Вы находитесь на странице: 1из 66

Artikel Jilbab Wanita Muslimah (I)

July 27, 2003. Dikirim dalam Uncategorized | Comments Off


Perintah memakai jilbab bagi wanita muslimah telah Allah firmankan dalam kitab-Nya yang
mulia Al-Quran dan hadits rasul-Nya.Kedudukan mengenakan jilbab (busana wanita muslimah)
dihukumi wajib sama kedudukannya dengan shalat , puasa, zakat, haji(bagi yang mampu).Dan,
jilbab ini bila ditinggalkan (diacuhkan) oleh seorang wanita yang mengaku dirinya memeluk
agama islam maka bisa mengakibatkan pelakunya terseret dalam salah satu dosa besar karena
kedudukannya yang wajib maka bila ditinggalkan akan mendapatkan adzab, laknat dan murka
Allah subhanahuwataala.Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Shahih riwayat Muslim:

Ada dua golongan penduduk neraka dari ummatku, tetapi aku belum pernah melihat keduanya:
Wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, yang berlenggak-lenggok dan memiringkan
kepala mereka seperti punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium
baunya. Dan dimana sekelompok laki-laki bersama mereka yang membawa cemeti seperti ekor
sapi yang mereka gunakan untuk memukuli atau menyambuki hamba-hamba Allah tersebut

Hadits Muslim nomor 2128 yang berbunyi:


Diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi shalallahu alaihi wassalam bersabda: Ada dua
kelompok ahli neraka yang aku belum pernah melihat keduanya Seorang laki-laki yang
mempunyai cemeti/cambuk seperti ekor sapi. Mereka mencambuki manusia dengannya dan para
wanita yang berpakaian tetapi telanjang,bergoyang-goyang dan berlenggak-lenggok , kepala
mereka ( ada sesuatu) seperti punuk unta yang bergoyang-goyang. Mereka tidak akan masuk
surga dan tidak akan mencium baunya padahal bau surga itu dapat dicium dari jarak sekian dan
sekian

Sedangkan hadits lain yang diriwayatkan Imam Ahmad 2/223 berbunyi :


Pada akhir ummatku nanti akan muncul kaum laki-laki yang menaiki pelana seperti layaknya
kaum laki-laki, mereka turun kemasjid-masjid, wanita-wanita mereka berpakaian tetapi laksana
telanjang, diatas kepala mereka (ada sesuatu) seperti punuk unta yang lemah gemulai. Laknatlah
mereka, karena sesungguhnya mereka adalah wanita-wanita yang terlaknat

Hadits Riwayat Ahmad dan Al-Haitsami mengatakan rijal Ahmad adalah rijal Shahih
Sebelum saya menyampaikan dalil-dalil dari Al-Quran dan hadits nabi tentang wajibnya

mengenakan jilbab saya juga melampirkan keterangan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh seorang wanita muslimah ketika memakai jilbabnya (tentunya dengan dalil dari hadits yang
shahih). Sebagaimana yang telah kita ketahui dalam kaidah ushul fiqih bahwa apabila suatu
syarat dalam ibadah tidak dipenuhi maka ibadahnya tersebut tidak sah/tertolak. Misalnya seorang
yang shalat tanpa menghadap kiblat atau tanpa berbusana(telanjang) maka shalatnya tidak sah
karena ada beberapa syarat yang tidak dipenuhinya. Begitupula halnya dengan memakai jilbab
ini ada pula syarat-syaratnya yang harus dipenuhi agar memakai jilbab ini diterima dan dirihai
Allah Dan mudah-mudahan dengan rahmat-Nya karena ketaatan kita kepada Allah yang lebih
kita utamakan dari siapapun diatas muka bumi ini Allah akan memasukkan kita kedalam surgaNya yang abadi. Amin.

Maka sepatutnya bagi seorang wanita muslimah setelah mendapati dalil tentang wajibnya
mengenakan jilbab mematuhinya dan segera melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya untuk
menghindarkan dirinya dari murka Allah dan tentu saja siksa-Nya yang sangat pedih dineraka
bagi hamba-hamba-Nya yang melanggar perintah-Nya.

Saudariku fillah yang dirahmati Allah


Seorang wanita muslimah yang meyakini Allah sebagai Rabb-Nya dan Muhammad sebagai Nabi
dan Rasul-Nya maka konsekuensinya adalah dia harus mematuhi apa yang datang dari Allah dan
Rasul-Nya.Dan tidaklah patut bagi kita sebagai hamba-Nya memilih alternatif/alasan lain untuk
berpaling dari perintah-Nya sebab akan menyebabkan kita tersesat dari petunjuk-Nya
sebagaimana firman-Nya:

dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi wanita yang mukmin apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan(urusan) akan ada bagi mereka pilihan
yang lain tentang urusan mereka. Dan, barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata(Al-Ahzab:36)

Apabila seorang hamba telah sesat maka yang menjadi teman setia baginya adalah setan.
Karena didunia ini hanya ada dua pilihan menjadi hamba Allah (taat pada perintah dan menjauhi
laranganNya serta mengikuti sunnah NabiNya) atau hamba setan yaitu mengikuti hawa nafsunya
dan mematuhi seruan setan dengan meninggalkan seruan Allah dan rasul-Nya . Apabila hawa
nafsunya telah ditaati dan diikuti maka setanlah yang akan menjadi sahabat setianya sehingga
jauhlah dia dari hidayah-Nya dan petunjuk-Nya. Sebagaimana firman-Nya:

Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Rabb Yang Maha Pemurah (Al-Quran) kami
adakan baginya setan yang (menyesatkan) maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu
menyertainya.Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan
yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk (Az-Zukhruf :36-37)

Seringkali kita mendengar tentang nada-nada sumbang yang berkesan mengatakan bahwa jilbab
itu tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang serba modern dan canggih ini. Dimana kita
hidup diabad 21 yang penuh dengan teknologi modern dan serba bebas, sehingga apabila kita
mengenakan busana islami/jilbab maka kita akan ketinggalan zaman dan kuno(kolot). Patut
ditanyakan kembali kepada mereka apabila jilbab itu tidak lagi relevan/sesuai dengan
perkembangan zaman saat ini secara tidak langsung dia telah menyatakan bahwa Allah itu tidak
relevan lagi menjadi Rabbnya karena yang menurunkan perintah jilbab itu adalah Allah Rabbnya
seluruh makhluk dibumi dan dilangit.yang jelas-jelas termuat dalam kitab-Nya yang mulia AlQuranul karim bila dia mengingkari hakikat perintah jilbab tersebut berarti dia mengingkari AlQuran dan dengan dia mengingkari Al-Quran berarti dia telah mengingkari yang membuat hak
ciptanya yaitu Allah subhanahuwataala.Karena itu patut dicamkan dan direnungkan dengan hatihati sebelum kita mengeluarkan nada-nada sumbang yang aneh dengan alasan perkembangan
zaman.

Dalil Al-Quran Dan Hadits Yang Memerintahkan Kita Untuk Berjilbab


Dibawah ini saya sampaikan dalil-dalil yang menyuruh kita wanita muslimah untuk berjilbab.
Yaitu firman Allah subhanahu wataala dalam surat An-Nuur ayat 31:
katakanlah kepada wanita yang beriman:Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan
memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali
yang biasa nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada
mereka dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepad suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau puter-putera suami mereka,
atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara perempuan mereka atau wanita-wanita islam atau budak-budak yang mereka miliki atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita. Dan, janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang
yang beriman supaya kamu beruntung

Sebab turunnya ayat ini adalah sebagaimana yang diceritakan oleh Muqatil bin Hayan (dalam
Tafsir Ibnu Katsir) dia berkata:

Telah sampai berita kepada kami dan Allah Maha Tahu bahwa Jabir bin Abdullah Al-Anshari
telah menceritakan bahwa Asma binti Murtsid tengah berada ditempatnya di Bani Haritsah. Tibatiba banyak wanita menemuinya tanpa menutup aurat dengan rapi sehingga tampaklah gelanggelang kaki mereka, dada, dan kepang rambutnya. Asma berguman :Alangkah buruknya hal ini.
Maka Allah Taala menurunkan ayat ini

Diriwayatkan bahwa Aisyah radhiyallahu anha pernah berkata :


Semoga Allah merahmati wanita Muhajirin yang pertama yang tatkala Allah Taala menurunkan
ayat:Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedada mereka..mereka lantas
merobek kain tak berjahit (muruth) yang mereka kenakan itu, lalu mereka berkerudung
dengannya (dalam riwayat lain disebutkan: Lalu merekapun merobek sarung-sarung mereka dari
pinggir kemudian mereka berkerudung dengannya

Hadits Riwayat Bukhari (II:182 dan VIII:397) dan Abu Dawud dan Al-Hakim (IV/194)
Sedangkan riwayat dari Ibnu Abi Hatim lebih sempurna dengan sanadnya dari Shafiyah binti
Syaibah yang mengatakan:
Tatkala kami berada disamping Aisyah yang menyebutkan keutamaan wanita suku Quraisy, lalu
Aisyah berkata: Sesungguhnya kaum wanita suku Quraisy itu memiliki satu keutamaan . Dan,
aku demi Allah tiada melihat yang lebih utama daripada wanita-wanita Anshar dan yang lebih
membenarkan terhadap Kitabullah maupun keimanan terhadap Al-Quran. Tatkala diturunkan
surat An-Nuur ayat 31, maka para lelaki mereka (kaum Anshar) langsung kembali pulang menuju
mereka untuk membacakan apa yang baru saja diturunkan oleh Allah atas mereka , seorang lakilaki membacakan ayat tersebut kepada istrinya, putrinya, saudarinya serta kerabatnya. Tak
seorang wanitapun dari mereka melainkan lantas bangkit untuk mengambil kain yang biasa
dikenakan lalu digunakan untuk menutupi kepala (menjadikannya kerudung) dalam rangka
membenarkan dan mengimani apa yang telah diturunkan Allah dari Kitab-Nya. Lalu pada pagi
harinya dibelakang Rasulullah (menunaikan shalat shubuh) mereka mengenakan tutup kepala
(kerudung) seakan-akan diatas kepala mereka itu terdapat burung gagak

Ibnu Katsir menuturkan juga riwayat ini, demikian pula Al-Hafizh dalam Fathul Bari (VIII/490),
Imam Thabrani dalam Mujam Al-Kabir I/245-2 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Damsyiq (IV:461/243-1) Hadits ini diriwayatkan Bukhari dalam Tarikhnya secara ringkas dan juga oleh Abu
Zurah ia mengatakan hadits ini shahih

Artikel Jilbab Wanita Muslimah (II)


July 27, 2003. Dikirim dalam Uncategorized | 3 komentar
Juga firman Allah taaala dalam surat Al-Ahzab ayat 59 :
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang
mukmin:Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu
supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan, Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan berkata:


Allah Taala menyuruh Rasulullah shalallahu alaihi wassalam agar dia menyuruh wanita-wanita
mukmin , istri-istri ,dan anak-anak perempuan beliau agar mengulurkan jilbab keseluruh tubuh
mereka. Sebab cara berpakaian yang demikian membedakan mereka dari kaum wanita jahiliah
dan budak-budak perempuan. Jilbab berarti selendang/kain panjang yang lebih besar dari pada
kerudung. Demikian menurut Ibnu Masud, Ubaidah, Qatadah, dan sebagainya. Kalau sekarang
jilbab itu seperti kain panjang. Al-Jauhari berkata,Jilbab ialah kain yang dapat dilipatkan.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ummu Salamah dia berkata: Setelah ayat diatas turun, maka
kaum wanita Anshar keluar rumah dan seolah-olah dikepala mereka terdapat sarang burung
gagak. Merekapun mengenakan baju hitam
Az-Zuhri ditanya tentang anak perempuan yang masih kecil. Beliau menjawab menjawab:Anak
yang demikian cukup mengenakan kerudung, bukan jilbab
(lihat Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir ; jilid III hal:900-901 )
Lihat dalam Kitab Jilbab Wanita Muslimah karya Syaikh Al-Albani yang menjelaskan tafsir ayat
tersebut dengan mengatakan pada hal:91-92, 102-103 :
Tatkala ayat ini turun, maka wanita-wanita Ansharpun keluar rumah sekan-akan diatas kepalakepala mereka itu terdapat gagak karena pakaian (jilbab hitam) yang mereka kenakan
Dikeluarkan oleh Abu Dawud (II:182) dengan sanad Shahih. Disebutkan pula dalam kitab AdDuur (V:221) berdasarkan riwayat AbdurRazaq, Abdullah bin Humaid, Abu Dawud, Ibnul
Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih dari hadits Ummu Salamah dengan lafal :Tatkala
ayat ini turun, maka wanita-wanita Ansharpun keluar rumah seakan diatas kepala-kepala mereka
terdapat gagak lantaran pakaian (jilbab) yang mereka kenakan KataGhurban adalah bentuk
jamak dari Ghurab (gagak). Pakaian (jilbab) mereka diserupakan dengan burung gagak karena
warnanya yang hitam.

Dari hadits diatas dapat difahami bahwa mengenakan jilbab dengan warna gelap merupakan
sunnahnya wanita-wanita shahabiyah dan tentu saja istri-istri Nabi kita yang mulia. Dalil yang
lain adalah Hadits Shahih Riwayat Bukhari yang dimasukkan oleh Imam Syaukhani dalam
kitabul Libas dimana Rasulullah shalallahu alaihi wassalam memakaikan pakaian warna hitam
kepada Ummu Khalid lengkapnya adalah sebagai berikut :

Dan dari Ummu Khalid, ia berkata: Beberapa pakaian dibawa kepada Nabi diantaranya terdapat
pakaian berwarna hitam. Lalu Nabi bertanya: Bagaimana pandanganmu kepada siapa kuberikan
pakaian hitam ini?Lalu terdiamlah kaum itu. Kemudian Nabi bersabda :Bawalah kemari Ummu
Khalid, lalu aku dibawa kepada Nabi , kemudian ia memakaikan pakaian itu kepadaku dengan
tangannya sendiri, dan bersabda:selamat memakai dan semoga cocok! Dua kali. Lalu Nabi
melihat kepada keadaan pakaian itu dan mengisyaratkan tangannya kepadaku sambli berkata: Ya,
Ummu Khalid, ini bagus, ini bagus (sanna dalam bahasa Habasyah artinya: bagus)
(HR. Bukhari , Nailul Author, Imam Syaukhani,1/404-405)
Yang namanya jilbab adalah kain yang dikenakan oleh wanita untuk menyelimuti tubuhnya
diatas pakaian (baju) yang ia kenakan. Ini adalah definisi pendapat yang paling shahih(yang
paling benar).
Didalam menjelaskan definisi jilbab dikatakan terdapat 7 pendapat yang telah disebutkan oleh
Al-Hafizh dalam kitab beliau Fathul Bari (I:336), dan ini adalah salah satunya. Pendapat ini
juga diikuti oleh Imam Al-Baghawi dalam Tafsirnya (III:544) yang mengatakan:Jilbab adalah
pakaian yang dikenakan oleh wanita diatas pakaian biasa dan khimar(kerudung)

Ibnu Hazm (III:217) mengatakan:Jilbab menurut bahasa Arab yang disebutkan oleh Rasulullah
shalallahu alaihi wassalam adalah pakaian yang menutupi seluruh badan, bukan hanya
sebagiannya
Imam Al-Qurthubi menshahihkannya dalam kitab Tafsirnya.
Umumnya jilbab ini dikenakan oleh kaum wanita manakala ia keluar rumah. Ini seperti yang
diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani (Bukhari & Muslim) dan juga oleh perawi lainnya dari Ummu
Athiyah radhiyallahuanha bahwa ia berkata:
Rasulullah shalallahu alaihi wasslam memerintahkan kami agar keluar pada hari Idul Fitri
maupun Idul Adha , baik para gadis yang menginjak akil baligh, wanita-wanita yang sedang
haidh maupun wanita-wanita pingitan. Wanita-wanita yang haidh tetap meninggalkan shalat
namun mereka dapat menyaksikan kebaikan (mendengarkan nasehat) dan dakwah kaum
muslimin. Aku bertanya: Ya, Rasulullah, salah seorang dari kami ada yang tidak memiliki jilbab?
Beliau menjawab: Kalau begitu hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya(agar ia keluar
dengan berjilbab)!
(Hadits Shahih mutafaq alaih)

Syaikh Anwar Al-Kasymiri dalam kitabnyaFaidhul Bari (I:388) berkaitan dengan hadits ini
mengatakan:
Dapatlah dimengerti dari hadits ini bahwa jilbab itu dituntut manakala seorang wanita keluar
rumah dan ia tidak boleh keluar jika tidak mengenakan jilbab
Diantara beberapa madzhab /pendapat yang mengatakan berkenaan dengan ayat tersebut
diantaranya ada yang mengatakan bahwa pada dasarnya jilbab itu tidak diperintahkan manakala
orang-orang fasik sedang tidak lagi mengganggu, atau tatkala sudah hilang illat(sebab/alasan).
Jika sebab ini sudah hilang, maka hilanglah pula malul (akibatnya). Salah satunya adalah seperti
yang ditulis dalam buku Al-Quran dan Wanita ) hal:59:

Kami perlu mengingatkan riwayat-riwayat yang disebutkan berkenaan dengan keberadaan ayat
surat Al-Ahzab, bahwa pakaian wanita-wanita merdeka maupun budak dahulunya sama. Lantas
orang-orang fasik mengganggu mereka tanpa pandang dulu. Kemudian turunlah ayat ini yang
membedakan pakaian bagi wanita-wanita merdeka agar mereka dapat dikenal sehingga tidak
diganggu oleh orang-orang fasik itu. Dengan kata lain, persoalannya atau kepentingan darurat
pada masa tertentu

(Syaikh Albani berkata): seakan-akan ia ingin mengatakan: Sekarang ini sudah tidak ada lagi
kepentingan untuk mengenakan jilbab, karena sudah hilang penyebabnya. Menurutnya dengan
lenyapnya perbudakan dan kaum wanita sekarang ini sudah merdeka seluruhnya! Perhatikanlah
bagaimana kejahilan mengenai sebagian riwayat itu dapat berakibat hilangnya perintah AlQuran dan juga perintah Nabi sebagimana hadits Ummu Athiyah diatas

Syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika memakai jilbab:


Sebagaimana yang telah saya janjikan diatas mengenai syarat dalam memakai jilbab yang harus
dipenuhi oleh seorang wanita muslimah agar jilbabnya diterima Allah subhanahuwataala maka
wajib untuk memperhatikan hal-hal berikut ini.Yang dimana Syaikh Albani mengatakan dalam
bukunya Jilbab Wanita Muslimah hal :45

Penelitian kami terhadap ayat-ayat Al-Quran, Sunnah Nabi dan atsar-atsar Salaf dalam maslah
yang penting ini memberikan jawaban kepada kami bahwa seorang wanita keluar dari rumahnya,
maka ia wajib menutup seluruh anggota badannya dan tidak menampakkan sedikitpun
perhiasannya kecuali wajah dan dua telapak tangannya (bercadar lebih utama bila mau) maka ia
harus menggunakan pakaian yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Menutupi seluruh tubuh selain muka dan telapak tangan


Sebagaimana yang telah dibahas diatas tentang penafsiran surat An-Nuur ayat 31 dan Al-Ahzaab
ayat 59 tentang keharusan menutupi seluruh tubuhnya dengan jilbab maka akan saya jelaskan
beberapa tambahan secara terperinci diantaranya Firman Allah Taala:
Dan janganlah mereka itu memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan
Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla (II:216) mengatakan:
Ini merupakan nash bahwa kedua kaki dan betis itu termasuk anggota tubuh yang harus
disembunyikan (ditutup) dan tidak halal untuk ditampakkan
Sedangkan dari As-Sunnah, hal ini dikuatkan oleh hadist Ibnu Umar bahwa ia berkata:
Rasulullah bersabda :
Barangsiapa menghela pakaiannya lantaran angkuh, maka Allah tidak akan sudi melihatnya
pada hari kiamat. Lantas Ummu Salamah bertanya:Lalu, bagaimana yang mesti dilakukan oleh
kaum wanita denngan bagian ujung pakaiannya? Beliau menjawa: hendaklah mereka
menurunkan satu jengkal!Ummu Salamah berkata:Kalau begitu telapak kaki mereka terbuka
jadinya. Lalu Nabi bersabda lagi:Kalau begitu hendaklah mereka menurunkan satu hasta dan
jangan lebih dari itu!
(HR.Tirmidzi (III/47) At-Tirmidzi berkata hadits ini Shahih)
2. Bukan berfungsi sebagai perhiasan
Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nuur ayat 31 :
dan janganlah kaum wanita itu menampakkan perhiasan mereka
secara umum kandungan ayat ini juga mencakup pakaian biasa jika dihiasi sesuatu yang
menyebabkan kaum laki-laki melirikkan pandangan kepadanya. Hal ini dikuatkan oleh Firman
Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 33:
Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu
juga berdasarkan sabda Nabi :
Ada 3 golongan yg tidak akan ditanya (karena mereka sudah termasuk orang-orang yang binasa
atau celaka): Seorang laki-laki yang meninggalkan jamaah dan mendurhakai imamnya serta
meninggal dalam keadaan durhaka, seorang budak wanita/laki-laki yang melarikan diri dari
tuannya, serta seorangwanita yang ditinggal pergi oleh suaminya, padahal suaminya telah
mencukupi keperluan duniawinya namun setelah itu ia berhias/bertabarruj (berhias diluar rumah
bukan untuk suaminya )

(HR.Hakim (1/119) dan Ahmad (6/19) dari hadits Fadhalah bin Ubaid dengan sanad shahih)
Tabarruj adalah perilaku wanita yg menampakkan perhiasan dan kecantikan-nya serta segala
sesuatu yang wajib ditutup karena dapat membangkitkan syahwat laki-laki (Fathul Bayan 7/274)

Yang dimaksud dengan perintah mengenakan jilbab adalah menutup perhiasan wanita. Dengan
demikian tidaklah masuk akal jika jilbab itu sendiri berfungsi sebagai perhiasan. Seperti kejadian
yang sering kita lihat sendiri yaitu jilbab trendy model masa kini.
3. Kainnya harus tebal tidak tipis
Yang namanya menutup itu tidak akan terwujud kecuali harus tebal. Jika tipis maka hanya akan
semakin memancing fitnah (godaan) dan berarti menampakkan perhiasan. Sebagaimana sabda
Rasulullah :
Pada akhir ummatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang. Diatas
kepala mereka seperti terdapat punuk unta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka adalah
kaum yang terkutuk
(HR. Ahmad 2/223.Menurut Al-Haitsami rijal Ahmad adalah rijal shahih)
Ibnu Abdil Barr berkata:
Yang dimaksud Nabi adalah wanita yang mengenakan pakaian tipis, yang dapat
mensifati(menggambarkan) bentuk tubuhnya dan tidak dapat menutup atau
menyembunyikannya. Mereka itu tetap berpakaian namanya akan tetapi hakekatnya telanjang
(Dikutip oleh Imam As-Suyuti dalam Tanwirul Hawalik 3/103)
Dari Hisyam bin Urwah bahwasanya Al-Mundzir bin Az-Zubair datang dari Iraq, lalu
mengirimkan kepada Asma binti Abu Bakar sebuah pakaian Marwiyah (nama pakaian terkenal di
Iraq) dan Quhiyyah (tenunan tipis dan halus dari Khurasan). Peristiwa itu terjadi setelah Asma
mengalami kebutaan. Asma pun menyentuh dengan tangannya kemudian berkata:Cis!
Kembalikan pakaian ini kepadanya! Al-Mundzir merasa keberatan lalu berkata:Duhai Bunda,
sesungguhnya pakaian itu tidak tipis! Ia menjawab : Memang tidak tipis akan tetapi ia dapat
menggambarkan lekuk tubuh !
(Dikeluarkan oleh Ibnu Saad (8/184) isnadnya Shahih sampai kepada Al-Mundzir)
4. Harus Longgar, Tidak Ketat, Sehingga tidak Dapat Menggambarkan Sesuatu Dari Tubuhnya
Karena tujuan dari mengenakan pakaian adalah untuk menghilangkan fitnah. Dan, itu tidak
mungkin terwujud kecuali pakaian yang dikenakan oleh wanita itu harus longgar dan luas. Jika
pakaian itu ketat, meskipun dapat menutupi warna kulit, maka tetap dapat menggambarkan
bentuk tubuh atau lekuk tubuhnya, atau sebagian dari tubuhnya pada pandangan mata kaum lakilaki. Kalau demikian halnya maka sudah pasti akan menimbulkan kerusakan dan mengundang
kemaksiatan bagi kaum laki-laki. Dengan demikian, pakaian wanita itu harus longgar dan luas.

