Вы находитесь на странице: 1из 15

IMUNOLOGI TAKE HOME

PATHOGENESIS PADA BACTERIAL MENINGITIS

OLEH:
ALFI SYAHRIN
011414153017

ILMU KEDOKTERAN DASAR MINAT FAAL


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2014

PATHOGENESIS BACTERIAL MENINGITIS


I.

PENDAHULUAN
Infeksi meningokok dijumpai di seluruh dunia sebagai infeksi endemik dan
disebabkan oleh Neisseria meningitidi yang menyerang terutama anak-anak sehat
dengan insidens dan angka mortalitas yang cukup tinggi yaitu sekitar 10%.

(1)

Kuman

ini secara eksklusif terdapat pada manusia, berbentuk bulat berpasangan (diplokok)
seperti biji kopi, negatif gram dan diliputi oleh suatu membran (outer membrane)
yang terdiri dari lemak, protein dan lipopolisakarida. Melalui pengujian serologik,
kuman ini dibagi atas beberapa grup (serogup) yang kesemuanya berjumlah 13 dan 20
tipe (serotipe). Galur (strain) yang termasuk dalam serogrup B dan C merupakan
penyebab utama radang selaput otak (meningitis) di negara negara maju, sedangkan
galur dari serogrup A dan sebagian kecil C banyak ditemukan di negara-negara
berkembang. Penentuan serotipe sangat penting dipandang dari segi strategi
pengembangan vaksin, namun tidak memadai untuk tujuan epidemiologi modern. (2)
Dengan menggunakan pendekatan genetik, terutama cara multilocus enzyme
electrophoresis, dapat diperoleh suatu gambaran yang lebih baik mengenai
epidemiologi dan ekspansi klonal penyakit yang disebabkan oleh N. Meningitis ini.
Meningitis di daerah Afrika sub-Sahara memiliki pola epidemiologis yang
khusus. Daerah ini yang sering disebut juga sebagai meningitis belt meliputi kurang
lebih 10 negara di antaranya adalah Burkina Faso, Ghana, Togo, Benin, Niger,
Nigeria, Chad, Cameroon, Republik Afrika Tengah, dan Sudan.

(3,4)

Di daerah ini,

infeksi meningokok yang disebabkan oleh serogrup A timbul secara berulang setiap
tahun sebagai suatu gelombang. Derajat serangan penyakit meningkat pada akhir
musim kering dan secara cepat menurun setelah musim hujan mulai. (4-6)
Pada saat puncak terjadinya epidemi, insidens penyakit dapat mencapai
1000/100.000 penduduk. (7) Sejak akhir tahun 1960-an, terjadi epidemi yang luas yang
disebabkan oleh galur N. meningitidis yang secara genetik saling berkaitan erat.

(2)

Wabah yang paling besar yang berasal dari Cina bagian utara dan menyebar ke selatan
dan kemudian ke seluruh dunia, disebabkan oleh 2 jenis klon (clones) dari serogrup A
yaitu subgrup I dan III).

(2,5)

Klon Subgrup III menyebar ke subkontinen India pada

tahun 1983 sampai 1987. Pada tahun 1987, klon ini mencapai daerah Timur Tengah,
kemudian menyebar lebih jauh dan menimbulkan epidemi yang luas di jasirah Arab
dan Afrika. Pada tahun 1990-an, wabah ini bergerak kebagian lebih selatan dari
daerah tradisional meningitis belt sampai mencapai Afrika Selatan di tahun 1996.(8)
Pada tahun itu terdapat lebih dari 150.000 kasus dan sedikitnya 16.000 meninggal.
(2,5,9)

Di banyak negara maju, galur serogrup B bertahan selama lebih dari 30 tahun.

Kebanyakan galur ini termasuk kompleks klonal yang dikenal sebagai ET-5 dan ET37.(2) Di bagian barat-laut Eropa (Norwegia, Inggris dan Belanda), infeksi
hiperendemik dengan derajat serangan 4 sampai 50/100.000 bertahan sejak
pertengahan tahun 1970-an,

