Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan petunjuk-Nya
saya dapat menyelesaikan referat berjudul anestesi umum ini tepat pada waktunya. Shalawat
serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW semoga rahmat dan hidayah-Nya selalu
tercurah kepada kita.
Referat ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kepanitraan klinik di bagian Anestesi
RSUD Arjawinangun. Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada dr. Uus Rustandi, Sp.An dan dr. Ruby Satya Nugraha, Sp.An, M Kes selaku
dokter pembimbing dalam kepanitraan klinik Anestesi ini dan rekan-rekan koas yang ikut
membantu memberikan semangat dan dukungan moril.
Saya menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu,
saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga referat
ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan dalam bidang Anestesi khususnya dan bidang
kedokteran yang lain pada umumnya.
Penulis
BAB I
1
PENDAHULUAN
Pengelolaan jalan nafas adalah memastikan jalan napas tetap terbuka. Hal ini menjadi
salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obatobatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan napas untuk
berjalan dengan baik.
Salah satu penyebab utama dari hasil akhir tatalaksana pasien yang buruk yang didata
oleh American Society of Anesthesiologist (ASA) berdasarkan studi tertutup terhadap episode
pernapasan yang buruk, terhitung sebanyak 34% dari 1541 pasien dalam studi tersebut. Tiga
kesalahan mekanis, yang terhitung terjadi sebanyak 75% pada saat tatalaksanan jalan napas
yaitu : ventilasi yang tidak adekuat (38%), intubasi esofagus (18%), dan kesulitan intubasi
trakhea (17%). Sebanyak 85% pasien yang didapatkan dari studi kasus, mengalami kematian
dan kerusakan otak. Sebanyak 300 pasien (dari 15411 pasien di atas), mengalami masalah
sehubungan dengan tatalaksana jalan napas yang minimal(Guyton, 2007 dan Abhgie, 2009).
Gejala komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun tindakan anestesi
sudah dilaksanakan dengan baik. Keberhasilan dalam mengatasi komplikasi tergantung dari
deteksi gejala dini dan tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih buruk. Tulisan ini
akan membahas tentang pengelolaan jalan nafas (airway management) dan kesulitan dalam jalan
napas (difficult airway) dan penanganannya .
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
1.
1.
2.
Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial (gambar 5-3).
Membran mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi ophthalmic (V1)
saraf trigeminal (saraf ethmoidalis anterior) dan di bagian posterior oleh divisi maxila
(V2) (saraf sphenopalatina). Saraf palatinus mendapat serabut saraf sensori dari saraf
trigeminus (V) untuk mempersarafi permukaan superior dan inferior dari palatum molle
dan palatum durum. Saraf lingual (cabang dari saraf divisi mandibula [V 3] saraf
trigeminal) dan saraf glosofaringeal (saraf kranial yang ke 9) untuk sensasi umum pada
dua pertiga bagian anterior dan sepertiga bagian posterior lidah. Cabang dari saraf fasialis
(VII) dan saraf glosofaringeal untuk sensasi rasa di daerah tersebut. Saraf glosofaringeal
juga mempersarafi atap dari faring, tonsil dan bagian dalam palatum molle. Saraf vagus
(saraf kranial ke 10) untuk sensasi jalan nafas dibawah epiglotis. Saraf laringeal superior
yang merupakan cabang dari saraf vagus dibagi menjadi saraf laringeus eksternal yang
bersifat motoris dan saraf laringeus internal yang bersifat sensoris untuk laring antara
epiglotis dan pita suara. Cabang vagus yang lainnya yaitu saraf laringeal rekuren,
mempersarafi laring dibawah pita suara dan trakhea (Morgan, 2006).
Otot laring dipersarafi oleh saraf laringeal rekuren (cabang dari saraf laringeal
superior) dengan pengecualian otot krikotiroid, yang dipersarafi oleh saraf laringeal
externa (motoris). Otot krikotiroid posterior mengabduksi pita suara, seraya otot
krikoaritenoid lateral adalah adduktor utama (Morgan,2006).