Usamah bin Zaid pernah berkata:


Rasulullah memberiku baju Qubthiiyyah yang tebal (biasanya baju Qubthiyyah itu tipis) yang
merupakan baju yang dihadiahkan oleh Dihyah Al-Kalbi kepada beliau. Baju itupun aku
pakaikan pada istriku. Nabi bertanya kepadaku :Mengapa kamu tidak mengenakan baju
Qutbiyyah ? aku menjawab: Aku pakaikan baju itu pada istriku.Nabi lalu
bersabda:Perintahkanlah ia agar mengenakan baju dalam di balik Qubthiyyah itu, karena saya

khawatir baju itu masih bisa menggambarkan bentuk tulangnya


(Dikeluarkan oleh Ad-DhiyaAl-Maqdisi dalam kitab Al-Hadits Al-Mukhtarah 1/441 Ahmad dan
Baihaqi dengan sanad hasan)
Diriwayatkan oleh Ummu Jafar binti Muhammad bin Jafar bahwasanya Fatimah binti
Rasulullah shalallahu alaihi wassalam berkata:
Wahai Asma! Sesungguhnya aku memandang buruk apa yang dilakukan kaum wanita yang
mengenakan baju yang dapat menggambarkan tubuhnya. Asma berkata:Wahai putri Rasulullah!
Maukah kuperlihatkan kepadamu sesuatu yang pernah aku lihat di negeri Habasyah? Lalu Asma
memabwakan beberapa pelepah daun kurma yang masih basah, kemudian ia bentuk menjadi
pakaian lantas dipakai. Fatimah pun berkomentar:Betapa baiknya dan eloknya baju ini, sehingga
wanita dapat dikenali(dibedakan) dari laki-laki dengan pakaian itu. Jika aku nanti sudah mati,
maka mandikanlah aku wahai Asma bersama Ali (dengan pakaian penutup seperti itu) dan jangan
ada seorangpun yang menengokku ! tatkala Fatimah meninggal dunia maka Ali bersama Asma
yang memandikannya sebagaimana yang dipesankan

(dikeluarkan oleh Abu Nuaim dalam kitab Al-Hilyah 2/43 dan ini adalah konteksnya
diriwayatkan pula oleh Al-Baihaqi.Ada riwayat dengan lafal lain dari Asma dikeluarkan oleh AtTabrani dalam Al-Ausath bahwasanya putri Rasulullah meninggal dunia. Mereka dalam
membawa mayat laki-laki maupun perempuan sama saja diatas dipan. Lalu Asma berkata: Ya,
rasulullah Saya pernah tinggal dinegeri Habasyah dimana penduduknya adalah nashara ahlul
kitab. Mereka membuatkan tandu jenazah untuk mayat perempuan, karena mereka benci
bilamana ada bagian dari tubuh wanita itu yang tergambarkan.Bolehkah aku membuatkan tandu
semisal itu untukmu? Beliau menjawab: buatkanlah! Asma adalah orang yg pertama kali
membuat tandu jenazah dalam islam yang mula-mula diperuntukkan buat Ruqayyah putri
Rasulullah)

Perhatikanlah sikap Fatimah yang merupakan bagian dari tulang rusuk Nabi
bagaimana ia memandang buruk bilamana sebuah pakaian itu dapat mensifati atau
menggambarkan tubuh seorang wanita meskipun sudah mati, apalagi jika masih hidup tentunya
jauh lebih buruk. Oleh karena itu hendaklah kaum muslimah zaman ini merenungkan hal ini,
terutama kaum muslimah yang masih mengenakan pakaian yang sempit dan ketat yang dapat
menggambarkan bulatnya buah dada, pinggang, betis dan anggota badan mereka yang
lain.Selanjutnya hendaklah mereka beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepadaNya serta
mengingat selalu akan sabda Nabi shalallahu alaihi wassalam:
Perasaan malu dan iman itu keduanya selalu bertalian. Manakala salah
satunya lenyap, maka lenyaplah pula yang satunya lagi
(Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Mustadraknya dari Abdullah bin Umar,dan Al-Haitsami
dalam Al-Majma III:26)

5. Tidak Diberi Wewangian atau Parfum


Dari Abu Musa Al-Asyari bahwasanya ia berkta Rasulullah bersabda :
Siapapun perempuan yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka
mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina
(HR.An-Nasai II:38,Abu dawud II:92, At-Tirmidzi IV:17, At-Tirmidzi menyatakan hasan shahih)
Dari Zainab Ats-Tsaqafiyah bahwasanya Nabi bersabda :
Jika salah seorang diantara kalian (kaum wanita) keluar menuju masjid,
maka janganlah sekali-kali mendekatinya dengan memakai parfum
(HR. Muslim dan dalam Ash-shahihah 1094)
Syaikh Albani berkata:
Jika hal itu saja diharamkan bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid lalu apa hukumnya
bagi yang keluar menuju pasar atau tempat keramaian lainnya? Tidak diragukan lagi bahwa hal
itu jauh lebih haram dan lebih besar dosanya. Al-Haitsami dalam kita Az-Zawajir II:37
mengatakan bahwa keluarnya
seorang wanita dari rumahnya dengan memakai parfum dan berhias adalah
termasuk dosa besar walaupun sang suami mengijinkannya
6. Tidak Menyerupai Pakaian Wanita Kafir
Dari Abdullah bin Amru bin Ash dia berkata:
Rasulullah melihat saya mengenakan dua buah kain yang dicelup dengan warna ushfur, maka
beliau bersabda: Sungguh ini merupakan pakaian orangorang kafir maka jangan memakainya
(HR. Muslim 6/144, hadits Shahih)
Jelaslah sudah Rasulullah telah memberikan rambu-rambu yang harus ditaati ummatnya
khususnya wanita muslimah. Mudah-mudahan Allah memberikan hidayah-Nya kepada kita
untuk mampu melaksanakan apa yang diperintahkanNya. Amin. Wallahualam bishawwab.

Dapat Kerja Tapi Tidak Boleh Mengenakan Jilbab ketegori Muslim. Assalamualaikum pak
Ustadz,
Isteri saya dapat kerja di toko HP, tapi tidak
boleh menggunakan jilbab, halalkah rezeki yang dihasilkan, Pak Ustadz? Untuk

informasi saat ini sehari-hari istri saya belum menutup aurat, namun jika pergi
menggunakan jilbab.
Terima kasih atas jawaban, Pak Ustadz.
WAssalamualaikum,
Syahril Rozali
Jawaban
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh,
Sebenarnya tidak ada kaitan langsung antara melepas
jilbab dengan kehalalan gaji yang diterima. Selama gaji itu
didapat dari kerja yang jujur, tidak menipu, tidak menggelapkan dan dari hasil
memeras keringat sendiri.
Seandainya istri Anda bekerja tanpa menutup aurat,
lalu mendapat gaji, maka gajinya halal untuk dimakan. Namun dia berdosa atas
perilakunya mem
gumbar aurat di hadapan laki-laki asing.
Dan Anda sendiri juga berdosa bila membiarkannya
membuka aurat. Sebab kewajiban seorang suami atas istrinya yang utama adalah
mencegahnya dari perilaku dosa dan maksiat kepada Allah. Dalam hal ini, tidak
ada istilah hak asasi atau kebebasan untuk memilih. Setiap wanita bila sudah
baligh, maka wajib atasnya menutup auratnya dari pandangan laki-laki non mahram.
Sebagai suami, bila sampai mendiamkan istri
melakukan kemaksiatan nyata seperti itu, maka Anda pun harus menanggung dosa
juga. Sebab mencegah kemaksiatan yang dilakukan istri merupakan kewajiban suami
juga. Sebagaimana firman Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.
Maka sebagai suami, Anda tidak boleh mengizinkan
istri Anda itu bekerja, bila sampai harus mengumbar auratnya. Laki-laki yang

demikian, di dalam Islam disebut sebagai dayyuts, yaitu laki-laki yang


tidak punya rasa cemburu ketika aurat istrinya dilihat orang lain.
Dan yang paling besar dosanya adalah pihak yang
punya toko handphone itu. Apalagi kalau agamanya Islam. Sebab seorang muslim
seharusnya tahu bahwa Allah SWT telah mewajibkan wanita muslimah yang sudah
baligh untuk menutup aurat. Apapun keadaannya. Melarang wanita muslimah menutup
auratnya merupakan dosa besar dan diancam dengan azab yang pedih.
Semoga Allah SWT menjauhkan kita semua dari
siksa-Nya yang sangat pedih itu. Amien
wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.

JILBAB YANG SESUAI DENGAN SYARIAT


penulis Dinukilkan dari kitab Nashihati Lin Nisa karya Ummu Abdillah Al-Wadiiyyah hafid
Sakinah Muslimah Berta 29 - Juni - 2003 15:08:32
Ustadzah saya mempunyai pertanyaan dan mohon utk dijawab:
Bagaimana jilbab yg sesuai dgn syariat? Mohon penjelasan jazakillah khairan.
Halimah
asy-syauqiyyah@plasa.com
Jawab :
Jilbab yg sesuai dgn syariah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
Menutupi seluruh badan
Tidak diberi hiasan-hiasan hingga mengundang pria utk melihatnya
berfirman :Allah

Katakanlah kepada wanita-wanita yg beriman: hendaklah mereka menundukkan pandangan


mata dan menjaga kemaluan mereka dan jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yg
biasa nampak darinya. Hendaklah mereka meletakkan dan menjulurkan kerudung di atas kerah
baju mereka
Tebal tdk tipis
bersabda :Rasulullah
Akan ada nanti di kalangan akhir umatku para wanita yg berpakaian tapi hakikat mereka
telanjang
bersabda ;Kemudian beliau
laknatlah mereka krn sesungguh mereka itu terlaknat.
Kata Ibnu dlm sabda adl para wanita ygAbdil Baar t: Yang dimaksud Nabi mengenakan
pakaian dari bahan yg tipis yg menerawangkan bentuk badan dan tdk menutupi mk wanita
seperti ini istilah saja mereka berpakaian tapi hakikat mereka telanjang.
Lebar tdk sempit
Usamah bin Zaid c berkata: memakaikan aku pakaian Qibthiyah yg tebal yg
dihadiahkanRasulullah oleh Dihyah Al Kalbi kepada beliau mk aku memakaikan pakaian itu
kepada bertanya: Mengapa engkau tdk memakaiistriku. Suatu ketika beliau pakaian
Qibthiyah itu? Aku menjawab: Aku berikan kepada istriku. Beliau berkata : Perintahkan
istrimu agar ia memakai kain penutup setelah memakai pakaian tersebut krn aku khawatir
pakaian itu akan menggambarkan bentuk tubuhnya.
Tidak diberi wangi-wangian
bersabda :Karena Rasulullah
Wanita mana saja yg memakai wangi-wangian lalu ia melewati sekelompok orang agar mereka
mencium wangi mk wanita itu pezina.
Tidak menyerupai pakaian laki-laki
melaknat laki2 yg memakai pakaian wanita dan wanita yg memakai pakaian laki-laki.Abu
Hurairah z mengatakan: Rasulullah
Tidak menyerupai pakaian wanita kafir
Karena dlm banyak sabda memerintahkan kita utk menyelisihi orang2Rasulullah kafir dan tdk
menyerupai mereka baik dlm hal ibadah hari raya/perayaan ataupun pakaian khas mereka.
Bukan merupakan pakaian utk ketenaran yakni pakaian yg dikenakan dgn tujuan agar
terkenal di kalangan manusia sama saja apakah pakaian itu mahal/ mewah dgn maksud utk

menyombongkan diri di dunia atau pakaian yg jelek yg dikenakan dgn maksud utk
menampakkan kezuhudan dan riya.
Berkata Ibnul Atsir: Pakaian yg dikenakan itu masyhur di kalangan manusia krn warna berbeda
dgn warna-warna pakaian mereka hingga manusia mengangkat pandangan ke arah jadilah orang
tadi merasa bangga diri dan bersabda:sombong. Rasulullah
Siapa yg memakai pakaian utk ketenaran di dunia mk Allah akan memakaikan pakaian
kehinaan pada hari kiamat kemudian dinyalakan api padanya.
Demikian kami nukilkan jawaban utk saudari dari kitab Jilbab Al Marah Al Muslimah yg
ditulis oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani t. Adapun pertanyaan-pertanyaan saudari
yg lain Insya Allah akan kami jawab dlm rubrik Mutiara Kata pada edisi-edisi mendatang.
Wallahu alam.
Melihat laki2 dari Balik Kerudung
Bolehkah seorang wanita melihat sekumpulan laki2 dari balik kerudungnya? Mohon jawaban
jazakumullah khairan.
Akhwat di Kroya
Jawab:
berfirman :Allah
Katakanlah kepada kaum mukminin hendaklah mereka menundukkan pandangan-pandangan
mereka dan menjaga kemaluan mereka yg demikian itu lbh suci bagi mereka. Sesungguh Allah
Maha Mengabarkan terhadap apa yg mereka perbuat
bersabda :Rasulullah
maka zina mata itu adl dgn memandang.
Ulama sepakat sebagaimana dinukilkan Imam Nawawi t dlm Syarah Muslim bahwasa
memandang laki2 dgn syahwat haram hukumnya.
Sebagian ulama membolehkan utk memandang laki2 secara mutlak. Mereka berdalil dgn kisah
Aisyah x yg melihat orang2 Habasyah yg sedang bermain tombak di masjid sampai ia bosan dan
berlalu.
Imam Nawawi t menjawab dalil mereka ini bahwasa peristiwa itu mungkin terjadi ketika Aisyah
belum baligh.
Namun Al Hafidz Ibnu Hajar t membantah dgn mengatakan ucapan Aisyah menutupi dgn
selendang beliau menunjukkan peristiwa inibahwa Nabi terjadi setelah turun perintah hijab.

Imam Nawawi t memberi kemungkinan yg lain beliau mengatakan: Dimungkinkan Aisyah hanya
memandang kepada permainan tombak mereka bukan memandang wajah-wajah dan tubuh-tubuh
mereka. Dan bila pandangan jatuh ke wajah dan tubuh mereka tanpa sengaja bisa segera
dipalingkan ke arah lain saat itu juga.
Dengan demikian hendaklah seorang wanita memiliki rasa malu dan jangan membiarkan
pandangan mata jatuh kepada sesuatu yg tdk diperkenankan bagi termasuk memandang laki2 yg
bukan mahramnya.
Wallahu taala alam bishawwab.
Demikian jawaban ini dinukilkan dari kitab Nashihati Lin Nisa karya Ummu Abdillah AlWadiiyyah hafidzahallah putri Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadii t.
Sumber: www.asysyariah.com

Artikel Kristiani: Jilbab Itu Kristiani


Posted on 12 Maret, 2010 by artikelislami
Sungguh menarik artikel yang dibuat oleh Artikel Kristiani tentang jilbab. Judul artikelnya
adalah Jilbab Itu Kristiani. Dalam artikel itu, ia mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan
orang Kristen yang suka mencela agama orang lain dan apaapa yang melekat pada agama
tersebut. Di antara hal yang mereka cela adalah jilbab.
Blogger Artikel Kristiani mempertanyakan, mengapa jilbab dicela dan dibenci? Apakah karena
jilbab itu budaya yang buruk? Dia berpendapat bahwa orang Kristen yang membenci jilbab itu
karena jilbab itu adalah busana Muslimah, dan ummat Islam adalah musuhnya.
Lalu Artikel Kristiani mengatakan bahwa sesungguhnya jilbab itu baik. Jika ia buruk, tentu
Gereja akan melarang pakaian serupa itu dikenakan di Gereja. Tetapi justeru Gereja berkenan
atas pakaian seperti itu dikenakan oleh wanita di Gereja. sebagaimana kita ketahui bahwa para
biarawati juga mengenakan pakaian seperti itu.
Dia bahkan berpendapat bahwa seharusnya, semua wanita yang ingin melakukan kebaktian di
Gereja, haruslah mengenakan penutup kepala, kecuali jika ia mau membotaki kepalanya.
Menurutnya, hal ini sesuai dengan apa yang diajarkan Paulus.
Apa manfaat dari mengenakan pakaian semacam itu? Artikel Kristiani menjelaskan bahwa
pakaian seperti itu akan menambah kekusukan dalam berdoa. Para pria yang datang ke Gereja
pun akan terselamatkan matanya dari berzina. Kehormatan Gereja juga akan terjaga. Kerukunan
antar umat beragama pun akan terjaga. Mungkin karena tidak ada lagi saling cela masalah jilbab.

Menurutnya, pakaian seperti itu adalah ajaran Yesus yang sejati. Itu bukan hanya milik agama
tertentu. Misalnya para bikuni. Mereka memang tidak memakai penutup kepala, tetapi mereka
mencukur rambut mereka seperti yang diajarkan Paulus. Kebaikan seperti ini adalah kebaikan
universal, menurut Artikel Kristiani. Siapa pun boleh menerapkannya. Siapa yang mencelanya,
berarti ia telah mencela kebaikan yang diakui oleh kebanyakan manusia. Jilbab atau tudung bagi
wanita bukan hanya milik Islam, bukan hanya milik Kristen, tetapi milik dunia. Begitu ia
menutup artikelnya.
Suatu artikel yang menarik. Bukan semata-mata karena artikelnya. Tetapi, karena si pembuat
artikelnya.
DIarsipkan di bawah: Fikrah | Ditandai: artikel kristiani, jilbab, jilbab itu kristiani, jilbab
kristiani, kristiani

Jilbab Wanita Muslimah


23-07-06
Oleh: Kontributor Special
Dewasa ini kita melihat banyak kaum muslimah yang tidak berjilbab dan apabila
ada yang berjilbab bukan dengan tujuan untuk menutup aurat-aurat mereka akan
tetapi dengan tujuan mengikuti mode, agar lebih anggun dan alasan lainnya.
Sehingga mereka walaupun berjilbab tetapi masih memperlihatkan bentuk tubuh
mereka dan mereka masih ber-tasyabbuh kepada orang kafir. Tidak hanya itu
mereka menghina wanita muslimah yang mengenakan jilbab yang syari, dengan
mengatakan itu pakaian orang kolot, pakaian orang radikal, dan mereka
mengatakan jilbab (yang syari) adalah budaya arab yang sudah ketinggalan
zaman, serta banyak lagi ejekan-ejekan yang tidak pantas keluar dari mulut
seorang muslim. Hal ini karena kejahilan dan ketidak pedulian mereka untuk
mencari ilmu tentang pakaian wanita muslimah yang syari. Untuk itu pada edisi ini
kami berusaha berbagi ilmu mengenai Jilbab Wanita Muslimah yang sesuai dengan
tuntunan syariat, artikel ini bukan saja khusus untuk kaum hawa, namun para
ikhwan, bapak, kakek juga berkewajiban untuk mempelajarinya dan memahami
serta mengamalkannya dengan cara mengajak saudari-saudari kita yang berada
dibawah tanggung jawabnya dan sekitarnya.

