Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PERTAMBAHAN NILAI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Perpajakan
Dosen Pengampuh: Ali Irfan, SE., M.Si., Ak., CA., BKP.
Oleh :
Yudianto (2014240922)
Akhmad Nurhadi Putranto (2014240916)
pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha berbeda dengan tempat
tinggal, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP ke KPP yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, juga wajib
mendaftarkan diri ke KPP di tempat kegiatan usaha dilakukan.
Pengusaha kecil yang memlilih untuk dikukuhkan sebagai PKP wajib
mengajukan pernyataan tertulis untuk dikukuhkan sebagai PKP. Pengusaha kecil yang
tidak memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP tetapi sampai dengan suatu masa pajak
dalam suatu tahun buku seluruh nilai peredaran bruto telah melampaui batasan yang
ditentukan sebagai pengusaha kecil, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP paling lambat akhir masa pajak berikutnya.
Adapun tempat pendaftaran WP Tertentu & Pelaporan Bagi Pengusaha Tertentu
adalah sebagai berikut:
a. Seluruh WP BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan WP BUMD (Badan Usaha
Milik Daerah) di wilayah DKI Jakarta, di KPP BUMN Jakarta;
b. WP PMA (Penanaman Modal Asing) yang tidak go public, di KPP PMA kecuali
yang telah terdaftar di KPP lama dan WP PMA di kawasan berikat dengan
permohonan diberikan kemudahan mendaftar di KPP setempat;
c. WP Badan dan Orang Asing (Badora), di KPP Badora;
d. WP go public, di KPP Perusahaan Masuk Bursa (Go Public), kecuali WP
BUMN/BUMD serta WP PMA yang berkedudukan di kawasan berikat;
e. WP BUMD diluar Jakarta, di KPP setempat;
f. Untuk WP BUMN/BUMD, PMA, Badora, Go Public di luar Jakarta, khusus PPh
Pemotongan/pemungutan dan PPN/PPnBM di tempat kegiatan usaha atau cabang.
Fungsi NPWP & Pengukuhan PKP
a. Fungsi NPWP:
Sarana dalam administrasi perpajakan;
Tanda pengenal diri atau Identitas WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya;
Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi
perpajakan. Setiap WP hanya diberikan satu NPWP.
PPn BM.
Sebagai identitas PKP yang bersangkutan.
orang
yang
dengan
sengaja
tidak
mendaftarkan
diri
atau
Keluaran, Faktur Pajak harus memenuhi dua persyaratan yaitu persyaratan formal dan
persyaratan material sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
Pasal 13 ayat (9) UU PPN yang berbunyi: Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan
formal dan material.
Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi lengkap, jelas dan
benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan
yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan wewenang yang
diberikan oleh ayat (6).
Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang
kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal
dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum
dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan
Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor
Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan Pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak
atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak
tersebut tidak memenuhi syarat material.
Persyaratan Formal
Berdasarkan penjelasan Pasal 13 ayat (9), Faktur Pajak dikatakan telah
memenuhi persyaratan formal apabila diisi lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat Pasal 13 ayat (5) yaitu Faktur Pajak
harus mencantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
a) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak;
c) Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d) Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean.
Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang
kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal
dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum
dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan
Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor
Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak
atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak
tersebut tidak memenuhi syarat material.
Di luar batasan pemenuhan persyaratan formal dan material dari Faktur pajak,
dalam rangka pengkreditan Faktur Pajak Pajak Masukan terdapat hal yang perlu
diperhatikan yang sudah diatur secara pasti dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN yaitu
mengenai Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
Jadi, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan
dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang
sebenarnya atau sesungguhnya mengenai:
a)
b)
c)
d)
e)
f)
Penyerahan BKP/JKP
Ekspor BKP Berwujud,
Ekspor BKP Tidak Berwujud,
Ekspor JKP,
Impor BKP,
Atau pemanfaatan JKP dan pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean
1. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
2. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon,
kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak;
5. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9)
atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
6. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
7. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya
ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
8. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang
ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan
9. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum
Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
Jangka Waktu pengkreditan Pajak Masukan berdasarkan Pasal 9 ayat (9) adalah
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya
paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan
sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
C. Tax Planning Pemilihan Tempat Pajak Terutang
Dengan diberlakukannya kebijakan atas transaksi penyerahan barang kena
pajak dari kantor pusat ke cabang atau sebaliknya sebagai penyerahan yang terutang
PPN, akan menimbulkan cost of compliance bagi PKP yang bersangkutan. Cost of
compliance dapat berupa beban administrasi bagi PKP dimana PKP tersebut harus
mendorong
PKP
menghindari
kewajiban
perpajakannya.
