Вы находитесь на странице: 1из 18

TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PAJAK

PERTAMBAHAN NILAI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Perpajakan
Dosen Pengampuh: Ali Irfan, SE., M.Si., Ak., CA., BKP.

Oleh :
Yudianto (2014240922)
Akhmad Nurhadi Putranto (2014240916)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MEI 2015

A. Kapan Seharusnya Mendaftar Sebagai PKP?


Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang
dalamkegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari
luar Daerah Pabean.
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) 1983 dan
perubahannya, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2012 tidak termasuk
Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 68/PMK.03/2010, tentang batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai
yang merubah batasan Rp 600 juta untuk wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak menjadi Rp 4,8 milyar, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada
Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai
tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya.
Berdasarkan sistem self assessment setiap WP yang memenuhi persyaratan
subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan wajib mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP dengan cara:
a. Datang langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui Kantor Pelayanan
Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan WP,
b. Melalui internet di situs Direktorat Jenderal Pajak dengan alamat www.pajak.go.id
Pengusaha yang dikenai PPN, wajib melaporkan usahanya pada KPP yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha dan
tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi PKP. Pengusaha orang

pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha berbeda dengan tempat
tinggal, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP ke KPP yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, juga wajib
mendaftarkan diri ke KPP di tempat kegiatan usaha dilakukan.
Pengusaha kecil yang memlilih untuk dikukuhkan sebagai PKP wajib
mengajukan pernyataan tertulis untuk dikukuhkan sebagai PKP. Pengusaha kecil yang
tidak memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP tetapi sampai dengan suatu masa pajak
dalam suatu tahun buku seluruh nilai peredaran bruto telah melampaui batasan yang
ditentukan sebagai pengusaha kecil, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP paling lambat akhir masa pajak berikutnya.
Adapun tempat pendaftaran WP Tertentu & Pelaporan Bagi Pengusaha Tertentu
adalah sebagai berikut:
a. Seluruh WP BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan WP BUMD (Badan Usaha
Milik Daerah) di wilayah DKI Jakarta, di KPP BUMN Jakarta;
b. WP PMA (Penanaman Modal Asing) yang tidak go public, di KPP PMA kecuali
yang telah terdaftar di KPP lama dan WP PMA di kawasan berikat dengan
permohonan diberikan kemudahan mendaftar di KPP setempat;
c. WP Badan dan Orang Asing (Badora), di KPP Badora;
d. WP go public, di KPP Perusahaan Masuk Bursa (Go Public), kecuali WP
BUMN/BUMD serta WP PMA yang berkedudukan di kawasan berikat;
e. WP BUMD diluar Jakarta, di KPP setempat;
f. Untuk WP BUMN/BUMD, PMA, Badora, Go Public di luar Jakarta, khusus PPh
Pemotongan/pemungutan dan PPN/PPnBM di tempat kegiatan usaha atau cabang.
Fungsi NPWP & Pengukuhan PKP
a. Fungsi NPWP:
Sarana dalam administrasi perpajakan;
Tanda pengenal diri atau Identitas WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban

perpajakannya;
Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi
perpajakan. Setiap WP hanya diberikan satu NPWP.

b. Fungsi Pengukuhan PKP:


Pengawasan dalam melaksanakan hak dan kewajiban PKP di bidang PPN dan

PPn BM.
Sebagai identitas PKP yang bersangkutan.

Penerbitan NPWP dan Pengukuhan PKP Secara Jabatan (Sifat Retroaktif)


KPP dapat menerbitkan NPWP dan Pengukuhan PKP secara jabatan, apabila
WP tidak memenuhi kewajiban mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP atau tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, bila berdasarkan data yang
dimiliki Direktorat Jenderal Pajak ternyata WP memenuhi syarat untuk memperoleh
NPWP atau PKP.
Sanksi Yang Berhubungan Dengan NPWP & Pengukuhan Sebagai PKP
Setiap

orang

yang

dengan

sengaja

tidak

mendaftarkan

diri

atau

menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan PKP,


sehingga dapat merugikan pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit
2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling tinggi 4
(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
Pidana tersebut di atas ditambah 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi
pidana, apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum
lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang
dijatuhkan. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan
dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, dalam rangka
mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan
pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama
2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan
dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat)
kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang
dilakukan.
B. Pengendalian atas Faktur Pajak Keluaran Maupun Faktur Pajak Masukan Agar
Memenuhi Syarat Formal dan Material.
Faktur Pajak adalah bukti pemungutan pajak. Agar Faktur Pajak dapat
berfungsi sebagai bagian dari mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak

