Вы находитесь на странице: 1из 128

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

LUASAN LAHAN TANAMAN JARAK PAGAR


UNTUK ANTISIPASI KELANGKAAN MINYAK
TANAH DI JAWA TENGAH
Rachman Djamal*
ABSTRAK
Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian Badan LITBANG Provinsi Jawa Tengah
yang telah dilakukan pada tahun 2007. Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data
primer berupa hasil pengamatan langsung sereta wawancara dengan petani jarak di lokasi
sampel pengembangan jarak di Jawa Tengah. Data-data tersebut dianalisis tabulasi,
perhitungan langsung, uji statistik dan diskripsi. Hasil penelitian menunjukan: konsumsi
minyak tanah tiap rumah tangga di lokasi penelitian antara 143,5 - 285,5 liter/tahun atau
rerata 0,6 liter/hari. Apabila dikonversi ke kebutuhan minyak jarak yang diperlukan untuk
menggantikan minyak tanah tersebut adalah 175 liter/tahun (0,48 liter/ hari). Sehingga
jumlah biji jarak yang harus disediakan sebagai bahan baku penghasil minyak jarak sebanyak
876 kg/tahun (2,4 kg/hari). Apabila dihitung jumlah minimal populasi tanaman yang harus
dimiliki setiap rumah tangga di pedesaan untuk menghasilkan minyak jarak guna
menggantikan minyak tanah paling sedikit sebanyak 438 pohon. Kemudian bila akan ditanam
dengan cara berjajar dengan jarak antar pohon 1,5 meter diperlukan lahan sepanjang 657 m
atau apabila akan ditanam secara monokultur dengan jarak tanam 2 x 2 m diperlukan lahan
seluas 1752 m. Berdasarkan potensi desa di lokasi penelitian yang memungkinkan untuk
mengembangkan jarak pagar sebagai bahan baku minyak jarak guna mengurangi atau
menggantikan bakan bakar minyak tanah yaitu di lahan-lahan yang belum dimanfaatkan
seperti batas keliling desa, tepi jalan desa, dan lainnya. Pemanfaatan dan penggunaan lahan
tersebut
perlu didukung dengan pola dan tata cara
pemanfaatan
yang saling
menguntungkan.
Kata Kunci: Luasan lahan, tanaman jarak, minyak jarak, minyak tanah

PENDAHULUAN
Dengan harga minyak mentah dunia yang cenderung meningkat, yang pada saat ini
mencapai harga diatas US$ 100 tiap barel telah membebani devisa negara yang besar
selanjutnya berakibat pada makin rendahnya kemampuan APBN untuk memberikan
subsidi harga BBM, sehingga sejak tahun 2005 harga BBM di dalam negri sudah mengalami
beberapa kali kenaikan. Dampak kenaikan harga BBM yang terjadi sejak tanggal 1 Oktober
2005 tersebut dirasakan sangat memberatkan sebagian besar masyarakat terutama yang
memiliki tingkat rata-rata pendapatan yang masih rendah.
_________________________________________
*) Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah
E-mail : rachman _djamal@yahoo.co.id

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Berdasarkan Survey Direktorat Jenderal Listrik dan Penggunaan Energi tahun 2000
bahwa prosentase penggunaan energi di tingkat rumah tangga untuk memasak sebesar 64
%, penerangan 23%, hiburan 8%, komersial 1 %, dan lainnya 4 % dan jenis BBM yang
dikonsumsi masyarakat pada umumnya adalah Minyak Tanah sebanyak 74 %, listrik 23,71%
dan LPG 5,29 % dari jumlah konsumsi BBM Nasional. Dari data tersebut minyak tanah
merupakan kebutuhan dasar bagi masyarakat. Pemerintah menyadari hal ini yang
mengakibatkan subsidi pada minyak tanah cukup besar pada tahun 2005, mencapai Rp
39,8 triliun. Dengan PERPRES No 5 Tahun 2005 tentang kenaikan BBM bersubsidi, maka
sejak 30 September 2005 pemerintah menetapkan kenaikan harga BBM paling tinggi adalah
minyak tanah (Prihandana, et.al., 2006). Hal tersebut menjadi salah satu persoalan yang
dihadapi pemerintah maupun masyarakat dalam memenuhi kebutuhan bahan bakar
minyak yang bersumber dari BBM fosil pada saat ini.
Kebutuhan minyak tanah di wilayah Jawa Tengah juga dari tahun ke tahun
mengalami kenaikan, pada tahun 2006 sebesar 1.2 juta kiloliter. Untuk mengurangi
ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi minyak tanah yang semakin langka dan
mengantisipasi kenaikan harga jika subsidi dikurangi, maka perlu di cari sumber energi
alternatif. Salah satu energi alternatif yang sekarang dikembangkan di Jawa Tengah
khususnya adalah minyak jarak sebagai pengganti minyak tanah. Hasil Penelitian terhadap
tanaman jarak pagar, biji jarak tersebut merupakan sumber penghasil energi yang potensial
yang dapat dikembangkan khususnya di daerah Jawa Tengah.
Lahan di Jawa Tengah yang memungkinkan untuk dijadikan sebagai daerah
penanaman jarak yang dapat dilakukan dengan cara budidaya monokultur atau dengan
cara tumpangsari/polikultur, menurut data BPS Jateng tahun 2006, yaitu di lahan
pekarangan yang memiliki bangunan seluas 580.976 Ha, Tegalan dengan kebun 752.842
Ha, Ladang/Huma 10.642 Ha, Padang rumput 2.709 Ha, lahan yang tidak diusahakan
mencapai 4.896 Ha, Hutan Rakyat 69.377 Ha, Hutan negara 569.926 Ha, Perkebunan negara
79.230 Ha, dan lahan lain-lain seluas 144.773 Ha. Menurut laporkan Direktorat Jenderal
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial departemen Kehutanan Tahun 2001 bahwa Jawa
Tengah memiliki lahan kritis seluas 360.827 ha (11.102 ha di dalam kawasan hutan dan
349.725 ha di luar kawasan hutan). Sebagian lahan ini dapat digunakan untuk
mengembangkan jarak. Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah tahun 2006,
memperkirakan luas lahan yang dapat dikembangkan untuk tanaman jarak sebanyak 226
ribuan ha di seluruh daerah di wilayah Jawa Tengah yang telah ditanami sekitar 1 persenya.
Ketergantungan masyarakat desa terutama yang tinggal di daerah pedesaan
memiliki ketergantungan terhadap minyak tanah yang cukup tinggi, sedangkan untuk
memperolehnya pada akhir-akhir ini seringkali mengalami kesulitan karena
ketersediaannya langka dan harga yang relatif mahal. Masyarakat pedesaan tersebut
sebenarnya memiliki peluang untuk mengembangkan energi alternatif seperti dengan
mengembangkan tanaman jarak pagar sebagai sumber minyak jarak untuk mengurangi
ketrergantungan/menggantikan minyak tanah.
Guna mewujudkan pengembangan energi altrnatif antara lain pemerintah telah
menerapkan konsep desa mandiri energi (DME) seperti di yang telah diupayakan di
beberapa desa di Kabupaten. Gorobogan. Dalam konsep ini diharapkan suatu desa dapat
mandiri dalam hal pemenuhan energi untuk keperluannya, sumber energi tersebut

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

sebagian besar berasal dari upaya mengembangkan sumber energi di daerahnya sendiri
seperti penggunaan minyak jarak/bio gas untuk memasak, mikrohidro untuk penerangan
dan lainnya.
Pengembagan jarak pagar yang telah diusahakan masyarakat saat ini masih masih
belum sesuai yang harapkan antara lain disebabkan karena penerapan teknik budidaya
yang belum sesuai anjuran, penangnan hasil sampai pendayagunaan minyak jarak dan
pemasarannya belum banyak dipahami. Pengusahaan jarak pagar oleh M\masyarakat
sampai dengan saat ini masih dalam tahap awal, belum banyak memperhatikan aspek
kualitas bibit, cara budidaya dan lainya sehingga produktifitasnya masih belum memadai
(Mahmud 2006 b). Pertanaman jarak yang ada sekarang ini berasal dari bibit yang tidak
diketahui asal usulnya, dengan teknologi budidaya seadanya. Menurut Hasnam 2006;
Prastowo, 2006, hal ini dapat dimaklumi mengingat penelitian tentang komoditas jarak
baru dilakukan setelah keluarnya INPRES No 1 tahun 2005 tentang pengembangan energi
alternatif.
Dalam upaya mendapatkan informasi guna menunjang upaya pengembangan
tanaman jarak di wilayah Jawa Tengah, Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa
Tengah pada tahun 2007 telah melakukan penelitian luas lahan optimal dengan budidaya
yang efisien dan efektif untuk memenuhi bahan bakar pengganti minyak tanah dalam skala
rumah tangga. Dalam tulisan ini hanya menggambarkan informasi Luas lahan optimal
untuk menaman jarak pagar sebagai upaya pengganti/pengurang konsumsi minyak tanah
dalam skala rumah tangga di Jawa Tengah
BAHAN DAN METODA
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1) Data primer, yaitu data yang diambil langsung dari sumbernya dengan menggunakan
observasi dan wawancara. Sumber data primer adalah responden atau narasumber; 2) Data
sekunder, yaitu data yang dikumpulkan tidak langsung dari sumbernya. Sumber data
sekunder berupa dokumen dan laporan baik yang dipublikasikan maupun tidak.
Cara pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Observasi atau mengamati secara langsung kegiatan usahatani jarak di lokasi penelitian;
2) Wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan (Questionaire) yang telah
dipersiapkan sebelumnya; 3) Pencatatan/studi pustaka yang bersumber dari Dinas/lnstansi
terkait.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis yang dilaksanakan selama 10
bulan dari bulan Pebruari sampai dengan Nopember 2007 di Kabupaten Cilacap (Ds
Karangmangu, Ds Karangpakis Kec. Nusawungu dan di desa Karangtawang, Ds Karang
turi Kec. Kroya), Tegal (Ds Pakulaut Kec. Margasari), Batang (Ds Sawangan, Kec. Grinsing),
Kudus (di Desa Tanjungrejo, Terban dan Klaling Kec. Jekulo), Grobogan (di desa
Tanjungharjo, Bandungsari, dan Ds. Pendem Kec Ngaringan: dan di Ds Katekan Kec. Brati),
Blora (di desa Dolongan, Bogem Kec. Japah dan di desa Sendangwates, Kedungwaru dan
Kemiri Kec. Kunduran)dan Kabupaten Semarang (di desa Plumutan, Ds Wonokerto, Ds
Boto Kecamatan Bancak). Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan kepada keragaman
agroekologi wilayah pengembangan jarak di Jawa Tengah.
Sampel lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan
pertimbangan bahwa ketujuh kabupaten tersebut memiliki areal penanaman jarak dan
daerah marginal yang luas. Penentuan lokasi sampel dilakukan dengan terlebih dahulu
melakukan koordinasi dengan Dinas Perkebunan Provinsi dan dinas instansi terkait di

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

kabupaten lokasi sampel. Pada penelitian ini populasi obyek penelitian adalah masyarakat
yang membudidayakan tanaman jarak dan masyarakat yang tinggal di wilayah yang
mempunyai potensi untuk pengembangan tanaman jarak, jumlah responden dimasingmasing kabupaten sejumlah 35 orang. Sampel dalam penelitian ini diambil dengan teknik
random probability sampling.
Cara Pengolahan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut: 1) Editing dilakukan untuk mengecek kembali data baik dari jawaban
narasumber maupun data sekunder; 2) Coding dilakukan dengan memberi nilai atau skor
untuk jawaban responden; 3) Tabulating dilakukan dengan menyusun dan mengelompokkan
data ke dalam tabel, diagram dan grafik menurut kategori yang ditentukan untuk dipelajari
lebih lanjut, diuji dan disajikan guna mendiskripsikan dan membuktikan masalah; 4)
Komputasi dilakukan dengan cara menghitung nilai variabel penelitian dengan formula
tertentu sesuai peruntukannya.
Data yang terkumpul dilakukan analisis secara deskriptif baik dari data yang
bersifat kualitatif maupun kuantitatif untuk menerangkan hubungan sebab akibat,
penjelasan suatu fenomena dan eksplorasi suatu permalahan dengan menggunakan
pendekatan dan asumsi-asumsi. Angka rata-rata pengamatan yang disajikan pada setiap
tabel merupakan nilai yang sudah dikoreksi dengan tingkat kesalahan 5% sehingga nilai
tersebut dapat mewakili populasi yang diamati (Sugiyono, 1997). Dengan perhitungan
n ); Keterangan : Xk = nilai rata-rata
sebagai berikut: Xk = Xrt - (t tab (p 0,95) x s/
terkoreksi; Xrt = rata-rata pengamatan; (t tab(p0,95)) = nilai t tabel dengan derajat bebas
n-1; s = simpangan baku; n = jumlah sampel
Untuk menghitung kebutuhan minyak tanah setiap KK dengan luasan lahan
optimal yang dibutuhkan dengan cara mengkonversikan, untuk itu diperlukan data :
Jumlah tanaman jarak; Produksi biji jarak; Rendemen; Kebutuhan minyak tanah per KK/th;
Kemudian untuk menganalisis jumlah tegakan optimal pertanaman jarak untuk kebutuhan
rumah tangga dalam penelitian ini seperti tampak pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Cara analisa jumlah tegakan optimal pertanaman jarak
No

Uraian

Rerata konsumsi minyak tanah (lt/KK/th


)
Konversi setara minyak jarak kasar
(lt/KK/th)
Volume biji jarak yang dibutuhkan
(kg/KK/th)
Jumlah optimal populasi pohon jarak
berproduksi normal (phn/KK)
Kebutuhan luasan optimal apabila
ditanam monokultur (Ha/KK)

2
3
4
5

6
7

Kebutuhan panjang pagar optimal


apabila ditanam pada pagar (m/KK)
Rerata jumlah tanaman saat ini

Cara menghitung
Rerata konsumsi minyak tanah hasil
survey(lt/KK/th )
Rerata konsumsi minyak tanah hasil
survey (lt/KK/th ) x 80 %
Konversi setara minyak jarak kasar
(lt/KK/th) x Rendemen minyak (20%)
Volume biji jarak yang dibutuhkan
(kg/KK/th) : produksi jarak optimal
Jumlah optimal populasi pohon jarak
berproduksi normal (phn/KK/th) :
jumlah optimal tanaman jarak yang
ditanam secara monokultur
Jumlah optimal populasi pohon jarak
berproduksi normal (phn/KK) x 1 m
Rerata Hasil survey (pohon/KK)

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

8
9
10

11

(pohon/KK)
Kemampuan produksi biji jarak saat ini
(kg/KK/th)
Kemampuan produksi minyak jarak
kasar saat ini (lt/KK/th)
Kemampuan substitusi minyak tanah ke
minyak jarak kasar saat ini (%)
Pendapatan dari substitusi minyak tanah
ke minyak jarak (Rp/KK/th )

Hasil analisis berdasarkan dukungan


faktor
Kemampuan produksi biji jarak saat ini
(kg/KK/th) x Rendemen minyak
Kemampuan prod minyak jarak kasar
saat ini (lt/KK/th) : konversi setara
minyak jarak kasar (lt/KK/th)
Rerata konsumsi minyak tanah
(lt/KK/th) x Kemampuan substitusi
minyak tanah ke minyak jarak kasar saat
ini (%) x Harga minyak tanah

Untuk menghitung jumlah tegakan tanaman jarak digunakan asumsi: sebagai


berikut: Konversi minyak tanah ke minyak jarak kasar = 80 % (PT. Pura, 2006); Rendemen
minyak = 20 % (Hendriadi et. al., 2005); Produksi jarak optimal = 2 kg/phn/th (Mahmud,
2006a); Jarak tanam monokultur 2 X 2 m dan Jarak tanam pagar/memanjang 1 m.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Jumlah Tanaman Jarak di Kabupaten Grobogan
Dari hasil penelitian jumlah tegakan pertanaman jarak untuk kebutuhan rumah
tangga tani di Kabupaten Grobogan di sajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Analisis Jumlah Tegakan Pertanaman Jarak Untuk Kebutuhan Rumah Tangga
Tani Di Kabupaten Grobogan
No
1
2
3

Uraian
Rerata konsumsi minyak tanah (lt/KK/th )
Konversi setara minyak jarak kasar (lt/KK/th)
Volume biji jarak yang dibutuhkan (kg/KK/th)

Keterangan*)
285,48
228,38
1.141,92

Jumlah optimal populasi pohon jarak berproduksi normal


571
(phn/KK)
5
Kebutuhan luasan optimal apabila ditanam monokultur (m 2/KK)
2.283,84
6
Kebutuhan panjang pagar optimal apabila ditanam pada pagar
571
(m/KK)
7
Rerata jumlah tanaman saat ini (pohon/KK)
1.002
7
Kemampuan produksi biji jarak saat ini (kg/KK/th)
1.150,10
8
Kemampuan produksi minyak jarak kasar saat ini (lt/KK/th)
230,02
9
Kemampuan substitusi minyak tanah ke minyak jarak kasar saat
100,02
ini (%)
10 Pendapatan dari substitusi minyak tanah ke minyak jarak
856.611,(Rp/KK/th )
Sumber: hasil pengolahan data primer. tahun 2007; *) Tingkat kesalahan 5 %.

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Dari Tabel di atas menunjukkan bahwa rerata kebutuhan / konsumsi minyak tanah
di wilayah ini sebesar 285,48 l/KK/th, jika dikonversi dengan berapa minyak jarak yang
dibutuhkan akan setara dengan 228,38 l/KK/th. Jumlah biji jarak yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan minyak jarak adalah 1.141,92 kg yang dapat dihasilkan dari 571
pohon dengan asumsi produksi optimal 2 kg/phn/thn.
Luasan optimal apabila tanaman jarak dibudidayakan secara monokultur akan
diperoleh jumlah lahan yang dibutuhkan adalah seluas 2.283,84 m 2 atau kalau penanaman
sebagai pagar tanaman akan dibutuhkan panjang pagar 569,96 m. Namun demikian
kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kondisi baru mencapai
60,35 % dari
persyaratan normal sehingga masih dibutuhkan penerapan teknologi yang sesuai terutama
dalam budidaya tanaman untuk itu masih diperlukan koordinasi berbagai pihak agar
produktivitas tanaman lebih optimal mengingat jarak memang tidak direkomendasikan
untuk ditanam secara monokultur karena secara ekonomis belum bisa diandalkan dan
pertanaman secara monokultur akan lebih besar resikonya terkena serangan hama dan
penyakit.
Rerata kepemilikan pohon jarak di Kabupaten Grobogan 1.002 pohon/KK,
berdasarkan tingkat dukungan faktor penentu produksi maka kemampuan produksi biji
jarak saat ini mencapai 1.150 kg/KK/th dari jumlah tersebut mampu mengasilkan minyak
jarak kasar sebesar 230,2/KK/th. Apabila hasil tersebut digunakan sebagai substitusi
minyak tanah maka akan diperoleh penghematan sebesar 100,2 % atau sebesar
Rp.856.611,-/KK/th. Nilai ini juga dapat disamakan dengan pendapatan rumah tangga tani
dari penghematan penggunaan minyak tanah.

Analisis Jumlah Tanaman Jarak di Kabupaten Kudus


Menurut hasil survey jumlah tegakan optimal pertanaman jarak untuk kebutuhan
rumah tangga tani di Kabupaten Kudus di sajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Analisis Jumlah Tegakan Pertanaman Jarak Untuk Kebutuhan Rumah Tangga
Tani Di Kabupaten Kudus.
No

Uraian

Keterangan*)

1
2
3
4

Rerata konsumsi minyak tanah (lt/KK/th )


Konversi setara minyak jarak kasar (lt/KK/th)
Volume biji jarak yang dibutuhkan (kg/KK/th)
Jumlah optimal populasi pohon jarak berproduksi normal
(phn/KK)
Kebutuhan luasan optimal apabila ditanam monokultur (Ha/KK)
Kebutuhan panjang pagar optimal apabila ditanam pada pagar
(m/KK
Rerata jumlah tanaman saat ini (pohon/KK)
Kemampuan produksi biji jarak saat ini (kg/KK/th)
Kemampuan produksi minyak jarak kasar saat ini (lt/KK/th)
Kemampuan substitusi minyak tanah ke minyak jarak kasar saat
ini (%)
Pendapatan dari substitusi minyak tanah ke minyak jarak

286,00
228,80
1.144,00

5
6
7
7
8
9
10

572
2.288
571
75
99,56
19.91
8,70
74.646,-

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

(Rp/KK/th )
Sumber: Hasil pengolahan data primer, tahun 2007; *) Tingkat kesalahan 5 %.
Dari data Tabel di atas menunjukkan bahwa Rerata konsumsi minyak tanah di
wilayah ini sebesar 286/KK/th, jika dikonversi dengan berapa minyak jarak yang
dibutuhkan akan setara dengan 228,80 l/KK/th. Jumlah biji jarak yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan minyak jarak adalah 1.144 kg yang dapat dihasilkan dari 572 pohon.
Luasan optimal apabila tanaman jarak dibudidayakan secara monokultur akan
diperoleh jumlah lahan yang dibutuhkan adalah seluas 2.288 m 2 atau kalau penanaman
sebagai pagar tanaman akan dibutuhkan panjang pagar 571 m. Namun demikian kenyataan
di lapangan menunjukkan bahwa kondisi baru mencapai 61 % dari persyaratan normal
sehingga masih dibutuhkan penerapan teknologi yang sesuai terutama dalam budidaya
tanaman untuk itu masih diperlukan koordinasi berbagai pihak agar produktivitas tanaman
lebih optimal mengingat jarak memang tidak direkomendasikan untuk mengkonversi lahan
tanaman pokok yang menjadi sumber penghasilan utama masyarakat tetapi lebih diarahkan
pada lahan-lahan yang terlantar sehingga lebih produktif.
Rerata kepemilikan pohon jarak di Kabupaten Kudus masih rendah 75 pohon/KK,
berdasarkan tingkat dukungan faktor penentu produksi, kemampuan produksi biji jarak
saat ini mencapai 99,59 kg/KK/th. dari jumlah tersebut mampu mengasilkan minyak jarak
kasar sebesar 19,91 lt/KK/th. Apabila hasil tersebut digunakan sebagai substitusi minyak
tanah maka akan diperoleh penghematan sebesar 8,7 % atau sebesar Rp.74.646,- lt /KK/ th.
Nilai ini juga dapat disamakan dengan pendapatan rumah tangga tani dari penghematan
penggunaan minyak tanah.
Analisis Jumlah Tanaman Jarak di Kabupaten Blora
Hasil analisis Jumlah petanaman jarak di Kabupaten Blora seperti tampak pada
Tabel 3.
Tabel 3. Analisis Jumlah Tegakan Pertanaman Jarak Untuk Kebutuhan Rumah Tangga
Tani di Kabupaten Blora.
No

Uraian

Keterangan*)

1
2
3
4

Rerata konsumsi minyak tanah (lt/KK/th )


Konversi setara minyak jarak kasar (lt/KK/th)
Volume biji jarak yang dibutuhkan (kg/KK/th)
Jumlah optimal populasi pohon jarak berproduksi normal
(phn/KK)
Kebutuhan luasan optimal apabila ditanam monokultur
(m2/KK)
Kebutuhan panjang pagar optimal apabila ditanam pada pagar
(m/KK
Rerata jumlah tanaman saat ini (pohon/KK)
Kemampuan produksi biji jarak saat ini (kg/KK/th)
Kemampuan produksi minyak jarak kasar saat ini (lt/KK/th)
Kemampuan substitusi minyak tanah ke minyak jarak kasar saat
ini (%)

152,36
121,89
609,44

5
6
7
8
9
10

305
1.220
305
656
625,82
125,16
102,69

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

11

Pendapatan dari substitusi minyak tanah ke minyak jarak


(Rp/KK/th )
Sumber: Hasil pengolahan data primer, tahun 2007; *) Tingkat kesalahan 5 %.

469.375,-

Pada Tabel 3. di atas dapat diketahui bahwa rerata konsumsi minyak tanah adalah
sebesar 152,36 lt/KK/th hal ini menunjukkan bahwa penggunaan minyak tanah untuk
kebutuhan memasak para responden tidak semuannya menggunakan minyak tanah tetapi
responden juga menggunakan kayu bakar, secara teoritis volume tersebut setara dengan
minyak jarak kasar sebesar 121,89 lt/KK/th. Untuk memperoleh minyak jarak sejumlah
tersebut dibutuhkan biji jarak sebesar 609,44 kg/KK/th yang dapat dihasilkan dari 305
pohon yang tumbuh dan berproduksi normal. Luasan pertanaman apabila ditanam secara
monokultur 1.220 m atau kalau ditanam mengikuti pagar maka dibutuhkan panjang pagar
305 m. Namun demikian realita di lapangan menunjukkan bahwa kondisinya baru
mencapai 53 % dari prasyarat normal sehingga untuk mencapai hasil normal masih
diperlukan upaya-upaya tertentu terutama dalam hal penerapan teknologi budidaya yang
benar.
Rerata kepemilikan pohon jarak di Kabupaten Blora saat ini 656 pohon/KK,
berdasarkan tingkat dukungan faktor penentu produksi maka kemampuan produksi biji
jarak saat ini mencapai 625,82 kg/KK/th sehingga mampu menghasilkan minyak jarak
kasar sebesar 125,16 lt/KK/th. Apabila hasil tersebut digunakan sebagai substiutusi minyak
tanah maka akan diperoleh penghematan sebesar 102,69 % atau sebesar Rp 469.375/KK/th.
Nilai ini ini juga dapat disamakan dengan pendapatan rumah tangga tani dari
penghematan penggunaan minyak tanah.
Analisis Jumlah Tanaman Jarak di Kabupaten Batang
Hasil analisis Jumlah petanaman jarak di Kabupaten Batang seperti tampak pada
Tabel 4.
Tabel 4. Analisis Jumlah Tegakan Pertanaman Jarak Untuk Kebutuhan Rumah Tangga
Tani di Kabupaten Batang
No
1
2
3
4

Uraian

Jumlah tanaman saat ini (pohon)


Kemampuan produksi biji jarak saat ini (kg/th)
Kemampuan produksi minyak jarak kasar saat ini (lt/th)
Pendapatan dari substitusi minyak tanah ke minyak jarak
(Rp/th )
5
Pendapatan dari substitusi minyak tanah ke minyak jarak
(Rp/Ha/th )
Sumber: Hasil pengolahan data primer, tahun 2007

Keterangan
60.000
101.376
20.275,30
76.045.554
3.168.565,-

Hasil analisis potensi jarak pagar di Kabupaten Batang tidak ditujukan untuk
mewakili usahatani jarak yang dilakukan oleh masyarakat karena baru diusahakan oleh
perusahaan perkebunan. Dalam kaitan dengan manjemen usaha pada perusahaan
perkebunan ini tanaman jarak juga diperhitungkan sebagai usaha bisnis, namun pada saat
ini pasarnya belum jelas sehingga pada analisis yang digunakan pada penelitian ini

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

menggunakan pendekatan konversi kependapatan setara minyak tanah. Berdasarkan hasil


analisis pada tabel di atas diperoleh potensi pendapatan sekitar Rp 3.168.565/Ha/th.
Menurut perhitungan finansial perusahaan usaha jarak saat ini masih rugi karena biaya
untuk memproduksi biji jarak adalah sekitar Rp 3.200,-/kg.
Harga minyak tanah dalam masyarakat saat ini tidak mencerminkan harga
ekonomi yang sebenarnya karena mendapat subsidi dari pemerintah. Apabila tanpa
mendapat subsidi harga minyak tanah dipasaran harganya hampir sama dengan harga avtur
(bahan bakar pesawat) yaitu pada kisaran Rp 10.000,- sampai dengan
Rp 11.000,Sementara itu dalam kaitannya dengan substitusi minyak tanah dengan minyak jarak harga
yang digunakan adalah harga subsidi. Pada kondisi ini sebenarnya produsen jarak justru
melakukan subsidi kepada konsumennya, sebab pasar minyak tanah adalah pasar monopoli
Pertamina yang dalam proses produksinya mendapat subsidi dan sebaliknya petani jarak
tanpa fasilitas apapun.
Berikut ini disajikan ilustrasi harga produk jarak pagar domestik yang layak
berdasarkan skenario tingkatan harga minyak tanah di pasar. Berdasarkan ilustrasi tersebut
harga biji jarak tetap tidak akan menarik kalau tidak mendapat subsidi harga seperti halnya
Pertamina memperolehnya. Produsen jarak akan bergairah mengusahakan tanamannya
apabila harga minyak tanah domestik sudah mendekati harga bayangannya atau justru
memproduksi jarak untuk diekspor karena seperti diketahui bahwa harga biji jarak dunia
mencapai USD 0,10 /kg (Henning R, 2000).
Analisis Jumlah Petanaman Jarak di Kabupaten Tegal
Hasil analisis jumlah pertanaman jarak di Kabupaten Tegal seperti tampak pada
Tabel 5.
Tabel 5. Analisis jumlah tegakan pertanaman jarak untuk kebutuhan rumah tangga tani
di Kabupaten Tegal
Keterangan*)
No
Uraian
1
Rerata konsumsi minyak tanah (lt/KK/th )
143,52
2
Konversi setara minyak jarak kasar (lt/KK/th)
114,82
3
Volume biji jarak yang dibutuhkan (kg/KK/th)
574,08
4
Jumlah optimal populasi pohon jarak berproduksi normal
287,00
(phn/KK)
5
Kebutuhan luasan optimal apabila ditanam monokultur
1.148,16
(m2/KK)
6
Kebutuhan panjang pagar optimal apabila ditanam pada pagar
287,00
(m/KK
7
Rerata jumlah tanaman saat ini (pohon/KK)
1.084,00
8
Kemampuan produksi biji jarak saat ini (kg/KK/th)
1.263,94
9
Kemampuan produksi minyak jarak kasar saat ini (lt/KK/th)
252,79
10 Kemampuan substitusi minyak tanah ke minyak jarak kasar
220,16
saat ini (%)
11 Pendapatan dari substitusi minyak tanah ke minyak jarak
947.921,(Rp/KK/th )
Sumber: Hasil pengolahan data primer, tahun 2007; *) Tingkat kesalahan 5 %.

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Pada Tabel 5. dapat diketahui bahwa rerata konsumsi minyak tanah adalah sebesar
143,52 lt/KK/th hal ini menunjukkan bahwa penggunaan minyak tanah untuk kebutuhan
memasak para responden tidak semuanya menggunakan minyak tanah tetapi responden
juga menggunakan kayu bakar, secara teoritis volume tersebut setara dengan minyak jarak
kasar sebesar 114,82 lt/KK/th. Untuk memperoleh minyak jarak sejumlah tersebut
dibutuhkan biji jarak sebesar 574,08 Kg/KK/th yang dapat dihasilkan dari 287 pohon yang
tumbuh dan berproduksi normal. Luasan pertanaman apabila ditanam secara monokultur
1.148 m atau kalau ditanam mengikuti pagar maka dibutuhkan panjang pagar 286,04 m.
Namun demikian realita di lapangan menunjukkan bahwa kondisinya baru mencapai 58,30
% dari prasyarat normal sehingga untuk mencapai hasil normal masih diperlukan upayaupaya tertentu terutama dalam hal penerapan teknologi budidaya yang benar.
Rerata kepemilikan pohon jarak di Kabupaten Tegal saat ini 1.084 pohon/KK,
berdasarkan tingkat dukungan faktor penentu produksi maka kemampuan produksi biji
jarak saat ini mencapai 1263,94 kg/KK/th sehingga mampu menghasilkan minyak jarak
kasar sebesar 252,79 lt/KK/th. Apabila hasil tersebut digunakan sebagai substitusi minyak
tanah maka akan diperoleh penghematan sebesar 220,16 % atau sebesar Rp 947,921/KK/th.
Nilai ini juga dapat disamakan dengan pendapatan rumah tangga tani dari penghematan
penggunaan minyak tanah.
Analisis Jumlah Tegakan Pertanaman Jarak di Kabupaten Cilacap
Analisis jumlah tegakan pertanaman jarak untuk kebutuhan rumah tangga tani di
Kabupaten Cilacap seperti pada Tabel 6.
Tabel 6. Analisis jumlah tegakan pertanaman jarak untuk kebutuhan rumah tangga tani
di Kabupaten Cilacap.
No

Uraian

Keterangan*)

1
2
3
4

Rerata konsumsi minyak tanah (lt/KK/th )


218,40
Konversi setara minyak jarak kasar (lt/KK/th)
174,72
Volume biji jarak yang dibutuhkan (kg/KK/th)
873,60
Jumlah optimal populasi pohon jarak berproduksi normal
437
(phn/KK)
5
Kebutuhan luasan optimal apabila ditanam monokultur
1.747
(m2/KK)
6
Kebutuhan panjang pagar optimal apabila ditanam pada
439
pagar (m/KK
7
Rerata jumlah tanaman saat ini (pohon/KK)
1.184
8
Kemampuan produksi biji jarak saat ini (kg/KK/th)
806,19
9
Kemampuan produksi minyak jarak kasar saat ini
161,24
(lt/KK/th)
9
Kemampuan substitusi minyak tanah ke minyak jarak kasar
92,28
saat ini (%)
11 Pendapatan dari substitusi minyak tanah ke minyak jarak
604.619,(Rp/KK/th )
Sumber: Hasil pengolahan data primer, tahun 2007; *) Tingkat kesalahan 5 %.

10

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Menurut hasil survey di Kabupaten Cilacap disajikan pada Tabel 6, nampak bahwa
rerata kebutuhan/konsumsi minyak tanah sebesar 218 l,40 l/KK/th. Secara teoritis volume
tersebut setara dengan minyak jarak kasar 174,72 l/KK/th. Untuk memperoleh minyak jarak
sejumlah tersebut dibutuhkan biji jarak sebesar 873,64 kg yang dapat dihasilkan dari 436
pohon yang tumbuh dan berproduksi normal. Luasan pertanaman yang dibutuhkan apabila
ditanam secara monokultur seluas 1747,20 m2 atau kalau ditanam mengikuti pagar maka
dibutuhkan panjang pagar 1747,20 m. Namun demikian realita di lapang menunjukkan
bahwa kondisinya baru mencapai 68,09 % dari prasyarat normal sehingga untuk mencapai
hasil normal masih diperlukan upaya-upaya tertentu terutama dalam hal penerapan
teknologi budidaya yang benar.
Rerata kepemilikan pohon jarak di Kabupaten Cilacap saat ini sebanyak 1.184
pohon/KK, berdasarkan tingkat dukungan faktor penentu produksi maka kemampuan
produksi biji jarak saat ini mencapai 806,19 kg/KK/th sehingga mampu menghasilkan
minyak jarak kasar sebesar 161,24 l/KK/th, apabila hasil tersebut digunakan sebagai
substitusi minyak tanah maka akan diperoleh penghematan sebesar 92,28 % atau sebesar Rp
604.619,-/KK/th. Nilai ini juga dapat disamakan dengan pendapatan rumah tangga tani
dari penghematan penggunaan minyak tanah.
Analisis Jumlah Tegakan Pertanaman Jarak di Kabupaten Semarang
Analisis Jumlah Tegakan Pertanaman Jarak Untuk Kebutuhan Rumah Tangga Tani
di Kabupaten Semarang seperti pada Tabel 7.
Tabel 7. Analisis jumlah tegakan pertanaman jarak untuk kebutuhan rumah tangga di
Kabupaten Semarang
No

Uraian

Keterangan

1
2
3
4

Rerata konsumsi minyak tanah (lt/KK/th )


153,40
Konversi setara minyak jarak kasar (lt/KK/th)
122,72
Volume biji jarak yang dibutuhkan (kg/KK/th)
613,60
Jumlah optimal populasi pohon jarak berproduksi normal
307
(phn/KK)
5
Kebutuhan luasan optimal apabila ditanam monokultur
1.227
(Ha/KK)
6
Kebutuhan panjang pagar optimal apabila ditanam pada
307
pagar (m/KK
7
Rerata jumlah tanaman saat ini (pohon/KK)
98
8
Kemampuan produksi biji jarak saat ini (kg/KK/th)
100,00
9
Kemampuan produksi minyak jarak kasar saat ini
20,00
(lt/KK/th)
10 Kemampuan substitusi minyak tanah ke minyak jarak kasar
16,30
saat ini (%)
11 Pendapatan dari substitusi minyak tanah ke minyak jarak
75.013
(Rp/KK/th )
Sumber: Hasil pengolahan data primer, tahun 2007; *) Tingkat kesalahan 5 %.

11

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Berdasarkan hasil survey diperoleh rerata konsumsi minyak tanah seperti Tabel 7.
sebanyak 153,40 l/KK/th. Volume tersebut setara dengan konversi minyak jarak kasar
122,72 l/KK/th yang berasal dari 613,60 biji jarak kering hasil dari pertanaman jarak
berproduksi normal 307 batang. Apabila diusahakan secara monokultur tanpa naungan
secara teoritis memerlukan lahan terbuka seluas 1.227 m 2 atau ditanam untuk pagar
panjang yang diperlukan adalah 307 m.
Realita saat ini jumlah kepemilikan rerata hanya 98 pohon/KK sehingga
berdasarkan tingkat dukungan faktor penentu produksi baru dapat menghasilkan sekitar
100 kg/KK/th sehingga bila dibuat minyak akan menghasilkan sekitar 20,00 l/KK.
Berdasarkan perhitungan di atas maka apabila hasil tersebut digunakan untuk substitusi
minyak tanah maka potensinya baru mencapai 16,30 % atau senilai Rp 75.013,-/KK/th.
Efektivitas kemampuan substitusi jarak dapat ditingkatkan di Kabupaten Semarang melalui
peningkatan populasi tanaman/KK dengan disertai penerapan baku teknis budidaya.

PENUTUP
Kesimpulan
1.

2.

Dari hasil perhitungan dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
Konsumsi minyak tanah tiap rumah tangga di lokasi penelitian antara 143,5 - 285,5
liter/tahun (0,4-0,8 liter/hari) atau rerata 0,6 liter/hari. Jumlah konversi kebutuhan
minyak jarak yang diperlukan untuk menggantikan minyak tanah yaitu 0,48 liter/hari
atau 175 liter/tahun, atau jumlah biji jarak yang harus disediakan sebanyak 876
kg/tahun.
Jumlah minimal populasi tanaman yang harus dimiliki setiap rumah tangga untuk
menghasilkan minyak jarak yang diperlukan guna menggantikan minyak tanah paling
sedikit sebanyak 438 pohon. Apabila akan ditanam dengan cara memanjang/pagar
diperlukan lahan sepanjang 438 m atau apabila ditanam secara monokultur dengan
jarak tanam 2 x 2 m diperlukan lahan seluas 1752 m.

Saran
Dalam upaya pengembangan jarak pagar di Jawa Tengah sebagai salah satu
penghasil bahan baku minyak nabati (biofuel) guna mengurangi atau menggantikan
ketergantungan masyarakat desa terhadap minyak tanah maka perlu diikuti dengan
kegiatan:
(1) Mengembangkan penerapan teknologi budidaya khususnya penggunaan bibit yang
telah direkomendasi, dengan mengembangkan demplot-demplot usahatani jarak pagar
yang baik dan benar di lahan desa. Mengembangkan pelatihan penanganan hasil dan
pengolahan melalui kegiatan sekolah lapang (praktek) bagi petugas lapang dan petani
pelopor. Mengembangkan kegiatan sosialisasi pemanfaatan biji jarak untuk
menghasilkan minyak jarak sebagai pengganti minyak tanah serta pemanfaatan
produk sampingan khususnya bagi masyarakat pedesaan yang dicanangkan sebagai
desa mandiri energi.
(2) Agar Usahatani jarak pagar yang dilakukan masyarakat desa dapat efektif dan efisien
maka pemerintah - perusahaan - perguruan tinggi diharapkan dapat lebih mendorong
mengembangkan jarak pagar. Pemberian insentif kepada masyarakat yang sedang dan
akan mengembangkan jarak diharapkan dapat mengangkat nilai jual minyak jarak
yang dihasilkan agar sebanding dengan harga minyak tanah. Pemberian insentif

12

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

dilakukan dalam bentuk bantuan sarana produksi, peralatan panen, pasca panen serta
peralatan rumah tangga (memasak, penerangan, dll) yang menggunakan bahan minyak
jarak.
(3) Berdasarkan potensi desa di lokasi penelitian yang memungkinkan untuk
mengembangkan jarak pagar sebagai bahan baku minyak jarak dilakukan di lahanlahan yang belum dimanfaatkan (seperti batas keliling desa, tepi jalan desa, dan
lainnya) khususnya di Kabupaten Kudus dan Semarang perlu mengembangkan
populasi tanaman jarak agar dapat mendukung program pengembagan desa mandiri
energi (DME).
(4) Pengembangan jarak Pengembangan jarak pagar yang menggunakan fasilitas umum
diperlukan adanya kelembagaan desa yang mengatur tatacara pemanfaatan
sumberdaya bersama.

DAFTAR PUSTAKA
Allorerung, D., Z. Mahmud, A.A. Rivai, D. Effendi dan A. Mulyani. 2006. Peta Kesesuaian
Lahan dan Ikim Jarak Pagar. Lokarya Status Teknologi Budidaya Jarak Pagar.
Puslitbangbun. Jakarta.
Anonim. 2006. Infotek Jarak Pagar, Januari 2006, Puslitbangbun, Bogor, 1(1) :4.
Badan Pusat Statistik, Kabupaten Batang Dalam Angka. 2005.
Badan Pusat Statistik, Kabupaten Blora Dalam Angka. 2005.
Badan Pusat Statistik, Kabupaten Cilacap Dalam Angka. 2005.
Badan Pusat Statistik, Kabupaten Grobogan Dalam Angka. 2005.
Badan Pusat Statistik, Kabupaten Kudus Dalam Angka. 2006.
Badan Pusat Statistik, Kabupaten Tegal Dalam Angka. 2005.
Data monografi. 2006. Desa Tanjungharjo, Desa Bandungsari, Desa Pendem, Desa Katekan
Desa Tanjungrejo, Desa Terban, Desa Klaling, Desa Dologan, Desa Bogem, Desa
Sendangwates, Desa Kedungwaru, Desa Kemiri Sawangan, Desa Pakulaut, Desa
Karangmangu, Desa Karangpakis, Desa Karangtawang, Desa Karangturi
Departemen ESDM. 2006. Seminar Optimasi kegiatan Penelitian dan Pengembangan Untuk
Mendorong Peningkatan Eksplorasi dan Produksi Migas.
Duke, J.A. 1983. Handbook of Energy Crops. Internet.
Hambali, E., A. Suryani, Dadang, Hariyadi, H. Hanafie, I.K. Reksowardojo, M. Rivai, M.
Ihsanur, P. Suryadarma, S. Tjitrosemito, T.H. Soerawidjaja,
T. Prawitasari, T.
Prakoso dan W. Purnama. 2007. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodisel. Penebar
Swadaya. Jakarta
Hasnam. 2006 a. Biologi Bunga Jarak Pagar (Jatropha curcas L). Infotek Jarak Pagar (Jatropha
curcas L). Volume 1, Nomor 4.
Hasnam. 2006 b. Pembangunan Kebun Benih Sumber Jarak Pagar. Materi Pelatihan Teknis
Budidaya Jarak Pagar. Bogor.
Hariyadi. 2005.Budidaya Tanaman Jarak (Jatropha curcas L.) Sebagai Sumber Bahan
Alternatif Biofuel. Makalah disampaikan pada Focus Group Diskusi (FGD). Tema
Perspektif Lokal Bioenergi pada Deputi Bidang Pengembangan SISTEKNAS, KMRT,
Puspiptek Serpong.
Hendriadi, A , 2005. Perspektif teknologi pengolahan biodisel dari biji jarak skala pedesaan.
Diskusi Panel Pengembangan Jarak Pagar, Bogor, 28 September 2005. p 7.