Prinsip
apabila PT Yudi Putra melakukan pemusatan PPN, pengiriman barang ke gudang tidak
menimbulkan PPN terutang. Sedangkan pengiriman baran ke PT UB Factory Outlet
menimbulkan PPN terutang berupa PPN keluaran. Apabila PT Yudi Putra tidak
melakukan pemusatan atas PPN nya, maka setiap barang keluar dari pabrik akan
menimbulkan PPN terutang meskipun satu entitas.
Dasar hukum pemusatan PPN diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 12
ayat (2) tentang perubahan ketiga atas UU nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN barang
dan jasa dan PPnBM. PER-28/PJ/2012 yang berlaku sejak 1 Januari 2013 tentang
tempat pendaftaran dan/atau pelaporan usaha bagi WP pada KPP di lingkungan Kanwil
DJP WP Besar, KPP di lingkungan Kanwil DKP Jakarta Khusus, dan KPP Madya.
Surat edaran nomor SE-45/PJ/2013 tentang prosedur penerbitan surat keputusan
pemusatan tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang dalam rangka pelaksanaan
peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2012 tentang tempat pendaftaran
dan/atau pelaporan usaha bagi Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak di
lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, Kantor
Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta
Khusus, dan Kantor Pelayanan pajak Madya.
D. Strategi Menghadapi Temuan Pemeriksa Tentang Konfirmasi PPN Yang
Dinyatakan Tidak Ada
Saat melakukan pemeriksaan, seringkali pemeriksa pajak (fiskus) mengoreksi
Pajak Masukan manakala konfirmasi terhadap Pajak Masukan tersebut mendapat
jawaban tidak Ada dari Kantor pajak lainnya. Asumsinya, kalau jawabannya Tidak
Ada, maka Faktur Pajak dari Pajak Masukan tersebut dianggap fiktif. Bahkan ada
juga beberapa orang yang mengaitkannya dengan soal tanggung jawab renteng PPN.
Kedua anggapan tersebut semuanya tidak benar karena fiktif dan tanggung jawab
renteng PPN punya klasifikasi dan definisi sendiri-sendiri.
Terkait dengan soal konfirmasi atau klarifikasi Faktur Pajak ini, Dirjen Pajak
sebenarnya telah menerbitkan sebuah aturan khusus bernomor KEP-754/P1/2001
tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak Dengan Aplikasi Sistem
Informasi Perpajakan. Keputusan Dirjen Pajak ini digulirkan pada tanggal 26
Desember 2001.Terkait dengan soal konfirmasi atau klarifikasi Faktur Pajak ini, Dirjen
Pajak sebenarnya telah menerbitkan sebuah aturan khusus bernomor KEP754/PJ./2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak Dengan Aplikasi
Sistem Informasi Perpajakan. Keputusan Dirjen Pajak ini digulirkan pada tanggal 26
Desember 2001. Tetapi hingga saat ini masih belum dinyatakan dicabut alias masih
berlaku dan bisa dijadikan referensi peraturan.