MELIPUTI SELURUH BADAN SELAIN YANG DIKECUALIKAN

Syarat ini terdapat dalam Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam surat An-Nuur
ayat 31, yang artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman.Hendaklah mereka
menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah
mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah
menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka
atau ayah suami mereka (mertua) atau putra-putra mereka atau putra-putra suami
mereka atau saudara-saudara mereka (kakak dan adiknya) atau putra-putra
saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka (keponakan)
atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayanpelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anakanak yang belum mengerti aurat wanita...
Juga Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam surat Al-Ahzab ayat 59, yang artinya:
Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri
orang mumin: Hendaklah mereka mengulurkann jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka
tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya: Janganlah kaum wanita
menampakkan sedikitpun dari perhiasan mereka kepada pria-pria ajnabi (yang
bukan mahram/halal nikah), kecuali yang tidak mungkin disembunyikan. Ibnu
Masud berkata : Misalnya selendang dan kain lainnya. Maksudnya adalah kain
kudung yang biasa dikenakan oleh wanita Arab di atas pakaiannya serat bagian
bawah pakiannya yang tampak, maka itu bukan dosa baginya, karena tidak
mungkin disembunyikan.
Al-Qurthubi berkata: Pengecualian itu adalah pada wajah dan telapak tangan. Yang
menunjukkan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah
bahwa Asma binti Abu Bakr menemui Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam
sedangkan ia memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah berpaling darinya dan
berkata kepadanya : Wahai Asma ! Sesungguhnya jika seorang wanita itu telah
mencapai masa haid, tidak baik jika ada bagian tubuhnya yang terlihat, kecuali ini.
Kemudian beliau menunjuk wajah dan telapak tangannya. Semoga Allah memberi
Taufik dan tidak ada Rabb selain-Nya.
BUKAN SEBAGAI PERHIASAN
Ini berdasarkan Firman Allah Ta'ala dalam surat An-Nuur ayat 31, yang artinya: Dan
janganlah kaum wanita itu menampakkan perhiasan mereka. Secara umum
kandungan ayat ini juga mencakup pakaian biasa jika dihiasi dengan sesuatu, yang
menyebabkan kaum laki-laki melirikkan pandangan kepadanya.
Hal ini dikuatkan oleh Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam surat Al-Ahzab ayat

33, yang artinya: Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu
berhias dan bertingkah laku seperti oang-orang jahiliyah.
Juga berdasarkan sabda Nabi shalallohu 'alahi wa sallam: Ada tida golongan yang
tidak akan ditanya yaitu, seorang laki-laki yang meninggalkan jamaah kaum
muslimin dan mendurhakai imamnya (penguasa) serta meninggal dalam keadaan
durhaka, seorang budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri (dari tuannya) lalu
ia mati, serta seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya, padahal suaminya telah
mencukupi keperluan duniawinya, namun setelah itu ia bertabarruj. Ketiganya itu
tidak akan ditanya. (Ahmad VI/19; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad).
Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya
serta segala sesuatu yang wajib ditutup karena dapat membangkitkan syahwat lakilaki. (Fathul Bayan VII/19).
KAINNYA TIDAK TRANSPARAN
Sebab yang namanya menutup itu tidak akan terwujud kecuali tidak trasparan. Jika
transparan, maka hanya akan mengundang fitnah (godaan) dan berarti
menampakkan perhiasan. Dalam hal ini Rasulullah telah bersabda : Pada akhir
umatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakain namun (hakekatnya)
telanjang. Di atas kepala mereka seperti punuk unta. Kutuklah mereka karena
sebenarnya mereka adalah kaum wanita yang terkutuk. (At-Thabrani AlMujamusshaghir : 232).
Di dalam hadits lain terdapat tambahan yaitu : Mereka tidak akan masuk surga dan
juga tidak akan mencium baunya, padahal baunya surga itu dapat dicium dari
perjalanan sekian dan sekian. (HR.Muslim).
Ibnu Abdil Barr berkata : Yang dimaksud oleh Nabi adalah kaum wanita yang
mengenakan pakaian yang tipis, yang dapat mensifati (menggambarkan) bentuk
tubuhnya dans tidak dapat menutup atau menyembunyikannya. Mereka itu tetap
berpakaian namanya, akan tetapi hakekatnya telanjang. ( Tanwirul Hawalik III/103).

Dari Abdullah bin Abu Salamah, bahawsanya Umar bin Al-Khattab pernah memakai
baju Qibtiyah (jenis pakaian dari Mesir yang tipis dan berwarna putih) kemudian
Umar berkata : Jangan kamu pakaikan baju ini untuk istri-istrimu !. Seseorang
kemudian bertanya : Wahai Amirul Muminin, Telah saya pakaikan itu kepada istriku
dan telah aku lihat di rumah dari arah depan maupun belakang, namun aku tidak
melihatnya sebagai pakaian yang tipis !. Maka Umar menjawab : Sekalipun tidak
tipis,namun ia menggambarkan lekuk tubuh. (H.R. Al-Baihaqi II/234-235).
HARUS LONGGAR (TIDAK KETAT) SEHINGGA TIDAK DAPAT MENGGAMBARKAN

SESUATU DARI TUBUHNYA


Usamah bin Zaid pernah berkata: Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam pernah
memberiku baju Qibtiyah yang tebal yang merupakan baju yang dihadiahkan oleh
Dihyah Al-Kalbi kepada beliau. Baju itu pun aku pakaikan pada istriku. Nabi bertanya
kepadaku: Mengapa kamu tidak mengenakan baju Qibtiyah ? Aku menjawab : Aku
pakaikan baju itu pada istriku. Nabi lalu bersabda : Perintahkan ia agar
mengenakan baju dalam di balik Qibtiyah itu, karena saya khawatir baju itu masih
bisa menggambarkan bentuk tulangnya. (Ad-Dhiya Al-Maqdisi : Al-Hadits AlMukhtarah I/441).
Aisyah pernah berkata: Seorang wanita dalam shalat harus mengenakan tiga
pakaian : Baju, jilbab dan khimar. Adalah Aisyah pernah mengulurkan izar-nya
(pakaian sejenis jubah) dan berjilbab dengannya (Ibnu Sad VIII/71). Pendapat yang
senada juga dikatakan oleh Ibnu Umar : Jika seorang wanita menunaikan shalat,
maka ia harus mengenakan seluruh pakainnya : Baju, khimar dan milhafah
(mantel) (Ibnu Abi Syaibah: Al-Mushannaf II:26/1).
TIDAK DIBERI WEWANGIAN ATAU PARFUM
Dari Abu Musa Al-Asyari bahwasannya ia berkata: Rasulullah shalallohu 'alahi wa
sallam bersabda: Siapapun wanita yang memakai wewangian, lalu ia melewati
kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina. (AlHakim II/396 dan disepakati oleh Adz-Dzahabi).
Dari Zainab Ats-Tsaqafiyah bahwasannya Nabi bersabda shalallohu 'alahi wa sallam:
Jika salah seorang diantara kalian (kaum wanita) keluar menuju masjid, maka
jangan sekali-kali mendekatinya dengan (memakai) wewangian. (Muslim dan Abu
Awanah).
Dari Musa bin Yasar dari Abu Hurairah: Bahwa seorang wanita berpapasan
dengannya dan bau wewangian tercium olehnya. Maka Abu Hurairah berkata :
Wahai hamba Allah ! Apakah kamu hendak ke masjid ? Ia menjawab : Ya. Abu
Hurairah kemudian berkata : Pulanglah saja, lalu mandilah ! karena sesungguhnya
aku telah mendengar Rasulullah bersabda : Jika seorang wanita keluar menuju
masjid sedangkan bau wewangian menghembus maka Allah tidak menerima
shalatnya, sehingga ia pulang lagi menuju rumahnya lalu mandi. (Al-Baihaqi
III/133).
Alasan pelarangannya sudah jelas, yaitu bahwa hal itu akan membangkitkan nafsu
birahi. Ibnu Daqiq Al-Id berkata : Hadits tersebut menunjukkan haramnya memakai
wewangian bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, karena hal itu akan
dapat membangkitkan nafsu birahi kaum laki-laki (Al-Munawi : Fidhul Qadhir).

Syaikh Albani mengatakan: Jika hal itu saja diharamkan bagi wanita yang hendak
keluar menuju masjid, lalu apa hukumnya bagi yang hendak menuju pasar, atau
tempat keramaian lainnya ? Tidak diragukan lagi bahwa hal itu jauh lebih haram
dan lebih besar dosanya. Berkata Al-Haitsami dalam AZ-Zawajir II/37 Bahwa
keluarnya seorang wanita dari rumahnya dengan memakai wewangian dan berhias
adalah termasuk perbuatan dosa besar meskipun suaminya mengizinkan.
TIDAK MENYERUPAI PAKAIAN LAKI-LAKI
Karena ada beberapa hadits shahih yang melaknat wanita yang menyerupakan diri
dengan kaum pria, baik dalam hal pakaian maupun lainnya. Dari Abu Hurairah
berkata: Rasulullah melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang
memakai pakaian pria (Al-Hakim IV/19 disepakati oleh Adz-Dzahabi).
Dari Abdullah bin Amru yang berkata: Saya mendengar Rasulullah shalallohu 'alahi
wa sallam bersabda: Tidak termasuk golongan kami para wanita yang
menyerupakan diri dengan kaum pria dan kaum pria yang menyerupakan diri
dengan kaum wanita. (Ahmad II/199-200)
Dari Ibnu Abbas yang berkata: Nabi shalallohu 'alahi wa sallam melaknat kaum pria
yang bertingkah kewanita-wanitaan dan kaum wanita yang bertingkah kelaki-lakian.
Beliau bersabda : Keluarkan mereka dari rumah kalian. Nabi pun mengeluarkan si
fulan dan Umar juga mengeluarkan si fulan. Dalam lafadz lain : Rasulullah
melaknat kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita dan kaum wanita
yang menyerupakan diri dengan kaum pria. (Al-Bukhari X/273-274).
Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam bersabda: Tiga
golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan memandang mereka
pada hari kiamat; Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang
bertingkah kelaki-lakian dan menyerupakan diri dengan laki-laki dan dayyuts (orang
yang tidak memiliki rasa cemburu). ( Al-Hakim I/72 dan IV/146-147 disepakati AdzDzahabi).
Dalam hadits-hadits ini terkandung petunjuk yang jelas mengenai diharamkannya
tindakan wanita menyerupai kaum pria, begitu pula sebaiknya. Ini bersifat umum,
meliputi masalah pakaian dan lainnya, kecuali hadits yang pertama yang hanya
menyebutkan hukum dalam masalah pakaian saja.
TIDAK MENYERUPAI PAKAIAN WANITA-WANITA KAFIR
Syariat Islam telah menetapkan bahwa kaum muslimin (laki-laki maupun
perempuan) tidak boleh bertasyabuh (menyerupai) kepada orang-orang kafir, baik
dalam ibadah, ikut merayakan hari raya, dan berpakain khas mereka. Dalilnya
Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala surat Al-Hadid ayat 16, yang artinya : Belumkah

datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka
mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan
janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab
kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka
menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam
surat Al-Hadid ayat 16, yang artinya: Janganlah mereka seperti... merupakan
larangan mutlak dari tindakan menyerupai mereka, di samping merupakan larangan
khusus dari tindakan menyerupai mereka dalam hal membatunya hati akibat
kemaksiatan (Al-Iqtidha... hal. 43).
Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan ayat ini (IV/310): Karena itu Allah Subhanahu
Wa Ta'ala melarang orang-orang beriman menyerupai mereka dalam perkaraperkara pokok maupun cabang. Allah berfirman : Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad).Raaina tetapi katakanlah
Unzhurna dan dengarlah. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih
(Q.S. Al-baqarah:104).
Lebih lanjut Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya (I/148): Allah melarang hambahamba-Nya yang beriman untuk mnyerupai ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan
orang-orang kafir. Sebab, orang-orang Yahudi suka menggunakan plesetan kata
dengan tujuan mengejek. Jika mereka ingin mengatakan Dengarlah kami mereka
mengatakan Raaina sebagai plesetan kata ruunah (artinya ketotolan)
sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 46. Allah juga telah memberi
tahukan dalam surat Al-Mujadalah ayat 22, bahwa tidak ada seorang mumin yang
mencintai orang-orang kafir. Barangsiapa yang mencintai orang-orang kafir, maka ia
bukan orang mumin, sedangkan tindakan menyerupakan diri secara lahiriah
merupakan hal yang dicurigai sebagai wujud kecintaan, oleh karena itu diharamkan.

BUKAN PAKAIAN SYUHRAH (UNTUK MENCARI POPULARITAS)


Berdasarkan hadits Ibnu Umar, Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam bersabda:
Barangsiapa menge nakan pakaian (libas) syuhrah di dunia, niscaya Allah
mengenakan pakaian kehinaan kepadanya pada hari kiamat, kemudian
membakarnya dengan api neraka. (Abu Daud II/172).
Syuhrah adalah setiap pakaian yang dipakai dengan tujuan untuk meraih
popularitas di tengah-tengah orang banyak, baik pakain tersebut mahal, yang
dipakai oleh seseorang untuk berbangga dengan dunia dan perhiasannya, maupun
pakaian yang bernilai rendah, yang dipakai oleh seseorang untuk menampakkan
kezuhudannya dan dengan tujuan riya (Asy-Syaukani: Nailul Authar II/94). Ibnul Atsir
berkata : Syuhrah artinya terlihatnya sesuatu. Maksud dari Libas Syuhrah adalah

pakaiannya terkenal di kalangan orang-orang yang mengangkat pandangannya


mereka kepadanya. Ia berbangga terhadap orang lain dengan sikap angkuh dan
sombong. wallahu alam.
(Dikutip dari: Kitab Jilbab Al-Marah Al-Muslimah fil Kitabi was Sunnah, Asy-Syaikh AlAlbani)

Jilbab Wanita Muslimah


23-07-06
Oleh: Kontributor Special
Dewasa ini kita melihat banyak kaum muslimah yang tidak berjilbab dan apabila
ada yang berjilbab bukan dengan tujuan untuk menutup aurat-aurat mereka akan
tetapi dengan tujuan mengikuti mode, agar lebih anggun dan alasan lainnya.
Sehingga mereka walaupun berjilbab tetapi masih memperlihatkan bentuk tubuh
mereka dan mereka masih ber-tasyabbuh kepada orang kafir. Tidak hanya itu
mereka menghina wanita muslimah yang mengenakan jilbab yang syari, dengan
mengatakan itu pakaian orang kolot, pakaian orang radikal, dan mereka
mengatakan jilbab (yang syari) adalah budaya arab yang sudah ketinggalan
zaman, serta banyak lagi ejekan-ejekan yang tidak pantas keluar dari mulut
seorang muslim. Hal ini karena kejahilan dan ketidak pedulian mereka untuk
mencari ilmu tentang pakaian wanita muslimah yang syari. Untuk itu pada edisi ini
kami berusaha berbagi ilmu mengenai Jilbab Wanita Muslimah yang sesuai dengan
tuntunan syariat, artikel ini bukan saja khusus untuk kaum hawa, namun para
ikhwan, bapak, kakek juga berkewajiban untuk mempelajarinya dan memahami
serta mengamalkannya dengan cara mengajak saudari-saudari kita yang berada
dibawah tanggung jawabnya dan sekitarnya.

MELIPUTI SELURUH BADAN SELAIN YANG DIKECUALIKAN


Syarat ini terdapat dalam Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam surat An-Nuur
ayat 31, yang artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman.Hendaklah mereka
menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah
mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.

Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah
menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka
atau ayah suami mereka (mertua) atau putra-putra mereka atau putra-putra suami
mereka atau saudara-saudara mereka (kakak dan adiknya) atau putra-putra
saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka (keponakan)
atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayanpelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anakanak yang belum mengerti aurat wanita...
Juga Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam surat Al-Ahzab ayat 59, yang artinya:
Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri
orang mumin: Hendaklah mereka mengulurkann jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka
tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya: Janganlah kaum wanita
menampakkan sedikitpun dari perhiasan mereka kepada pria-pria ajnabi (yang
bukan mahram/halal nikah), kecuali yang tidak mungkin disembunyikan. Ibnu
Masud berkata : Misalnya selendang dan kain lainnya. Maksudnya adalah kain
kudung yang biasa dikenakan oleh wanita Arab di atas pakaiannya serat bagian
bawah pakiannya yang tampak, maka itu bukan dosa baginya, karena tidak
mungkin disembunyikan.
Al-Qurthubi berkata: Pengecualian itu adalah pada wajah dan telapak tangan. Yang
menunjukkan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah
bahwa Asma binti Abu Bakr menemui Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam
sedangkan ia memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah berpaling darinya dan
berkata kepadanya : Wahai Asma ! Sesungguhnya jika seorang wanita itu telah
mencapai masa haid, tidak baik jika ada bagian tubuhnya yang terlihat, kecuali ini.
Kemudian beliau menunjuk wajah dan telapak tangannya. Semoga Allah memberi
Taufik dan tidak ada Rabb selain-Nya.
BUKAN SEBAGAI PERHIASAN
Ini berdasarkan Firman Allah Ta'ala dalam surat An-Nuur ayat 31, yang artinya: Dan
janganlah kaum wanita itu menampakkan perhiasan mereka. Secara umum
kandungan ayat ini juga mencakup pakaian biasa jika dihiasi dengan sesuatu, yang
menyebabkan kaum laki-laki melirikkan pandangan kepadanya.
Hal ini dikuatkan oleh Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam surat Al-Ahzab ayat
33, yang artinya: Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu
berhias dan bertingkah laku seperti oang-orang jahiliyah.
Juga berdasarkan sabda Nabi shalallohu 'alahi wa sallam: Ada tida golongan yang

tidak akan ditanya yaitu, seorang laki-laki yang meninggalkan jamaah kaum
muslimin dan mendurhakai imamnya (penguasa) serta meninggal dalam keadaan
durhaka, seorang budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri (dari tuannya) lalu
ia mati, serta seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya, padahal suaminya telah
mencukupi keperluan duniawinya, namun setelah itu ia bertabarruj. Ketiganya itu
tidak akan ditanya. (Ahmad VI/19; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad).
Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya
serta segala sesuatu yang wajib ditutup karena dapat membangkitkan syahwat lakilaki. (Fathul Bayan VII/19).
KAINNYA TIDAK TRANSPARAN
Sebab yang namanya menutup itu tidak akan terwujud kecuali tidak trasparan. Jika
transparan, maka hanya akan mengundang fitnah (godaan) dan berarti
menampakkan perhiasan. Dalam hal ini Rasulullah telah bersabda : Pada akhir
umatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakain namun (hakekatnya)
telanjang. Di atas kepala mereka seperti punuk unta. Kutuklah mereka karena
sebenarnya mereka adalah kaum wanita yang terkutuk. (At-Thabrani AlMujamusshaghir : 232).
Di dalam hadits lain terdapat tambahan yaitu : Mereka tidak akan masuk surga dan
juga tidak akan mencium baunya, padahal baunya surga itu dapat dicium dari
perjalanan sekian dan sekian. (HR.Muslim).
Ibnu Abdil Barr berkata : Yang dimaksud oleh Nabi adalah kaum wanita yang
mengenakan pakaian yang tipis, yang dapat mensifati (menggambarkan) bentuk
tubuhnya dans tidak dapat menutup atau menyembunyikannya. Mereka itu tetap
berpakaian namanya, akan tetapi hakekatnya telanjang. ( Tanwirul Hawalik III/103).

