Вы находитесь на странице: 1из 8

PEMIMPIN HARAPAN BANGSA ATAU GOLONGAN ?

Oleh : Asep Effendi R


Dosen Tetap Fakultas Ekonomi
Universitas Sangga Buana YPKP
Dan
Mahasiswa Pasca Sarjana UNPAD

Tahun 2009, semakin semarak dengan berbagai spanduk, pamflet dan baligo
disetiap pusat keramaian dan jalan – jalan dipusat maupun daerah. Media masa cetak
maupun elektronik hingar bingar dengan kampanye partai yang menyajikan berita
segudang keberhasilan, masalah dan janji perubahan dimasa mendatang. Lagi-lagi
masyarakat kecil dan menengah menjadi objek pemberitaan yang menarik dengan sejuta
kesulitan dan masalah serta janji perubahan demi meraih simpati dan suara dalam pemilu
yang akan digelar bulan April mendatang. Genderang perang kampanye telah ditabuh
untuk memenangi perang besar dalam memperebutkan posisi pada jenjang legislatif dan
eksekutif.
Para calon pemimpin bangsa mulai mempromosikan diri melalui partai – partai
yang mendukungnya agar masyarakat mengenal dan memilih dirinya dengan berbagai
cara, kenyataan ini menunjukkan bahwa calon pemimpin tersebut bukan merupakan figur
yang dikenal dengan program dan komitmen yang benar – benar memihak masyarakat
kecil dan menengah, namun mereka menyadari bahwa suara masyarakat tingkat ini akan
sangat berguna bagi dirinya. Pola pemilihan pimpinan dengan sistem kepartaian akan
melahirkan pemimpin negara merasa berhutang budi atas kemenangan dirinya dalam
pemilu kepada partai yang mengusungnya dan melupakan jasa masyarakat yang
menyumbangkan suaranya serta menitipkan amanah pada dirinya. Hal ini terlihat ketika
pimpinan yang sedang berkuasa akan mengambil kebijakan tegas terhadap suatu masalah
maka segera keluar pernyataan akan menarik dukungan partainya pada pemimpin
tersebut, walaupun keputusan tersebut untuk kepentingan masyarakat luas. Selain itu
sering terlihat kinerja pejabat pemerintahan yang kurang baik, sulit untuk diganti dengan
calon yang lebih baik karena pejabat tersebut merupakan titipan partai pendukung pada
masa pemilu yang lalu. Kondisi ini akhirnya banyak melahirkan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) semisal ICW, BIGS dan lain lain yang menjadi lembaga pengawas
informal terhadap kinerja dan komitmen pemimpin bangsa.
Masyarakat kecil dan menengah membutuhkan pembelajaran yang lebih realistik
tentang arti suara yang disumbangkan pada calon pemimpinnya, bukan hanya sekedar
retorika mengumbar janji dan slogan indah yang menyejukan hati serta memberi rasa
optimis akan kemajuan bangsa ini namun jauh dari kenyataan. Lebih kurang 200 juta
masyarakat Indonesia menunggu perubahan yang membawa pada reformasi kearah
kemakmuran bukan menjadi repot nasi. Harapan masyarakat pemilih, siapapun
pemimpin yang terpilih bukan masalah besar namun yang jelas pemimpinnya tersebut
harus memiliki misi meningkatkan kesejateraan masyarakat, meningkatkan kepentingan
masyarakat banyak bukan golongan, pemimpin yang mau mendengar dan berindak untuk
kepentingan masyarakat banyak, serta pemimpin yang menjadi panutan pejabat dan
masyarakat. Walahu’alam.
Pengawasan Keuangan Daerah dan Pencapaian kesejateraan Masyarakat,
Sebuah kemustahilan ?

Oleh : Asep Effendi R


Dosen Tetap Fakultas Ekonomi
Universitas Sangga Buana YPKP
Dan
Mahasiswa Pasca Sarjana UNPAD