Pada butir 1.4.1.3. dalam penjelasan Lampiran I KEP-754/PJ./2001 ditegaskan
bahwa apabila jawaban klarifikasi dari KPP tempat PKP dikukuhkan menyatakan:
1. Ada dan Sesuai dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut belum direkam
KPP domisili PKP penjual atau Faktur Pajak tersebut terlambat dilaporkan oleh
PKP penjual, maka Faktur Pajak tersebut dapat diperhitungkan sebagai Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan;
2. Tidak Ada dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut belum dilaporkan
oleh PKP penjual dan KPP domisili PKP penjual telah menerbitkan SKP-KB atau
SKP-KBT atas Faktur Pajak yang belum dilaporkan tersebut, maka Faktur Pajak
tersebut dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
3. Tidak Ada dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut tidak sah karena
pengusaha yang menerbitkan belum dikukuhkan sebagai PKP, atau PKP penjual
tidak pernah melakukan penyerahan BKP/JKP kepada PKP pembeli yang
bersangkutan, maka Faktur Pajak tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan; dan
4. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal dikirimkan jawaban
klarifikasi belum/tidak diterima dan apabila berdasarkan hasil pengujian arus
barang dan atau arus uang dapat dibuktikan bahwa Faktur Pajak tersebut sah
adanya, maka Faktur Pajak yang dimintakan klarifikasi tersebut dapat
diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Saat melakukan pemeriksaan, seringkali pemeriksa pajak (fiskus) mengoreksi
Pajak Masukan manakala konfirmasi terhadap Pajak Masukan tersebut mendapat
jawaban Tidak Ada dari Kantor pajak lainnya. Asumsinya, kalau jawabannya Tidak
Ada, maka Faktur Pajak dan Pajak Masukan tersebut dianggap fiktif. Bahkan ada
juga beberapa orang yang mengaitkannya dengan soal tanggung jawab renteng PPN.
Kedua anggapan tersebut semuanya tidak benar karena fiktif dan tanggung jawab
renteng PPN punya klasifikasi dan definisi sendiri-sendiri.
Jika sudah begitu, maka koreksi tersebut tentu akan membuat WP susah dan
terpaksa harus menempuh jalur hukum Keberatan dan Banding. Kedua proses ini harus
ditempuh WP selama lebih dari 24 (dua puluh empat) bulan atau sekitar 2 (dua)
tahunan lebih.
Pada proses Keberatan, yang memakan waktu sekira 12 (dua belas) bulan,
biasanya koreksi pemeriksa pajak terhadap Pajak Masukan tersebut tetap
Apabila faktur pajak masukan dikonfirmasi tidak ada, salah satu penyebabnya
adalah seperti ilustrasi sebagai berikut:
Ilustrasi kasus faktur pajak yang dikonfirmasi Tidak Ada
PT Putra telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang bergerak dalam bidang
perdagangan besar komputer, pada tanggal 20 April 2010 menyerahkan 10 unit
komputer kepada PT Putri dengan total Harga Jual Rp70.000.000,00. Atas penyerahan
ini terutang PPN sebesar 10% x Rp70.000.000= Rp7.000.000. Mekanisme umum yang
diatur dalam UU PPN 1984 atas transaksi tersebut adalah:
1. PT Putra menerbitkan Faktur Pajak untuk memungut PPN sebesar Rp7.000.000,2. Faktur Pajak terdiri dari dua lembar, yaitu:
lembar pertama diberikan kepada PT Putri sebagai bukti beban pajak yang
seharusnya dibayar;
lembar kedua menjadi arsip PT Putra sebagai bukti pemungutan pajak.
3. PT Putra wajib menyetor pajak yang dipungut untuk setiap Masa Pajak ke Kas
Negara.
4. PT Putri wajib membayar pajak terutang tersebut kepada PT Putra.
5. Bagi PT Putri, Faktur Pajak tersebut merupakan bukti formil/sah untuk
pengkreditan pajak dalam suatu Masa Pajak.
Jika PT. Tidak tidak dapat menunjukkan bukti sah bahwa dia sudah melunasi PPN atas
pembelian komputer tersebut? maka PT Putri dibebani tanggung jawab secara renteng
atas pajak dimaksud. Yang artinya si pembeli (PT Putri) harus membayar
Rp.7.000.000,- lagi. Sesuai dengan UU KUP perubahan kedua (UU Nomor 16 Tahun
2000), Pasal 33 yang berbunyi: Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa
Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai
1984 dan perubahannya bertanggungjawab secara renteng atas pembayaran pajak
pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar.