(2,4,6)

derajat serangan penyakit yang relatif tinggi dan

persisten ini disebabkan oleh galur serogrup B yang termasuk ET-5. Galur ini beredar
diantara penduduk setempat dengan transmisibilitas rendah tetapi derajat virulensinya
tinggi.(7,10) Galur grup B dengan karakteristik ET-5 ditemukan di Cina pada tahun
1974, dan pada tahun 1980-an juga di Jepang, Thailand, Spanyol, Cuba, Cili dan
Brazilia. Pada tahun 1990-an galur ini menyebar ke Afrika Utara dan Australia.(2) Di
Amerika, kasus-kasus dilaporkan dijumpai pada imigran dari Kuba, tetapi berbeda
dengan bagian barat-laut Eropa, di sini tidak terjadi wabah yang besar.
Pada saat dilaporkan terjadinya wabah oleh ET-5 di seluruh dunia, galur yang
termasuk dalam klonal kompleks dari serogrup B yang lain (ET-24 dan ET-25) timbul
di Eropa. Mula-mula ditemukan di Belanda pada tahun 1980-an, klon ini merupakan
klon yang paling dominan menjelang akhir tahun 1990-an

(10)

dan kemudian menyebar

ke seluruh Eropa.(2) Galur yang termasuk ET-37 menyebabkan wabah di antara


personil militer di Amerika.Salah satu varian dari ET-37 yaitu ET-15 muncul pada

akhir tahun 1980-an di Amerika Utara dan menyebabkan meningkatnya angka


serangan infeksi meningokokal di daerah ini.(11-13) Pada sebagian daerah di Amerika,
serogrup Y, muncul sejak th 1990-an dan menjadi penyebab penting dari kasus-kasus
endemis. Sekitar satu-per-tiga kasus-kasus di daerah tertentu di Amerika disebabkan
oleh serogrup Y ini, sepertiganya lagi disebabkan oleh serogrup C dan sisanya oleh
serogrup B. (14) Studi epidemiologis dengan metode molekuler telah menunjukan suatu
gambaran yang kompleks mengenai kelompok klon meningokokal patogenik yang
menyebabkan wabah yang menyebar ke seluruh dunia. Namun demikian, mekanisme
dengan cara bagaimana klon yang patogenik ini menimbulkan epidemi secara luas di
suatu daerah sedangkan daerah lain tidak terkena, masih merupakan suatu pertanyaan.
II.

PATHOGENESIS PENYAKIT
Ada 4 kondisi yang memungkinkan terjadinya penyakit meningokokal yang
sifatnya infasif yaitu: (i) paparan terhadap galur patogenik, (ii) adanya kolonisasi
kuman di mukosa naso-pharyngeal, (iii) terjadinya pasasi melalui mukosa, dan (iv)
kemampuan meningokok untuk dapat bertahan di darah. Naso-pharynx manusia
adalah satu-satunya reservoir alamiah dari N. meningitidis. Kuman kuman ini
ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui kontak langsung secara droplet. Daya
tahan hidup kuman di sini dipengaruhi oleh beberapa kondisi seperti misalnya iklim
yaitu suhu dan kelembaban. Pada periode infeksi endemik, sekitar 10% penduduk
mengidap kuman ini dalam hidungnya.(15) Meskipun demikian, 9 dari 10 jenis kuman
yang diisolasi dari carrier bukan termasuk kuman yang patogenik. Mengapa suatu
jenis kuman dapat berkolonisasi di mukosa nasooropharyngeal sedangkan jenis yang
lain tidak dapat, hal ini masih merupakan suatu pertanyaan. Permulaan sebagian besar
kasus meningitis bakteri dimulai dengan akuisisi sejumlah organisme baru dengan
kolonisasi nasofaring, kolonisasi bakteri terjadi pada bagian permukaan luar sel
mukosa dan pada intra-atau sub-epitelial. Kerusakan pada epitel bersilia dari

nasopharynx merupakan langkah pertama dari proses kolonisasi bakteri ini.