Dari Abdullah bin Abu Salamah, bahawsanya Umar bin Al-Khattab pernah memakai
baju Qibtiyah (jenis pakaian dari Mesir yang tipis dan berwarna putih) kemudian
Umar berkata : Jangan kamu pakaikan baju ini untuk istri-istrimu !. Seseorang
kemudian bertanya : Wahai Amirul Muminin, Telah saya pakaikan itu kepada istriku
dan telah aku lihat di rumah dari arah depan maupun belakang, namun aku tidak
melihatnya sebagai pakaian yang tipis !. Maka Umar menjawab : Sekalipun tidak
tipis,namun ia menggambarkan lekuk tubuh. (H.R. Al-Baihaqi II/234-235).
HARUS LONGGAR (TIDAK KETAT) SEHINGGA TIDAK DAPAT MENGGAMBARKAN
SESUATU DARI TUBUHNYA
Usamah bin Zaid pernah berkata: Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam pernah
memberiku baju Qibtiyah yang tebal yang merupakan baju yang dihadiahkan oleh

Dihyah Al-Kalbi kepada beliau. Baju itu pun aku pakaikan pada istriku. Nabi bertanya
kepadaku: Mengapa kamu tidak mengenakan baju Qibtiyah ? Aku menjawab : Aku
pakaikan baju itu pada istriku. Nabi lalu bersabda : Perintahkan ia agar
mengenakan baju dalam di balik Qibtiyah itu, karena saya khawatir baju itu masih
bisa menggambarkan bentuk tulangnya. (Ad-Dhiya Al-Maqdisi : Al-Hadits AlMukhtarah I/441).
Aisyah pernah berkata: Seorang wanita dalam shalat harus mengenakan tiga
pakaian : Baju, jilbab dan khimar. Adalah Aisyah pernah mengulurkan izar-nya
(pakaian sejenis jubah) dan berjilbab dengannya (Ibnu Sad VIII/71). Pendapat yang
senada juga dikatakan oleh Ibnu Umar : Jika seorang wanita menunaikan shalat,
maka ia harus mengenakan seluruh pakainnya : Baju, khimar dan milhafah
(mantel) (Ibnu Abi Syaibah: Al-Mushannaf II:26/1).
TIDAK DIBERI WEWANGIAN ATAU PARFUM
Dari Abu Musa Al-Asyari bahwasannya ia berkata: Rasulullah shalallohu 'alahi wa
sallam bersabda: Siapapun wanita yang memakai wewangian, lalu ia melewati
kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina. (AlHakim II/396 dan disepakati oleh Adz-Dzahabi).
Dari Zainab Ats-Tsaqafiyah bahwasannya Nabi bersabda shalallohu 'alahi wa sallam:
Jika salah seorang diantara kalian (kaum wanita) keluar menuju masjid, maka
jangan sekali-kali mendekatinya dengan (memakai) wewangian. (Muslim dan Abu
Awanah).
Dari Musa bin Yasar dari Abu Hurairah: Bahwa seorang wanita berpapasan
dengannya dan bau wewangian tercium olehnya. Maka Abu Hurairah berkata :
Wahai hamba Allah ! Apakah kamu hendak ke masjid ? Ia menjawab : Ya. Abu
Hurairah kemudian berkata : Pulanglah saja, lalu mandilah ! karena sesungguhnya
aku telah mendengar Rasulullah bersabda : Jika seorang wanita keluar menuju
masjid sedangkan bau wewangian menghembus maka Allah tidak menerima
shalatnya, sehingga ia pulang lagi menuju rumahnya lalu mandi. (Al-Baihaqi
III/133).
Alasan pelarangannya sudah jelas, yaitu bahwa hal itu akan membangkitkan nafsu
birahi. Ibnu Daqiq Al-Id berkata : Hadits tersebut menunjukkan haramnya memakai
wewangian bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, karena hal itu akan
dapat membangkitkan nafsu birahi kaum laki-laki (Al-Munawi : Fidhul Qadhir).
Syaikh Albani mengatakan: Jika hal itu saja diharamkan bagi wanita yang hendak
keluar menuju masjid, lalu apa hukumnya bagi yang hendak menuju pasar, atau
tempat keramaian lainnya ? Tidak diragukan lagi bahwa hal itu jauh lebih haram
dan lebih besar dosanya. Berkata Al-Haitsami dalam AZ-Zawajir II/37 Bahwa

keluarnya seorang wanita dari rumahnya dengan memakai wewangian dan berhias
adalah termasuk perbuatan dosa besar meskipun suaminya mengizinkan.
TIDAK MENYERUPAI PAKAIAN LAKI-LAKI
Karena ada beberapa hadits shahih yang melaknat wanita yang menyerupakan diri
dengan kaum pria, baik dalam hal pakaian maupun lainnya. Dari Abu Hurairah
berkata: Rasulullah melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang
memakai pakaian pria (Al-Hakim IV/19 disepakati oleh Adz-Dzahabi).
Dari Abdullah bin Amru yang berkata: Saya mendengar Rasulullah shalallohu 'alahi
wa sallam bersabda: Tidak termasuk golongan kami para wanita yang
menyerupakan diri dengan kaum pria dan kaum pria yang menyerupakan diri
dengan kaum wanita. (Ahmad II/199-200)
Dari Ibnu Abbas yang berkata: Nabi shalallohu 'alahi wa sallam melaknat kaum pria
yang bertingkah kewanita-wanitaan dan kaum wanita yang bertingkah kelaki-lakian.
Beliau bersabda : Keluarkan mereka dari rumah kalian. Nabi pun mengeluarkan si
fulan dan Umar juga mengeluarkan si fulan. Dalam lafadz lain : Rasulullah
melaknat kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita dan kaum wanita
yang menyerupakan diri dengan kaum pria. (Al-Bukhari X/273-274).
Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam bersabda: Tiga
golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan memandang mereka
pada hari kiamat; Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang
bertingkah kelaki-lakian dan menyerupakan diri dengan laki-laki dan dayyuts (orang
yang tidak memiliki rasa cemburu). ( Al-Hakim I/72 dan IV/146-147 disepakati AdzDzahabi).
Dalam hadits-hadits ini terkandung petunjuk yang jelas mengenai diharamkannya
tindakan wanita menyerupai kaum pria, begitu pula sebaiknya. Ini bersifat umum,
meliputi masalah pakaian dan lainnya, kecuali hadits yang pertama yang hanya
menyebutkan hukum dalam masalah pakaian saja.
TIDAK MENYERUPAI PAKAIAN WANITA-WANITA KAFIR
Syariat Islam telah menetapkan bahwa kaum muslimin (laki-laki maupun
perempuan) tidak boleh bertasyabuh (menyerupai) kepada orang-orang kafir, baik
dalam ibadah, ikut merayakan hari raya, dan berpakain khas mereka. Dalilnya
Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala surat Al-Hadid ayat 16, yang artinya : Belumkah
datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka
mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan
janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab
kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka

menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam
surat Al-Hadid ayat 16, yang artinya: Janganlah mereka seperti... merupakan
larangan mutlak dari tindakan menyerupai mereka, di samping merupakan larangan
khusus dari tindakan menyerupai mereka dalam hal membatunya hati akibat
kemaksiatan (Al-Iqtidha... hal. 43).
Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan ayat ini (IV/310): Karena itu Allah Subhanahu
Wa Ta'ala melarang orang-orang beriman menyerupai mereka dalam perkaraperkara pokok maupun cabang. Allah berfirman : Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad).Raaina tetapi katakanlah
Unzhurna dan dengarlah. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih
(Q.S. Al-baqarah:104).
Lebih lanjut Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya (I/148): Allah melarang hambahamba-Nya yang beriman untuk mnyerupai ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan
orang-orang kafir. Sebab, orang-orang Yahudi suka menggunakan plesetan kata
dengan tujuan mengejek. Jika mereka ingin mengatakan Dengarlah kami mereka
mengatakan Raaina sebagai plesetan kata ruunah (artinya ketotolan)
sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 46. Allah juga telah memberi
tahukan dalam surat Al-Mujadalah ayat 22, bahwa tidak ada seorang mumin yang
mencintai orang-orang kafir. Barangsiapa yang mencintai orang-orang kafir, maka ia
bukan orang mumin, sedangkan tindakan menyerupakan diri secara lahiriah
merupakan hal yang dicurigai sebagai wujud kecintaan, oleh karena itu diharamkan.

BUKAN PAKAIAN SYUHRAH (UNTUK MENCARI POPULARITAS)


Berdasarkan hadits Ibnu Umar, Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam bersabda:
Barangsiapa menge nakan pakaian (libas) syuhrah di dunia, niscaya Allah
mengenakan pakaian kehinaan kepadanya pada hari kiamat, kemudian
membakarnya dengan api neraka. (Abu Daud II/172).
Syuhrah adalah setiap pakaian yang dipakai dengan tujuan untuk meraih
popularitas di tengah-tengah orang banyak, baik pakain tersebut mahal, yang
dipakai oleh seseorang untuk berbangga dengan dunia dan perhiasannya, maupun
pakaian yang bernilai rendah, yang dipakai oleh seseorang untuk menampakkan
kezuhudannya dan dengan tujuan riya (Asy-Syaukani: Nailul Authar II/94). Ibnul Atsir
berkata : Syuhrah artinya terlihatnya sesuatu. Maksud dari Libas Syuhrah adalah
pakaiannya terkenal di kalangan orang-orang yang mengangkat pandangannya
mereka kepadanya. Ia berbangga terhadap orang lain dengan sikap angkuh dan
sombong. wallahu alam.

(Dikutip dari: Kitab Jilbab Al-Marah Al-Muslimah fil Kitabi was Sunnah, Asy-Syaikh AlAlbani)

[ppi] [ppiindia] bila pemahaman tentang Jilbab<--- celana


dan baju penutup aurat

From: "peace" <hutan007@xxxxxxxxx>

To: ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx

Date: Mon, 19 Jan 2004 17:20:19 -0000

** ppi-india **
Jilbab itu adalah apa? Jilbab adalah pakaian yang menutup aurat
(vital). Dan diharuskan membangun kesopanan.
Sekarang Jilbab arab selalu didikte oleh masyarakat dunia bahwa
Jilbab itu adalah pakaian Islam. Padahal ajaran kitab, menyatakan
jilbab untuk membangun kesopanan dan kemoralan--> dapat membangun
keimanan sesuai perintah Kitab untuk menghindari hal hal yang buruk.
Jilbab apakah dapat diartikan pada baju bebas dapat menutup dada
bulat? Bila memakai baju ketat, itu bukan jilbab kan? karena dapat
menunjukkan kenafsuan.
Celana biasa Jeans dapat dikatakin Jilbab? yea karena celana jeans
menutup kaki sampai batas mata kaki. Juga dengan roh panjang. Roh
lebih pendek dari lutut itu bukanlah Jilbab karena dapat membangun
nafsu bejat pada umum.
Ajaran Kitab juga menyatakan perlunya memakai kerudung? kerudung
adalah penutup rambut, sebagai penunjuk kehormatan padaNya dan
kehormatan pada kesucian umat masing masing. Kerudung dikaitkan agama
dapat membangun kedisiplinan,kekeluargaan, keimanan dan kesopanan.
Tetapi bila kerudung atas kemauan pemakai dengan tidak ada kaitan
kitab suci, itu kurang mendukung kemoralan. Demi kebaikan umat umat
Allah, kerudung perlu dikaitkan dengan keimanan sesuai kitab suci
demi membangun kemoralan dan kekeluargaan. Kitab kitab menjelaskan
perlu ada aturan yang mengontrol pemikiran umat manusia agar tidak
terlalu jauh melanggar kesopanan demi kebaikan umat di masa mendatang.

Pada masa lalu, bangsa arab setelah pertama nabi Adam di bumi
memakai pakaian untuk penutup kemaluan. Disebut Jilbab. Ada lelaki
dan wanita memakai PENUTUP MUKA karena untuk menghadapi ANGIN BADAI
PASIR di padang pasir sering sering terjadi (ada lihat debu badai
pasir gak). Wanita memakai kerudung untuk menutup muka dari badai
pasir. Sehingga penyebaran kebiasaan budaya membangun kepercayaan
pada masyarakat Islam bahwa penutup muka itu tergolong Jilbab.
Padahal ajaranNya hanya menyatakan jilbab sih penutup aurat dan
kerudung saja!
Nah, kerudung perlu dipakai oleh para umat Islam karena membangun
Feminim dan kesopanan. Kerudung membangun umat umat agar lebih
memilih HEART daripada melihat paras cantik saja. Seperti menjadi
contoh majalah Femina.
Sebenarnya ibu maryam bersama bangsa manusia memakai jilbab
karena memakai kerudung, nurse nurse memakai kerudung dan para
perempuan islam juga demikian. Allah belum melarang umat umat memakai
kerudung tidak boleh kawin sama lelaki padahal umat umat manusia
seperti nurse memang masih diijinkan kawin sama kaum lelaki. Jadi
mengapa Ibu Maryam dapat beranak Isa? Mempunyai anak tanpa bapak
melalui malaikat adalah benar. Bukan bapak Tuhan yang sebenarnya.
Banyak sekali umat menganggap jilbab itu adalah identitas Islam,
sesungguhnya Jilbab adalah PAKAIAN PENUTUP AURAT dan KESOPANAN.
wassalam pendapat,

Tentang Jilbab

JILBAB DAN KHIMAR, BUSANAH MUSLIMAH DALAM KEHIDUPAN UMUM


Friday, 09 September 2005
Oleh :Ust. M. Shiddiq Al Jawi
http://khilafah1924.org

1. Pengantar
Banyak kesalahpahaman terhadap Islam di tengah masyarakat. Misalnya saja jilbab. Tak sedikit
orang menyangka bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah kerudung. Padahal tidak
demikian. Jilbab bukan kerudung. Kerudung dalam Al Qur`an surah An Nuur : 31 disebut dengan
istilah khimar (jamaknya : khumur), bukan jilbab. Adapun jilbab yang terdapat dalam surah Al
Ahzab : 59, sebenarnya adalah baju longgar yang menutupi seluruh tubuh perempuan dari atas
sampai bawah.
Kesalahpahaman lain yang sering dijumpai adalah anggapan bahwa busana muslimah itu yang
penting sudah menutup aurat, sedang mode baju apakah terusan atau potongan, atau memakai
celana panjang, dianggap bukan masalah. Dianggap, model potongan atau bercelana panjang
jeans oke-oke saja, yang penting kan sudah menutup aurat. Kalau sudah menutup aurat,
dianggap sudah berbusana muslimah secara sempurna. Padahal tidak begitu. Islam telah
menetapkan syarat-syarat bagi busana muslimah dalam kehidupan umum, seperti yang
ditunjukkan oleh nash-nash Al Qur`an dan As Sunnah. Menutup aurat itu hanya salah satu syarat,
bukan satu-satunya syarat busana dalam kehidupan umum. Syarat lainnya misalnya busana
muslimah tidak boleh menggunakan bahan tekstil yang transparan atau mencetak lekuk tubuh
perempuan. Dengan demikian, walaupun menutup aurat tapi kalau mencetak tubuh alias ketat
atau menggunakan bahan tekstil yang transparan tetap belum dianggap busana muslimah yang
sempurna.
Karena itu, kesalahpahaman semacam itu perlu diluruskan, agar kita dapat kembali kepada ajaran
Islam secara murni serta bebas dari pengaruh lingkungan, pergaulan, atau adat-istiadat rusak di
tengah masyarakat sekuler sekarang. Memang, jika kita konsisten dengan Islam, terkadang terasa
amat berat. Misalnya saja memakai jilbab (dalam arti yang sesungguhnya). Di tengah maraknya
berbagai mode busana wanita yang diiklankan trendi dan up to date, jilbab secara kontras jelas
akan kelihatan ortodoks, kaku, dan kurang trendi (dan tentu, tidak seksi). Padahal, busana jilbab
itulah pakaian yang benar bagi muslimah.
Di sinilah kaum muslimah diuji. Diuji imannya, diuji taqwanya. Di sini dia harus memilih,
apakah dia akan tetap teguh mentaati ketentuan Allah dan Rasul-Nya, seraya menanggung
perasaan berat hati namun berada dalam keridhaan Allah, atau rela terseret oleh bujukan hawa
nafsu atau rayuan syaitan terlaknat untuk mengenakan mode-mode liar yang dipropagandakan
kaum kafir dengan tujuan agar kaum muslimah terjerumus ke dalam limbah dosa dan kesesatan.
Berkaitan dengan itu, Nabi SAW pernah bersabda bahwa akan tiba suatu masa di mana Islam
akan menjadi sesuatu yang asing termasuk busana jilbab sebagaimana awal kedatangan Islam.
Dalam keadaan seperti itu, kita tidak boleh larut. Harus tetap bersabar, dan memegang Islam
dengan teguh, walaupun berat seperti memegang bara api. Dan in sya-allah, dalam kondisi yang
rusak dan bejat seperti ini, mereka yang tetap taat akan mendapat pahala yang berlipat ganda.
Bahkan dengan pahala lima puluh kali lipat daripada pahala para shahabat. Sabda Nabi SAW :

Islam bermula dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi sesuatu yang asing. Maka
beruntunglah orang-orang yang terasing itu. (HR. Muslim no. 145)
Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari yang memerlukan kesabaran. Kesabaran pada
masa-masa itu bagaikan memegang bara api. Bagi orang yang mengerjakan suatu amalan pada
saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh orang yang mengerjakan semisal amalan itu. Ada
yang berkata,Hai Rasululah, apakah itu pahala lima puluh di antara mereka ? Rasululah SAW
menjawab,Bahkan lima puluh orang di antara kalian (para shahabat). (HR. Abu Dawud,
dengan sanad hasan)
2. Aurat dan Busana Muslimah
Ada 3 (tiga) masalah yang sering dicampuradukkan yang sebenarnya merupakan masalahmasalah yang berbeda-beda.
Pertama, masalah batasan aurat bagi wanita.
dua, busana muslimah dalam kehidupan khusus (al hayah al khashshash), yaitu tempat-tempat di
mana wanita hidup bersama mahram atau sesama wanita, seperti rumah-rumah pribadi, atau
tempat kost.
Ketiga, busana muslimah dalam kehidupan umum (al hayah ammah), yaitu tempat-tempat di
mana wanita berinteraksi dengan anggota masyarakat lain secara umum, seperti di jalan-jalan,
sekolah, pasar, kampus, dan sebagainya. Busana wanita muslimah dalam kehidupan umum ini
terdiri dari jilbab dan khimar.
a. Batasan Aurat Wanita
Aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya.
Lehernya adalah aurat, rambutnya juga aurat bagi orang yang bukan mahram, meskipun cuma
selembar. Seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup.
Hal ini berlandaskan firman Allah SWT :
Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.
(QS An Nuur : 31)
Yang dimaksud wa laa yubdiina ziinatahunna (janganlah mereka menampakkan perhiasannya),
adalah wa laa yubdiina mahalla ziinatahinna (janganlah mereka menampakkan tempat-tempat
(anggota tubuh) yang di situ dikenakan perhiasan). (Lihat Abu Bakar Al-Jashshash, Ahkamul
Qur`an, Juz III hal. 316).
Selanjutnya, illa maa zhahara minha (kecuali yang (biasa) nampak dari padanya). Jadi ada
anggota tubuh yang boleh ditampakkan. Anggota tubuh tersebut, adalah wajah dan dua telapak

tangan. Demikianlah pendapat sebagian shahabat, seperti Aisyah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar
(Al-Albani, 2001 : 66). Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H) berkata dalam kitab tafsirnya Jami AlBayan fi Tafsir Al-Qur`an Juz XVIII hal. 84, mengenai apa yang dimaksud dengan kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya (illaa maa zhahara minha) : Pendapat yang paling mendekati
kebenaran adalah yang mengatakan,Yang dimaksudkan adalah wajah dan dua telapak tangan.
Pendapat yang sama juga dinyatakan Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jami li Ahkam
Al-Qur`an, Juz XII hal. 229 (Al-Albani, 2001 : 50 & 57).
Jadi, yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua telapak
tangan. Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan muslimah di
hadapan Nabi SAW sedangkan beliau mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang
nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di
masa Rasulullah SAW, yaitu di masa masih turunnya ayat Al Qur`an (An-Nabhani, 1990 : 45). Di
samping itu terdapat alasan lain yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah
aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah SAW kepada Asma` binti
Abu Bakar :
Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh
baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak
tangannya. (HR. Abu Dawud)
Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasanya seluruh tubuh wanita itu adalah
aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka diwajibkan atas wanita untuk menutupi
auratnya, yaitu menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.
b. Busana Muslimah dalam Kehidupan Khusus
Adapun dengan apa seorang muslimah menutupi aurat tersebut, maka di sini syara tidak
menentukan bentuk/model pakaian tertentu untuk menutupi aurat, akan tetapi membiarkan secara
mutlak tanpa menentukannya dan cukup dengan mencantumkan lafadz dalam firman-Nya (QS
An Nuur : 31) wa laa yubdiina (Dan janganlah mereka menampakkan) atau sabda Nabi SAW
lam yashluh an yura minha (tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya) (HR. Abu Dawud).
Jadi, pakaian yang menutupi seluruh auratnya kecuali wajah dan telapak tangan dianggap sudah
menutupi, walau bagaimana pun bentuknya. Dengan mengenakan daster atau kain yang panjang
juga dapat menutupi, begitu pula celana panjang, rok, dan kaos juga dapat menutupinya. Sebab
bentuk dan jenis pakaian tidak ditentukan oleh syara.
Berdasarkan hal ini maka setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat menutupi aurat, yaitu yang
tidak menampakkan aurat dianggap sebagai penutup bagi aurat secara syari, tanpa melihat lagi
bentuk, jenis, maupun macamnya.