Yang Bertanggung Jawab Secara Renteng (Pasal 4 Pp 1 Tahun 2012):
Pembeli BKP atau penerima JKP bertanggung jawab secara renteng atas
pembayaran PPN atau PPnBM kecuali dalam hal : (Pasal 4 ayat (1) dan (2) PP 1
Tahun 2012)
a)
pajak yang terutang tersebut dapat ditagih kepada penjual barang atau
pemberi jasa; atau
b)
pembeli BKP atau penerima JKP dapat menunjukkan bukti telah melakukan
pembayaran pajak kepada penjual barang atau pemberi jasa.
Tanggung renteng melekat pada pembeli BKP atau penerima JKP atas transaksi
pembelian BKP dan/ atau JKP di dalam Daerah Pabean. (Penjelasan Pasal 4 ayat
(1) PP 1 Tahun 2012)
E. Rekonsiliasi DPP PPN dengan peredaran usaha dalam SPT PPh Badan
Rekonsiliasi / Ekualisasi PPN adalah proses pencocokan antara data di SPM
PPN dengan SPT Tahunan Perusahaan. Rekonsiliasi yang menyangkut PPN dan/atau
PPnBM(kalau ada) ini penting karena akan berhubungan langsung dengan pengakuan
pendapatan perusahaan. Setiap bentuk Penjualan (atau istilah pajak disebut juga
Penyerahan) akan menimbulkan Pajak Pertambahan Nilai. Meskipun idealnya
rekonsiliasi atas PPN ini dilakukan setiap bulan, tetapi rekonsiliasi di akhir tahunnya
menjadi perlu sekali karena terkait dengan pengakuan pendapatan di SPT Badan 1771
nantinya.
Pada umumnya perbedaan yang timbul antara pengakuan pendapatan perusahaan
menurut SPT Tahunan PPh Badan dengan nilai penyerahan menurut SPM PPN bisa
timbul karena dua kondisi:
1.
2.
dan SPT Masa PPN, yang mungkin timbul antara lain disebabkan oleh:
a) Terdapat Objek PPN yang tidak tercatat dalam Akun Penjualan.
Tidak semua transaksi penyerahan barang atau jasa yang dilakukan oleh Pengusaha
Kena Pajak dapat dicatat sebagai account Penjualan, misalnya: penjualan aktiva
tetap bekas (Pasal 16D), pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, dan lain-lain.
b) Terdapat perbedaan kurs yang dipakai dalam mencatat Penjualan di laporan
keuangan dengan pembuatan Faktur Pajak.
Kurs valuta asing yang digunakan untuk mengakui penjualan disesuaikan dengan
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia (PSAK), yang dilakukan
dengan taat asas. Berdasarkan PSAK Nomor 10 diatur bahwa setiap transaksi
dalam mata uang asing dibukukan dengan menggunakan kurs pada saat terjadinya
transaksi. Namun dalam praktek di lapangan, kurs yang dipakai tidak selalu
menggunakan kurs transaksi. Kadangkala Wajib Pajak menggunakan kurs rata-rata
dalam seminggu atau sebulan, menggunakan kurs tengah BI, dan lain-lain.
Sedangkan dalam membuat Faktur Pajak, penyerahan BKP atau JKP yang
menggunakan mata uang asing, harus menggunakan kurs Menteri Keuangan yang
berlaku pada saat pembuatan Faktur Pajak.
c) Pemberian Cash Discount
Pada umumnya PKP penjual sering memberikan diskon tambahan apabila pembeli
dapat membayar lebih cepat dari tanggal jatuh tempo / syarat pembayaran yang
telah disepakati sebelumnya. Diskon tambahan ini disebut dengan Cash Discount.
Cash Discount tidak mengurangi Dasar Pengenaan Pajak yang tercantum dalam
Faktur Pajak, sehingga dapat dipastikan ketika pembeli memanfaatkan Cash
Discount tersebut maka omset yang tercantum di SPT Masa PPN akan lebih besar
daripada omset yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan.
AAA
BBB
Jumlah A + B
CCC
DDD
Selisih (C D)
EEE
FFF
GGG
Selisih (E+F-G)
HHH
Bila kolom H seperti formula di atas masih terdapat selisih, kemungkinan besar
selisih berasal dari retur penjualan dengan faktur pajak sederhana atau karena memang
ada kesalahan dalam penghitungan obyek PPN maupun Omzet PPh Badan.
DAFTAR PUSTAKA