Kerusakan fisik karena merokok dapat meningkatkan risiko terhadap penyakit ini,
demikian pula halnya dengan stres dan infeksi virus yang mendahului yang
menyebabkan perubahan pada keutuhan dari permukaan mukosa atau mempengaruhi
imunitas lokal atau sistemik. (16)
Selanjutnya kuman-kuman meningokokal menembus epitel mukosa dengan
jalan melalui vakuol fagositik sebagai akibat endositosis dan mencapai aliran darah.
Di dalam aliran darah ini kuman-kuman dapat berkembang biak karena adanya faktor
virulen bakteri atau karena inkompetensi daya tahan tubuh penderita. Daya tahan
pejamu setelah invasi meningokok ditentukan oleh respons seluler dan humoral yang
merupakan sistem imun adaptif dari pejamu. Antibodi spesifik memberikan
perlindungan penuh terhadap infeksi, akan tetapi oleh karena pembentukan antibodi
memerlukan waktu sedikitnya seminggu setelah terjadinya kolonisasi, pertahanan
awal sangat tergantung dari elemen-elemen imunitas yang memberikan reaksi cepat
seperti misalnya complement-mediated bacteriolysis dan opsonophagocytosis. Pada
individu normal, insidens penyakit meningokok berkaitan dengan titer spesifik
antibodi. Insidens yang tertinggi dijumpai pada usia 6-24 bulan, pada saat antibodi
maternal menghilang.(3) Sepanjang hidup manusia, antibodi spesifik ini secara terus
menerus dan berkesinambungan diinduksi oleh adanya jenis-jenis lain dari kuman
meningokok dan N. lactamica yang berada di naso-oropharynx. Kuman-kuman ini
menimbulkan pembentukan antibodi yang bereaksi silang dengan meningokokal.
Pada sisi lain, antibodi IgA yang tidak mengaktifkan komplemen, dapat
melekat pada epitop yang penting dan menutup epitop ini dan memberi kesempatan
pada antibodi seperti IgG dan IgM untuk mengaktivasikan komplemen. Obat-obat
imunosupresif dan penyakit-penyakit auto-imun seperti lupus erythematosus adalah
merupakan salah satu faktor risiko penyakit. Dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan

dan perkembang-biakan kuman meningokok dalam darah dapat berlangsung karena


adanya gangguan fungsi pertahanan intravaskuler, baik ini disebabkan oleh karena
sifat-sifat khusus kuman itu sendiri maupun karena sistem imun yang defektif dari
pejamu.
Berikut gambaran umum dari invasi meningeal bakteri:
Mekanisme dari patogen bakteri mendapatkan akses ke SSP (Sistem Saraf
Pusat) sebagian besar tidak diketahui dan merupakan salah satu faktor yang mungkin
berhubungan dengan konsentrasi organisme dalam darah, penentuan positif meningitis
hanya diamati setelah bakteremia intens (> 10W CFU / ml) yang menetap selama
minimal 6 jam (100). Bakteri Meningitis juga diinduksi tergantung usia dari pasien,
bakteremia bukan satu-satunya faktor yang bertanggung jawab untuk invasi
meningeal, karena banyak organisme lain (misalnya, viridans streptococci) yang
menghasilkan bakteremia terus menerus selama endokarditis infektif tidak jarang
menghasilkan bakteri meningitis. Tempat yang tepat dari invasi SSP oleh patogen
meningeal yaitu pada ventrikel lateral dari cisterna magna, ruang subarachnoid
lumbal, atau ruang subarachnoid supracortical. Data menunjukkan awal masuknya
bakteri ke dalam CSF dalam ventrikel lateral kemungkinan melalui plexi koroid.
Bakteri intraseluler hanya terlihat dalam parenkim pleksus koroid, di monosit
ventrikel, dan dalam monosit darah perifer. Peredaran monosit yang juga ditemukan
mengandung partikel bakteri berukuran phagocytized, bermigrasi ke CSF melalui
pleksus koroid, membuktikan bahwa bakteri dapat memperoleh akses ke CSF dalam
hubungannya dengan monosit yang bermigrasi di sepanjang jalur normal. Faktor
virulensi bakteri lainnya yang telah diteliti untuk menentukan peran mereka mungkin
dalam invasi meningeal. Pembebasan LPS dari N. meningitidis dapat berkontribusi
pada patogenisitas organisme ini pada infeksi invasif

(1).

Meningokokus bervariasi

dalam kemampuan mereka untuk membebaskan endotoksin, dengan jumlah


peningkatan dibebaskan dari pasien dengan penyakit invasif. Sebagai contoh,

serogrup B strain meningokokus melepaskan endotoksin sedikit lebih bebas saat


diisolasi dalam darah atau CSF ketika terisolasi dari nasopharynges pada orang sehat.
Protein membran luar juga mungkin penting. Satu laporan menyatakan bahwa galur
(strain) H. influenzae dengan episode membran luar subtipe protein lc penyebab lebih
dari meningitis dan epiglottitis mempunyai episode lebih sedikit daripada strain
subtipe 1

(20),

mungkin karena kemampuan masing-masing subtipe untuk melepaskan

LPS dalam keadaan yang tepat berbeda-beda.