13

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Henning R, 2000. Use of Jatropha curcas L (JCL) : A household perspect and its
contribution to rural employment creation. Presentation at the Regional Workshop
on the potential of Jatropha curcas in Rural Development & Environmental
Practucum, Harare, Zimbabwe 1998. p.4.
Kadariyah, 1985. Ekonomi Perencanaan, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta. Indonesia. P.13
Kemala, S, 2006. Simulasi usahatani jarak Pagar (Jatropha curcas, L). Jurnal Littri. Vol.12,
No. 3.
Krisnamurti, 2006. Pemanfaatan energi alternatif dari jarak pagar. Bahan diskusi. Deputy
Menko Perekonomian. Semarang.
Mahmud, Z. 2006a. Kultur teknis budidaya jarak pagar. Lokarya Status Teknologi Budidaya
Jarak Pagar. Puslitbangbun. Jakarta
Mahmud, Z.2006b. Anda bertanya? Kami menjawab ! Infotek Jarak Pagar. Vol.1, No 1.
Prastowo, B. 2006.Pandangan umum mengenai tanaman jarak pagar dan langkah strategis
Badan Litbang Pertanian berkaitan dengan pengelolaan energi nasional. Materi
Pelatihan Teknis Budidaya Jarak Pagar. Bogor.
Prihandana, R., Erliza, H., Siti, M. Dan Roy, H. 2006. Meraup Untung dari Jarak Pagar.
Jakarta:PT Agromedia Pustaka.
PT. Pura, 2006. Observasi daya bakar minyak jarak VS minyak tanah. Data
Pengamatan. PT. Pura, Kudus.
Sri Prana, M. 2006. Budidaya Jarak Pagar (Jatropha curcas, L.) Sumber Biodisel, Menunjang
Ketahanan Energi Nasional. LIPI. Jakarta.
Sudradjat, R. 2006.Memproduksi Biodisel Jarak Pagar. Jakarta: Penebar Swadaya.

POTENSI DAN PROSPEK PENGEMBANGAN PEMBANGKIT


LISTRIK TENAGA PANAS BUMI DI INDONESIA
Daniel Rohi1
Abstrak
Kebutuhan akan energi listrik terus meningkat, diperkirakan pertumbuhan akan mencapai 7,1% setiap
tahun sampai tahun 2012 dengan rasio elektrifikasi 60%. Kondisi seperti ini pada satu sisi
menggembirakan, namun disisi lain akan memberikan dampak yang memprihatinkan dari aspek
lingkungan hidup, sebab 89,5% teknologi pembangkit tenaga listrik di tinjaun dari berbagai informasi
sebagai bahan rujukan, untuk kemudian Indonesia menggunakan energi fosil. Dampak penggunaan
energi fosil salah satunya adalah mengahasilkan polutan gas buang yang cukup besar, sebagai misal
Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri Universitas Kristen Petra Surabaya
Jl. Siwalankerto 121-131 Surabaya 60236 Telp.(031)2983075-77, Fax. (031) 841802,
rohi@peter.petra.ac.id
1

14

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

setiap kWh energi listrik yang diproduksi oleh energi fosil menghasilkan polutan yang dibuang keudara
974 gr CO2, 962 mg SO2 dan 700 mg NOx. Bertolak dari dampak tersebut, perlu dilakukan kajian yang
lebih komprihensif dan komparatif mengenai berbagai potensi energi untuk pembangit tenaga listrik yang
ada di Indoensia. Kajian ini dilakukan berdasarkan menghasilkan rekomendasi mengenai pembangkit
tenaga listrik yang sesuai untuk digunakan di Indonesia. Adapun aspek yang dipakai sebagai indikaor
evaluasi adalah aspek ekonomis, aspek teknis dan aspek ekologis atau lingkungan. Hasil evaluasi
menunjukan pembangkit yang relevan untuk konteks Indonesia adalah pembangkit listrik tenaga panas
bumi (PLTP). Penggunaan energi panas bumi dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil
yang signifikan dan memiliki Faktor Kapasitas yang tinggi dibandingkan dengan pembangkit tenaga
listrik lain.
Kata kunci : Panas Bumi, Ekologi, Ekonomi

PENDAHULUAN
Kehidupan umat manusia modern saat ini sangat tergantung pada ketersediaan sumber energi
terutama energi fosil seperti minyak bumi, batu bara dan gas alam. Ketergantungan yang berlebihan
terhadap sumber energi yang tidak dapat diperbaharui ini telah menyeret umat manusia dalam krisis
energi dan juga krisis lingkungan global atau yang lebih dikenal dengan pemanasan global.
Krisis ekonomi merupakan dampak lain terhadap penggunaan energi fosil yang berlebihan.
Kenaikan harga minyak bumi dunia yang semakin tidak terprediksi telah membawa dampak pada
kesulitan ekomomi di berbagai negara berkemang termasuk Indonesia, sebagai contoh kenaikan harga
minyak yang mencapai US $ 90/barel telah memicu kenaikan harga kebutuhan pokok hampir 20%
karena tingginya ongkos produksi dan transportasi. Kenaikan harga disebabkan oleh penggunaan energi
fosil di sektor industri dan transportasi. Kondisi ini rentan memicu ketidakstabilan dalam politik dan
frustrasi sosial yang diindikasikan oleh meningkatnya aksi kekerasan dan kriminalitas ditengah
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Sektor yang paling terpukul dari kondisi ini adalah sektor kelistrikan nasional karena 89,5%
pembangkit listrik di Indonesia menggunakan bahan bakar fosil. Kemacetan dalam pengiriman bahan
bakar berakibat tersendatnya pasokan listrik dan yang lebih memprihatinkan adalah terjadi pemadaman
bergilir yang sangat merugikan sektor industri manufaktur dan jasa.
Ketergantungan ini mengakibatkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengalami kerugian
mencapai 1,08 triliun untuk tahun 2006 saja, mengatasi hal ini PLN membuat kebijakan untuk
memberikan insentif dan disintensi kepada pelanggan untuk memotivsi dan mendidik pelanggan
melakukan penghematan, walau demikinan kebijakan ini menuai kritik dan protes dari masyarakat,
karena masyarakat berpendapat bahwa hal ini merupakan penaikan tarif listrik secara terselubung.
Bertolak dari realita diatas bahwa ketergantungan kepada enegri fosil telah memberikan dampak
ekologi berupa emisi gas yang berakibat pemanasan global dan dampak ekonomi karena ketidakstabilan
harga minyak dunia yang sulit dipredikasi yang berimbas pada krisis politik dan sosial dan yang
terpenting adalah keterbatasan cadangan sumber energi fosil.

15

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Upaya mengurangi ketergantunan sekor kelistrikan terhadap energi fosil, maka pemerintah
mendorong pemanfatan energi alternatif untuk pembangkit tenaga listrik, walaupun masih dealam
jumlah yang terbatas karena faktor efisiensi yang masih tergolong rendah untuk beberapa komoditi
energi alternatif. Keseriusan itu, terlihat dari kebijakan energi mix sampai tahun 2025 yakni batu bara
32,7%, gas bumi 30,6%, minyak bumi 26,2%, panas bumi 3,8%, air 2,4% dan lainnya 4,4%. Walaupun
masih didominasi oleh energi fosil, namun memasukan pemanfaatan panas bumi 3,8% atau ketiga
terbesar merupakan sesuatu yang patut disyukuri.
Potensi Panas Bumi
Energi panas bumi atau geothermal merupakan pemanfaatan energi panas yang bersumber dari
panas yang dipancarkan oleh inti bumi. Bumi berbentuk bola dengan inti berupa logam yang jaraknya
4000 mil dari permukaan bumi. Inti ini mengeluarkan panas yang dapat melelehkan bebatuan sehingga
menjadi magma. Magma tersebut akan mengalir dan memanaskan air dan bebatuan yang ada di perut
bumi, akibatnya bebatuan dan air menjadi panas sehingga menyemburkan uap panas ke permukaan
bumi pada wilayah tertentu. Pada wilayah yang merupakan lintasan gunung berapi atau ring of fire akan
tersembur keluar gas panas bertekanan tinggi, gas panas inilah yang akan dimanfaatkan untuk memutar
turbin jika panas yang dihasilkan melebihi 100 oC.
Letak geografis Indonesia pada lintasan gunung berapi merupakan berkat tersendiri karena
Indonesia kaya akan potensi energi panas bumi. Potensi ini merupakan terbesar di dunia atau berjumlah
40% dari total cadangan energi panas bumi yang ada diseluruh dunia. Total potensi energi panas bumi
di Indonesia mencapai 27.487 MW yang terdapat dihampir semua kawasan di Indonesia yakni pulau
Sumatra, pulau Jawa, pulau Sulawesi, Nusa Tenggara, Pulau Kalimantan dan Papua (tabel-1). Hal yang
menarik dari potensi energi pans bumi dari segi penyebaran geografis adalah 18.183 MW atau 66,15%
terdapat diluar pulau Jawa. Dengan demikian upaya untuk mengurangi penggunaan energi fosil yang
mendominasi pembangkit listrik di luar pulau Jawa dapat teratasi dengan memaksimalkan pemnafaatan
energi panas bumi.
Tabel 1 : Potensi Energi Panas Bumi di Indonesia
No

Derah Potensi

Kapasitas (MW)

1.

Sumatera

13.773

2.

Jawa

9.304

3.

Sulawesi

2.105

4.

Nusa Tenggara

1.681

5.

Maluku

524

6.

Papua

50

7.

Kalimantan

50

Jumlah Kesuluruhannya

27.487

16

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Pemanfaatan energi panas bumi untuk pembangkit listrik di Indonesia bukan hal yang baru.
Penggunaan resmi ditandai dengan beroperasinya monoblok pembangkit listrik tenaga panas bumi di
Kamojang, November 1978. Walaupun sudah memasuki usia 30 tahun, namun pemanfaatan potensi
energi panas bumi di Indonesia masih tergolong lambat dalam perkembangan dan sangat rendah dalam
pertumbuhan, karena yang telah dimanfaatkan hanya sebesar 855,5 MW atau 3,1% dari keseluruhan
potensi yang tersedia. PLTP yang beroperasi hanya 7 (tujuh) pembangkit yang tersebar di beberapa
wilayah seperti di pulau Jawa, pulau Sumatera dan pulau Sulewesi.
Dari segi penyebaran masih belum merata karena mayoritas atau 71,4% PLTP berada di pulau
Jawa yakni 5 (lima) PLTP, sedangkan dua yang lain terdapat di Sumatera Utara dan Sulawesi Utara
dengan kapasitas total sebesar 24,5 MW atau 2,86% dari kapasitas terpasang. Kondisi ini sangat tidak
ideal, karena justru pembangkit listrik di luar pulau jawa mayoritas menggunakan bahan bakar fosil
sehingga pemfataan pembangunan PLTP di luar pulau Jawa hendaknya menjadi prioritas utama.
Dengan demikian potensi energi panas bumi di Indonesia masih belum dimaksimalkan
pemanfaatannya dan belum merata penggunaan dari segi geografis. Untuk memaksimalkan
pemanfaatan energi ini,maka perlu ada kebijakan pemerintah yang memberikan kemudahan bagi
kontribusi PLTP dalam rangka mengatai krisis energi di Indonesia teristimewa krisis listrik. Untuk itu,
pemahaman mengenai prospek pembangkit listrik dari segi teknis, ekonomis dan ekologis merupakan
hal yang penting untuk dikaji sebagai bahan masukan bagi pengambil keputusan di negeri ini.

Teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi


Prinsip kerja dari pembangkit listrik panas bumi tidak berbeda dengan pembagkit tenaga listrik
lainnya. Uap panas bertekanan tinggi yang disemburkan dari perut bumi dapat langsung dimanfaatkan
untuk memutar turbin generator. Namun demikian khusus di Indonesia uap panas yang keluar tersebut
tidak langsung digunakan, melainkan perlu melewati proses menyaringan karena uap yang dikeluarkan
masih mengandung bahan lain seperti air, kandungan mineral dan garam. Penyaringan ini untuk
mencegah kerusakan peralatan yang ada di pembangkit.
Berdasarkan potensi panas bumi maka, maka jenis pembangkit panas bumi dibedakan menjadi
dari tiga macam yakni panas bumi uap basah, panas bumi air panas dan panas bumi batuan panas.
Dalam makalah ini hanya dipaparkan salah satu PLTP(gambar-1). Uap basah dari perut bumi akan
dipisahkan dalam tangki pemisah atau separator yang mana air yang lebih berat akan mengendap
didasar tangki dan uap akan disalurkan untuk memutar turbin sedangkan air akan di salurkan lagi
kedalam pertu bumi. Uap yang telah dipakai untuk memutar turbin didinginkan sehingga menjadi cair
ntuk kemudian diinjeksikan kembali ke perut bumi.

17

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Gambar 1. Skema Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi

Pembangkit listrik geothermal batuan panas menghasilkan uap dengan jalan menyalurkan air
kedalam batuan panas yang terdapat dalam perut bumi sehingga menjadi uap panas. Uap yang
dihasilkan dimurnikan untuk kemudian dipakai memutar turbin generator. Selanjutnya uap tersebut
didinginkan untuk dijadikan air bagi dialirkan kembali untuk menghasilkan uap lagi. Proses ini
merupakan siklus tertutup.
Prospek Pembangkit Listrik Panas Bumi
Prosepek yang dimaksudkan disini adalah pembangkit tenaga listrik energi panas bumi
memiliki peluang yang menguntungkan jika, dikelola secara maksimal di masa yang akan datang
khususnya dikaitkan dengan faktor teknis, ekonomis dan ekologis. Dari aspek teknis perkembangan
teknologi pembangkit semakin baik dalam pengertian peralatan yang dierpergunakan memiliki efisensi
yang tinggi karena memiliki unjuk kerja yang baik. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari perkembangan
penelitian di bidang teknologi pembangkit yang semakin maju akibat dari semakin banyak negara di
dunia yang tertarik memanfaatkan energi ini sebagai alterbatif pembangkit yang memanfaatkan energi
konvensional yang ada selama ini.
Ditinjau dari segi pembiayaan PLTP Bumi merupakan pembangkit yang sangat hemat, hal ini
bisa dilihat dari jumlah modal yang diinvestasikan, biaya operasi dan pemeliharaan dan faktor
produksi.
Biaya investasi merupakan keseluruhan dana yang tetap yang dikeluarkan untuk mebangun
pembangkit listrik tenaga panas bumi. Biaya tersebut meliputi biaya untuk pembebasan lahan, biaya
pengeboran dan biaya pembangunan sarana fisik dari pembangkit seperti gedung dan turbin
generator. Secara umum dari segi pembiayaan untuk biaya yang berubah atau variabel cost termasuk
rendah ditambah lagi tidak ada biaya untuk bahan bakar termasuk transportasi .
Investasi yang dikeluarkan untuk menghasilkan satu KWh berkisar antara US$1150-US$3000,
biaya ini tergantung dari teknologi pembangkit yang digunakan dan suhu yang dihasilkan oleh sumber
panas bumi. Besarnya investasi ini lebih rendah ketimbann pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan
lebih mahal dari batu bara (tabel 2),namun demikian ada keunggulan yang dimiliki seperti biaya
oprasional dan keramahan terhadap lingkungan.
Investasi yang dikuluarkan kelihatannya besar, namun untuk jangka panjang sangat
menguntungkan karena investasi akan kembali setelah 15 tahun beroperasi atau 30% 50% % dari usia
produktif pembangkit yang berkisar antara 30-45 tahun.
Tabel 2 . Faktor Ekonomi Pembangkit Litrik Tenaga Panas Bumi
No.

Pembangkit

Perkiraan Biaya
Modal
(US $/kWh)

Pemeliharaan
(US cents/kWh)

Produksi Rata Rata (US


cents/kWh)

18

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

1.

Panas Bumi

1150-3000

0,4-1,4

1,5-7,0

2.

Air

735-4778

0,7

0,5-2,4

3.

Batu Bara

1070-1410

0,46

2,0-5,0

4.

Nuklir

1500-4000

1,9

1,5-3,0

Biaya untuk operasi dan pemeliharaan tergolong paling ekonomis yakni 0.4 - 1.4 cents setiap
kWh dibandingkan dengan pembangkit lain, hal ini tergantung juga dari frekuensi menjalankan
pembangkit. Kelebihan lainnya adalah pembangkit ini bisa beropersi secara maksimal sampai 98% dan
ini tergantung pada teknologi pembangkit yang dipakai dan jenis sumber panas bumi yang ada. Untuk
kasus di Indoensia faktor kapasitas PLTP yang beroperasi cukup tinggi dibandingkan denga pembangkit
lain sebagai misal PLTP Kamojang 93%, Wayang windu 94%, Darajat 93%. Perbandingan dengan
pembangkit yang menggunakan BBM/BBG Muara karang 65%, Batubara di Suralaya 67%, PLTA
Saguling 36%, Barantas 39%.
Fakor ekonomis lainnya adalah biaya produksi rata-rata yakni biaya rata-rata yang dikeluarkan
selama usia produktif dari pembangkit. Biaya produksi rata-rata untuk PLTP berkisar antara US$0,045US$0,07 setiap kWh. Biaya ini terplong rendah dibandingkan dengan pembangkit yang menggunakan
batu bara, nuklir dan juga minyak bumi. Sebagai perbandingan dengan minyak bumi. Kebutuhan untuk
membangkitkan listrik 1 Kwh adalah 0.28 liter BBM, maka :1 (satu) MWh membutuhkan 280 liter atau
kira-kira 2 (dua) barel, jika potensi panas bumi di Indonesia sebesar 27.487 MW maka satu jam setara
7.696.360 liter atau 48.405 barel. Dalam satu hari potensi geothermal adalah setara 184.712.640 liter atau
1.161.715 barel. Dengan asumsi harga 1 barel BBM saat ini US$90, maka dalam satu hari akan dihasilkan
US$104.554.325.Suatu angka yang cukup besar dan bisa memberikan keuntungan secara ekonomis bagi
keuangan negara.
Aspek penting lainnya adalah keramahan terhadap lingkungan. Faktor lingkungan merupakan
variabel penting yang akan menjadi alasan kuat bahwa PLTP memiliki prospek yang cerah dibanding
dengan pembangkit lainnya teristimewa pembangkit yang berbasis pada energi fosil. Emisi gas buang
yang dihasilkan terbukti PLTP paling rendah untuk CO2 yakni hanya 0,20 lbs/mWh, SO2 hanya 0,35 dan
Nox tidak dihasilkan atau nol (tabel-3). Sebagai pembading setiap kWh energi listrik yang diproduksi
oleh energi fosil menghasilkan polutan yang dibuang keudara 974 gr CO 2, 962 mg SO2 dan 700 mg Nox.
Pada tahun 2012 diperkirakan produksi energi listrik di Indonesia mencapai 192,590 GWh, berarti
172,360GWh listrik yang diproduksi menggunakan energi fosil. Jumlah ini mengakibatkan terjadi
pelepasan 168 juta ton CO 2, 159,6 ribu ton SO 2 serta 120,7 ribu ton Nox. Dengan demikian penggunaan
energi panas bumu akan mengurangi ancaman krisis lingkungan hidup global.
Tabel 3. Emisi Gas dari Berbagai Pembangkit Listrik
No.

1.

Pembangkit

Panas Bumi

Aspek Lingkungan/Emisi gas (lbs/mWh)


CO2

SO2

NOx

0,20

0,35

19

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

2.

Gas Alam

1,321

0,22

2,96

3.

Minyak Bumi

1,969

12

4.

Batu Bara

2,095

110,39

4,31

Rendanya emisi gas disebabkan oleh tidak ada bahan bakar yang dipakai, semua proses
produksi menggunakan energi panas yang keluar dari perut bumi, uap panas yang dihasilkan
mengembun manjadi uap air yang akan didinginkan menjadi air, untuk kemudian diinjeksikan kemabali
ke dalam perut bumi.
Singkat kata energi panas bumi sebagai basis pembangkit tenaga listrik memiliki prospek yang
cerah untuk dikembangkan secara maksimal dimasa mendatang karena pertama dari aspek ekonomi
lebih unggul dalam biaya pembangunan, operasi dan pemeliharan serta faktor kapasitas yang tinggi.
Kedua lebih ramah lingkungan karena tidak memiliki emisi gas buang yang mengancam kelestarian
lingkungan hidup. Kendatipun demikian keberadaan PLTP yang tergantung pada faktor geografis dalam
hal ini letak yang jauh dari pusat beban, maka diperlukan biaya besar untuk transmisi dan distribusi.

KESIMPULAN

Ketergantungan terhadap energi fosil fosil telah membawa dunia pada krisis ekologi atau krisis
lingkungan global dan krisis ekonomi global.

Pemanfatan energi listrik yang ramah lingkungan dan terbarukan merupakan salah satu solusi
untuk mengatasi krisis energi gobal dan krisis ekologi global. Salah satu energi alternatif yang
ramah lingkungan dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi adalah energi panas bumi.

Potensi energi panas bumi di Indoensia merupakan terbesar di seluruh dunia yakni 40% dari
total potensi energi panas bumi di dunia, namun pemanfaatannya masih sangat minim yakni
hanya sebesar hanya 3,1% keseluruhan potensi yang tersedia sebesar 27.487 MW

Dari segi penyebaran wilayah,maka pembangunan PLTP masih belum merata yakni mayoritas
atau 71,4% PLTP berada di pulau Jawa yakni 5 (lima) pembangkit sedangkan dua yang lain
terdapat di Sumatera Utara dan Sulawesi Utara dengan kapasitas total sebesar 24,5 MW atau
2,86% dari kapasitas terpasang.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen
ESDM
Indonesia
(2008),
Handbook
Statistik
Ekonomi
Energi
Indonesia2006,http://www1.esdm.go.id/files/publikasi/buku/Handbook%20Statistik
%20Ekonomi%20Energi%202006.pdf

20

di

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

EKTRO INDONESIA,Pengembangan Energi Terbarukan Sebagai Energi Aditif di Indonesia, Edisi ke


lima, Desember 1996,http://www.energi.lipi.go.id
Indartoni,Y S, Krisis Energi di Indonesia: Mengapa dan Harus Bagaimana, INOVASI Online Edisi
Vo.5/XII/November 2005, http://io.ppi-jepang.org
Putrohari,RD, Potensi Geothermal vs Minyak Bumi, Energi Information System (IDENI),
http://www.indeni.org/index2php
Indartoni,Y S, Krisis Energi di Indonesia: Mengapa dan Harus Bagaimana, INOVASI Online Jurnal Edisi
Vo.5/XII/November 2005, http://io.ppi-jepang.org
Reed, M.J and Renner, L.Jl : Environmental Compatibilility of Geothermal Energy, CRP Press, 1995,
http://geothermal.inel.gov/publications/articles/reed/reed-renner.pdf
Shibaki, Masahi and Beck,Fredric : Geothermal Energy for Electric Power A REPP Issue Brief Desember
2003 http://www.earthscape.org/p1/ES16312/Geothermal_Issue_Brief.pdf

21

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

PEMBUATAN BAHAN BAKAR CAIR DARI LIMBAH


PLASTIK
Didi Dwi Anggoro*) dan Luqman Buchori2)
Abstrak
Bahan buangan plastik yang menjadi salah satu unsur pencemar lingkungan dapat
diubah menjadi sesuatu yang lebih berguna, salah satunya menjadi liquid fuel yaitu
dengan cara degradasi katalitik. Bahan buangan plastik terutama jenis polypropylene
(PP) lebih sulit dipirolisis dibandingkan dengan termoplast lain, karena struktur ikatan
dan pola crackingnya. Untuk itu diperlukan katalis seperti HY dan ZSM-5 agar
pirolisis lebih efektif. Selain itu katalis tersebut juga meningkatkan efek pirolisis untuk
menurunkan suhu dan waktu dekomposisi, serta meningkatkan perolehan hasil bahan
bakar cair. Pirolisis plastik dengan katalis dilakukan dengan cara memanaskan
menggunakan elektrik furnace pada suhu di atas 450C. Plastik diletakkan diantara
HY dan ZSM-5. HY ditempatkan di bagian bawah dan ZSM-5 di bagian atas reactor.
Gas yang dihasilkan didinginkan untuk memperoleh liquid fuel. Dari hasil penelitian
diperoleh bahwa cairan terbanyak diperoleh dari degradasi katalitik sebanyak 14.6 ml.
Cairan ini berasal dari plastik sebanyak 25 gr dan katalis HY dan ZSM-5 sebanyak 1gr
pada suhu 850C. Hasil yang sesuai dengan bensin diperoleh pada suhu 500C dengan
berat katalis 1.5 gr.
Kata kunci : degradasi katalitik; HY; katalis ZSM-5; PP; pirolisis

PENDAHULUAN
Penggunaan plastik semakin meningkat seiring dengan semakin majunya ekonomi
dan industri Akibatnya sampah (limbah) plastik di lingkungan juga semakin meningkat.
Masalah ini semakin besar dikarenakan plastik tidak bisa diurai oleh lingkungan. Untuk itu
diperlukan usaha yang dapat mengubah limbah plastik menjadi sesuatu yang lebih
bemanfaat.
Polypropylene (PP) merupakan salah satu jenis thermoplastik yang biasanya
digunakan untuk pembungkus makanan ataupun perangkat rumah tangga. Dengan
semakin banyaknya penggunaan PP maka semakin banyak pula PP yang akan terbuang
Laboratorium Rekayasa Proses Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas
Diponegoro
Email : LuqmanBuchori@alumni.undip.ac.id
*)
Corresponding Author: Email: anggoro@alumni.undip.ac.id
2)

22

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

sebagai limbah. Proses perengkahan PP merupakan salah satu cara untuk meminimalisir
buangan PP tersebut.
Hidrokarbon cair adalah salah satu senyawa kimia yang banyak diperlukan oleh
industri farmasi, kosmetik, dan berbagai industri kimia lainnya. Sehingga diperlukan
terobosan teknologi proses untuk menghasilkan hidrokarbon cair dari bahan buangan
plastik (PP), yang jumlahnya semakin meningkat. Proses produksi hidrokarbon cair dari PP
dapat dikerjakan dengan proses perengkahan. Proses perengkahan ini berlangsung pada
suhu tinggi, sehingga diperlukan katalis (katalis HY dan ZSM-5) untuk menurunkan
temperatur dan waktu proses.
Polypropylene (PP) adalah polymer hydrocarbon linear, dengan rumus molekul
CnH2n. Seperti polyethylene dan polybutene, adalah polyolefin atau saturated polymer.
Struktur PP adalah sebagai berikut :
-[2HC-CH-]n|
CH3
PP terbentuk dengan cara reaksi polymerisasi, dimana reaksi pembentukan PP
adalah:
CH2=CH

R*

CH2-CH-R*

l
CH3
propylene
initiator
CH2=CH + CH2-CH-R*
l
l
CH3
CH3

l
CH3
CH3-CH-CH2-CH-R*
l
l
CH3
CH3

Polypropylene merupakan salah satu bahan yang mempunyai sifat fisik, kimia,
mekanis, thermal, dan elektrik yang tidak ditemui dalam thermoplast lain. Dibandingkan
dengan high density polyethylene (HDPE), PP mempunyai kekuatan tumbukan yang lebih
rendah tetapi memiliki temperatur proses dan kekuatan regang yang lebih baik.
Sifat fisis PP ditabulasikan pada tabel 1. PP mempunyai resistensi tinggi terhadap
asam, alkali, solvent organic, degreasing agents, tetapi mempunyai resistansi rendah terhadap
aromatic, aliphatic, dan chlorinated solvent. Kelebihan PP adalah ringan, tidak menyerap air,
mudah dibersihkan, kuat, tahan panas, agak kaku, tidak mudah patah, tidak beracun dan
cocok untuk transfer gas serta cairan panas. Dibandingkan plyethylene, PP mempunyai
density yang lebih rendah, titik leleh yang lebih tinggi (160 oC, sedangkan Polyethylene akan
meleleh pada suhu sekitar 135 oC), lebih kaku, dan keras. PP biasanya digunakan untuk
produksi peralatan rumah tangga dan pembungkus makanan.
Tabel 1. Sifat fisis Polyprophylene
Tensile Strength
Notched Impact Strength
Thermal Coefficient of expansion

0.95 - 1.30
3.0 - 30.0
100 - 150

N/mm
Kj/m
x 10-6

23

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Max Cont Use Temp


Density

80
0.905

C
g/cm3
o

Struktur zeolit Y terdiri dari muatan negatif, kerangka tiga dimensi tetrahedral SiO 4
dan AlO4 yang bergabung membentuk oktahedra terpancung (sodalite). Jika 6 buah sodalite
terhubungkan oleh prisma heksagonal akan membentuk tumpukan tetrahedral. Jenis
tumpukan ini membentuk lubang besar (supercages) dan berdiameter 13. Lubang-lubang
(supercages) dapat terbentuk dari 4 kristal tetrahedral yang tersebar, yang masing-masing
mempunyai 12 cincin oksigen dan berdiameter 7,4 . Lubang-lubang tersebut bila saling
bersambung akan membentuk sistem pori-pori yang besar dari zeolit. Setiap atom
aluminium di koordinat tetrahedral dalam kerangka membawa muatan negatif. Muatan
negatif dalam kerangka ini digantikan oleh kation yang berada diposisi kerangka non
spesifik.
Dalam bentuk terdehidrasi, muatan proton yang seimbang menempati posisi
tertentu dalam zeolit dan membentuk 2 jenis gugus asam hidroksil yaitu -cage hydroxyls
yang bersifat sangat asam dan dapat diadsorbsi secara langsung dan - hydroxyls yang
tidak terlalu asam tetapi berinteraksi dengan -cage yang teradsorbsi secara terbatas. Dalam
bentuk terhidrasi, ion dan molekul air di supercage sangat bebas bergerak yang
memungkinkan pertukaran ion sebaik dehidrasi reversibel dan penyerapan.
Zeolit ZSM-5 memuat sebuah system saluran zig zag silang-menyilang dari 10 cincin
berangkai untuk menghasilkan system rongga tiga dimensi. Diameter pori berkisar antara
5,1 5,5 A. ZSM-5 memiliki struktur yang unik. Struktur tersebut memungkinkan reaksi
berjalan lebih sempurna, karena waktu tinggal pereaktan akan lebih lama. Selain itu, ZSM-5
juga memiliki selektivitas yang tinggi terhadap reaktan dan produk.
Tujuan thermal cracking adalah untuk memecah senyawa menjadi molekul yang
lebih kecil dengan cara pyrolisis atau thermolisis. Thermal cracking melibatkan radikal
bebas (bukan ion) dan reaksi rantai radikal bebas.
Thermal cracking meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
1. Inisiasi
RH R1 + R2
homolysis pemecahan ikatan
2. Propagasi
R1 + RH R1 H + R
hydrogen abstractionberlangsung pada tekanan tinggi
R1 olefin + R
scission berlangsung pada tekanan rendah
3. Terminasi
R4 + R5 RR
kombinasi radikal bebas
2R4 olefin + alkane
disproporsionasi
4. Isomerisasi
C C C C C C C C C C C C- tidak disukai
scission C = C + C C C C
lebih cepat dari isomerisasi

24

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Perengkahan plastik pada suhu tinggi adalah proses paling sederhana untuk daur
ulang plastik. Pada proses ini material polimer atau plastik dipanaskan pada suhu tinggi
dengan dialirkan udara. Proses pemanasan ini menyebabkan struktur makro molekul dari
plastik terurai menjadi molekul yang lebih kecil dan hidrokarbon rantai pendek terbentuk.
Produk yang dihasilkan berupa fraksi gas, residu padat dan fraksi cair, yang mengandung
parafin, olefin, napthan, dan aromatis.
Proses ini memiliki 2 masalah, yaitu masalah dalam distribusi produk dan masalah
dalam penggunaan suhu tinggi yang menggunakan suhu lebih dari 900 oC. Perengkahan
menggunakan katalis merupakan metoda untuk penyelesaian masalah ini.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari potensi plastik (PP) sebagai bahan
baku produksi bahan bakar cair dengan menggunakan katalis zeolite HY dan ZSM-5.
METODE PENELITIAN
Dalam percobaan pirolisis ini digunakan plastik PP, ditimbang sesuai variabel
percobaan, dicampur katalis dengan perbandingan tertentu, kemudian dimasukan reaktor.
Plastik diletakan diantara katalis HY dan ZSM-5, dengan katalis HY ditempatkan di bagian
ujung bawah reactor, sedangkan ZSM-5 ditempatkan di ujung atas reactor. Kemudian
dilakukan proses pirolisis dengan memanaskan reaktor menggunakan furnace elektrik
sampai suhu yang sesuai dengan variabel. Uap yang terbentuk dialirkan dari atas reaktor ke
pendingin balik melalui selang tahan panas. Wax yang keluar melalui bagian bawah reaktor
ditampung dalam beaker glass. Percobaan dianggap berakhir jika tidak ada lagi uap yang
mengalir maupun wax yang menetes. Variabel yang divariasikan adalah suhu dan berat
katalis. Variabel percobaan ditabulasikan pada tabel 2 sedangkan peralatan perengkahan
dan komposisi bahan dalam reaktor disajikan dalam gambar 1 dan 2.
Tabel 2. Variabel Percobaan

RUN

Suhu
(C)

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

500
500
750
750
500
750
850
500
500
500

Berat Katalis
(masing-masing untuk HY
dan ZSM-5) (gram)
0.5
1.5
0.5
1.5
1
1
1
0.3
1.7
1

25

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Gambar 1. Peralatan catalytic cracking

Katalis Zeolit ZSM-5


Plastik(PP)
Katalis Zeolit Y

Gambar 2. Komposisi bahan didalam reactor

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari percobaan diperoleh hasil yang ditabulasikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil percobaan

RUN

Suhu
(C)

Berat Katalis
(masing-masing untuk
HY dan ZSM-5), gram

Berat Hasil Cairan


(ml)

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

500
500
750
750
500
750
850
500
500
500

0.5
1.5
0.5
1.5
1
1
1
0.3
1.7
1

2
3.6
10.2
11.2
3.4
10.8
14.1
1.5
4.1
3.1

Berat Hasil
Padatan (wax
dan serbuk)
(gram)
11.9
16.1
6.6
6.5
13.2
4.6
4.8
14.1
10.4
12.1

26

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Hasil Analisa Gas Chromatography

Gambar 3. Bensin

Gambar 4. Produk T = 500C dan Berat Katalis 1.5 gram


Dari hasil percobaan, diperoleh bahwa dengan jumlah katalis yang tetap dan suhu
yang semakin tinggi dihasilkan produk cair yang semakin banyak. Hal ini disebabkan
jumlah plastik yang terdegradasi menjadi produk cair semakin besar. Demikian pula
dengan suhu yang tetap dan berat katalis yang semakin besar, produk cair yang dihasilkan
pun semakin banyak. Ini dikarenakan semakin banyaknya gugus asam yang digunakan
untuk reaksi peruraian molekul plastik menjadi snyawa yang lebih sederhana.
Hasil dari Gas Chromatography menunjukkan bahwa kondisi optimum untuk
menghasilkan bahan bakar cair yang setara dengan bensin adalah pada suhu operasi 500C
dan berat katalis masing-masing 1.5 gram.
KESIMPULAN
Dari hasil percobaan yang diperoleh, dapat disimpulkan :
5. Berat katalis yang tetap dan suhu yang semakin tinggi diperoleh jumlah cairan
semakin banyak, demikian pula pada suhu yang tetap dan berat katalis yang
semakin besar.
5. Produk yang sesuai dengan bensin diperoleh pada kondisi operasi suhu 500C dan
berat katalis masing-masing 1.5 gram.

DAFTAR PUSTAKA

27

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Li Quanhong. Fu Caili, 2004. Application of Response Surface Methodology for Extraction


Optimization of Germinant Pumpkins Seeds Protein, Journal of Food Chemistry
Marcilla,A., Gomez, A., Garcia N.A., 2002, Kinetic Study of Different Commercial
Polyethylenes over an MCM-41 Catalyst, Journal of analytical and applied pyrolisis, 64,
hal. 85-101
Nor Aishah Saidina Amin, Didi Dwi Anggoro, 2003, Optimization of Direct Conversion of
Methane to Liquid Fuels Over Cu Loaded W/ZSM-5 Catalyst, Journal Fuel.
Soo Hyun Chung, dkk., Pyrolisis of Waste Plastic Using Synthezised Catalyst from Fly
Ash, Journal Korea Institute of Energy Research
Suryadi Ismadji, dkk., 2004, Penggunaan Katalis MCM_41 pada Proses Pirolisis Plastik,
Prosiding Seminar Teknik Kimia Soehadi Reksowardojo 2004
Szostak, R., 1989, Molecular Sieves Principles of Synthesis and Identification, Van Nostrand
Reinhold Catalysis Series, Elsevier

28

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA


MIKRO HIDRO (PLTMH) DENGAN MEMANFAATKAN
POTENSI SALURAN IRIGASI
(STUDI KASUS PENGEMBANGAN PLTMH UMM)
Suwignyo1 & Sunarto2
Abstraks
Pada bulan Aprilt 2008 ini Pembangkit Listrik tenaga Mikro Hidro (PLTMH) berkapasitas
100 kW beroperasi di Kampus Universitas Muhammdiyah Malang (UMM) hasil kerjasama
UMM dengan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen ESDM RI.
Pembangunan PLTMH UMM adalah untuk menggalakkan pemakaian sumber energi
terbarukan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi krisis energi dan sekaligus sebagai
upaya untuk pengurangi emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Salah satu jenis
sumber energi terbarukan adalah air skala kecil atau mikro hidro. Data Departemen ESDM
menunjukkan bahwa baru sekitar 0.084 GW dari 0.45 GW potensi mikro hidro yang sudah
termanfaatkan di Indonesia. Potensi mikro hidro ini antara lain ada di saluran-saluran irigasi
karena di sebagian wilayah air yang mengalir di saluran irigasi ini tidak lagi termanfaatkan
secara maksimal karena menyusutnya lahan pertanian. Karena itu, air yang sudah tidak
termanfaatkan untuk lahan pertanian ini dapat dijatuhkan kembali ke sungai asal sebagai
sumber energi untuk pembangkit listrik.PLTMH UMM menggunakan sumber air dari
Saluran Irigasi Sengkaling Kiri dari Dam Sengkaling di Sungai Brantas yang terletak 800
meter dari Kampus UMM. Dengan semakin berkurangnya jumlah baku sawah yang diairi
dari 1000,00 Ha hingga tinggal 193,00 Ha pada tahun 2000, maka potensi sumber air irigasi
yang tersisa inilah yang dijadikan sumber energi pembangkit listrik. Debit yang dimanfaatkan
untuk PLTMH adalah sebesar 1,00 m 3/dt yang dijatuhkan kembali ke Sungai Brantas dengan
head 19 m untuk membangkitkan listrik sebesar 100 kW.
Kata kunci: listrik, mikro hidro, saluran irigasi

29

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

PENDAHULUAN
Saat ini hampir semua wilayah di Tanah Air masih mengalami krisis pasokan
tenaga listrik termasuk di wilayah Jawa-Bali. Pada tahun 2005, beban puncak sistem
interkoneksi Jawa-Bali mencapai 15.830 MW, sedangkan kapasitas terpasang pembangkit PT
PLN 19.615 MW dan daya listrik yang dapat disalurkan sebesar 18.398 MW. Artinya system
kelistrikan Jawa-Bali mempunyai cadangan 17 % lebih rendah daripada cadangan normal
minimal sebesar 30%. Sedangkan permintaan listrik tumbuh 6 7% per tahun. Konsumsi
listrik di Indonesia dan regional Jawa Timur masih rendah. Sebagai gambaran kebutuhan
listrik di Jawa Timur, Indonesia, Singapura dan Jepang adalah 450, 459, 7210, dan 7505
kwh/ org/ tahun. Sedangkan tingkat produktifitas yang dihasilkan per kwh untuk negaranegara tersebut adalah 1.82, 1.60, 3.18 dan 5.15 US $/org/ tahun (Mahmudsyah, 2007 dan
Suwignyo, 2006 ).
Ketua Tim Pengembangan PLTMH UMM, Dosen Jurusan Teknik Sipil FT UMM email: suwignyo@umm.ac.id
Dekan FT UMM, Pengarah Pengembangan PLTMH UMM, Dosen Jurusan Teknik Sipil FT UMM email:
narto@umm.ac.id
1
2

Dengan kondisi krisis energi listrik tersebut, seiring dengan meroketnya harga
minyak dunia hingga mencapai hampir 100 US$ per barel, dan menurunnya cadangan
sumber energi fosil, maka pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan untuk
menambah kemampuan pasokan energi haruslah terus ditingkatkan. Pada tahun 2025
pemerintah menargetkan pemakaian sumber energi terbarukan sebesar 17% dari kondisi
saat ini yang hanya sekitar 3%. Pemerintah mencanangkan pembangunan pembangkit listrik
baru 10.000 MW dengan bahan bakar non fossil, bekerjasama dengan pihak swasta.
Pemerintah juga menawarkan bentuk kerjasama untuk membangun pembangkit tenaga
listrik skala kecil (PSK, dibawah 1 MW) dan PT. PLN akan membeli seharga 80% dari harga
jual.
Terkait dengan pemanasan global, turunnya pemakaian energi fosil secara tidak
langsung akan menurunkan emisi karbondioksida, salah satu gas rumah kaca penyebab
pemanasan global (global warming). Pemanasan global inilah yang menyebabkan terjadinya
perubahan iklim berikut dampak ikutannya seperti kegagalan panen, kelangkaan air,
tenggelamnya daerah pesisir, banjir, dan kekeringan. Sebagaimana diketahui, sekitar 63%
emisi karbondioksida dihasilkan oleh sektor industri energi (pembangkit listrik/kilang
minyak) dan sektor transportasi.
KAJIAN PUSTAKA
Potensi Energi Terbarukan
Data dari Departemen ESDM (Yusgiantoro, 2006) sebagaimana terlihat pada Tabel
1, menunjukkan bahwa pada Tahun 2005 hanya sebagian kecil dari potensi sumber energi
terbarukan yang sudah termanfaatkan. Tenaga air baru terpasang 4,2 GW (5,55%) dari
potensi 75,67 GW. Karena itu sangatlah bisa dimengerti jika pemerintah berusaha
menaikkan target pemakaian sumber energi terbarukan.
Tabel 1 : Potensi Sumber Energi Baru Terbarukan
JENIS SUMBER ENERGI SUMBER DAYA
SETARA
KAPASITAS TERPASANG
Tenaga Air
845.00 juta BOE
75.67 GW
4.2 GW
Panas Bumi
219.00 juta BOE
27.00 GW
0.8 GW
Mini/Micro Hydro
0.45 GW
0.45 GW
0.084 GW
Biomass
49.81 GW
49.81 GW
0.3 GW

30

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Tenaga Surya
Tenaga Angin

9.29 GW

4.80 kWh/m2/hari
9.29 GW

0.008 GW
0.0005 GW

Energi Mix Tahun 2025


(Sesuai Perpres No. 5/2006)
Minyak Bumi,
20%
Gas Bumi, 30%

(Biofuel), 5%
EBT, 17%

OPTIMALISASI
PENGELOLAAN
ENERGI

Panas Bumi, 5%
Surya, Angin, 5%

Batubara , 33%

Batubara yang
Dicairkan (Coal
Liquefaction), 2%

Gambar 1 : Diagram Diversifikasi Energi


Sesuai Perpres No. 5/2006, untuk optimalisasi pengelolaan energi, pada Tahun 2025
Departemen ESDM menargetkan pemakaian sumber energi baru terbarukan sebesar 17%,
jauh lebih besar daripada kondisi tahun 2005 sebesar 4,43% (Gambar 1). Pemakaian energi
fosil (minyak bumi dan batubara) ditargetkan sebesar 53%, turun dari pada kondisi tahun
2005 sebesar 77%.

