Вы находитесь на странице: 1из 7

DUKUNGAN NUTRISI PADA PENYAKIT KRITIS

Arif Mansjoer, Marcellus Sinadibrata K.


PENDAHULUAN
Keadaan atau penyakit kritis dapat terjadi pada berbagai kasus akut seperti trauma, luka
bakar, operasi, atau infeksi berat. Proses terjadinya sangat cepat, berfluktuasi dan
menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Keadaan ini memerlukan penanganan yang
cepat dan tepat serta pengawasan yang ketat.
Kegagalan multi organ sering terjadi pada keadaan ini dan tidak jarang
membutuhkan dukungan sementara sebelum organ yang terganggu pulih seperti
penggunaan ventilator sebagai alat bantu napas pada kasus gagal napas atau alat
hemodialisis sebagai alat pengganti fungsi ginjal pada kasus gagal ginjal akut.
Dukungan lainnya yang tak kalah pentingnya adalah dukungan nutrisi. Pada tulisan
berikut ini akan dibahas tentang respons metabolik pada penyakit kritis dan tahapantahapan pemberian nutrisi pada pasien dengan penyakit kritis, yaitu: 1). Status nutrisi;
2). Masalah nutrisi; 3). Kebutuhan nutrisi; 4). Saat dan dosis pemberian; 5). Nutrisi
enteral; 6). Nutrisi parenteral.
RESPON METABOLIK PADA PENYAKIT KRITIS
Trauma, luka bakar, operasi, infeksi berat merupakan stres bagi tubuh. Tubuh akan
memberikan respon metabolik yang menyebabkan hipermetabolisme, hiperkatabolisme.
Pada awal adanya stres terjadi fse ebb (fase syok, fase resusitasi) dan diikuti fase flow
(fase akut).
Pada fase ebb terjadi ketidakstabilan hemodinamik, tekanan darah menurun,
curah jantung menurun, penggunaan O2 menurun, suhu tubuh rendah, serta terjadi
peningkatan kadar glukagon, katekolamin, asam lemak bebas. Fase ini dapat terjadi
hingga 12-24 jam dan terapi ditujukan untuk resuitasi cairan hingga hemodinamik
stabil.
Pada fase selanjutnya, fase flow, terjadi hipermetabolisme, katabolisme, dan
peningkatan penggunaan O2. hal ini terjadi akibat pelepasan sitokin dan sinyal saraf
aferen dan jaringan yang rusak. Fase ini merupakan fase respon metabolik yang
mengubah penggunaan energi dan protein untuk menyelamatkan fungsi organ penting
dan memperbaiki kerusakan jaringan. Substrat endogen secara aktif dilepas seperti
glukosa dari glikogen, asam amino dari otot rangka, asam lemak dari jaringan adiposa.
Pada fase inillah dukungan nutrisi diberikan.
Tabel 1. Perubahan Metabolik pada Awal Keadaan Krisis
Fase Ebb
Fase Flow
Glukosa darah
Meningkat
Normal atau sedikit meningkat
Asam lemak bebas
Meningkat
Normal atau sedikit meningkat
dalam sirkulasi
Insulin
Menurun
Normal atau sedikit meningkat
Katekolamin
Meningkat
Meningkat
Curah jantung
Menurun
Meningkat
Konsumsi oksigen
Menurun
Meningkat
Suhu tubuh
Menurun
Meningkat

PENGKAJIAN STATUS NUTRISI


Pengkajian status nutrisi merupakan hal yang penting selain pengkajian kondisi medis
pasien. Tujuan dari pengkajian nutrisi adalah mengidentifikasi pasien yang mengalami
atau memiliki risiko terjadinya malnutrisi, menentukan derajat malnutrisi pasien, dan
memantau hasil dukungan nutrisi yang diberikan. Langkah awal pengkajian nutrisi
adalah anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.
Pada pasien kritis seringkali perlu dilakukan allo-anamnesis pada keluarga atau
kerabat dekat. Hal yang perlu digali adalah riwayat penyakit saat ini dan sebelumnya,
lama sakit, asupan nutrisi, dan adanya gejala gastrointesitanl seperti mual, muntah, atau
diare.