Bakterial Meningitis, seperti banyak penyakit lainnya, terjadi peningkatan
permeabilitas penghalang darah-otak atau blood-brain barrier (BBB). Tempat utama
dari BBB adalah membran arakhnoid, koroid pleksus epitel, dan otak mikrovaskuler
endothelium. Oleh karena itu, peningkatan permeabilitas BBB yang terlihat dalam
gangguan ini terjadi pada tingkat epitel koroid pleksus, yang mikrovaskuler
endotelium serebral, atau keduanya; yang mikrovaskuler endotelium telah menjadi
tempat studi intensif dalam beberapa tahun terakhir sebagai akibat dari teknik untuk
isolasi microvessels otak atau sel endotel atau keduanya. Fitur yang membedakan
kapiler otak dari kapiler lain di seluruh tubuh adalah (i) sel endotel yang berdekatan
menyatu bersama-sama dengan persimpangan ketat pentalaminar (occludens zonulae)
yang mencegah transportasi antar virulen; (ii) vesikel pinocytotic jarang atau tidak;
dan (iii) banyaknya mitokondria.

(18)

Oleh karena itu, kejadian peningkatan

permeabilitas BBB yang terjadi selama meningitis bakteri pada tingkat otak kapiler
sel endotel didapatkan dari hasil pemisahan persimpangan ketat dari peningkatan
pinositosis, baik dari perubahan, atau melalui proses yang belum diketahui.

Gambar 1 : Proses invasi virulen pada kejadian meningitis dikutip dari neuroscience

Gambar

Bacterial

Meningitis

Pathogenesis

(dikutip

dari

www.thecalgaryguide.com)
GEJALA KLINIS DARI INFEKSI MENINGOKOKAL INVASIF
Sekali kuman meningokok mencapai aliran darah, berbagai manifestasi
penyakit dapat terjadi. Pada beberapa penderita, mungkin ditemukan demam
berderajat rendah dan meningokok secara spontan hilang dari darah, meninggalkan
keadaan yang disebut sebagai transient meningococcemia yang disifati oleh episode
demam singkat mirip flu.(17) Apabila keadaan bakteremia ini menetap, tidak hilang
maka timbullah gejala-gejala klinis. Pada kasus-kasus ini yang menonjol adalah gejala
yang disebabkan oleh sifat kuman seperti dilepaskannya endotoksin dan repons tubuh
penderita terhadap toksin tersebut. Jenis kuman yang diisolasi dari penderita dengan
meningococcal septic shock melepaskan endotoksin yang jauh lebih besar dari pada
galur yang menyebabkan chronic benign meningococcemia.

(18)

Pada hampir semua

penderita yang mengalami shock dan pada kebayakan penderita-penderita meningitis,


awal dari fase bakteremia ditandai dengan adanya serangan panas tinggi dan
menggigil, nyeri pinggang bagian bawah, nyeri paha, atau nyeri otot-otot dan sendi
umum. Dalam waktu beberapa jam, keadaan dapat berkembang menjadi sepsis
fulminan tanpa gejala meningitis. Keadaan ini disifati oleh adanya endotoksin dan
sitokin dalam plasma dalam jumlah besar. Berdasarkan urut-urutan kejadian
patofisiologis, penderita-penderita infeksi meningokok dapat dikelompokkan menjadi
4 golongan: (i) penderita dengan bakteremia tanpa shock, (ii) penderita dengan
bakteremia dan shock tanpa gejala meningitis, (iii) penderita dengan shock dan
meningitis, dan (iv) penderita dengan hanya meningitis saja. Klasifikasi penderita
pada salah satu dari kelompok klinis ini sangat membantu di dalam pengambilan
keputusan terutama untuk perawatan intensif secara maksimal.

Pada beberapa kasus dapat terjadi infeksi metastatik berupa arthritis atau
pericarditis yang umumnya disebabkan oleh serogrup C dari N. meningitidis.