Keluaran, Faktur Pajak harus memenuhi dua persyaratan yaitu persyaratan formal dan
persyaratan material sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
Pasal 13 ayat (9) UU PPN yang berbunyi: Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan
formal dan material.
Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi lengkap, jelas dan
benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan
yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan wewenang yang
diberikan oleh ayat (6).
Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang
kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal
dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum
dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan
Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor
Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan Pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak
atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak
tersebut tidak memenuhi syarat material.
Persyaratan Formal
Berdasarkan penjelasan Pasal 13 ayat (9), Faktur Pajak dikatakan telah
memenuhi persyaratan formal apabila diisi lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat Pasal 13 ayat (5) yaitu Faktur Pajak
harus mencantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
a) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak;
c) Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d) Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;

e) Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;


f) kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g) nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Persyaratan formal dari faktur pajak diatas wajib dipenuhi oleh Pengusaha
Kena Pajak yang menjual BKP/JKP karena apabila tidak dipenuhi, Faktur Pajak yang
diterbitkan dianggap cacat sehingga tidak dapat dijadikan Pajak Masukan oleh
Pengusaha Kena Pajak yang menjadi lawan transaksinya (oleh PKP pembeli). Selain
itu kepada Pengusaha Kena Pajak penerbit Faktur Pajak, sesuai bunyi Pasal 5 ayat (2)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembuatan
dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak, akan dikenakan sanksi
berupa bunga sebesar 2% dikalikan nilai transaksi yang tercantum dalam Faktur Pajak
tersebut.
Tidak semua Pengusaha Kena Pajak yang dikarenakan membuat faktur pajak
tidak sesuai persyaratan formal terkena sanksi, ada pengecualian dari pengenaan sanksi
apabila Pengusaha Kena Pajak keliru atau tidak mengisi secara lengkap nama, alamat,
dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena
Pajak dan keliru atau tidak mengisi secara lengkap nama, alamat, dan Nomor Pokok
Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak serta nama
dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak dalam hal penyerahan
dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran.
Kepada Pengusaha Kena Pajak penerbit faktur pajak tidak lengkap tersebut
tidak dikenakan sanksi denda pasal 14 ayat (1) sebesar 2%, namun Pengusaha Kena
Pajak yang penerima tidak dapat menjadikan Faktur Pajak tersebut sebagai Pajak
Masukan.
Persyaratan Material
Persyaratan material dari Faktur Pajak adalah telah terpenuhi apabila
keterangan yang tercantum dalam faktur pajak jelas dan sesuai dengan kejadian
transaksi yang sebenarnya dari BKP atau JKP yang diperjualbelikan. Berikut sebagian
bunyi penjelasan Pasal 13 ayat (9) UU PPN: Faktur Pajak atau dokumen tertentu
yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan
material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, Ekspor

Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean.
Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang
kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal
dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum
dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan
Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor
Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak
atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak
tersebut tidak memenuhi syarat material.
Di luar batasan pemenuhan persyaratan formal dan material dari Faktur pajak,
dalam rangka pengkreditan Faktur Pajak Pajak Masukan terdapat hal yang perlu
diperhatikan yang sudah diatur secara pasti dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN yaitu
mengenai Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
Jadi, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan
dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang
sebenarnya atau sesungguhnya mengenai:
a)
b)
c)
d)
e)
f)

Penyerahan BKP/JKP
Ekspor BKP Berwujud,
Ekspor BKP Tidak Berwujud,
Ekspor JKP,
Impor BKP,
Atau pemanfaatan JKP dan pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean

Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan


Berdasarkan Pasal 9 ayat (8) UU PPN pengkreditan Pajak Masukan
sebagaimana tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:

1. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
2. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon,
kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak;
5. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9)
atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
6. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
7. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya
ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
8. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang
ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan
9. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum
Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
Jangka Waktu pengkreditan Pajak Masukan berdasarkan Pasal 9 ayat (9) adalah
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya
paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan
sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
C. Tax Planning Pemilihan Tempat Pajak Terutang
Dengan diberlakukannya kebijakan atas transaksi penyerahan barang kena
pajak dari kantor pusat ke cabang atau sebaliknya sebagai penyerahan yang terutang
PPN, akan menimbulkan cost of compliance bagi PKP yang bersangkutan. Cost of
compliance dapat berupa beban administrasi bagi PKP dimana PKP tersebut harus

mengurus pendaftaran sebagai PKP bagi cabang-cabangnya, mengurus pelaporan


pajaknya setiap bulannya, membuat faktur pajak dan menghadapi pemeriksaan pajak
dan lain sebaginya. Bila PKP lalai dalam menjalankan kewajiban perpajakan, misalnya
tidak membuat atau terlambat dalam membuat faktur pajak atas transaksi penyerahan
barang kena pajak dari kantor pusat ke cabang akan berdampak pada sanksi
perpajakan. Sanksi perpajakan tersebut seharusnya memang tidak semestinya ada,
manakala penyerahan barang kena pajak dari kantor pusat ke cabang atau sebaliknya
tidak dijadikan sebagai objek PPN. Namun, oleh karena kelalaian atau ketidaktahuan
PKP, menyebabkan sesuatu yang tadinya beban pajaknya kecil atau mungkin tidak ada,
malah ada atau bahkan menjadi lebih besar.
Disisi lain tentu saja kebijakan tersebut tidak sejalan dengan salah satu prinsip
pemungutan pajak yaitu ease of administration. Betapa tidak, PKP harus membuat
faktur pajak. Betapa tidak, PKP harus membuat faktur pajak atas transaksi penyerahan
barang kena pajak di lingkungan internal PKP sendiri. Setelah faktur pajak dibuat,
PKP disibukkan lagi dengan pelaporan pajaknya. Administrasi yang sulit akan
cenderung

mendorong

PKP

menghindari

kewajiban

perpajakannya.

Prinsip

kemudahan administrasi juga merupakan hasil reformasi perpajakan nasional.


Disamping tidak sejalan dengan prinsip ease of administration, kebijakan pengenaan
PPn antar cabangpun kurang selaras dengan karakter PPN, yaitu netral dalam kegiatan
ekonomi. Netral dalam arti bahwa pengenaan PPN terhadap suatu barang atau jasa
semata-mata untuk kepentingan aktivitas ekonomi, bukan atas pertimbangan politik
misalnya. Belum lagi bila dikaitkan dengan prinsip akuntansi yang berlaku adalah
tidak dibenarkan apabila dalam satu entitas melakukan kegiatan transaksi.
Kebijakan penyerahan barang kena pajak dari kantor pusat ke cabang atau
sebaliknya, tentu tidak lepas dari kebijakan pemusatan PPN. Untuk mengimbangi
kebijakan tersebut di atas, diatur dalam pasal 1A ayat 2c UU PPN yaitu bagi PKP yang
telah mendapat ijin pemusatan PPN terutang, maka penyerahan barang kena pajak dari
kantor pusat ke cabang atau sebaliknya bukan merupakan objek pajak.
Ilustrasi:
PT Yudi Putra merupakan perusahaan manufaktur yang berlokasi di kota Surabaya.
Setiap barang jadi (finish goods) yang dihasilkan dikirimkan ke cabang perusahaan
yang berlokasi di wilayah yang berbeda di kota Surabaya. Untuk memasarkan
produknya, PT Yudi Putra mengirimkan barang hasil produksinya ke perusahaan lain
yaitu PT UB Factory Outlet yang berlokasi di kota Malang. Dari ilustrasi tersebut,