Perlu dipertanyakan pula adanya riwayat penurunan berat badan yang sering
menjadi penyebab malnutrisi. Malnutrisi adalah gangguan status nutrisi akibat
kurangnya asupan nutrisi, terganggunya metabolisme nutrien, atau nutrisi berlebih.
Faktor yang mengarahkan adanya malnutrisi adalah penurunan 10% atau lbeih berat
badan selama 6 bulan, penurunan 5% atau lebih berat badan selama 1 bulan, atau berat
badan lebih atau kurang 20% dari berat badan ideal.
Pemeriksaan fisik yang penting adalah berat badan (BB), tinggi badan (TB), dan
pemeriksaan antropometrik lain. Berdasarkan BB dan TB dapat ditentukan indeks
massa tubuh (IMT), yaitu:

BB (dalam kilogram)
IMT =
TB 2 (dalam meter)

< 18,5 kg/m2


18,5 22,9 kg/m2
23,0 kg/m2
23,0 24,9 kg/m2
25,0 29,9 kg/m2
30 kg/m2

BB kurang
BB normal
BB lebih
+ dengan risiko
+ obesitas I
+ obesitas II

Pada pasien kritis sukar untuk melakukan pemeriksaan BB, TB, atau
pemeriksaaan antopemetrik sehingga data BB dan TB sering didapatkan dari menaksir
atau menanyakan pada keluarga atau kerabat dekat.
Kadar albumin, transferin, dan prealbumin yang diproduksi oleh hati merupakan
penanda cadangan protein viseal dan juga merupakan indikator status gizi.
PENGKAJIAN MASALAH NUTRISI
Pada setiap pasien ditentukan dahulu permasalahan asupan nutrisi. Apakah pasien tidak
dapat makan, tidak boleh makan, atau makan tidak adekuat sehingga tidak mencukupi
kebutuhan. Apakah terdapat indikasi
Pemeriksaan
(satuan)

Waktu
paru (t)

Normal

Albumin (g/dL)
Transferin (mg/dL)
Preablbumin (mg/dL)

20 hari
9 hari
1-2 hari

> 3,5
> 200
> 18

Status Nutrisi
Deplesi
Sedang
ringan
2,8 3,5
2,2 2,8
150 200 100 150
10 18
5 10

Berat
< 2,2
< 100
<5

atau terdapat kontraindikasi pemberian nutrisi oral, enteral, atau parenteral. Kesadaran
menurun pada pasien dengan dengan penyakit gratis merupakan indikasi pemberian
terapi nutrisi. Metoda yang dipilih adalah pemberian nutrisi enteral bila fungsi absorpsi
saluran gastrointestinal baik. Namun bila saluran gastrointestinal tidak berfungsi, atau
terdapat peritonistis difus, obstruksi usus, muntah-muntah, ileus paralitik, dan iskemia
gastrointestinal, maka dipilih metode pemberian nutrisi parenteral.
Perlu pula ditentukan perkiraan lamanya pasien akan membutuhkan dukungan
nutrisi. Apakah keadaan kritis ini merupakan keadaan akut saja atau merupakan keadaan
akut dari suatu penyakit kronik seperti keganasan. Apakah keadaan akut tersebut dapat
menyebabkan gangguan proses pencernaan yang permanen.
PENENTUAN KEBUTUHAN NUTRISI
Pada pasien kritis, pemberian nutrisi hendaknya diberikan dini 24-48 jam pertama dan
tidak saat pasien masih berada dalam fase ebb/syok/resusitasi. Kebutuhan kalori
diberikan bertahap untuk menjaga toleransi penerimaan usus pada pemberian nutrisi
enternal7 dan untuk menjaga agar keseimbangan nitrogen tidak terlalu negatif pada
pemberian nutrisi parenteral. Pada hari pertama dapat diberikan 1/3 kebutuhan kalori,
hari kedua - 2/3 kalori, dan pada hari ketiga dapat diberikan dukungan nutrisi penuh.
Kebutuhan Kalori
Kebutuhan energi basal (basal energy expenditure, BEE), dapat dihitung dengan
berbagai cara, salah satunya adalah dengan rumus Harris Bennedict yang ditentukan
berdasarkan jenis kelamin, umur (U), berat badan (BB), dan tinggi badan (TB), yaitu