2.3 Indikasi Bantuan Jalan Napas
1.
1.
1.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
parsial. Terutama pada pasien gemuk, leher pendek, lidah besar pada bayi.
Benda asing
Lendir
Bekuan darah
Gigi palsu yang terlepas
Muntahan
Makanan
Penyakit infeksi atau tumor jalan nafas bagian atas
Pembesaran tonsil
Polip pada rongga hidung
Tumor rongga mulut dan dasar lidah
Trauma di daerah muka
Trauma kepala yang mengenai daerah maksilo-fasial, yang dapat merusak anatomi regio
tersebut sehingga mengganggu pasase udara melalui jalan napas atas
Sumbatan pada laring
1. Benda asing menyumbat rima glottis
2. Reaksi alergi anafilaktik
3. Tumor laring
4. Trauma laring
5. Paralisis pita suara
6. Spasme laring,yaitu karena pita suara menutup sebagian atau seluruhnya.
Keadaan ini biasanya disebabkan oleh anastesi ringan dan mendapat
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
Pada pasien yang diduga mengalami cedera leher dan kepala hanya dilakukan Jaw
Thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan leher.
2) Membersihkan jalan nafas
- Finger Sweep (sapuan jari)
- Chest Thrust
(Pijatan Dada)
8
1.
2.
Usia
Berat (kg)
1.0
1.3
2.0
2.3
3.0
4.0
5.0
Neonatus
Bayi
Anak Kecil
Anak
Dewasa kecil
Dewasa normal
Dewasa besar
<3
3-10
10-20
20-30
30-40
40-60
10
>60
Tabel 1. Ukuran LMA
1.
Endotracheal tube
Endotracheal tube yaitu mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan
biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Ukuran diameter lubang pipa
trakea dalam milimeter. Karena penumpang trakea bayi, anak kecil dan dewasa
berbeda, penampang melintang trakea bayi dan anak kecil dibawah usia 5 tahun
hampir bulat, sedangkan dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi dan anak
digunakan tanpa cuff dan untuk dewasa dengan cuff supaya tidak bocor.
Endotracheal tube dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau
melalui hidung ( nasotracheal tube) (Latief, 2009).
2.
Laringoskop dan Intubasi
Laringoskop ialah alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung
supaya kita dapat memasukan pipa trakea dengan baik dan benar
Intubasi
Intubasi adalah memasukan suatu lubang atau pipa trakea melalui mulut
ataupun hidung menuju trakhea dengan tujuan untuk menjaga jalan napas (Latief,
2009).
Indikasi Intubasi
Secara umum, intubasi adalah indikasi untuk pasien yang memiliki resiko
untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi meliputi rongga perut atau kepala dan
leher. Ventilasi dengan face mask atau LMA biasanya digunakan untuk prosedur
operasi pendek seperti cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi, perbaikan hernia
inguinal dan lain lain
Indikasi dibagi menjadi :
1.
2.
3.
ventilasi
tekanan
positif,
untuk
meminimalkan
tekanan
yang
ditransmisikan pada mukosa trakea. Merasakan pilot balon bukan metode yang
dapat dipercaya untuk menentukan tekanan balon yang adekuat (Morgan, 2006).
12
Petunjuk yang
dikembangkan oleh ASA untuk penanganan jalan nafas yang sulit, termasuk
algoritma rencana terapi (Morgan, 2006).
Intubasi Nasotrakeal
Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa TT masuk lewat
hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang
hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas
lebih gampang. Tetes hidung phenylephrine (0,5 0,25%) menyebabkan
14
Selama intubasi:
1.
Trauma gigi-geligi
2.
3.
4.
Intubasi bronkus
5.
Intubasi esofagus
6.
Aspirasi
7.
Spasme bronkus
8.
Setelah ekstubasi
1.
Spasme laring
2.
Aspirasi
3.
Gangguan fonasi
4.