apabila PT Yudi Putra melakukan pemusatan PPN, pengiriman barang ke gudang tidak
menimbulkan PPN terutang. Sedangkan pengiriman baran ke PT UB Factory Outlet
menimbulkan PPN terutang berupa PPN keluaran. Apabila PT Yudi Putra tidak
melakukan pemusatan atas PPN nya, maka setiap barang keluar dari pabrik akan
menimbulkan PPN terutang meskipun satu entitas.
Dasar hukum pemusatan PPN diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 12
ayat (2) tentang perubahan ketiga atas UU nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN barang
dan jasa dan PPnBM. PER-28/PJ/2012 yang berlaku sejak 1 Januari 2013 tentang
tempat pendaftaran dan/atau pelaporan usaha bagi WP pada KPP di lingkungan Kanwil
DJP WP Besar, KPP di lingkungan Kanwil DKP Jakarta Khusus, dan KPP Madya.
Surat edaran nomor SE-45/PJ/2013 tentang prosedur penerbitan surat keputusan
pemusatan tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang dalam rangka pelaksanaan
peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2012 tentang tempat pendaftaran
dan/atau pelaporan usaha bagi Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak di
lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, Kantor
Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta
Khusus, dan Kantor Pelayanan pajak Madya.
D. Strategi Menghadapi Temuan Pemeriksa Tentang Konfirmasi PPN Yang
Dinyatakan Tidak Ada
Saat melakukan pemeriksaan, seringkali pemeriksa pajak (fiskus) mengoreksi
Pajak Masukan manakala konfirmasi terhadap Pajak Masukan tersebut mendapat
jawaban tidak Ada dari Kantor pajak lainnya. Asumsinya, kalau jawabannya Tidak
Ada, maka Faktur Pajak dari Pajak Masukan tersebut dianggap fiktif. Bahkan ada
juga beberapa orang yang mengaitkannya dengan soal tanggung jawab renteng PPN.
Kedua anggapan tersebut semuanya tidak benar karena fiktif dan tanggung jawab
renteng PPN punya klasifikasi dan definisi sendiri-sendiri.
Terkait dengan soal konfirmasi atau klarifikasi Faktur Pajak ini, Dirjen Pajak
sebenarnya telah menerbitkan sebuah aturan khusus bernomor KEP-754/P1/2001
tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak Dengan Aplikasi Sistem
Informasi Perpajakan. Keputusan Dirjen Pajak ini digulirkan pada tanggal 26
Desember 2001.Terkait dengan soal konfirmasi atau klarifikasi Faktur Pajak ini, Dirjen
Pajak sebenarnya telah menerbitkan sebuah aturan khusus bernomor KEP754/PJ./2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak Dengan Aplikasi

Sistem Informasi Perpajakan. Keputusan Dirjen Pajak ini digulirkan pada tanggal 26
Desember 2001. Tetapi hingga saat ini masih belum dinyatakan dicabut alias masih
berlaku dan bisa dijadikan referensi peraturan.
Pada butir 1.4.1.3. dalam penjelasan Lampiran I KEP-754/PJ./2001 ditegaskan
bahwa apabila jawaban klarifikasi dari KPP tempat PKP dikukuhkan menyatakan:
1. Ada dan Sesuai dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut belum direkam
KPP domisili PKP penjual atau Faktur Pajak tersebut terlambat dilaporkan oleh
PKP penjual, maka Faktur Pajak tersebut dapat diperhitungkan sebagai Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan;
2. Tidak Ada dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut belum dilaporkan
oleh PKP penjual dan KPP domisili PKP penjual telah menerbitkan SKP-KB atau
SKP-KBT atas Faktur Pajak yang belum dilaporkan tersebut, maka Faktur Pajak
tersebut dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
3. Tidak Ada dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut tidak sah karena
pengusaha yang menerbitkan belum dikukuhkan sebagai PKP, atau PKP penjual
tidak pernah melakukan penyerahan BKP/JKP kepada PKP pembeli yang
bersangkutan, maka Faktur Pajak tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan; dan
4. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal dikirimkan jawaban
klarifikasi belum/tidak diterima dan apabila berdasarkan hasil pengujian arus
barang dan atau arus uang dapat dibuktikan bahwa Faktur Pajak tersebut sah
adanya, maka Faktur Pajak yang dimintakan klarifikasi tersebut dapat
diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Saat melakukan pemeriksaan, seringkali pemeriksa pajak (fiskus) mengoreksi
Pajak Masukan manakala konfirmasi terhadap Pajak Masukan tersebut mendapat
jawaban Tidak Ada dari Kantor pajak lainnya. Asumsinya, kalau jawabannya Tidak
Ada, maka Faktur Pajak dan Pajak Masukan tersebut dianggap fiktif. Bahkan ada
juga beberapa orang yang mengaitkannya dengan soal tanggung jawab renteng PPN.
Kedua anggapan tersebut semuanya tidak benar karena fiktif dan tanggung jawab
renteng PPN punya klasifikasi dan definisi sendiri-sendiri.
Jika sudah begitu, maka koreksi tersebut tentu akan membuat WP susah dan
terpaksa harus menempuh jalur hukum Keberatan dan Banding. Kedua proses ini harus
ditempuh WP selama lebih dari 24 (dua puluh empat) bulan atau sekitar 2 (dua)
tahunan lebih.
Pada proses Keberatan, yang memakan waktu sekira 12 (dua belas) bulan,
biasanya koreksi pemeriksa pajak terhadap Pajak Masukan tersebut tetap