Potensi Saluran Irigasi


Indonesia memiliki sawah irigasi teknis 6,134 juta ha, terdiri dari 19.344 daerah
irigasi yang tersebar di seluruh Indonesia, terutama di P. Jawa, P. Sumatera dan P.Sulawesi.
Disetiap jaringan irigasi teknis terdapat beberapa bangunan terjun dan bangunan sadap
yang memiliki tinggi jatuh hidrolik, sehingga mempunyai potensi untuk dikembangkan
sebagai PLTMH. Pengembangan PLTMH dengan memanfaatkan saluran irigasi, merupakan
phenomena menarik tentang diversifikasi fungsi jaringan irigasi yang selama ini hanya
dititikberatkan pada pemanfaatan untuk irigasi pertanian. Apalagi di sebagian wilayah, air
yang mengalir di saluran irigasi ini tidak lagi termanfaatkan secara maksimal karena
menyusutnya lahan pertanian yang seharusnya dialiri air rigasi karena berubah fungsinya
menjadi kawasan pemukiman. Di sebagian wilayah yang lain saluran irigasi telah berubah
fungsinya menjadi saluran drainase. Karena itu akan lebih bermanfaat apabila air yang
sudah tidak termanfaatkan untuk lahan pertanian ini dijatuhkan kembali ke sungai asal
sebagai sumber energi untuk pembangkit listrik.
Salah satu jaringan irigasi yang mempunyai potensi untuk pengembangan PLTMH
adalah jaringan irigasi Sengkaling kiri yang melintas di area kampus Universitas
Muhammadiyah Malang (UMM). Di kawasan Kampus UMM mengalir Sungai Brantas
dimana sekitar 800 meter dari Kampus UMM terdapat Dam Sengkaling yang ada di Sungai
Brantas tersebut. Dari Dam Sengkaling ini dialirkan air ke areal persawahan di wilayah Kota
Malang melalui Saluran Irigasi Sengkaling Kanan dan Saluran Irigasi Sengkaling Kiri.
Dengan semakin berkurangnya jumlah baku sawah yang diairi dari 691,00 Ha pada tahun
1990 tinggal 193,00 Ha pada tahun 2000 (Baku Sawah Sengkaling Kiri awal 1000 Ha) dan
dari 193,00 Ha pada tahun 2000 tinggal 173,00 Ha pada tahun 2001 (Baku Sawah Sengkaling

31

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Kanan awal 1200 Ha), maka potensi sumber air yang tersisa inilah yang dijadikan sumber
energi pembangkit listrik. PLTMH UMM memanfaatkan Saluran Sengkaling Kiri dengan
debit 1,00 m3/dt yang dijatuhkan kembali ke Sungai Brantas dengan ketinggian 15 m
sehingga menghasilkan listrik sebesar 100 kWatt 720.000 kWH per tahun.
Environtmental Benefits PLTMH
Pemakaian sumber energi air untuk pembangkit tenaga listrik akan
menggantikan/mengurangi pemakaian sumber energi fosil seperti solar. Karena itu
turunnya pemakaian energi fosil secara tidak langsung akan menurunkan emisi
karbondioksida, salah satu gas rumah kaca penyebab pemanasan global (global warming)
yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Sebagaimana diketahui, sekitar 53% emisi
karbondioksida dihasilkan oleh sektor industri energi (pembangkit listrik/kilang minyak)
dan sektor transportasi (Gambar 2).
Menurut Environtmental Protection Agency (EPA) US (http://www.epa.gov),
setiap kilowatts listrik hasil pembangkit listrik dengan bahan bakar fosil akan menghasilkan
emisi karbondioksida sebesar 0,00076 ton per jam. Sehingga pembangkit listrik dengan
kapasitas 1 MW dengan menggunakan energi terbarukan secara tidak langsung akan
mereduksi sekitar lebih dari 5.500 ton gas karbondioksida per tahun karena pembangkit
tidak menggunakan bahan bakar fosil. Emisi sebesar itu setara dengan emisi 1.000
kendaraan atau reboisasi hutan lebih dari 500 ha. Karena itu masyarakat perlu diberikan
contoh yang nyata tentang cara-cara melakukan eksplorasi sumber alam untuk pembangkit
listrik yang tidak merusak lingkungan seperti halnya pembangkit listrik tenaga air skala
kecil (PLTMH). Persamaan untuk menentukan karbondioksida yang secara tidak langsung
dapat dicegah adalah sebagai berikut:
Produksi karbondioksida = 0.85 x P x t x 0.00076 (ton/tahun)
Dimana:
P
= produksi listrik (kW)
t
= 8760

Gambar 2 : Emisi Gas Rumah Kaca

32

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Identifikasi potensi PLTMH


Untuk mengidentifikasi potensi dan kendala dalam pengembangan PLTMH,
terdapat 4 (empat) parameter utama yaitu (Sewoyo dan Suwignyo, 2008), yaitu: ketersediaan
air, potensi topografi, jarak area pemanfaatan, dan infrastruktur yang ada.
Ketersediaan Air
Kompilasi data debit yang memadai dan analisa ketersediaan air perlu dilakukan
secara cermat karena hampir semua PLTMH dibangun dengan memanfaatkan aliran
langsung (tanpa waduk). Selain itu debit aliran harus dijamin terpenuhi sepanjang tahun
dengan tingkat keandalan tertentu.
Potensi Topografi / Tinggi Jatuh
Kondisi topografi menentukan tinggi jatuh efektif. Karena itu pemilihan lokasi
terkait dengan kondisi topografi ini haruslah tepat sehingga akan meminimumkan biaya
pekerjaan sipil. Semakin besar tinggi jatuh efektif, maka daya terbangkit semakin besar atau
dimensi turbin semakin kecil. Sehingga kondisi topografi sangat menentukan terhadap
biaya konstruksi per satuan daya (Rp/ kWatt).
Jarak Area Pemanfaatan
Pemanfaatan energi listrik dari PLTMH dapat dimanfaatkan secara mandiri /
terpisah atau diinterkoneksikan dengan jaringan listrik PLN. Semakin dekat jarak area
pemanfaatan, biaya pembangunan jaringan listrik semakin murah, diupayakan jarak area
pemanfaatan tidak lebih dari 2 kM. Karena kehilangan daya cukup tinggi dan biaya jaringan
listrik dapat mencapai 30 % atau lebih dari biaya total pengembangan PLTMH.
Infrastruktur yang ada
Dalam pembangunan PLTMH, penting untuk dipertimbangkan adanya sarana
(terutama jalan) yang sudah ada (existing), agar pembangunan PLTMH menjadi murah dan
mudah.
Analisa ketersediaan air
Analisa ketersediaan air bertujuan untuk menentukan besaran debit yang bisa
dimanfaatkan atau yang tersedia sepanjang tahun dengan tingkat keandalan (debit andalan)
tertentu. Tingkat keandalan yang dipilih tergantung pada jenis pemanfaatan air dan tingkat
kepentingannya. Untuk penyediaan air irigasi ditentukan tingkat keandalan 80% dan
penyediaan air baku ditentukan tingkat keandalan 90%. Sedangkan untuk pembangkit
listrik ditentukan tingkat keandalan 95% atau bahkan 100%.
Pengukuran dan pemetaan
Pengukuran dan pemetaan rencana lokasi PLTMH bertujuan untuk menetapkan
tinggi jatuh total (beda tinggi topografis) dan sebagai dasar perencanaan tata letak PLTMH.
Hasil pengukuran digambarkan dalam peta situasi detail skala 1 : 500 s/d 1 : 1000,
dilengkapi dengan gambar potongan memanjang rencana jalur pipa pesat.
Perencanaan dan pembangunan PLTMH
Pengembangan PLTMH diawali dengan kegiatan analisa debit andalan dan penetapan debit
desain, serta penentuan tinggi jatuh hidrolik total dari hasil pengukuran dan pemetaan.
Berdasarkan besaran debit desain dan tinggi jatuh dapat ditentukan tipe turbin, estimasi
daya terbangkit dan kapasitas generator. Selanjutnya diikuti proses desain fasilitas sipil dan
fasilitas elektrikal dan di tindak lanjuti dengan proses pembangunan konstruksi,
operasional dan pemeliharaan

33

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Daya terbangkit
Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) memanfaatkan debit aliran air dan
tinggi jatuh efektif sebagai sumber pembangkitan. Produksi energi listrik tahunan
dirumuskan sebagai berikut (Trihono S dan Suwignyo, 2008).

(1)
(2)
Dimana :
P

w
g
Q
Hef.
T
Ni

= daya terbangkit, k W
= efisiensi total
= berat volume air, kg/m3
= percepatan grafitasi, m/dt 2
= debit air, m3/dt
= tinggi jatuh efektif, m
= waktu operasi harian, jam
= jumlah hari operasi dalam setahun

HASIL & PEMBAHASAN PENGEMBANGAN PLTMH UMM


Studi kelayakan dan studi lingkungan
Studi kelayakan untuk pengembangan PLTMH UMM dilaksanakan sejak Tahun
2002 dan diperbaharui pada tahun 2006 (Suwignyo, 2006 dan Syayuti & Agus Cahyono,
2002) dengan ringkasan hasil sebagai berikut:

Biaya pembangunan
= Rp. 2.716.525.000,
Biaya O & P tahunan
= Rp. 51.990.000,
Biaya pemeliharaan berkala (5 tahunan)
= Rp. 50.000.000,
Pendapatan / benefit
= Rp. 396.000.000,
Hasil analisa IRR, umur fungsional 50 tahun
= 14.94%
Untuk pembangunan PLTMH disyaratkan untuk memenuhi kelayakan lingkungan
dengan studi UKL & UPL. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan dilaksanakan selama
pelaksanaan konstruksi dan secara berkala pasca konstruksi (masa operasional dan
pemeliharaan) selama umur fungsional PLTMH.
Debit andalan
Berdasarkan pencatatan dan kompilasi data debit Sungai K. Brantas di Dam
Sengkaling selama 17 tahun terakhir (1990 s/d 2006) dan kebutuhan air irigasi Daerah
Irigasi (DI) Sengkaling Kiri dan Kanan, debit anadalan untuk PLTMH UMM ditunjukkan
dalam Tabel 2 (Syayuti & Agus Cahyono, 2002 dan Suwignyo, 2006 : 25). Sebagai debit
perencanaan ditetapkan 0,95 m3/dt.

34

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Tabel 2 : Debit Andalan PLTMH UMM, Sungai Brantas di Bendung Sengkaling


No

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Bulan

Januari
Pebruari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember

Debit K.
Brantas /
Sengkaling
(m3/dt )

Kebutuhan Air
Irigasi

Debit Andalan
PLTMH

(m3/dt )

(m3/dt )

4.495
3.014
3.345
3.151
2.431
1.893
1.127
0.896
1.136
2.192
2.790
3.925

0.988
0.934
0.772
0.868
0.770
0.730
0.690
0.316
0.376
0.402
0.650
0.900

3.507
2.080
2.573
2.283
1.661
1.163
0.423
0.580
0.760
1.790
2.140
3.025

Penentuan tinggi jatuh efektif


Hasil pengukuran topografi di lokasi PLTMH UMM menghasilkan data sebagai berikut:
Elevasi bangunan sadap (hulu)
= +570,00
Elevasi rumah pembangkit (hilir)
= +556,26
Elevasi dasar sungai
= +550,20
Tinggi jatuh brutto
=
17,05 m
Perhitungan kehilangan tinggi tekan mayor dan minor sebesar 2,10 m.
Tinggi jatuh efektif = 17,05 2,10 = 14,95 m
Daya terbangkit
Daya terbangkit PLTMH UMM didasarkan data teknik sebagai berikut :
Debit rencana, Q
= 0.95 m3/dt
Tinggi jatuh efektif, Hef.
= 14.95 m
Percepatan gravitasi, g
= 9.81 m/dt2
Berat volume air, w
= 1 ton/m3
Efisiensi total,
= 0.72
Hasil perhitungan daya terbangkit adalah:
P
= 0.72 x 1 ton/m3 x 9.81 m/dt2 x 0.95 m3/dt x 14.95 m = 100 kW
Sedangkan untuk produksi listrik tahunan, didapatkan nilai sebagai berikut :
E
= 100 kWx 300 hari/thn x 24 jam = 720.000 kWH / tahun.
Turbin dan Generator
Turbin yang digunakan dalam PLTMH ini adalah turbin cross-flow buatan dalam negeri.
Data hasil studi perencanaan digunakan untuk memilih tipe turbin dari grafik pada
Gambar 3 (Raharjo, K, 2006).

35

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Gambar 3: Daerah aplikasi Turbin T-15 D500

Bagian-bagian utama dari rumah pembangkit dan turbin cross-flow dapat dilihat
pada Gambar 4. Sudu pengarah (guide vane) digerakkan menggunakan aktuator hidrolik
dengan counter weight. Sudu pengarah ini digunakan untuk pengontrolan operasional turbin
(start, run, stand by dan stop). Turbin ini menggunakan ballast load atau dummy load untuk
pengontrolan beban. Dismantling joint didesain untuk memudahkan pemasangan pipa
adapter turbin pada pipa pesat (penstock) sekaligus memudahkan saat overhaul.

1.5

1.5

0.5

0.3

0.5

0.15

Butterfly Valve DN 28"

Turbine X-flow T15-500

Generator Stamford
Kontrol Panel
4

Draft Tube

0.4

2.5

0.8

0.3

0.15

0.2
0.2

1.25

2.5

2.5

0.8

1.2

0.2

0.7
0.6

Ballast Tank

0.2

2.2

Ballast Tank Manifold

0.2

1.12

0.2

36

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Gambar 4: Rumah Pembangkit, Turbin T-15 D500 dan Generator.


Kombinasi antara proteksi beban via ballast load (beban dialirkan dulu ke ballast load
pada saat terjadi pelepasan beban) dan diikuti dengan penutupan guide vane turbin via
aktuator hidrolik merupakan solusi untuk mengatasi water hammer yang biasa terjadi pada
governor konvensional. Generator yang digunakan adalah Generator Sinkron 162 kW, 50 Hz
merek Stamford dan dilengkapi dengan ELC-sinkro. ELC-SINKRO pada hakekatnya adalah
governor hidrolik-elektronik berupa kombinasi pengatur beban ELC1 dengan synchronizer
PCD-SINKRO yang berbasis teknologi digital.
Environtmental Benefits PLTMH UMM
Karena kapasitas produksi listrik PLTMH UMM cukup kecil, yaitu hanya
sebesar 100 kW, berdasarkan persamaan yang dikemukakan oleh EPA US, produksi karbon
yang dapat dicegah dengan adanya PLTMH UMM ini adalah sebesar 570 ton/tahun.
Produksi listrik sebesar 100 kW dari PLTMH ini akan meniadakan penggunaan 200.000 liter
bahan bakar fosil. Sedangkan emisi sebesar 570 karbondioksida per tahun setara dengan
peniadaan 100 mobil atau penghijauan kembali lebih dari 50 Ha hutan.
KESIMPULAN
Jaringan irigasi mempunyai potensi energi terbarukan yang dapat dikembangkan
dengan pembangunan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH). PLTMH UMM
yeng memanfaatkan dengan daya 100 kWatt, menghasilkan energi 720.000 kWH per tahun
atau setara dengan penggunaan 200.000 liter bahan bakar fosil. PLTMH UMM juga akan
menghindari terjadinya penambahan emisi karbondioksida sebesar 570 ton per tahun,
sehingga akan mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir penyebab pemanasan
global.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen ESDM Republik Indonesia (2003), Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan
dan Konservasi Energi (Energi Hijau)
Mahmudsyah, S, (2007), Pemetaan dan Identifikasi Energi Alternatif/ Energi Terbarukan
Potensial di Wilayah Jawa Timur, Surabaya.
Raharjo, K, (2006), Draft Design Teknik dan Drawings PLTMH Sengkaling UMM,
Universitas Muhammadiyah Malang - PT. Heksa Prakarsa Teknik, Bandung.
Sayuti dan Agus Cahyono, (2002), Studi Kelayakan Pembangunan PLTMH di Saluran
Irigasi, Tugas Akhir S1, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang.
Suwignyo, (2002), Pra Desain Pengembangan PLTMH, Universitas Muhammadiyah
Malang, Malang.
Suwignyo, (2006), Review Studi Kelayakan PLTMH UMM, Universitas Muhammadiyah
Malang, Malang.
Sewoyo, T dan Suwignyo, (2008), Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMHUMM), Prosiding Seminar Nasional Potensi Kekayaan Alam Indonesia Sebagai
Sumber Energi Alternatif, Politeknik Negeri Malang, Malang.

37

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

US

Environtmental
Protection
Agency,
Benefits
of
LFG
Energy,
http://www.epa.gov/lmop/index.htm
Yusgiantoro P.(2006), Peran Energi Terbarukan dalam Ketahanan Energi Nasional, Orasi Ilmiah
Wisuda UMM 17 Juni 2006

PENGGUNAAN TEKNOLOGI ANAEROBIC


DIGESTER UNTUK PENGOLAHAN SAMPAH
ORGANIK DAN PRODUKSI BIOGAS
A.P. Bayuseno, Sulistyo dan Berkah Fajar
Abstrak
Anaerobic digestion merupakan teknologi yang potensial untuk menghasilkan biogas
berbasis pengolahan sampah organik yang ramah lingkungan. Dilain pihak penggunaan
anaerobic digester untuk pengolahan sampah organik di Indonesia masih sangat terbatas
karena memerlukan investasi biaya yang tinggi, sehingga perlu dikembangkan teknologi
yang murah dengan peralatan kontrol yang sederhana. Dalam paper ini disajikan hasil
penelitian tentang rancang bangun model anaerobic digester dengan pendekatan biaya

38

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

rendah untuk proses digestion dan produksi energi. Selain itu juga dilakukan evaluasi
proses anaerobic digestion sampah organik dalam upaya meningkatkan produksi biogas,
yaitu pengaruh laju pembebanan organik, konsentrasi larutan padat, dan waktu
penahanan hydraulik. Sampah organik yang diproses dikumpulkan dari lahan di Kampus
Tembalang di Semarang. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa unit kecil anaerobic
digester merupakan teknologi yang sangat menjanjikan untuk mengkonversi sampah
organic menjadi biogas (> 1.0%vol metana) dan fertiliser sehingga sangat cocok diterapkan
di Indonesia yang pada akhirnya dapat mendorong peningkatan dalam managemen
sampah serta kesehatan lingkungan
.Kata kunci : Anaerobic digester, sampah organik dan biogas

PENDAHULUAN
Managemen sampah rumah tangga merupakan salah satu permasalahan lingkungan
yang rumit dewasa ini, karena beberapa faktor seperti perilaku masyarakat yang
membuang sampah disembarang tempat, lahan pembuangan terbatas, keterbatasan biaya
pengolahan sampah, kurangnya perhatian tentang lingkungan dan kesehatan, dan lemahnya
pelaksanaan perundangan-undangan saat ini. Secara umum, Indonesia sebagai negara
berkembang masih mengandalkan teknik pengolahan sampah secara konvensional; yang
meliputi kegiatan pembuangan dan penutupan didalam lahan terbuka (open dumping) tanpa
disertai kegiatan pengendalian (controlling) dan pengamatan (monitoring) di tempat
pembuangan akhir (TPA). Disamping itu keberadaan sampah di TPA saat ini sangat
memprihatinkan, karena menimbulkan banyak persoalan lingkungan seperti polusi dari
emisi gas, aroma bau serta tercemarnya air tanah. Oleh sebab itu perbaikan managemen
pengolahan sampah sangat mendesak dilakukan untuk mencegah persoalan lingkungan
yang lebih besar dimasa datang.

*) Dosen Program Magister Teknik Mesin-Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro


Di lain pihak keberadaan sampah organik di TPA memiliki potensi menghasilkan
biogas yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan industri. Pengumpulan biogas
khususnya metana (CH4) dan/atau penurunan pembentukan metana di TPA juga
merupakan isu penting dalam kaitannya dengan pemanasan global seperti efek rumah kaca
(greenhouse gases). Dalam hal ini anaerobic digester telah dikenal secara luas sebagai
teknologi yang mampu mengumpulkan semua hasil biogas dari sampah organik
dibandingkan dengan sistem landfill, yang hanya mampu mengumpulkan sekitar 30-40 %
biogas yang timbul (Baldasano and Soriano, 2000; Ludwig dkk., 2003). Metana merupakan
agen pemanasan global yang paling kuat (21x ) dibandingkan dengan karbon dioksida
(CO2). Oleh sebab itu penerapan teknologi digester di Indonesia menjadi sangat penting
selain sebagai alat pengontrol produksi biogas juga dapat berperan aktif dalam usaha
mengatasi pemanasan global. Disamping itu produksi biogas dari sampah dapat
memberikan penyediaan sumber energi terbarukan (renewable energy) untuk memasak

39

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

(cooking) dan penerangan (lighting), yang pada akhirnya menurunkan ketergantungan


masyarakat akan bahan bakar minyak (AIT, 2004).
Proses anaerobic digestion pada dasarnya bukan merupakan konsep baru didalam
managemen sampah organik. Anaerobic digester dengan kapasitas produksi besar (>2000
ton/tahun) telah banyak beroperasi di beberapa negara maju seperti Jerman, Belanda dan
Denmark (RISE AT, 1998). Sementara ini penerapan digester skala besar di Indonesia masih
sulit dilaksanakan karena memerlukan investasi biaya yang tinggi. Oleh sebab itu unit
anaerobic digester skala kecil (small scale) dengan kapasitas produksi lebih kecil 2000
ton/tahun serta dengan biaya operasi murah (low cost) sangat cocok dikembangkan di
Indonesia. Untuk mengembangkan unit-unit kecil anaerobic digester pengolah sampah
organik sangat perlu dilakukan penelitian pada skala laboratorium, dimana data untuk
sistem anaerobic digestion skala kecil masih terbatas.
Oleh karenanya penelitian ini bertujuan pada pendayagunaan anaerobic digester yang
secara teknis; (i) merupakan teknologi tepat guna, murah dan mudah diterapkan
dimasyarakat baik perkotaan maupun pedesaan, dan (ii) dapat memaksimalkan hasil biogas
persatuan waktu. Untuk meningkatkan produksi biogas dilakukan evaluasi proses
anaerobic digestion, yaitu pengaruh laju pembebanan organik, konsentrasi larutan padat,
dan waktu penahanan hydraulik. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat
mendorong penerapan teknologi pengolah sampah di masyarakat sehingga terciptanya
pembangunan berkesinambungan (sustainable development) dalam aspek: kesehatan
masyarakat, pengendalian lingkungan serta pembangunan ekonomi dan sosial.

METODE PENELITIAN
Rancang bangun anaerobic digester
Untuk melakukan percobaan, model teknologi anaerobic digester skala laboratorium
dirancang dan dibuat oleh laboratorium material di Jurusan Teknik Mesin, Universitas
Diponegoro. Detail dari rancangan digester dan peralatan eksternal ditunjukkan didalam
gambar 1. Daftar material yang digunakan untuk membuat model digester ini sebagai
berikut;
1 x 5 lt silinder baja tahan karat berfungsi sebagai digester,
Pompa air dan kompressor dengan penggerak motor listrik,
Semen sebagai penutup isolator,
Thermocouple,
Beberapa fitting pipa PVC termasuk lem dan pipa untuk saluran gas,
Beberapa mur dan skrup serta beberapa penguat,
Pipa untuk coil pemanas dan saluran udara,
Katup bola untuk keluaran bahan padat serta untuk keluaran gas.
Bahan masukan (feedstock)
Sebagai bahan masukan dipilih sampah organik padat yang diambil dari area
pembuangan sampah di kampus Tembalang, Universitas Diponegoro. Sampah organik
selanjutnya dilakukan pemilahan untuk memisahkan nonorganik dan organik. Setelah itu
sampah organik yang telah dipilah dipotong-potong atau diblender dengan air menjadi
bubur. Feedstock dilarutkan dengan banyak air untuk membuat larutan feedstock dengan
perbandingan bahan padat dan air 10-15%. Batch lumpur kemudian ditempatkan pada
kontainer plastik. Selanjutnya ratio C/N bahan masukan akhirnya diuji dengan fasilitas

40

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

CHN analyser (CHN) di Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri,


Department Perindustrian R.I. Semarang.
Percobaan Digestion dan Metode Analisa
Pelaksanaan penelitian dilakukan pada laboratorium material dan pengujian mesin,
Jurusan Teknik Mesin, Universitas Diponegoro. Reaktor digester pertama kali diisi dengan
bubur sampah yang telah dipersiapkan untuk mengawali produksi biogas. Pada saat
pertama pengisian, biogas belum mulai berproduksi. Pada awalnya digester diisi dengan 5 lt
bahan campuran limbah dengan air. Waktu penahanan pencernaan diambil dalam rentang
waktu 10 -15 hari. Data produksi gas dicatat setelah perioda operasi berakhir. Setiap batch
bubur dipanaskan pada suhu thermophilic yaitu 35 45 OC. Disamping itu proses
pencernaan dioptimalkan untuk pengolahan kandungan organik dan meningkatkan laju
produksi gas. Kadar pH diukur sebelum pengisian dan sesudah proses, sementara hasil
biogas akhirnya dianalisa dengan gas analyser.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konstruksi Anaerob Digester
Jenis konstruksi mesin anaerob digester dirancang dengan tipe batch (gambar 1). Tipe
batch merupakan reaktor sangat sederhana sehingga mudah dibuat. Pertimbangan
berikutnya bahwa temperatur dalam tabung reaktor dapat dikontrol dengan dilengkapi
dengan sistem pengaduk untuk mengoptimalkan hasil gas. Selain itu anaerob digester
dirancang untuk beroperasi pada temperatur mesophilic (30-600C). Secara garis besar
konstruksi alat ini terdiri dari beberapa komponen, yaitu rangka, tabung reaktor, inlet dan
outlet bahan baku, gas outlet, penutup, sistem pemanas (heating)dan sistem pengaduk
(mixing).
Rangka dirancang sebagai pondasi bagi semua komponen yang berfungsi untuk
menahan semua beban komponen. Material rangka dipilih dari besi dengan penampang L,
hal ini dikarenakan rangka dengan panampang L mempunyai struktur yang lebih kuat dan
lebih murah dibanding dengan penampang yang lain. Selanjutnya tabung reaktor
merupakan tempat terjadinya proses pencernaan bahan baku secara anaerob. Material yang
digunakan dalam tabung adalah stainlees steel. Alasan penggunaan material ini antara lain
stainlees steel mempunyai sifat tahan terhadap korosi, kuat, mampu las dan mesin.
Sedangkan inlet adalah tempat untuk memasukan bahan baku. Konstruksi inlet dibuat
dengan kemiringan sudut tertentu untuk mengurangi hambatan sehingga memudahkan
bahan baku mengalir dengan mudah. Pada inlet ini juga terdapat stop kran yang berfungsi
untuk mengisolasi udara dari luar masuk kedalam tabung. Outlet berfungsi untuk
mengeluarkan bahan baku yang sudah tidak terpakai lagi.
Sistem pemanas digester tediri dari beberapa komponen diantaranya perpipaan,
heater, koil pemanas dan bak heater. Sistem pemanas berfungsi untuk perpindahan kalor
dari air panas melalui koil pemanas yang ada dalam tabung reaktor. Didalam sistem
perpiapan air, material yang digunakan harus mempunyai koefisien perpindahan panas
yang baik termasuk tahan korosi, mampu mesin dan las yang baik. Tujuan dari pemanasan
ini yaitu menaikkan temperatur dalam tabung reaktor sehingga dapat mengoptimalkan
kerja dari bakteri. Sedangkan sistem pengaduk terdiri dari kompresor, selang, katup searah
dan fitting. Pengadukan ini bertujuan untuk mengaduk sludge yang ada dalam tabung
reaktor sehingga terjadi homogenitas pada sludge, menstabilkan sludge dan mencegah
terjadinya pengendapan pada bagian bawah tabung yang dapat menyebabkan terjadinya

41

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

pembentukan buih. Sistem pengaduk ini bekerja dengan cara menginjeksikan gas yang
dihasilkan melalui bagian bawah tabung agar terjadi pengadukan sludge. Untuk mencegah
aliran bubur dalam tabung mengalir kedalam kompresor maka digunakan katup searah.

Kinerja anaerobic digester


Analisa kinerja proses dari alat anaerob digester didasarkan pada jumlah gas metana
dan gas pengotor lainnya yang dihasilkan. Untuk mengetahui apakah proses anaerob
berlangsung maka dapat diamati dengan keberadaan gas oksigen didalam reaktor. Secara
keseluruhan kinerja proses mesin anaerob digester sudah baik akan tetapi ada beberapa
komponen yang kurang baik dalam kinerjanya antara lain kompresor. Kompresor dalam hal
ini berfungsi sebagai pengaduk dengan menginjeksikan gas yang dihasilkan, akan tetapi
belum dapat bekerja secara optimal dikarenakan masih terjadi kebocoran. Hal ini
menyebabkan oksigen dari luar masuk ke dalam tabung reaktor sehingga proses anaerob
sulit dicapai. Kebocoran ini dapat dilihat pada salah satu sampel pengujian dimana
prosentase gas oksigen masih cukup tinggi yaitu 12,15 % (lihat Tabel 1). Sedangkan
prosentase gas oksigen di lingkungan umumnya sebesar 20% (Sularso dan Tahara, 2000).
Terjadi selisih yang kecil antara gas oksigen dalam tabung reactor dengan lingkungan.
Untuk menghindari terjadinya kebocoran perlu dilakukan pengujian kebocoran
sebelum proses digestion dijalankan. Cara yang dapat dipakai antara lain dengan
mengisikan air kedalam tabung untuk mengetahui tingkat kebocoran terhadap air. Untuk
mengetahui kebocoran yang terjadi pada kompresor dapat digunakan air sabun. Selain itu
aliran balik gas dari kompresor dapat dicegah dengan menggunakan katup searah (check
valve) pada sisi hisap (suction).
Sistem alat ini merupakan sistem tertutup maka tekanan didalam tabung hampir
sama dengan tekanan luar pada sisi discharge kompresor, sehingga tidak terjadi perbedaan
tekanan yang besar. Kondisi ini menyebabkan pengadukan tidak berjalan dengan
semestinya. Untuk mengatasi persoalan ini perlu diciptakan perbedaan tekanan besar
dengan melakukan pengurangan luas penampang atau dengan menambahkan nosel atau
katup ekspansi pada sisi discharge kompresor. Selanjutnya gas yang dihasilkan masih
sedikit, maka tekanan yang dihasilkan realtif kecil sehingga tidak dapat terbaca pada
pressure gauge dan laju aliran yang sulit untuk dihitung. Cara lain yang dapat digunakan
untuk mengukur tekanan gas yang dihasikan yaitu dengan memasang manometer air.
Persoalan berikutnya timbul pada sisi outlet dengan diameter pipa PVC 0,5 in dan
menggunakan elbow 900 . Hal ini menyulitkan proses pengeluaran bahan baku, karena
diameter pipa yang digunakan terlalu kecil dan dengan adanya elbow juga menghambat
proses pengeluaran bahan baku. Sementara itu konstruksi rangka yang sejajar dengan
tabung juga menyulitkan proses pengeluaran bahan baku karena perbedaan ketinggian
antara tabung dan rangka realtif kecil.
Percobaan anaerobic digestion
Serangkaian percobaan proses digestion dilakukan dengan disertai analisa produksi
biogas. Dalam hal ini waktu penyimpanan dan ratio antara limbah cair dengan konsentrasi
padat dipilih sebagai parameter. Untuk satu level waktu penahanan hidraulik dipilih
tenggang waktu 10 15 hari dan temperatur 40-45 OC. Tabel 1 menyajikan hasil analisa
untuk perioda operasi stabil. Setiap perioda berkaitan dengan operasi minimum 10 sampai
15 hari. Produksi gas terdiri CO 2, CH4 dan O2. Selama percobaan kadar metana dari biogas

42

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

yang dihasilkan berkisar antara 426-1875 ppm.vol, Sementara kandungan CO 2 dan O2 masih
tinggi. Prosentase tinggi CO2 kemungkinan disebabkan oleh laju konversi sampah organik
yang rendah. Ini juga disebabkan oleh proses anaerobic digestion yang tidak berlangsung
dengan baik. Karena produksi O2 masih relatif tinggi kemungkinan ada oxygen selama
pengukuran biogas. Selanjutnya alkalinitas bubur cenderung bersifat asam seperti
ditunjukkan dengan penurunan harga pH. Akan tetapi perlu meningkatkan effisiensi
konversi sampah organik menjadi biogas.
Pembahasan
Percobaan dengan unit anaerobic digester skala kecil telah dilakukan dengan bahan
masukan bubur yang telah dipersiapkan sebelumnya dengan proses blender. Proses
anaerobic digestion berlangsung cukup lama karena bakteri penghasil metana belum ada
didalam digester material. Laju pemuatan (loading) adalah faktor lain yang
dipertimbangkan termasuk lama tinggal bubur didalam digester. Setelah limbah cair
dipersiapkan maka dituangkan melalui saringan 20 mm sebagai penahan kotoran kedalam
digester pada ujung saluran. Selama proses berlangsung, lumpur yang dicerna sangat
lambat dan memerlukan waktu lebih lama untuk menghasilkan gas. Interval pemasukan
adalah 3-8 liter tiap minggu untuk selama 3 bulan, dengan 1 -2 kg sampah rumah tangga
dipilih untuk 3-8 liter limbah cair. Dari hasil percobaan ini hasil laju produksi biogas masih
relatif rendah karena disebabkan beberapa hal seperti kebocoran tabung serta tingkat
keenceran bubur yang belum mememadai. Disatu sisi, monitoring dan pengumpulan data
hasil biogas dari digester adalah bagian penting selama operasi. Produksi gas selama
penelitian ini diukur secara langsung dari saluran keluar menggunakan gas analyzer.
Metoda lain dalam pengukuran adalah menghubungkan sambungan keluaran gas dengan
burner dan dinyalakan dengan api, dan mencatat waktu ketinggian balik ke level awal.
Sangatlah perlu untuk memperhatikan pengecekan untuk monitor dan pengamatan setiap
hari. Ini akan memungkinkan deteksi secara cepat dan perbaikan jika terjadi kesalahan atau
kebocoran.
Dilain pihak, penelitian dalam mengkonversi sampah organik menjadi energi
merupakan tema yang sangat menarik untuk mengatasi persoalan lingkungan, khususnya
terhadap jutaan limbah biomass yang secara konstan diproduksi di Indonesia. Dewasa ini
kita dihadapkan pada dua pilihan berat apakah membiarkan limbah biomass menyebabkan
polusi lingkungan (seperti methan dan karbon dioksida yang tidak terkontrol) dan
menurunnya cadangan minyak bumi, atau mengambil inisiatif mengkonversi sampah
biomass menjadi energi. Sehingga penelitian ini menjadi sangat strategis dalam berperan
aktif untuk menciptakan kearah masyarakat madani, dimana konversi sampah menjadi
energi secara khusus merupakan konsep menarik, akan tetapi masih perlu kajian lanjut
sebelum teknologi ini dapat diterima masyarakat secara luas. Penelitian ini diperlukan
sebagai upaya mengoptimalkan teknologi, menciptakan kepercayaan tentang keefektifan
dan menghadapi kebutuhan pasar. Ini akan memerlukan tidak hanya penelitian dasar,
analisa dan pemodelan tetapi juga usaha yang signifikan dari berbagai pihak. Petani,
Insinyur, usahawan dan masyarakat harus menyadari isu-isu penting tentang pembangunan
berkeseninambungan (sustainable development) dan memiliki kepercayaan bahwa anaerobic
digestion akan dapat memenuhi kebutuhan pengolah sampah organik. Penelitian ini juga
perlu menggabungkan penelitian dasar, terapan dan pendidikan dan pengalaman yang
sangat penting untuk masa depan dalam mencapai masyarakat madani.

43

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Dari percobaan yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa bubur dapat dicerna
secara anaerob dan menghasilkan biogas yang kurang dari 0,1 % vol pada laju yang relatif
lambat. Laju gas produksi diamati didalam satu batch digester yang variasinya tergantung
pada jenis sampah organik. Laju produksi gas yang lambat ini disebabkan terutama
kemampuan yang terbatas digester untuk mencampur dan terhindar dari pembentukan
lapisan scum. Kemampuan pencernaan digestion sangat jauh dari kemampuan pencernaan
dari digester untuk lumpur yang lazim, sehingga perlu dikembangkan beberapa model
untuk proses digestion berbagai kelompok sampah rumah tangga. Sebelum teknologi
diterapkan di masyarakat, maka perlunya mendemonstrasikan sistem anaerobic digestion
berbiaya rendah untuk mengkonversi biomass menjadi methan, mengoptimalkan kreteria
operasi sistem terhadap berbagai jenis masukan sampah, teknologi terapan siap pakai dan
meminimalkan sampah ramah lingkungan dengan produk akhir yang bermanfaat (soil
conditioner).

DAFTAR PUSTAKA
AIT (2004). Municipal Solid Waste Management in Asia, Asian Regional Research Program on
Environmental Technology (ARRPET), Environmental Engineering and Management,
Asian Institute of Technology, Thailand.
Baldasano, J.M. and Soriano, C. (2000). Emissions of greenhouses gases from anaerobic digestion
processes: comparison with other municipal solid waste treatments. Water Science and
Technology, 41, 275-282.
Ludwig, C., Hellweg, S. and Stucki, S. (2003). Municipal solid waste management: strategies and
technologies for sustainable solutions. Springer-Verlag Berlin Heidelberg New York.
RISE-AT. (1998). Review of current status of anaerobic digestion technology for treatment of
municipal solid waste. Regional Information Service Center for South East Asia on
Appropriate Technology, Institute of Science and Technology Research and
Development, Chiang Mai University.
Sularso dan Tahara, H. (2000), Pompa dan Kompresor, PT. Pradnya Paramida, Yakarta,
Cetakan Ketujuh.

UJI PEMANFAATAN SAMPAH ORGANIK

44

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

DENGAN PENAMBAHAN SERBUK GERGAJI


DAN SEKAM PADI SEBAGAI BRIKET ARANG
Nurandani Hardyanti*), Suparni Setyowati Rahayu**)
ABSTRAK
Briket arang adalah arang yang diperoleh dengan cara membakar tanpa udara (pirolisis) dari
biomassa kering. Pembuatan briket dilakukan dengan memanfaatkan sampah organik rumah tangga
dengan serbuk gergaji dan sekam padi yang ditambahkan dengan kanji sebagai perekatnya. Briket
arang dari sampah organik rumah tangga dengan serbuk gergaji dan briket arang dari sampah
organik rumah tangga dengan sekam padi digunakan sebagai sumber energi alternatif karena
mempunyai nilai kalor yang cukup besar dan sumber bahan baku yang cukup melimpah. Dengan
memvariasikan komposisi bahan telah dihasilkan briket arang dari sampah organik rumah tangga
dengan serbuk gergaji yang mempunyai kadar air 5.53% - 8.82%, kadar abu 3.581% - 3.843% dan
nilai kalor 3894.520 kal/gr 4292.180 kal/gr. Sedangkan untuk briket arang dari sampah organik
rumah tangga dengan sekam padi mempunyai kadar air 2.95% - 5.65%, kadar abu 3.439% - 3.627%
dan nilai kalor 4030.73 kal/gr 4470.160 kal/gr. Pemanfaatan sampah organik rumah tangga
dengan serbuk gergaji dan sekam padi ini dapat mengurangi jumlah timbulan sampah yang ada.
Kata Kunci: Sampah organik rumah tangga, serbuk gergaji, sekam padi, briket arang,
energi alternatif, kadar air, kadar abu dan nilai kalor.

PENDAHULUAN
Jumlah timbulan sampah yang ada di lingkungan kita semakin meningkat, hal
tersebut sebagai akibat adanya berbagai macam kegiatan industri maupun rumah tangga
yang semakin beragam jenisnya. Sampah tersebut dapat berupa sampah organik maupun
sampah anorganik, yang dapat menimbulkan pencemaran udara, air, maupun tanah yang
secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap kesehatan lingkungan.
Timbulan sampah kota diperkirakan akan meningkat pada tahun 2020. Pada tahun
1995, jumlah rata-rata produksi sampah perkotaan di Indonesia adalah 0,8 kg perkapita per
hari, sementara dalam tahun 2000 meningkat menjadi 1,0 kg perkapita perhari.
Diperkirakan dalam tahun 2020 meningkat menjadi 2,1 kg perkapita. Dari jumlah sampah
kota tersebut 50-80% adalah merupakan sampah organik (Wahyono, 2003).

*) Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik UNDIP E-mail: nur_ti@hotmail.com


**) Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang E-mail: aichino_drtv@yahoo.com

45

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Sampah biomassa adalah termasuk sampah organik. Sampah biomassa adalah merupakan
sampah yang berupa bahan-bahan hayati seperti daun-daunan, rerumputan, reranting, gulma, limbah
pertanian dan kehutanan, serta kotoran ternak yang merupakan resiko bagi lingkungan yang dapat
dimanfaatkan menjadi manfaat lingkungan (Johannes, 1989). Potensi sampah biomassa tiap harinya
banyak dihasilkan secara alami baik di pedesaan maupun di perkotaan. Sampah biomassa berupa
sampah organik, serbuk gergaji dan sekam padi. Sampah organik yang digunakan berupa sampah
domestik rumah tangga. Kadar air sampah pemukiman bervariasi antara 26,66 - 38,08%, sedangkan
kandungan karbon relatif tinggi antara 66 87% untuk skala kecil (Arman, 2000). Berdasarkan hal
tersebut maka sampah pemukiman relatif baik sebagai bahan baku bioarang.
Tujuan dari penelitian ini adalah uji pemanfaatan sampah organik sebagai briket arang ini untuk
meningkatkan nilai guna sampah organik yang selama ini hanya dimanfaatkan sebagai kompos saja,
mencari energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar yang jumlahnya semakin menipis, yaitu dengan
menggunakan sampah organik rumah tangga, serbuk gergaji dan sekam padi sebagai briket arang
sehingga dihasilkan briket arang dengan nilai kalor yang maksimum dan sesuai dengan SII 2041 87
dan dibandingkan dengan bahan bakar yang lain.
Sekam padi (kulit gabah) merupakan limbah hasil penggilingan atau penumbukan gabah.
Menurut beberapa hasil percobaan, panas yang dihasilkan oleh pembakaran sekam berkisar antara
2.937,3 3.341 kal/gr (Winarno, 1985). Disamping dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat
berbagai produk untuk keperluan industri kimia, bahan bangunan, industri barang karet sekam ini juga
dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Selama ini sekam padi telah dimanfaatkan sebagai bahan
bakar yang langsung dilakukan pembakaran sehingga banyak menimbulkan asap dimana dapat
menyebabkan pencemaran dan asap sendiri tersebut masih mengandung energi sehingga akan terbuang
dengan percuma. Pemanfaatan sekam padi masih memerlukan tempat penyimpanan yang luas sehingga
perlu adanya pengepakan dan pengemasan khusus untuk menjadi bahan bakar agar tidak memakan
tempat dalam penyimpananya.
Pada industri penggergajian kayu selain menghasilkan kayu sendiri juga menghasilkan limbah
yang berupa serbuk gergaji, sebetan dan potongan-potongan kayu. Rata-rata limbah yang dihasilkan oleh
industri penggergajian adalah 49,15% dengan perincian serbuk gergaji 8,46%, sebetan 24,41% dan
potongan-potongan kayu 16,28% (Kartono, 1988). Selama ini serbuk gergaji hanya ditumpuk begitu saja
dan sebagian dibuang ke aliran sungai (pencemaran air), atau dibakar secara langsung (menambah emisi
karbon di atmosfer). Arang serbuk gergaji mempunyai nilai karbon terikat sebesar 50 72 kal/gr
Sehingga dengan adanya sampah biomassa yang jumlahnya berlebihan tersebut serta
pemanfaatannya yang kurang optimal dan dapat menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan maka
sebagai alternatifnya selain dengan cara pembuatan kompos maka sampah tersebut dapat
dimanfaatankan sebagai energi rumah tangga untuk memasak yaitu dengan jalan dibuat menjadi briket
arang.
Briket atau bioarang adalah arang yang diperoleh dengan membakar tanpa udara (pirolisis) dari
biomassa kering (Seran, 1991). Briket adalah hasil cetakan serbuk dengan perekat tertentu dan dengan
perbandingan jumlah tertentu dan tekanan tertentu pula (Roedjianto, 1988).
Kebutuhan akan energi semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk. Kebutuhan
energi di Indonesia tersebut sangat tergantung pada jumlah minyak, gas bumi dan kayu bakar untuk
memasak. Sesuai data yang dihasilkan dari Survey Centre for Strategic and International Study bahwa untuk
seluruh Indonesia khususnya penduduk kota, konsumsi energi rumah tangga untuk memasak sebesar
22,12% menggunakan kayu bakar 0,46% menggunakan arang kayu dan 74,01% menggunakan minyak
tanah (Arman, 2000). Bagi penduduk desa konsumsi energi rumah tangga untuk memasak sebesar
67,52% menggunakan kayu bakar, 0,09% menggunakan arang dan 32,39% menggunakan minyak tanah.
Sedangkan jumlah minyak, gas bumi dan kayu bakar tersebut semakin berkurang jumlahnya. Disisi lain

46

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

pemanfaatan kayu untuk mamasak kurang efesien, sebab asap yang masih mengandung 55% energi
panas dibuang percuma (Seran, 1991). Angka-angka tersebut cukup merisaukan apabila tidak
diupayakan energi alternatif pengganti kayu bakar yang murah dan efesien. Alternatif tersebut salah
satunya adalah dengan pembuatan briket arang.
Tolok ukur dari pada mutu briket bioarang adalah nilai kalor dari berbagai bahan bakar antara
lain yaitu batu bara dengan nilai kalornya adalah 4.500 7.500 kal/gr, kayu bakar 3.000 4.000 kal/gr
dan minyak tanah 10.500 kal/gr (Widayanti, 2001). Sedangkan untuk nilai kalor briket bioarang yang
diharapkan adalah sesuai dengan SII 2041-87 yang merupakan nilai kalor dari arang kayu yaitu sebesar
minimum 7.000 kal/gr dan sesuai dengan nilai kalor briket arang beberapa negara.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini bersifat eksperimental-laboratoris. Adapun tahapan penelitian terlihat pada
gambar 1. Dalam penelitian ini variasi komposisi briket arang ini adalah variabel bebas, yaitu
perbandingan campuran dari komponen penyusun briket, yaitu: sampah organik, serbuk gergaji dan
sekam padi. Sedangkan kadar air, kadar abu dan nilai kalor adalah variabel terikat. Adapun rancangan
perbandingan variasinya terlihat dalam tabel 1.
Tabel 1 Variasi komposisi briket antara sampah organik dan serbuk gergaji
Variasi Sampah Serbuk gergaji
Perekat (kanji)
A
80%
10%
10%
B
60%
30%
10%
C
45%
45%
10%
D
30%
60%
10%
E
10%
80%
10%
Sumber: Data Primer, 2004

Tabel 2 Variasi komposisi briket antara sampah organik dan sekam padi
Variasi Sampah Sekam Padi
Perekat (kanji)
F
80%
10%
10%
G
60%
30%
10%
H
45%
45%
10%
I
30%
60%
10%
J
10%
80%
10%
Sumber: Data Primer, 2004
Pengambilan variasi berdasarkan pada hasil penelitian terdahulu dimana hasil yang paling
tinggi adalah dengan variasi 45% sekam padi dan 10% kanji (Musadeq, et al, 1999). Adapun uji terhadap
briket arang meliputi uji kadar air dak kerapatan, kadar abu serta nilai kalor.