(19)

Selain gejala arthritis atau pericarditis pada penderita-penderita ini dapat ditemukan
kemerahan kulit (rash) dan rekrudensi demam yang terjadi pada 10-20% penderita
pada hari ke-4 sampai ke-7 di waktu konvalesensi dari penyakitnya. Sejumlah kecil
penderita-penderita, mungkin kurang dari 1% dan terdiri terutama dari orang dewasa,
dijumpai satu atau lebih episode kenaikan suhu badan yang tajam (spiking),
arthralgia, atau arthritis dan kemerahan kulit yang rekuren; sindrom ini dikenal
sebagai chronic benign meningococcemia. (18)
Di samping infeksi meningoccocemia ini, juga dilaporkan infeksi meningokok
lain seperti meningoccal conjunctivitis primer, pneumonia, adnexitis, atau pelvic
inflammatory disease (PID). Diagnosis untuk keadaan-keadaan ini mudah terlewati
karena secara klinis sulit dibedakan dengan penyakit-penyakit primer dan penyakitnya
sendiri mudah diobati dengan obat-obat standar.
FULMINANT MENINGOCOCCAL SEPSIS (FMS) DAN DIC
FMS disifati oleh adanya shock dan disseminated intravascular coagulation
(DIC), dua proses yang saling berkaitan. Shock dan DIC memiliki kesamaan
mekanisme kausal dan saling menguatkan. Misalnya, trombosis mikrovaskuler
menyebabkan hipoperfusi (shock) dan sebaliknya shock menginduksi kerusakan
endotel dan DIC. Shock disebabkan oleh bocornya kapiler, gangguan tonus vaskuler,
mikrotrombosis intravaskuler dan disfungsi miokardial. Aktivator utama yang
menimbulkan keadaan ini adalah endotoksin meningokok dan beratnya shock ini
mempunyai korelasi dengan derajat endotoksemia. Perdarahan kulit merupakan ciri
dari penyakit meningokok invasif. Secara mikroskopik, lesi ini mempunyai
karakteristik berupa kerusakan endotel dan perdarahan di sekitar pembuluh pembuluh
darah kecil serta adanya trombi di daerah tersebut. Keadaan ini sesuai dengan reaksi

Sanarelli-Schartzman. Lesi ini mencerminkan vaskulitis dan sitokinendotoksin.


Meskipun DIC adalah suatu fenomena yang sistemik, tetapi terutama kelenjar adrenal
adalah yang paling rentan.
Perdarahan adrenal, yang secara post-mortal didiagnosis sebagai sindrom
Waterhouse-Friderichsen, dapat menimbulkan insufisiensi adrenal secara transitori.
Pada keadaan ini, pembuluh-pembuluh intraserebral tetap utuh tidak mengalami
kerusakan. DIC yang berat senantiasa berkaitan dengan progosis penyakit yang buruk.
Angka mortalitas FMS cukup tinggi bervariasi antara 20-80% tergantung dari daerah
studi. Keadaan ini sangat tergantung dari perjalanan penyakit pada daerah yang
bersangkutan dan kualitas penangangan medis sebelum penderita mendapat perawatan
darurat di rumah sakit. Selain itu perbedaan angka mortalitas tersebut tergantung pula
pada perbedaan definisi penyakit. Studi klinis umumnya hanya memasukkan
penderita-penderita dengan shock yang nyata ke dalam kriteria sepsis sedangkan
banyak studi epidemiologis mendefinisikan sepsis dari adanya purpura di kulit atau
biakan darah yang positif. Jelas bahwa definisi yang seragam, pengobatan serta
perawatan, dan hasilnya sangat diperlukan untuk mendapatkan perbandingan yang
dapat dipercaya.
Secara klinis, penyakit ini sangat cepat mengalami perubahan, sekitar setengah
dari penderita-penderita yang meninggal terjadi pada 24 jam pertama setelah
dijumpainya gejala-gejala. Dalam suatu laporan

(20)

dinyatakan bahwa satu-per-tiga

dari penderita dengan penyakit yang fatal, meninggal pada waktu antara 6 dan 18 jam.
Sering pula dijumpai komplikasi berupa perdarahanperdarahan, anuria, dan kegagalan
organ secara mulitpel. Setelah 4-10 hari dan tidak meninggal, 10-20%

(20)

penderita

dengan infeksi meningokok akan mengalami demam kembali yang umumnya diikuti
dengan kemerajhan kulit dan kadang kadang arthritis steril atau perikarditis. Kelainan

ini adalah suatu manifestasi imunokompleks semata dan akan menghilang secara
spontan dengan terapi simtomatik.
III.