dipertahankan oleh rekan mereka di tim penelaah/peneliti Keberatan. Alasannya


biasanya sama dengan alasan pemeriksa pajak yang sebelumnya.
Namun pada saat Banding, Majelis Hakim di Pengadilan Pajak umumnya
berfokus hanya pada soal fiktif atau tidaknya Faktur Pajak yang dikreditkan oleh WP.
Para hakim biasanya tidak peduli apakah Faktur Pajak tersebut sudah dilaporkan oleh
PKP penjualnya atau belum. Artinya selama WP yang mengajukan Banding bisa
membuktikan bahwa transaksi dan Faktur Pajak yang dikreditkannya di SPT Masa
PPN tidak fiktif, maka koreksi pemeriksa pajak akan dibatalkan oleh Majelis Hakim.
Permohonan Banding WP terkait dengan Faktur Pajak tersebut umumnya bisa
dikabulkan.
Hakim di Pengadilan Pajak umumnya berpedoman pada prinsip bahwa
kesalahan PKP penjual karena tidak melaporkan Faktur Pajak tidak dapat direntengkan
kepada WP/PKP pembeli yang mengkreditkan Faktur Pajak tersebut. Sebab sesuai
dengan ketentuan umum UU PPN pembeli dalam hal ini memang sudah diwajibkan
untuk membayar PPN dan PPn-BM kepada PKP penjual. Kecuali jika pembeli
berstatus sebagai Wapu PPN, maka pembeli tidak diwajibkan untuk membayar PPN
dan PPn-BM kepada PKP penjual.
Seperti sudah diketahui, sesuai dengan ketentuan Pasal 3A ayat (1) UU PPN,
PKP yang melakukan penyerahan BKP/JKP wajib memungut, menyetor dan
melaporkan PPN maupun PPn-BM yang terutang. Ini artinya pembeli diwajibkan
untuk membayar PPN maupun PPn-BM kepada PKP penjual. Dan sebagai bukti
bahwa pembeli sudah membayar PPN maupun PPn-BM kepada PKP penjual, pembeli
akan mendapatkan Faktur Pajak dari PKP penjual. Bagi pembeli, PPN yang dibayar
kepada PKP penjual ini disebut dengan Pajak Masukan.
Kemudian dalam Pasal 9 UU PPN secara umum ditegaskan bahwa Pajak
Masukan (PM) dapat atau boleh dikreditkan. Pengkreditan PM ini bisa dilakukan pada
bulan yang sama dengan Pajak Keluaran atau dikreditkan paling lambat tiga bulan
berikutnya setelah bulan (Masa Pajak) dari Faktur Pajak Masukan tersebut.
Memang, dalam Pasal 9 UU PPN disebutkan beberapa kriteria PM yang tidak
boleh dikreditkan. Begitu pun dalam ketentuan Pasal 16B UU PPN, ada beberapa
kriteria PM yang tidak dapat dikreditkan. Tetapi dari kriteria yang ditetapkan oleh
kedua pasal tersebut, tidak satupun kriteria pelaporan oleh PKP penjual. Artinya di
kedua pasal tersebut tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa apabila penjual
belum atau tidak melaporkan Faktur Pajak Keluarannya, maka hilang pula hak
pengkreditan Pajak Masukan (PM) oleh pembeli.