Menyongsong era pemerintahan baru pasca pemilu yang akan digelar pada
bulan April 2009, seluruh rakyat Indonesia berharap sebuah perubahan mendasar dalam
visi dan misi pimpinan terpilih dalam melaksanakan roda pemerintahannya, sehingga
harapan dan sikap optimis seluruh masyarakat tercermin dalam setpa gerak dan ucapnya.
Pada dasarnya, pembentukan pemerintah Indonesia berhubungan erat dengan
misi yang tercantum dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu
terlindungnya segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, majunya
kesejahteraan umum, cerdasnya kehidupan bangsa dan ikut aktifnya Indonesia
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Misi tersebut merupakan dasar dari kewenangan dan sekaligus tugas pemerintah dalam
menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahannya baik tingkat pusat maupun di tingkat
daerah. Instansi-instansi sebagai pelaksana yang dibentuk pemerintah untuk menangani
urusan-urusan pemerintahannya, merupakan salah satu penentu tercapainya cita-cita
negara Indonesia.
Pemerintah daerah di Indonesia memegang peranan yang penting dalam sistem
pemerintahan nasional. Pemerintahan di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga)
kelompok besar menurut tingkatannya, yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota (pengganti sebutan pemerintah
tingkat II dan kotamadya) yang semuanya tunduk pada UUD 1945. Hal tersebut terutama
tampak dari adanya Undang-Undang dan Peraturan lainnya yang banyak memberikan
porsi kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau lebih dikenal dengan
Otonomi Daerah .
Penyelenggaraan pelayanan pemerintah daerah kepada masyarakat, masih jauh
dari harapan. Hal ini sangat nampak dari banyaknya pengaduan masyarakat,
terbongkarnya kasus – kasus korupsi yang melibatkan tidak hanya eksekutif tetapi juga
pihak legislatif yang sedang dan sudah diproses penyidik, bahkan ada yang sudah
disidangkan dan dijatuhi hukuman. Urgensi pemberantasan korupsi dari sudut pandang
yang lebih makro memberi makna: pertama, upaya menyinkronkan dampak pengeluaran
pemerintah dengan target keberhasilan pembangunan ekonomi. Selama ini keberhasilan
pembangunan selalu diikuti dengan semakin besarnya pengeluaran negara. Nilai kerugian
negara tahun 2004, misalnya meningkat cukup tinggi dibandingkan tahun 2002-2003.
Tahun 2002-2003 nilai kerugian negara diperkirakan sudah mencapai angka diatas Rp. 5
triliun. Peningkatan kebocoran keuangan negara tidak hanya terjadi pada APBN tetapi
juga pada APBD. Tahun 2004 kebocoran APBD meningkat hingga mencapai Rp. 672
miliar. Kedua, pemberantasan korupsi merupakan upaya peningkatan efesiensi kegiatan.

Di Indonesia, korupsi merupakan jenis fraud. Korupsi adalah penyebab yang


paling banyak dituding sebagai akar kejatuhan Indonesia di dalam krisis ekonomi tahun
1998, serta tidak mampu tumbuhnya ekonomi Indonesia pasca krisis. Sejak tahun 1998
sampai dengan 2006, Indonesia masih menduduki posisi sebagai salah satu negara
unggulan dalam tingkat korupsi. Pada tahun 2006 hasil survey Transparancy
International Corruption Perception Index menempatkan Indonesia berada pada
rangking-134 dari 163 negara tersurvey dengan skor IPK 2,40. World Economic Forum
menyebutkan bahwa indeks daya saing global Indonesia untuk tahun 2006-2007 berada
pada peringkat ke 50 dari 127 negara yang diranking dengan skor GCI 4,26. Peringkat
tersebut di bawah negara – negara Asia Tenggara, seperti Singapura (peringkat 5),
Malaysia ( peringkat 26), Thailand ( peringkat 35). Beberapa hal penting dari apa yang
disampaikan Ketua BPK adalah: Pertama, masih tingginya indikasi tindakan korupsi
Indonesia; Kedua, sudah ada tindak lanjut hasil pemeriksaan yang disampaikan ke
Kejagung dan KPK; Ketiga, masih rendahnya respons pejabat pengelola
keuangan negara dalam menindaklanjuti temuan-temuan BPK; Keempat, kuatnya dugaan
intensitas korupsi di pusat tidak kalah dengan apa yang terjadi di daerah.

Hal demikian merupakan fenomena masih lemahnya pengawasan dan


pengendalian terhadap pelaksanan anggran.Pengawasan merupakan salah satu elemen
pokok dari fungsi manajemen yang tidak lagi dapat dilaksanakan secara efektif bila tetap
mempertahankan tumpuan secara langsung hanya pada pimpinan puncak saja. Hal ini
dapat dipahami menyangkut pengendalian sebagai bagian dari aktivitas organisasi pada
berbagai tingkatan organisasi berkenaan dengan individu-individu yang beragam
wewenang dan tanggungjawabnya, sedangkan pengetahuan dan kemampuan sumber daya
manusia sangat terbatas dan tidak ada jaminan bahwa mereka tidak melakukan kesalahan
atau penyimpangan.