Namun demikian syara telah mensyaratkan dalam berpakaian agar pakaian yang dikenakan
dapat menutupi kulit. Jadi pakaian harus dapat menutupi kulit sehingga warna kulitnya tidak
diketahui. Jika tidak demikian, maka dianggap tidak menutupi aurat. Oleh karena itu apabila kain
penutup itu tipis/transparan sehingga nampak warna kulitnya dan dapat diketahui apakah
kulitnya berwarna merah atau coklat, maka kain penutup seperti ini tidak boleh dijadikan
penutup aurat.
Mengenai dalil bahwasanya syara telah mewajibkan menutupi kulit sehingga tidak diketahui
warnanya, adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah RA bahwasanya Asma` binti Abubakar
telah masuk ke ruangan Nabi SAW dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah SAW
berpaling seraya bersabda :
Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak boleh baginya
untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini. (HR. Abu Dawud)
Jadi Rasulullah SAW menganggap kain yang tipis itu tidak menutupi aurat, malah dianggap
menyingkapkan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi SAW berpaling seraya memerintahkannya
menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi.
Dalil lainnya juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah bin Zaid, bahwasanya ia ditanyai oleh
Nabi SAW tentang Qibtiyah (baju tipis) yang telah diberikan Nabi SAW kepada Usamah. Lalu
dijawab oleh Usamah bahwasanya ia telah memberikan pakaian itu kepada isterinya, maka
Rasulullah SAW bersabda kepadanya :
Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu, karena sesungguhnya aku
khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.(HR. Ahmad dan Al-Baihaqi, dengan sanad hasan.
Dikeluarkan oleh Adh-Dhiya dalam kitab Al-Ahadits Al-Mukhtarah, Juz I hal. 441) (Al-Albani,
2001 : 135).
Qibtiyah adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah SAW mengetahui
bahwasanya Usamah memberikannya kepada isterinya, beliau memerintahkan agar dipakai di
bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu, sehingga
beliau bersabda : Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu.
Dengan demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang sangat jelas bahwasanya syara
telah mensyaratkan apa yang harus ditutup, yaitu kain yang dapat menutupi kulit. Atas dasar
inilah maka diwajibkan bagi wanita untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis
sedemikian sehingga tidak tergambar apa yang ada di baliknya.
c. Busana Muslimah dalam Kehidupan Umum

Pembahasan poin b di atas adalah topik mengenai penutupan aurat wanita dalam kehidupan
khusus. Topik ini tidak dapat dicampuradukkan dengan pakaian wanita dalam kehidupan umum,
dan tidak dapat pula dicampuradukkan dengan masalah tabarruj pada sebagian pakaian-pakaian
wanita.
Jadi, jika seorang wanita telah mengenakan pakaian yang menutupi aurat, tidak berarti lantas dia
dibolehkan mengenakan pakaian itu dalam kehidupan umum, seperti di jalanan umum, atau di
sekolah, pasar, kampus, kantor, dan sebagainya. Mengapa ? Sebab untuk kehidupan umum
terdapat pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara. Jadi dalam kehidupan umum tidaklah
cukup hanya dengan menutupi aurat, seperti misalnya celana panjang, atau baju potongan, yang
sebenarnya tidak boleh dikenakan di jalanan umum meskipun dengan mengenakan itu sudah
dapat menutupi aurat.
Seorang wanita yang mengenakan celana panjang atau baju potongan memang dapat menutupi
aurat. Namun tidak berarti kemudian pakaian itu boleh dipakai di hadapan laki-laki yang bukan
mahram, karena dengan pakaian itu ia telah menampakkan keindahan tubuhnya (tabarruj).
Tabarruj adalah, menempakkan perhiasan dan keindahan tubuh bagi laki-laki asing/non-mahram
(izh-haruz ziinah wal mahasin lil ajaanib) (An-Nabhani, 1990 : 104). Oleh karena itu walaupun
ia telah menutupi auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh
syara.
Pakaian wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal) yang disebut
dengan jilbab, dan baju atas (libas ala) yaitu khimar (kerudung). Dengan dua pakaian inilah
seorang wanita boleh berada dalam kehidupan umum, seperti di kampus, supermarket, jalanan
umum, kebun binatang, atau di pasar-pasar.
Apakah pengertian jilbab ? Dalam kitab Al Mujam Al Wasith karya Dr. Ibrahim Anis (Kairo :
Darul Maarif) halaman 128, jilbab diartikan sebagai Ats tsaubul musytamil alal jasadi kullihi
(pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau Ma yulbasu fauqa ats tsiyab kal milhafah
(pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian rumah, seperti milhafah (baju terusan), atau Al
Mula`ah tasytamilu biha al mar`ah (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh
wanita).
Jadi jelaslah, bahwa yang diwajibkan atas wanita adalah mengenakan kain terusan (dari kepala
sampai bawah) (Arab : milhafah/mula`ah) yang dikenakan sebagai pakaian luar (di bawahnya
masih ada pakaian rumah, seperti daster, tidak langsung pakaian dalam) lalu diulurkan ke bawah
hingga menutupi kedua kakinya.
Untuk baju atas, disyariatkan khimar, yaitu kerudung atau apa saja yang serupa dengannya yang
berfungsi menutupi seluruh kepala, leher, dan lubang baju di dada. Pakaian jenis ini harus

dikenakan jika hendak keluar menuju pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum (AnNabhani, 1990 : 48).
Apabila ia telah mengenakan kedua jenis pakaian ini (jilbab dan khimar) dibolehkan baginya
keluar dari rumahnya menuju pasar atau berjalan melalui jalanan umum, yaitu menuju kehidupan
umum. Akan tetapi jika ia tidak mengenakan kedua jenis pakaian ini maka dia tidak boleh keluar
dalam keadaan apa pun, sebab perintah yang menyangkut kedua jenis pakaian ini datang dalam
bentuk yang umum, dan tetap dalam keumumannya dalam seluruh keadaan, karena tidak ada
dalil yang mengkhususkannya.
Dalil mengenai wajibnya mengenakan dua jenis pakaian ini, karena firman Allah SWT mengenai
pakaian bagian bagian atas (khimar/kerudung) :
Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. (QS An Nuur : 31)
Dan karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bawah (jilbab) :
Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang
mumin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya. (QS Al Ahzab : 59)
Adapun dalil bahwa jilbab merupakan pakaian dalam kehidupan umum, adalah hadits yang
diriwayatkan dari Ummu Athiah RA, bahwa dia berkata :
Rasulullah SAW memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju shalat Ied, maka
Ummu Athiyah berkata,Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab? Maka Rasulullah
SAW menjawab: Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya!(Muttafaqun
alaihi) (Al-Albani, 2001 : 82).
Berkaitan dengan hadits Ummu Athiyah ini, Syaikh Anwar Al-Kasymiri, dalam kitabnya
Faidhul Bari, Juz I hal. 388, mengatakan : Dapatlah dimengerti dari hadits ini, bahwa jilbab itu
dituntut manakala seorang wanita keluar rumah, dan ia tidak boleh keluar [rumah] jika tidak
mengenakan jilbab. (Al-Albani, 2001 : 93).
Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam
kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat di atas yang
telah diwajibkan atas wanita agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang
lengkap dan menyeluruh. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadits dari Ummu Athiah RA di
atas, yakni kalau seorang wanita tak punya jilbab untuk keluar di lapangan sholat Ied
(kehidupan umum)maka dia harus meminjam kepada saudaranya (sesama muslim). Kalau
tidak wajib, niscaya Nabi SAW tidak akan memerintahkan wanita mencari pinjaman jilbab.

Untuk jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur sampai ke bawah sampai
menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan : yudniina alaihinna min jalabibihinna
(Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka.).
Dalam ayat tersebut terdapat kata yudniina yang artinya adalah yurkhiina ila asfal
(mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini yaitu idnaa` berarti irkhaa` ila
asfal diperkuat dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata, Rasulullah SAW telah
bersabda :
Barang siapa yang melabuhkan/menghela bajunya karena sombong, maka Allah tidak akan
melihatnya pada Hari Kiamat nanti. Lalu Ummu Salamah berkata,Lalu apa yang harus
diperbuat wanita dengan ujung-ujung pakaian mereka (bi dzuyulihinna). Nabi SAW
menjawab,Hendaklah mereka mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran)(yakni dari
separoh betis). Ummu Salamah menjawab,Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap.
Lalu Nabi menjawab,Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (fa yurkhiina dzira`an) dan
jangan mereka menambah lagi dari itu. (HR. At-Tirmidzi Juz III, hal. 47; hadits sahih) (AlAlbani, 2001 : 89)
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi SAW, pakaian luar yang
dikenakan wanita di atas pakaian rumah yaitu jilbab telah diulurkan sampai ke bawah hingga
menutupi kedua kaki.
Berarti jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab kalau potongan, tidak bisa terulur sampai
bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian potongan seorang wanita muslimah dianggap
belum melaksanakan perintah yudniina alaihinna min jalaabibihina (Hendaklah mereka
mengulurkan jilbab-jilbabnya). Di samping itu kata min dalam ayat tersebut bukan min lit
tabidh (yang menunjukkan arti sebagian) tapi merupakan min lil bayan (menunjukkan
penjelasan jenis). Jadi artinya bukanlah Hendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbab-jilbab
mereka (sehingga boleh potongan), melainkan Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab
mereka (sehingga jilbab harus terusan).(An-Nabhani, 1990 : 45-51)
3. Penutup
Dari penjelasan di atas jelas bahwa wanita dalam kehidupan umum wajib mengenakan baju
terusan yang longgar yang terulur sampai ke bawah yang dikenakan di atas baju rumah mereka.
Itulah yang disebut dengan jilbab dalam Al Qur`an.
Jika seorang wanita muslimah keluar rumah tanpa mengenakan jilbab seperti itu, dia telah
berdosa, meskipun dia sudah menutup auratnya. Sebab mengenakan baju yang longgar yang
terulur sampai bawah adalah fardlu hukumnya. Dan setiap pelanggaran terhadap yang fardlu
dengan sendirinya adalah suatu penyimpangan dari syariat Islam di mana pelakunya dipandang
berdosa di sisi Allah. [ ]

DAFTAR BACAAN
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2001. Jilbab Wanita Muslimah Menurut Al-Qur`an dan As
Sunnah (Jilbab Al-Mar`ah Al-Muslimah fi Al-Kitab wa As-Sunnah). Alih Bahasa Hawin
Murtadlo & Abu Sayyid Sayyaf. Cetakan ke-6. (Solo : At-Tibyan).
-. 2002. Ar-Radd Al-Mufhim Hukum Cadar (Ar-Radd Al-Mufhim Ala Man Khalafa
Al-Ulama wa Tasyaddada wa Taashshaba wa Alzama Al-Mar`ah bi Satri Wajhiha wa Kaffayha
wa Awjaba). Alih Bahasa Abu Shafiya. Cetakan ke-1. (Yogyakarta : Media Hidayah).
Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1998. Emansipasi Adakah dalam Islam Suatu Tinjauan Syariat
Islam Tentang Kehidupan Wanita. Cetakan ke-10. (Jakarta : Gema Insani Press).
Ali, Wan Muhammad bin Muhammad. Al-Hijab. Alih bahasa Supriyanto Abdullah. Cetakan ke1. (Yogyakarta : Ash-Shaff).
Ambarwati, K.R. & M. Al-Khaththath. 2003. Jilbab Antara Trend dan Kewajiban. Cetakan Ke-1.
(Jakarta : Wahyu Press).
Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mujamul Wasith. Cet. 2. (Kairo : Darul Maarif)
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizham Al-Ijtimai fi Al-Islam. Cetakan ke-3. (Beirut : Darul
Ummah).
Ath-Thayyibiy, Achmad Junaidi. 2003. Tata Kehidupan Wanita dalam Syariat Islam. Cetakan ke1. (Jakarta : Wahyu Press).
Bin Baz, Syaikh Abdul Aziz et.al. 2000. Fatwa-Fatwa Tentang Memandang, Berkhalwat, dan
Berbaurnya Pria dan Wanita (Fatawa An-Nazhar wa al-Khalwah wa Al-Ikhtilath). Alih Bahasa
Team At-Tibyan. Cetakan ke-5. (Solo : At-Tibyan).
Taimiyyah, Ibnu. 2000. Hijab dan Pakaian Wanita Muslimah dalam Sholat (Hijab Al-Mar`ah wa
Libasuha fi Ash-Shalah). Ditahqiq Oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Alih Bahasa Hawin
Murtadlo. Cetakan ke-2. (Solo : At-Tibyan).

Tentang Jilbab dan Cerita Islami


April 27, 2007
Filed under: Dunia Penulisan, Islam

Walau baru bergabung dengan FLP tahun 2004 lalu, sebenarnya saya sudah mengikuti
perkembangan sastra Islami ala FLP sejak akhir tahun 90-an. Di kampus, ada beberapa teman
yang rajin membaca majalah Annida, dan saya sering numpang baca. Ya, majalah Annida
memegang peranan yang cukup penting dalam kelahiran dan kebangkitan FLP ketika itu.
Walau suka membaca cerpen-cerpen di Annida, saat itu sebenarnya saya sebel terhadap majalah
ini. Motto yang diembannya adalah seri kisah-kisah Islami, tapi hampir semua cerpennya
bercerita tentang perempuan yang awalnya tidak berjilbab, lalu mendapat hidayah kemudian
berjilbab. Atau tentang perempuan yang memutuskan untuk berjilbab, lalu ditentang oleh
keluarganya. Ia bahkan diusir dan tidak diakui lagi sebagai anak, atau tidak diperbolehkan masuk
sekolah jika masih nekat mengenakan jilbab.
Saya pikir, apakah Islam itu hanya seputar jilbab? Tentu tidak, bukan? Tapi motto seri kisahkisah Islami seolah-olah membenarkan asumsi bahwa Islam memang hanya seputar jilbab. Saya
bahkan pernah kepikiran untuk mengusulkan pada redaktur majalah ini, agar mottonya diubah
saja menjadi seri kisah-kisah jilbab.
Berita baiknya, Annida kemudian mengganti motto tersebut dengan sesuatu yang lebih relevan.
Kini, Annida tampil lebih cair, tidak lagi sekaku dulu. Cerpen-cerpen yang dimuat pun lebih
universal, humanis, tapi tetap mengusung nilai-nilai Islami. Kini, hampir tak ada lagi cerpen
bertema jilbab yang dimuat di Annida.
***
Beberapa waktu lalu, seorang teman mengirimi saya cerpen dan meminta saya untuk
mengkritiknya. Hm lagi-lagi ceritanya mengenai jilbab! Saya berkata bahwa cerita seperti itu
sudah terlalu sering ditulis, dan sebaiknya ia menulis tema yang lain. Bahkan majalah Annida
pun tidak mau lagi memuat cerita seperti itu, ujar saya.
Di luar dugaan, si teman ini protes. Lho, bukannya masalah jilbab itu selalu aktual? Hingga hari
ini masih banyak muslimah yang enggan berjilbab. Jadi cerpen saya sama sekali tidak basi!
Kalau dipikir-pikir, si teman ini benar juga. Jilbab adalah sebuah tema yang tak pernah basi
selama masih banyak muslimah yang masih enggan menutup aurat.
Tapi ketika setiap penulis membuat cerita yang isinya begitu-begitu saja, tentu pembaca akan
bosan juga, kan? Lagipula, seperti yang saya tulis di atas, apakah Islam itu hanya seputar jilbab?
Apakah cerita tentang kasih sayang ibu terhadap anaknya bukan cerita Islami? Apakah cerita

tentang perjuangan seorang pemuda untuk membela kaum yang tertindas bukan cerita Islami?
Apakah cerita tentang seorang pegawai negeri yang berjuang melawan korupsi bukan cerita
Islami?
Dalam konteks inilah, banjirnya cerita-cerita bertema jilbab menjadi sesuatu yang
memprihatinkan. Terlebih jika cerita-cerita tersebut masih berisi kisah yang begitu-begitu saja,
bahkan disampaikan dengan gaya yang amat standar.
***
Ya, saya paham. Hampir semua penulis yang mengangkat tema jilbab dalam cerita-cerita mereka,
punya semangat dakwah yang tinggi. Mereka ingin agar setiap muslimah menutup aurat. Dalam
konteks ini, kita tentu harus menghargai semangat mereka. Bahkan, ini sebenarnya sesuatu yang
sangat baik.
Namun, izinkanlah saya menguraikan enam hal yang menurut saya perlu dicermati oleh para
penulis muslim yang masih setia berkutat pada cerita-cerita bertema penutup aurat.
Pertama:
Islam bukan hanya menyangkut jilbab. Ya, saya yakin kamu sangat menyadari hal ini. Tapi jika
kamu sadar, kenapa kamu masih juga mengidentikkan cerita Islami dengan jilbab? Mungkin
kamu sudah bosan mendengar ucapan Islam adalah agama yang universal. Tapi sampai sejauh
mana kamu mengimplementasikan hal ini pada karya-karya kamu? Jika cerita buatan kamu
masih berkutat seputar jilbab, aktivis rohis, orang jahat yang bertaubat, maka mungkin
universalisme Islam belum benar-benar meresap di dalam hati kamu.
Cobalah sesekali menulis cerita tentang pegawai negeri (tak usah sebutkan apa agamanya) yang
berjuang melawan budaya suap dan korupsi di lingkungan kerjanya. Atau, cerita tentang seorang
pemuda (juga tak usah sebutkan apa agamanya) yang giat membela rakyat yang tertindas.
Apakah menurut kamu cerita-cerita seperti ini tidak islami?
Kedua:
Jilbab bukanlah solusi segalanya. Saya jadi ingat pada cerita-cerita picisan ala penulis sekuler.
Ada begitu banyak cerita yang berkisah tentang orang pacaran yang ditentang habis-habisan oleh
orang tua dan lingkungan mereka. Bahkan banyak orang yang berusaha memisahkan mereka.
Tapi mereka tetap tegar, tetap saling mencintai dan berusaha agar dapat bersatu dalam ikatan
pernikahan. Di akhir cerita, mereka berhasil menikah dan hidup bahagia selamanya.
Cerita seperti ini terus diulang-ulang, bahkan hingga hari ini. Coba simak, banyak sekali sinetron
yang episode terakhirnya berisi adegan pernikahan si tokoh utama. Cerita-cerita seperti ini

seolah-olah mengisyaratkan bahwa pernikahan adalah akhir dari semua masalah dan awal dari
semua kebahagiaan. Padahal benarkah demikian?
Saya membayangkan jika seorang pria kaya menikah dengan perempuan miskin (atau
sebaliknya). Ya, mungkin mereka hidup bahagia. Tapi bagaimana cara si istri beradaptasi dengan
keluarga suaminya yang kaya raya? Bagaimana cara si suami memperlakukan keluarga istrinya
yang sangat miskin? Bagaimana proses adaptasi dua manusia yang berasal dari golongan yang
jauh berbeda?
Apakah masalah-masalah seperti ini ikut dibahas oleh cerita-cerita picisan yang selalu berakhir
dengan pernikahan yang bahagia tersebut? Sama sekali tidak! Potensi masalah-masalah seperti
ini benar-benar dinafikan, dan pembaca/penonton terus dibuai oleh mimpi indah bahwa setelah
tokoh utama menikah, maka semua masalah otomatis berakhir dan kebahagiaan abadi telah
menunggu di depan sana.
Saya melihat bahwa cerita-cerita Islami bertema jilbab pun punya kencenderungan yang lebih
kurang sama. Cerita-cerita tentang perempuan yang bertaubat lalu mengenakan jilbab, dan ceritacerita sejenis lainnya, seolah-olah mengisyaratkan bahwa mengenakan jilbab adalah akhir dari
sebuah tujuan mulia. Seolah-olah mengenakan jilbab merupakan akhir dari semua masalah dan
awal dari kebagiaan yang abadi. Seolah-olah kondisi ini merupakan garis finish dari perjuangan
dakwah yang berliku-liku.
Benarkah demikian? Poin ketiga di bawah ini akan memberikan uraian yang lebih detil.
Ketiga:
Saatnya kita mengajukan sebuah pertanyaan yang sangat konseptual: Apa sebenarnya tujuan
utama seorang penulis cerita Islami? Apakah: (1) mengajak semua muslimah menutup aurat, atau
(2) meyakinkan masyarakat akan kebenaran ajaran Islam, meyakinkan mereka bahwa Islam
adalah solusi paling jitu untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan?
Walau tidak terlalu tepat, analogi permainan biliar mungkin bisa memberikan gambaran yang
lebih jelas. Pada permainan ini, kita memukul bola A dengan harapan ia akan menyentuh bola B,
lalu bola B menggelinding dan masuk ke dalam lubang.
Stik biliar adalah strategi dakwah, jilbab serta objek dakwah lainnya adalah bola A dan bola B,
sedangkan si lubang adalah kebenaran ajaran Islam. Jika kita memukul bola A dengan harapan ia
akan masuk ke dalam lubang, maka bola A akan melesat ke suatu tempat yang jauh dari lubang
tersebut. Seorang pemain biliar yang cerdas akan mengarahkan bola A ke bola B, sebab ia yakin
bola B menempati posisi yang sangat strategis sehingga ia dapat mencapai lubang dengan tepat.

Intinya, seorang penulis muslim harus tahu apa sebenarnya tujuan akhir dari perjuangan dakwah
lewat tulisan. Jika kita hanya berkutat pada bola A, bisa-bisa nanti banyak perempuan yang
berjilbab tapi jiwa mereka masih kering akan nilai-nilai Islam. Atau mereka berjilbab tapi niatnya
bukan lillahi taala.
Berbeda halnya jika kita memfokuskan diri pada tujuan akhir yang sebenarnya. Bila nilai-nilai
Islam telah terpatri kuat di hati seorang muslimah, maka otomatis tanpa disuruh-suruh pun, dia
akan segera mengenakan jilbab. Mustahil rasanya jika ada orang yang telah yakin dan sadar akan
kebenaran nilai-nilai Islam, tapi dia masih enggan menutup aurat.
Dengan analisis di atas, saya kira saatnya kita mengubah strategi dakwah dalam aktivitas
menulis. Menghimbau para muslimah agar berjilbab memang baik. Tapi ada begitu banyak
strategi yang dapat kita pilih. Berkutat hanya pada satu strategi, padahal strategi itu belum tentu
jitu, bisa-bisa justru membuat tujuan dakwah kita tidak tercapai.
Keempat:
Mari belajar dari media massa. Saya pernah menulis artikel tentang peranan media dalam
membentuk citra atau opini publik. Islam yang kini dicitrakan sebagai agama teroris, sebenarnya
tidak terlepas dari pengaruh kuat media massa. Berita-berita tentang sosok teroris beragama
Islam terus dimunculkan, sehingga lambat laun alam bawah sadar kita mengatakan bahwa Islam
memang agama yang berbahaya.
Manusia zaman sekarang hobi menonton film, sinetron, juga membaca cerita-cerita fiksi seperti
novel dan cerpen. Sejujurnya, karya-karya fiksi ini pun bisa menjadi lahan subur bagi
berkembangnya upaya pencitraan terhadap hal-hal tertentu. Bila tidak percaya, coba simak
bagaimana karya-karya fiksi telah berhasil membentuk citra yang sangat khas terhadap karakterkarakter berikut ini.

Kutu buku = kuper, penampilan kuno, pakai kacamata tebal.

Cewek gendut = agresif terhadap cowok, doyan ngemil, tak tahu diri.

Cowok idola = ganteng, putih, pintar main basket, gaul abis.

Cewek idola = cantik, sederhana, baik hati, disukai semua pria, punya
prinsip hidup yang teguh, tapi hidupnya selalu malang.

Polisi India = suka bersekongkol dengan penjahat.

Polisi Indonesia = kaku seperti robot, dan selalu datang terlambat.

Dukun = hobi tertawa terbahak-bahak HA.. HA.. HA dengan suara keras


dan sikap yang sombong.