Apabila faktur pajak masukan dikonfirmasi tidak ada, salah satu penyebabnya
adalah seperti ilustrasi sebagai berikut:
Ilustrasi kasus faktur pajak yang dikonfirmasi Tidak Ada
PT Putra telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang bergerak dalam bidang
perdagangan besar komputer, pada tanggal 20 April 2010 menyerahkan 10 unit
komputer kepada PT Putri dengan total Harga Jual Rp70.000.000,00. Atas penyerahan
ini terutang PPN sebesar 10% x Rp70.000.000= Rp7.000.000. Mekanisme umum yang
diatur dalam UU PPN 1984 atas transaksi tersebut adalah:
1. PT Putra menerbitkan Faktur Pajak untuk memungut PPN sebesar Rp7.000.000,2. Faktur Pajak terdiri dari dua lembar, yaitu:
lembar pertama diberikan kepada PT Putri sebagai bukti beban pajak yang
seharusnya dibayar;
lembar kedua menjadi arsip PT Putra sebagai bukti pemungutan pajak.
3. PT Putra wajib menyetor pajak yang dipungut untuk setiap Masa Pajak ke Kas
Negara.
4. PT Putri wajib membayar pajak terutang tersebut kepada PT Putra.
5. Bagi PT Putri, Faktur Pajak tersebut merupakan bukti formil/sah untuk
pengkreditan pajak dalam suatu Masa Pajak.
Jika PT. Tidak tidak dapat menunjukkan bukti sah bahwa dia sudah melunasi PPN atas
pembelian komputer tersebut? maka PT Putri dibebani tanggung jawab secara renteng
atas pajak dimaksud. Yang artinya si pembeli (PT Putri) harus membayar
Rp.7.000.000,- lagi. Sesuai dengan UU KUP perubahan kedua (UU Nomor 16 Tahun
2000), Pasal 33 yang berbunyi: Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa
Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai
1984 dan perubahannya bertanggungjawab secara renteng atas pembayaran pajak
pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar.
Yang Bertanggung Jawab Secara Renteng (Pasal 4 Pp 1 Tahun 2012):

Pembeli BKP atau penerima JKP bertanggung jawab secara renteng atas
pembayaran PPN atau PPnBM kecuali dalam hal : (Pasal 4 ayat (1) dan (2) PP 1
Tahun 2012)

a)

pajak yang terutang tersebut dapat ditagih kepada penjual barang atau
pemberi jasa; atau

b)

pembeli BKP atau penerima JKP dapat menunjukkan bukti telah melakukan
pembayaran pajak kepada penjual barang atau pemberi jasa.

Tanggung renteng melekat pada pembeli BKP atau penerima JKP atas transaksi
pembelian BKP dan/ atau JKP di dalam Daerah Pabean. (Penjelasan Pasal 4 ayat
(1) PP 1 Tahun 2012)

Cara Penagihan PPN Karena Tanggung Jawab Renteng


Tanggung jawab renteng ditagih melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Strategi untuk menghadapi temuan dari pemeriksa pajak (fiscus) apabila kredit
pajak tidak dapat dikonfirmasi, maka PKP harus melakukan rekonsiliasi secara rutin
dan memenuhi persyaratan baik formal maupun material guna memastikan bahwa
faktur pajak masukan yang diterima adalah valid dan dapat dikonfirmasi.

E. Rekonsiliasi DPP PPN dengan peredaran usaha dalam SPT PPh Badan
Rekonsiliasi / Ekualisasi PPN adalah proses pencocokan antara data di SPM
PPN dengan SPT Tahunan Perusahaan. Rekonsiliasi yang menyangkut PPN dan/atau
PPnBM(kalau ada) ini penting karena akan berhubungan langsung dengan pengakuan
pendapatan perusahaan. Setiap bentuk Penjualan (atau istilah pajak disebut juga
Penyerahan) akan menimbulkan Pajak Pertambahan Nilai. Meskipun idealnya
rekonsiliasi atas PPN ini dilakukan setiap bulan, tetapi rekonsiliasi di akhir tahunnya
menjadi perlu sekali karena terkait dengan pengakuan pendapatan di SPT Badan 1771
nantinya.
Pada umumnya perbedaan yang timbul antara pengakuan pendapatan perusahaan
menurut SPT Tahunan PPh Badan dengan nilai penyerahan menurut SPM PPN bisa
timbul karena dua kondisi:
1.

Karena karakteristik transaksi ; dan

2.