47

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

ADANYA PERMASALAHAN TIMBULAN SAMPAH


ORGANIK, SERBUK GERGAJI DAN SEKAM PADI

PEMILAHAN SAMAPAH
- NILAI KALOR
- KADAR AIR
- KADAR ABU

ANALISIS PENDAHULUAN

SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA


DALAM KEADAAN KERING

MENIMBANG

PEMBAKARAN SECARA PIROLISIS

ARANG SAMPAH ORGANIK

SERBUK GERGAJI

MENIMBANG

SEKAM PADI

MENIMBANG

A. 80% ARANG SAMPAH ORGANIK, 10% SERBUK GERGAJI


B. 60 % ARANG SAMPAH ORGANIK, 30% SERBUK GERGAJI
C. 45% ARANG SAMPAH ORGANIK, 45% SERBUK GERGAJI
D. 30% ARANG SAMPAH ORGANIK, 60% SERBUK GERGAJI
E. 10% ARANG SAMPAH ORGANIK, 80% SERBUK GERGAJI

A. 80% ARANG SAMPAH ORGANIK, 10% SEKAM PADI


B. 60 % ARANG SAMPAH ORGANIK, 30% SEKAM PADI
C. 45% ARANG SAMPAH ORGANIK, 45% SEKAM PADI
D. 30% ARANG SAMPAH ORGANIK, 60% SEKAM PADI
E. 10% ARANG SAMPAH ORGANIK, 80% SEKAM PADI

PENUMBUKAN

PENUMBUKAN

PENYARINGAN

PENYARINGAN

PEREKAT 10%

MENIMBANG

MENIMBANG

PEREKAT 10%

MENIMBANG

PENCAMPURAN

PENCAMPURAN

PENCETAKAN

PENCETAKAN

PEMADATAN

PEMADATAN

PENGERINGAN DGN OVEN


1O5 C SELAMA 3 JAM

PENGERINGAN DGN OVEN


1O5 C SELAMA 3 JAM

BRIKET

- UJI KADAR AIR


- UJI KADAR ABU
-UJI NILAI KALOR

- SII 2041-87
- DIBANDINGKAN DGN BAHAN
BAKAR LAIN

ANALISA DGN STATISTIK

KESIMPULAN DAN SARAN

Gambar 1 Diagram alir pelaksanaan penelitian


Sumber: Analisis, 2004
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah drum/tong sampah dengan tinggi
38 cm, diameternya 28 cm, grinder (mesin pencacah), sebuah kayu pengaduk panjang 1

48

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

meter, wadah penampung bioarang yang telah ditumbuk, sebuah mal cetakan dari besi
yang berbentuk silinder dengan diameter 3,9 cm dan tingginya 3,5 cm, hydraulik press,
ember, timbangan digital, oven, eksikator, jarang sorong, vessel bomb calorimeter, reaktor
vessel bomb calorimeter, cawan sampel, dan termometer.
Bahan yang digunakan adalah sampah organik rumah tangga, serbuk gergaji dari
industri penggergajian kayu, sekam padi dari limbah hasil pertanian, air, korek api, perekat
(kanji), aquadest, gas oksigen dan kawat pembakar
Tahapan Penelitian
1. Tahap Persiapan
1. Melakukan pemilahan terhadap sampah. Pemilahan sampah dilakukan secara
manual karena hanya skala rumah tangga saja. Dari 1 kg sampah organik
rumah tangga yang bisa dimanfaatkan sebagai briket arang adalah 0.7 kg.
Sampah pekarangan dan sampah dapur yang berupa daun-daunan ini
kemudian dilakukan pengeringan selama 3 hari agar diperoleh kadar air
yang hampir sama. Setelah sampah dalam keadaan kering baru dilakukan
pembakaran secara pirolisis untuk menghasilkan arang. Sedangkan untuk
serbuk gergaji dan sekam padi diambil dari industri penggergajian kayu dan
tempat penggilingan padi.
2. Menyiapkan bahan baku yaitu sampah organik rumah tangga dalam keadaan
kering, serbuk gergaji, sekam padi dan kanji sebagai perekat.
3. Menyiapkan semua peralatan yang diperlukan yaitu drum, lesung dan alat
penumbuk, kayu pengaduk, wadah bioarang, cetakan briket, ember, timbangan,
hydraulik press dan melubangi tutup drum yang berdiameter 14 cm.
1. Tahap Percobaan
Sampah biomassa yang digunakan adalah sampah organik rumah tangga dalam
keadaan kering dengan serbuk gergaji dan sampah organik rumah tangga dalam keadan
kering dengan sekam padi yang semuanya ditambahkan dengan perekat yang berupa kanji.
Perlakuan dilakukan sebanyak 5 (lima) kali dengan 3 (tiga) kali pengulangan, yaitu dengan
variasi seperti pada tabel 1 dan tabel 2.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahan-bahan dasar pembuatan briket arang yang terdiri dari sampah organik
rumah tangga, serbuk gergaji dan sekam padi ini sebelumnya dilakukan uji pendahuluan.
Berdasarkan hasil analisa pendahuluan terhadap bahan yang digunakan dalam pembuatan
briket arang ini diperoleh hasil seperti dalam tabel 3. Kemudian dilakukan pembuatan
briket arang dan diperoleh hasil terlihat pada tabel 4 dan tabel 5.
Tabel 3 Analisis Pendahuluan Bahan-bahan Dasar Pembuatan Briket Arang
No
1.
2.
3.

Bahan
Sampah organik rumah tangga
Serbuk gergaji
Sekam Padi

Kadar Air(%)
15.5
10
12.5

Kadar Abu (%)


6.51
11.11
16

Nilai Kalor (kal/gr)


3300.01
2509.20
2920.57

Sumber : Hasil Penelitian, 2004


Tabel 4 Kadar Air, Kadar Abu dan Nilai Kalor Briket Arang dari Sampah Organik
Rumah Tangga dengan Serbuk Gergaji
Analisa

STD

SII 2041-87

49

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Kadar air
(%)
Kadar
abu (%)
Nilai
Kalor
(kal/gr)

6.15

5.53

7.51

8.28

8.82

8.62

Amerika
6

Eropa
6

3.480

3.581

3.694

3.734

3.754

3.843

1-3

4137.95 4118.16 3894.5 3906.9


2
3

7000

4321.32 4292.1
8

Jepang Inggris
6-10
-

Malaysia
-

Sumber : Hasil Penelitian, 2004


Tabel 5 Kadar Air, Kadar Abu dan Nilai Kalor Briket Arang dari Sampah Organik
Rumah Tangga dengan Sekam Padi
Analisa

STD

Kadar air
(%)
Kadar abu
(%)
Nilai
Kalor
(kal/gr)

6.15
3.48
4321.32

5.65

4.68

3.63

2.95

3.27

3.44

3.51

3.60

3.62

3.627

1-3

4330.71 4120.77 4049.5 4030.7


10
3

7000

4470.1
6

SII 2041-87
Amerika Eropa Jepang
Inggris
6
6
6-10
-

Sumber : Hasil Penelitian, 2004


Berdasarkan pada tabel diatas briket arang dari sampah organik rumah tangga
dengan serbuk gergaji dan briket arang dari sampah organik rumah tangga dengan sekam
padi ini mempunyai nilai kalor yang lebih rendah, tetapi mempunyai kadar air yang hampir
sama dan kadar abu yang lebih rendah. Nilai kalor yang paling tinggi untuk briket arang
dari sampah organik rumah tangga dengan serbuk gergaji adalah briket arang A yang
terdiri dari 80% arang sampah organik rumah tangga, 10% serbuk gergaji dan 10% kanji
dengan kadar air 5.53%, kadar abu 3.581% dan nilai kalornya 4292.180 kal/gr. Nilai kalor
yang paling rendah adalah briket arang D dengan komposisi 30% arang sampah organik
rumah tangga, 60% serbuk gergaji dan 10% kanji yang mempunyai kadar air 8.82%, kadar
abu 3.754% dan nilai kalor 3894.520 kal/gr. Sedangkan untuk briket arang dari sampah
organik rumah tangga dengan sekam padi yang paling tinggi nilai kalornya adalah briket
arang F dengan komposisi 80% arang sampah organik rumah tangga, 10% sekam padi dan
10% kanji yaitu mempunyai kadar air 5.65%, kadar abu 3.439% dan nilai kalor 4470.160
kal/gr. Nilai kalor yang paling rendah adalah briket arang J yaitu dengan komposisi 10%
arang sampah organik rumah tangga, 80% sekam padi dan 10% kanji yaitu mempunyai
kadar air 3.27%, kadar abu 3.627% dan nilai kalornya 4030.730 kal/gr. Faktor yang
mempengaruhi besarnya nilai kalor tersebut diatas adalah tergantung pada banyaknya
arang sampah organik rumah tangga sebagai bahan penyusun briket arang serta proses
pembakaran sampah organik rumah tangganya yaitu terbakar secara sempurna atau tidak
karena sampah organik rumah tangga tersebut mempunyai kandungan C dan H yang tinggi
sehingga apabila terbakar sempurna akan menghasilkan energi yang tinggi pula. Nilai kalor
disini adalah merupakan besarnya energi yang terkandung dalam briket arang tersebut.
Berdasarkan hasil analisa diatas briket arang dari sampah organik rumah tangga
dengan sekam padi mempunyai nilai kalor yang lebih tinggi dibandingkan briket arang dari
sampah organik rumah tangga dengan serbuk gergaji. Hal tersebut disebabkan bahwa
memang dari bahan dasarnya sekam padi mempunyai nilai kalor yang lebih tinggi dari

50

Malaysia
-

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

pada serbuk gergaji serta kadar air pada briket arang dari sampah organik rumah tangga
dengan sekam padi lebih kecil dibandingkan dengan briket arang dari sampah organik
rumah tangga dengan serbuk gergaji. Hal tersebut disebabkan tergantung pada komposisi
bahan yang digunakan sebagai penyusun briket arangnya, karena saat pencampuran dan
penumbukan antara arang sampah organik rumah tangga dengan serbuk gergaji
memerlukan air yang lebih banyak untuk dapat dicetak menjadi briket arang. Pada briket
arang dari sampah organik rumah tangga dengan sekam padi perbedaan kadar airnya tidak
terlalu besar antara berbagai variasi briketnya sehingga kadar air tersebut tidaklah sangat
berpengaruh terhadap nilai kalornya. Tetapi yang sangat berpengaruh adalah besarnya
arang sampah organik rumah tangga yang menyusun briket arang tersebut. Sehingga
semakin banyak arang sampah organik rumah tangganya maka nilai kalor pada briket arang
tersebut juga semakin tinggi karena mempunyai kandungan karbon yang tinggi pula.
Briket arang dari sampah organik rumah tangga dengan serbuk gergaji dan briket
arang dari sampah organik rumah tangga dengan sekam ini dapat digunakan sebagai energi
alternatif meskipun nilai kalornya tidak setinggi briket arang beberapa negara lain. Briket
arang ini mempunyai nilai kalor yang lebih tinggi dari pada kayu bakar sebesar 35004000
kal/gr (Roedijanto, 1988), sehingga dapat djadikan sebagai energi alternatif sebagai
pengganti kayu bakar bagi masyarakat pedesaan maupun sebagai energi alternatif yang
lain.
Sampah biomassa selama ini hanya ditumpuk saja di lingkungan sehingga dapat
meningkatkan jumlah timbulan sampah, sedangkan sampah biomassa ini mempunyai nilai
kalor yang tinggi. Oleh karena itu selain dimanfaatkan sebagai kompos sampah organik
dapat dimanfaatkan sebagai briket arang sebagai alternatif bahan bakar yang dalam
pemanfaatannya bisa dicampur dengan bahan lain yaitu seperti serbuk gergaji dan sekam
padi. Sehingga dengan pemanfaatan sampah organik rumah tangga sebagai briket arang ini
dapat mereduksi sampah organik sebesar 70% dari jumlah timbulan yang ada. Hal ini
menyebabkan jumlah sampah organik yang masuk ke tempat pembuangan akhir semakin
berkurang.
Negara Indonesia sebagian besar sampah yang dihasilkan adalah berupa sampah
organik yaitu sekitar 5080%. Sehingga dengan adanya pemanfaatan sampah organik
sebagai briket arang maka dapat mengurangi jumlah timbulan sampah yang ada serta
mngurangi beban pencemaran karena limbah padat.
Pembuatan briket arang ini sangat cocok diterapkan untuk masyarakat pedesaan
dimana masih banyak sampah biomassa yang dihasilkan di lingkungannya. Dalam
pembutan briket ini memanfaatankan peralatan yang ada karena semua peralatan yang
digunakan sangat sederhana serta biaya pembutaanya termasuk murah. Briket arang ini
dalam penempatannya juga tidak memakan tempat sehingga sangat praktis dan efisien.
Selain di pedesaan di daerah perkotaan pun bisa diterapkan pembuatan briket
arang ini. Karena seperti kita ketahui sendiri bahwa kebutuhan akan bahan bakar semakin
meningkat sedangkan bahan bakar yang tersedia jumlahnya sangatlah terbatas, sehingga
dengan adanya briket arang ini kebutuhan akan bahan bakar diharapkan dapat terpenuhi.
Briket arang ini dapat dijadikan sebagai pengganti kayu bakar bagi masyarakat
pedesaan yang selama ini mengambil kayu bakar dari hutan-hutan. Selain itu dapat juga
mengurangi pemakaian bahan bakar dari tambang seperti minyak tanah, gas maupun
energi panas lainnya, sehingga dapat mengurangi dan menghemat pemakaian sumber daya
alam yang ada. Harga untuk 1 kg arang kayu adalah Rp 1100,- sedangkan untuk briket
arang setelah dilakukan analisa biaya untuk setiap kilogramnya adalah Rp 1.373,18

51

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Pembuatan briket arang ini juga dapat meningkatkan perekonomian bagi


masyaraklat setempat yaitu dengan adanya lapangan kerja baru serta akan membantu
dalam pengentasan kemiskinan dan menambah devisa daerah setempat.

KESIMPULAN
Pemanfaatan sampah organik rumah tangga sebagai briket arang dapat mengurangi
jumlah timbulan hingga 70% dari jumlah timbulan sampah organik rumah tangga yang
ada, salah satu alternatif pemanfaatannnya adalah sebagai briket arang.
Nilai kalor yang paling baik briket arang dari sampah organik rumah tangga
dengan serbuk gergaji adalah briket arang dengan variasi komposisi 80% arang sampah
organik rumah tangga, 10% serbuk gergaji dan 10% kanji dengan nilai kalor 4292.180 kal/g,
kadar air 5.53% dan kadar abu 3.581%. Sedangkan briket arang dari sampah organik rumah
tangga dengan sekam padi yang nilai kalornya paling tinggi adalah briket arang dengan
komposisi 80% arang sampah organik rumah tangga, 10% sekam padi dan 10% kanji yang
mempunyai nilai kalor 4470.160 kal/g, kadar air 5.65%, kadar abu 3.439%.
Briket arang dari sampah organik rumah tangga dengan serbuk gergaji dan briket
arang dari sampah organik rumah tangga dengan sekam padi mempunyai nilai kalor yang
lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai kalor pada SII 2041-87 tetapi mempunyai nilai
kalor yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai kalor kayu bakar.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1987, Pedoman bidang studi Pengembangan Sampah APK-TS, Proyek Pengembangan
Tenaga Sanitasi Pusat,, Jakarta Departemen Kesehatan.
Anonim, 1985, Pembuangan Sampah, , Jakarta Departemen Kesehatan.
Arman, Naafi, 2000, Pengaruh Sampah Biomassa Sebagai Bahan Baku Briket Bioarang Terhadap
Kualitas Kalor, Yogyakarta, STTL YLH.
Seran, Julius, 1991, Bioarang Untuk Mamasak, Jakarta, Liberty.
Johannes, Herman, 1989, Tungku Susunan Bata Mungkus Energi yang Tidak Membakar Kayu
Tetapi Briket Bioarang dan Bioasap Untuk Mengamankan Hutan, Yogyakarta, Kertas Kerja
Simposium Fisika Nasional XII.
Kartono, W.T, 1988, Analisa Potensi Limbah Penggergajian di Propinsi Riau, Pematang Siantar,
Bulletin Penelitian Kehutanan Vol 4 No. 4. balai Penelitian Kahutanan.
Musadeq; Rejeki Sri, 1999, Pemanfaatan Limbah Tapioka Sebagai Bahan Perekat Pada Pembuatan
Briket dari Arang Sekam, Semarang, UNDIP.
Roedjianto S, dkk, 1988, Pemanfaatan Abu Lengas Pabrik Gula Sebagai Briket, Banjarbaru, Balai
Penelitian dan Pengembangan Industri.
Wahyono, Sri; et al, 2003, Menyulap Sampah Menjadi Kompos Sistem Open Windraw Bergulir,
Jakarta, BPPT.
Widayanti, Woro, 2001, Analisis Nilai Kalor Briket Arang Tempurung Kelapa Sebagai Sumber
Bahan Bakar Alternatif, Semarang, Poloteknik Negeri Semarang.
Winarno F.G dkk, 1985, Limbah Hasil Pertanian, Jakarta, Kantor Mentri Muda Urusan
Peningkatan Produksi Pangan.

52

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

SIMULASI POTENSI ENERGI LISTRIK TENAGA


PASANG SURUT BAGAN SIAPI-API
Ruzardi dan Endang T 1)
Abstrak
Seiring dengan permintaan tenaga listrik yang semakin meningkat tajam maka perlu
diupayakan sumber energi alternative. Tenaga air sebagai sumber energi alternative
yang cukup menjanjikan adalah sumber energi yang berasal dari laut. Pemanfaatan
tenaga pasang surut air laut sebagai sumber energi untuk pembangkit listrik masih
kurang diperhatikan. Penelitian ini mencoba melihat dengan model simulasi
Pembangkit Listrik Tenaga Pasang Surut Sistem Daur Ganda Dengan Kolam
Tunggal di kawasan Bagan Siapi-api. Data pasang surut selama satu tahun penuh
dianalisis dan ditetapkan satu nilai perbedaan pasang dan surut yang sesuai sebagai
studi kasus. Variabel luas kolam dan perbedaan tinggi pasang dan surut sebagian
dari sembilan variabel sebagai masukan dalam analisis. Hasil menunujukkan
perbedaan tinggi pasang dan surut air laut mencapai hingga 6,4 m, pada saat pasang
tertinggi muka air laut bisa mencapi 6,6 m. Hasil simulasi potensi energi yang
dihasilkan dalam setahun sebesar 476.167,39 KWh, dengan kebutuhan luas kolam
minimal adalah 1,27 hektar, luas kolam optimal adalah 6,3 hektar, Energi yang
dihasilkan untuk luas kolam optimal dengan 1 unit turbin adalah 3.536,83 MWh
dan energi yang dihasilkan untuk luas kolam 76,2 hektar dengan 30 unit turbin
adalah 74.824,372 MWh.
Kata kunci: energi; pasang surut; kolam tunggal dan daur ganda.

PENDAHULUAN
Menurut prakiraan Indonesia mempunyai potensi tenaga pasang surut yang besar
yang dapat memanfaatkan sebagai sumber tenaga pembangkit listrik, mengingat Indonesia
merupakan Negara kepulauan yang dikelilingi oleh lautan, dua lautan besar yang
mengelilingi Indonesia yaitu samudra Hindia dan samudra Pasifik. Dengan posisinya yang
berada di lintang khatulistiwa, hal ini menyebabkan kondisi pasang surut, angin,

53

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

gelombang, dan arus laut cukup besar. Ditambah lagi kepulauan Indonesia memiliki
panjang pantai lebih kurang 80.000 km, di beberapa lokasi mempunyai beda tinggi pasang
dan surut air laut yang cukup besar.
Penelitian dan aplikasi pemanfaatan tenaga pasang surut untuk pembangkit listrik
telah dilakukan di beberapa negara seperti Perancis, Rusia, Amerika Serikat, dan Kanada
sejak tahun 1920. Sejauh ini hasil tenaga yang dapat dibangkitkan cukup besar. Menurut
pengetahuan peneliti, penelitian tentang Simulasi Pembangkitan Listrik Tenaga Pasang
Surut Sistem Daur Ganda Dengan Kolam Tunggal (Studi Kasus Bagan Siapi-api) belum
pernah dilakukan di Indonesia, mengacu terhadap hal tersebut peneliti mencoba untuk
mengkaji potensi tenaga pasang surut di kawasan tersebut.

____________________________________
1)
Jurusan Teknik Sipil, FTSP UII
Tobing (2001), mengatakan bahwa hampir 60% dari total luas wilayah Indonesia
merupakan lautan, dengan luas lautan Indonesia berkisar antara 1.157.590,20 km 2.
Indonesia mempunyai garis pantai yang membentang dari barat ke timur sepanjang 5.150
km, sedangkan garis pantai yang membentang dari utara ke selatan sepanjang 1.930 km.
Dengan data tersebut Indonesia merupakan negara yang mempunyai garis pantai
terpanjang di dunia. Data pencatatan pasang surut yang dikeluarkan oleh dinas HidroOseanografi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (LIPPI, 1991), Indonesia mempunyai
90 stasiun pasang surut yang tersebar mulai dari Sabang sampai Merauke. Dari beberapa
stasiun pasang surut tersebut banyak terdapat stasiun pasang surut yang mempunyai
perbedaan tinggi air pasang dan surut melebihi 2,5 m. Data menjukkan bahwa pasang surut
air laut terbesar terletak di kawasan Sumatra.
Di kawasan Sumatra lokasi yang mempunyai perbedaan tinggi muka air laut
pasang dan surut cukup besar adalah di Bagan Siapip-api (Harsono, 2003, Dita 2005).
Perbedaan tinggi pasang dan surut air laut mencapai hingga 6,4 m, pada saat pasang
tertinggi muka air laut bisa mencapi 6,6 m. Oleh karenanya adalah menarik untuk melihat
seberapa besar kemungkinan potensi yang ada di wilayah tersebut dan berapa besar
kombinasi kolam dan tenaga yang dihasilkan. Berdasarkan kondisi tersebut jelas terbuka
kemungkinan bahwa Indonesia dapat memanfaatkan tenaga pasang surut sebagai sumber
pembangkit energi listrik.
LANDASAN PUSTAKA
Menurut Dandekar dan Sharma (1991), Prancis negara yang terbesar Pembangkit
Listrik Tenaga Air pasang surut (PLTA Pasut). La Rance di Perancis diresmikan pada tahun
1966, pembangkit listrik ini merupakan PLTA pasang surut pertama dalam ukuran besar.
PLTA pasang surut La Rance dibangun disebuah muara sungai yang mempunyai perbedaan
tinggi air pasang surut rata-rata sebesar 8,5 m, pada saat terjadi pasang tertinggi (spring
tide) perbedaan tinggi air pasang surut dapat mencapai 13,5 m, sedangkan pada saat terjadi
pasang terendah (neap tide) perbedaan tinggi air pasang dan surut adalah 3,5 m. Banyaknya
air yang masuk kedalam kolam penampung pada saat spring tide bisa mencapai 18.000
m3/detik. Energi netto yang dihasilkan dalam setahun sebesar 544 106 KW. Selanjutnya
Dandekar dan Sharma menyampaikan bahwa di Kislaya Guba, pembangkit listrik tenaga

54

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

pasang surut direncanakan pada tahun 1966 dan mulai beroperasi sejak tahun 1968. PLTA
pasang surut Kislaya Guba memanfaatkan perbedaan tinggi pasang surut air laut rata-rata
sebesar 2,3 m. Luas kolam penampung air yang digunakan adalah 1,1 km2. Kapasitas yang
terpasang pada pembangkit listrik ini adalah 400 KW.
Google Answer (2004), menyampaikan bahwa pembangkit listrik tenaga pasang surut
Jiangxia Cina, dioperasikan sejak tahun 1980. Kolam penampung air yang digunakan
mempunyai luas 1,4 km2, dengan memanfaatkan perbedaan tinggi pasang surut rata-rata
5,08 m pembangkit listrik ini mampu membangkitkan energi listrik sebesar 3.900 KW. Selain
pembangkit listrik tenaga pasang surut Jiangxia, Cina juga mempunyai beberapa statasiun
pembangkit listrik pasang surut air laut yang lain. Selanjutnya pembangkit listrik tenaga
pasang surut Annapolis dioperasikan sejak tahun 1984. Pembangkit listrik ini
memanfaatkan sebuah teluk sebagai kolam penampung air, teluk yang digunakan adalah
Bay of Fundy. Buy of Fundy merupakan salah satu tempat yang mempunyai perbedaan
tinggi air pasang dan surut sangat besar, bahkan dapat dikatakan sebagai yang tertinggi
didunia. Pada saat terjadi pasang tertinggi (spring tide), ketinggian air bisa mencapai 16 m
dan perbedaan tinggi air pasang surut rata-ratanya adalah 6,5 m. Pembangkit listrik pasang
surut Anapolis mempunyai kapasitas terpasang sebesar 18.000 KW, dengan luas kolam
penampung air seluas 15 km2. Tabel 1, di bawah adalah merupakan gambaran tempattempat berpotensi di dunia untuk Pembangkit Listrik Tenaga Pasang Surut (PLTPS).
Tabel 1. Tempat-tempat berpotensi di dunia untuk PLTPS
Luas
Beda tinggi
Daya
2
No
Negara
Lokasi
Kolam (km )
rerata (m)
Terpasang (MW)
1 USA
Passamaquoddy
300
5,50
400
2 USA
Cook Inlet
3.100
4,35
18.000
3 Rusia
Mezan
2.640
5,66
15.000
4 Rusia
Tugur
1.080
5,38
6.790
6 Inggris
Severn
490
8,30
6.000
7 Inggris
Mersey
60
8,40
700
8 Argentina
San Jose
780
6,00
7.000
9 Korea
Corlim Bay
90
4,70
480
10 Australia
Secure
130
8,40
570
11 Australia
Wallcot
260
8,40
1.750
(sumber : Google Answer Intenational, 2004)

MODEL TENAGA PASANG SURUT


Susunan Kolam Tunggal
Pada dasarnya pembangkit listrik tenaga pasang surut melibatkan kolam
penampung air, baik itu kolam buatan maupun kolam yang memanfaatkan kondisi alam.
Prinsipnya kerja pemanfaatan tenaga pasang surut air laut untuk pembangkit listrik
dibedakan menjadi tiga, yaitu susunan kolam tunggal, susunan kolam ganda, dan susunan
kolam bersama. Dari prinsip-prinsip dasar ini kemudian dikembang beberapa cara untuk
mendapatkan energi yang boleh dikatakan terus menerus selama pasang dan surut terjadi..

55

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Dalam susunan kolam tunggal, hanya terdapat sebuah kolam penampung air yang
langsung berhadapan dengan laut. Kolam dan laut dipisahkan oleh tanggul, sedangkan
aliran antara keduanya disalurkan melalui pintu air yang terletak disepanjang tanggul,
pada tanggul ini juga terdapat bangunan pembangkit listrik. Arus yang masuk dari laut
menuju kolam penampung atau dari kolam penampung menuju laut dapat digunakan
untuk memutar turbin. Energi listrik dapat dibangkitkan dengan menggunakan tiga macam
sistim daur air, tiga sistim daur air itu adalah sistim daur air pasang tunggal, sistem daur
air surut tunggal, dan sistem daur air pasang-surut (ganda).
Sistem daur ganda; merupakan gabungan dari sistim pasang dan susurt. Sistem ini
sangat rnenguntungkan karena mampu membangkitkan tenaga listrik pada waktu pasang
dan pada waktu surut .

Gambar 1. Sistem operasi daur ganda


(Dandekar dan Sherma, 1991)

Potensi Energi Listrik


Energi listrik dapat dibangkitkan pada saat pengisian kolam (saat air laut pasang)
maupun pengosongan kolam (saat air laut surut). Pada metode ini energi listrik yang
dibangkitkan tergantung pada lamanya pemanfaatan waktu produksi. Energi listrik yang
dihasilkan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
Jumlah energi dalam kWh/daur air pasang
E

P dt =

hp Q
75

dt

0,736

kW
(1)
Tenaga dalam satu tahun yang terdiri 365 hari, untuk tipe pasang surut harian ganda
terdapat 705 daur air pasang penuh maka, untuk tipe pasang surut harian ganda akan
diperoleh :
E(1
t 705 0,736

kW h

Tahun)

2 o

hp Q
75

(2)

56

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Waktu produksi pada saat air pasang (Tp p) dan waktu produksi pada saat air surut
(Tps) adalah sama, ini berarti bahwa waktu produksi (Tp) yang digunakan untuk
menghitung dimensi kolam untuk pembangkit listrik tenaga pasang surut sistem daur
ganda dengan kolam tunggal adalah sama dengan waktu produksi saat air pasang (Tp p)
ataupun surut (Tps). Maka volume kolam produksi (Vk) sudah dapat diketahui dengan
dengan mengacu pada persamaan (3):
Vk

1
2

Q Tp

(3)
Untuk mencari luasan kolam perlu diketahui ketinggian air kolam produktif (Hk p).
Karena ketinggian air kolam produktif antara waktu produksi air pasang dan surut sama,
maka:
Hkp = HKpp Hkpa = HKsa HKsp
(4)
Dan Luas kolam (Ak) dihitung dengan:
Ak

Vk
Hkp

(5)
Data dan metode analisis
Data yang dibutuhkan yaitu, data pasang surut minimal 1 tahun, data karakteristik
turbin, peta topografi di daerah potensial dan data pasang surut minimal 1 tahun. Turbin
yang akan dipakai dengan tinggi air jatuh untuk menggerakan turbin dan menghasilkan
energi yang paling rendah diketahui, serta identifikasi lokasi di daerah potensial yang
memiliki beda tinggi pasang surut layak untuk dibangun pembangkit listrik tenaga pasang
surut diketahui, maka dapat kita tentukan dimensi kolam yang akan dibangun. Dimensi
kolam yang akan dibangun berdasarkan acuan luas kolam minimal yang masih layak untuk
dibangun dan luas kolam optimum yang layak untuk dibangun untuk menghasilkan energi
listrik. Setelah semua data yang dibutuhkan diketahui maka dari proses perhitungan dapat
diketahui jumlah energi listrik yang dihasilkan selama 1 tahun.
Model simulasi tenaga
Guna mendapatkan Energi pasang surut yang optimal menggunakan sistem daur
ganda dengan kolam tunggal, diperlukan sebuah kolam penampung air laut dengan
dimensi yang tepat, untuk keperluan itu di pakai model simulasi. Hasil ini akan
medapatkan yang sesuai dengan keadaan hidrodinamika air laut dan dimensi pipa yang
sesuai, debit air yang mengalir dapat dimanfaatkan secara maksimal, disesuaikan dengan
waktu produksi yang ada, karena waktu produksi pembangkit listrik tenaga pasang surut
ini sangat tergantung dari durasi pasang atau surut air laut. Maka dalam penelitian ini
simulasi energi yang dapat dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga pasang surut
mengoptimalkan dimensi kolam sebagai alternatif efisiensi pembangunan proyek tersebut
dan untuk memaksimalkan produksi energi yang dihasilkan tiap tahunnya. Daerah Bagan
Siapi api sebagai daerah yang memiliki beda tinggi pasang surut tertinggi untuk kawasan
Sumatra ditetapkan sebagai tempat tinjauan dalam penelitian ini.
Dari hasil perhitungan di dapat bahwa waktu produksi pada saat air pasang (Tp p)
dan waktu produksi pada saat air surut (Tp s) adalah sama, ini berarti bahwa waktu

57

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

produksi (Tp) yang digunakan untuk menghitung dimensi kolam untuk pembangkit listrik
tenaga pasang surut sistem daur ganda dengan kolam tunggal adalah sama dengan waktu
produksi saat air pasang (Tpp) ataupun surut (Tps). Maka volume kolam produksi (Vk).
Luas kolam ini menjadi batasan untuk menentukan luas kolam yang layak untuk
dibangun di daerah Bagan Siapi Api (luas kolam minimal, Ak m). Gambar pergerakan air
laut dan pergerakan air dalam kolam pada pembangkit listrik tenaga pasang surut sistem
daur ganda menggunakan kolam tunggal dengan luas kolam minimal di daerah Bagan Siapi
Api dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah.

Gambar 2. Model operasi pada pergerakan air pasang

Gambar 3. Model operasi pada pergerakan air surut


Dalam menentukan dimensi kolam yang akan dibangun perlu diketahui batasan
luas kolam minimal yang disyaratkan, agar dalam pemanfaatan pergerakan air laut (pasang
dan surut) dapat dioptimalkan. Karena luas kolam minimal pergerakan air laut (pasang dan
surut) dari titik terendahnya sampai titik tertinggi pergerakan air laut sudah bisa
dimanfaatkan tetapi dalam keadaan debit air yang minimal. Keadaan debit air minimal
dalam pembangkit listrik tenaga pasang surut menggunakan sistem daur ganda dan
menggunakan kolam tunggal adalah keadaan dengan debit air yang masuk kedalam kolam
pada awal produksi sampai ketinggian air laut pasang di titik tertinggi sama (tetap) atau
keadaan dengan debit air yang keluar dari kolam pada awal produksi sampai ketinggian air
laut surut berada di titik tertinggi juga sama (tetap). Pada awal produksi debit air yang
masuk atau keluar dari kolam menggunakan beda tinggi air jatuh untuk menggerakan

58

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

turbin kaplan minimal setinggi 2 meter, sehingga tinggi air jatuh untuk menentukan luas
kolam minimal dari awal produksi sampai ketinggian air laut pasang atau surut tertinggi
juga 2 meter.

Gambar 4. Model simulai tenaga dan luas kolam

Data periode pasang/surut digunakan sebagai acuan dalam menentukan waktu


produksi. Untuk mengetahui pergerakan air laut waktu pasang atau surut tiap satuan
waktu, maka dalam penelitian ini ditetapkan ukuran pergerakan tiap 0,01 meter. Penentuan
ukuran pergerakan air laut tiap 0,01 m ini untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan air
untuk bergerak (pasang atau surut) tiap satuan panjang (tinggi), dan nilai 0,01 m (1 cm)
diambil karena dari ketelitian dianggap sudah mencukupi. Dengan penentuan itu maka
periode pergerakan air pasang atau surut tiap satuan panjang (tinggi, 0,01 m) dapat
diketahui, tetapi sebelumnya harus diketahui dahulu jumlah kumulatif data untuk
ketinggian air pasang/surut untuk pergerakan air tiap 0,01 meter (na). Dengan metode
grafis dapat diketahui luas kolam optimal menggunakan 1 unit turbin untuk tinjauan di
daerah Bagan Siapi api adalah 6,3 hektar dan energi listrik yang dihasilkan setiap tahun
3.361 MWh. Hasil yang paling sesuai dengan meningkatkan luas kolam menjadi 76,2 hektar
dan energi yang dapat dihasilkan sebesar 74.824 MW.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari penelitian potensi pasang surut untuk pembangkit listrik di dapat kesimpulan
bahwa pembangkit listrik tenaga pasang surut untuk kawasan Bagan Siapai-api cukup
memberikan hasil yang besar. Hasil simulasi dengan sistim daur ganda menggunakan
kolam tunggal mendapatkan luas kolam minimal adalah 1,27 hektar, luas kolam optimal

59

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

adalah 6,3 hektar. Sedangkan tenaga yang dihasilkan dalam setahun untuk luas kolam
optimal adalah 3.361 MWh dan energi yang dihasilkan untuk luas kolam 76,2 hektar
adalah 74.824 MW . Energi ini mamsih dapat ditingkatkan lagi yang akan dapat melebihi
energi terpasang di beberapa negara lainnya, sesuai dengan pertambahan luas kolam.
Namun demikian Kekurangan terbesar dari pembangkit listrik tenaga pasang surut adalah
model ini hanya dapat menghasilkan listrik selama pasang atau surut mengalir masuk dan
keluar kolam penampungan. Hasil ini terjadi hanya selama kurang lebih 10 jam per harinya.
Namun, karena waktu kejadian pasang dan surut dapat diprediksi dengan tepat maka pada
operasinya saat PLTPS tidak aktif, dapat digunakan pembangkit listrik lainnya.
Perlu adanya kajian nilai ekonomis terhadap penerapan pembangkit listrik tenaga
pasang surut air laut ditinjau dari segi nilai investasi, pengembalian modal investasi, dan
energi yang dihasilkan. Dalam penelitian ini belum melibatkan struktur dari pembangkit
listrik tenaga pasang surut, sehingga perlu direncanakan struktur yang tepat untuk dapat
menerapkan pembangkit listrik tenaga pasang surut. Penggunan metode susunan kolam
tunggal dengan sistem daur air ganda hanya merupakan salah satu metode yang dapat
digunakan unruk memperhitungkan besarnya potensi energi listrik yang dapat
dibangkitkan oleh pembangkit listrik tenaga pasang surut, untuk itu perlu adanya
penerapan metode lain agar dapat diperoleh perbandingan besarnya energi yang dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA
Christian Tobing, 2001, Menggagas Energi Alternatif Memanfaatkan Pasang Surut Air Laut,
Sinar Harapan, Jakarta.
Dandekar,M.M. & Sharma,K.N, (1991), Pembangkit Listrik Tenaga Air, Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta.
Dita wulandari, (2005), Studi Potensi Energi Angin, Energi Gelombang Dan Energi Pasang
Surut di Indonesia, Master Thesis, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Google Answers International, (2004), International Water Power Energy Business with a focus
on tidal power, Google.com.
Harsono Soepardjo, (2003), Potensi dan Teknologi Energi Samudera Kompas, Jakarta.
LIPPI, (1991), Loka Karya Nasional Tentang Pemanfaatan Data Pasang Surut Dan Data Lain
Yang Terkait, Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL, Jakarta.

60

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

STUDI AWAL PEMANFAATAN PRODUK SAMPING


PROSES PRODUKSI BIODIESEL (GLISEROL)
MENJADI MONO ASIL GLISEROL DAN DIASIL
GLISEROL
Faleh Setia Budi*, Didi Dwi Anggoro*, Silviana*, Sri yuliani** dan Niken
Harimurti** YanuarSigitPramanadanSriMulyani
Abstrak
Produksi gliserol dunia dan Inonesia akan meningkat seiring dengan meningkatnya produksi
biodiesel. Untuk mengantisipasi produksi gliserol yang melimpah perlu dilakukan penelitian
untuk membuat berbagai macam produk turunannya. Salah satunya adalah Mono dan
diasill gliserol. Mono dan diasil gliserol merupakan gliserida yang tersusun dari gliserol dan
1- 2 asam lemak bebas. MAG-DAG dapat dibuat dari senyawa gliserida dan gliserol dengan
menggunakan katalis. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan proses reaksi di bawah
suhu 200 oC dengan menggunakan bantuan pelarut. Percobaan dirancang dengan metode
central composite design dan menggunakan 3 variabel bebas. Variabel yang dipilih sebagai
variabel bebas adalah suhu reaksi (X1), rasio gliserol/CPO (X2) dan jumlah katalis (%w)(X 3).
Sedangkan variabel tetapnya adalah jenis pelarut (tert-butanol), berat total campuran (300
gr) dan waktu (240 menit). Jumlah percobaan yang dilakukan sebanyak 16 run. Dari hasil
pengolahan data didapatkan model empiris Y = -61.1982 + 2,1331 X 1 - 0,4303 X2 + 13,5092
X3 - 0,1938 X1X2 - 0,2170 X1X3 - 0,1575 X2X3 - 0,005 X12 + 1,611 X22 - 0,2386 X32.
Hubungan antara jumlah hasil dengan variabel rasio gliserol/CPO cenderung berbentuk
linier sehingga tidak bisa ditentukan titik optimumnya. Hasil optimum dapat dicapai jika
rasio gliserol/CPO antara 1-3, suhu pada kisaran 75-100 oC dan katalis berada pada kisaran
1 2 %.
Kata kunci : Gliserol, mono dan diasil gliserol, MgO, tert-butanol

PENDAHULUAN

61

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Dewasa ini sumber energi biofuel yang meliputi biodiesel dan bioalkohol banyak
mendapatkan perhatian untuk menggantikan bahan bakar fosil (minyak bumi) yang
semakin berkurang jumlahnya dan semakin tinggi harganya (pernah mencapai US$ 110 per
barel). Hal ini dikarenakan sumber energi biofuel tersebut bisa dibuat dari minyak nabati
atau hewani dan pati yang merupakan sumber bahan baku terbarukan. Biodiesel yang
dibuat dari minyak nabati/hewani dan methanol dengan menggunakan proses
transesterfikasi mempunyai produk samping gliserol. Produksi gliserol dunia akan
meningkat seiring dengan meningkatnya produksi biodiesel. Produksi gliserol dunia saat
ini sebanyak 395 juta galon/tahun dan akan mencapai 1.108,7 juta galon/tahun pada 18
tahun mendatang karena munculnya industri baru yang menghasilkan gliserol.

*Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro


**Balai Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Litbang Departemen Pertanian
Jl. Prof. Soedarto SH, Tembalang, Semarang
Email: falehsb@tekim.ft.undip.ac.id
Di Indonesia produksi gliserol juga akan meningkat seiring dengan kebijakan
pemerintah yang akan meningkatkan produksi biodiesel. Pada tahun 2006, produksi
biodiesel sebanyak 110.000 liter dan diperkirakan akan mencapai 720.000 liter pada tahun
2010. Sedangkan gliserol yang dihasilkan sebagai produk samping kira-kira 10 % dari
produksi biodiesel (Balitbang-Deptan, 2006).
Untuk mengantisipasi produksi gliserol yang melimpah perlu dilakukan penelitian
untuk membuat berbagai macam produk turunannya sehingga produksi gliserol yang
melimpah tersebut bisa terserap. Salah satu produk yang bisa dibuat dari gliserol adalah
Mono dan Diasil Gliserol (MAG-DAG) atau yang juga disebut sebagai Mono dan
Digliserida.
Tabel 1. Perkiraan produksi biodiesel dan gliserol (by product) Indonesia
Produksi
Tahun
2006
2007
2008
2009
2010
2015
2025
Biodiesel (kL)
110
262,5
415
567,5
720
1500
4700
Gliserol (kL)
11
26,25
41,5
56,75
72
150
470
Di sisi lain Indonesia masih mengimpor seluruh mono dan diasil gliseol (MAGDAG) yang dibutuhkan oleh industri. Mono dan diasil gliserol banyak digunakan sebagai
zat pengelmusi (emulsifier), zat pembasah (wetting agent/surfactant), pelumas,
pengaglomerasi dan sebagainya di industri makanan, kosmetik, farmasi dan lain-lain. Di
industri pangan MAG-DAG juga digunakan untuk meningkatkan performan margarine,
shortening dan aplikasi pangan yang lain. MAG dan DAG ini bisa dibuat dari senyawa
gliserida yang banyak terdapat di bahan minyak atau lemak dengan gliserol.
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan proses pembuatan MAGDAG dari gliserol dan minyak sawit, mengetahui pengaruh variabel-variabel proses
terhadap hasil proses gliserolisis minyak sawit menjadi MAG-DAG, memperoleh kondisi

62

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

operasi yang optimal untuk memproses minyak sawit


menjadi MAG-DAG, dan
mendapatkan produk MAG-DAG dari minyak sawit yang memenuhi spesifikasi yang
diharapkan.
MAG-DAG dapat dibuat dari semua senyawa gliserida baik yang berasal dari lemak
maupun minyak. Senyawa gliserida tersebut direaksikan dengan gliserol dan menggunakan
katalis Sodium / Kalium Gliserolat yang dibuat dari NaOH/KOH dan gliserol. Reaksi
dilakukan pada suhu 220250 oC dan tekanan atmosfir (Noureddini H. et al, 2004). Reaksi
ini juga dikenal sebagai reaksi interesterifikasi atau transesterifikasi karena terjadi
pertukaran alkohol/gliserol. Oleh karena alkohol yang digunakan adalah gliserol maka
reaksi ini juga dinamakan reaksi gliserolisis. Persamaan reaksinya dapat dituliskan sebagai
berikut:
H2C-OH
|
H C-OH
|
H2C-OH
gliserol

+ NaOH

H2C-O-CO-R1
H2C-OH
|
|
H C-O-CO-R2 + H C-OH
|
|
H2C-O-CO-R3
H2C-ONa
Trigliserida
Sodium Gliserolat

H 2C-OH
|
H C-OH
+
|
H 2C-ONa
Sodium Gliserolat
H 2C-O-CO-R1
|
H C-O-CO-R 2
+
|
H 2C-O-Na
Sodium Diacil Gliserida

H 2O

H2C-OH
|
H C-OH
|
H 2C-O-CO-R3
Mono Gliserida

Kelemahan reaksi gliserolisis dengan menggunakan katalis logam alkali adalah


suhu reaksi cukup tinggi yaitu 220 250 oC. Temperatur yang tinggi ini menyebabkan
produk yang dihasilkan berwarna gelap dan terbentuk bau yang tidak diinginkan
(Noureddini H et. al, 2004). Produk yang berwarna gelap dan munculnya bau kemungkinan
disebabkan oleh terbakarnya sebagian bahan. Mono dan digliserida yang dihasilkan
biasanya mempunyai kadar monogliserida 40 - 50 %. Konsentrasi monogliserida ini bisa
ditingkatkan sampai minimal 90 % dengan proses distilasi. Proses distilasi yang dilakukan
juga berfungsi untuk menghilangkan warna dan bau.
Selain menggunakan katalis sodium gliserolat, reaksi gliserolisis bisa juga
dilakukan dengan menggunakan katalis enzim. Enzim yang sering dipakai adalah enzim
lipase dengan temperatur operasi sekitar 30 oC. Hal ini disebabkan katalis enzim tidak bisa
bekerja atau akan mati pada suhu yang tinggi. Oleh karena temperatur yang digunakan
rendah maka reaksi gliserolisis dengan katalis enzim membutuhkan energi yang rendah.
Kelemahan dari penggunaan enzim sebagai katalis adalah mahalnya harga enzim
(Kaewthong W. et al, 2005). Di samping itu Indonesia harus mengimpor enzim lipase ini
karena belum ada industri di dalam negeri yang memproduksi jenis enzim ini.
Katalis lain yang bisa dipakai adalah senyawa logam MgO. Dalam laporannya,
Corma A. mengatakan (Corma A. et al, 1997) bahwa katalis MgO bisa memberikan konversi

63

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

reaksi sampai 97 %. Kelebihan yang dimiliki katalis MgO adalah katalis MgO mudah
dipisahkan dari produk hasil reaksi karena berbentuk padat. Tetapi proses reaksi
gliserolisis dengan katalis MgO ini masih dilakukan pada suhu yang tinggi untuk
meningkatkan kelarutan minyak dalam gliserol.

No
1
2
3
4

Tabel 2. Spesifikasi produk Mono Acil Gliserol (MAG) standar eropa


komponen
batasan
Mono dan Di acil gliserol
> 70 %
Asam bebas
<3%
gliserol
<7%
air
<2%

METODE PENELITIAN
Reaksi gliserolisis yang dilakukan di penelitian menggunakan bahan minyak sawit
(CPO) yang diperoleh dari PT Perkebunan Nusantara. Minyak sawit ini memiliki kandungan
asam lemak bebas 9,66 % dan bilangan iod 67,3488. Gliserol yang digunakan adalah gliserol
teknis yang didapatkan dari C.V. Multi Kimia Raya, sedangkan pelarut tert-butanol p.a dan
katalis MgO p.a didapatkan dari C.V. Jurus Maju.
Peralatan yang dipakai terdiri dari reaktor gliserolisis, pengaduk, motor pengaduk,
pemanas, termometer, termokontrol, termokopel,pendingin leibig, dan pompa vacuum.
Peralatan tersebut dirangkai seperti yang terlihat di gambar 1. Pompa vakum digunakan
untuk membantu proses pemisahan katalis dari campuran reaksi setelah reaksi selesai.
Percobaan dirancang dengan menggunakan metode rancangan komposisi tengah
(central composite design) 3 variabel bebas dan 3 level (level bawah, tengah dan atas).
Variabel yang dipilih sebagai variabel bebas adalah suhu reaksi (60 oC ; 75 oC ; 90 oC), rasio
gliserol/CPO (3 ; 4 ; 5), dan jumlah katalis %w (2 ; 3 ; 4). Sedangkan variabel lainnya dipilih
sebagai variabel tetap antara lain berat total campuran reaksi (300 gr), kecepatan
pengadukan (400 rpm), dan waktu reaksi (240 menit). Jumlah percobaan yang harus
dilakukan dihitung dengan menggunakan persamaan ( 2k + 2k + no) dimana k adalah
jumlah variavel bebas dan no adalah jumlah percobaan yang diulangi pada titik
pusat/tengah. Dengan menggunakan persamaan tersebut diketahui jumlah percobaan yang
harus dilakukan sebanyak 16 run percobaan. Rancangan percobaan juga dapat disusun
dengan bantuan Program Statistica 6 dan hasilnya disajikan dalam Tabel 3.

Parameter yang diamati selama percobaan berlangsung adalah kandungan mono dan
diasil gliserol dalam produk (gram). Selanjutnya data-data yang diperoleh diolah dengan
Program Statistica 6 untuk mendapatkan persamaan model matematis, grafik pareto, grafik
optimasi 3 dimensi dan grafik kontur permukaan. Grafik pareto digunakan untuk
mengetahui pengaruh variable terhadap hasil, grafik optimasi 3 dimensi dan kontur
permukaan dipakai untuk mendapatkan kondisi operasi optimum.
Tabel 3. Rancangan percobaan dengan metode rancangan komposisi tengah
Run
Suhu (oC)
Rasio Gli/CPO
Katalis (%)
Respon

64

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15(C)
16(C)

60.00
60.00
60.00
60.00
90.00
90.00
90.00
90.00
49.77
100.23
75.00
75.00
75.00
75.00
75.00
75.00

3.00
3.00
5.00
5.00
3.00
3.00
5.00
5.00
4.00
4.00
2.32
5.68
4.00
4.00
4.00
4.00

2.00
4.00
2.00
4.00
2.00
4.00
2.00
4.00
3.00
3.00
3.00
3.00
1.32
4.68
3.00
3.00

Y1
Y2
Y3
Y4
Y5
Y6
Y7
Y8
Y9
Y10
Y11
Y12
Y13
Y14
Y15
Y16

Keterangan :
1. statif & klem holder
2. labu leher tiga
3. water bath
4. motor pengaduk
5. pendingin liebig
6. termometer
7. pemanas
8. termokontrol
9. termokopel

4
6

1
2

3
9
7

Gambar 1. Rangkaian alat percobaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil karakterisasi bahan baku CPO menunjukkan bahwa CPO yang digunakan
mempunyai kandungan Asam Lemak Bebas (ALB) 9,66 % dan Bilangan Iod 67,3438. Hasil
percobaan proses gliserolisis minyak sawit dengan menggunakan pelarut tert-butanol
disajikan dalam Tabel 4 pada kolom Yo teramati. Data yang berasal dari percobaan tersebut

65

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

diolah dengan Program Statistica 6 sehingga diperoleh persamaan model matematis


(persamaan 1) yang menyatakan hubungan empiris antara berat hasil (gram) dengan
variabel percobaan yang diberi kode (X 1, X2dan X3). Dari persamaan model matematis
tersebut bisa dihitung hasil percobaan seperti yang tercantum dalam kolom Yp prediksi
Tabel 4. Hasil proses gliserolisis dari percobaan dan perhitungan dengan persamaan model
matematis bisa dibandingkan.
Tabel 4. Hasil percobaan dengan rancangan komposisi tengah dan hasil prediksi dengan
persamaan model matematis.
Run
X1
X2
X3
Yo teramati
Yp prediksi
(Yo-Yp)
1
60.00
3.00
2.00
10.950
22.097
-11.147
2
60.00
3.00
4.00
17.740
19.267
-1.527
3
60.00
5.00
2.00
15.140
15.924
-0.784
4
60.00
5.00
4.00
5.770
12.464
-6.694
5
90.00
3.00
2.00
36.090
33.074
3.016
6
90.00
3.00
4.00
14.330
17.225
-2.895
7
90.00
5.00
2.00
13.120
15.272
-2.152
8
90.00
5.00
4.00
6.260
-1.208
7.468
9
49.77
4.00
3.00
25.120
14.913
10.207
10
100.23
4.00
3.00
7.640
12.646
-5.006
11
75.00
2.32
3.00
36.290
30.601
5.689
12
75.00
5.68
3.00
9.420
9.908
-0.488
13
75.00
4.00
1.32
29.220
24.414
4.806
14
75.00
4.00
4.68
8.570
8.175
0.395
15
75.00
4.00
3.00
19.760
16.969
2.791
16
75.00
4.00
3.00
13.290
16.969
-3.679
Y = 61.1982 + 2.1331 X1 0.4303 X2 + 13.5092 X3 0.1938 X1X2 0.2170 X1X3 0.1575 X2X3
0.0050 X21 + 1.1611 X22 0.2386 X23
Keterangan :
X1: Variabel Suhu (oC)
X2: Variabel Rasio Gliserol/CPO
X3: Variabel Katalis (% w)
Y : Jumlah hasil (gram)
Dari gambar 2 (grafik pareto) terlihat bahwa harga efek variabel Rasio Gliserol/CPO
melebihi garis p=0,5 sedangkan harga efek dari variabel lain tidak melewati garis p=0,5. Ini
berarti bahwa variabel rasio gliserol/CPO merupakan variabel yang paling berpengaruh
terhadap jumlah produk, sedangkan pengaruh variabel yang lain terhadap hasil kurang
significant. Oleh karena itu kondisi operasi optimum dicari dengan melihat grafik optimasi
3 dimensi dan grafik kontur permukaan dari variabel rasio gliserol/CPO yang terdapat
pada gambar 3 (a, b, c, d, e dan f).
Pareto Chart of Standardized Effects; Variable: hasil (gr)
3 factors, 1 Blocks, 16 Runs; MS Residual=76.05385
DV: hasil (gr)
(2)rasio gliserol/cpo(L)

-2.60676

(3)% katalis(L)

-2.04572

Gambar 2. Grafik pareto efek terstandarisasi dari berat hasil


1Lby3L

-1.05569

1Lby2L

-.942984

rasio gliserol/cpo(Q)

.4053087
suhu(Q)

-.393588

(1)suhu(L)
% katalis(Q)
2Lby3L

-.285492

66

-.083283
-.051082
p=.05
Standardized Effect Estimate (Absolute Value)

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Universitas


Gadjah Mada
1

Fitted Surface; Variable: hasil (gr)


3 factors, 1 Blocks, 16 Runs; MS Residual=76.05385
DV: hasil (gr)
6.0

*)Corresponding Author. E-mail :


agungpambudi81@yahoo.com

5.5
5.0
rasio gliserol/cpo

Fitted Surface; Variable: hasil (gr)


3 factors, 1 Blocks, 16 Runs; MS Residual=76.05385
DV: hasil (gr)

4.5
4.0
3.5
3.0
2.5
2.0

40

50

60

70

80

90

100

30
20
10
0
-10

110

suhu

(3.a)

(3.b)
30
20
10
0
-10

Fitted Surface; Variable: hasil (gr)


3 factors, 1 Blocks, 16 Runs; MS Residual=76.05385
DV: hasil (gr)

Fitted Surface; Variable: hasil (gr)


3 factors, 1 Blocks, 16 Runs; MS Residual=76.05385
DV: hasil (gr)
5.0
4.5
4.0

% katalis

3.5
3.0
2.5
2.0

40
30
20
10
0

(3.c)

1.5
1.0

2.0

2.5

3.0

3.5

4.0

4.5

5.0

5.5

rasio gliserol/cpo

(3.d)

Gambar 3. Grafik optimasi 3 dimensi dan kontur permukaan untuk variabelvariabel


berikutini:
1. Grafik(a)dan(b)untukvariabelsuhu(oC)danrasiogliserol/CPO.
2. Grafik(c)dan(d)untukvariabelrasiogliserol/CPOdankatalis(%).
Gambar 3 (a), (b), (c), (d) menunjukkan bahwa grafik optimasi 3 dimensi dan kontur
permukaan tidak bisa memberikan informasi kondisi operasi proses gliserolisis yang
memberikan hasil optimum. Hubungan antara jumlah hasil dengan variabel rasio
gliserol/CPOcenderungberbentukliniersehinggatidakbisaditentukantitikoptimumnya.
Hasil optimum/maksimal dapat dicapai jika rasio gliserol/CPO antara 13 dan harga
variabelsuhupadakisaran75100 oCsedangkanhargavariabelkatalisberadapadakisaran
1%2%.

67

6.0

40
30
20
10
0

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

KESIMPULAN
3.
Variabelrasiogliserol/CPOmerupakanvariabelyangpalingberpengaruh.
4.
Kondisioptimumbisadicapaijikarasiogliserol/CPOantara13danharga
variabel suhu pada kisaran 75100 oC sedangkan harga variabel katalis berada pada
kisaran1%2%.

DAFTARPUSTAKA
Anonym, (2005),Blueprint Rencana Pengembangan CPOdanProdukTurunannya,Balitbang
Deptan,Jakarta.
Anonym, (2006),Laporan Perdagangan CPO dan Olein, Jakarta Future Exchange, Jakarta.
BPS, (2000-2005), Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia vol 2 Jakarta.
Budi, F.S, et al (2001), Pengembangan Proses Konversi Minyak Sawit (CPO) menjadi
Polyurethane, Thesis, Program Pascasarjana ITB, Bandung.
Corma A. et.al (1997),Catalysts for the Production fine Chemicals-Production of Food Emulsifiers,
Monoglycerides, by Glycerolysis ofa fats Solid base Catalysts, Journal of Catalysia vol 173,
hal: 315-321
Cornell J.A., et al. (1990),How to Apply Response Surface Methodology in USA, American
Society for Quality Control
Deffense E. et al (1985),Fractionation of Palm Oil Journal American Oil Chemistry Society
vol 62 hal : 376 - 385
George et. al (1992),Lipid Profile of Process of Palm Oil, Journal America Oil Chemistry
Society: vol 69 , page : 283-287.
Guo Z.et al, (2006),Lipase-Catalyzed Glycerolysis of Fat and Oils in Ionic Liquid, Journal of
Royal Society of Chemistry vol 8; hal 54 62
Kaewthong W, et al, (2005), Continuous Production of Monoacylglycerols by Glycerolysis of Palm
Olein with Immobilized Lipase, Journal of Process Biochemistry, Elsevier, vol 40 hal
1525-1530.
Kaewthong W, et al, (2004), Glycerolysis of Palm Olein by Immobilized Lipase PS in Organic
Solvent, Journal Enzim and Microbial Technology, Elsevier, vol 35 hal 218-222.
Kristensen J.B., et al, (2005),Process Optimization Using Respon Surface Design and Pilot Plant
Production of Dietary Diacylglycerols by LipaseCatalyzed Glycerolysis, Journal of
Agricultural and Food Chemistry vol 53 hal. 7059-7066.
Marianne L, et al, (2006),Evaluation of Binary Solvent Mixtures For Efficient Mono Acyl
Glycerol Production By Continuous Enzymatic Glycerolysis, Journal of Agricultural and
Food Chemistry vol 54 Hal. 7113-7119
Noureddini H. et. al, (1997), Glycerolysis of Fats and Methyl Esters, Journal of Biomaterials,
University of Nebraska, Lincoln.
Noureddini H. et. al, (2004), A Continuous Process For The Glycerolysis of Soybean Oil,
Journal of American Oil Chemistry Society vol 81 no 2 Hal. 203-207

68

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

KONTROVERSI PEMBANGUNAN PLTN PERTAMA


INDONESIA: SUATU KAJIAN KOMPARATIF
Sahala M. Lumbanraja1
Abstrak
Pertumbuhan energi listrik Indonesia sebesar 710% setiap tahun , dan penambahan
kapasitas listrik terpasang diperkirakan sebesar 27.100 MWe hingga tahun 2010.
Agenda percepatan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan
bakar batubara sebesar 10.000 MWe merupakan proyek yang dianggap sebagai satusatunya jalan untuk memenuhi kebutuhan pasokan, disisi lain pembangkit berbahan
bakar fosil merupakan kontributor utama terhadap pencemaran lingkungan, yaitu
sebesar 87 %. Untuk mendukung Protol Kyoto, pemerintah Indonesia akan
meningkatkan pertumbuhan pembangkit listrik berbahan bakar yang ramah
lingkungan yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 5/2006 tentang target
dari Bauran Energi Nasional (Nacional Energy Mix) hingga tahun 2025, dimana opsi
energi batubara 33 %, gas 30 %, minyak 20 %, biofuel 5 %, geotermal 5 %, batubara
cair 2 %, hidro 2,61 %, angin 0,0301 %, biomassa 0,7417 % dan nuklir 1,4032 %.
Masuknya opsi nuklir pada Bauran Energi Nasional telah menimbulkan kontroversi di
tengah masyarakat, khususnya di kabupaten Jepara Jawa Tengah yang merupakan
lokasi pembangunan PLTN pertama di Indonesia. Makalah ini akan membahas kajian
komparatif terhadap kelebihan/kekurangan PLTN dibandingkan dengan berbagai
pembangkit berbahan bakar lain sehingga masyarakat dapat menerima kehadiran
PLTN, juga membahas opsi yang paling realistik untuk mengurangi emisi gas rumah
kaca, khusus karbon dioksida. Ada 4 opsi yang paling realistik untuk mengurangi
emisi gas rumah kaca, yaitu meningkatkan efisiensi pembangkit & penggunaanya;
mengembangkan penggunaan sumber energi terbarukan seperti angin, solar, biomassa
& geotermal; menangkap bahan pencemar gas rumah kaca dari pembangkit berbahan
bakar fosil; dan pemanfatan PLTN.
Kata kunci: kontroversi, PLTN, energi terbarukan
Pusat Pengembangan Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional
Email: sahala_radja@yahoo.com
1

69

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

PENDAHULUAN
Pro kontra rencana pembangunan PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir) pertama
telah menyita banyak perhatian masyarakat. Masyarakat yang kontra lebih banyak
menyoroti sisi negatif PLTN dibandingkan sisi positifnya, sedangkan yang pro lebih banyak
menyoroti sisi positifnya untuk memasok kebutuhan energi dalam jangka panjang.
Energi merupakan kekuatan sentral untuk menyokong semua kegiatan suatu
bangsa, dengan demikian kemampuan memasok energi menjadi ukuran keberlangsungan
suatu bangsa atau negara. Jika kemampuan memasok energinya kecil maka negara tersebut
terancam runtuh. Semakin maju suatu negara semakin besar cadangan energi yang
dibutuhkan untuk menjaga ketersedian pasokan dalam menggerakkan roda
perekonomiannya.
Komsumsi energi primer Indonesia didominasi oleh energi fosil
(93%),
sedangkan sisanya terdiri dari energi air (hidro) dan panas bumi (geotermal). Demikian
halnya dengan energi listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik di Indonesia sampai
saat ini masih didominasi oleh pembangkit berbahan bakar, sisanya dihasilkan dari
pembangkit tenaga air dan panas bumi. Total kapasitas listrik terpasang sekitar 25.681
MWe yang terdiri dari 22.231 MWe (86,6 %) diproduksi oleh PLN dan 3.450 MWe (13,4 %)
diproduksi oleh perusahaan listrik swasta(Statistik Energi Nuklir 2005). Sumber energi
untuk pembangkit listrik dunia terdiri dari energi fosil sebesar 64 % (batubara 39 %, minyak
10 %, gas 15 %), hidro 19 % , PLTN 16 %, dan pembangkit energi lain 1 % (Statistik Energi
Nuklir, 2005).
Seleksi jenis pembangkit listrik yang mudah disesuaikan dengan pasokan dan
permintaan (supply & demand) cukup rumit karena harus mempertimbangan faktor biaya
dan keandalan. Untuk memenuhi tuntutan ini, maka berbagai jenis sumber pembangkit
lsitrik yang akan digunakan perlu dikaji secara mendalam. Fluktuasi pasokan listrik dari
pembangkit listrik tenaga air (hidro), surya dan angin sering terjadi karena sangat
tergantung pada kondisi cuaca, sedangkan yang bersumber dari energi fosil dan nuklir
cukup stabil. Oleh karena itu, untuk menjamin pasokan energi listrik yang andal,
pembangkit berbahan bakar fosil dan nuklir menjadi pilihan paling dominan memenuhi
kebutuhan di masa akan datang.
Energi fosil merupakan penyumbang utama pencemaran lingkungan yaitu 87%,
sedangkan kontribusi energi nuklir dan hidro hanya sekitar 6 %. Penggunaan energi fosil
yang sangat dominan untuk kebutuhan energi mengakibatkan pencemaran lingkungan dan
pemanasan global yang semakin parah. Gerakan sadar lingkungan semakin gencar
dikampanyekan dimana-mana, terutama oleh Lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Gerakan sadar lingkungan yang dimotori oleh LSM menyadarkan para pemimpin dunia
dan badan PBB. Oleh karena itu, masyarakat internasional melalui PBB mensponsori
berbagai agenda penyelamatan lingkungan, seperti Agenda Helsinki, Agenda Rio de
Jeneiro, Agenda Madrid, Protokol Kyoto dan Climate Change Bali. Pertemuan ini mendesain
dan mengimplementasikan strategi berkelanjutan sektor energi. Emisi gas rumah kaca
dapat dikurangi dengan meningkatkan efisiensi pembangkit & penggunaanya;
mengembangkan penggunaan sumber energi terbarukan; menangkap bahan pencemar gas
rumah kaca dari pembangkit berbahan bakar fosil; dan pemanfatan PLTN.

70

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Makalah ini membahas kajian komparatif kelebihan dan kekurangan dari berbagai
sumber energi untuk pembangkit listrik (konvensional maupun non-konvensional) sehingga
dapat menjadi bahan pertimbangan baik pemerintah maupun masyarakat pengguna untuk
dapat dengan bijak memilih jenis pembangkit yang paling tepat dibangun di Indonesia.
Faktor Yang Mempengaruhi Pilihan Pembangkit Listrik
Secara umum pilihan jenis pembangkit listrik yang akan dibangun dipengaruhi oleh
faktor biaya pembangkitan (keekonomian), keamanan pasokan, lingkungan (sosial), dan
politik. Bagi perusahaan swasta, faktor biaya dan keamanan pasokan merupakan
pertimbangan utama dalam menentukan jenis pembangkit yang akan dibangun, sedangkan
bagi pemerintah sangat tergantung kondisi negara itu sendiri.
Penerimaan masyarakat pada berbagai jenis pembangkit listrik umumnya hanya
didasarkan pada pertimbangan ekonomi semata sedangkan masalah lingkungan yang
berpengaruh langsung terhadap masyarakat kurang mendapat perhatian. Misalnya, jika ada
dua jenis pembangkit listrik yang berbeda ditawarkan kepada masyarakat maka faktor
utama yang pertama-tama diperhatikan adalah berapa biaya pembangkitan yang harus
dibayar (biaya per kWh), sedangkan faktor-faktor yang lain umumnya kurang mendapat
perhatian, misalnya faktor lingkungan. Akibat dari persepsi ini maka pencemaran dan
kerusakan lingkungan akan semakin parah.

Faktor biaya pembangkitan


Umumnya, faktor biaya pembangkitan menjadi faktor utama dalam menentukan
jenis pembangkit listrik yang akan dibangun. Pembangkit listrik dengan biaya
pembangkitan yang paling murah menjadi faktor dominan dalam menentukan pilihan.
Proyeksi biaya pembangkitan tahun 2005 2010 di beberapa negara ditunjukkan pada Tabel
1 (http://www.uic.com.au/nip08.htm)
Tabel 1. Proyeksi biaya pembangkitan listrik tahun 2005-2010 di beberapa negara
Nuklir
(US/kWh)

Batubara (US/kWh)

Gas
(US/kWh)

Jepang

5,75

5,58

7,91

Korea Selatan

3,07

3,44

4,25

Amerika Serikat

3,33

2,48

2,71

Perancis

3,22

4,64

4,74

Rusia

2,69

4,63

3,54

Kanada

2,96

2,96

3,00

Negara

Faktor keamanan pasokan


Krisis energi listrik akan mengakibatkan terganggunya stabilitas keamanan sesuatu
negara. Pasokan listrik yang stabil akan memberikan rasa aman bagi konsumen Manajemen
pasokan dan permintaan (supply & demand) energi listrik merupakan kendala utama, karena
laju produksinya tidak selalu konstan dan harus disesuaikan dengan laju permintaan
konsumen setiap saat. Energi listrik tidak mudah disimpan dan umumnya harus langsung
disalurkan ke konsumen, sehingga pasokan dan permintaan selalu berfluktuasi setiap saat.

71

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Agar keamanan pasokan listrik terjamin, maka perlu dilakukan strategi manajemen bauran
energi (energy mix) dan tidak dapat hanya mengandalkan pada satu jenis pembangkit listrik.
Keamanan pasokan untuk setiap pembangkit listrik adalah berbeda-beda, misalnya listrik
bersumber dari hidro, angin dan surya sangat tergantung pada kondisi cuaca, sedangkan
PLTU dan PLTN cukup andal karena hampir tidak tergantung pada kondisi cuaca.
Faktor lingkungan
Perubahan iklim global akibat perncemaran gas rumah kaca yang dihasilkan oleh
energi berbahan bakar fosil menyadarkan masyarakat dunia. Komitmen untuk menjaga
lingkungan global ini juga telah diwujudkan dengan diberlakukannya standar internasional
yang menitikberatkan pada aspek lingkungan dari komoditi yang diperdagangkan (ISO
14000).
Emisi CO2 yang terus meningkat menjadi isu penting yang terus dikaji untuk
meminimalkannya, guna mengurangi sebesar mungkin efek yang ditimbulkannya.
Kontribusi peningkatan CO2 dari beberapa pembangkit energi terhadap lingkungan
ditunjukkan oleh Gambar 1 (IAEA, 1997).

Gambar 1. Kontribusi peningkatan CO2 dari beberapa pembangkit energi terhadap


lingkungan

Faktor politik
Pertimbangan pilihan terhadap jenis pembangkit listrik yang akan dibangun di
beberapa negara banyak dipengaruhi faktor politik, sehingga pilihan terkadang kurang
objektif. Seharusnya faktor keekonomian, keamanan dan lingkungan menjadi pertimbangan
utama dalam menjatuhkan pilihan jenis pembangkit yang akan dibangun.
Analisis Resiko
Pandangan masyarakat terhadap resiko pembangkit listrik memiliki konsekuensi
terhadap penerimaan pembangkit itu sendiri. Pandangan resiko yang negatif dapat
menyulitkan usaha penerimaan pembangkit tesebut, baik pada tahap perencanaan maupun
pada tahap pengoperasian pembangkit. Dengan demikian pandangan resiko pembangkit ini
perlu diakomodasikan dalam
proses pengambilan keputusan, khususnya
yang
menyangkut masyarakat luas.

72

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Sistem energi berhubungan langsung dengan lingkungan dan kesehatan.


Konsekuensi dari penggunaan energi merupakan bagian dari biaya sosial yang akan
ditanggung lingkungan, yaitu berupa polusi udara, air, dan tanah. Semua aktivitas manusia
mempunyai resiko dengan tingkatan yang berbeda-beda, baik yang dirasakan maupun
tidak.
Masyarakat harus memahami berbagai resiko pemanfaatan energi saat melakukan
penilaian terhadap pembangkit yang akan dipilih. Penilaian ini mungkin diwarnai penilaian
positif maupun negatif. Perbedaan penilaian secara persepsi maupun secara realitas
menyebabkan masalah sosio-ekonomi di saat memilih teknologi pembangkit yang akan
digunakan. Faktor lain yang menambah kompleksitas masalah ini adalah kesalahan data
dan ketidaksempurnaan evaluasi saat mendefinisikan ruang lingkup permasalahan.
Di negara maju, pilihan sumber energi lebih didasarkan pada issu lingkungan
daripada biaya pembangkitan, sedangkan di negara sedang berkembang masih cenderung
didasarkan pada sisi biaya pembangkitan dan umumnya mengabaikan pencemaran
lingkungan.
Untuk meminimalkan dampak negatif dari pembangkit listrik, berbagai cara
pengaturan telah diterapkan sesuai dengan prinsip peminimalan sumber bahaya. Pilihan
terhadap pembangkit listrik harus mempertimbangkan dan menerapkan batas polutan
dengan tingkat toksisitas dan resiko yang paling minimal pengaruhnya terhadap
lingkungan. Dengan demikian, ada usaha untuk mengurangi polusi secara bertahap
sehingga kualitas lingkungan dan lapisan ozon semakin baik. Oleh karena itu, banyak
negara telah menyepakati perlu dilakukan penyelamatan lingkungan.
Beberapa sumber energi yang tersedia di dunia seperti batubara, minyak, hidro,
gas, matahari, angin, biomassa, nuklir, dan lain-lain dengan berbagai keuntungan dan
kekurangannya
ditunjukkan
pada
Tabel
2
(http:/www.cannon.net/~gonyeau/nuclear/reasons1.htm).
Cadangan Energi Indonesia
Total cadangan energi fosil terbukti adalah minyak bumi 9 B bbl, gas 182 TSCF, dan
batubara 19 milyar ton, sedangkan energi terbarukan adalah hidro 76 GW, geotermal 27 GW,
mikrohidro 459 MW, biomassa 50 GW, angin 9,29 GW, dan nuklir 3 GW. Potensi energi fosil
dan energi terbarukan di Indonesia saat ini dapat dilihat pada Tabel 3(Emy Perdanahari,
2006).
Tabel 2. Keuntungan dan kerugian berbagai jenis pembangkit energi
Sumber

Keuntungan

Batubara

- tidak mahal
- mudah diperoleh

Nuklir
Fisi

- bahan bakar tidak mahal


- merupakan sumber yang paling
terkonsentrasi
- limbah lebih kompak dari pada

Kerugian
- membutuhkan biaya pengendalian polusi udara
(seperti, merkuri, SO2, CO2)
- kontributor besar terhadap hujan asam dan
pemanasan global
- membutuhkan
sistem
transportasi
yang
ekstensif
- membutuhkan biaya modal yang besar
- membutuhkan penyimpanan limbah radiasi
tinggi
- isu proliferasi nuklir potensial

73

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Hidro

Gas/
minyak

sumber lain
- mudah untuk transportasinya
- tidak menimbulkan efek rumah
kaca atau hujan asam
- biaya operasional tidak mahal
setelah waduk dibangun
1. bersih lingkungan
- pengaruh ekonomi (dapat untuk
budidaya ikan, wisata)
- sistem distribusi baik untuk
penggunaan yang bergerak
- mudah diperoleh
- lebih baik sebagai sumber energi
pemanas ruangan

Angin

- angin tersedia bebas


- sumber yang baik untuk pompa air

Matahari

- sinar matahari gratis bila tersedia

Biomass
a

- industri dalam masa pertumbuhan


- dapat
menciptakan
pekerjaan
karena pembangkit yang kecil

- sumber terbatas dan tergantung ketinggian air


- banyak waduk dibutuhkan untuk menjaga
ketersediaan energi
- kerusakan lingkungan untuk area yang
terendam
- ketersediannya terbatas
- merupakan kontributor utama pemanasan
global saat ini
- mahal untuk energi pembangkitan.
- gejolak harga yang tinggi antara suplai dan
permintaan.
- terbatas untuk beberapa area
- perawatan instalasi mahal
- penyimpanan energi mahal (batere)
- sangat tergantung pada iklim
- pengaruh ekologi (mempengaruhi pergerakan
burung)
- terbatas untuk daerah sub-tropis dan kutub
- membutuhkan
material
khusus
untuk
cermin/panel yang dapat mempengaruhi
lingkungan
- teknologi yang berkembang membutuhkan
sejumlah lahan untuk sejumlah kecil energi
pembangkitan
tidak efisien jika pembangkit kecil
digunakan
dapat menjadi kontributor pemanasan
global
karena bahan bakar mempunyai
kandungan panas yang rendah.

Pertumbuhan konsumsi energi primer Indonesia dari tahun 1970 hingga 2004
sebesar 8,5 %, tetapi pasca krisis ekonomi pertumbuhan konsumsi energi primer hanya 5,5
%. Pada tahun 2004 konsumsi energi primer didominasi oleh energi fosil sebesar 93%
(minyak 53 %, gas 19 % dan batubara 21 %), energi air (hidro) sebesar 4 %, dan geotermal
sebesar 3 %(Statistik Energi Nuklir 2005).
Produksi listrik Indonesia pada tahun 2003 bersumber dari energi fosil sebesar
80% (batubara 52 %, BBM 5 %, gas 23 %), hidro 9 % dan panas bumi 9 % dengan kapasitas
listrik terpasang sekitar 25.681 MWe yang terdiri dari 22.231 MWe (86,6 %) diproduksi oleh
PLN dan 3.450 MWe (13,4 %) diproduksi oleh perusahaan listrik swasta. Sedangkan sumber
energi untuk pembangkit listrik dunia terdiri dari energi fosil sebesar 64 % (batubara 39 %,
minyak 10 %, gas (15 %), hidro 19 % , PLTN 16 %, dan lain-lain 1 %(Statistik Energi Nuklir
2005).

74

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Tabel 3. Potensi Energi Primer dan Terbarukan di Indonesia


A. Potensi Energi Fosil (2006)
Jenis Energi
Minyak
Gas
Batubara

Total Cadangan
87 milyar barrel (B bbl)
385 TSCF
57 milyar ton (B tons)

Total Cadangan Terbukti


9 B bbl
182 TSCF
19 milyar ton

B. Potensi Energi Terbarukan (2004)


Jenis Energi
Hidro
Panas bumi
Mini/mikrohidro
Biomasa
Surya
Angin
Nuklir

Total Cadangan
76 GW
27 GW
459 MW
50 GW
4,8 kWh/m2/hari
9,29 GW
3 GW (hanya di Kalan)

Terpasang
4.200 MW
807 MW
206 MW
445 MW
8 MW
0,6 MW

PEMBAHASAN
Krisis energi yang dialami Indonesia akhir-akhir ini benar-benar mulai memberi
dampak kerugian. Pemadaman listrik bergilir dan pembatasan daya untuk keperluan
industri sangat menggangu kenyamanan masyarakat dan kalangan industri. Peningkatan
permintaan energi, khususnya kebutuhan energi listrik, tidak diikuti peningkatan
infrastruktur kelistrikan dalam negeri. Pemerintah sendiri terlihat menyadari seriusnya
masalah energi di Indonesia akhir-akhir ini. Strategi bauran energi 2025 mulai diterapkan
seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi
Nasional, dimana energi nuklir dan bahan bakar nabati akan ikut berperan, yaitu sebesar
1,4032% dan 0,7417%.
Untuk mengatasi kekurangan pasokan listrik dalam jangka pendek akan dibangun
pembangkit listrik berbahan bakar batubara sebanyak 10.000 MWe di berbagai daerah di
Indonesia. Pembangunan ini akan mengakibatkan beban lingkungan semakin besar. Sebagai
gambaran, untuk membangkitkan energi listrik 1000 MW dengan batubara bersulfur tinggi
akan menghasilkan kira-kira 44.000 ton sulfur dioksida, 22.000 ton nitrogen oksida, 320.000
ton abu yang terdiri dari 400 ton logam berat (arsen, kobal, merkuri, nikel, vanadium dan
timah) dan 60.000.000 ton karbon dioksida per tahun.
Agenda Kyoto menerapkan berbagai prasyarat yang semakin ketat, yaitu sumber
energi yang ramah lingkungan. Sumber energi yang paling kecil pencemarannya akan
menjadi pilihan utama. Sekarang ini pilihan energi masih banyak didasarkan pada faktor
ekonomi semata dan kurang memperhatikan faktor lingkungan. Pengembangan teknologi
pembangkit harus dapat mengurangi pencemaran dan juga harus dapat mempertinggi
efisiensi baik dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Hal ini mendukung pasokan

75

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

energi berkelanjutan dan menekan tingkat pencemaran yang paling kecil, serta perlu
menerapkan strategi bauran energi optimal.
Opsi paling realistik untuk mengurangi emisi gas rumah kaca adalah dengan cara
meningkatkan efisiensi pembangkit & penggunaannya; mengembangkan penggunaan
sumber energi terbarukan seperti angin, solar, biomassa & geotermal; meminimalkan bahan
pencemar gas rumah kaca dari pembangkit berbahan bakar fosil; dan memanfatkan PLTN.
Dari Tabel 2 disajikan berbagai sumber energi dari sisi keuntungan dan kerugian. Gambar 1
menunjukkan bahwa energi nuklir dan hidro merupakan kontributor terkecil pada
peningkatan CO2 global. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa energi nuklir,
khususnya energi fisi merupakan sumber energi alternatif yang cukup bagus.
Agar kontribusi nuklir lebih signifikan dalam pengimplementasian strategi
ketersediaan listrik berkelanjutan, maka nuklir harus dipicu lebih kompetitif dibanding
pembangkit berbahan bakar fosil dengan cara meningkatkan penerimaan masyarakat
terhadap energi nuklir. Biaya modal (capital cost) merupakan masalah utama dari sebuah
pembangkit nuklir, karena lebih setengah dari total biaya pembangkitan berasal dari biaya
ini, sedangkan untuk pembangkit tenaga uap gas dan batubara, bahan bakar merupakan
penyumbang terbesar dari total biaya pembangkitan, yaitu kira-kira 40% hingga 80 %.
Besarnya biaya modal (capital cost) merupakan kendala utama PLTN dalam persaingan
dengan pembangkit gas dan batubara, khususnya bila discount rate yang dipatok cukup
tinggi. Investor pembangkit nuklir harus dapat menerima pengembalian modal mereka
untuk jangka panjang agar pembangkit nuklir dapat bersaing dalam hal biaya
pembangkitan. Oleh karena itu, biaya investasi yang kecil merupakan prasyarat untuk
peningkatan daya saing pembangkit nuklir. Hasil studi yang dilakukan NEA (Nuclear
Energy Agency) mengindentifikasi bahwa untuk mengurangi biaya modal PLTN yang paling
signifikan adalah ukuran pembangkit, membangun beberapa pembangkit dalam satu tapak,
peningkatan disain, standarisasi, modularisasi, dan peningkatan unjuk kerja. Jika beberapa
unit pembangkit dibangun pada lokasi sama dengan jenis yang sama maka biaya
pembangkitan akan semakin murah.
Penerimaan masyarakat pada energi nuklir dapat ditingkatkan dengan cara
mengkaji dan mengembangkan berbagai prasyarat:
- Kepercayaan masyarakat. Prasyarat utama energi nuklir adalah dapat membuktikan
dan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada pengoperasian dan pengendalian
reaktor. Program pemasyarakatan secara terpadu dan terus-menerus diharapkan dapat
meningkatkan penerimaan terhadap energi nuklir.
- Persepsi energi nuklir merupakan energi bersih. Energi nuklir harus dibuktikan lebih
bersih dan lebih aman bagi lingkungan daripada energi lain. Dari berbagai hasil studi
yang dilakukan terbukti energi nuklir mempunyai kelebihan karena tidak menghasilkan
asap dan abu bahkan polusinya sangat kecil terhadap lingkungan.
- Persepsi kebutuhan. Keterbatasan, kelemahan berbagai bentuk energi dan peningkatan
jumlah penduduk akan mengakibatkan kenaikan permintaan energi. Faktor-faktor ini
akan menyadarkan masyarakat untuk mencari berbagai bentuk sumber energi yang
murah dan bersahabat terhadap lingkungan. Dari studi yang telah dilakukan,
kebutuhan energi dunia diperkirakan akan meningkat 2 kali lipat untuk 100 tahun
mendatang .
- Isu limbah radioaktif. Persepsi masyarakat akan kehadiran energi nuklir sampai saat ini
masih negatif karena limbah radioaktif yang dihasilkannya. Oleh karena itu perlu dicari

76

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

teknologi pengolahan dan pengamanan yang dapat mengurangi pengaruh negatif


limbah ini.
Harmonisasi sistem keselamatan. Faktor utama yang perlu diperhatikan dan
dikembangkan untuk energi nuklir masa depan yaitu:
standarisasi keselamatan menjadi faktor utama untuk semua pengguna energi
nuklir,
- keselamatan menjadi issu pokok, dan
- industri nuklir menjadi perusahaan multinasional.

Faktor-faktor di atas perlu lebih ditingkatkan untuk mendapatkan penerimaan dan


pengakuan masyarakat akan pentingnya kehadiran energi nuklir untuk mendukung
ketersediaan pasokan energi listrik di masa datang.
KESIMPULAN
1.

2.

3.

4.

5.

Masuknya opsi nuklir dalam rencana umum kelistrikan nasional (RUKN), maka
peluang pembangunan PLTN untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di Indonesia
semakin besar PLTN merupakan salah satu solusi mengurangi pencemaran lingkungan
dan pemanasan global.
Secara teknis, tidak ada satupun pembangkit energi yang dapat mengklaim bahwa
teknologi pembangkit yang satu lebih unggul dan baik daripada yang lain. Setiap
teknologi pembangkit energi listrik mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Umumnya penerimaan masyarakat pada salah satu teknologi energi listrik lebih banyak
dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan ketersediaan pasokan dibandingkan dengan
faktor lingkungan khususnya untuk negara-negara sedang berkembang.
Kesadaran masyarakat dunia terhadap dampak negatif dari pemanasan global
membuka peluang yang sangat besar bagi kehadiran energi nuklir untuk menggantikan
energi fosil yang banyak digunakan selama ini.
Penolakan masyarakat Jawa Tengah khususnya masyarakat Jepara terhadap
pemanfaatan PLTN dapat diminimalisir apabila masyarakat paham akan kelebihan dan
kekurangan pembangkit ini. Oleh karena itu, sosialisasi perlu dilakukan secara baik dan
berkesinambungan.