Pencitraan punya kekuatan yang sangat dahsyat. Sesuatu yang sebenarnya A bisa dipercaya
sebagai B, padahal B sama sekali berbeda dengan A. Simaklah contoh-contoh di atas. Benarkah
semua perempuan gendut itu agresif terhadap cowok dan doyan ngemil? Kam pasti tahu itu
keliru. Tapi tanpa sadar, ketika menulis cerpen, kamu pun menampilkan karakter tokoh yang
seperti itu (sejujurnya saya juga pernah!), karena citra seperti itu sudah tertanam kuat di alam
bawah sadar kamu!
Pencitraan itu sama seperti pisau. Ia bisa digunakan untuk kebaikan maupun kejahatan. Dalam
konteks kebaikan, tentu pencitraan bisa dimanfaatkan sebagai strategi dakwah.
Selama ini, perempuan berjilbab di dalam sinetron religius selalu diidentikkan sebagai wanita
berhati mulia namun tak berdaya dan selalu berdoa sambil menangis tersedu-sedu. Ini adalah
sebuah pencitraan juga sebenarnya.
Bagi kamu para penulis muslim yang punya semangat dakwah yang tinggi, kenapa tidak
mencoba mengubah citra ini? Dalam setiap cerita yang kamu tulis, tampilkanlah sosok
perempuan berjilbab yang baik hati, supel dalam bergaul, mandiri, tegar alias tidak cengeng, ulet
bekerja, gampang mendapatkan jodoh, karirnya cemerlang, hidupnya sangat modern tapi tetap
teguh pada nilai-nilai Islam.
Ya, memang terlalu aneh juga jika sosok rekaan kamu terlalu ideal seperti itu. Tapi intinya, kamu
bisa membangun citra muslimah berjilbab sebagai sosok perempuan yang patut dikagumi dan
diteladani oleh siapa saja. Kamu tak perlu menulis pesan moral verbal sebagaimana yang banyak
dilakukan selama ini. Kamu tak perlu menghimbau pembaca untuk menutup aurat dengan bahasa
ceramah yang bertele-tele. Tapi cukup lakukan sebuah pencitraan lewat aliran cerita yang wajar
dan natural.
Jika semua penulis muslim melakukan strategi seperti ini, Insya Allah lambat laun citra
perempuan berjilbab yang semula buruk, bisa berubah menjadi baik, keren dan bergengsi. Jika
pandangan masyarakat sudah positif seperti ini, Insya Allah upaya untuk mengajak para
muslimah agar mau menutup aurat pun semakin mudah. Kita tak perlu lagi melakukan himbauan
dengan kalimat-kalimat verbal dan seperti ceramah pengajian.
Kelima:
Menempatkan segala sesuatu sesuai konteksnya adalah sikap yang bijaksana. Kenapa banyak
cerita Islami pada tahun 1990-an yang berkisah tentang perjuangan para muslimah untuk
mengenakan jilbab? Tak lain dan tak bukan karena pada masa itu jilbab merupakan jenis pakaian
yang masih sangat langka. Bahkan, kebijakan pemerintah masih sangat tidak kondusif. Para
jilbaber harus berjuang keras bahkan mengorbankan banyak hal agar mereka bebas
mengenakan pakaian muslimah.

Dalam situasi seperti itu, cerpen-cerpen ala Annida di tahun 1990-an mendapatkan relevansinya.
Tak ada yang aneh, sebab kondisi riil masyarakat pada masa itu memang demikian.
Kini, situasi sudah sangat jauh berbeda, khususnya di Indonesia. Perempuan berjilbab dapat kita
temukan di mana-mana. Jilbab yang dulu dianggap sebagai pakaian kampungan dan aneh, kini
telah naik derajatnya, menjadi salah satu jenis pakaian yang diterima dan dihargai oleh
masyarakas luas.
Dalam kondisi seperti saat ini, masihkah relevan jika kita tetap menulis cerita tentang perempuan
yang bertaubat lalu mengenakan jilbab? Atau tentang perjuangan seorang muslimah agar bebas
mengenakan jilbab?
Helvy Tiana Rosa pernah menulis sebuah cerpen yang sangat fenomenal; Ketika Mas Gagah
Pergi (KMGP). Cerpen ini pun bercerita tentang seorang gadis yang awalnya tidak berjilbab,
namun kemudian ia mendapat hidayah lalu berjilbab. Di era ketika cerpen ini dipublikasikan, isi
ceritanya bisa dibilang mewakili kondisi masyarakat Islam Indonesia ketika itu. Maka tak heran
jika KMGP menjadi bacaan favorit di mana-mana, bahkan banyak perempuan yang langsung
bertaubat dan menutup aurat setelah membacanya.
Saya beruntung karena baru membaca cerpen ini di tahun 2004 lalu. Setelah membacanya,
saya mengerutkan kening. Saya memang mengakui cerpen ini sangat bagus. Tapi saya heran,
kenapa KMGP bisa meledak sedemikian rupa dan terkenal di mana-mana. Apa istimewanya?
Seorang teman sesama penulis memberikan analisis yang menurut saya sangat pas. Wajar
banget jika kamu punya perasaan seperti itu. Sebab kamu membaca cerpen ini ketika kondisi
masyarakat kita sudah sangat jauh berbeda.
Ya, saya setuju, dan keheranan saya pun berakhir.
Saya tidak mengatakan bahwa masalah jilbab tidak lagi kontekstual pada saat ini. Seperti yang
sudah saya sebutkan di atas, tema jilbab sebenarnya tetap relevan selama masih banyak
muslimah yang belum mau menutup aurat.
Yang tidak relevan adalah isi cerita di dalam tema jilbab tersebut, yakni cerita-cerita
sebagaimana yang banyak ditulis oleh penulis cerita Islami hingga hari ini.
Masalah perjuangan seorang jilbaber agar bebas mengenakan pakaian muslimah, merupakan
tema zaman dahulu yang sudah tidak relevan saat ini. Memang, saya pernah membaca berita
tentang sejumlah perusahaan masa kini yang masih suka melarang para karyawati mereka
mengenakan jilbab. Tapi jumlah kasus seperti ini hanya segelintir. Ini tidak cukup relevan untuk
disebut sebagai fenomena.

Lantas fenomena apakah yang masih relevan di tahun 2007 ini? Menurut pengamatan saya,
berikut adalah beberapa di antaranya:

Jilbab hanya dipakai di masjid atau pada acara-acara keagamaan.

Banyak orang yang berjilbab tapi bajunya ketat.

Masih banyak orang yang beranggapan bahwa jilbab bisa menghalangi jodoh
dan menyulitkan pemakainya dalam mencari pekerjaan.

Perempuan berjilbab dianggap sebagai ekstrimis, teroris, fundamentalis.

Jilbab gaul mewabah di mana-mana.

Nah, jika kamu masih bersikeras untuk menulis cerita-cerita seputar jilbab, mungkin kamu bisa
memilih tema yang kontekstual seperti di atas, atau masih relevan dengan kondisi masa kini.
Keenam:
Yang paling penting dari semua poin di atas adalah KREATIVITAS. Tentu saja kita semua masih
bebas menulis cerita tentang apa saja, termasuk cerita tentang jilbab yang sudah sangat klise itu.
Tapi jika cerita klise disampaikan dengan cara yang sangat standar, bahkan isi ceritanya tak ada
bedanya dengan cerita-cerita yang sudah ada, maka inilah awal dari sebuah kegagalan. Baik
kegagalan dari segi kualitas tulisan maupun misi dakwah.
Namun jika cerita klise tersebut ditulis dengan kreativitas tinggi, dengan gaya bahasa dan sudut
pandang yang unik, teknik bercerita yang lain dari biasanya, maka saya yakin pembaca akan
menyukainya. Mereka akan segera lupa bahwa cerita yang ia baca sebenarnya hanya cerita basi
yang sudah banyak ditulis di mana-mana.
Semoga bermanfaat, dan mohon koreksinya bila ada yang salah.
Cilangkap, 27 April 2007
Jonru

Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa


Lalu dan Cendekiawan Kontemporer
Wednesday, September 27th, 2006

1 Votes
Saya mendapat email dari penulisnya, sayang kalau tidak di-blog-kan, untuk kemaslahatan dan
pengetahuan umat.

Dr.Quraish Shihab tetap berpendapat jilbab adalah masalah khilafiah, pendapat ganjil menurut
pandangan ulama Salaf. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-163
Oleh: Adian Husaini
Hari Kamis, (21/9/2006), saya diundang untuk membedah buku Prof. Dr. Quraish Shihab yang
berjudul Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan
Kontemporer. Tempatnya di Pusat Studi Al-Quran, Ciputat, lembaga yang dipimpin oleh
Quraish Shihab sendiri. Hadir sebagai pembicara adalah Quraish Shihab, Dr. Eli Maliki, Dr.
Jalaluddin Rakhmat, dan saya sendiri.
Acara ini mendapat sambutan yang cukup hangat. Ruangan yang tersedia tidak mampu
menampung ratusan hadirin. Banyak peserta harus berdiri, karena kehabisan tempat duduk.
Bertindak sebagai moderator adalah Dr. Mukhlis Hanafi, doktor tafsir lulusan Universitas alAzhar Kairo, yang baru beberapa bulan kembali ke Indonesia. Ketika masih di Kairo, Mukhlis
Hanafi sendiri sudah menulis satu makalah yang
mengkritik pendapat Quraish Shihab tentang jilbab. Dr. Eli Maliki, doktor bidang fiqih yang
juga lulusan Al-Azhar mendadak menggantikan Dr. Anwar Ibrahim, anggota Komisi Fatwa
MUI yang berhalangan hadir.
Prof. Quraish Shihab seperti biasanya dengan tenang mengawali paparannya yang
kontroversial tentang jilbab. Sudah lama ia mempunyai pendapat bahwa jilbab adalah masalah
khilafiah satu pendapat yang ganjil menurut pandangan para ulama Islam terkemuka.
Dalam bukunya tersebut, Quraish menyimpulkan, bahwa: ayat-ayat al-Quran yang berbicara
tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi. Juga, dia katakan: bahwa ketetapan
hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhanniy yakni
dugaan.
Masih menurut Quraish, Perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan antara pendapatpendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman serta kondisi masa dan
masyarakat mereka, serta pertimbangan-pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah
yang jelas, pasti dan tegas.

Di sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu
masalah khilafiyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh-menuduh apalagi kafir mengkafirkan.
(hal. 165-167). Dalam bukunya yang lain, Wawasan Al-Quran, (cetakan ke-11, tahun 2000),
hal. 179), Quraish juga sudah menulis: Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para
ulama pun ketika membahasnya berbeda
pendapat.
Pandangan Quraish Shihab tersebut mendapat kritik keras dari Dr. Eli Maliki. Membahas QS
24:31 dan 33:59, Eli Maliki menjelaskan, bahwa Al-Quran sendiri sudah secara tegas
menyebutkan batas aurat wanita, yaitu seluruh tubuh, kecuali yang biasa tampak, yakni muka
dan telapak tangan. Para ulama tidak berbeda pendapat tentang masalah ini. Yang berbeda adalah
pada masalah: apakah wajah dan telapak tangan wajib ditutup? Sebagian mengatakan wajib
menutup wajah, dan sebagian lain menyatakan, wajah boleh dibuka.
Saya sendiri berkeberatan dengan kesimpulan Quraish Shihab bahwa jilbab adalah masalah
khilafiah. Saya katakan, yang menjadi masalah khilafiah adalah masalah muka dan telapak
tangan, telapak kaki dan sebagian tangan sampai pergelangan, jika ada hajat yang mendesak.
Kesimpulan Quraish Shihab bahwa jilbab adalah masalah khilafiah seyogyanya
diklarifikasi, bahwa yang menjadi masalah khilafiyah diantara para ulama tidak jauh-jauh dari
masalah sebagian tangan, wajah, dan sebagian kaki; tidak ada perbedaan diantara para ulama
tentang wajibnya menutup dada, perut, unggung, paha, dan pantat wanita, misalnya.
Kesimpulan ini perlu dipertegas, agar tidak ada salah persepsi diantara pembaca, bahwa batas
aurat wanita memang begitu fleksibel, tergantung situasi dan kondisi.
Menurut Yusuf Qaradhawi, di kalangan ulama sudah ada kesepakatan tentang masalah aurat
wanita yang boleh ditampakkan. Ketika membahas makna Dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya (QS 24:31), menurut
Qaradhawi, para ulama sudah sepakat bahwa yang dimaksudkan itu adalah muka dan telapak
tangan.
Imam Nawawi dalam al-Majmu, menyatakan, bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya
kecuali wajah dan telapak tangannya. Diantara ulama mazhab Syafii ada yang berpendapat,
telapak kaki bukan aurat. Imam Ahmad menyatakan, aurat wanita adalah seluruh tubuhnya
kecuali wajahnya saja.
Diantara ulama mazhab Maliki ada yang berpendapat, bahwa wanita cantik wajib menutup
wajahnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab. Qaradhawi menyatakan bahwa aurat
wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan adalah pendapat Jamaah sahabat
dan tabiin sebagaimana yang tampak jelas pada penafsiran mereka terhadap ayat: apa yang
biasa tampak daripadanya. (Dikutip dari buku Fatwa-Fatwa Kontemporer (Terj. Oleh Drs. Asad
Yasin), karya Dr. Yusuf Qaradhawi, (Jakarta: GIP, 1995), hal. 431-436).
Pendapat semacam ini bukan hanya ada di kalangan sunni. Di kalangan ulama Syiah juga ada
kesimpulan, bahwa apa yang biasa tampak daripadanya ialah wajah dan telapak tangan dan

perhiasan yang ada di bagian wajah dan telapak tangan. Murtadha Muthahhari menyimpulkan,
dari sini cukup jelas bahwa menutup wajah dan dua telapak tangan tidaklah wajib bagi
wanita, bahkan tidak ada larangan untuk menampakkan perhiasan yang terdapat pada wajah dan
dua telapak tangan yang memang sudah biasa dikenal, seperti celak dan kutek yang tidak pernah
lepas dari wanita. (Lihat, Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab (Terj. Oleh Nashib
Musthafa), (Jakarta: Lentera Basritama, 2002).
Bahkan, dalam buku Wawasan Al-Quran, Quraish Shihab sendiri sudah mengungkapkan, bahwa
para ulama besar, seperti Said bin Jubair, Atha, dan al-Auzaiy berpendapat bahwa yang boleh
dilihat hanya wajah wanita, kedua telapak tangan, dan busana yang dipakainya. (hal. 175-176).
Membaca kesimpulan buku Quraish Shihab tersebut, dapat menimbulkan pengertian, bahwa
konsep aurat wanita dalam Islam bersifat kondisional, lokal dan temporal. Kesimpulan
ini cukup riskan karena bisa membuka pintu bagi penafsiran baru terhadap hukum-hukum
Islam lainnya, sesuai dengan asas lokalitas, seperti yang sekarang banyak dilakukan sejumlah
orang dalam menghalalkan perkawinan antara muslimah dengan laki-laki non-Muslim, dengan
alasan, QS 60:10 hanya berlaku untuk kondisi Arab waktu itu, karena rumah tangga Arab
didominasi oleh laki-laki.
Sedangkan sekarang, karena wanita sudah setara dengan laki-laki dalam rumah tangga sesuai
dengan prinsip gender equality maka hukum itu sudah tidak relevan lagi. Bahkan, berdasarkan
penelitian, lebih baik ika istrinya yang muslimah, dibandingkan jika suaminya yang muslim
tetapi istrinya non-Muslim. Sebab, sekitar 70 persen anak ternyata ikut agama ibunya.
Dari pendapat para ulama yang otoritatif, bisa disimpulkan, bahwa ayat-ayat al-Quran yang
berbicara tentang aurat dan pakaian wanita adalah bersifat universal, berlaku untuk semua
wanita, sebagaimana ketika ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi yang berbicara tentang salat, jual
beli, pernikahan, haid, dan sebagainya. Ayat-ayat itu tidak bicara hanya untuk orang Arab.
Makanya yang diseru dalam QS 24:31 adalah mukminat. Itu bisa dipahami, sebab tubuh
manusia juga bersifat universal. Tidak ada bedanya antara tubuh wanita Arab, wanita Jawa,
wanita Amerika, wanita Cina, wanita Papua, dan sebagainya. Bentuknya juga sama.
Karena itu, pakaian dan aurat wanita juga bersifat universal. Sebuah koran nasional pernah
memberitakan, sebuah sekolah menengah di AS melarang wanitanya mengenakan pakaian yang
memperlihatkan belahan dadanya, karena dapat mengganggu konsentrasi para pelajar laki-laki,
yang lebih suka melihat belahan dada wanita ketimbang pelajaran di kelas.
Hingga kini, di Inggris misalnya, tidak boleh melakukan aksi demonstrasi di jalan raya dengan
bertelanjang bulat. Karena sifatnya yang universal, maka tidak bisa dibenarkan di daerah mana
pun wanita betelanjang dada dengan alasan sudah menjadi kebiasaan sukunya. Pakaian
koteka tetap salah, dan mereka yang berkoteka diupayakan secara bertahap supaya menutup
auratnya.
Jika disepakati bahwa konsep teks al-Quran adalah bersifat universal dan final maka hukumhukum yang dikandungnya juga bersifat final dan universal tentu dengan memperhatikan
faktor illah.

Sebagai taushiyah, saya sampaikan kepada Prof. Quraish Shihab, bahwa melontarkan pendapat
seperti itu tentang jilbab, bukanlah tindakan yang bijak. Di tengah arus budaya pornografi dan
pornoaksi dan melanda masyarakat, dan munculnya arus budaya jilbab di kalangan wanita
muslimah, penerbitan buku Jilbab karya Quraish Shihab ini, menurut saya, bukanlah tindakan
yang bijaksana. Apalagi, diterbitkan oleh sebuah lembaga yang terhormat seperti Pusat Studi AlQuran.
Ditambah lagi, meskipun ini hanya sebuah pendapat, tetapi pendapat ini bukan keluar dari
seorang Inul Daratista atau seorang Asmuni, melainkan keluar dari seorang mufassir Al-Quran
yang paling terkenal saat ini di Indonesia.
Pendapat Prof. Dr. Quraish Shihab tentang jilbab dan fakta seorang putrinya yang tidak
mengenakan jilbab dijadikan legitimasi oleh satu Majalah untuk melegitimasi tentang tidak
perlunya wanita mengenakan jilbab. Majalah ini pada 22 Maret 2005, menulis judul cover:
TERHORMAT MESKI TANPA JILBAB.
Dr. Eli Maliki juga mengkritik sikap Prof. Quraish Shihab yang tidak mentarjih satu pendapat di
antara para ulama, dan menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat luas untuk memilih
pendapat-pendapat yang bermacam-macam. Padahal, kata Dr. Eli, tugas ulama adalah
memimbing masyarakat, dengan menunjukkan mana pendapat yang lebih kuat, dibandingkan
dengan yang lain. Seorang mahasiswi yang hadir mengaku bingung membaca buku Quraish dan
takut membawa buku itu ke tempat asalnya, karena buku itu ia nilai bisa membingungkan.
Menghadapi semua kritik itu, Quraish Shihab tidak berubah dengan pendapatnya. Ia tetap
menyatakan, bahwa jilbab adalah masalah khilafiah. Padahal, dalam bukunya, Quraish hanya
merujuk kepada pemikiran seorang pemikir liberal Mesir yaitu Muhammad Asymawi.
Quraish bersikap kritis terhadap Muhammad Syahrur, tetapi tidak kritis terhadap Asymawi.
Quraish tetap bertahan dengan pendapatnya, bahwa mengenakan jilbab yang menutup seluruh
tubuh kecuali muka dan telapak tangan adalah sebuah anjuran, bukan kewajiban.
Eli Maliki juga mengkritik pendapat Quraish ini, dan menyatakan, bahwa mengenakan jilbab
adalah sebuah kewajiban, yang jelas-jelas dinyatakan dalam Al-Quran. Quraish Shihab,
meskipun bertahan dengan pendapatnya, bahwa jilbab adalah sebuah anjuran, namun dia
mengaku telah mengajurkan keluarganya untuk memakai jilbab.
Dan ia berharap, para muslimah yang berjilbab, tidak lantas melepas jilbabnya, karena membaca
pendapatnya. Quraish juga menekankan, bahwa daerah-daerah rawan wanita tetap wajib untuk
ditutup.
Menurut saya, karena begitu jelasnya perintah Al-Quran, dan padunya pendapat para sahabat
Nabi, para tabiin, tabiut tabiin, dan para ulama sesudahnya, tentang kewajiban mengenakan
jilbab, lebih aman jika kita mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa jilbab adalah kewajiban
yang jelas. Jika ada yang belum mampu mengenakan jilbab karena berbagai alasan sebaiknya
tidak mengubah hukum jilbab. Lebih baik mengakui bahwa ada kekurangan dalam menjalankan
perintah Allah SWT.

Walhasil, diskusi itu memang belum tuntas. Quraish Shihab tetap dengan pendapatnya semula.
Kita pun sudah menyampaikan nasehat dan pendapat-pendapat untuk Quraish Shihab secara
langsung. Kewajiban kita sudah selesai. Sekarang kita serahkan kepada Allah SWT.
Semoga masyarakat tidak dibuat bingung dengan pendapat Quraish Shihab tentang jilbab. Lebih
aman jika masyarakat mengikuti pendapat para ulama yang sejak zaman Sahabat Nabi hingga
kini telah bersepakat tentang kewajiban wanita menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan
telapak tangannya. Bagaimana pun, harus diakui, pendapat Quraish Shihab tentang jilbab, adalah
pendapat yang ganjil, di kalangan ulama kaum Muslimin. Meskipun dia dikenal sebagai pakar
tafsir, namun dalam hal ini, menurut saya, pendapatnya jelas keliru. Mudah-mudahan di masa
mendatang, Quraish Shihab bersedia meralat pendapatnya. Wallahu alam.
(Jakarta, 23 September 2006/ www.hidayatullah.com ).
powered by performancing firefox

Tanya : Hukum memakai jilbab..