PENEGAKAN DIAGNOSA
Mekanisme yang melatar-belakangi infeksi meningokok pada selaput otak dan
perjalanannya menembus blood-brain barrier belum sepenuhnya dipahami. Sekali
daya pertahanan humoral dan seluler pejamu di rongga subarachnoid menurun atau
hilang, kuman-kuman meningokok dapat berkembang biak secara tidak terkendali dan
menimbulkan berbagai gejala melalui endotoksin yang diproduksinya. Obat-obat
antibiotika tidak dapat menghentikan dengan segera proses peradangan yang terjadi di
selaput otak, bahkan ada kalanya antibiotika memperburuk kondisi penderita karena
mempercepat terjadinya pelepasan endotoksin.

(20)

Keadaan ini berbeda dengan

keadaan sepsis di mana pelepasan endotoksin yang diinduksi antibiotika tidak terjadi
di sini. Perbedaan ini disebabkan oleh karena mekanisme pembersihan (clearance)
endotoksin dan/atau regulasi produksi sitokin di cairan serebrospinal berbeda dari
proses yang terjadi di dalam darah. Perbedaan besar antara meningitis dan sepsis
meningokokal adalah: pada meningitis, respon peradangan terlokalisasi pada daerah
ekstravaskuler yang tidak memiliki sistem komplemen dan koagulasi. Pada sepsis
meningokokal, bentuk penyakitnya adalah paling berat dengan angka mortalitas yang
tinggi dan terjadi sekuele yang berat karena terjadinya inflamasi endovaskuler dan
trombosis, sedangkan pada meningitis meningokok angka kematian dan sekuele
neurologisnya relatif rendah.
Pada meningitis meningokok kadang-kadang terjadi hernia dari batang otak
yang sifatnya fatal. Hal ini disebabkan oleh karena rongga tengkorak tidak dapat
membesar dan terjadinya udem serebral akan menyebabkan meningkatnya tekanan
intrakranial sehingga terjadi perfusi serebral. Angka kematian yang besarnya 1-5%
berkaitan dengan meningitis meningokok disebabkan karena komplikasi fatal yang tak

teratasi ini. Pada otopsi tampak adanya ensefalitis di daerah yang berdekatan dengan
selaput otak yang meradang di samping tanda-tanda meningitis sendiri. Sekuele
neurologis yang dilaporkan berkisar 8-20% dari penderita-penderita yang bertahan
hidup

(19-20)

meliputi berbagai kelainan seperti tuli sensorineural, rertardasi mental,

spastisitas dan/atau kejang-kejang.


Oleh karena penyakit meningokokal akut, terlebih FMS, dapat bersifat fatal
dalam beberapa jam saja, maka diagnosis dini mempunyai arti yang sangat penting.
Gejala dini yang tipikal adalah bilamana seorang anak yang sama sekali sebelumnya
sehat mengeluh demam yang mendadak disertai menggigil dan nyeri otot mialgia).
Setelah beberapa jam (4-6 jam) mungkin tampak perbaikan klinis secara sementara
yang menutupi proses penyakit yang berlanjut. Pada stadium dini ini gejala dan tandatanda penyakit sangat membingungkan.
Manifestasi kulit menyerupai kemerahan yang disebabkan virus, tak ada kaku
kuduk dan pemeriksaan cairan serebrospinal dan gambaran mikroskopiknya
(pewarnaan Gram) tidak memberikan kesimpulan apapun. Stadium awal dari
meningitis meningokok menyerupai FMS oleh karena gejala-gejala awal penyakit
ditentukan oleh masuknya kuman-kuman meningokok secara tiba-tiba ke dalam aliran
darah. Akan tetapi secara umum gejala-gejala meningitis meningokok berjalan lebih
lambat. Lesi hemoragis kulit yang karakteristik menjadi jelas 12-18 jam setelah gejala
penyakit yang pertama timbul; pada 20% penderita tidak terdapat gejala kulit ini.
Apabila penderita menunjukkan adanya demam, sakit kepala, fotofobia,
iritabilitas, muntah, kehilangan kesadaran, kaku kuduk, dan lesi kulit, maka hampir
dapat dipastikan diagnosis meningitis meningokok dapat ditegakkan. Diagnosis
bakteriologis FMS secara cepat dapat dibuat dengan melakukan pewarnaan Gram dari
biopsi lesi kulit, buffy coat atau cairan serebrospinal. Pada meningitis meningokok,
lesi kulit jarang menunjukkan adanya meningokok, hanya sampel cairan serebrospinal
saja yang positif . Biakan kuman memberikan hasil positif setelah 12-24 jam.