DAFTAR PUSTAKA
NEI (2000), Nuclear Energy Key for Developing Nation to Meet Carbon Reduction Goals,
Climate; http://www.nei.org/newsanvedents/developingnationsgoal/
Kompas,Asia Timur Sepakati Energi Alternatif, Kompas 16 Januari 2007, hal. 2
Evelyne Bertel and Joop Van de Vate, (1995) Nuclear Eenergy & The Environmental
Debate: The Content of Choices, IAEA Bulletin, 4/1997, pp. 2 7
PPEN-BATAN, Statistik Energi Nukir 2005
Emy Perdanahari, (2006), Power Development Plan in Indonesia, Seminar on Nuclear
Power Plant For Public Information , Jakarta
Eric S. Beckjord, et.al.,(2003) The Future of Nuclear Power- Overview and Conclusions,
The Future of Nuclear Power , Massachusetts Institute of Technology, pp. 1-16
IAEA-Tecdoc-1391, (2004), Current Status and Future Potential of Nuclear Power, Status of
Advanced Light Water Reactor, pp. 15 28

77

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

The Economics of Nuclear Power, (2001), http://www.uic.com.au/nip08.htm


IAEA, "Sustainable Development and Nuclear Power, IAEA 1997
Why use Nuclear Power? http:/www.cannon.net/~gonyeau/nuclear/reasons1.htm
J.F. van de Vate, L.L. Bennet, (1993), Nuclear Power and Its Role in Limiting Emissions of
Carbon Dioxide; IAEA Bulletin, Vol. 35, No 4, pp.20 - 26

STUDI UNJUK KERJA PWR DI NEGARA PENYEDIA


TEKNOLOGI KASUS AMERIKA DAN PERANCIS
Sriyana
Abstrak
Pertumbuhan ekonomi nasional perlu dukungan infrastruktur listrik yang cukup. Berbagai
alternatif sumber energi dicari untuk menjaga kesinambungan pasokan listrik ini, sekaligus
keberlangsungan pembangunan ekonomi. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN)
menjadi alternatif pembangkit listrik sebagai solusi bauran energi optimum di Indonesia dan
direncanakan untuk beroperasi tahun 2016. Berbagai studi telah dilakukan untuk
mempersiapkan pembangunannya. Studi ini memfokuskan pada unjuk kerja PLTN tipe
PWR di Eropa dan Amerika, yakni negara Perancis dan Amerika Serikat. Metode yang
digunakan pada studi ini adalah penelusuran literatur dan analisis unjuk kerja pada Negara

78

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

penyedia teknologi PWR. Parameter yang digunakan untuk studi ini adalah faktor
ketersediaan energi rata-rata tiap unit tiap tahun. Studi ini menyimpulkan bahwa: (1)
Jumlah PLTN tipe PWR di Perancis sebanyak 58 unit dengan umur operasi total sebesar
1.248 reaktor-tahun dengan faktor ketersediaan energi rata-rata tiap unit tiap tahun sebesar
75,6%. Sementara itu tipe yang sama di Amerika sebanyak 69 unit dengan umur operasi
total sebesar 1.832 reaktor-tahun dengan faktor ketersediaan energi rata-rata tiap unit tiap
tahun sebesar 77,6%. (2) PWR kelas 1000 MWe Amerika memiliki sebanyak 56 unit dengan
umur rata per unit 25,1 tahun dan faktor ketersediaan rata-rata sebesar 79,1%. Sementara
Perancis memiliki 34 unit dengan umur rata-rata 25,5 tahun dan faktor ketersediaan sebesar
75,8%. (3) Besaran faktor ketersediaan energi rata-rata biasanya mendekati besaran faktor
kapasitas, untuk itu dirasa penting sebagai masukan dalam penetapan asumsi parameter
tekno-ekonomis. Hal ini akan berpengaruh dalam hasil perhitungan ekonomi PLTN secara
keseluruhan (4) Faktor perkembangan teknologi juga harus dipertimbangkan dalam
melakukan penilaian unjuk kerja. Menurut data yang ada menunjukkan bahwa teknologi
yang relatif baru akan mempunyai unjuk kerja yang lebih baik.
Kata kunci: Amerika; faktor ketersediaan energi; PWR; Perancis; unjuk kerja PLTN

PENDAHULUAN
Latar belakang
Kondisi energi dan kelistrikan Indonesia akhir-akhir ini cukup membuat para
pemangku kepentingan berfikir dan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Hal ini dirasakan semenjak harga minyak naik dari sekitar US$ 40 per barel menjadi US$ 70
per barel pada tahun 2005, dan hingga saat ini harga minyak mencapai lebih dari US$ 100
per barel. Dampak langsung dari kenaikan harga minyak yang dirasakan sektor kelistrikan
adalah kenaikan biaya pembangkitan listrik, dan bagi pemerintah adalah naiknya beban
biaya subsidi yang harus diberikan kepada PLN sebagai konsekuensi kebijakan tidak
menaikkan tarif listrik dan BBM.
Pusat Pengembangan Energi Nuklir, BATAN
Email: yana@batan.go.id, sriyana@writeme.com

Tindakan untuk meningkatkan efisiensi dan konservasi terus dilakukan. Tindakan


yang mengemuka saat ini dan cukup ramai dibicarakan adalah penerapan insentif dan
disinsentif penggunaan/konsumsi listrik. Bagi yang melakukan penghematan akan
diberikan insentif dan bagi yang menggunakan daya listrik melebihi batas angka
penghematan, akan dikenakan disinsentif. Meskipun penerapan kebijakan insentif ini akan
dilakukan dalam waktu dekat, namun dirasakan masih perlu sosialisasi agar masyarakat
konsumen listrik lebih bisa menerima kebijakan yang bertujuan untuk penghematan.
Terlepas dari hal tersebut yang perlu segera ditindaklanjuti adalah pentingnya
penyediaan infrastruktur bagi pembangunan ekonomi, yakni tersedianya listrik. Disadari
pula bahwa pertumbuhan pembangunan nasional melalui pengembangan pada sektor
industri memerlukan penyediaan energi yang cukup besar.

79

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Dalam rangka memenuhi kebutuhan listrik nasional pemerintah menerapkan


berbagai kebijakan, dan salah satunya adalah kebijakan diversifikasi energi. Sumber energi
primer yang digunakan hingga saat ini lebih banyak berorientasi pada penggunaan energi
fosil, terutama minyak dan gas bumi, yang ketersediaannya terbatas. Untuk itu kebijakan
diversifikasi energi baik untuk energi fosil serta pemanfaatan semua jenis energi baru dan
terbarukan hingga tahun 2025 telah dicanangkan oleh pemerintah. Kebijakan ini tertuang
dalam Cetak Biru (Blueprint) Pengelolaan Energi Nasional 20052025 dan diperkuat oleh
Peraturan Presiden nomor 5 tahun 2006.
Peraturan Presiden (Perpres) nomor 5 tahun 2006 menyebutkan bahwa tujuan
kebijakan energi nasional adalah untuk mengarahkan upaya-upaya dalam mewujudkan
keamanan pasokan energi nasional. Sasaran bauran energi nasional (energy optimum mix)
pada tahun 2025 adalah terwujudnya energi optimal dengan peranan masing-masing energi
seperti: sumbangan minyak bumi menjadi kurang dari 20%, gas bumi lebih dari 30%,
batubara lebih dari 33%, bahan bakar nabati (biofuel) lebih dari 5%, panas bumi lebih dari
5%, energi baru dan energi terbarukan lainnya, khususnya biomassa, nuklir, tenaga air,
tenaga surya, dan tenaga angin lebih dari 5%, batubara yang dicairkan (liquefied coal)
menjadi lebih dari 2%.
Perpres No. 5 Tahun 2006 menunjukkan bahwa kebijakan diversifikasi
dikembangkan untuk mencapai bauran energi yang optimum, namun porsi energi yang
dipandang relatif bersih antara lain batubara cair, geothermal, bahan bakar nabati, biomasa,
nuklir, tenaga air, tenaga matahari dan tenaga angin, diproyeksikan akan memberikan
sumbangan bauran lebih dari 12%. Semestinya ada fleksibilitas komposisi penyumbang
12%, artinya jenis apa yang lebih mampu untuk didorong lebih cepat, akan memperoleh
porsi yang lebih besar, hal ini bila berorientasi pada target.
Kebijakan diversifikasi energi juga harus dibarengi dengan intensifikasi energi yang
ada. Misalnya untuk energi listrik, disamping mencari sumber energi listrik alternatif juga
harus dibarengi dengan pemanfaatan pembangkit yang lebih efisien. Efisiensi
pembangkitan listrik harus diusahakan baik dari aspek teknis pembangkitan maupun dari
aspek manajemennya.
Seperti disebutkan dalam Cetak Biru pengelolaan energi nasional dan dikuatkan
oleh Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006, serta diamanatkan oleh Undang-undang RI No.
17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 2025 (RPJP),
tenaga nuklir dipilih sebagai alternatif pemenuhan energi nasional. Proyeksi pangsa tenaga
nuklir terhadap energi nasional hingga tahun 2025 adalah sekitar 2% atau setara dengan 4%
(4.000 MWe) kapasitas listrik terpasang.
Sejarah pengoperasian PLTN menunjukkan bahwa PLTN dari generasi kedua telah
dan masih beroperasi di banyak negara dengan keselamatan dan keandalan (safety and
reliability) yang terbukti baik (proven). Teknologi yang terbukti baik harus menjadi bahan
pertimbangan utama, khususnya bagi negara yang hendak mengadopsi program PLTN
untuk pertama kali. Namun desain generasi baru yang diketahui dan diyakini memiliki
tingkat keselamatan dan keandalan lebih baik lagi, patut juga dipertimbangkan dan
dipelajari.

80

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Data operasional PLTN dunia menunjukkan bahwa PLTN tipe PWR adalah tipe
PLTN yang terbanyak dibandingkan dengan pembangkit listrik nuklir yang ada. Dengan
pengalaman operasional yang banyak dan rekam-jejak (track-record) yang baik, tipe PWR
layak dipertimbangkan, seiring dengan kecenderungan studi-studi yang pernah dilakukan
dan rencana pembanguan PLTN yang ke arah tipe PWR.
Tujuan dan lingkup studi
Untuk memberikan gambaran unjuk kerja PLTN tipe PWR di dunia, pada studi ini
dilakukan penilaian terhadap unjuk kerja PWR. Mengingat negara penyedia teknologi PLTN
di dunia cukup banyak, maka lingkup studi dibatasi hanya unjuk kerja PWR pada negara
penyedia teknologi PWR, khususnya Eropa yang diwakili oleh negara Perancis dan Amerika
diwakili oleh Amerika Serikat (United State of America, USA). Tujuan dari studi ini adalah
untuk mendapatkan gambaran unjuk kerja PLTN tipe PWR di negara Amerika dan
Perancis. Diharapkan studi ini dapat membantu memberikan gambaran kepada pengambil
keputusan saat pemilihan teknologi PWR yang tepat dan baik untuk dibangun di Indonesia.
Metodologi
Studi ini dilakukan dengan melakukan penelusuran pustaka, menetapkan kriteria
unjuk kerja yang digunakan sebagai penilaian, menetapkan negara pemasok PLTN PWR
yang akan dinilai, dan dilanjutkan dengan melakukan analisis unjuk kerja reaktor PWR
yang telah beroperasi di negara tersebut. Parameter yang akan dianalisis sebagai ukuran
unjuk kerja adalah faktor ketersediaan energi pembangkitan listrik yang dikaitkan dengan
umur operasi PLTN dan kelas kapasitas dayanya.
Diskripsi Teknologi PWR
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) adalah reaktor daya nuklir terapan yang
digunakan untuk memproduksi listrik. Reaksi pembelahan (fisi) dari bahan nuklir sebagai
bahan bakar (fuel) akan menghasilkan panas. Energi panas hasil pembelahan dalam elemen
bahan bakar tersebut digunakan untuk memanaskan air menjadi uap bertekanan dan suhu
tinggi. Tenaga uap tersebut diteruskan ke turbin dan dikonversikan menjadi energi
mekanik, dan selanjutnya menjadi energi listrik oleh generator yang dikopel dengan turbin.
PWR adalah tipe reaktor air bertekanan memiliki dua kalang (loop) pengambilan
panas, yaitu kalang primer yang memiliki fase cair dan tekanan tinggi, serta kalang
sekunder dengan proses pendidihan pada bagian pembangkit uap. Daerah fisi pada bejana
reaktor air bertekanan dijaga pada tekanan operasi 150 - 160 bar. Kalang pendingin primer
menghubungkan bejana reaktor dengan pembangkit uap. Sisi sekunder dari pembangkit
uap memiliki tekanan sekitar 60 bar (6 MPa) yang cukup rendah sehingga dapat terjadi
pendidihan air. Melalui kalang sekunder uap diumpankan ke dalam turbin. Setelah uap
keluar dari turbin diembunkan di dalam kondensor dan diumpankan kembali ke dalam
pembangkit uap. Komponen utama sistem ini adalah sebuah bejana tekan reaktor (reactor
pressure vessel), pembangkit uap (steam generator), dan pompa pendingin reaktor. Sistem ini
bisa terdiri dari 2 atau lebih kalang pendingin primer, dengan dilengkapi satu pemberi dan
pengatur tekanan yang disebut dengan pressurizer pada salah satu sisinya. Keseluruhan
komponen tersebut terletak di dalam bangunan sungkup dan terhubung oleh pipa-pipa.

81

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Semua komponen bertekanan di dalam sistem tersebut didesain berdasarkan


standar ASME III untuk boiler dan bejana bertekanan (pressure vessel). Sistem pendingin
reaktor (RCS, Reactor Cooling System) ini juga dilengkapi dengan pipa-pipa yang
menghubungkannya ke sistem tambahan (auxiliary system) seperti Chemical and Volume
Control System (CVCS), sistem injeksi keselamatan (safety injection system), dan sistem
pendingin tatkala reaktor dipadamkan (shutdown cooling system). Skema pinsip kerja dan
beberapa komponen utama dari reaktor tipe PWR dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Prinsip kerja sebuah PLTN tipe PWR (BATAN-UGM,2005).


Kondisi PLTN di Dunia
Gambaran kondisi PLTN di dunia disajikan pada Tabel 1, yaitu mengenai jumlah
PLTN yang beroperasi di dunia serta jenis teknologinya. Tabel 1 menunjukkan bahwa tipe
PWR adalah jumlah terbanyak yang beroperasi, yakni sebesar 61%, sedangkan BWR sebesar
21%, dan PHWR sebesar 9,7%. Sementara yang masih dalam masa konstruksi sebanyak 18
unit atau sebesar 62% adalah tipe PWR.
Tabel 1. Tipe PLTN dan jumlahnya (IAEA: 2007)
Tipe
BWR
FBR
GCR
HTGR
HWGCR
HWLWR
LWGR
PHWR
PWR
SGHWR
Tipe lain
TOTAL

Beroperasi
93
2
18
16
42
264
435

Jumlah Reaktor, status 31 Dsember 2006


Dikonstruksi
Long Term Shut Down
2
1
2
1
1
6
4
18
29
6

Shut Down
21
6
34
4
3
2
8
5
33
1
2
119

Keterangan:

BWR: Boiling Light-Water-Cooled and Moderated Reactor, FBR: Fast Breeder Reactor, GCR: Gas-Cooled, Graphite-Moderated
Reactor, HTGR: High-Temperature Gas-Cooled, Graphite-Moderated Reactor, HWGCR: Heavy-Water-Moderated, Gas-Cooled
Reactor, HWLWR: Heavy-Water-Moderated, Boiling Light-Water-Cooled Reactor, LWGR: Light-Water-Cooled, Graphite-

82

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Moderated Reactor, PHWR: Pressurized Heavy-Water-Moderated and Cooled Reactor, PWR: Pressurized Light-WaterModerated and Cooled Reactor, SGHWR: Steam-Generating Heavy-Water Reactor

Data dan Perhitungan Unjuk Kerja PWR


Guna memperoleh gambaran bagaimana unjuk kerja PLTN di negara pembuat atau
pemasok atau penyedia teknologi, maka akan diuraikan unjuk kerja PLTN khususnya tipe
PWR di negara pemasok. Pada studi ini dilakukan penilaian unjuk kerja teknologi PWR dari
Perancis dan Amerika Serikat. Studi unjuk kerja PLTN hanya dibatasi pada satu parameter
saja, yakni faktor ketersediaan energi. Faktor ketersediaan energi merupakan perbandingan
antara energi yang dapat diproduksi selama periode tertentu, terhadap energi yang dapat
diproduksi menurut unit acuan dayanya (daya terpasang) selama periode tertentu (IAEA,
2006), sesuai persamaan berikut:

EAF (%)

(REG - PEL - UEL - XEL) x 100


REG

Keterangan:
EAF Faktor Ketersedia an Energi (%)

REG Jumlah energi maksimum yang dapat dibangkitk an (net), MWe.h untuk periode tertentu
PEL Jumlah energi hilang (tidak dibangkitkan) yang direncanak an, MWe.h
UEL Jumlah energi hilang (tidak dibangkitk an) yang tidak direncanak an, MWe.h
XEL Jumlah energi hilang (tidak dibangkitk an) karena faktor eksternal (diluar kontrol manajemen

Faktor ketersediaan energi ini menggambarkan besarnya kemampuan yang


sebenarnya dari pembangkit untuk menghasilkan energi listrik, dengan mempertimbangkan
faktor kegagalan internal maupun eksternal dalam menghasilkan listrik.
Unjuk kerja PLTN di Amerika
PLTN pertama yang dibangun di Amerika adalah PLTN yang berlokasi di
Shippingport, Pennsylvania pada tahun 1957. Pembangunan PLTN di Amerika terus
dilakukan sejak tahun 1960-an hingga 1979, yaitu saat terjadinya kecelakaan PLTN Three
Miles Island terjadi (TMI). Sejak kejadian TMI, pembangunan PLTN di Amerika menurun,
namun sejak tahun 2000-an Amerika merencanakan kembali untuk membangun PLTN.
Bersamaan dengan itu, perpanjangan umur PLTN ditempuh dengan melakukan kajian
teknis untuk memperoleh sertifikasi disain dari Komisi Pengawasan Nuklir NRC (Nuclear
Regulatory Commission).
Pengalaman Amerika cukup banyak, hal ini dapat dilihat status PLTN yang
beroperasi di negara tersebut saat ini, yakni 104 unit PLTN, 28 unit shutdown permanen dan
1 unit sedang konstruksi (IAEA, 2008). Jumlah PLTN yang beroperasi terdiri dari 35 unit
tipe BWR (33,6%) dan 69 tipe PWR (66,4%). Seluruh unit PLTN ini berlokasi di 65 tapak.
Tipe PLTN lain yang pernah dibangun di negara tersebut, namun saat ini dalam kondisi
shutdown permanen, yakni PLTN tipe FBR (Fast Breeder Reactor), HTGR (High Temperature Gas
Cooled Reactor), dan PHWR (Pressurized Heavy Water Reactor).
Sejak tahun 1980 hingga 2002, pembangkitan listrik nuklir di Amerika tumbuh lebih
dari 3 (tiga) kali lipat, dan pada tahun 2006 listrik nuklir yang dibangkitkan telah mencapai
787 GWh. Sementara itu faktor kapasitas juga meningkat, sebesar 56% pada tahun 1980,

83

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

66% pada tahun 1990, dan mencapai lebih dari 90% pada tahun 2002. Bahkan ada beberapa
unit PLTN yang memiliki faktor kapasitas lebih dari 95% (IAEA, 2004).
Pembangunan PLTN di Amerika terlihat sangat progresif terutama pada tahun 1965
hingga tahun 1977. Rata-rata pembangunan PLTN pada rentang tahun tersebut mencapai 9
10 unit per tahun, bahkan pada tahun 1968 dibangun 25 unit, walaupun setelah tahun
1977 tidak ada lagi pembangunan. Rentang tahun sebelumnya, yakni dari tahun 1956 hingga
1965, pembangunan rata-rata 1 2 unit tiap tahun. Hingga tahun 2006 listrik PLTN telah
menyumbang sebesar 19.4% terhadap total produksi listrik nasionalnya.
Pada studi ini, analisis dilakukan terhadap tipe PWR yang berjumlah 69 unit.
Pengalaman operasi total hingga awal tahun 2007 untuk tipe ini adalah sebesar 1.832
reaktor-tahun, dengan faktor ketersediaan energi rata-rata untuk tiap unit tiap tahun
sebesar 77,6%.
Apabila dilihat dari umur PLTN, jumlah PLTN yang berumur lebih dari atau sama
dengan 25 tahun operasi adalah sebanyak 39 unit dan faktor ketersediaan energi rataratanya adalah sebesar 74,1% tiap unit tiap tahun. Sedangkan yang berumur operasi dari 10
hingga 25 tahun adalah sebanyak 30 unit dan faktor ketersediaan energi rata-ratanya adalah
sebesar 84,7% tiap unit tiap tahun.
Untuk kelas PWR 1000, yakni yang berkapasitas daya antara 780 MWe dan 1.300
MWe berjumlah 56 (lima puluh enam) unit dengan umur operasi total sebesar 1.408 reaktortahun. Kelas daya ini memiliki faktor ketersediaan rata-rata sebesar 79,1% tiap unit tiap
tahun. Secara rinci data dapat dilihat Tabel 2.
Tabel 2. Ringkasan hasil analisis kondisi PWR di Amerika
Item
Jumlah PWR
Umur operasi total PWR
Umur rata-rata per unit
Umur operasi lebih besar 25 tahun
Umur operasi antara 10 25 tahun
Umur operasi antara 5 10 tahun
Umur operasi di bawah 5 tahun
Faktor ketersediaan rata-rata total
Jumlah unit kelas PWR 1000
Umur operasi total kelas PWR 1000
Umur rata-rata per unit
Faktor ketersediaan rata-rata kelas PWR 1000
Jumlah unit kelas PWR 1300
Umur operasi total kelas PWR 1300
Umur rata-rata per unit
Faktor ketersediaan rata-rata kelas PWR 1300

Besar
69
1.832
26,55
39
30
77,6%
56
1.408
25,1
79,1%
2
41
20,5
77,8%

Satuan
Unit
reaktor tahun
Tahun
Unit
Unit
Unit
Unit
per unit per tahun
Unit
reaktor-tahun
Tahun
per unit per tahun
Unit
reaktor-tahun
Tahun
per unit per tahun

Unjuk kerja PLTN di Perancis


Sejarah perkembangan PLTN di Perancis dapat dibagi dalam 4 fase. Selama tahun
1960-an bersamaan dengan sasaran kemandirian industri dan pengembangan teknologi

84

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

domestik, promosi desain oleh anak bangsa sendiri dilakukan, terutama untuk tipe reaktor
berpendingin gas (GCR, Gas Cooled Reactor) dan reaktor pembiak cepat (FBR, Fast Breeder
Reactor). Namun begitu pada dekade ini diputuskan untuk membangun PWR yang bekerja
sama dengan Belgia dan reaktor jenis air berat (PHWR, Pressurized Heavy Water Reactor)
bekerja sama dengan Inggris.
Seiring dengan perkembangan industri nuklir secara internasional, di akhir tahun
1960 Perancis menilai bahwa desainnya tidak dapat berkompetisi dengan tipe reaktor air
ringan (LWR, Light Water Reactor). Maka pada tahun 1969 diputuskan untuk membangun
PLTN tipe LWR dengan lisensi, yakni dibawah lisensi Westinghouse, Amerika, sambil
melakukan restrukturisasi industri domestik untuk meningkatkan daya saing. Kemudian
pemerintah mempertimbangkan rencana untuk membangun PLTN tipe PWR satu atau dua
unit tiap tahunnya. (IAEA, 2004)
Dalam rentang tahun 1974 hingga tahun 1981 Perancis memberikan penekanan
pada adaptasi desain Westinghouse untuk pengembangan standar desain milik Perancis.
Dan program nuklir ini dipercepat dengan adanya krisis minyak pada tahun 1970-an.
Kapasitas daya ditingkatkan dari 900 MWe menjadi 1.300 MWe dan bahkan hingga 1.450
MWe. Unit terbesar desain yang terakhir berkapasitas 1.600 MWe (EPR, European Pressurized
Reactor) dan direncanakan akan beroperasi pada tahun 2012. (EIA, 2006)
Pada tahun 1981 Perancis mengakhiri masa lisensi dengan Westinghouse dengan
kontrak baru yang memberikan otonomi yang lebih besar. Berbagai aspek teknologi PLTN
dikembangkan dan dikuasai, antara lain jasa kepakaran dalam operasi dan perawatan
PLTN, yang puncaknya ditandai dengan kemampuan desain dan konstruksi oleh bangsa
Perancis sendiri yakni tipe PWR berkapasitas 1.450 MWe. Hampir semua PLTN yang
beroperasi di Perancis saat ini bertipe PWR (58 unit ) dan FBR (1 unit).
Kapasitas terpasang PLTN adalah sebesar 63 GWe, sementara listrik yang
dibangkitkan pada tahun 2007 adalah sebesar 418.600 GWh atau sebesar 77% dari listrik
nasional yang dipasok dari nuklir. Hal ini merupakan perubahan yang dramatis, karena
pada tahun 1973 pangsa listrik berbahan bakar fosil sebesar 65%. Pada studi ini analisis
dilakukan terhadap pengalaman operasional tipe PWR dan hingga awal tahun 2007 adalah
sebesar 1.248 reaktor-tahun, dengan faktor ketersediaan energi 75,6%.
Berdasarkan lama operasi, jumlah PLTN yang berumur lebih dari atau sama dengan
25 tahun operasi adalah 19 unit dan faktor ketersediaan energi rata-ratanya sebesar 73,7%
tiap unit tiap tahun. PLTN yang berumur operasi 10 hingga 25 tahun adalah sebanyak 35
unit dengan faktor ketersediaan energi rata-rata sebesar 77,0% tiap unit tiap tahun. PLTN
yang berumur operasi antara 5 10 tahun ada sebanyak 4 (empat) unit dengan faktor
ketersediaan energi rata-rata sebesar 81,2% tiap unit tiap tahun.
Kelas PWR 1000, yakni yang berkapasitas daya antara 780 MWe dan 1.300 MWe
berjumlah 34 unit dengan umur operasi total sebesar 851 reaktor-tahun. Kelas daya ini
memiliki faktor ketersediaan rata-rata sebesar 75,8% tiap unit tiap tahun. Sedangkan untuk
kelas 1.300 MWe (daya di atas 1.300 MWe) sebesar 24 unit dengan umur operasi total
sebesar 397 reaktor-tahun dan faktor ketersediaan rata-rata sebesar 75,3%. Secara rinci
dapat dilihat pada Tabel 3.

85

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Tabel 3. Ringkasan hasil analisis kondisi PWR di Perancis


Item
Jumlah PWR
Umur operasi total PWR
Umur rata-rata per unit PWR
Umur operasi lebih besar 25 tahun
Umur operasi antara 10 25 tahun
Umur operasi antara 5 10 tahun
Umur operasi di bawah 5 tahun
Faktor ketersediaan rata-rata total
Jumlah unit kelas PWR 1000
Umur operasi total kelas PWR 1000
Umur rata-rata per unit
Faktor ketersediaan rata-rata kelas PWR 1000
Jumlah unit kelas PWR 1300
Umur operasi total kelas PWR 1300
Umur rata-rata per unit
Faktor ketersediaan rata-rata kelas PWR 1300

Besar
58
1248
21,5
19
35
4
75,6%
34
851
25,5
75,8%
24
397
16,5
75,3%

Satuan
Unit
reaktor tahun
Tahun
Unit
Unit
Unit
Unit
per unit per tahun
Unit
reaktor-tahun
Tahun
per unit per tahun
Unit
reaktor-tahun
Tahun
per unit per tahun

Analisis Unjuk Kerja PWR


Dari data dan perhitungan terlihat bahwa pengalaman mengoperasikan PLTN tipe
PWR Amerika lebih banyak (1.832 reaktor-tahun) dibanding dengan Perancis (1.248 reaktortahun). Hal ini karena Amerika lebih dahulu membangun PLTN dan lebih progresif, dalam
arti lebih banyak dan terus menerus membangun pada dekade tahun 1960 dan 1970-an.
Perancis memulai dengan lisensi dari Amerika, meskipun begitu kedua negara tersebut saat
ini telah sama-sama memiliki teknologi PLTN sendiri-sendiri.
Unjuk kerja PWR di Amerika diukur berdasarkan faktor ketersediaan energi ratarata per unit per tahun adalah sebesar 77,6%, sedangkan PWR di Perancis sebesar 75,6%.
Bila dibandingkan untuk PWR yang berumur operasi lebih dari 25 tahun, Amerika memiliki
39 unit dengan faktor ketersediaan 74,1%, sedangkan Perancis memiliki 19 unit dengan
faktor ketersediaan 73,4%. Untuk PWR yang berumur antara 10 dan 25 tahun, Amerika
memiliki 30 unit dengan faktor ketersediaan sebesar 84,7%, Perancis memiliki 35 unit
dengan faktor ketersediaan sebesar 77%. Sedangkan untuk PLTN yang relatif baru (dibawah
10 tahun), Amerika tidak punya dan Perancis memiliki 4 unit dengan faktor ketersediaan
sebesar 81,2%.
Menurut kelasnya, jumlah unit pada PWR kelas 1000 MWe, Amerika memiliki 34
unit dengan faktor ketersediaan sebesar 79,1%, sedangkan Perancis memiliki 34 unit dengan
kapasitas sebesar 75,8%. Untuk kelas 1300 MWe, Amerika memiliki 2 unit dengan faktor
ketersediaan 77,8% dan Perancis 24 unit dengan faktor ketersediaan 75,3%. Untuk kelas 1300
MWe Perancis lebih banyak pengalaman dibanding Amerika (Perancis 397 reaktor-tahun
dan Amerika 41 reaktor-tahun). Secara rinci perbandingan antara PWR Amerika dan
Perancis dapat dilihat Tabel 4.
Tabel 4. Ringkasan hasil analisis
Item, satuan
Jumlah PWR, unit
Umur operasi total PWR, reaktor-tahun

Perancis
58
1.248

Amerika
69
1.832

86

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Umur rata-rata per unit PWR, tahun


Umur operasi lebih besar 25 tahun, unit
Umur operasi antara 10 25 tahun, unit
Umur operasi antara 5 10 tahun, unit
Umur operasi di bawah 5 tahun, unit
Faktor ketersediaan rata-rata total, per unit per tahun
Jumlah unit kelas PWR 1000, unit
Umur operasi total kelas PWR 1000, reaktor-tahun
Umur rata-rata per unit, tahun
Faktor ketersediaan rata-rata kelas PWR 1000, per unit per tahun
Jumlah unit kelas PWR 1300, unit
Umur operasi total kelas PWR 1300, reaktor-tahun
Umur rata-rata per unit, tahun
Faktor ketersediaan rata-rata kelas PWR 1300, per unit per tahun

21,5
19
35
4
75,6%
34
851
25,5
75,8%
24
397
16,5
75,3%

26,55
39
30
77,6%
56
1.408
25,1
79,1%
2
41
20,5
77,8%

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa unjuk kerja PWR Amerika relatif lebih
baik dibandingkan PWR Perancis, namun untuk teknologi yang relatif baru (ditandai
dengan umur PLTN), PWR Perancis lebih unggul. Namun perlu disampaikan bahwa untuk
melakukan penilaian secara menyeluruh harus melibatkan berbagai aspek. Beberapa
gambaran yang telah disajikan dalam pembahasan setidaknya dapat memberikan masukan
sehubungan dengan kelas daya dan tipe PLTN yang nantinya dipilih dan direncanakan
untuk dibangun di Indonesia. Asumsi parameter tekno-ekonomi yang selama ini digunakan
dapat dievaluasi dengan kondisi yang sebenarnya dari PLTN yang ada, sesuai dengan hasil
perhitungan.
KESIMPULAN

PLTN tipe PWR di Amerika sebanyak 69 unit dengan umur operasi total
sebesar 1.832 reaktor-tahun dengan faktor ketersediaan energi rata-rata tiap
unit tiap tahun sebesar 77,6%. Tipe yang sama di Perancis sebanyak 58 unit
dengan umur operasi total sebesar 1.248 reaktor-tahun dengan faktor
ketersediaan energi rata-rata tiap unit tiap tahun sebesar 75,6%.
Besaran faktor ketersediaan energi rata-rata biasanya mendekati besaran
faktor kapasitas, untuk itu dirasa penting sebagai masukan dalam
penetapan asumsi parameter tekno-ekonomis. Hal ini akan berpengaruh
dalam hasil perhitungan ekonomi PLTN secara keseluruhan.
Faktor perkembangan teknologi perlu dipertimbangkan dalam melakukan
penilaian unjuk kerja. Menurut data yang ada menunjukkan bahwa
teknologi yang relatif baru akan mempunyai unjuk kerja yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
BATAN-UGM, (2005), Studi Teknologi PLTN PWR, PHWR dan Bahan Bakar DUPIC,
Jakarta.
IAEA, (2008), Power Reactor Information System: USA, http://www.iaea.org/.
IAEA, (2007), Reference Data Series No. 2 : Nuclear Reactor in the World, Vienna.
IAEA, (2006), Operating Experience with Nuclear Power Stations in Member States in 2006,
Vienna.
Park, Nam Soo. (2007), OPR-1000 : Nuclear Systems and Components, KNPEI, Busan.
IAEA, (2004), Country Nuclear Power Profile :America, Vienna.

87

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

IAEA, (2004), Country Nuclear Power Profile : France, Vienna.


US Energy Information Administration, (2006), Country Analysis Brief:
www.eia.doe.gov.

France,

ENERGI VIA SATELIT SEBUAH GAGASAN


UNTUK PENGEMBANGAN ENERGI BARU
TERBARUKAN
Wisnu Arya Wardhana, Supriyono, Sudaryo*)
ABSTRAK
Energi via satelit adalah energi matahari yang telah diubah menjadi energi listrik oleh
satelit, kemudian dikirim ke bumi melalui gelombang radio dan setelah sampai di
bumi diubah lagi menjadi energi listrik. Energi matahari yang sampai ke bumi ratarata hanya sebesar 120 W/m 2, sedangkan energi matahari tersebut bila ditangkap oleh
satelit di angkasa luar dalam orbit sinkron bumi bisa mencapai 1360 W/m 2. Selain
dari itu, energi matahari yang ditangkap di bumi masih tergantung pada keadaan
cuaca (hujan, terang) dan juga perubahan waktu (siang, malam) serta perubahan letak
ketinggian maupun garis lintang. Sedangkan energi matahari yang ditangkap di
angkasa luar, relatif tidak ada gangguan seperti yang terjadi di bumi. Energi
matahari di angkasa luar dapat ditangkap oleh solar sel yang dipasang pada satelit
kolektor yang dibuat khusus untuk itu, kemudian diubah dan disimpan menjadi
energi listrik dan selanjutnya dikirim ke bumi dalam bentuk gelombang radio. Setelah
diterima di bumi gelombang radio tersebut bisa dikonversi kembali menjadi energi
listrik. Makalah ini akan membahas secara garis besar persoalan teknis yang ada,
termasuk kendala-kendala yang mungkin timbul dan harus dihadapi demi tercapainya
cita-cita mendapatkan energi via satelit untuk mencukupi kebutuhan energi dunia
yang terus meningkat.
Kata kunci : energi baru terbarukan, satelit

PENDAHULUAN
Pemakaian bahan bakar fosil (minyak dan batubara) dari waktu ke waktu selalu
meningkat, karena kebutuhan energi untuk menjalankan kegiatan industri, transportasi
dan kebutuhan rumah tangga terus bertambah. Sedangkan cadangan bahan bakar fosil
dunia pada saat ini semakin menipis, sehingga tidak tertutup kemungkinan pada suatu saat
bahan bakar fosil akan habis. Untuk mengatasi hal ini, orang memang telah berusaha untuk
menggalakkan pemakaian energi nuklir untuk mencukupi kebutuhan energi dunia.
Pemakaian energi nuklir ini pada beberapa negara industri maju memang telah banyak
mendukung dan mengatasi kebutuhan energi yang terus meningkat tersebut. Namun
kekhawatiran akan terbatasnya cadangan uranium serta masalah penanganan limbah nuklir,
menjadikan manusia berusaha untuk mendapatkan sumber energi alterantif lain, yaitu
energi matahari yang tersedia di alam ini secara melimpah.

88

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

*) Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir BATAN


Email : masprie_sttn@yahoo.com
Pemanfaatan energi matahari yang sudah ada pada saat ini adalah pemanfaatan
foton cahaya matahari secara langsung yang jatuh di permukaan bumi, baik dengan cara
konvensional yang memanfaatkan energi panasnya secara langsung, maupun dengan cara
mengubahnya terlebih dulu menjadi energi listrik melalui solar sel. Pemanfaatan secara
langsung ini, belum bisa menghasilkan energi listrik dalam skala besar karena fluks foton
cahaya matahari yang sampai ke bumi relatif sangat kecil dibandingkan dengan fluks yang
ada di angkasa luar.
Apabila fluks foton cahaya matahari yang ada di angkasa luar dapat diubah
menjadi energi listrik yang kemudian disimpan di dalam satelit buatan yang khusus dibuat
untuk keperluan itu, kemudian energi listrik tersebut dikirim kembali ke bumi melalui
gelombang radio dan setelah sampai di bumi diubah kembali menjadi energi listrik, maka
secara teoritis kebutuhan energi dunia akan dapat tercukupi selama matahari masih
bersinar. Gagasan inilah yang akan dikembangkan pada abad ke 21 mendatang ini.
Makalah ini akan membahas secara garis besar persoalan teknis yang ada, termasuk
kendala-kendala yang mungkin timbul dan harus dihadapi demi tercapainya cita-cita
mendapatkan energi via satelit untuk mencukupi kebutuhan energi dunia yang terus
meningkat.
LATAR BELAKANG
Seperti telah dikemukakan pada pendahuluan bahwa kebutuhan energi dunia dari
tahun ke tahun akan terus meningkat dan mengenai hal ini akan sangat terasa pada awal
abad ke 21, seperti tampak pada data berikut ini :
Tabel 1 : Perkiraan Kebutuhan Energi Dunia Pada Awal Abad 21 :
Tahun
Kebutuhan Energi
1990
3,8 Triliun KWH
2000
7,5 Triliun KWH
2010
10,5 Triliun KWH
2020
14,5 Triliun KWH
Timbul pertanyaan dari mana energi sebesar itu akan diperoleh ? Kalau hanya
mengandalkan pada energi fosil saja (minyak dan batubara), maka hanya akan diperoleh
sekitar 30 % saja dari kebutuhan yang diperlukan. Bila energi nuklir ikut digalakkan, maka
energi nuklir sampai saat ini telah menyumbangkan sebanyak 1,7 Triliun KWH. Pada akhir
tahun 2000 diperkirakan energi nuklir akan memberikan andil sebanyak 3,5 Triliun KWH,
dengan catatan bila krisis moneter yang melanda dunia pada saat ini bisa segera pulih
kembali dalam waktu singkat, sehingga pembangunan PLTN baru dapat diselesaikan. Bila
proses pengelolaan limbah nuklir bisa ditingkatkan lebih baik lagi, maka kemungkinan
energi nuklir akan memberikan sumbangan paling banyak pada tahun 2010 yaitu sekitar 6
Triliun KWH, setelah itu akan menurun karena beberapa PLTN akan ditutup karena faktor

89

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

usia pakai (shut down dan decomisioning) [3]. Lantas kekurangannya akan diperoleh dari
mana ? Tabel 2 berikut ini akan memberikan proyeksi mengenai jumlah energi yang bisa
diperoleh dari berbagai macam sumber energi, antara lain dari energi terbarukan (energi
hidro, panas bumi, sel surya), energi fosil (minyak dan batubara) dan energi nuklir :
Tabel 2 : Proyeksi energi yang bisa didapat dari berbagai macam sumber energi.
( dalam Triliun KWH)
Tahun
En.Terbarukan
En. Fosil
En. Nuklir
Total
Prediksi
Kekurangan
1990
0,9
1,2
1,7
3,8
3,8
0
2000
0,9
3,1
3,5
7,5
7,5
0
2010
1,0
1,9
6,0
9,4
10,5
1,1
2020
1,0
2,8
4,2
8,0
14,5
6,5
Diperkirakan bahwa pada tahun 2010 dunia akan mulai kekurangan energi dan bila
tidak ditemukan sumber cadangan bahan bakar fosil baru serta peningkatan efisiensi
pemakaian energi, maka energi matahari yang akan menjadi tumpuan untuk mencukupi
kekurangan energi tersebut, terutama pemanfaatan energi matahari melalui satelit.
DASAR TEORI
Matahari dan juga bintang-bintang yang tersebar di jagad raya ini adalah sumber
energi yang sangat besar dan melimpah. Reaksi fusi termonuklir yang terjadi di matahari
memungkinkan timbulnya energi (panas) yang sangat dahsyat dan ini merupakan sumber
terjadinya kehidupan di bumi. Menurut para ahli astrofisika [1,4], reaksi termonuklir di
matahari diperkirakan sudah berlangsung selama lebih dari 5 milyard tahun yang lalu.
Apabila reaktan utama penghasil reaksi fusi termonuklir telah habis, maka matahari akan
padam dan hal ini diperkirakan akan terjadi pada 10 milyard tahun lagi. Suhu pada inti
matahari diperkirakan mencapai lebih dari 14 juta derajat celsius, suatu panas yang sangat
fantastis yang hanya bisa diperoleh melalui reaksi termonuklir. Panas yang sangat besar ini
disebarkan ke segala penjuru alam raya ini dan sebagian kecil sampai ke bumi.
Energi matahari yang sampai ke bumi rata-rata hanya sebesar 120 W/m 2 [8],
sedangkan energi matahari tersebut bila ditangkap di angkasa luar dalam orbit sinkron
bumi bisa mencapai 1360 W/m2. Selain dari itu, energi matahari yang ditangkap di bumi
masih tergantung pada keadaan cuaca (hujan, terang) dan juga perubahan waktu (siang,
malam) serta perubahan letak ketinggian maupun garis lintang. Sedangkan energi matahari
yang ditangkap di angkasa luar, relatif tidak ada gangguan seperti yang terjadi di bumi.
Energi matahari di angkasa luar dapat ditangkap oleh solar sel yang dipasang pada satelit
kolektor yang dibuat khusus untuk itu, kemudian diubah dan disimpan menjadi tenaga
listrik dan selanjutnya dikirim ke bumi dalam bentuk gelombang radio. Setelah diterima di
bumi gelombang radio tersebut bisa dikonversi kembali menjadi tenaga listrik.
Pemanfaatan energi matahari yang ditangkap satelit kemudian dikirim kembali ke
bumi dalam bentuk gelombang radio dan setelah itu diubah kembali menjadi energi listrik
adalah gagasan ilmuwan (tahun 1968) DR. Peter E. Glaser dari Perusahaan Arthur D. Little
Inc. yang bergerak dalam bidang energi [2, 6, 7]. Gagasan ini mendapat tanggapan positif
dari NASA dan mulai dilakukan eksperimen pada tahun 1980 dan terus dikembangkan
sampai saat ini. Selain Amerika, Jepang juga tertarik untuk melakukan eksperimen

90

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

mendapatkan energi matahari yang ada di angkasa luar melalui satelit. Prof. K. Itoh dari
Oyama Technical College, Jepang, pada tahun 1990 telah merintis untuk penelitian energi
via satelit dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan energi bagi industri di Jepang.

SATELIT KOLEKTOR ENERGI MATAHARI


Satelit-satelit komunikasi yang telah diorbitkan mengelilingi dunia pada saat ini
telah memanfaatkan energi matahari sebagai sumber energi listrik yang diperlukan untuk
menggerakkan instrumennya. Energi matahari yang ditangkap oleh satelit sejauh ini
memang sangat efektif bila dibandingkan dengan penangkapan yang dilakukan di bumi.
Apabila panel solar sel yang ada di satelit dibuat lebih besar tentunya akan lebih banyak
energi listrik yang bisa dihasilkan. Satelit yang ada dan sedang direncanakan sekarang ini
akan mengelilingi bumi dalam orbit dengan berbagai macam altitudo (ketinggian).
Beberapa altitudo orbit satelit yang sudah ada saat ini adalah [8] :
- Orbit Edaran Bumi Rendah (EBUR) atau Low Earth Orbit (LEO).
- Orbit Edaran Bumi Menengah (EBUM) atau Medium Earth Orbit (MEO).
- Orbit Edaran Serempak Bumi (ESBU) atau Geo Synchronous Orbit (GSO).
Sebagai contoh satelit Palapa milik Indonesia berada pada orbit ESBU atau GSO.
Satelit Skybridge yang akan beroperasi pada tahun 2001 akan dilepas pada orbit EBUR atau
LEO. Sedangkan satelit kolektor energi matahari akan berada pada orbit EBUR atau GSO
yang berada pada altitudo 36.000 km di atas katulistiwa. Pada altitudo ini fluks energi
matahari yang dapat ditangkap adalah sebesar 1360 W/m 2, jauh lebih besar bila
dibandingkan dengan fluks yang tertangkap di bumi yang hanya sebesar 120 W/m 2 (bila
cuaca terang). Persoalan yang dihadapi sekarang ini adalah bagaimana membuat susunan
solar sel pada satelit kolektor energi matahari, agar bisa diperoleh energi listrik dalam
jumlah besar. Susunan solar sel pada satelit ini dinamakan juga space antenna.
Berdasarkan teknologi pembuatan solar sel yang ada saat ini, untuk mendapatkan energi
listrik sebesar 5 GW diperlukan susunan (jajaran) solar sel berukuran 5 x 10 x 0,5 km.
Ukuran tersebut kemungkinan masih bisa diperkecil lagi, karena teknologi pembuatan solar
sel pada saat ini masih terus disempurnakan, agar mampu menghasilkan efisiensi yang
lebih tinggi lagi. Solar sel terbaru dengan susunan 18% Silikon dan 21% Gallium Arsenide
akan disempurnakan lagi dengan penambahan celah lipat ganda (multi band gap) dan
sel silikon amorf (amorphous silicon cells). Sedangkan ukuran antena pengirim
gelombang mikro ke bumi dapat dibuat lebih kecil dengan diameter sekitar 1 km.
Berdasarkan perhitungan yang cukup teliti, satelit dengan daya tangkap energi sebesar 5
GW dan antena pengirim gelombang mikro dengan diameter 1 km adalah yang paling
optimum sampai saat ini. Energi matahari yang telah dikonversi menjadi listrik arus searah
oleh solar sel, akan dikirim ke bumi dalam bentuk gelombang radio (khususnya dalam
bentuk gelombang mikro) dengan tabung klystron, magnetron atau solid state amplifier
berdaya tinggi. Frekuensi gelombang radio yang akan digunakan adalah berkisar pada 2
GHz 6 GHz. Pemilihan frekuensi ini berkaitan erat dengan masalah dampak gelombang
mikro terhadap atmosfir dan lingkungan hidup.
Untuk membuat susunan solar sel atau space antenna berukuran 5 x 10 x 0,5 km
kendalanya adalah biaya yang sangat besar.
Untuk mengatasi hal ini bisa dilakukan
dengan membuat perusahaan bersifat konsorsium yang terdiri atas beberapa negara.