Laki-laki
Perempuan

: BEE = 66,47 + (13,75 x BB) + (5,00 x TB) (6,76 x U)


: BEE = 655,2 + (9,56 x BB) + (1,7 x TB) (4,77 x U)

Langkah selanjutnya adalah menentukan kebutuhan energi total (total energy


expenditure, TEE). Faktor-faktor seperti bedah, infeksi, trauma, atau stres lain
menambah menambah kebutuhan energi. Untuk menghitungnya digunakan rumus
TEE = BEE x faktor stres x faktor aktivitas.
Tabel 3. Nilai Faktor Aktivitas dan Stres
Faktor aktivitas
Tirah barin
: 1,2
Aktivitas
: 1,3
Demam
: 1,13 tiap derajat di atas 37

Faktor Stres
Bedah minor : 1,1 1,3
Bedah mayor : 1,5
Infeksi
: 1,2 1,6
Trauma
: 1,1 1,8
Sepsis
: 1,4 1,9
Luka bakar
: 1,9 2,1

Rumus Harris Benedict dan faktor-faktornya pada literatur sangat bervariasi dan
tidak praktis. Secara praktis, pada pasien kritis (hipermetabolisme) untuk mencari
kebutuhan kalori total dapat digunakan rumus 25 35 kkal/kgBB.
Karbohidrat, protein, dan lemak merupakan sumber kalori. Satu gram
karbohidrat menghasilkan 4 kkal, 1 gram protein 4 kkal, dan 1 gram lemak 9 kkal. Pada
terapi nutrisi kebutuhan kalori didapat dari karbohidrat dan lemak. Karbohidrat
diberikan 60 70% dari kebutuhan kalori total sedangkan lemak 30 40% dari
kebutuhan kalori total.
Pemberian karbohidrat meningkatkan produksi CO2. Hal ini dinilai dengan
respiratory quetient (RQ) yaitu rasio produksi karbohidrat (VCO 2) dan penggunaan O2
(VO2). Nilai ini bermanfaat dalam perencanaan pemberian nutrisi. Nilai normal RQ
(0,71,2) dipengaruhi asupan lemak, protein, dan karbohidrat. Nilai RQ lemak 0,7,
protein 0,8, dan karbohidrat 1,0. Nilai RQ > 1,0 menggambarkan pemberian karbohidrat
atau kalori yang berlebih sehingga produksi CO 2 meningkat dan menyebabkan kesulitan
penyapihan (weaning) dari ventilator. Berdasarkan hal tersebut, maka pada kelainan
paru persentase pemberian karbohidrat dikurangi sedangkan persentase lemak dinaikkan
hingga 50%.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dan dapat menyebabkan tidak tercapainya
estimasi kebutuhan kalori adalah restriksi asupan cairan, intoleransi glukosa, gangguan
fungsi ginjal, pengosongan lambung melambat atau berkurangnya absorpsi makanan di
lambung, diare, atau puasa untuk persiapan tindakan.
Kebutuhan Protein
Pada keadaan kritis kebutuhan protein berkisar 1,2 2,0 g/kgBB/hari. Pada pasien
dengan penyakit ginjal kronik (chronic kidney disease, CKD) yang tidak dilakukan
dialisis kebutuhan protein 0,6 0,8 g/kgBB/hari, sedangkan 1,2 1,3 g/kgBB/hari, atau
hemofiltrasi kontinu, 1,0 g/kgBB/hari.
Pada pasien gagal ginjal akut (acute renal failure, ARF) pemberian asam amino
esensial dan non-esensial harus seimbang. Pada pasien ARF dengan malnutrisi berat
atau keadaan hiperkatabolik kebutuhan protein meningkat menjadi 1,5 1,8
g/kgBB/hari.

