Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Oleh
PROPOSAL
PENELITIAN TUGAS AKHIR
oleh
Handy Agista
03101402014
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS TEKNIK
2014
1. JUDUL
Analisis Fragmentasi Batuan Hasil Peledakan Terhadap Optimalisasi Produksi Pada
Penambangan Batu Kapur di PT. Semen Padang
2. BIDANG ILMU
Teknik Pertambangan
3. LATAR BELAKANG
PT. Semen Padang merupakan pabrik semen pertama di Indonesia yang
berkembang dalam waktu yang panjang, bermula sejak tanggal 18 Maret 1910
pabrik ini didirikan oleh swasta Belanda dengan nama NV Nederlendsch Portland
Cement Maatschappij (NV NIPCM) pada tahun 1913. Kemudian dilakukan
nasionalisasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1971 yang
dikeluarkan pada tahun 1972 dan statusnya berubah menjadi PT. SEMEN
PADANG atau Persero dengan dana investasi seluruhnya dipegang oleh
Pemerintah.
PT. Semen Padang berlokasi di Kelurahan Indarung, Kecamatan Lubuk
Kilangan, Kotamadya Padang, Propinsi Sumatera Barat. Terletak 15 Km di
sebelah Timur Kota Padang, Sumatera barat, yaitu secara geografis terletak pada
koordinat 1000 2720 BT 1000 32 12 BT dan 000 57 47 LS 010 00 48LS.
Kegiatan penambangan yang dilakukan antara lain adalah pemboran,
peledakan, penggalian dan pengangkutan batu kapur. Peledakan batu kapur
dilakukan untuk membonkar batuan denagn tingkat kekerasan tinggi dari batua
induknya. Hasil peledakan tersebut berupa fragmentasi batuan yang akan
menentukan optimalisasi produksi. Sesuai tidaknya ukuran fragmentasi batuan akan
mempengaruh target produksi yang optimal sesuai dengan yang diharapkan dapat
tercapai.
4. PERUMUSAN MASALAH
Apakah
2.
3.
dengan jarak kerapatan yang tinggi. Ketika kekar membagi burden dalam blokblok yang besar, maka fragmentasi yang akan terjadi bila masing-masing
terjangkau oleh suatu lubang tembak. Hal seperti ini menghendaki diameter
lubang tembak yang kecil.
Diameter lubang tembak yang kecil juga memberikan patahan atau
hancuran yang lebih baik pada bagian atap jenjang. Hal ini berhubungan dengan
stemming, di mana lubang tembak yang besar maka panjang stemming juga
akan semakin besar dikarenakan untuk menghindari getaran dan batuan terbang,
sedangkan jika menggunakan lubang tembak yang kecil maka panjang stemming
dapat dikurangi.
G.1.2. Kedalaman lubang tembak
Kedalaman lubang tembak biasanya disesuaikan dengan tinggi jenjang
yang diterapkan. Dan untuk mendapatkan lantai jenjang yang rata maka
hendaknya kedalaman lubang tembak harus lebih besar dari tinggi jenjang, yang
mana kelebihan daripada kedalaman ini disebut dengan sub drilling.
G.1.3. Kemiringan lubang tembak (Arah pemboran)
Arah pemboran yang kita pelajari ada dua, yaitu arah pemboran tegak
dan arah pemboran miring. Arah penjajaran lubang bor pada jenjang harus
sejajar untuk menjamin keseragaman burden yang ingin didapatkan dan spasi
dalam geometri peledakan. Lubang tembak yang dibuat tegak, maka pada bagian
lantai jenjang akan menerima gelombang tekan yang besar, sehingga
menimbulkan tonjolan pada lantai jenjang, hal ini dikarenakan gelombang tekan
sebagian akan dipantulkan pada bidang bebas dan sebagian lagi akan diteruskan
pada bagian bawah lantai jenjang.
Sedangkan dalam pemakaian lubang tembak miring akan membentuk
bidang bebas yang lebih luas, sehingga akan mempermudah proses pecahnya
batuan karena gelombang tekan yang dipantulkan lebih besar dan gelombang
tekan yang diteruskan pada lantai jenjang lebih kecil (Gambar 3.1)
Adapun keuntungan dan kerugian dari masing-masing lubang adalah :
Gambar 3.1.
Pengaruh Arah Lubang Tembak (Molhim, 1990)
G.1.4. Pola pemboran
Pola pemboran yang biasa diterapkan pada tambang terbuka biasanya
menggunakan dua macam pola pemboran yaitu :
a. Pola pemboran segi empat (square pattern)
b. Pola pemboran selang-seling (staggered)
Pola pemboran segi empat adalah pola pemboran dengan penempatan lubanglubang tembak antara baris satu dengan baris berikutnya sejajar dan membentuk
segi empat ( Gambar 3.2). Pola pemboran segi empat yang mana panjang burden
dengan panjang spasi tidak sama besar disebut square rectangular pattern
(Gambar3.3). Sedangkan pola pemboran selang-seling adalah pola pemboran
yang penempatan lubang ledak pada baris yang berurutan tidak saling sejajar
(Gambar 3.4), dan untuk pola pemboran selang-
seling yang mana panjang burden tidak sama dengan panjang spasi disebut staggered
rectangular pattern (Gambar 3.5).
