Вы находитесь на странице: 1из 4

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

IMPETIGO BULOSA
Dibuat oleh: Elba Nurdiansyah,Modifikasi terakhir pada Thu 26 of Aug, 2010 [07:31 UTC]
Abstrak
Impetigo adalah infeksi piogenik superfisial dan mudah menular yang terdapat dipermukaan
kulit. Infeksi ini disebabkan oleh streptokok dan stafilokok, dan berpindah dari manusia ke
manusia melalui kontak, terutama antara anak-anak. Terdapat dua bentuk klinis impetigo, yaitu
impetigo kontagiosa tilbury fox (nonbullous) dan impetigo bulosa. Impetigo bulosa disebabkan
oleh S aureus galur grup II tipe faga 71 yang masuk kedalam lapisan kulit. Impetigo umumnya
mengenai anak usia 2-5 tahun. Impetigo menyebar melalui kontak langsung dengan lesi (daerah
kulit yang terinfeksi). Impetigo dapat timbul sendiri (primer) atau komplikasi dari kelainan lain
(sekunder) baik penyakit kulit (gigitan binatang, varizela, infeksi herpes simpleks, dermatitis
atopi) atau penyakit sistemik yang menurunkan kekebalan tubuh (diabetes melitus, HIV).
Seorang ibu datang mengeluh pada badan anaknya terutama ketiak dan kaki kirinya terdapat
luka seperti kulit melepuh yang sudah ada sejak 1 minggu yang lalu. Awalnya luka tersebut
berupa benjolan berisi cairan dan berada diketiak terlebih dahulu, kemudian pecah dan
membekas. Dari pemeriksaan fisik didapatkan bula lentikular sampai numular dengan batas
tegas, multipel disertai erosi, krusta kecoklatan diregio axillaris dan cruris sinistra.
Kata Kunci : Impetigo bulosa, infeksi, bula
Kasus
Seorang Ibu datang dengan membawa anaknya yang berusia 4 tahun, mengeluh pada badan
anaknya terutama ketiak dan kaki kirinya terdapat luka seperti kulit melepuh yang sudah ada
sejak 1 minggu yang lalu. Awalnya luka tersebut berupa benjolan berisi cairan dan berada
diketiak terlebih dahulu, kemudian pecah dan membekas. Ibu pasien kemudian membawa
anaknya ke bidan untuk pengobatan namun keluhan tidak membaik. Anak merasakan perih pada
lukanya. Tidak ada riwayat alergi ataupun penyakit lainnya sebelumnya.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan Keadaan Umum baik, kesadaran compos mentis.
Pemeriksaan fisik secara umum dalam batas normal. Status Dermatologi bula lentikular sampai
numular dengan batas tegas, multipel disertai erosi, krusta kecoklatan diregio axillaris dan cruris
sinistra.
Diagnosis
Impetigo Bulosa
Terapi
Pasien mendapat terapi antibiotik sirup berupa sefadroksil 2 kali sendok makan, antibiotik
topikal mupirocin zalf 3 kali dalam sehari dan antihistamin loratadine sirup 1 kali 1 sendok teh.
Pasien juga diberikan sabun antiseptik dettol. Selain itu ibu pasien juga diedukasi untuk
menghilangkan krusta dengan cara mandikan anak selama 20-30 menit ditambah larutan
antiseptik, disertai mengelupaskan krusta dengan handuk basah, mencegah anak untuk
menggaruk daerah lecet, menutup daerah yang lecet dengan perban tahan air dan memotong