Pada pasien sirosis hati terkompensasi dapat diberikan protein 1,0 1,2
g/kgBB/hari, sedangkan bila disertai malnutrisi dengan asupan tidak adekuat diberikan
1,5 g/kgBB/hari. Pada keadaan kronis tersebut tidak dilakukan pembatasan pemberian
protein. Sedangkan pada keadaan akut, yaitu ensefalopati hepatik pemberian progein
dibatasi. Ensefalopati hepatik derajat I-II diberikan 0,5 g/kgBB/hari, selanjutnya
dinaikkan menjadi 1,0-1,5 g/kgBB/hari. Jika terdapat intoleransi, pada pasien dapat
diberikan protein nabati atau suplemen asam amino rantai cabang (branch-chain amino
acid, BCAA) yaitu isoleusin, leusin, valin. Pada ensefalopati hepatik derajat III-IV
diberikan protein 0,5 1,2 g/kgBB/hari berupa asam amino yang terutama BCAA. Pada
keadaan ensefalopati hepatik terjadi ketidakseimbangan BCAA dan asam amino
aromatik dalam plasma maupun sistem saraf pusat yang bermanifestasi gangguan
kesadaran.
Pada pasien kritis ada penelitian yang memberikan tambahan asam amino
tertentu seperti glutamin, arginin, dll untuk meningkatkan imun. Pemberian
imunonutrisi ini dapat dipertimbangkan. Pemberian asam amino seimbang untuk
mencegah katabolisme pasien kritis juga telah dilaporkan.
Kebutuhan Cairan dan Elektrolit
Pasien kritis membutuhkan cairan yang berbeda-beda baik jumlah maupun
kandungannya. Secara umum kebutuhan cairan adalah 30-40 ml/kgBB/hari atau 1-1,5
ml/kkal dari kalori yang diberikan.
Kebutuhan elektrolit bervariasi tergantung keadaan klinis. Natrium, dalam tubuh
manusia, merupakan kation utama pada cairan ekstraselular dan berperan dalam
osmolalitas cairan. Kalium dibutuhkan dalam sintesis protein, yaitu 6 sebanyak mmol/g
nitrogen dibutuhkan untuk metabolisme asam amino secara optimal. Kebutuhan kalium
meningkat pada hari-hari pertama pemberian nutrisi parenteral total. Hal ini terjadi
diduga karena
Tabel 4. Kebutuhan Elektrolit Harian
Elektrolit
Pemberian Enteral
Natrium (Na)
500 mg (22 mEq/kg)
Kalium (K)
2 g (51 mEq/kg)
Klorida (Cl)
750 mg (21 mEq/kg)
Kalsium (Ca)
Magnesium (Mg)
Fospor (P)

1200 mg (30 mEq/kg)


420 mg (17 mEq/kg)
700 mg (23 mEq/kg)

Pemberian Parenteral
1 2 mEq/kg
1 2 mEq/kg
Diberikan sesuai kebutuhan untuk
mempertahankan asam basa bersama
dengan asetat.
5 7,5 mEq/kg
4 10 mEq/kg
20 40 mEq/kg