Dalam penerapannya, pola pemboran sejajar adalah pola yang umum, karena
lebih mudah dalam pengerjaannya tetapi kurang bagus untuk meningkatkan mutu
fragmentasi yang diinginkan, maka penggunaan pola pemboran selang-seling lebih
efektif.
S=B
Bidang Bebas
Baris 1
Baris 2
Baris 3
Baris 4
Gambar 3.2.
Pola Pemboran Segiempat (Molhim, 1990)
SB
Bidang Bebas
Gambar 3.3.
Pola Pemboran Segi Empat (Molhim, 1990)
Baris 1
Baris 2
Baris 3
Baris 4
Bidang Bebas
Baris 1
Baris 2
Baris 3
Baris 4
S=B
Gambar 3.4.
Pola Pemboran Selang-seling (Molhim, 1990)
Bidang Bebas
Baris 2
SB
Gambar 3.5.
Pola Pemboran Selang-seling (Molhim, 1990)
G.2. GEOMETRI PELEDAKAN
Baris 1
Baris 3
Baris 4
Densitas batuan
160 lb/cuft
1,20
12.000 fps
Pada kondisi batuan yang berbeda dan penggunaan bahan peledak yang
berbeda, maka harga Ks turut berubah. Untuk mengatasi perubahan angka Ks
perlu dihitung terlebih dahulu harga faktor penyesuaian pada kondisi batuan dan
bahan peledak yang berbeda (R.L. Ash, 1963)
a.
Af1
SG.Ve 2
2
SGstd .Vestd
1/ 3
Di mana :
SG
= berat jenis bahan peledak yang digunakan
b.
Ve
SGstd
Vestd
Dstd
D
1/ 3
Di mana
Dstd
Di mana :
Kb
= burden ratio yang telah dikoreksi
Kbstd = burden ratio standard
Untuk menentukan burden, maka menggunakan rumus :
Kb x De
B
=
meter
39,3
Di mana :
B
= burden
Kb
= burden ratio
De
39,3
memperkirakan spasi adalah apakah ada interaksi di antara isian yang saling berdekatan.
Besar spasi dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut (R.L. Ash, 1963):
S
B x Ks
Di mana :
S
= spasi, meter.
= burden, meter.
Ks
= spacing ratio
Hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan spasi yaitu apakah ada interaksi
antar muatan yang berdekatan. Bila masing-masing lubang tembak diledakkan sendirisendiri, dengan interval waktu yang panjang, maka tidak akan terjadi interaksi
gelombang energi antar muatan yang berdekatan sehingga memungkinkan setiap lubang
tembak akan meledak dengan sempurna. Jika interval waktu diperpendek atau lubang
tembak diledakkan secara serentak akan terjadi efek ledakan yang kompleks.
Besar Ks menurut interval waktu yang dipergunakan adalah :
a. long interval delay
Ks = 1
Ks = 1 2
c. normal
Ks = 1,2 1,8
0,05 Dh
Dh
= Kh x B
dimana :
H
Kh
PC
=HT
dimana :
PC
= stemming, meter
Keterangan :
B = Burden
S
= Spasi
T = Stemming
B
PC = Kolom isian
J
PC
= Sub Drilling
H = Kedalaman
H
lubang
L = Tinggienjang
P = Primer
P
Gambar 3.6.
Geometri Peledakan Menurut R.L.Ash
G.2.8. Pola peledakan
Pola peledakan merupakan urut-urutan waktu peledakan antara lubang
tembak dalam satu baris dan antara satu dengan yang lainnya. Pola peledakan
ditentukan tergantung arah mana pergerakan material yang diharapkan. (Gambar
3.7). Setiap baris lubang tembak yang akan diledakkan harus memiliki ruang
yang cukup di muka bidang bebas yang sejajar dengan lubang tembak untuk
terdesak, pecah, mengembang dan tidak terlontar keatas. Adapun macam-macam
pola peledakan adalah sebagai berikut :
a. Pola peledakan di mana lubang-lubang tembak diledakkan dengan waktu
penundaan atau beruntun dalam satu baris.
b. Pola peledakan serentak dalam satu baris dan beruntun antara baris satu
dengan baris yang lain.
Menurut R.L. Ash dengan adanya tiga bidang bebas, kuat tarik batuan
dapat dikurangi sehingga akan dapat meningkatkan jumlah retakan dengan
syarat lokasi dua bidang bebasnya mempunyai jarak yang sama terhadap lubang
tembak.
Gambar 3.7.
Pola Peledakan (Molhim, 1990)
G.2.9. Waktu tunda
Pemakaian delay detonator sebagai waktu tunda untuk peledakan secara
beruntun. Keuntungan dari peledakan dengan memakai delay detonator adalah :
a. Dapat menghasilkan fragmentasi yang lebih baik
Result
Violent excessive airblast, backbreak, etc.