Pemberian antibiotika sebelum pengambilan sampel untuk biakan mikrobiologis dapat


menyebabkan biakan darah dan cairan serebrospinal menjadi negatif, tetapi biakan
dari biopsi kulit masih tetap dapat memberikan hasil positif.

IV.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hart CA, Rogers TRF. Meningococcal disease.J Med Microbiol 1993;39:3-25.
2. Caugant DA. Population genetics and molecular epidemiology of Neisseria
meningitidis. APMIS 1998;106:505-25.
3. Van Deuren M, Brandtzaeg P, van der Meer JWM. Update on meningococcal
disease with emphasis on pathogenesis and clinical management. Crit Microbiol
Rev 2000;13:144-66.
4. Moore PS. Meningococcal meningitis in sub-Sahara Africa: a model for the
epidemic process. Clin Infect Dis, 1992; 14:515-25.
5. Achtman M. Global epidemiology of meningococcal

disease.

In

K.

Cartwright.editor. Meningococcal disease. Chichester, United Kingdom: John


Wiley & Sons, Ltd; 1995.p.159-75.
6. Schwartz B, Moore PS, Broome CV. Global epidemiology of meningococcal
disease. Clin Microbiol Rev 1989; 2(suppl): S118-S 24.
7. Riedo FX, Plikaytis BD, Broome CV. Epidemiology and prevention of
meningococcal disease. Pediatr Infect Dis J 1995;14:643-57.
8. McGee L, Koornhof HJ, Caugant DA. Epidemic spread of subgroup III of
Neisseria meningitidis serogroup A to South Africa in 1996. Clin Infect Dis 1998;
27:1214-20.
9. Guibourdenche M, Hiby EA, Riou JY,Varaine F, Joguet C, Caugant DA.
Epidemics of serogroup A Neisseria meningitidis of subgroup III in Africa, 1989994. Epidemiol Infect 1996;116:115 20.
10. Scholten RJPM, Poolman JT, Valkenburg HA, Bijlmer HA, Dankert J, Caugant
DA. Phenotype and genotype changes in a new clone complex of Neisseria
meningitidis causing disease in the Netherlands, 1958-1990. J Infect Dis 1994;
169:673-76.
11. Jones D. Epidemiology of meningococcal disease in Europe and the USA. In K.
Cartwright editor, Meningococcal disease. Chichester, United Kingdom: John
Wiley & Sons, Ltd; 1995.p.147-57.
12. Ashton FE, Ryan JA, Borczyk A, Caugant DA, Mancino L, Huang D. Emergence
of a virulent clone of Neisseria meningitidis serotype 2a that is associated with
meningococcal group C disease in Canada. J Clin Microbiol 1991;29:2489-93.

13. Jackson LA, Schuchat A, Reeves MW, Wenger JD. Serogroup C meningococcal
outbreaks in the United States, en emerging threat. JAMA 1995; 273:383-9.
14. Racoosin JA, Whitney CG, Conover CS, Diaz PS. Serogroup Y meningococcal
disease in Chicago., 1991-1997. JAMA 1998; 280:2094-98.
15. Caugant DA, Hiby EA, Magnus P, Scheel O, Hoel T, Bjune G. Asymptomatic
carriage of Neisseria meningitidis in a randomly sampled population. J Clin
Microbiol 1994; 32:323-30.
16. Moore PS, Reeves MW, Schwartz B, Gellin G, Broome CV. Intercontinental
spread of an epidemic group A Neisseria meningitidis strain. Lancet 1989; ii: 2603.
17. Sullivan TD, LaScolea LJ. Neisseria meningitidis bacteremia in children:
quantitation of bacteremia and spontaneous clinical recovery without antibiotic
therapy. Pediatrics 1987; 80:63-7.
18. Ploysangam T, Sheth AP. Chronic meningococcaemia in childhood: case report
and review of the literature. Pediatr Dermatol 1996; 13:483-7.
19. Wells M, Gibbons RB. Primary meningococcal arthritis: case report and review of
the literature. Mil Med 1997;162:769-72.
20. Emparanza JL, Aldamiz-Echevarria L, Perez-Yarza EG, Larranaga P, Jiminez JL,
Labiano M, et al. Progostic score in acute meningococcaemia. Crit Care Med
1988;16:168-9.

Вам также может понравиться