Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
OLEH:
ALFI SYAHRIN
011414153017
PENDAHULUAN
Infeksi meningokok dijumpai di seluruh dunia sebagai infeksi endemik dan
disebabkan oleh Neisseria meningitidi yang menyerang terutama anak-anak sehat
dengan insidens dan angka mortalitas yang cukup tinggi yaitu sekitar 10%.
(1)
Kuman
ini secara eksklusif terdapat pada manusia, berbentuk bulat berpasangan (diplokok)
seperti biji kopi, negatif gram dan diliputi oleh suatu membran (outer membrane)
yang terdiri dari lemak, protein dan lipopolisakarida. Melalui pengujian serologik,
kuman ini dibagi atas beberapa grup (serogup) yang kesemuanya berjumlah 13 dan 20
tipe (serotipe). Galur (strain) yang termasuk dalam serogrup B dan C merupakan
penyebab utama radang selaput otak (meningitis) di negara negara maju, sedangkan
galur dari serogrup A dan sebagian kecil C banyak ditemukan di negara-negara
berkembang. Penentuan serotipe sangat penting dipandang dari segi strategi
pengembangan vaksin, namun tidak memadai untuk tujuan epidemiologi modern. (2)
Dengan menggunakan pendekatan genetik, terutama cara multilocus enzyme
electrophoresis, dapat diperoleh suatu gambaran yang lebih baik mengenai
epidemiologi dan ekspansi klonal penyakit yang disebabkan oleh N. Meningitis ini.
Meningitis di daerah Afrika sub-Sahara memiliki pola epidemiologis yang
khusus. Daerah ini yang sering disebut juga sebagai meningitis belt meliputi kurang
lebih 10 negara di antaranya adalah Burkina Faso, Ghana, Togo, Benin, Niger,
Nigeria, Chad, Cameroon, Republik Afrika Tengah, dan Sudan.
(3,4)
Di daerah ini,
infeksi meningokok yang disebabkan oleh serogrup A timbul secara berulang setiap
tahun sebagai suatu gelombang. Derajat serangan penyakit meningkat pada akhir
musim kering dan secara cepat menurun setelah musim hujan mulai. (4-6)
Pada saat puncak terjadinya epidemi, insidens penyakit dapat mencapai
1000/100.000 penduduk. (7) Sejak akhir tahun 1960-an, terjadi epidemi yang luas yang
disebabkan oleh galur N. meningitidis yang secara genetik saling berkaitan erat.
(2)
Wabah yang paling besar yang berasal dari Cina bagian utara dan menyebar ke selatan
dan kemudian ke seluruh dunia, disebabkan oleh 2 jenis klon (clones) dari serogrup A
yaitu subgrup I dan III).
(2,5)
tahun 1983 sampai 1987. Pada tahun 1987, klon ini mencapai daerah Timur Tengah,
kemudian menyebar lebih jauh dan menimbulkan epidemi yang luas di jasirah Arab
dan Afrika. Pada tahun 1990-an, wabah ini bergerak kebagian lebih selatan dari
daerah tradisional meningitis belt sampai mencapai Afrika Selatan di tahun 1996.(8)
Pada tahun itu terdapat lebih dari 150.000 kasus dan sedikitnya 16.000 meninggal.
(2,5,9)
Di banyak negara maju, galur serogrup B bertahan selama lebih dari 30 tahun.