kuku anak.
Diskusi
Tempat predileksi tersering pada impetigo bulosa adalah di ketiak, dada, punggung. Sering
bersama-sama dengan miliaria. Impetigo bulosa ditandai oleh pembentukan vesikel yang timbul
sampai bulla dengan kulit sekitar normal atau kemerahan. Pada awalnya vesikel berisi cairan
yang jernih yang berubah menjadi berwarna keruh. Atap dari bulla pecah dan meninggalkan
gambaran collarette pada pinggirnya. Krusta varnishlike terbentuk pada bagian tengah yang
jika disingkirkan memperlihatkan dasar yang merah dan basah.
Diagnosis impetigo dapat ditegakkan dengan melihat perjalanan penyakit dan penampilan
klinis dari lesi. Dilihat dari perjalanan penyakit, impetigo non bulosa dan bulosa dapat kita
bedakan antara lain pada lesi non bulosa, lesi dimulai dengan adanya pustula kecil yang
berkembang cepat menjadi bentuk krusta berwarna kekuningan seperti madu dimana biasanya
lesi berukuran dengan d < 2 cm. Bercak-bercak pada kulit biasa ditemukan pada area yang
mudah terpajan seperti pada muka dan ekstremitas dimana gigitan, abrasi, laserasi, garukan, luka
bakar atau trauma dapat terjadi. Terjadi penyebaran secara cepat dan lesi biasanya bersifat
asimptomatik dengan gatal sesekali. Terdapat regional limfadenopati pada 90% pasien impetigo.
Sedangkan pada lesi bulosa, bula memiliki atap yang tipis sehingga mudah untuk pecah secara
spontan, lesi bulosa biasanya menyebar lokal pada wajah, ekstremitas, pantat atau perineum dan
lesi ini dapat menjadi infeksi sekunder sehingga menambah berat terhadap lesi yang sebelumnya
ada dan menjadi lesi yang lebih luas dan regional adenopati tidak terjadi.
Patogen primer yang menjadi penyebab impetigo berubah dari dekade ke dekade.
Staphylococcus telah menjadi agen penyebab pada impetigo non bulosa sampai pertengahan
1960. Kemudian, Streptokokus beta hemolitik grup A menjadi penyebab yang dominan Sejak
awal tahun 1980, S.aureus menjadi agen patogen dominan kembali. Sedangkan S aureus selalu
menjadi penyebab impetigo bulosa.
Pada lesi non bulosa kebanyakan lesi disebabkan oleh S.aureus dan GABHS, hasil dari kultur
dan frekuensi relatif dari setiap agen patogen dapat memliki variasi perbedaan tergantung dari
daerah geografis, iklim, dan usia dari host. S. aureus dapat dikultur dari lesi impetigo pada anak2
segala usia,k ecuali untuk daerah endemis, GABHS jarang terjadi pada anak usia <2th tetapi
sering ditemukan pada usia anak2 TK. Sedangkan pada lesi bulosa, impetigo bulosa sering
disebabkan oleh S aureus grup 2 dengan menghasilkan toxin eksfoliatif A dan B yang akan
menyebabkan adhesi sel pada lapisan superfisial dari epidermis, memecah lapisan stratum
granulare dan membentuk blister.
Penatalaksanaan dari impetigo meliputi perawatan luka baik secara topikal maupun
pemberian antibiotik sistemik. Tujuan pengobatan impetigo adalah menghilangkan rasa tidak
nyaman dan memperbaiki kosmetik dari lesi impetigo, mencegah penyebaran infeksi ke orang
lain dan mencegah kekambuhan. Pengobatan harus efektif, tidak mahal dan memiliki sedikit efek
samping. Antibiotik topikal (lokal) menguntungkan karena hanya diberikan pada kulit yang
terinfeksi sehingga meminimalkan efek samping. Kadangkala antibiotik topikal dapat
menyebabkan reaksi sensitifitas pada kulit orang-orang tertentu. Untuk perawatan luka,
bersihkan lesi dengan menggunakan larutan antiseptik. Bila lesi basah, lesi bisa dikompres
dengan larutan permanganas kalikus 1/10.000 atau dengan antiseptik lainnya. Terapi antibiotik
topikal menjadi pertimbangan sebagai pilihan terapi untuk individu dengan impetigo terlokalisasi
yang tidak berkomplikasi diantaranya adalah Mupirocin (bactroban) diketahui dapat
membersihkan 52-68% pasien dengan kolonisasi S aureus yang resisten terhadap methicilin.