Karena Peraturan yang berlaku memang mengakibatkan timbulnya


perbedaan.
Perbedaan-perbedaan nilai peredaran usaha menurut SPT Tahunan PPh Badan

dan SPT Masa PPN, yang mungkin timbul antara lain disebabkan oleh:
a) Terdapat Objek PPN yang tidak tercatat dalam Akun Penjualan.
Tidak semua transaksi penyerahan barang atau jasa yang dilakukan oleh Pengusaha
Kena Pajak dapat dicatat sebagai account Penjualan, misalnya: penjualan aktiva
tetap bekas (Pasal 16D), pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, dan lain-lain.
b) Terdapat perbedaan kurs yang dipakai dalam mencatat Penjualan di laporan
keuangan dengan pembuatan Faktur Pajak.
Kurs valuta asing yang digunakan untuk mengakui penjualan disesuaikan dengan
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia (PSAK), yang dilakukan
dengan taat asas. Berdasarkan PSAK Nomor 10 diatur bahwa setiap transaksi
dalam mata uang asing dibukukan dengan menggunakan kurs pada saat terjadinya
transaksi. Namun dalam praktek di lapangan, kurs yang dipakai tidak selalu
menggunakan kurs transaksi. Kadangkala Wajib Pajak menggunakan kurs rata-rata
dalam seminggu atau sebulan, menggunakan kurs tengah BI, dan lain-lain.
Sedangkan dalam membuat Faktur Pajak, penyerahan BKP atau JKP yang
menggunakan mata uang asing, harus menggunakan kurs Menteri Keuangan yang
berlaku pada saat pembuatan Faktur Pajak.
c) Pemberian Cash Discount
Pada umumnya PKP penjual sering memberikan diskon tambahan apabila pembeli
dapat membayar lebih cepat dari tanggal jatuh tempo / syarat pembayaran yang
telah disepakati sebelumnya. Diskon tambahan ini disebut dengan Cash Discount.
Cash Discount tidak mengurangi Dasar Pengenaan Pajak yang tercantum dalam
Faktur Pajak, sehingga dapat dipastikan ketika pembeli memanfaatkan Cash
Discount tersebut maka omset yang tercantum di SPT Masa PPN akan lebih besar
daripada omset yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan.

d) Adanya kesalahan tulis atau hitung


Perbedaan omset menurut PPh dan PPN juga dapat timbul atas kesalahan tulis
atau kesalahan hitung (human error) dalam pembuatan Faktur Pajak atau pengisian
SPT Masa PPN. Ada baiknya pekerjaan rekonsiliasi atau ekualisasi PPN ini dilakukan
secara rutin tiap bulannya, karena apabila timbul perbedaan akan jauh lebih mudah
ditelusuri. Apabila ternyata perbedaan timbul karena human error, maka dapat
langsung diambil tindakan antisipasi untuk memperbaiki kesalahan tersebut.
Untuk melakukan rekonsiliasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) caranya sangat
mudah dan sederhana, yaitu dengan mengambil angka Penjualan kemudian dikalikan
10%. Apabila sudah didapat nilai penjualan dan PPN keluarannya serta nilai pembelian
dan PPN masukannya, maka tinggal cross check dengan yang sudah dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan Masa (SPM) PPN setiap bulannya. Apabila masih ada yang
tertinggal belum dilaporkan, kalau itu ada pada sisi PPN keluaran maka harus segera
dilakukan pembetulan SPM dan dibayar kekurangan pajaknya. Meskipun hal ini tetap
menjadi exposure (potensi kena denda). Namun apabila ditemukan faktur pajak
masukan yang belum dilaporkan sebagai PPN masukan, maka pilihannya adalah
melakukan pembetulan SPM atau membiarkannya dengan tidak mengkreditkan dalam
SPM dan pembukuan accounting akan mencatat sebagai beban tambahan.
Rekonsiliasi Omzet PPh vs Obyek PPN Keluaran
Omzet per SPT PPh Badan

AAA

Obyek PPN Keluaran selain Omzet


(Ex: uang muka, pendapatan lain-lain)

BBB

Jumlah A + B

CCC

Obyek PPN Keluaran per SPT PPN

DDD

Selisih (C D)

EEE

(+) Omzet Tahun Sebelumnya dilapor


tahun ini
(-) Omzet Tahun Ini dilapor tahun
berikutnya

FFF

GGG

Selisih (E+F-G)

HHH

Bila kolom H seperti formula di atas masih terdapat selisih, kemungkinan besar
selisih berasal dari retur penjualan dengan faktur pajak sederhana atau karena memang
ada kesalahan dalam penghitungan obyek PPN maupun Omzet PPh Badan.

DAFTAR PUSTAKA

UU Nomor 42 Tahun 2009


Peraturan Menteri Keuangan
www.pajak.go.id
www.ortax.org
www.himmapi.com

Вам также может понравиться