91

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Pembuatan space antenna dapat dibuat dengan cara merakit dari kit-kit yang sudah
disiapkan di bumi. Pengirimannya ke angkasa luar sejauh ini tidak ada masalah, karena
manusia sudah berpengalaman dalam mengirim stasiun angkasa luar yang berawak.
Perakitan dilakukan di orbit EBUR atau LEO, yaitu orbit stasiun angkasa luar yang sudah
dikuasai manusia saat ini. Setelah perakitan selesai, space antenna dikirim ke orbit ESBU
atau GSO dengan menggunakan roket pendorong seperti pengiriman satelit yang telah
dilakukan selama ini.
ANTENA PENERIMA ENERGI DI BUMI
Energi matahari yang telah diubah menjadi energi listrik oleh satelit kolektor akan
dikirim ke bumi dalam bentuk gelombang radio (gelombang elektromegnetis). Untuk
dapat menerima gelombang elektromagnetis yang dikirim oleh satelit kolektor, diperlukan
antena penerima gelombang elektromagnetis yang dipasang di bumi. Ukuran antena
penerima agar dapat menghasilkan energi 5 GW dibuat dengan diameter 10 km. Untuk
menerima energi yang lebih kecil, diameter antena penerima juga akan makin kecil.
Berdasarkan beberapa perhitungan yang pernah dibuat [8], menunjukkan bahwa diameter
antena penerima dapat dibuat lebih kecil, tapi antena pengirim gelombang mikro pada
satelit kolektor akan lebih besar. Contoh hubungan diameter antena pengirim dan diameter
antena penerima serta dayanya dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini :
Tabel 3. Ukuran diameter antena pengirim dan penerima serta dayanya.
Perihal
Ukuran dan daya
Diameter antena pengirim (km)
1,00
1,36
1,53
Daya Gel. Mikro terkirim (GW)
6,50
3,53
2,78
Daya DC keluaran dari antena
penerima (GW)
5,00
2,72
2,14
Diameter antena penerima (km)
10,00
7,60
6,80

2,00
1,64
1,20
5,00

Data pada tabel 3 tersebut di atas adalah berdasarkan asumsi bahwa 88 % dari energi
yang dikirimkan oleh antena pengirim akan dapat ditangkap oleh antena penerima di bumi.
Mengingat akan ukuran diameter antena yang cukup besar, maka pemilihan lokasi
penempatan antena penerima harus berada pada tempat yang jauh dari kepadatan
penduduk, sehingga secara teoritis lokasinya akan efektif bila ditempatkan di pulau kosong
atau gurun pasir. Pemilihan lokasi penempatan antena penerima ini merupakan masalah
yang perlu dipikirkan dengan cermat (selain di pulau kosong atau di gurun pasir), karena
akan menyangkut masalah dampak terhadap lingkungan (lihat di akhir bahasan).
Antena penerima sekaligus dihubungkan ke piranti konverter untuk mengubah
kembali gelombang radio menjadi energi listrik. Setelah menjadi energi listrik, tinggal
mengirimkan energi listrik tersebut ke konsumen dan mengenai hal ini tinggal memikirkan
masalah kabel transmisi ke konsumen.. Skema letak satelit kolektor yang telah berada pada
orbit GSO terhadap antena penerima di bumi dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini :

foton

92

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Gel. Mikro

foton

Satelit
Kolektor

Bumi

Matahari

Gambar 1 : Kedudukan satelit kolektor terhadap bumi.

DAMPAK TERHADAP LINGKUNGAN


Pembangunan proyek energi via satelit adalah suatu mega proyek yang
diperkirakan paling cepat baru akan dimulai pada dekade I abad ke 21 mendatang ini. Bila
mega proyek ini berhasil, maka kekhawatiran manusia akan kekurangan energi dapat
diatasi. Namun demikian masalah dampak mega proyek energi via satelit ini terhadap
lingkungan perlu dicermati, agar manfaatnya dapat dirasakan lebih besar dari pada
kerugian yang mungkin ditimbulkannya. Beberapa kendala atau dampak yang berkaitan
dengan masalah lingkungan, antara lain adalah :
Efek biologis akibat adanya gelombang mikro terhadap tubuh manusia. Gelombang mikro
tidak dapat mengionisasikan molekul air yang merupakan bagian terbesar dari tubuh
manusia kecuali dayanya besar, akan tetapi gelombang mikro dapat mengagitasi molekul
air. Akibat dari agitasi ini, suhu molekul akan naik, terutama untuk gelombang mikro yang
berdaya antara 4 mW/cm 2 30 mW/cm2. Bila suhu tubuh manusia naik, maka akan terjadi
pengaruh terhadap kerja susunan syaraf, kerja kelenjar dan pengaruh psikologis manusia.
Dalam hal tertentu efek gelombang mikro bisa menyebabkan sterilisasi. Hasil penelitian
mengenai pengaruh gelombang mikro terhadap tubuh manusia mengatakan bahwa untuk
daya 10 mW/cm 2 masih termasuk dalam nilai ambang batas aman. Nilai ambang batas
aman 10 mW/cm2 ini berlaku di Amerika, sedangkan untuk negara lain belum ada kata
sepakat. Sebagai misal, Rusia menetapkan nilai ambang batas amannya sebesar 0,01
mW/cm2, jauh lebih kecil (1/1000 nya) nilai ambang batas yang ditetapkan oleh Amerika.
Jadi mengenai penetapan nilai ambang batas aman ini masih perlu penelitian lebih
mendalam, demi untuk keselamatan manusia itu sendiri.
Pemakaian gelombang mikro untuk pengiriman energi dari satelit akan berdampak kepada
frekuensi radio (radio frequency interference) yang merupakan sarana berkomunikasi
secara global. Untuk mengatasi hal ini, perlu dilakukan seleksi ketat terhadap frekuensi
radio yang akan digunakan, bila perlu dilengkapi filter agar tidak mengganggu frekuensi
yang sudah ditetapkan selama ini.
Memakan lahan yang luas, padahal luas tanah pada saat ini terasa makin kecil karena
berbagai kegiatan manusia. Untuk lokasi stasiun antena penerima di bumi, diperkirakan
memerlukan luas lahan 270 km2 dan 1/3 dari luas lahan tersebut akan tertutup oleh antena.
Bila luas lahan tersebut dikonversi ke lahan produktif (misalnya untuk lahan pertanian),
maka sangat terasa sekali kerugian pemakaian lahan untuk lokasi astasiun antena penerima
tersebut. Belum lagi masalah soal harga tanahnya, tentunya akan menambah kendala. Oleh
karena itu, pemikiran untuk menempatkan lokasi setasiun antena penerima di daerah

93

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

gurun pasir atau di suatu pulau kosong adalah sangat tepat. Akan tetapi timbul persoalan
baru, bagaimana dengan sarana transmisi jaringan energi listrik ke daerah yang
memerlukan ( ke konsumen) ?
Akan timbul polusi panas, khususnya pada daerah setasiun antena penerima akibat adanya
proses konversi energi dari gelombang mikro ke energi listrik. Sebenarnya polusi panas
akan selalu timbul pada setiap pusat pembangkit tenaga listrik, hanya berbeda pada
kuantitas polusi panas yang dilepas ke lingkungan.
Timbul gangguan pada pengamatan astronomi atau lebih dikenal sebagai optical
astronomy interference yaitu gangguan pada pengamatan astronomi pada malam hari.
Hal ini disebabkan karena bahan pembuat satelit dan solar sel akan memantulkan cahaya
matahari ke bumi. Diperkirakan pantulan cahaya ini akan menyamai cahaya planet Venus
pada malam hari.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di muka, dapat disimpulkan bahwa mega proyek pembuatan
energi via satelit yang akan dimulai paling cepat pada dekade awal abad ke 21 mendatang
ini :
Secara teknologi proyek pemanfaatan energi via satelit sangat mungkin dilaksanakan dan
bila hal ini bisa terlaksana maka masalah kekurangan energi dunia akan dapat dicukupi
dari energi matahari. Masalah pendanaan proyek dapat diatasi melalui pembentukan
usaha konsorsium beberapa negara.
Dampak terhadap lingkungan akibat gelombang mikro dan pemilihan lokasi lahan setasiun
antenna penerima, perlu dicermati lebih dalam lagi agar manfaatnya akan lebih terasa dari
pada kerugian yang mungkin ditimbulkannya.

DAFTAR PUSTAKA
Wisnu Arya Wardhana :RADIOEKOLOGI, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta, 1996.
Wisnu Arya Wardhana :DIVERSIFIKASI ENERGI SEBAGAI UPAYA PENYELAMATAN
LINGKUNGAN, Seminar Nasional Kimia Dalam Industri Dan Lingkungan,
Jaringan Kerjasama Kimia Indonesia, Yogyakarta, 1998.
Wisnu Arya Wardhana :TEKNOLOGI NUKLIR SEBAGAI ANTISIPASI KRISIS
ENERGI, Universitas Airlangga, Surabaya, 1996.
Wisnu Arya Wardhana :TEKNOLOGI NUKLIR, Proteksi Radiasi Dan Aplikasinya,
Penerbit Andi Offset, Yogyakarta, 2006.
Yuliman Purwanto :Alternatif Baru Sumber Energi Listrik Untuk Masa Depan, Elektro
Indonesia, 1996.
El Wakil, M.M. :POWERPLANT TECHNOLOGY, Mc Graw Hill Publishing Company,
New York.
Richard C, Dorf :THE ENERGY FACTBOOK, Mc Graw Hill Book Company, New York.
Liek Wilardjo :GERAK EDAR SATELIT DAN HUKUM KEPLER, Seminar Himpunan
Fisika Indonesia Ke XX, HFI - UK Satyawacana, Salatiga, 1999.

94

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

PEMANFAATAN KOMBINASI BAHAN BAKU


ANTARA AGLOMERAT MINYAK SAWIT MENTAH
DAN BIOMASA SERBUK GERGAJI PADA
PEMBUATAN BRIKET BIO BATUBARA : SUATU
UPAYA MITIGASI LINGKUNGAN AKIBAT
PENGGUNAAN SUMBER DAYA ENERGI TAK
TERBARUKAN
Restu Juniah1*)
Abstrak
Penggunaan sumber energi alternatif seperti briket batubara dapat
menimbulkan dampak lingkungan yang akan merugikan kehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya. Hal tersebut dikarenakan emisi
gas buang yang dihasilkannya dapat mengakibatkan terjadinya
peningkatan gas CO2, SO2, NOx sehingga berpengaruh terhadap
pemanasan global yang menjadi issu penting lingkungan, perubahan
iklim, peningkatan lapisan ozon dan terjadinya hujan asam dan
95

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

menimbulkan efek rumah kaca. Pemanfaatan aglomerat hasil aglomerasi


batubara dan minyak sawit mentah (CPO) dengan biomasa sebagai
bahan baku pembuatan briket bio batubara dilakukan dalam rangka
pengembangan energi terbarukan dan untuk mengurangi dampak
lingkungan yang akan terjadi akibat penggunaan briket batubara
sebagai sumber daya energi tak terbarukan. Kandungan zat terbang
yang tinggi di dalam biomasa dan kandungan sulfur yang nol persen
yang terdapat pada CPO dapat mereduksi gas buang yang teremisikan
ke udara.
Kata kunci : Mitigasi; Biobriket batubara; Aglomerasi; Biomasa serbuk
gergaji
Pendahuluan
Meningkatnya harga minyak mentah dunia hingga ke level US$
104/barel pada awal maret semester pertama tahun 2008 dan perkembangan
harga BBM yang sulit diprediksi, serta untuk melepaskan ketergantungan
terhadap minyak bumi mengharuskan pemerintah mencari berbagai cara
untuk menanggulanginya Salah satunya mencari sumber-sumber energi
alternatif pengganti BBM.
Usaha untuk memitigasi lingkungan akibat penggunaan sumber energi
tak terbarukan batubara terus dilakukan untuk mengurangi dampak
pemanasan global yang menjadi isu penting lingkungan hidup pada saat ini.
Aglomerat batubara dihasilkan dari proses aglomerasi antara batubara
dengan air-minyak. Penerapan metoda aglomerasi dilakukan untuk abu dan
sulfur pada batubara. Seiring dengan penurunan kandungan abu dan sulfur
dalam briket batubara maka kenaikkan nilai kalori batubara juga akan
meningkat, dan diharapkan dapat memberikan nilai tambah yang mirip
dengan batubara kualitas tinggi. Selain hal di atas metoda aglomerasi dapat
mereduksi bahan pengikat yang selama ini digunakan pada pembuatan
briket batubara. Penambahan sumber energi terbarukan biomasa kedalam
campuran briket batubara dapat mereduksi emisi gas buang.
Pencampuran kedua bahan baku yang berasal dari hasil proses
aglomerasi batubara dan minyak sawit mentah dengan biomasa dilakukan
dalam rangka pengembangan energi tak terbarukan fosil batubara dan
energi terbarukan biomasa,
sehingga dapat dihasilkan energi baru
terbarukan yang ramah lingkungan, biobriket batubara tanpa bahan
pengikat dengan kadar air, kadar sulfur dan kadar dan emisi gas buang
rendah serta nilai kalori dan zat terbang tinggi. Diharapkan kombinasi hasil
proses aglomerasi minyak sawit mentah dan penambahan biomasa serbuk

96

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

gergaji ini akan dapat digunakan sebagai bahan baku bio-briket batubara
yang lebih baik daripada briket batubara yang ada saat ini.
Kajian Pustaka Pustaka
Energi baru dan terbarukan
Adanya krisis minyak pada era 1970-an menstimulir upaya untuk
melepaskan ketergantungan terhadap minyak bumi dengan mencari sumbersumber energi alternatif. Agak berbeda dengan yang terjadi pada tahun
1970-an, pengembangan energi alternatif saat ini lebih didasari oleh
keinginan untuk mengembangkan sistem energi yang mendukung upayaupaya pelestarian lingkungan hidup. Teknologi-teknologi energi terbarukan
pada umumnya akrab lingkungan. Dari segi konsep dasarnya teknologi
energi baru dan terbarukan umumnya bukan merupakan hal yang sama
sekali baru. Teknologi-teknologi tersebut pada umumnya berupa
pengembangan dari konsep teknologi energi yang telah lama cukup dikenal.
Disamping itu, upaya pengembangan tersebut juga didasari oleh upaya
mengantisipasi ketidak pastian harga energi.
Energi terbarukan adalah energi yang berasal dari bahan yang ditanam
(baca: tumbuhan) yang dibudidayakan oleh manusia yang selanjutnya
dipanen dan diolah menjadi bahan bakar secara berkesinambungan (Andi
Nur alamsyah,2006: 5). Sumber daya energi terbarukan adalah sumbersumber energi yang out-putnya akan konstan dalam rentang waktu jutaan
tahun. Sumber-sumber energi yang termasuk terbarukan adalah sinar
matahari (langsung), aliran air sungai, angin, gelombang laut, arus pasang
surut, panas bumi dan biomasa.
Biomasa adalah keseluruhan makhluk hidup (hidup atau mati),
misalnya tumbuh-tumbuhan, binatang, mikroorganisme dan bahan organik
(termasuk bahan organik), unsur-unsur utama dari biomasa adalah
bermacam-macam zat kimia (molekul), yang sebagian besar mengandung
atom karbon (C). (Daryanto, 2007: 28).
Kekhasan yang dicirikan biomasa, adalah kadar zat terbang. Bahan
bakar dengan kandungan zat terbang yang tinggi akan mempunyai lidah api
yang lebih panjang (Kamaruddin, 2002: 12). Dengan komposisi tertentu,
diharapkan lidah api tersebut dapat menjaga kestabilan suhu ruang bakar
sehingga dapat mempercepat proses pembakaran butiran batubara yang
menjadi komponen utama biobriket batubara. Biomasa dapat mengatasi
masalah penyalaan dan pembakaran partikel batubara. Kandungan zat
terbang yang tinggi dalam biomasa akan mempercepat proses pembakaran.
Komponen lainnya yang menyangkut sifat pembakaran bahan bakar padat
adalah komposisi unsur-unsur kimia, baik yang terkandung dalam batubara

97

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

maupun dalam biomasa. Apabila terjadi proses pembakaran, unsur-unsur


tersebut akan bereaksi dengan oksigen membentuk senyawa oksida yang
akan teremisi ke udara sebagai gas buang. Yang selalu menjadi perhatian
pemerhati lingkungan terhadap batubara adalah kandungan sulfur. Untuk
biomasa kadar sulfur tidak perlu dikhawatirkan karena umumnya rendah.
Untuk serbuk gergaji hanya 0,07 % (adb).
Dasar digunakan biomasa sebagai bahan pencampur pada briket bio
batubara dikarenakan unsur-unsur kimia seperti karbon (C) dan Sulfur (S)
dan Nitrogen (N), yang terkandung dalam biomas cukup rendah. Unsurunsur tersebut, apabila mengalami proses pembakaran tidak baik atau tidak
sempurna akan menghasilkan emisi gas CO, CO2, SOx dan NOx yang
dikhawatirkan akan berdampak negatif pada perubahan lingkungan
ambient. Tingginya CO2 yang teremisikan ke udara berpotensi mengganggu
efek rumah kaca. Sedangkan senyawa SOx dan NOx berpotensi
mengakibatkan hujan asam (H2SO4). Batubara dikategorikan sebagai bahan
bakar yang mempunyai kadar hidrokarbon (CO, CO2, dan H2) relatif tinggi.
Sedangkan biomasa relatif lebih rendah dibandingkan batubara.
Batubara sebagai bahan bakar
Produk pembakaran CO2 dan uap air, dan polutan serta panas
dihasilkan oleh oksidasi molekul batubara. Batubara sebagai bahan bakar
padat, terbentuk dari unsur-unsur C, H, N, S, O dan komponen mineral abu
yang akan menggangu lingkungan kehidupan apabila dibakar. Oleh karena
itu sebaiknya diupayakan batubara bersih dari abu dan sulfur. Abu batubara
adalah bahan mineral yang tidak dapat dibakar. Penelitian di China (Chen,
1993: 246), menunjukkan bahwa abu dari pembakaran batubara yang
mengandung kadar flour tinggi dapat mengakibatkan timbulnya beberapa
penyakit kulit antara lain kanker kulit dan kelainan genetika pada manusia.
Sedangkan sulfur sebagai pencemar, gas buang berupa gas asam seperti SO 2,
SO3 dan NOx didapat dari pembakaran langsung batubara (Robbins,
1992:1039). Pada saat pembakaran batubara, senyawa sulfur dalam batubara
terkonversi menjadi sulfur oksida (umumnya SO2) yang sebagian besar (90%)
terbawa aliran gas buang ke udara bebas.
Asap yang terjadi pada proses pembakaran diakibatkan oleh adanya zat
yang mudah menguap (volatile) yang secara esensial merupakan aerosol
yang mengandung tar dan karbon. Dari hasil beberapa metoda penentuan
perilaku pembakaran batubara dapat dindikasikan bahwa umumnya
kandungan zat terbang (volatile matter) menunjukkan faktor indeks
ignitability.

98

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Teknologi batubara bersih dan aglomerasi


Teknologi pemanfatan batubara telah berkembang pesat dan dikenal
sebagai Clean Coal Technologi (CCT) atau Teknologi Batubara Bersih (TBB).
Salah satu teknologinya adalah pencucian batubara atau proses aglomerasi.
Proses ini dapat menurunkan kadar abu dan kadar sulfur pirit dalam
batubara.(Nukman, 2007: 6). Teknologi batubara bersih dapat digunakan
untuk berbagai keperluan, sebagai teknologi ramah lingkungan
dimaksudkan untuk mengurangi dampak lingkungan akibat pembakaran
batubara. Teknologi batubara bersih dapat memberikan solusi agar batubara
yang dibakar dapat lebih ramah terhadap lingkungan. Teknologi batubara
bersih dapat mereduksi emisi-emisi dari sulfur oksida, nitrogen oksida dan
polutan lainnya, mulai dari tambang batubara ke pembangkit tenaga listrik
yang memakai batubara sebagai pembakar atau pabrik-pabrik lainnya.
Aglomerasi adalah proses pembersihan permukaan dari kotorankotoran yang berpotensi menjadi pencemar. Pross pembersihan ini dikenal
dengan proses pencucian batubara (Speight, 1994: 569) atau disebut proses
aglomerasi air-minyak. Penggunaan media bahan bakar nabati seperti
minyak sawit mentah, pada proses aglomerasi batubara bertujuan mereduksi
bahan pengikat pada pembriketan batubara. Ini dikarenakan bahan bakar
nabati yang terserap pada permukaan partikel batubara pada saat
aglomerasi dapat mengganti peran bahan pengikat pada saat pembriketan
batubara.
Karakteristik Biobriket batubara
Pembriketan adalah proses aglomerasi partikel-partikel berukuran
kecil menjadi gumpalan ukuran yang lebih besar dengan kondisi sifat fisik
dan kimia tertentu dalam ukuran tertentu. Secara umum, teknologi
pembuatan briket berdasarkan prosesnya dapat dibagi atas tiga macam,
yaitu briket non karbonisasi, briket karbonisasi dan briket bio batubara.
Ketiga proses teknologi tersebut relatif sama, hanya berbeda dalam preparasi
bahan briketnya dan jenis bahan pencampurnya. Briket non karbonisasi
terdiri dari briket tanpa bahan pengikat ini umunya digunakan untuk
batubara muda (lignit, brown coal) dan briket dengan bahan pengikat. Briket
karbonisasi, teknologinya teknologinya relatif sama dengan pembuatan
briket non karbonisasi dengan bahan pengikat. Perbedaannya hamya pada
bahan baku utamanya. Bahan baku briket karbonisasi adalah batubara yang
telah mengalami karbonisasi, yaitu batubara yang telah dikurangi
kandungan volatile matternya.
Biobriket batubara termasuk hal baru dalam pembuatan briket. Disini
ditambahkan serbuk biomas (seperti serbuk kayu, sekam, bagas tepu,

99

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

pelepah pisang, dsbnya) sebanyak sekitar 20 % -30 %. Penambahan biomas


ini dimaksudkan untuk menurunkan titik bakar briket, mempercepat
pembakaran sempurna briket sehingga dapat mengurangi terjadinya gas-gas
pembakaran briket, dsbnya.
Dibandingkan dengan jenis briket batubara lainnya, briket bio batubara
mempunyai tiga nilai lebih (Hayami Hitoshi, 2001:27). Pertama dapat dibuat
dari jenis batubara kualitas rendah maupun tinggi.Kedua biobriket batubara
terbakar hampir sempurna karena suhur lidah api yang terbentuk (flame
temperature) pada saat tahapan devolatisasi cukup tinggi, sehingga
menghasilkan energi efisiensinya yang cukup baik apabila dikaitkan dengan
aspek laingkungan.
Kedua, lidah api terbentuk akibat kandungan zat terbang biomasa lebih
besar, dengan demikian suhu titik bakarnya lebih rendah dibandingkan
dengan batubara. Sehingga partikel-partikel batubara akan lebih cepat
terbakar seiring dengan meningkatnya suhu pembakaran (Yeni sofaeti, 2007:
24). Bio briket batubara merupakan bahan bakar padat hasil pengembangan
dari briket batubara tanpa karbonisasi. Walaupun urutan proses pembuatan
kedua jenis bahan bakar tersebut hampir sama, namun mempunyai sifat fisik
dan kimia yang berbeda. Perbedaan pada sifat kimia antara briket batubara
dan bio briket batubara terletak pada kandungan hidrokarbon. Pada bio
briket batubara mempunyai kandungan hidrokarbon lebih rendah
dibandingkan dengan briket batubara. Kandungan hidrokarbon
berpengaruh besar pada jumlah emisi karbon (CO, CO 2 dan jumlah tar )
(Hayami Hitoshi. Dkk., 2001 : 27).
Berdasarkan kondisi tersebut maka berbagai penelitian untuk
memperoleh briket batubara yang berkualitas terus menerus dikembangkan.
Penelitian selain diarahkan untuk meningkatkan kualitas pembakaran juga
diharapkan akan diperoleh bahan bakar yang bersih dan ramah lingkungan.
Salah satu dari hasil penelitian tersebut adalah bio briket batubara. Teknik
pembriketan biobriket batubara saat ini telah dikembangkan, namun dalam
pembriketannya masih menggunakan bahan pengikat dalam campuran
pembuatan briket.
Selama ini penelitian tentang briket bio batubara di Indonesia, pada
umumnya berkisar pada penelitian mekanis (nilai kuat tekan), sedangkan
penelitian yang mengarah pada karakteristik pembakaran atau perilaku
pembakaran yang dipengaruhi biomasa belum banyak dilakukan.
Pembahasan
Briket batubara di Indonesia sudah dikenal hampir 12 tahun yang lalu,
namun pemanfatannya belum mampu menarik minat konsumen. Beberapa

100

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

faktor penyebabnya antara lain adalah masalah lingkungan yang


ditimbulkannya akibat penggunaannya sebagai bahan bakar. Untuk
mengantisipasi permasalahan tersebut telah dilakukan penelitian dengan
memanfaatkan sumber energi terbarukan biomasa serbuk gergaji pada
campuran biobriket batubara (Yeni sofaeti, 2007) sebagaimana yang
ditunjukkan pada Tabel I.
Bio-briket batubara adalah campuran batubara bubuk dengan biomasa
(bagas, serbuk kayu/gergaji, sekam padi dll). Di Indonesia, baru
diperkenalkan pada tahun 2001. Dari riset yang dilakukan oleh para peneliti
sebelumnya, didapatkan hasil sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel I
TABEL I. HASIL ANALISIS PROKSIMAT dan ULTIMAT BATUBARA
BIOMASSA SERBUK GERGAJI DAN BRIKET BATUBARA SERTA
BIOBRIKET BATUBARA
Batubara*)

Proksimat
(% adb)

Nilai kalori

Kadar Air,
adb %
Kadar
abu,
adb %
Volatile
matter,
adb %
Fixed carbon
adb %
Total
sulfur
adb%
Kkal
/gr

S
C
N
Sumber : *) Nukman,2007;

3,58

Briket
Batubara
hasil aglomerasi*)
4,3

6,5

3,58

2,15

3,08

9,93

43,65

51,89

38,05

74,23

42,41

37,47

13,32

33,01

4412

4374

4582

0,1
53,59
0,69

0,07
44,3
0,1

0,19
46,75
0,59

0,32

0,28

6453

6928

Ultimat
(% adb)

Batubara**)

22,23

Biomassa
Serbuk
Gergaji**)
9,37

Biobriket
Batubara**)
14,65

Yeni Sofaeti,2007

**)

Sebagaimana ditunjukkan Tabel I di atas terlihat bahwa proses


aglomerasi batubara dengan minyak sawit mentah telah menurunkan kadar
abu briket batubara tanpa bahan pengikat dari 6,5 % menjadi 3,58 %.
Sedangkan pada biobriket batubara justru terjadi hal sebaliknya, terjadi
kenikan kadar abu dari 2,15 % pada batubara dan 1,82 % pada biomasa
serbuk gergaji menjadi 9,93 %. Hal ini dikarenakan penggunaan bahan
pengikat clay yang terdiri dari unsur lempung pada campuran biobriket
batubara telah mempengaruhi jumlah kadar abu biobriketbatubara. Terjadi

101

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

kenaikan nilai kalori pada kedua produk (baca: briket batubara dan briket
biobatubara). Kenaikan nilai kalori yang cukup tinggi terjadi pada briket
batubara hasil aglomerasi batubara. Hal ini dikarenakan proses aglomerasi
dilakukan untuk
menurunkan kadar abu batubara. Seiring dengan
penurunan kadar abu terjadi kenaikan nilai kalori batubara. Kadar abu
merupakan salah satu parameter yang dapat mempengaruhi kualitas
batubara. Semakin tinggi kadar abu maka semakin rendah kualitas batubara
karna semakin tinggi kadar abu maka nilai kalori semakin rendah.
Kenaikan zat terbang terjadi pada kedua produk baik pada briket
batubara maupun pada biobriket batubara. Pembriketan batubara yang
dilakukan tanpa proses karbonisasi sebelumnya dapat mempertahankan
kadar zat terbang di dalam briket. Pembriketan batubara secara karbonisasi
dapat mengurangi jumlah zat terbang didalam briket. Ini suatu kerugian,
dikarenakan reaktivitas dan kecepatan pembakaran briket ditentukan
jumlah kandungan zat terbang dalam briket. Briket dengan kandungan zat
terbang yang tinggi akan lebih mudah terbakar dikarenakan suhur lidah api
yang terbentuk pada saat proses pembakaran lebih panjang. Dengan
demikian semakin tinggi reaktivitas pembakaran briket maka briket
semakin mudah terbakar. Selain itu proses pembakaran yang cepat akan
menyebabkan pembakaran menjadi sempurna sehingga asap yang terbentuk
menjadi kecil. Proses pembakaran yang tidak sempurna akan menimbulkan
asap. Semakin sempurna pembakaran maka semakin sedikit asap yang
ditimbulkan. Penambahan biomas ini dimaksudkan untuk menurunkan titik
bakar briket, mempercepat pembakaran sempurna briket sehingga dapat
mengurangi terjadinya gas-gas pembakaran briket, dsbnya. Dari analisa
ultimat pada Tabel I terlihat bahwa jumlah unsur-unsur kimia (C,H,S) yang
apabila terbakar akan membentuk senyawa-senyawa oksida dan teremisi ke
udara sebagai gas buang pada biomasa serbuk lebih rendah dibandingkan
dengan yeng terdapat pada batubara. Dengan demikian pencampuran
biomasa serbuk gergaji pada campuran biobriket batubara akan mengurangi
jumlah gas buang yang teremisi ke udara. Sehingga efek negatif yang
ditimbulkanterhadap lingkungan juga akan berkurang.
Abu sisa pembakaran briket bio batubara dapat digunakan sebagai
pupuk untuk meningkatkan kualitas tanah pertanian walaupun tidak sebaik
gypsum (lihat Tabel II) karena kandungan CaO, CaCO 3 dan CaSO4 nya lebih
rendah.
TABEL II. PERBANDINGAN KOMPOSISI KIMIA BIOCOAL CINA DAN
GYPSUM
Gipsum
hasil
Abu biocoal

102

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

desulfurisasi
Ca(OH)2 (%)
2
CaO (%)
31
CaSO3 (%)
2
CaCO3 (%)
29
CaSO4.2H2 (%)
32
SiO2 (%)
9
Al2O3 (%)
4
Sumber: Hayami Hitoshi, 2001

1
9
1
5
10
27
19

Ramah lingkungan dapat dicapai bila emisi gas buang dari briket yang
dihasilkan nanti dapat memenuhi Standard Emisi Gas Buang Indonesia dan
Negara lain. Emisi gas buang yang dihasilkan dari pembakaran briket biobatubara lebih rendah dibandingkan dengan yang dihasilkan briket
batubara (lihat Table III dan IV ). (Yeni Sofaeti, 2007: 21)
TABEL III. HASIL ANALISIS GAS PEMBAKARAN BRIKET BIOBATUBARA DI RUANG DAPUR SIMULASI BERVENTILASI
No
Lokasi Pengambilan
NOx
SOx
CO
g/m
g/m
g/m3
contoh
3
3
1.
0,5 m ; 15 menit setelah
124
tt
15.000
2. menyala
38
tt
8.000
3
0,5 m ; 45 menit setelah
108
2000
10.000
menyala
0,5 m ; 105 menit setelah
menyala
NAB*)
5600
5200
29.000
Keterangan :
)
*
= Nilai Ambang Batas (NAB) untuk gas dan debu ditempat kerja
berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor : SE01/MEN/1997
)
**
= Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Negara Lingkung Hidup Nomor : KEP13/MENLH/3/1995
TABEL IV. HASIL ANALISIS KUALITAS UDARA RUANG DAPUR SALAH
SATU JASABOGA DI SURABAYA PADA SAAT MENGGUNAKAN
PEMBAKARAN BRIKET BATUBARA SARANG TAWON DAN
SUPER
103

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

No
1.
2.

Lokasi
NOx
SOx
g/m3
g/m3
Pengambilan contoh
2 m dari tempat
865,38
963,32
memasak
425,36
369,50
5 m dari tempat
memasak
NAB*)
5600
5200
Briket Super Terkarbonisasi
Ruang
Dapur
938,77
1102,9
Simulasi
0

CO
g/m3
2.988
1750,20

29.000
2857,14

Pengembangan ke arah pemanfaatan kedua bahan baku dari riset


sebelumnya akan memberikan hasil optimum bagi pembuatan briket biobatubara tanpa bahan pengikat dan sebagai upaya mitigasi lingkungan
akibat pemanfaatan sumber energi tak terbarukan batubara. Keberhasilan
pengembagan pembuatan biobriket batubara akan memberikan sumbangan
pemikiran untuk meningkatkan kualitas batubara Indonesia dan produk
briket bio-batubara serta diversifikasi pemakaian produk bahan bakar nabati
sebagai sumber energi.
Kesimpulan Dan Rekomendasi
Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan peneliti sebelumnya, telah dilakukan
reduksi bahan pengikat, melalui briket batubara yang dihasilkan dari proses
aglomerasi dengan nilai sulfur dan abu rendah serta nilai kalori tinggi.
Dari penelitian yang juga telah dilakukan dari peneliti sebelumnya telah
dilakukan reduksi emisi gas buang dengan mengurangi jumlah unsur-unsur
kimia penyebab emisi gas buang, melalui penambahan biomasa serbuk
gergaji ke campuran biobriket batubara.
Dari penelitian yang telah dilakukan para peneliti sebelumnya selanjutnya
dalam rangka memitigasi lingkungan akibat penggunaan sumber energi tak
terbarukan batubara akan dikembangkan briket bio batubara tanpa bahan
pengikat dengan mengkombinasikan kedua bahan baku yang telah
dilakukan peneliti sebelumnya yaitu aglomerat hasil aglomerasi batubaraminyak sawit mentah dan bioamasa serbuk gergaji.
Rekomendasi

104

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Dalam rangka pengembangan diversifikasi sumber energi baru


terbarukan dan untuk meminimalisir dampak pencemaran lingkungan yang
ditimbulkan dan guna memitigasi lingkungan akibat pemanfaatan sumber
energi tak terbarukan batubara maka dalam pembuatan biobriket batubara
tanpa bahan pengikat direkomendasikan untuk menggunakan bahan baku
yang dapat mengantisipasi dan memperkecil dampak lingkungan yang
terjadi akibat penggunaan sumber energi tersebut.
Daftar Pustaka
Andi Nur alamsyah., (2007), Meraup Untung dari Jarak Pagar , Agromedia
Pustaka, Jakarta, hal 4-7
Chen Y., (1993 ), Air Pollution type Fluorous in the region of Pingxiang,
Jiangxi, Peoples Republics of China , Arc Enviro Health, Jul- Aug, Page 246
Daryanto., (2007), Energi : Masalah dan Pemanfaatannya Bagi Kehidupan
Manusia , Pustaka Widyatama, Yogyakarta, hal 28
Hayami Hitoshi,2001., Bio-coal briquettes and planting Trees an
experimental CDM in China, Keio Economic Observatory, Discussion Paper
G- No.136 (September) hal 1-27
Kamarudin., A., (2002), Biomass Energy Potensials and Utilization in
Indonesia: Laboratory of Energy and Agricultural Electrification ,
Departemen of Agricultural Engineering , IPB. hal 1-12
Nukman., (2007), Proses Aglomerasi Air-Minyak Sawit Untuk Menurunkan
Kadar Abu Dan Sulfur Serta Meningkatkan Nilai Kalori Batubara Semi
Antrasit, Bituminus dan Sub Bituminus , Doktor Disertasi, Program Pasca
Sarjana FMIPA Universitas Indonesia
Robbins. G.A., (1992) , Aglomeration of Low-Rank Coal as a Pretretment
for Direct Coal Liquefaction , Jurnal of Fuel, Page 1039
Speight. James G., (1994), The Chemistry and Technology of Coal , Marcel
Dekker, Inc. New York, Page 569

105

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Ward, C, R, Mineral Matter in Low Rank Coals and associated Strata of


The Mae Moh Basin, Northern Thailand , International Journal of Coal
Technology, Vol 17, PP 69 93, www.elsevier.com/locate/ijocoalgeo.
Yeni Sofaeti, (2007), Pengaruh Biomas Terhadap Kualitas Bio-Briket
Batubara , Master Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran,
Bandung.r

JAMINAN MUTU PADA TAHAP STUDI TAPAK PLTN


Bansyah Kironi3
Abstrak
JAMINAN MUTU PADA TAHAP STUDI TAPAK PLTN. Dalam rangka
menjamin keandalan dan keselamatan suatu reaktor, baik reaktor penelitian
3

Pengkajian Kelayakan Tapak PLTN-PPEN BATAN, Jakarta

106

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

maupun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), Program Jaminan Mutu


perlu dilaksanakan secara ketat dan terukur. Mengingat pentingnya masalah
Jaminan Mutu ini, kita perlu segera memperkenalkannya dan menerapkannya
dalam setiap tahap pekerjaan yang menyangkut keandalan dan keselamatan.
Disini dicoba diuraikan secara singkat dasar-dasar program Jaminan Mutu
serta penerapannya pada tahap studi tapak PLTN.
Kata kunci : Studi Tapak dan Jaminan Mutu
Abstract
QUALITY ASSURANCE IN NPP SITING, In The framework at ensuring and
reliability of Research reactor and
Power reactor, Quality Assurance
Programmed needs to be
implemented
firmly and
measurably,
considering the importance of quality assurance , we need introduce and
applicant it in every phase the work, reliability, and safety. This paper
concisely describe concise the basic of Quality Assurance Program me and its
application in the NPP site study.
Key Words: Quality Assurance and Site study

Pendahuluan
Sesuai dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran,
BATAN mempunyai fungsi sebagai Badan Pelaksana yang bertugas menyiapkan dan
mempromosikan program energi nuklir di Indonesia (Anonim, 1997). Sedangkan fungsi
pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) akan dilaksanakan oleh BUMN,
Koperasi dan/atau Badan swasta. Oleh karena itu BATAN tidak mempunyai kepentingan
komersial dalam mempersiapkan program tersebut, kecuali melaksanakan tugas
Pemerintah menjalankan amanat Undang-Undang.
PLTN yang mempunyai suatu konsep padat teknologi yang secara teknis cocok
untuk memenuhi kebutuhan listrik di Pulau Jawa dan luar Jawa, dimana aspek
keselamatan selalu menjadi suatu persyaratan dan pertimbangan utama di atas segala
galanya. PLTN yang dipilih harus memenuhi ketentuan peraturan keselamatan nasional
yang dibuat oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) dan international oleh
Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency)
Badan Tenaga Atom Internasional telah menetapkan standar dan pedoman
keselamatan yang telah beberapa kali dirubah (lampiran 1) bahwa sistem dokumentasi
jaminan mutu dilaksanakan berdasarkan pembuatan dan pelaksanaan Program Jaminan
Mutu (50-SG-Q1: Establishing and Implementing a Quality Assurance Programme) meliputi
kebijakan dan sasaran, kontrol manajemen dan pelaksanaan pekerjaan (lampiran 2). Sistem
dokumentasi yang ditetapkan dan terpelihara merupakan bagian mendasar dari kegiatankegiatan yang dapat mempengaruhi aspek jaminan mutu pada tahapan pemilihan tapak.
Kajian Studi Tapak dilakukan dengan mengacu persyaratan standar Badan Tenaga
Atom Internasional (50-C-S, Rev.1: Code on The Safety of Nuclear Power Plants: Siting, 1988,
lampiran 3), dokumen ini telah diganti dengan (IAEA-NS_R-3 :Site Evaluation for Nuclear
Installations, 2003, lampiran 4).

107

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Sedangkan peraturan nasional akan diterbitkan oleh Peraturan Kepala BAPETEN


mengadopsi atau terjemahan dari pedoman (Guidance) Badan Tenaga Atom Internasional
yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi geologi di Indonesia.
Sistimatika
Dokumentasi Program Jaminan Mutu ialah perangkat-perangkat dokumen yang
menjelaskan keseluruhan ukuran yang ditetapkan organisasi untuk mencapai tujuan dan
sasaran manajemen. Tujuan dan sasaran tersebut berlaku bagi tiap satuan kerja dan
individu dalam organisasi.
Manajemen organisasi harus membuat, melaksanakan dan memelihara Program
Jaminan Mutu (PJM). Program Jaminan Mutu harus berlaku dan mengikat setiap orang
dalam pengelolaan studi atau Instalasi. Program Jaminan Mutu merupakan alat
manajemen interdisiplin yang mengandung pengertian menjamin bahwa seluruh kegiatan
terencana, terlaksana dengan benar dan dapat diases. Dengan demikian program ini
memberikan pendekatan sistematik untuk menyelesaikan kegiatan dengan tujuan pokok
sejak awal melaksanakan tugas dengan benar.
Fungsi Jaminan Mutu meliputi:
1. Penyusunan Program Jaminan Mutu;
2. Organisasi dan tata kerja pelaksanaan Program Jaminan Mutu ;
3. Pengawasan jaminan mutu.
Pembahasan
Metode yang digunakan adalah kajian dari studi pustaka dan praktek lapangan
yang sudah pernah dilaksanakan oleh BATAN dan mitra kerja pada penelitian dan
pengembangan selama ini. BATAN mempunyai pengalaman dalam penerapan Jaminan
Mutu, sebelum ada pedoman dari IAEA, telah menerapkan pedoman ( Code of Federal
Regulations No.10-CFR-part 100) dari Komisi Peraturan Nuklir Amerika Serikat (United
State of Nuclear Regulatory Commission) untuk Pusat Penelitian Pengembangan
(puslitbang) BATAN yang berada di Bandung, Yogyakarta dan Pasar Jumat Jakarta.
Pada tahap pembangunan Reaktor Penelitian G.A.Siwabessy Serpong dari tahun
1983-1987, Manajemen Proyek membuat dokumen Batan Quality Assurance Manuals
(BQAM), tahun 1983 yang diadopsi dari dokumen IAEA : (50-C-QA: Quality Assurance
for safety in Nuclear Power Plants, 1978).
Saat Studi Tapak Muria yang dilaksanakan oleh Konsultan Newjec.Inc pada
Tahun 1991-1996 di Jepara Jawa Tengah, untuk teknis pemilihan tapak konsultan Newjec.
Inc, telah membuat sebuah prosedur teknis peringkatan tapak (Dok.No.INPP-E-003, 1993:
Procedure for Site Rangking Technique).
Manajemen Proyek Batan membuat dokumen (Batan Quality Assurance
Programme for The Site and Environmental Study of The First Indonesia Nuclear Power Plant ,
1992) adopsi dari dokumen IAEA : (50C-QA- Rev.1 : Quality Assurance for safety in
Nuclear Power Plants, 1988),
Selanjutnya IAEA menerbitkan Dokumen (IAEA, 50-C-Q : Quality Assurance for
safety in Nuclear Power Plants and other Nuclear Installations, 1996), terakhir IAEA
menerbitkan lagi dokumen menggantikan dokumen diatas yaitu (IAEA No. GS-R-3: The
Management System for Facilities and Activities ) dan dokumen pendukung yaitu IAEA :No.
GS-G-3.1 : Apllication of The Management System for Facilities and Activities , 2006,
(Lampiran 4). Dokumen ini akan di implementasikan pada setiap kegiatan ataupun
penelitian puslitbang BATAN termasuk studi tapak PLTN.