Edema glotis-subglotis
5.
15
Bila terdapat sumbatan jalan napas karena benda cair maka dilakukan
penghisapan (suctioning). Penghisapan dilakukan dengan menggunakan alat bantu
pengisap (penghisap manual portabel, pengisap dengan sumber listrik).
Membersihkan benda asing padat dalam jalan napas: Bila pasien tidak sadar dan
terdapat sumbatan benda padat di daerah hipofaring yang tidak mungkin diambil dengan
sapuan jari, maka digunakan alat bantuan berupa laringoskop, alat penghisap (suction)
dan alat penjepit (forceps) (Morgan, 2006).
1.
Trakeostomi
Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan atay anterior
trakea untuk bernapas. Menurut letak stoma, traleostomi dibedakan letak yang tinggi dan
letak yang rendah dan batas letak ini ada;;ah cincin trakea ketiga. Sedangkan menurut
waktu dilakukan tindakan maka trakeostomi dibagi dalam 1) trakeostomi darurat, 2)
trakeostomi berencana. Syatan kulit trakeostomi dapat vertikal di garis tengah leher mulai
di bawah krikoid sampai fosa suprasternal ata jika membuat sayatan horizontal dilakuakn
pada pertengahan jarak antara kartilago krikoid dengan fosa suprasternal atau kira-kira 2
jari dibawah krikoid orang dewasa (Soepardi, 2012).
2.
Krikotirotomi
16
Merupakan tindakan penyayatan pada pasien dalam keadaan gawat napas. Dengan
cara membelah membran krikotiroid, diantara tulang rawan tiroid dan kartilago krikoid
(Soepardi, 2012).
2.
Difficult Airway
2.6.1 Definisi
Difficult airway (Kesulitan Jalan Napas), menurut The American Society of
Anesthesiology (ASA)2003 adalah adanya situasi klinis yang menyulitkan baik ventilasi
dengan masker atau intubasi yang dilakukan oleh dokter anestesi yang berpengalaman
dan terampil.
2.6.2 Jenis Kesulitan Jalan Napas
1.
2.
3.
ketentuan bahwa tingkat saturasi oksigen pra ventilasi masih dalam batas normal.
Kesulitan dilakukan laringoskopi
Kesulitan untuk melihat bagianpita suara, setelah dicoba beberapa kali dengan
laringoskop sederhana.
Kesulitan intubasi trakea
Dibutuhkannya lebih dari 3 kali usaha intubasi atau usaha intubasi yang terakhir lebih
dari 10 menit
4.
Kegagalan intubasi
Penempatan ETT gagal setelah beberapa kali percobaan intubasi (ASA, 2013).
2.6.3 Etiologi & Faktor Resiko
17
Tabel 1. Sindrom yang berperan sebagai penyulit dalam tatalaksana jalan napas.
Keadaan Patologis
Kongenital
Sindroma Pierre Robin
Sindroma
Treacher
(dysostosis mandibulofacial)
Sindroma Goldenhars (okulo- Defek telinga dan matal; hipoplasia malar dan mandibula;
aurikula-vertebral)
Sindroma Down
Jembatan
hidung
tidak
terbentuk
dengan
baik;
Sindrom Alpert
Sindrom Beckwith (infantile
gigantisme)
Cherubism
Cretinismus
Sindrom Meckel
Mikorsepalus, mikrognasia, celah pada epiglotis
Von Recklinghausen disease
Meningkatnya kejadian pheochromocytoma; tumor dapat
muncul di laryng dan
Sindrom Hurler
18
berulang
Sama dengan sindrom Hurler, tetapi lebih berat; pneumonia
2.6.4 Diagnosis
1.
