pemeriksaan penunjang berupa lekositosis
atau lekopenia,trombositopenis, granulosit toksik, hitung jenis bergeser ke kiri, CRP (+),
LED meningkatdan hasil biakan kuman penyebab dapat (+) atau (-).
Faktor Resiko antara lain : jenis kelamin laki-laki, cacat imun didapat atau
kongenital galaktosemia (Escherichia coli), pemberian besi intramuskular (Escherichia
coli), anomaly kongenital (saluran kencing asplenia, myelomeningokel, saluran sinus),
amfalitis dan kembar (terutama kembar dua dari janin yang terinfeksi) , prematuritas
Derajat Sepsis diantaranya adalah : Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS) , Sepsis : Infeksi disertai SIRS , Sepsis Berat : Sepsis yang disertai MODS/MOF,
hipotensi, oliguria bahkan anuria. Sepsis dengan hipotensi : Sepsis dengan hipotensi
(tekanan sistolik <90 mmHg ataupenurunan tekanan sistolik >40 mmHg) , Syok septik
Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai hipotensi yang
diinduksisepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai
hipoperfusi jaringan.
Keadaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tanda-tanda
syok (nadi cepat dan lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan produksi urin,
danpenurunan tekanan darah). Keadaan syok sepsis merupakan kegawatdaruratan klinik
yang membutuhkan reaksicepat untuk menyelamatkan nyawa pasien.
Terapi yang diberikan berupa resusitasi, eliminasi sumber infeksi, terapi
antimikroba, dan terapi suportif dengan tujuan Menetapkan pathogen, Inisiasi awal dari

34

terapi antimikrobial yang agresi, Menghentikan kemungkinan terjadinya shok sepsis,


Menghindari kegagalan organ . Hasil yang buruk sering mengikuti kegagalan dalam
terapi agresif awal (misalnya, dalam waktu 6 jam dari diagnose dicurigai).

35

DAFTAR PUSTAKA

36

Вам также может понравиться