Undang – Undang No. 25 tahun 1999 dalam Bab I pasal 1 yang diubah dengan
UU No. 33 tahun 2004, menyebutkan bahwa anggaran merupakan suatu alat
perencanaan mengenai pengeluaran dan penerimaan dimasa yang akan datang, umumnya
disusun untuk satu tahun. Dari pengertian tersebut diketahui bahwa APBD merupakan
perencanaan kerja dalam kurun waktu satu tahun.Disamping itu anggaran merupakan
alat kontrol atau pengawasan terhadap pengeluaran maupun pendapatan dimasa yang
akan datang. Sejak 1967 RAPBD di Indonesia disusun dan diberlakukan mulai tanggal 1
April sampai dengan tanggal 31 Maret tahun berikutnya. Namun khusus tahun 2000
tahun anggaran akan dimulai pada tanggal 1 April dan berakhir 31 Desember. Untuk
tahun – tahun berikutnya tahub anggaran akan dimulai pada tanggal 1 Januari dan
berakhir 31 Desember , seperti yang pernah dijalankan sebelum tahun anggaran
1967/1968.
Dalam UU No. 22 tahun 1999 Bab VII, pasal 78 dinyatakan bahwa
penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dibiayai dari dan atas beban APBD sedangkan penyelenggaraan tugas pemerintah pusat
didaerah dibiayai dari dan atas beban APBN.
APBD harus disiapkan oleh pemerintah daerah dan ditetapkan dengan peraturan
daerah (PERDA) atas persetujuan DPRD, selambat-lambatnya satu bulan setelah
ditetapkannya APBD. Perubahan APBD dimungkinkan dan ditetapkan dengan perda
selambat-lambatnya tiga bulan sebelum tahun anggaran berakhir. Selanjutnya
perhitungan APBD akan ditetapkan dengan perda selambat-lambatnya tiga bulan setelah
berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan. Akhirnya APBD yang telah ditetapkan
dengan perda disampaikan kepada Gubernur bagi pemerintah Kabupaten/Kota dan
Kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi pemerintah Propinsi untuk
diketahui.
Pengelola keuangan negara dalam era reformasi dan otonomi daerah dituntut
pertanggung jawaban keuangan secara profesional agar kepercayaan rakyat terhadap
pemerintah dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan. Secara garis besar perubahan
manajemen keuangan negara sehubungan dengan otonomi daerah menyangkut :
pertama, perubahan dari pengawasan Verikal menjadi horizontal. Perubahan pengawasan
ini mulai terjadi sejak Indonesia memasuki era reformasi, dimana pengawasan
dikehendaki dilakukan oleh rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan republik
ini.Pelaksanaan pengawasan ini secara funsional dilakukan oleh DPR di tingkat pusat dan
DPRD ditingkat daerah sehingga pengawasan fungsional adalah pengwasan oleh DPR
dan DPRD. Pengawasan horizontal yang dilakukan oleh raktyat memliki kekauatan yang
sangat besar dengan segala kewajiban , sehingga jika pengawasan funsional
dilakukanoleh DPR atau DPRD tidak memuaskan hasilnya maka pengawasan akan
dilakukan oleh lembaga sosial masyarakat (LSM) dengan membentuk organisasi-
organsasi, misalnya Indonesian Coruption Watch (ICW), Government Watch (GOWA)
dan lain sebagainya.Dasar hukum yang digunakan oleh DPR maupun DPRD dalam era
otonomi daerah adalah UU No.22 dan 25 tahun 1999 yang menyatakan bahwa DPR atau
DPRD antara lain mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan terhadap :
a) pelakasanaan peraturan daerah dan peraturan –peraturan lainnya ;b) pelaksanaan
anggaran pendapatan dan belanja daerah ; c) pelaksanaan kerja sama internasional di
daerah.Kedua,perubahan dari pengawasan preventif menjadi refresif. Otonomi daerah
berdasarkan Undang-undang No.22 tahun 1999 menganut sistem pengawasan refresif, hal
ini terlihat dari : a) kepala daerah menetapkan peraturan daerah atas persetujuan DPRD.
Peraturan daerah yang ditetapkan daerah otonom tidak memerlukan pengesahan terlebih
dahulu oleh pejabat yang berwenang ; b) peraturan daerah tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan umum peraturan daerah lainnya dan peraturan perundang –
undangan lainnya yang lebih tinggi (UU No.22 tahun 1999 pasal 70) ; c) pengawasan
yang dianut dalam UU No.22 tahun 1999, lebih memberikan ruang gerak yang luwes
kepada pemerintah daerah di dalam melaksanakan otonomi daerah. Ketiga, Penegasan
pengawasan ( control ) dan pemeriksaan ( audit ).Dalam Undang-undang No.25 tahun
1999, telah dengan tegas dibedakan pengawasan dan pemeriksaaan, hal ini terlihat dalam
hal : a) pemeriksaan pembiayaan pelaksanaan dekonsentrasi sebagai mana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh instansi Pemeriksa Negara.Berdasarkan pasal tersebut jelas
akan dilakukannya pemeriksaan atas pengelolaan keuangan daerah walaupun belum
ditetapkan secara tegas pelaksanaan pemeriksaan dimaksud ; b) pengawasan pengelolaan
keuangan daerah dipercayakan kepada DPRD, sesuai pasal 24 ayat 1 dimana kepala
daerah menyampaikan laporan pertanggung jawaban kepada DPRD, mengenai :
1) pengelolaan keuangan daerah dan 2) kinerja keuangan daerah dari segi efisiensi dan
efektivitas keuangan .
Dalam upaya memperjelas dan mempermudah pengawasan dan
pemeriksan keuangan daerah maupun pusat pemerintah telah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan melalui
Komite Standar Akuntansi Pemerintahan.

Вам также может понравиться