Amiruddin Barata
Sat, 27 Oct 2007 02:13:20 -0700
Allah telah mewajibkan kepada muslimah untuk berjilbab sebagaimana firman-Nya:
1) "Hai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka." yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,
karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (Qur'an Surat: Al Ahzab: 59)
2) Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung ke dadanya." (Qur'an Surat: An Nuur: 31)
Dalam ayat-ayat di atas Allah menghimbau kepada wanita beriman untuk memakai
hijab yang menutupi tubuhnya. Ketika seorang wanita yang benar imannya
mendengar ayat ini maka tentu ia akan melaksanakan perintah Tuhannya dengan
senang hati. Maka bagaimanakah iman seorang wanita yang mengetahui ada
perintah
dari Rabbnya kemudian ia tidak melaksanakannya, bahkan ia melanggarnya dengan
terang-terangan di hadapan umum?! (contohnya mengumbar aurat di muka umum).
Bila mu'min dan mu'minat menolak ketetapan Allah dan dia tau bahwa perkara itu
telah ditetapkan maka dia telah sesat, sebagaimana firman-Nya:
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan
ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang
nyata." (Qur'an Surat: Al Ahzab: 36)

Namun demikian kita hendaknya tetap mendoakan saudara-saudara kita yang belum
berjilbab agar mau berjilbab dan yang sudah berjilbab tapi belum sesuai
ketentuan berjilbab yang benar kita doakan juga agar mereka berjilbab sesuai
dengan ketentuan jilbab sebagaimana dijelaskan pada ayat di atas
----- Pesan Asli ---Dari: arieyhanz <[EMAIL PROTECTED]>
Kepada: assunnah@yahoogroups.com
Terkirim: Selasa, 23 Oktober, 2007 1:33:05
Topik: [assunnah] Tanya : Hukum memakai jilbab..
Assalamualaikum. .
Saya mau bertanya, saat ini banyak muslimah yang tidak memakai jilbab. Apa
hukumnya bagi mereka? Apakah tidak apa-apa? Apakah ada ayat al Qur'an yang
berhubungan? Mohon jawabannya, Saya butuh ilmu.
Wassalam..

Pemikiran & Spiritualitas Islam Kontemporer


Insan Kamil atau manusia sejati adalah manusia yang memiliki kesadaran dan
kemauan memaksimalkan potensi akal, ruh dan fisiknya secara seimbang untuk
membaca setiap pesan Tuhan yang selalu menghampirinya setiap saat. Lalu
berupaya menarik makna dan merangkainya menjadi sebuah cerita utuh dari
perjalanan panjang dalam mematangkan jiwa, hingga saatnya tiba bagi kita
mempersaksikan seluruh peran yang telah kita mainkan dalam drama kosmik ini
kepada Sang Sutradara Tunggal.

Sep 20
Jilbab dan Aurat dalam Hukum Islam
Antropologi Jilbab
Secara historis, jilbab telah dikenal sejak lama misalnya di Yunani dan Persia
sebelum Islam datang. Motivasi yang melandasi tumbuhnya tradisi berjilbab
beragam. Bagi masyarakat Persia, Jilbab digunakan untuk membedakan perempuan
bangsawan dengan perempuan biasa dan Perempuan yang sudah menikah (masih
bersuami atau janda). Seorang perempuan yang diperistri oleh seorang laki-laki dan
perempuan tersebut belum dijilbabkan maka statusnya adalah gundik bukan istri
sah. Jadi jilbab bagi masyarakat Persia dulu digunakan untuk menunjukan
eksklusifitas kelas. Sementara bagi masyarakat Yunani, Jilbab berkaitan erat dengan
teologi atau mitologi menstruasi. Perempuan yang sedang menstruasi harus
diasingkan secara sosial karena diyakini dalam kondisi kotor sehingga mudah
dirasuki Iblis. Untuk menghalangi masuknya Iblis ke diri perempuan tersebut maka
harus ditutupi jilbab sehingga iblis tidak bisa masuk. Dan, bisa jadi dalam kultur
masyarakat tertentu memiliki fungsi yang berbeda. Demikian jika kita ingin
memotret tradisi berjilbab dalam perspektif sejarah beberapa abad ke belakang.

Data ini bisa dilacak dari hasil riset yang dilakukan oleh Fadwa El-Guindi, Ph.D
seorang Profesor Antropologi dari Sourthen university California, juga dalam
makalah yang pernah ditulis Oleh Prof. Nasarudin Umar (Peneliti Kesetaraan Gender
dalam Islam, saat ini menjabat Dirjen BIMAS ISLAM DEPAG) dalam jurnal Ulumul
Quran sekitar Tahun 1990-an.

Dalam tradisi masyarakat arab, dimana pertama kali islam berkembang, Jilbab pun
sudah populer. Hanya saja, dalam tradisi masyarakat arab, kepala ditutup rapat
namun dada mereka terbuka. Data ini bisa dilacak dalam kitab Shofwatuttafasir
karya seorang ulama terkemuka yang bernama Imam Muhammad Ali As-Shobuni.

Pandangan Islam tentang Jilbab


Pertama, kita harus memulai dari ayat berikut:
Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteriisteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu
mereka tidak di ganggu. (Al-Ahzab ayat 59)
Dalam Al-Ahzab ayat 59 diatas, menurut ulama tafsir, Sabab Nuzul (sebab turun)
ayat tersebut adalah karena terjadinya hadist ifki (berita bohong) atau fitnah kubro
(fitnah yang sangat keji) terhadap Aisyah RA yang bersatus istri nabi. Aisyah
disinyalir memiliki kedekatan khusus dengan salah seorang sahabat nabi bahkan
difitnah berselingkuh. Oleh karena itu turunlah ayat ini yang memerintahkan nabi
menganjurkan istri dan anaknya mengenakan jilbab dengan maksud mengangkat
kembali derajat istri nabi. Menurutku, pandangan ini memiliki kemiripan dengan
tradisi berjilbab masyarakat Persia dimana jilbab berperan untuk mengangkat
derajat perempuan.
Kajian Hukum/syariat/fikih ayat diatas:
1. jika menggunakan dalil penetapan hukum Islam: Al-Ibratu Bikhusus as-sabab, laa
bi umum al-lafdzi (Penetapan hukum harus berdasarkan sebab yang spesifik bukan
berdasarkan teks yang general) maka kesimpulan hukum yang dapat diambil
adalah bahwa jilbab hanya diwajibkan bagi Istri dan anak nabi saja, tidak untuk
perempuan muslim lainnya meskipun dalam teks dinyatakan secara eksplisit : Istriistrimu, anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin. Karena generalnya teks
tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum dan hanya kepada penyebab lahirnya
hukum saja hukum itu berlaku.
2. Jika menggunakan dalil penetapan hukum Islam: Al-Ibratu Bi-umum al-Lafdzi, laa
bikhusus as-sabab (Penetapan hukum harus berdasarkan generalnya teks bukan
berdasarkan sebab yang spesifik) maka kesimpulan hukum yang dapat diambil

adalah bahwa jilbab diwajibkan kepada istri& anak nabi begitupun seluruh
perempuan beriman. Meskipun ayat ini sebenarnya turun karena disebabkan
peristiwa yang menimpa aisyah (istri nabi tersebut) tapi ayat ini berlaku umum.
Dari sini mungkin kita sudah dapat menemukan titik terang, mengapa ada ulama
yang berpandangan bahwa Jilbab wajib untuk semua perempuan muslim dan
sebagian lagi berpandangan tidak wajib. Sebenarnya itu dimulai dari perbedaan
cara/metode penafsiran yang digunakan. Dan kedua model penafsiran tersebut
adalah metode yang sama-sama dianggap sah dalam tradisi islam. Bagi yang
berpegang dengan metode pertama, biasanya berangkat dari para penafsir yang
lebih mengedepankan konteks dari ayat dan berusaha menggali pesan moral yang
terkandung dari ayat. Dalam tradisi Islam ini berkembang di kalangan pemikir di
luar Hijaz ( di luar makkah, madinah dan sekitar) termasuk Indonesia yang memang
tidak terlalu banyak diwarisi pengalaman nabi, sahabat dan generasi awal Islam
sehingga mengharuskan mereka mengedepankan rasionalitas. Adapun yang
berpegang dengan metode kedua, biasanya berangkat dari para penafsir yang
mengedepankan teks ayat. Dalam tradisi Islam ini berkembang di kalangan pemikir
yang berada di sekitar Hijaz. Mereka cenderung tekstual/literal karena memang
banyak diwarisi pengalaman nabi, sahabat dan generasi awal yang bisa dijadikan
referensi mereka untuk bertanya jika menemukan kesulitan dalam memaknai ayat
sehingga tidak perlu repot repot berfikir keras.
Jika ada pertanyaan, pandangan mana yang benar? Maka kita pun harus bersandar
bagaimana status sebuah pandangan hukum dalam hukum Islam. Dalam hukum
Islam kebenaran sebuah pandangan/pendapat bersifat relatif, karena semuanya
merupakan ijtihadi (bersifat pemikiran manusia). Selama bersandar pada
metodologi hukum Islam yang sah maka hukum itupun dianggap sah. Manusia
memiliki kebebasan penuh untuk memilih hukum mana yang menurutnya lebih
benar, lebih tepat dan lebih diyakini untuk dijalankan. Perbedaan adalah hal yang
dianggap wajar dan dianggap hanya sebagai bentuk keragaman saja. Seseorang
baru dianggap salah jika sudah memutlakan pandangan yang dianutnya dan
menganggap pandangan orang lain salah.
Kedua, kadang jilbab dikaitkan dengan aurat, sebenarnya bagaimana konsep aurat
dalam tradisi Islam?
Kita harus memulai dari ayat:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera

saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan
janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung. An-Nur ayat 31.
Ulama tafsir berpendapat bahwa sebab turun ayat ini masyarakat arab punya
tradisi menutup kepala tapi dada terbuka. Sebagaimana di awal dikutip dari
pandangan tafsir ash-shobuni dalam shofwatuttafasir. Makanya kemudian dalam
ayat ini ada perintah menutup kain kerudung ke dadanya. Maksudnya, kenapa
kepala ditutup, tapi dada yang lebih privasi tidak ditutup. Maka bagusnya tutuplah
sekalian dadanya.
Ada ungkapan yang bagus dalam ayat ini, hendaklah menahan pandangan dan
kemaluannya. Ini juga mengisyaratkan apa sebenarnya aurat itu. Pertama berkaitan
dengan pandangan dan kedua berkaitan dengan kemaluan. Tafsirnya, apa yang
membuat pandangan orang lain tidak nyaman begitupun apa yang membuat kita
merasa malu menurut standar etika yang berlaku bagi masyarakat tertentu atau
dimana kita berada maka itulah yang menjadi pijakan kita menentukan aurat.
adapun prakteknya seperti apa sangat bergantung pada kultur masyarakat yang
berlaku itu tadi. Maka, bagi kultur masyarakat arab, menutup aurat bagi perempuan
adalah dengan menutup kepala, dada, tangan bahkan ada yang sampai bercadar
sesungguhnya itu adalah salah satu bentuk praktek menutup aurat bagi
masyarakat tertentu yang kemudian dilegitimasi oleh Islam sebagai contoh saja
karena kebetulan Alquran dan Islam pertama kali berinteraksi dengan kultur
masyarakat arab.
Lagi lagi, jika kita menggunakan pendekatan tekstual/literal maka praktek menutup
aurat yang benar adalah sebagaimana yang dicontohkan oleh masyarakat arab
yang hal tersebut dilegitimasi Islam melalui teks alquran surat an-nur ayat 31 itu.
Praktek ini benar dan tidak bisa disalahkan.
Namun, jika kita menggunakan pendekatan kontekstual, maka yang paling penting
adalah menangkap pesan moral dari ayat ini. Yaitu menjaga pandangan orang lain
agar tidak terganggu dan menjaga harga diri kita. Adapun prakteknya sangat
bergantung dari standar moral yang berlaku. Quraish Shihab dan Nurcholish Madjid
berpandangan bahwa aurat bagi perempuan Indonesia tidak termasuk
kepala/rambut. Jadi menggunakan pakaian yang sopan dan tidak
ketat/memperlihatkan lekuk tubuh itu sudah masuk dalam standar menutup aurat.
praktek inipun benar dan tidak bisa disalahkan.
Demikian seputar perdebatan syariat dalam masalah hukum jilbab dan aurat. lagi
lagi, persoalan hukum aurat dan jilbab adalah persoalan syariat, maka pendekatan

yang paling tepat untuk menentukan hukumnya seperti apa hanya bisa dilakukan
dengan menggunakan epistimologi syariat. Tidak tepat jika kita ingin mendiskusikan
hukum jilbab dan aurat tapi dengan metode yang biasa digunakan membedah ilmu
hakikat yang cenderung bersifat intuitif-spekulatif. Sementara hukum Islam lebih
cenderung normatif-argumentatif. Pendekatan intuitif-spekulatif baru tepat
digunakan saat kita akan membedah tujuan, makna, hakikat dan hikmah dibalik
pensyariatan jilbab dan aurat. mudah-mudahan kita terbiasa menempatkannya
sesuai porsi masing-masing sehingga tidak terjadi kerancuan dalam berfikir dan
berbuat dalam menjalankan spiritualitas (beragama).

Feb 27, '06 3:03 AM


for everyone
Ucie Purwadi 2005/06/13 20:18 assalamualaikum.. apa kabar pak joban? mudah2an bapak dan
keluarga senantiasa dlm lindungan Allah, SWT.. mendengarkan kotbah bapak tentang mati, salah
satu siksa kubur adalah bila wanita tdk menutup rambutnya (berjiblab). mohon informasi
tambahan al qur'an ayat berapa dan sunnah apa yg mewajibkan wanita muslim berjilbab. bbrp
waktu lalu saya mendengar kuliah Islam dr seorg doktor muslim indonesia yg mengajar mata
kuliah Islam di washington university (DC), beliau menyampaikan perspektif jilbab dr sejarah
sampai hukumnya. dari kesimpulan , beliau mengatakan jilbab tidak wajib utk wanita terlebih
bila itu mengancam kehidupan sosiologi seperti di perancis. mohon penjelasan bapak, terima
kasih. wassalamualaikum.. Ucie Poerwadi Assalamualikum 2005/06/13 20:43 Memang betul ada
beberapa pemikir Muslims di Indonesia, seperti Nurkhalis Majid, Mantan Mentri Aqama di
Jaman Suharto Dr. Shadili, Bang Imad, dan aliran JIl dll. Setelah saya pelajari mereka yg
berpendapt bh hijab atau Jilbab itu tidak wajib, baik menurut sebahagian pemikir muslims
Indonesia atau orang lain adalah mereka bukan ahli Hukum (syari'ah atau Fiqih), mereka hanya
pemikir Islam. Sedangkan masalah hijab dan Jilbab adalah masalah Fiqih (Syari'ah), dan mereka
bukan expert dibidang itu. Keempat Mazhab yg terkenal seperti Mazhab Hanafi, Maliki, Syafii
dan Hambali dan semua ahli Fiqh dan Syariat Islam sependapat bh aurat perempuan adalah
semua badannya kecuali Muka dan Telepak tangan. Dan sejarah yg dikemukakan oleh mereka
setelah saya pelajari dan juga oleh para Fuqaha dan banyak para pemikir muslims, adalah sejarah
yg dibuat oleh para orientlaists yg memang tujuannya untuk menghancurkan Islam. Berikut ini
adalah dalil-dalil tentang wajibnya memakai Hijab menurut Al-Qur'an dan Hadith dan penafsiran
para Shahabat dan Fuqaha (Ahli Fiqih) Hukum Jilbab dan Hijab 1. Saya mau menanyakan
tentang hukum jilbab (menutup aurat) bagi seorang muslimah (wajib, sunah, atau yang lain). 2.
Saya mau menyakan tentang hukumnya hijab (batasan pergaulan) antar lawan jenis. Apa
Hukum Jilbab dan Hijab

hukumnya kalau saya menyentuh seorang lawan jenis? (Andriansyah, Gresik, Indonesia)
Jawaban: 1. Rasulullah saw. bersabda yang artinya, "Ada dua golongan penghuni neraka yang
aku belum pernah melihatnya: laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip
ekor sapi untuk memukuli orang lain dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang dan
berlenggak-lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta. Mereka itu tidak masuk
surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari
jarak sekian dan sekian." (HR Muslim). Aurat wanita yang tidak boleh terlihat di hadapan lakilaki lain (selain suami dan mahramnya) adalah seluruh anggota badannya kecuali wajah dan
telapak tangan. Hal ini berdasarkan dalil sebagai berikut. a. Alquran surah An-Nur ayat 31, "Dan
katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: 'Hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa
nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkkan khumurnya (Ind hijab) ke
dadanya...." Ayat ini menegaskan empat hal: 1.. 1. Perintah untuk menahan pandangan dari yang
diharamkan oleh Allah. 2.. 2. Perintah untuk menjaga kemaluan dari perbuatan yang haram. 3.. 3.
Larangan untuk menampakkan perhiasan kecuali yang biasa tampak. Para ulama mengatakan
bahwa ayat ini juga menunjukkan akan haramnya menampakkan anggota badan tempat
perhiasan tersebut. Sebab, jika perhiasannya saja dilarang untuk ditampakkan apalagi tempat
perhiasan itu berada. Sekarang marilah kita perhatikan penafsiran para sahabat dan ulama
terhadap kalimat "kecuali yang biasa nampak" dalam ayat tersebut. Menurut Ibnu Umar r.a. yang
biasa nampak adalah wajah dan telapak tangan. Begitu pula menurut 'Atha, Imam Auzai, dan
Ibnu Abbas r.a. Hanya saja, beliau (Ibnu Abbas) menambahkan cincin dalam golongan ini. Ibnu
Mas'ud r.a. mengatakan maksud kata tersebut adalah pakaian dan jilbab. Said bin Jubair r.a.
mengatakan maksudnya adalah pakaian dan wajah. Dari penafsiran para sahabat dan para ulama
ini jelaslah bahwa yang boleh tampak dari tubuh seorang wanita adalah wajah dan kedua telapak
tangan. Selebihnya hanyalah pakaian luarnya saja. 4.. 4. Perintah untuk menutupkan khumur ke
dada. Khumur adalah bentuk jamak dari khimar yang berarti kain penutup kepala. Atau, dalam
bahasa kita disebut hujab. Ini menunjukkan bahwa kepala dan dada adalah juga termasuk aurat
yang harus ditutup. Berarti tidak cukup hanya dengan menutupkan hijab pada kepala saja dan
ujungnya diikatkan ke belakang. Tetapi, ujung jilbab tersebut harus dibiarkan terjuntai menutupi
dada. b. Hadis riwayat Aisyah r.a., bahwasanya Asma binti Abu Bakar masuk menjumpai
Rasulullah dengan pakaian yang tipis, lantas Rasulullah berpaling darinya dan berkata, "Hai
Asma, seseungguhnya jika seorang wanita sudah mencapai usia haid (akil balig) maka tidak ada
yang layak terlihat kecuali ini," sambil beliau menunjuk wajah dan telapak tangan. (HR Abu
Daud dan Baihaqi). Hadis ini menunjukkan dua hal: 1.. 1. Kewajiban menutup seluruh tubuh
wanita kecuali wajah dan telapak tangan. 2.. 2. Pakaian yang tipis tidak memenuhi syarat untuk
menutup aurat. Dari kedua dalil di atas, jelaslah batasan aurat bagi wanita, yaitu seluruh tubuh
kecuali wajah dan dua telapak tangan. Dari dalil tersebut pula kita memahami bahwa menutup
aurat adalah wajib. Berarti jika dilaksanakan akan menghasilkan pahala dan jika tidak dilakukan
maka akan menuai dosa. Kewajiban menutup aurat ini tidak hanya berlaku pada saat salat saja
atau ketika hadir dipengajian, namun juga pada semua tempat yang memungkinkan ada laki-laki
lain bisa melihatnya. Selain kedua dalil di atas masih ada dalil-dalil lain yang menegaskan akan
kewajiban menutup aurat ini: "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu
melakukan tabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah dahulu...." (Al-Ahzab: 33).
Tabarruj adalah perilaku mengumbar aurat atau tidak menutup bagian tubuh yang wajib untuk
ditutup. Fenomena mengumbar aurat ini adalah perilaku jahiliah. Konteks ayat di atas ditujukan
untuk istri-istri Rasulullah. Namun, keumuman ayat ini mencakup seluruh wanita muslimah.