Kebanyakan galur ini termasuk kompleks klonal yang dikenal sebagai ET-5 dan ET37.(2) Di bagian barat-laut Eropa (Norwegia, Inggris dan Belanda), infeksi
hiperendemik dengan derajat serangan 4 sampai 50/100.000 bertahan sejak
pertengahan tahun 1970-an,
(2,4,6)
persisten ini disebabkan oleh galur serogrup B yang termasuk ET-5. Galur ini beredar
diantara penduduk setempat dengan transmisibilitas rendah tetapi derajat virulensinya
tinggi.(7,10) Galur grup B dengan karakteristik ET-5 ditemukan di Cina pada tahun
1974, dan pada tahun 1980-an juga di Jepang, Thailand, Spanyol, Cuba, Cili dan
Brazilia. Pada tahun 1990-an galur ini menyebar ke Afrika Utara dan Australia.(2) Di
Amerika, kasus-kasus dilaporkan dijumpai pada imigran dari Kuba, tetapi berbeda
dengan bagian barat-laut Eropa, di sini tidak terjadi wabah yang besar.
Pada saat dilaporkan terjadinya wabah oleh ET-5 di seluruh dunia, galur yang
termasuk dalam klonal kompleks dari serogrup B yang lain (ET-24 dan ET-25) timbul
di Eropa. Mula-mula ditemukan di Belanda pada tahun 1980-an, klon ini merupakan
klon yang paling dominan menjelang akhir tahun 1990-an
(10)
PATHOGENESIS PENYAKIT
Ada 4 kondisi yang memungkinkan terjadinya penyakit meningokokal yang
sifatnya infasif yaitu: (i) paparan terhadap galur patogenik, (ii) adanya kolonisasi
kuman di mukosa naso-pharyngeal, (iii) terjadinya pasasi melalui mukosa, dan (iv)
kemampuan meningokok untuk dapat bertahan di darah. Naso-pharynx manusia
adalah satu-satunya reservoir alamiah dari N. meningitidis. Kuman kuman ini
ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui kontak langsung secara droplet. Daya
tahan hidup kuman di sini dipengaruhi oleh beberapa kondisi seperti misalnya iklim
yaitu suhu dan kelembaban. Pada periode infeksi endemik, sekitar 10% penduduk
mengidap kuman ini dalam hidungnya.(15) Meskipun demikian, 9 dari 10 jenis kuman
yang diisolasi dari carrier bukan termasuk kuman yang patogenik. Mengapa suatu
jenis kuman dapat berkolonisasi di mukosa nasooropharyngeal sedangkan jenis yang
lain tidak dapat, hal ini masih merupakan suatu pertanyaan. Permulaan sebagian besar
kasus meningitis bakteri dimulai dengan akuisisi sejumlah organisme baru dengan
kolonisasi nasofaring, kolonisasi bakteri terjadi pada bagian permukaan luar sel
mukosa dan pada intra-atau sub-epitelial. Kerusakan pada epitel bersilia dari
(1).
Meningokokus bervariasi
(20),
(18)
permeabilitas BBB yang terjadi selama meningitis bakteri pada tingkat otak kapiler
sel endotel didapatkan dari hasil pemisahan persimpangan ketat dari peningkatan
pinositosis, baik dari perubahan, atau melalui proses yang belum diketahui.
Gambar 1 : Proses invasi virulen pada kejadian meningitis dikutip dari neuroscience
Gambar
Bacterial
Meningitis
Pathogenesis
(dikutip
dari
www.thecalgaryguide.com)
GEJALA KLINIS DARI INFEKSI MENINGOKOKAL INVASIF
Sekali kuman meningokok mencapai aliran darah, berbagai manifestasi
penyakit dapat terjadi. Pada beberapa penderita, mungkin ditemukan demam
berderajat rendah dan meningokok secara spontan hilang dari darah, meninggalkan
keadaan yang disebut sebagai transient meningococcemia yang disifati oleh episode
demam singkat mirip flu.(17) Apabila keadaan bakteremia ini menetap, tidak hilang
maka timbullah gejala-gejala klinis. Pada kasus-kasus ini yang menonjol adalah gejala
yang disebabkan oleh sifat kuman seperti dilepaskannya endotoksin dan repons tubuh
penderita terhadap toksin tersebut. Jenis kuman yang diisolasi dari penderita dengan
meningococcal septic shock melepaskan endotoksin yang jauh lebih besar dari pada
galur yang menyebabkan chronic benign meningococcemia.