Penyimpangan awal dalam hati dan perpindahan ke dalam sel. Kebutuhan kalium
meningkat saat terjadi masukan glukosa, sehingga perlu dilakukan pemantauan kalium
pada peningkatan jumlah glukosa yang masuk agar tidak terjadi hipokalemia.
Suplemen kalsium diperlukan pada nutrisi parenteral jangka panjang karena
kalsium endogen sering hilang akibat imobilisasi. Kalsium dibutuhkan pula pada
kondisi lain seperti pankreatitis. Fosfat dibutuhkan untuk metabolisme tulang, sintesis
jaringan, dan fosforilasi ikatan ATP. Hipofosfatemia terjadi pada awal pemberian nutrisi
parenteral yang tidak mengandung nutrisi fosfat. Hal yang berbahaya adalah penurunan

kadar eritrosit sehingga terjadi penurunan suplai oksigen ke jaringan, kelemahan otot,
dan dapat mengganggu respirasi.
Magnesium penting pada proses anabolisme dan pada sistem enzim, khususnya
yang melibatkan aktivitas metabolik otak dan hati. Kebutuhan magnesium meningkat
pada keadaan diare, poliuria, pankreatitis, dan keadaan hipermetabolik.
Kebutuhan Vitamin dan Mineral
Vitamin dan mineral merupakan nutrien esensial yang berperan sebagai koenzim dan
kofaktor dalam proses metabolisme. Defisiensi vitamin yang larut dalam air cepat
terjadi. Pada pemberian nutrisi parenteral total selama beberapa minggu hingga 3 bulan
sering terjadi defisiensi asam folat berupa pansitopenia, defisiensi tiamin berupa
ensefalopati, dan defisiensi vitamin K berupa hipoprotrombinemia. Kebutuhan vitamin
yang diberi secara intravena lebih besar dibanding dengan pemberian enteral.
Krominum (Cr) diperlukan untuk metabolisme glukosa normal. Tembaga (Cu)
sangat penting untuk pematangan eritrosit dan metabolisme lemak. Iodin (I) dibutuhkan
untuk sitensis tiroksin. Besi (Fe) penting untuk sintesis hemoglobin. Mangan (Mg)
digunakan pada metabolisme kalsium/fosfor, proses reproduksi dan pertumbuhan.
Molibdenum merupakan komponen pada oksidasi, sedangkan selenium pada glutation
perosidase. Zink merupakan bahan yang penting dalam pembuatan enzim. Defisiensi Zn
dapat terjadi dalam beberapa minggu dengan manifestasi dermatitiks dan luka yang
lama sembuh.
Contoh: Pada pasien kritis laki-laki 30 tahun dengan berat badan 50 kg diberikan
dukungan nutrisi dasar, yaitu:
Kalori/total = 30 kkal/kg x 50 kg
= 1500 kkal
Glukosa
= 60 % x 1500 kkal
= 900 kkal
Lemak
= 40 % x 1500 kkal
= 600 kkal
Protein
= 1,2 g/kg BB x 50 kg =
60 gram
Tabel 5. Kebutuhan Vitamin Harian
Vitamin
Pemberian Enteral
Tiamin
1,2 mg
Riboflavin
1,3
Niasin
16
Asam folat
400 g
Asam pantotenat
5 mg
Vitamin B-6
1,7 mg
Vitamin B-12
2,4 g
Biotin
30 g
Kolin
550 mg
Asam askorbat
90 mg
Vitamin A
900 g
Vitamin B
15 g
Vitamin E
15 mg
Vitamin K
120 g

Pemberian Parenteral
3 mg
3,6 mg
40 mg
400 g
15 mg
4 mg
5 g
60 g
Belum diketahui benar
100 mg
1000 g
5 g
10 mg
1 mg

Pada perhitungan di atas protein tidak diperhitungkan sebagai sumber kalori.


Ada pula pendapat yang masih kontroversi untuk memasukkan protein dalam
perhitungan jumlah total kalori.

NUTRISI ENTERAL
Nutrisi enteral adalah metode pemberian nutrien ke dalam saluran cerna
(gastrointestinal) melalui pipa. Metode ini digunakan sebagai dukungan nutrisi pada
pasien yang tidak mau, tidak boleh, atau tidak dapat makan sehingga makanan tidak
dapat masuk secara adekuat, namun fungsi saluran gastrointestinal masih baik.

Вам также может понравиться