High pile close to face, moderate airblast, backbreak
Average pile height, average airblast and backbreak.
Scattered pile with minimum backbreak.
Blast casting
factor sangat dipengaruhi oleh jumlah bidang bebas, geometri peledakan, pola
peledakan, dan struktur geologi.
Bila pengisian ANFO terlalu banyak maka jarak stemming semakin
kecil sehingga akan mengakibatkan terjadinya flyrock dan airblast, sedang bila
pengisian ANFO kurang maka jarak stemming semakin besar sehingga akan
menyebabkan boulder dan backbreak di sekitar dinding jenjang.
Untuk mendapatkan powder factor, lebih dulu mengetahui jumlah
bahan peledak yang akan digunakan untuk setiap lubang tembak.
a.
1963) :
de = 0,508 De2 (SG)
dimana :
de = loading density, kg/m
De = diameter lubang tembak, inchi.
SG = berat jenis bahan peledak yang digunakan.
b.
tinggi jenjang (L), panjang muatan dari seluruh lubang ledak (Pc), loading
density (de), dan densitas batuan (dr).
Rumus untuk menentukan powder factor adalah (R.L Ash, 1963) :
Pf = W / E
dimana :
Pf
dr
Volume setara adalah suatu angka yang menyatakan setiap meter atau feet
pemboran setara dengan sejumlah volume material atau batuan yang diledakkan, yang
dinyatakan dalam m3/meter, cuft/ft, atau ton.meter, ton/ft. Volume setara sangat berguna
untuk memperkirakan kemampuan dari alat bor yang digunakan untuk membuat lubang
tembak. Volume setara dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
Veq
A L
n H
dimana :
Veq
= tinggi jenjang, m
Tabel 3.2.
Harga Powder Factor untuk beberapa jenis batuan
Type of Rock
Massive high strength rocks
Medium strength rock
Highly fissured rocks, weathered or soft
dalam suatu peledakan, powder factor tercapai tetapi tidak menghasilkan ukuran
fragmentasi yang diinginkan, maka peledakan tersebut belum bisa dikatakan berhasil.
Berdasarkan KUZNETZOV, 1973, ukuran fragmentasi, TNT, dan struktur
geologi batuan dapat digunakan untuk mencari powder factor. Dalam percobaannya
pada batuan di Kimberlite dengan berbagai ukuran diameter lubang tembak, pola
peledakan dan kecermatan pemboran. Persamaannya sebagai berikut :
V
X = A .
Q
0 ,8
115
0 , 63
Q 0 ,167
Di mana :
X = ukuran rata-rata fragmentasi batuan, cm
A = faktor batuan
V = volume batuan yang terbongkar, m3
Q = berat bahan peledak tiap lubang ledak, kg
E
harus
Xc
= e- (x / Xc)n
Di mana :
R
Xc = x / (0,693)1/ n
n
= indeks keseragaman
= ( 2,2 14 B / d ) ( 1 W / B ) ( 1 + ((S / b ) 1 ) / 2 ) L / H
dimana :
d
= burden (mm)
= spacing (m)
= tinggi jenjang
x 100%
Wi
Di mana :
Fr
Wp
= berat batuan yang berukuran < 80 cm dalam satu kali peledakan (ton)
Wi
b.
c.
diangkut oleh alat muat dan alat angkut, maka dianggap sebagai bongkah batuan
(boulder). Boulder tersebut kemudian dikumpulkan pada suatu tempat kemudian
dilakukan pemecahan ulang dengan menggunakan rock breaker.
Kemudian
batuan tersebut setelah di breaker dan mempunyai ukuran kurang dari 80 cm,
maka bisa diangkut oleh dump truck menuju ke unit peremuk, kemudian
dilakukan pencatatan berapa kali dump truck tersebut melakukan pengangkutan
terhadap batuan hasil pemecahan ulang.
8. METODE PENELITIAN
Kegiatan
1
1.
Orientasi Lapangan
3.
Pengumpulan Referensi
dan Data
Pengolahan Data
4.
5.
Penyusunan dan
Pengumpulan Draft
Laporan
2.
Waktu Pelaksanaan
Minggu Ke 3
4
5
6
DAFTAR PUSTAKA
Mc. Gregor K. (1957), The Drilling Of Rock Cr. Books Ltd, A Maclaren Company,
London.
Tim Pengelola IWPL. 1995. Supervisory Teknik Peledakan. Tembagapura, Irian Jaya.
Moelhim, Kartodharmo, Ir., 1990, Teknik Peledakan, Laboratorium Geomekanik,
Pusat Antar Universitas Ilmu Rekayasa, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Ash. R.L. (1963),The Mechanies Of Rock Breakage Pit & Quarry Magazine.
Prodjosoemarto, Partanto dkk. 2000. Ensiklopedi Pertambangan Edisi 3. Pusat
Hustrulid, William and Kuchta, Mark. 1995. Open Pit Mine Planning & Design Volume
1. Rotterdam, Netherlands.