(18)
Pada beberapa kasus dapat terjadi infeksi metastatik berupa arthritis atau
pericarditis yang umumnya disebabkan oleh serogrup C dari N. meningitidis.
(19)
Selain gejala arthritis atau pericarditis pada penderita-penderita ini dapat ditemukan
kemerahan kulit (rash) dan rekrudensi demam yang terjadi pada 10-20% penderita
pada hari ke-4 sampai ke-7 di waktu konvalesensi dari penyakitnya. Sejumlah kecil
penderita-penderita, mungkin kurang dari 1% dan terdiri terutama dari orang dewasa,
dijumpai satu atau lebih episode kenaikan suhu badan yang tajam (spiking),
arthralgia, atau arthritis dan kemerahan kulit yang rekuren; sindrom ini dikenal
sebagai chronic benign meningococcemia. (18)
Di samping infeksi meningoccocemia ini, juga dilaporkan infeksi meningokok
lain seperti meningoccal conjunctivitis primer, pneumonia, adnexitis, atau pelvic
inflammatory disease (PID). Diagnosis untuk keadaan-keadaan ini mudah terlewati
karena secara klinis sulit dibedakan dengan penyakit-penyakit primer dan penyakitnya
sendiri mudah diobati dengan obat-obat standar.
FULMINANT MENINGOCOCCAL SEPSIS (FMS) DAN DIC
FMS disifati oleh adanya shock dan disseminated intravascular coagulation
(DIC), dua proses yang saling berkaitan. Shock dan DIC memiliki kesamaan
mekanisme kausal dan saling menguatkan. Misalnya, trombosis mikrovaskuler
menyebabkan hipoperfusi (shock) dan sebaliknya shock menginduksi kerusakan
endotel dan DIC. Shock disebabkan oleh bocornya kapiler, gangguan tonus vaskuler,
mikrotrombosis intravaskuler dan disfungsi miokardial. Aktivator utama yang
menimbulkan keadaan ini adalah endotoksin meningokok dan beratnya shock ini
mempunyai korelasi dengan derajat endotoksemia. Perdarahan kulit merupakan ciri
dari penyakit meningokok invasif. Secara mikroskopik, lesi ini mempunyai
karakteristik berupa kerusakan endotel dan perdarahan di sekitar pembuluh pembuluh
darah kecil serta adanya trombi di daerah tersebut. Keadaan ini sesuai dengan reaksi
(20)
dari penderita dengan penyakit yang fatal, meninggal pada waktu antara 6 dan 18 jam.
Sering pula dijumpai komplikasi berupa perdarahanperdarahan, anuria, dan kegagalan
organ secara mulitpel. Setelah 4-10 hari dan tidak meninggal, 10-20%
(20)
penderita
dengan infeksi meningokok akan mengalami demam kembali yang umumnya diikuti
dengan kemerajhan kulit dan kadang kadang arthritis steril atau perikarditis. Kelainan
ini adalah suatu manifestasi imunokompleks semata dan akan menghilang secara
spontan dengan terapi simtomatik.
III.
PENEGAKAN DIAGNOSA
Mekanisme yang melatar-belakangi infeksi meningokok pada selaput otak dan
perjalanannya menembus blood-brain barrier belum sepenuhnya dipahami. Sekali
daya pertahanan humoral dan seluler pejamu di rongga subarachnoid menurun atau
hilang, kuman-kuman meningokok dapat berkembang biak secara tidak terkendali dan
menimbulkan berbagai gejala melalui endotoksin yang diproduksinya. Obat-obat
antibiotika tidak dapat menghentikan dengan segera proses peradangan yang terjadi di
selaput otak, bahkan ada kalanya antibiotika memperburuk kondisi penderita karena
mempercepat terjadinya pelepasan endotoksin.