Kaidah ilmu ushul fiqh mengatakan, "Yang dijadikan pedoman adalah keumuman lafaz sebuah
dalil dan bukan kekhususan, sebab munculnya dalil tersebut (al ibratu bi umumil lafdzi la
bikhususis sabab)." "Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan
istri-istri orang-orang mukmin: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka.' Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal dan oleh karenanya
mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Ahzab: 59).
Jilbab dalam bahasa Arab berarti pakaian yang menutupi seluruh tubuh (pakaian kurung), bukan
berarti jilbab dalam bahasa kita (lihat arti kata khimar di atas). Ayat ini menjelaskan pada kita
bahwa menutup seluruh tubuh adalah kewajiban setiap mukminah dan merupakan tanda
keimanan mereka. Syarat-Syarat Pakaian Penutup Aurat Wanita Pada dasarnya seluruh bahan,
model, dan bentuk pakaian boleh dipakai, asalkan memenuhi syarat-syarat berikut. 1. Menutup
seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. 2. Tidak tipis dan transparan. 3. Longgar dan
tidak memperlihatkan lekuk-lekuk dan bentuk tubuh (tidak ketat). 4. Bukan pakaian laki-laki
atau menyerupai pakaian laki-laki. 5. Tidak berwarna dan bermotif terlalu menyolok. Sebab,
pakaian yang menyolok akan mengundang perhatian laki-laki. Dengan alasan ini pula, maka
membunyikan (menggemerincingkan) perhiasan yang dipakai tidak diperbolehkan walaupun itu
tersembunyi di balik pakaian. 2. Adapun masalah hijab atau batasan pergaulan laki-laki dan
wanita yang bukan mahram, maka tidak boleh atau haram bersentuhan, berdua-duaan atau
khalwat, haram saling pandang-pandangan, kecuali untuk khitbah atau melamar, haram
berbincang-bincang yang mengundang syahwat, kecuali masalah belajar atau taklim atau
muamalah. Sekian, wallahu a'lam. http://www.imsa.us/index.php?
option=com_simpleboard&Itemid=91&func=view&id=28&catid=8
http://www.imsa.us/index.php?
option=com_simpleboard&Itemid=91&func=view&id=29&catid=8
Prev: IBUNDA, KENAPA ENGKAU MENANGIS?
Next: Renungan bagi yang sibuk berkarir

Hukum Memakai Jilbab

October 28, 2007 2:39 am

Posted in Religi

Mengapa kebanyakkan penghuni neraka adalah wanita ?

Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid, dia berkata : Rasulullah Shallallahualaihi wa salam
bersabda :
Aku berdiri di pintu surga (ternyata) kebanyakkan orang yang masuk ke dalamnya adalah
orang-orang lemah, sedangkan orang-orang yang kemuliaan (yaitu : orang berharta, orang yang
mempunyai kedudukan dan kebahagiaan materil) tertahan (dari masuk surga), tetapi penduduk
neraka diperintahkan untuk masuk neraka. Aku berdiri di pintu neraka, ternyata kebanyakkan
yang masuk ke dalamnya adalah para wanita (Hadits ini shahih diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim)
Dan dihadits lain pun diriwayatkan dari Imran bin Hushain radhiyAllahuanhu, dari Nabi
Shallallahu alaihi wa salam, beliau bersabda :
Aku melihat-lihat ke dalam surga, Aku juga melihat-lihat ke dalam neraka, maka aku melihat
kebanyakkan penghuninya adalah para wanita (Hadits shahih riwayat Bukhari dan diriwayatkan
juga oleh Kutubbusittah)
Sungguh. Allah telah menampakkan kepada Nabi kita Shallallahu alaihi wasalam tentang Surga
dan Neraka pada malam Isra Miraj, ketika itu beliau melihat-lihat kedalam surga, ternyata
penghuninya adalah orang-orang yang fakir. Beliau juga melihat-lihat ke dalam neraka ternyata
kebanyakkan penghuninya adalah para wanita. (sekarang yang kita tanyakan apakah para wanita
yang telah dijelaskan oleh beliau pada masa beliau ?)
jawabnya :
Bukankah Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam telah bersabda :
Sebaik-baiknya masa adalah pada masaku, kemudian sesudahnya ( sahabat,
tabiin, tabiut tabiin ).Hadits cukup di kenal dikalangan para ahli ilmu tentang keshahihannya)
Lalu siapakah yang disebutkan oleh beliau tentang para wanita. Wallahu Alam
Kemudian apa kesalahan mereka ? apakah mereka tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
ataukah mereka beryakinan bahwa agama itu harus memuaskan hawa nafsunya.
Atau mereka telah menganggap bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya dalam kehidupan
dunia, kalolah benar, berarti benar apa yang dikatakan oleh Allah Taala :
Katakanlah: Apakah (mau) Kami beritahu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya? Yaitu orang-orang yang sia-sia saja perbuatannya dalam kehidupan dunia,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat usaha yang sebaik-baiknya. Mereka itulah
orang-orang yang mengingkari (kufur) terhadap ayat-ayat Allah dan menemui-Nya, maka
hapuslah amal pekerjaan mereka, dan Kami mengadakan suatu pertimbangan terhadap (amalan)
mereka di hari kiamat.Demikianlah, balasan mereka ialah jahanam, disebabkan mereka
kufur/ingkar dan karena mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan Rasul-rasul- Ku sebagai olokolok.(Surat Al-Kahfi (18) ayat 103-106)
Ketahuilah, Wanita muslimah.

Atau apakah mereka telah mengadakan adanya pilihan lain untuk urusannya,padahal Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, tapi bagi mereka ada pilihan lain agar sesuai
dengan hatinya atau ikut-ikutan dengan orang-orang disekitarnya.
Padahal Allah Taala mengatakan dalam firman-Nya :
Dan tidaklah (patut) bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka.Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sesungguhnya ia telah tersesat, sesat yang nyata (Surat Al-Ahzab (33) ayat 36)
Dan firman-Nya :
Dan barangsaiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan
yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta (Surat
Thaha (20) ayat 124)
Lalu kenapa mereka tidak ittiba kepada para wanita yang ada pada masa Rasulullah Shallallahu
alaihi wa salam yang beliau tetapkan bahwa pada masa beliaulah yang terbaik.
Bukankah pada masa sekarang ini semua telah mengikuti perbuatan al yahud dan an nashara,
sehasta demi sehasta lalu sejengkal demi sejengkal.
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa beliau bersabda :
Ada dua kelompok penghuni neraka yang belum pernah aku lihat sebelumnya,yaitu kaum yang
memegang cambuk seperti ekor sapi lalu mencambukkannya ke tubuh manusia. kemudian
sekelompok wanita yang mengenakan pakaian namun layaknya telanjang. Condong dan berjalan
melenggak-lenggok dan kepalanya bergoyang seperti punuk unta yang bergoyang. Mereka tidak
akan masuk surga,bahkan tidak dapat mencium aromanya, padahal aroma surga dapat tercium
dalam jarak perjalanan segini dan segitu (Hadits shahih riwayat Muslim dan lainnya)
Nabi Shallallahu alaihi wa salam telah melihat-lihat kejadian dunia yang akan datang dan
berbagai peristiwa yang menakutkan, maka beliau mengetahui sesuatu yang dipakai oleh wanita,
sehingga beliau menyebutkan hadits tersebut. Jadi kita tidak perlu heran dalam hal itu.
Berikut perkataan para ulama-ulama tentang hadits tersebut.
Al Hafizh Abu Al Khaththab berkata : Sabda beliau, Ada dua kelompok penghuni neraka yang
belum pernah aku lihat sebelumnya maksudnya adalah kelompok dari golongan segala hal.
Ibnu Faris di dalam kitab Al Mujmal mengatakan bahwa cambuk termasuk siksaan yang sesuai
dan cambuk artinya mencampur suatu bagian dengan bagian yang lain.
Sabda beliau :
Sekelompok wanita yang mengenakan pakaian namun layak telanjang maksudnya dilihat dari

segi baju mereka berpakaian, sedangkan dilihat dari segi agama mereka telanjang, karena mereka
terbuka dan menampakkan lekuk-lekuk bentuk tubuh mereka dan sebagian kecantikannya.
sumber : milis assunah

Hukum Memakai Jilbab

October 28, 2007 2:39 am

Posted in Religi

Mengapa kebanyakkan penghuni neraka adalah wanita ?


Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid, dia berkata : Rasulullah Shallallahualaihi wa salam
bersabda :
Aku berdiri di pintu surga (ternyata) kebanyakkan orang yang masuk ke dalamnya adalah
orang-orang lemah, sedangkan orang-orang yang kemuliaan (yaitu : orang berharta, orang yang
mempunyai kedudukan dan kebahagiaan materil) tertahan (dari masuk surga), tetapi penduduk
neraka diperintahkan untuk masuk neraka. Aku berdiri di pintu neraka, ternyata kebanyakkan
yang masuk ke dalamnya adalah para wanita (Hadits ini shahih diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim)
Dan dihadits lain pun diriwayatkan dari Imran bin Hushain radhiyAllahuanhu, dari Nabi
Shallallahu alaihi wa salam, beliau bersabda :
Aku melihat-lihat ke dalam surga, Aku juga melihat-lihat ke dalam neraka, maka aku melihat
kebanyakkan penghuninya adalah para wanita (Hadits shahih riwayat Bukhari dan diriwayatkan
juga oleh Kutubbusittah)
Sungguh. Allah telah menampakkan kepada Nabi kita Shallallahu alaihi wasalam tentang Surga
dan Neraka pada malam Isra Miraj, ketika itu beliau melihat-lihat kedalam surga, ternyata
penghuninya adalah orang-orang yang fakir. Beliau juga melihat-lihat ke dalam neraka ternyata
kebanyakkan penghuninya adalah para wanita. (sekarang yang kita tanyakan apakah para wanita
yang telah dijelaskan oleh beliau pada masa beliau ?)

jawabnya :
Bukankah Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam telah bersabda :
Sebaik-baiknya masa adalah pada masaku, kemudian sesudahnya ( sahabat,
tabiin, tabiut tabiin ).Hadits cukup di kenal dikalangan para ahli ilmu tentang keshahihannya)
Lalu siapakah yang disebutkan oleh beliau tentang para wanita. Wallahu Alam
Kemudian apa kesalahan mereka ? apakah mereka tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
ataukah mereka beryakinan bahwa agama itu harus memuaskan hawa nafsunya.
Atau mereka telah menganggap bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya dalam kehidupan
dunia, kalolah benar, berarti benar apa yang dikatakan oleh Allah Taala :
Katakanlah: Apakah (mau) Kami beritahu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya? Yaitu orang-orang yang sia-sia saja perbuatannya dalam kehidupan dunia,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat usaha yang sebaik-baiknya. Mereka itulah
orang-orang yang mengingkari (kufur) terhadap ayat-ayat Allah dan menemui-Nya, maka
hapuslah amal pekerjaan mereka, dan Kami mengadakan suatu pertimbangan terhadap (amalan)
mereka di hari kiamat.Demikianlah, balasan mereka ialah jahanam, disebabkan mereka
kufur/ingkar dan karena mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan Rasul-rasul- Ku sebagai olokolok.(Surat Al-Kahfi (18) ayat 103-106)
Ketahuilah, Wanita muslimah.
Atau apakah mereka telah mengadakan adanya pilihan lain untuk urusannya,padahal Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, tapi bagi mereka ada pilihan lain agar sesuai
dengan hatinya atau ikut-ikutan dengan orang-orang disekitarnya.
Padahal Allah Taala mengatakan dalam firman-Nya :
Dan tidaklah (patut) bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka.Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sesungguhnya ia telah tersesat, sesat yang nyata (Surat Al-Ahzab (33) ayat 36)
Dan firman-Nya :
Dan barangsaiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan
yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta (Surat
Thaha (20) ayat 124)
Lalu kenapa mereka tidak ittiba kepada para wanita yang ada pada masa Rasulullah Shallallahu
alaihi wa salam yang beliau tetapkan bahwa pada masa beliaulah yang terbaik.
Bukankah pada masa sekarang ini semua telah mengikuti perbuatan al yahud dan an nashara,
sehasta demi sehasta lalu sejengkal demi sejengkal.

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa beliau bersabda :
Ada dua kelompok penghuni neraka yang belum pernah aku lihat sebelumnya,yaitu kaum yang
memegang cambuk seperti ekor sapi lalu mencambukkannya ke tubuh manusia. kemudian
sekelompok wanita yang mengenakan pakaian namun layaknya telanjang. Condong dan berjalan
melenggak-lenggok dan kepalanya bergoyang seperti punuk unta yang bergoyang. Mereka tidak
akan masuk surga,bahkan tidak dapat mencium aromanya, padahal aroma surga dapat tercium
dalam jarak perjalanan segini dan segitu (Hadits shahih riwayat Muslim dan lainnya)
Nabi Shallallahu alaihi wa salam telah melihat-lihat kejadian dunia yang akan datang dan
berbagai peristiwa yang menakutkan, maka beliau mengetahui sesuatu yang dipakai oleh wanita,
sehingga beliau menyebutkan hadits tersebut. Jadi kita tidak perlu heran dalam hal itu.
Berikut perkataan para ulama-ulama tentang hadits tersebut.
Al Hafizh Abu Al Khaththab berkata : Sabda beliau, Ada dua kelompok penghuni neraka yang
belum pernah aku lihat sebelumnya maksudnya adalah kelompok dari golongan segala hal.
Ibnu Faris di dalam kitab Al Mujmal mengatakan bahwa cambuk termasuk siksaan yang sesuai
dan cambuk artinya mencampur suatu bagian dengan bagian yang lain.
Sabda beliau :
Sekelompok wanita yang mengenakan pakaian namun layak telanjang maksudnya dilihat dari
segi baju mereka berpakaian, sedangkan dilihat dari segi agama mereka telanjang, karena mereka
terbuka dan menampakkan lekuk-lekuk bentuk tubuh mereka dan sebagian kecantikannya.
sumber : milis assunah

Hukum Jilbab Dan Cadar (Niqob)


Oktober 14th, 2009 |

Author: admin

Pertanyaan:
Beberapa hari yang lalu, diharian REPUBLIKA, tepatnya pada tanggal 9- dan 10 - Oktober 2009
pada halaman 12 diberitakan tentang pernyataan seorang Imam dan Guru Besar Universitas AlAzhar Cairo Mesir, Yakni Syekh Thontowi, yang menyatakan bahwa Lembaga Al- Azhar akan
melarang pemakaian CADAR dilingkungannya, dan bahwa CADAR adalah bukan merupakan
pakian resmi berdasarkan aturan Syariat Islam, akan tetapi sekedar bersumber pada TRADISI,
berbeda dengan JILBAB. Mohon penjelasannya tentang kedua masalah tersebut, yakni tentang
hukum JILBAB dan NIQOB.
______________________________________________________________________________
___________
Jawab:
1.Definisi.
Perlu diketahui terlebih dahulu tentang definisi kedua istilah tersebut;
JILBAB adalah suatu kain penutup kepala, leher dan dada seorang wanita.
Nama lainnya adalah Khimaar, jamanya Khumur, Kerudung atau Tudong dalam bahasa
Melayu. Lihat Surat An- Nuur ayat 31 tentang PERINTAH BERJILBAB.
NIQOB adalah suatu kain yang dipakai menutup wajah seorang wanita, sehingga yang tampak
hanya kedua matanya.
Nama lainnya adalah Purdah, Hijaab, Chador, Bushiya, Burqo, atau CADAR dalam bahasa
Melayu/ Indonesia.
2. Hukum

2.1. Hukum JILBAB


Para Ulama Salaf sepakat bahwa Rambut, Leher dan Dada seorang wanita merdeka adalah
termasuk bagian AURAT tubuh yang harus ditutup.
Sebagaimana juga di tulis oleh Syekh A.Rifai dalam kitabnya berjudul RIAYATUL HIMMAH
I/ bab syarat sah sholat bahasa Jawi berdasarkan madzhab Syafii, demikian:
Ngurate wong merdiko tinemune
Iku sekabehe badan anging rerahine
Lan epek- epeke karo, dhohir bathine
Indonesianya:
Aurat seorang wanita merdeka adalah seluruh badan, KECUALI WAJAH dan KEDUA
TELAPAK TANGANNNYA, baik bagian LUAR maupun DALAM telapak tangan nya.
Pendapat Syafii ini bersesuaian dengan pendapat gurunya yakni imam Malik.
Beberapa Ulama antar madzhab sepakat tentang masalah auratnya rambut, leher dan dada serta
anggota tubuh yang lain. Perbedaan mereka hanya pada masalah telapak tangan dan telapak
kaki.
Imam Hanafi menganggap bagian luar telapak tangan termasuk aurat, demikian juga telapak
kaki.
Imam Hambali menganggap seluruh tubuh adalah aurat terkecuali wajah saja.
Imam Jafar (Dari Syiah Imamiyah) menganggap bahwa kedua telapak tangan luar dalam dan
kedua telapak kaki sampai betis bukan merupakan aurat.
Hujjah mereka adalah BERDASARKAN Surat An- Nuur ayat 31:

. .
. Dan hendaklah wanita- wanita itu menurunkan kerudung (dari kepala) sampai (menutup)
dada- dada mereka.
dan beberapa hadist dibawah ini:



.
Artinya:

Dari Aisyah RA bahwa sesungguhnya Asma binti Abi Bakar masuk kehadapan Rasulullah SAW
dan Asma saat itu memakai baju yang tipis. Maka Rasulullah berpaling daripadanya seraya
berkata: Apabila Wanita telah dewasa (haidh), maka ia tak boleh terlihat kecuali INI dan INI.
Dan Rasul menunjuk pada WAJAH dan TANGAN beliau. Hadist riwayat Abu Dawud.
Dari hadist ini nyata sekali bahwa selain MUKA dan TELAPAK TANGAN adalah aurat.


.
Artinya:
Dari Ibnu Umar RA, Nabi bersabda: Janganlah wanita yang sedang Ihrom itu memakai
NIQOB, jangan juga memakai kedua SARUNG TANGAN. Hadist Riwayat Bukhori.
Hadist ini memperkuat hadist yang pertama bahwa WAJAH dan KEDUA TELAPAK TANGAN
adalah bukan aurat. Bahkan Rasulullah memerintahkan agar CADAR dan KAOS TANGAN
untuk DILEPAS, sehingga bila thowaf dengan memakai NIQOB/ CADAR dan KAOS
TANGAN, maka thowafnya tidak sah. Seandainya WAJAH dan TELAPAK TANGAN termasuk
aurat, pastilah saat Ihrom atau Thowaf lebih layak untuk ditutup dari pada dalam keadaan biasa.
Hadist- hadist inilah yang dipakai hujjah oleh sebagian besar Ulama bahwa CADAR itu adalah
sekedar TRADISI bukan SYARI. (Lihat: Ibn Rusyd Al- Qurthubi: Bidayatul Mujtahid I/115 Abil Mawahib As-Syafii: Mizaanul Kubro. 170.)
2.2. Hukum CADAR / NIQOB.
Berikut ini beberapa hadist dan ayat yang dipakai sebagai dalil tentang anjuran memakai
NIQOB:
Dari Ummi Athiyah: Kita diperintahkan oleh Rasulullah untuk mengajak wanita- wanita
yang sedang haidl dan wanita- wanita bercadar untuk menghadiri perayaan IED. Wanita- wanita
yang sedang Haidl dijauhkan dari Musholla. Seorang wanita bertanya: Ya Rasulalloh,
bagaimana tentang seorang wanita yang tidak memakai cadar? Rasul menjawab: Biarlah dia
berbagi dengan temannya (yang bercadar). Shohih Bukhori 8/ 347/1
Pada ayat Al- Quran Surat Arrohman ayat 56 Allah berfirman:
Fiihinna qooshirootuthorfi lam ythmitshunna insun qoblahum walaa jaan
(Disorga ada bidadari- bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah
disentuh manusia sebelum suami mereka (disorga) dan tidak pula oleh Jin )

Berdasar hadist dari Aisyah: Yaitu para wanita yang menurunkan jilbabnya dari atas kepala dan
kemudian meletakkannya pada MUKA nya . Bukhori: 7/65/375 - Muslim: 8/33/34.
Sebagian besar Ulama menafsirkan yang dimaksud Qoosirootuthorfi itu adalah Bidadari
sorga yang sopan- sopan sesuai ayat- ayat sebelumnya yang sedang membahas masalah keadaan
sorga.
Dari Aisyah: Ada kafilah bertemu kami, saat itu kami bersama Rasulullah sedang Ihrom.
Saat mereka telah dekat masing- masing kami menurunkan jilbabnya dari kepala sampai
menutup muka. Dan saat kafilah itu telah melewati kami, kami membuka wajah kami. Sunan
Abu Dawud: 1/ 1833.
Dari Ibnu Abbas: Allah memerintahkan para mukminat- apabila mereka keluar rumah untuk
suatu hajat, agar menutup kepalanya dengan jilbab, membiarkannya satu atau kedua matanya
untuk melihat melalui Niqob. Tafsir At- Thobari 2/123 - Bukhori: 8/368/1
Dari Anas bin Malik RA: Bahwa Rasulullah SAW bersabda: Apabila seorang wanita
penghuni sorga melihat ke bumi, dia ingin untuk memenuhi ruang antara dia- bumi dan sorga
dengan cahaya, dan ingin apapun yang ada diantaranya penuh dengan wewangian sorgawi, dan
CADAR pada wajahnya lebih baih baik dari dunia dan seisinya Bukhori: 8/572/1.
Ini menunjukkan bahwa PENGHUNI SORGAPUN MEMAKAI CADAR.
Bagi Jumhur Ulama, ini adalah sekedar informasi kebesaran pakaian para bidadari penghuni
sorga, bukan perintah untuk memakainya. Sebagaimana informasi pada Surat Al- Muthoffifiin
ayat 25 yang berbunyi:
Yusqouna min rohiiqim makhtuum= Para penghuni sorga itu disuguhi minuman arak murni.
.. Bukan berarti orang mukmin dibumi boleh minum arak murni.
Dan masih banyak lagi hadist- hadist dan ayat yang senada termasuk AYAT HIJAB, yakni Surat
Al- Ahzab ayat 53 yang berbunyi diantaranya. Waidzaa sa altumuuhunna fas aluuhunna
min waroo I hijab = Dan bila kalian akan meminta sesuatu kepada para istri Nabi, maka
hendaklah kalian memintanya dari balik hijab.. (Tafsir Ibnu Katsier III/503)
Jumhur Ulama memaknai ayat ini untuk perlunya ada PEMBATAS/ SATIR/ HIJAB yang
memisahkan antara kum pria disatu tempat yang sama dengan kaum wanita agar tidak terjadi
IKHTILATH (campur baur). Sedang para penganjur CADAR mengartikan pemakaian CADAR
(dan jilbab secara keseluruhan) adalah sebagai manifestasi pengamalan ayat hijab. Wallohu
alam.

Вам также может понравиться