Mupirocin bekerja dengan cara menghambat dari sinteris protein dari bakteri. Selain itu
Retapamulin (Altabax) merupakan antimikroba topikal terbaru dan diindikasikan untuk terapi
impetigo terlokalisasi pada anak yang memiliki usia > 9 th. Hal ini telah ditunjukkan dengan
aktivitasnya yang sangat baik secara in vitro untuk S.aureus yang resisten terhadap mupirocin.
Mekanismenya dengan menghambat sintesis protein dengan mengikat subunit 50S pada ribosom.
Untuk penggunaan antibiotik sistemik, ada beberapa golongan antibiotik sistemik yang dapat
dipakai antara lain Cephalexin, merupakan antibiotika golongan sefalosporin generasi pertama
yang biasa digunakan untuk pengobatan impetigo dan infeksi kulit lainnya. Mekanismenya
aksinya adalah dengan menghambat sintesi dinding bakteri. Pada dewasa dapat diberikan
4x500mg sedangkan pada anak-anak 25-50mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis. Kemudian
Amoxicillin dan Klavulanat diamana Amoxicillin menghambat sintesis dinding sel bakteri
dengan mengikat protein ikatan penisilin. Klavulanat menghambat beta laktamase penghasil
bakteri. Dosis dewasa 2x500mg, sedangkan untuk anak 20-45 mg/kgbb/hari. Ada juga
dicloxacillin yang bekerja dengan mengikat pada satu atau lebih protein pengikat penisilin
sekaligus menghambat sintesis dinding sel bakteri. Dosisnya untuk dewasa adalah 4x125-500mg
diberikan sebelum makan, sedangkan untuk anak 25mg/kgbb/hari. Eritromycin juga dapat
dipakai untuk menghambat pertumbuhan bakteri, dosisnya 4x500 mg per hari. Efektivitasnya
kurang dibandingkan dengan obat gol.lainnya. Obat ini cepat menyebabkan resistensi. Sering
menimbulkan rasa tidak enak di lambung. Selain itu, Klindamicin dan Linkomisin dapat dipakai
juga pada pengobtan kasus impetigo. Dosis linkomisin 3x500 mg sehari. Klindamisin diabsorbsi
lebih baik karena itu dosisnya lebih kecil yakni 4x150 mg untuk dewasa dan 10-30 mg/kgbb/hari
untuk anak. Efek sampingnya adalah dapat menyebabkan kolitis pseudomembranosa.
Pada pasien ini, berdasarkan keluhan, manifestasi dan diagnosinya maka diberi terapi
sefadroksil sirup 2 x C sebagai antibiotik sistemik dikarenakan pasien sudah ada riwayat
pengobatan sebelumnya, mupirocin salep sebagai antibiotik topikal dan larutan antiseptik untuk
membersihkan lesi dan loratadine 1x1 cth untuk mengurangi pruritus .
Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam dua minggu walaupun tidak diobati.
Komplikasi berupa radang ginjal pasca infeksi streptokokus terjadi pada 1-5% pasien terutama
usia 2-6 tahun dan hal ini tidak dipengaruhi oleh pengobatan antibiotik. Gejala berupa bengkak
dan tekanan darah tinggi, pada sepertiga terdapat urin seperti warna teh. Keadaan ini umumnya
sembuh secara spontan walaupun gejala-gejala tadi muncul.
Komplikasi lainnya yang jarang terjadi adalah infeksi tulang (osteomielitis), radang paru-paru
(pneumonia), selulitis, psoriasis, Staphylococcal scalded skin syndrome, radang pembuluh limfe
atau kelenjar getah bening.
Kesimpulan
Impetigo adalah infeksi piogenik superfisial dan mudah menular yang terdapat dipermukaan
kulit. Infeksi ini disebabkan oleh streptokok dan stafilokok, dan berpindah dari manusia ke
manusia melalui kontak, terutama antara anak-anak. Dari hasil anamnesis didapatkan bahwa
terdapat luka seperti kulit melepuh pada ketiak dan kaki kirinya. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan bula lentikular sampai numular dengan batas tegas, multipel disertai erosi, krusta
kecoklatan diregio axillaris dan cruris sinistra. Berdasarkan data tersebut dapat ditegakkan
diagnosis impetigo bulosa pada pasien ini. Pengobatannya terdiri dari pemberian antibiotik baik
sistemik maupun topikal dan antihistamin untuk mengurangi rasa gatal yang dirasakan pasien.
Selain itu penting juga untuk memberikan edukasi kepada ibu pasien untuk menjaga kebersihan
diri pasien dan perawatan lukanya.

Referensi
- Djuanda, A., 2002. Pyoderma dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 4. Penerbit FKUI :
Jakarta.
- Lewis, L.S., 2009. Impetigo. Diakses tanggal 4 Desember 2009 dari http://www.emedicine.com
- Marwali H., 2000. Impetigo Bulosa dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin 1st edition.
Penerbit Hipokrates : Jakarta.
- Price, A.S., Wilson L.M, 1995. Infeksi Kulit dalam Patofisiologi Buku 2 edisi 4. Penerbit EGC :
Jakarta.

Вам также может понравиться