(20)
keadaan sepsis di mana pelepasan endotoksin yang diinduksi antibiotika tidak terjadi
di sini. Perbedaan ini disebabkan oleh karena mekanisme pembersihan (clearance)
endotoksin dan/atau regulasi produksi sitokin di cairan serebrospinal berbeda dari
proses yang terjadi di dalam darah. Perbedaan besar antara meningitis dan sepsis
meningokokal adalah: pada meningitis, respon peradangan terlokalisasi pada daerah
ekstravaskuler yang tidak memiliki sistem komplemen dan koagulasi. Pada sepsis
meningokokal, bentuk penyakitnya adalah paling berat dengan angka mortalitas yang
tinggi dan terjadi sekuele yang berat karena terjadinya inflamasi endovaskuler dan
trombosis, sedangkan pada meningitis meningokok angka kematian dan sekuele
neurologisnya relatif rendah.
Pada meningitis meningokok kadang-kadang terjadi hernia dari batang otak
yang sifatnya fatal. Hal ini disebabkan oleh karena rongga tengkorak tidak dapat
membesar dan terjadinya udem serebral akan menyebabkan meningkatnya tekanan
intrakranial sehingga terjadi perfusi serebral. Angka kematian yang besarnya 1-5%
berkaitan dengan meningitis meningokok disebabkan karena komplikasi fatal yang tak
teratasi ini. Pada otopsi tampak adanya ensefalitis di daerah yang berdekatan dengan
selaput otak yang meradang di samping tanda-tanda meningitis sendiri. Sekuele
neurologis yang dilaporkan berkisar 8-20% dari penderita-penderita yang bertahan
hidup
(19-20)
IV.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hart CA, Rogers TRF. Meningococcal disease.J Med Microbiol 1993;39:3-25.
2. Caugant DA. Population genetics and molecular epidemiology of Neisseria
meningitidis. APMIS 1998;106:505-25.
3. Van Deuren M, Brandtzaeg P, van der Meer JWM. Update on meningococcal
disease with emphasis on pathogenesis and clinical management. Crit Microbiol
Rev 2000;13:144-66.
4. Moore PS. Meningococcal meningitis in sub-Sahara Africa: a model for the
epidemic process. Clin Infect Dis, 1992; 14:515-25.
5. Achtman M. Global epidemiology of meningococcal
disease.
In
K.
13. Jackson LA, Schuchat A, Reeves MW, Wenger JD. Serogroup C meningococcal
outbreaks in the United States, en emerging threat. JAMA 1995; 273:383-9.
14. Racoosin JA, Whitney CG, Conover CS, Diaz PS. Serogroup Y meningococcal
disease in Chicago., 1991-1997. JAMA 1998; 280:2094-98.
15. Caugant DA, Hiby EA, Magnus P, Scheel O, Hoel T, Bjune G. Asymptomatic
carriage of Neisseria meningitidis in a randomly sampled population. J Clin
Microbiol 1994; 32:323-30.
16. Moore PS, Reeves MW, Schwartz B, Gellin G, Broome CV. Intercontinental
spread of an epidemic group A Neisseria meningitidis strain. Lancet 1989; ii: 2603.
17. Sullivan TD, LaScolea LJ. Neisseria meningitidis bacteremia in children:
quantitation of bacteremia and spontaneous clinical recovery without antibiotic
therapy. Pediatrics 1987; 80:63-7.
18. Ploysangam T, Sheth AP. Chronic meningococcaemia in childhood: case report
and review of the literature. Pediatr Dermatol 1996; 13:483-7.
19. Wells M, Gibbons RB. Primary meningococcal arthritis: case report and review of
the literature. Mil Med 1997;162:769-72.
20. Emparanza JL, Aldamiz-Echevarria L, Perez-Yarza EG, Larranaga P, Jiminez JL,
Labiano M, et al. Progostic score in acute meningococcaemia. Crit Care Med
1988;16:168-9.