108

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

1.
2.
3.
4.
5.

Program Jaminan Mutu harus dapat menjelaskan struktur organisasi, tanggung


jawab, kewenangan dan keterkaitan organisasi untuk mengatur, melakukan, dan menilai
suatu pekerjaan., jauh sebelum ditetapkan Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 2006 tentang
Perizinan reaktor nuklir, BATAN sudah membuat Surat Keputusan Dirjen BATAN No. PS
05 11/57/DJ/1990 tentang Jaminan Mutu Instalasi Nuklir, setelah UU No.10 Tahun 1997,
adanya pemisahan organisasi antara Batan dan Bapeten.
Dalam Peraturan Kepala.Bapeten No.07/Ka.Bapeten/V-99 tentang Jaminan Mutu
Instalasi Nuklir adopsi dari Keputusan Dirjen BATAN No. PS 05 11/57/DJ/1990 yang perlu
diperhatikan:
Program Jaminan Mutu, harus disetujui terlebih dahulu oleh Bapeten selanjutnya
pemohon bertanggung jawab atas pelaksanaannya.

Setiap perubahan yang dilakukan terhadap program jaminan kualitas harus


dilaporkan dan mendapat persetujuan dari Bapeten.
Penyusunan dan pelaksananan Program Jaminan Mutu dapat diserahkan sebagian
atau seluruhnya kepada organisasi lain seperti kontraktor atau konsultan, tetapi
pemohon tetap bertanggung jawab atas pelaksanaan program secara keseluruhan.
Pada tahun 2001, Pusat Standardisasi dan Jaminan Mutu Nuklir BATAN membuat
Buku Induk Jaminan Mutu BATAN (BIJMB) seri A dan seri B tahun 2001. Setiap
Pusat/Biro/Inspektorat harus mempunyai Tim Jaminan Mutu Unit (penjelasan butir 6.51,
seri B-BIJMB) dengan tugas antara lain sebagai berikut;
Menyusun Konsep manual Mutu dokumen level 1;
Menyusun konsep daftar Utama (master list) prosedur;
Membuat prosedur audit internal;
Membuat prosedur membuat prosedur;
Melakukan audit internal
Catatan : Prosedur dan Instruksi kerja dibuat oleh organisasi terkait.
Pada tahun 2004, BATAN telah membuat dokumen yang berkaitan dengan mutu
yaitu Sistem Standardisasi BATAN Keputusan Kepala BATAN, No.199/KA/IV/2004. dan
dokumen Sistem Manajemen Mutu (SSM), Dok. No.SB 77-0001-80:2005 adopsi dari SN 199001-2001, untuk unit kerja yang ingin disertifikasi SMM BATAN, harus menerapkan SMM
dan dokumentasi minimum 3 (tiga) bulan dan telah melaksanakan audit internal dan
tinjauan manajemen minimal 1 (satu) kali. Sertifikasi Batan meliputi rangkaian kegiatan
penerbitan sertifikat terhadap Sistem Manajemen Mutu, personel, lingkungan dan produk
untuk lingkup Batan.
Pada tahun 2007, BATAN telah menerbitkan dokumen Pedoman tentang
Persyaratan Umum Kompetensi Laboratorium Pengujian dan Laboratorium Kalibrasi, Dok.
No.SB 77-0003-80:2007 dirumuskan dengan mengacu sepenuhnya kepada ISO/IEC
17025:2005 (E).
Didalam Undang-Undang No.10 tahun 1997 tentang Ketenaga-nukliran yang perlu
kita perhatikan adalah:. Setiap pemanfaatan tenaga nuklir wajib memiliki izin, kecuali
dalam hal-hal tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Syarat-syarat
dan tata cara perizinan akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (pasal 17, UU
No.10/1997) dan Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 2006 tentang Perizinan reaktor nuklir,
pada Pasal 9 : Untuk mendapatkan izin tapak, pemohon harus mengajukan permohonan
kepada Kepala BAPETEN dengan melampirkan dokumen persyaratan administrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan dokumen persyaratan teknis sebagai
berikut:

109

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

a.
b.

Laporan evaluasi tapak;


Data utama reaktor nuklir yang akan dibangun;
c.
Daftar Informasi Desain pendahuluan; dan
d.
Rekaman pelaksanaan program jaminan mutu evaluasi tapak.
Jadi Program Jaminan Mutu harus dibuat sedini mungkin sesuai dengan
tahap pengajuan permohonan izin instalasi nuklir menurut peraturan dan
perundang-undang yang berlaku , rekaman Program Jaminan Mutu harus sudah
disusun pada saat pengajuan permohonan izin tapak (pasal 9 item d, PP No.43).
yang merupakan bagian persyaratan teknis untuk izin tapak yang akan dikeluarkan
oleh Bapeten.
Manajemen proyek studi tapakharus mempunyai sumber daya yang
diperlukan untuk organisasi yang menugaskan dan bertangungjawab sbb:
1. menjamin bahwa Program Jaminan Mutu dilaksanakan secara efektif;
2. menjamin kegiatan studi tapak dikerjakan sesuai persyaratan, prosedur dan
instruksi termasuk implementasi persyaratan spesifikasi;
3. menjamin kegiatan studi tapak yang dikerjakan termasuk kegiatan oleh
organisasi jasa yang dikoordinasikan dilakukan dan diselesaikan sesuai
rencana kerja kegiatan yang diprogramkan.
Untuk mendapatkan tapak PLTN yang siap untuk dibangun PLTN ada
beberapa tahapan yang harus dilakukan, yaitu tahap (1) Analisis regional untuk
mengidentifikasi tapak potensial;
(2) pemilihan calon tapak potensial; (3)
4
pemeringkatan tapak terpilih .
Pada tahap survei tapak, kegiatan yang dilakukan adalah untuk analisis
data sekunder (termasuk peta) secara regional dengan menggunakan kriteria yang
sangat umum dengan tujuan untuk medapatkan daerah interest. Dalam tahapan ini
kegiatan lebih difokuskan untuk koordinasi, konsolidasi, perencanaan survei tapak,
dan survei pendahuluan (pra survei)
Kegiatan Tapak yang mempersyaratkan Prosedur 5
1. penyusunan persyaratan untuk laporan survai tapak
2. pengembangan dan persetujuan rencana survai tapak
3. pemilihan dari jasa spesialis
4. pemantauan dari jasa spesialis
5. penyusunan persyaratan untuk laporan tapak akhir
6. perencanaan, penugasan dan pengendalian pekerjaan
7. pengumpulan, perlindungan dan pemeliharaan data
8. penyusunan format dari data
9. penganalisaan data dan kesimpulan dokumentasi
10. prosedur laboratorium
11. penyusunan persyaratan untuk sampel uji.
12. pengembangan model dan validasinya;
13. pertukaran data dan kesimpulan.
Kriteria-kriteria tersebut diatas harus diimplementasikan oleh organisasi
mulai dari kegiatan studi tapak, desain, pengadaan, konstruksi, komisioning dan
operasi. Sementara belum adanya pedoman penyusunan Program Jaminan Mutu
yang lebih baru oleh BAPETEN.
4
5

.IAEA-Safety Series No.50-SG-S9


. IAEA-Safety Series No.50-SG-Q9

110

SEMINAR DAN LOKAKARYA NASIONAL ENERGI DAN LINGKUNGAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN EFISIENSI ENERGI

SEMARANG, 22-23 APRIL 2008

Kesimpulan
1.
Dalam rangka persiapan pembangunan PLTN, BATAN sebagai Badan
Pelaksana yang bertugas melaksanakan pemanfaatan tenaga nuklir, harus
mengikuti peraturan perundangan yang telah ada dan BAPETEN sebagai Badan
pengawas bertugas mempersiapkan peraturan pendukung lainnya.
2.
Pelaksanaan praktis di lapangan pada saat studi tapak tentang penerapan
Jaminan Mutu yang cukup ketat berdasakan PP No.43 tahun 2006, pasal 9.
3.
Penyusunan rencana kerja, pelaksanaan, pemantauan, dan pengawasan
dilakukan secara terpadu antar kegiatan oleh organisasi

Daftar Pustaka
Anonim. (1997). Undang-undang No.10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Jakarta.
Anonim. (2006). Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 2006 tentang Perizinan reaktor
nuklir, Jakarta
Anonim. (1997), Kepres No.1997 tahun 1997 tentang Badan Tenaga Nuklir Nasional,
Jakarta.
BAPETEN. (1999), No. 07/Ka-Bapeten/V-99: Jaminan Kualitas Instalasi Nuklir, Jakarta.
BATAN. (2001). Buku Induk Jaminan Mutu BATAN, Seri-A-B, Jakarta, pp. 6-57
IAEA. (1996). Code on Quality Assurance for Safety in Nuclear Power Plants and other
Nuclear Installations, IAEA 50-C-Q Vienna, pp. 1-128
IAEA. (1988). Code on The safety of NPP Sitting, IAEA 50-C-S (Rev.1, Vienna, pp. 1-99
NEWJEC. Inc, (1991), Quality Assurance Program INPP Feasibility Study of The First NPPs
at Muria
Peninsula Region Central Java, Jakarta

111

Lampiran 1: QA Documents -IAEA

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

50-C-Q

LIST OF QA-NUSS-IAEA PROGRAMME TITLES


Code on Quality Assurance for Safety in Nuclear Power Plants and other Nuclear
Installations, 1996

50-SG-Q1
50-SG-Q2
50-SG-Q3
50-SG-Q4
50-SG-Q5
50-SG-Q6
50-SG-Q7
50-SG-Q8
50-SG-Q9
50-SG-Q10
50-SG-Q11
50-SG-Q12
50-SG-Q13
50-SG-Q14

Establishing and implementing a Quality Assurance Programme


Non-conformance control and corrective actions
Document control and records
Inspection and testing for acceptance
Assesment of the implementation of the Quality Assurance Programme
Quality Assurance in procurement of items and services
Quality Assurance in manufacturing
Quality Assurance in research and development
Quality Assurance in siting
Quality Assurance in design
Quality Assurance in construction
Quality Assurance in commissioning,
Quality Assurance in operation,
Quality Assurance in decommissioning

Lampiran 2: Susunan Dokumen Program Jaminan Mutu

Level 1 Uraian program jaminan Mutu


Kebijakan Mutu
Misi dan tujuan
Susunan organisasi
- Tanggung jawab fungsional

Kontrol manajemen

Pelaksanaan kerja
Lampiran 3. Sitting Documents-IAEA

Level 2. Manajemen dokumen


Prosedur manajemen
Uraian tugas
Susunan antarmuka
Manual
manual bagian
Level 3. Dokumen kerja terinci
Instruksi kerja
Instruksi teknis
Gambar-gambar
Jadual dan rencana
rencana dan jadual

LIST OF SITING- NUSS-IAEA PROGRAMME TITLES

SO-C-S (Rev. 1)

50-SG-S1 (Rev. 1)
50-SG-S2
50-SG-S3
50-SG-S4

Code on the safety of nuclear power plants: Siting

1988

Safety Guides
Earthquakes and associated topics in relation to nuclear power
plant siting
Seismic Analysis and Testing of Nuclear Power Plants
Atmospheric dispersion in nuclear power plant siting
Site selection and evaluation for nuclear power plants with respect
to population distribution

1991
1979
1980
1980

50-SG-SS
50-SG-S6
50-SG-S7
50-SG-S8
50-SG-S9
50-SG-S10A
50-SG-S10B
50-SG-S11A

External man-induced events in relation to nuclear power plant


siting
Hydrological dispersion of radioactive material in relation to NPPs
Nuclear power plant siting: Hydrogeological aspects
Safety aspects of the foundations of nuclear power plants
Site survey for nuclear power plants
Design basis flood for nuclear power plants on river sites
Design basis flood for nuclear power plants on coastal sites
Extreme meteorological events in nuclear power plant siting,
excluding tropical cyclones

1981
1985
1984
1986
1984
1983
1983
1981

50-SG-S11B

Design basis tropical cyclone for nuclear power plants

1984

Lampiran 4: Siting Documents-IAEA


IAEA Safety Standard Series Documents
1

Safety Requirements No. NS-R-3

Site Evaluation for Nuclear Installations

2003

Safety Guide No. NS-G-3.1

External Human Induced Events in Site


Evaluation for Nuclear Power Plants
Dispersion of Radioactive Material in
Air and Water and Consideration of
Population Distribution in Site
Evaluation for Nuclear Power Plants
Evaluation of Seismic Hazards for
Nuclear Power Plants
Meteorological Events in Site Evaluation
for Nuclear Power Plants
Flood Hazard for Nuclear Power Plants
on Coastal and River Sites
Geotechnical Aspects of Site Evaluation
and Foundations for Nuclear Power
Plants

2002

Safety Guide No. NS-G-3.2


3
4

Safety Guide No. NS-G-3.3

Safety Guide No. NS-G-3.4

Safety Guide No. NS-G-3.5


Safety Guide No. NS-G-3.6

2002

2002
2003
2003

2004

Lampiran 5: Evolutions QA-Criterion-IAEA

1978
50-C-QA

EVOLUTION OF QA-NUSS-IAEA
1988
50-C-QA (Rev.1)

Quality Assurance for


safety in Nuclear Power
Plants

13 Criteria

Quality Assurance for


safety in Nuclear Power
Plants

13 Criteria

1996
50-C-Q

2006
GS-R-3

Quality Assurance
for safety in Nuclear
Power Plants and
other Nuclear
Installations

The
Manag
ement
System
for
Faciliti
es and
Activiti
es
6
Criteri
a
Introd
uction
Manag
ement
System
Manag
ement
Respon
sibility
Resour
ce
Manag
ement
Proces
s
Imple
mentat
ion
Measu
rement
,
Asses
ment
and
Improv
ement

10 Criteria

Introduction

Introduction

Quality Assurance
Programme
Training and
Qualification

Quality Assurance
Programme

Quality Assurance
Programme

Organization

Organization

Non-Conformance
Control and
Corective action

Documents Control

Documents Control

Documents Control
and Records

Design Control

Design Control

Work

Procurement Control

Procurement Control

Design

7
8

Material Control
Process Control

Control of Items
Process Control

Inspection and Test


Control

Inspection and Test


Control

Procurement
Inspection and
Testing for
acceptance
Management self
assesment

10
11
12
13

Non-Conformance
Control
Corrective action
Records
Audit

Non-Conformance
Control
Corrective action
Records
Audit

Independent
assesment

KAJIAN AWAL PEMANFAATAN LIMBAH JARAK


PAGAR (JATROPHA CURCAS)
SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF
4

N. Agung Pambudi 1, Harwin Saptoadi 1

Abstract
Beberapa tahun terakhir ini energi merupakan persoalan yang krusial didunia.
Peningkatan permintaan energi yang makin tinggi, menipisnya sumber cadangan minyak
dan permasalahan emisi bahan bakar fosil serta lonjakan harga minyak hingga mencapai
100 U$ per barel memicu terjadinya krisis energi. Mensikapai keadaaan tersebut
pemerintah telah merumuskan kebijakan proyeksi terhadap tanaman jarak pagar (Jatropha
curcas) sebagai tanaman bioeenrgy dengan menargetkan 1,5 juta Ha hingga tahun 2010.
Pengolahan jarak pagar menjadi minyak biodiesel melalui proses ekstraksi menghasilkan
kandungan limbah sekitar 65% -75%, artinya pengolahan biodiesel memnghasilkan
jumlah limbah yang lebih besar dibandingkan kandungan minyaknya. Dalam penelitian
ini akan meninjau nilai kalor masing masing bagian limbah jarak pagar yaitu cangkang,
bungkil dan sludge. Selanjutnya, proses karbonisasi dilakukan unntuk meningkatkan nilai
kalor bagian tersebut.

Kata Kunci : Jarak pagar, Nilai kalor, Minyak, Karbonisasi

Pendahuluan
Konsumsi energi global saat ini mencapai sekita 400 EJ pertahun. Konsumsi ini akan
terus meningkat hingga tahun tahun mendatang seiring dengan peningkatan populasi
penduduk dan serta pertumbuhan ekonomi global. Menurut laporan interntional energy
agency (IEA), disampaikan bahwa pada tahun 2025 pertumbuhan enegi akan meningkat
hingga 50 persen dari total kebutuhan energii pada saat ini. Peningkatan kebutuhan energi
terbesar terjadi banyak di negara berkembang seperti china dan india sebagai konsekuensi
dari percepatan produksi industri untuk meningkatkan perekonomian. Di Indonesia
sendiri, menurut buku putih tentang komsumsi energi nasional, kebutuhan energi akan
meningkat hingga 1,6 % pertahunnya. Sebagian besar kebutuhan energi ini di pasok oleh
minyak bumi yang memiliki banyak persoalan. Ketidakstabilan harga, hingga mencapai 100
U$ per barel lebih, ketersediaan yang makin menipis serta issue globar warming yang
menjadi pembicaraan yang menarik dalam pertemuan Bali beberapa bulan yang lalu.

Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Universitas Gadjah Mada


*)Corresponding Author. E-mail : agungpambudi81@yahoo.com
1

Lonjakan harga minyak dunia memberikan dampak terhadap perekonomian nasional.


Subsidi yang makin membengkak sangat dirasakan mengganggu sektor lain. Konsumsi
BBM yang mencapai 1,3 juta/barel tidak seimbang dengan produksinya yang nilainya
sekitar 1 juta/barel, sehingga terdapat defisit yang harus dipenuhi melalui impor. Menurut

data ESDM (2006) cadangan minyak Indonesia hanya tersisa sekitar 9 milliar barel. Apabila
terus dikonsumsi tanpa ditemukannya cadangan minyak baru, diperkirakan cadangan
minyak ini akan habis dalam dua dekade mendatang. Bila hal ini terus berlanjut tanpa
mempetimbangkan energi alternatif maka akan terjadi permasalahan yang krusial bagi
masa depan ekonomi bangsa Indonesia.
Sebagai solusi Kebijakan energi alternatif pemerintah telah menerbitkan blue print dan
road map untuk mewujudkan pengembangan BBN. Selain itu, pemerintah menerbitkan
peraturan presiden republik Indonesia nomor 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi
nasionals sebagai konsep untuk mengembangkan sumber energi alternatif pengganti bahan
bakar minyak. Kebijakan tersebut menekankan pada sumber daya yang dapat diperbaharui
sebagai altenatif pengganti bahan bakar minyak. Ditambah dengan penerbitan Instruksi
Presiden No 1 tahun 2006 tertanggal 25 januari 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan
bahan bakar nabati (biofuels), sebagai energi alternatif .

Tabel 1.
Potensi energi terbaharukan di Indonesia
Jenis
sumber energi
Hidro
Mikrohidro
Geotermal
Biomassa
Surya
Angin

Potensi
75,67 GW
712 MW
27 GW
49.81 GW
4,8 kWh/m2/day
3 6 m/sec

Kapasitas terpasang
4200 MW
206 MW
807 MW
302.4 MW
6 MW
0,6 MW

Sumber : Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, 2004


a memiliki beberapa sumber energi terbarukan yang berpotensi besar, antara lain
Sebagai negara agraris beriklim tropis, Indonesia memiliki lahan pertanian yang luas
dan bahan baku biomassa yang melimpah. Potensi ini dapat dijadikan dasar sebagai upaya
untuk pengembangan energi terbaharukan dari biomassa tepatnya jarak pagar. Proyeksi
jarak pagar sebagai bahan bakar alternatif telah dituangkan dalam roadmap pengembagnan
energi nabati hingga tahun 2010, seperti dalam tabel berikut ini :
Tabel 2. Proyeksi Pengembangan BBN hingga 2015
Bahan Baku BBN
Parameter
Kelapa Sawit
Jarak Pagar
Tebu
Lahan (juta Ha)
4
3
1.75
Sumber : Tim nasional pengembangan BBN

Singkong
1.5

Jarak pagar (Jatropha curcas Linn) atau juga disebut juga physic nut merupakan tanaman
yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat, saat zaman penjajahan jepang. Minyak jarak
pagar dipergunakan sebagai bahan pelumas dan bahan bakar pesawat terbang. Sesuai
dengan namanya, tanaman ini memang dimanfaatkan masyarakat sebagai tanaman pagar
serta sebagai obat tradisional, disamping sebagai bahan bakar dan minyak peluas.
Perkembangan jarak pagar sangat luas, awalnya dari amerika tengah, kemudian menyebar
ke Afrika dan Asia. Luasnya perkembangan jarak pagar disebabkan oleh kemudahan dalam
pertumbuhannya. Menurut Hambali. E, dkk (2007), Jarak pagar dapat hidup dan
berkembang dari dataran rendah sampai dataran tinggi, curah hujan yang rendah maupun)
serta rentang suhu 20 26 oC. Karena sifat tersebut tanaman jarak pagar mampu tumbuh

pada tanah berpasir, bebatu, lempung ataupun tanah liat, sehingga jarak pagar dapat
dikembangkan pada lahan kritis .
B iji ja ra k p a g a r

B u n g k il

e k s tra k s i / p re s s

S lu d g e

P e n y a rin g a n

C JO

P e m u rn ia n

`
E s te rif ik a s i /
T ra n s e s te rif ik a s i
B io d ie s e l

D e a s ifik a s i

P P O

Gambar 1. Proses menghasilkan bungkil dan sludge


Jarak pagar memiliki buah yang terdiri dari daging buah, cangkang biji dan inti biji.
Inti merupakan sumber bagian yang menghasilkan minyak sebagai bahan bakar biodiesel
dengan proses awal ekstraksi. Kandungan minyak yang terdapat dalam biji baik cangkang
maupun buah berkisar 25-35 % berat kering biji Prihandana, R(2007), jarak pagar mampu
menghasilkan 7,5 10 ton /ha/tahun tergantung dari kualitas benih, agroklimat, tingkat
kesuburan tanah dan pemeliharaan, (Hambali. E, 2007). Sebagai perhitungan kasar produksi
minyak jarak mentah, cruide jatropha oil (CJO), dari 25 % /biji kering maka dapat diperoleh
minyak hasil ekstraksi sebesar 1,875 2,5 ton minyak /ha/tahun
Pengolahan jarak pagar menjadi biodiesel dengan mengekstrak biji jarak pagar yang
terkandung dalam cangkang dan buahnya. Kadar minyak dalam biji jarak pagar berkisar 25
35 % berat kering biji, dengan demikian masih terdapat sisa ekstraksi sebesar 75 65 %
yang masih dapat dimanfaatkan dari biji jarak tersebut. Produk sisa ekstraksi ini terdiri dari
cangkang, bungkil dan sludge. Kandungan ampas yang lebih besar dari minyak yang
dihasilkan apabila tidak dimanfaatkan dapat menimbulkan persoalan baru dalam
penganaan limbah indsutri jarak pagar. Dalam penelitian ini akan mengkaji nilai energi
yang terdapat pada masing masing bagian sisa dari pengolahan industri tanaman jarak
pagar menjadi biodiesel. Masing masing bagian yaitu cangkang, bungkil dan slugdge masih
memiliki kandungan nilai kalor yang masih tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai
bahan bakar alternatif.
Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang limbah dan limbah karbonisasi untukmenghasilkan energi telah
banyak dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya oleh Zanderson dkk (1999) yang
meneliti pengaruh temperatur karbonisasi terhadap kandungan fixed carbon dalam arang
yang dihasilkan dari ampas tebu. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam tahapan-tahapan
kenaikan temperatur karbonisasi dari 320 0C sampai 600 0C diperoleh kadar karbon yang
semakin bertambah. Debdoubi (2005) melakukan penelitian yang sama tehadap briket
dengan bahan tumbuhan esparto pada suhu karbonisasi 160 oC 400 oC. Dari penelitian
diketahui bahwa semakin tinggi temperatur karbonisasi akan meningkat nilai kalor arang
yang dihasilkan.

Saeidy (2004) meneliti limbah biomassa dari ranting kapas dan dibandingkan
dengan biomassa dari tumbuhan poplar, rami dan jerami. Hasil yang dapat disimpulkan
dari penelitian saedy tersebut adalah pada pengaruh densifikasi dan non-densifikasi
terhadap emisi CO yang dikeluarkan.
Kemudian klingel dkk (2004) meneliti pengaruh temperatur pirolisis terhadap gasgas yang dihasilkan. Hasilnya menunjukkan bahwa temperatur pirolisis yang lebih tinggi
akan menghasilkan gas yang mudah terbakar (combustible gas) lebih banyak seperti CO,
metana, etana, dan lain-lain.
Metode Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah jarak pagar berupa
cangkang, bungkil dan sludge. Langkah pertama adalah proses karbonisasi bungkil dan
cangkang pada suhu 300oC, waktu 150 menit. Selanjutnya limbah jarak pagar, baik yang
karbonisasi, non uji nilai kalor dan proximate analisis dengan standar pengujian ASTM di
Laboratoruim Kimia, MIPA Universitas Gadjah Mada.
Tabel. 1. Metode Standar Pengujian
Properties
Metode
Nilai Kalor
ASTM 2015
Proximate analysis
Kadar air / moisture (M)
ASTM D-3173
Volatile matter (VM)
ASTM D-3175
Kadar Abu (Ash)
ASTM D-3174
Fixed Carbon (FC)
ASTM D-3172

Hasil dan Pembahasan

Gambar 3. Sludge
Cangkang Karbonisasi

Gambar 4. Cangkang

Gambar 6. Bungkil

Gambar 5.

Gambar 7. Bungkil Karbonisasi

Gambar 8. Grafik nilai kalor dari beberapa bahan baker.


Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dari penelitian ini maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa, nilai kalor limbah jarak pagar yang masih tinggi merupakan potensi limbah jarak
pagar sebagai bahan bakar alternatif yang dapat dikembangkan melalui densifikasi maupun
anaerobik digestion. Pada pengembangan proses densifikasi untuklebih meningkatkan nilai
kalor makadaapt di lakukan karbonisasi.

Daftar Pustaka
Singh, R.K and Misra, 2005, Biofels from Biomass, Department of Chemical Engineering
National Institue of Technology, Rourkela
Presiden Republik Indonesia, 2006, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006
Tentang Kebijakan Energi Nasional, Jakarta
Prihandana, R. dkk, 2007, Meraup Untung dari Jarak Pagar, Jakarta , P.T Agromedia Pustaka
Tim Nasional Pengembangan BBN, 2007, BBN, Bahan Bakar Alternatif dari Tumbuhan Sebagai
Pengganti Minyak Bumi dan Gas, Jakarta, Penerbit Swadaya.
Sudrajat, 2006, Memproduksi Biodiesel Jarak Pagar, Jakarta, Penerbit Swadaya.
Moreira, J.R, Global Biomass Energy Potentioal, Brazilian Reference Center on Biomass, Brazil
Daugherty E.C, 2001, Biomass Energy Systems Efficiency:Analyzed through a Life Cycle
Assessment, Lund Univesity.
Instruksi Presiden, Instruksi Preiden No 1 tahun 2006 tertanggal 25 januari 2006 tentang
penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuels), sebagai energi
alternative, Jakarta
Hambali E, dkk, 2007, Teknologi Bioenergi, Agromedia, jakarta
Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, 2004, Potensi energi terbaharukan di
Indonesia, Jakarta

REDUKSI EMISI GAS BUANG DENGAN


MEMANFAATKAN SUMBER ENERGI
TERBARUKAN SERBUK PINUS DAN BAHAN
PENGIKAT KULIT KERANG DAN PATI GADUNG
PADA CAMPURAN BIOBRIKET BATUBARA
Hasan Basri1) dan Restu Juniah 2 *)
Abstrak
Tingginya jumlah gas buang yang teremisikan ke udara yang
dihasilkan dari sisa pembakaran briket , diantaranya disebabkan oleh
jumlah kandungan unsur-unsur kimia yang terdapat dalam bio briket
batubara dan bahan baku yang digunakan untuk pembuatan briket
.Penggunaan sumber energi terbarukan biomasa pinus disamping
dapat mereduksi jumlah kandungan unsur-unsur kimia dalam
biobriket batubara, gas CO2 yang dihasilkan dari pembakaran serbuk
pinus yang ada dalam biobriket batubara bersifat renewnable sehingga
dapat dikonsumsi kembali oleh tumbuhan untuk keperluan
fotosintesisnya. Sedangkan penggunaan campuran serbuk kulit
kerang dan pati gadung dapat menurukan total sulfur dalam biobriket
batubara. Semakin banyak persen padatan yang ditambahkan dalam
campuran briket maka semakin banyak sulfur yang terserap sehingga
total sulfur yang ada dalam briket makin berkurang. Dengan demikian
sulfur yang teremisi ke udara dalam bentuk senyawa SO 2 juga akan
berkurang.Waktu penyalaan awal terkecil dan penurunan total sulfur
terendah, masing-masing sebesar 1,9 menit dan 0,14 % didapat pada
persen padatan 17,5 % dan ukuran partikel batubara 100 mesh.

Kata Kunci : Emisi gas buang; Biobriket batubara; Pinus; Kulit Kerang
Pendahuluan
Batubara dikenal sebagai bahan bakar yang tidak ramah lingkungan,
hal ini dikarenakan apabila batubara dengan unsur-unsur kimia seperti
karbon (C), sulfur (S) dan nitrogen (N), mengalami proses pembakaran
tidak baik atau tidak sempurna akan menghasilkan emisi gas CO, CO 2, SOx
dan NOx yang dikhawatirkan akan berdampak negatif pada perubahan
lingkungan. Tingginya CO2 yang teremisikan ke udara berpotensi
mengganggu efek rumah kaca. Sedangkan senyawa SOx dan NOx berpotensi
10

mengakibatkan hujan asam (H2SO4). Penggunaan bahan bakar fosil membuat


keseimbangan komposisi gas-gas di atmosfer berubah.
Briket batubara sebagai salah satu sumber energi yang diharapkan
dapat memenuhi kebutuhan energi nasional, dalam kenyataannya masih
kurang diminati masyarakat disamping menimbulkan masalah lingkungan,
juga bau yang ditimbulkannya membuat briket batubara tidak nyaman
untuk digunakan. Hal ini menjadi kendala tersendiri jika ingin menjadikan
briket sebagai alternatif pengganti minyak bumi. Untuk mengantisipasi hal
tersebut para peneliti terus berusaha untuk mengembangkan bagaimana
cara meningkatkan kualitas briket.
Pemanfaatan batubara untuk keperluan industri dan rumah tangga
harus memenuhi standard emisi gas buang yang ditetapkan pemerintah dan
dapat memitigasi lingkungan. Penggunaan sumber energi terbarukan
biomasa pinus dan kulit kerang dalam campuran biobriket batubara dapat
menurunkan emisi gas buang yang dihasilkan oleh pembakaran biobriket
batubara. Hal ini dikarenakan kandungan hidrokarbon (CO,CO 2 dan H2)
yang terkandung di dalam biomasa relatif lebih rendah dibandingkan
dengan batubara (Yeni Sofaeti, 2007) dan sifat desulfurize kulit kerang (Lely
Nurul Komariah, 2000) sehingga emisi gas buang yang dihasilkan juga
rendah. Selain itu CO2 yang dihasilkan bersifat renewable energy .
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental pada skala
laboratorium yang dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Bahan Galian
Jurusan Teknik Pertambangan Unsri, Laboratorium Batubara Jurusan Teknik
Pertambangan Unsri, dan Laboratorium Bioproses Teknik Kimia Unsri.
Bahan dan alat
Adapun bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
Bahan baku utama, Batubara dari PT. Batubara Bukit Asam (Persero)tbk
Tanjung Enim Sumatera Selatan
Bahan baku pembuatan briket : Kulit Kerang, Pati gadung dan pinus
Ball Mill
Neraca Analitik
Ro-Tap
Stopwatch
Neraca Analitik
Cetakan briket
Wajan + sendok pengaduk
Beker Gelas

11

Gambar.1. Bahan baku biobriket batubara

Gambar.2. Biobriket batubara

Variabel penelitian
Variable penelitian yang digunakan terdiri dari variable yang
divariasikan, yaitu :
Persen padatan bahan pengikat (binder) kulit kerang dan pinus 10 %, 12,5 %,
15 %, 17,5 %. Sedangkan variable tetap, persen padatan pati gadung 10 %,
ukuran gadung, partikel batubara masing-masing 50, 100 dan pinus 100
mesh. Lama pembriketan 3 jam.
Percobaan pembriketan batubara
Tahapan metode yang digunakan dalam penelitian ini:
1. Pengambilan sampel
batubara dari PT. Batubara Bukit Asam di Tanjung Enim Sumatera Selatan
secara langsung di lapangan. Sedangkan gadung dan pinus yang
digunakan dalam penelitian ini didapatkan dari hutan wisata punti kayu
kota Palembang Sumatera Selatan
Preparasi dan analisa bahan baku briket
Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan briket pada penelitian ini
sebagaimana ditunjukkan Gambar 1, searah jarum jam terdiri dari
batubara, kulit kerang, gadung dan pinus. Analisis batubara dimaksudkan
untuk mengetahui kualitas daripada batubara. Pada penelitian ini, sampel
batubara dianalisa menggunakan analisis proksimat dan ultimat (ASTM
3172).
Prosedur pembriketan batubara
Percobaan pembriketan batubara dilakukan sesuai dengan prosedur
berikut :
a. Menyiapkan per sampel batubara dengan ukuran 100 mesh yang
telah dianalisa kualitas. Siapkan binder campuran kulit kerang
dengan pati gadung dan pinus dengan persen padatan masingmasing 10 %
12

Campurkan serbuk batubara, kulit kerang, pati gadung dan pinus sesuai
dengan komposisi yang telah ditentukan. Selanjutnya dilakukan
pengadukan sampai homogen.
c. Adonan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam cetakan briket
yang berbentuk silinder dengan ukuran diameter 5 cm dan tinggi 5
cm.
Kemudian keringkan pada suhu kamar hingga didapat biobriket batubara
(Gambar 2)
Lakukan untuk masing-masing persen padatan
4. Analisis kualitas briket
Untuk mengetahui kualitas briket batubara dilakukan analisis proksimat,
zat terbang dan total sulfur, nilai kalori
5. Pengolahan dan analisa data
Pengolahan data dilakukan terhadap data yang telah didapat dari
percobaan pembriketan batubara untuk mendapatkan data reduksi
unsur-unsur kimia dan total sulfur dalam biobriket batubara Untuk
mendapatkan gambaran hubungan antara penambahan biomasa
terhadap reduksi unsur-kimia biobriket batubara dilakukan analisa
data. Sehingga hasil yang didapat merupakan jawaban atas
permasalahan penelitian.
Pembahasan
Bio briket batubara termasuk hal baru dalam proses pembuatan briket.
Bio briket batubara merupakan bahan bakar padat hasil pengembangan dari
briket batubara tanpa karbonisasi yang terdiri dari campuran batubara
bubuk dengan biomasa (pinus, bagas, serbuk kayu/gergaji, sekam padi dll).
Secara komersial, bio-coal, atau bio-briket batubara sudah diperkenalkan
sejak tahun 1985 di Jepang. Bio-briket digunakan sebagai bahan bakar
penghangat ruangan (Maruyama 1987). Teknologi pemanfaatan batubara
telah berkembang pesat dan dikenal sebagai Clean Coal Technologi (CCT)
atau Teknologi Batubara Bersih (TBB). Teknologi tersebut dapat digunakan
untuk berbagai keperluan, sebagai teknologi ramah lingkungan. Teknologi
pemanfatan batubara bersih untuk industri kecil dan menengah, diantaranya
adalah briket batubara.
Meskipun di Indonesia briket batubara telah dikenal lebih dari satu
dasawarsa, pemanfaatannya
belum mampu menarik minat konsumen.
Beberapa faktor penyebabnya antara lain disamping masalah lingkungan
juga bau yang ditimbulkannya. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut
telah dilakukan penelitian pembuatan briket bio batubara dengan
memanfaatkan sumber energi terbarukan serbuk pinus dan campuran kulit
13

kerang dan pati gadung, (Restu Juniah,2007). Hasil analisa proksimat dan
ultimat ditunjukkan Tabel I
TABEL I. HASIL ANALISIS PROKSIMAT dan ULTIMAT BATUBARA
BIOMASSA PINUS DAN BIOBRIKET
Parameter
Sumber energi
Batubara Biomassa Biobriket
pinus
Proksimat
Moisture, adb %
27,5
9,96
16,94
(% adb)
Ash Content, adb %
2,51
1,82
10,08
Volatile matter, adb %
38,6
65,23
44,35
Fixed carbon adb %
42,6
14,65
26,75
Total sulfur adb%
0,4
< 0,33
Nilai kalori
Kkal/gr
5878
4178
6605
Ultimat
(% adb)

S
C
H
N
O

0,2
59,53
7,29
0,79
37,82

0,07
43,4
7,23
0,1
47,58

0,13
45,85
7,19
0,59
47,48

Pengaruh penambahan biomasa pinus terhadap unsur-unsur kimia


biobriket batubara
Pengaruh penambahan biomasa pinus terhadap unsur-unsur kimia
dalam campuran biobriket batubara ditunjukkan pada Tabel I. Dari hasil
analisa ultimat terhadap batubara, biomasa dan biobriket batubara
sebagaimana yang ditunjukkan pada terlihat bahwa terjadi reduksi
kandungan unsur-unsur kimia karbon (C), Sulfur (S) dan Nitrogen (N) di
dalam biobriket batubara. Hal ini di karenakan ketiga unsur yang
terkandung dalam biomasa serbuk pinus sebagai bahan yang dicampurkan
ke dalam bahan baku batubara lebih rendah dibandingkan yang terdapat di
dalam batubara. Sehingga penggunaannya di dalam campuran briket dapat
menurunkan jumlahnya di dalam biobriket batubara. Selanjutnya apabila
unsur-unsur tersebut terbakar akan menghasilkan senyawa-senyawa oksida
seperti CO2, SOx dan NOx dengan jumlah yang teremisi ke udara juga
berkurang sehingga efek rumah kaca dapat direduksi. Dengan demikian
dampak lingkungan akibat penggunaan sumber bahan bakar tak terbarukan
batubara dapat dimitigasi. Khusus untuk gas CO2, dengan memanfaatkan
sumber energi terbarukan biomasa pinus sebagai bahan bakar, maka
pembentukan CO2 dapat direduksi dan CO2 yang dihasilkan dari biobriket
batubara yang mengandung biomasa pinus dapat dikonsumsi kembali oleh
14

taaman untuk kebutuhan fotosintesisnya, proses pelepasan dan penggunaan


CO2 itu disebut siklus karbon. Hal ini disebabkan CO2 hasil pembakaran dari
biomasa bersifat renewnable.
Pengaruh penambahan serbuk kulit kerang terhadap kandungan total
sulfur biobriket batubara
Gas sulfur dioksida yang menjadi salah penyebab pencemaran udara
dihasilkan dari oksidasi antara unsur sulfur dalam batubara dengan oksigen.
Banyak penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya untuk
mereduksi total sulfur yang terkandung dalam briket batubara. Disamping
itu kehadiran unsur sulfur sulfur dalam batubara dapat menimbulkan bau
pada saat briket terbakar. Penggunaan serbuk kulit kerang dalam campuran
biobriket batubara dapat menurunkan total sulfur di dalam biobriket
batubaradan mengurangi bau yang ditimbulkannya. Hal ini dikarenakan
sifat desulfurize yang terdapat dalam kulit kerang sehingga dapat
menurunkan total sulfur dalam batubara. Kulit kerang yang mengandung
senyawa CaCO3 sebagai komponen utama akan terurai menjadi CaO dan CO 2
. Adsorpsi senyawa SO2 oleh senyawa CaO membentuk senyawa CaSO3.
Dari penelitian yang telah dilakukan terhadap batubara sub bituminus
PT Tambang Batubara Bukit Asam Tanjung enim sebagaimana ditunjukkan
Gambar 3, terjadi penurunan kandungan total sulfur, hal yang sama juga
telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya (Lely Nurul Komariah,2000).

Gambar 3.Pengaruh persen padatan kulit kerang terhadap total sulfur dalam
briket batubara
Dari grafik terlihat bahwa, seiring dengan penambahan persen padatan
kulit kerang terjadi penurunan kandungan total sulfur dalam batubara.
Semakin kecil ukuran partikel batubara maka total sulfur dalam batubara
makin berkurang. Dengan demikian jumlah Kandungan terendah total
15

sulfur sebesar 0,14 didapatkan pada ukuran partike partikel batubara


sebesar 100 mesh untuk 17,5 % padatan kulit kerang.Sedangkan kandungan
sulfur yang terbesar sebesar 0,37 didapatkan pada 10 persen padatan kulit
kerang dengan ukuran partikel batubara sebesar 35 mesh.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan
1. Penambahan biomasa serbuk pinus dalam campuran biobriket
batubara dapat mereduksi unsur-unsur kimia batubara yang menjadi
penyebab emisi gas buang dan pencemaran udara.
2. Berkurangnya unsur kimia dalam batubara akan menurunkan jumlah
gas buang yang teremisi ke udara sehingga memberikan efek
berkurangnya dampak negatif terhadap lingkungan.
3. Untuk setiap pertambahan ukuran partikel batubara, kandungan
sulfur dalam briket batubara semakin berkurang seiring dengan
bertambahnya persen padatan kulit kerang. Kandungan terendah total
sulfur sebesar 0,14 didapatkan pada ukuran partikel partikel batubara
sebesar 100 mesh untuk 17,5 % padatan kulit kerang.Sedangkan
kandungan sulfur yang terbesar sebesar 0,37 didapatkan pada 10
persen padatan kulit kerang dengan ukuran partikel batubara sebesar
35 mesh.
4. Penambahan persen padatan biomassa pinus berpengaruh terhadap
waktu penyalaan awal briket batubara. Seiring dengan pertambahan
persen padatan biomassa pinus maka waktu yang dibutuhkan untuk
menyalakan briket juga semakin berkurang/kecil. Waktu terkecil yang
dibutuhkan untuk penyalaan awal briket didapatkan pada ukuran
briket batubara 100 mesh dengan penambahan 17,5 % pinus, yaitu 1,9
menit. Sedangkan waktu terbesar yang dibutuhkan untuk penyalaan
awal sebesar 3,46 menit didapatkan pada 35 mesh ukuran batubara
untuk penggunaan 10 % padatan pinus.
Rekomendasi
Untuk mereduksi emisi gas buang akibat penggunaan sumber energi
tak terbarukan batubara dan untuk menghilangkan bau pada saat briket
batubara direkomendasikan untuk menggunakan campuran biomasa pinus
dan serbuk kulit kerang serta pati gadung dalam pembuatan briket
batubara.

16

DAFTAR PUSTAKA
A noname., (1997), Kursus Batubara Coal Services SBU Laboratorium, PT.
Sucofindo, Jakarta.
Hayami Hitoshi., (2001), Bio-coal briquettes and planting Trees an
experimental CDM in China, Keio Economic Observatory , Discussion
Paper G- No.136 (September) hal 1-27
Lely Nurul Komariah, 2000,Pemanfaatan Kulit Kerang dan Pati Gadung Pada
Proses Pembuatan Briket Batubara, Laporan Penelitian DIK-Suplemen
Universitas Sriwijaya,
Maruyama, T.,(1987), Development of Coal Biomass Briquette (Biocoal) and its
Combustor, Beijing: Tsinghua University.
Restu Juniah., (2007), Penggunaan Pinus Dan Campuran Kulit Kerang Dengan
Pati Gadung Pada Pembuatan Briket Guna Meningkatkan Kualitas
Pembakaran Dan Mengurangi Bau Pada Briket, Laporan Penelitian Dosen
Muda Dikti.
Suwono,A., (2004), Indonesias Potential Contribution of Biomass in
Sustainable Energy Development , Paper Number 6006
Yeni Sofaeti, (2007), Pengaruh Biomas Terhadap Kualitas Bio-Briket
Batubara , Master Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran,
Bandung.

17

Вам также может понравиться