Anamnesis
Evaluasi preoperatif harus mencakup anamnesa atau riwayat terutama yang
berhubungan dengan jalan napas atau gejala-gejala yang berhubungan dengan saluran
pernapasan atas. Bila mungkin, perlu dilakukan dokumentasi terhadap masalah-masalah
yang berhubungan dengan saluran pernapasan atas. Tanda dan gejala yang berhubungan
dengan jalan napas harus dijelaskan misalnya snoring atau mengorok (misalnya pada
sleep apnea yang obstruktif), karies gigi, perubahan suara, disfagi, stridor, nyeri servikal
atau pergerakan leher yang terbatas, neuropathi ekstremitas atas, nyeri atau disfungsi
sendi temporo-mandibular dan nyeri tenggorokan atau rahang yang berlangsung lama
setelah pembiusan. Banyak kelainan kongenital dan gejala yang didapat , berhubungan
dengan penyulit tatalaksana jalan napas.
2.
1.
2.
3.
4.
5.
Pemeriksaan Fisik
Penilaian Kesulitan Ventilasi: (OBESE)
Over weight (body mass index > 26 kg/m2)
Beard
Elderly (> 55 tahun)
Snoring
Edentulous (Mangku, 2009).
Mallampati
Klasifikasi Mallampati/Samsoon-Young berdasarkan penampakan dari orofaring(Morgan,
2006).
20
2.
M=
Klasifikasi
Klinis
1.
Kel
as I
2.
mole
Kel
as II
3.
Kel
as III
4.
Measurements
Kel
2.
Malformation of the Skull (S), Teeth (T), Obstruction (O), Pathology (P)STOP
S = Skull (Hydro and Mikrocephalus)
T = Teeth (Buck, protruded, & gigi berlubang, makro dan mikro mandibula)
O = Obstruction (obesitas, leher pendek dan bengkak disekitar kepala and leher)
P =Pathologi (kraniofacial abnormal & Syndromes: Treacher Collins,
Goldenhars, Pierre Robin, Waardenburg syndromes)
21
Pemeriksaan Penunjang
Radiografi , CT-scan , fluoroskopi dapat mengidentifikasi berbagai keadaan yang
didapat atau bawaan pada pasien dengan kesulitan jalan napas.
2.7
1.
2.
3.
5.
6.
1.
3.
4.
5.
6.
transtracheal ventilator, sebuah jet ventilasi dengan stylet ventilasi, LMA, dan
combitube.
Peralatan yang sesuai untuk akses pembedahan napas darurat (misalnya,
7.
8.
cricothyrotomy).
Sebuah detektor CO2 nafas (kapnograf).
9.
Menginformasikan kepada pasien atau keluarga tentang adanya atau
dugaan kesulitan jalan nafas, prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan
10.
kesulitan jalan nafas, dan risiko khusus yang kemungkinan dapat terjadi
Memastikan bahwa setidaknya ada satu orang tambahan sebagai asisten
11.
12.
1.
1.
Strategi Intubasi pada Kesulitan Jalan Napas
Intubasi sadar.
Intubasi endotrakea dalam keadaanpasien sadar dengan anestesi topikal,
pilhan teknik untuk mencegah bahaya aspirasi pada kasus trauma berat pada muka,
leher, perdarahan, serta kesulitan jalan napas. Intubasi sadar dilakukan dengan
pertolongan obat penenang seperti diazepam, fentanyl atau petidin untuk
mempermudah kooperasi pasien tanpa harus menghilangkan refleks jalan napas atas
(yang harus mencegah apirasi). Boleh spray lidokain 2% pada lidah dan farings, tetapi
jangan kena plika vocalis. Diazepam 0,1- 0,2 mg/kg iv dapat diberikan untuk
mengurangi stres penderita dan memudahkan intubasi.
23
ventilasi dan pemasangan TT pada pasien dengan jalan nafas yang sulit, dan untuk
membantu
ventilasi
selama
bronchoscopy
fiberoptic,
juga
pemasangan
24
LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian proksimal
dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor berukuran 15 mm, dan dibagian distal
terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat pipa. Balon dikempiskan
dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara membuta ke hipofaring, sekali telah
dikembangkan, balon dengan tekanan rendah ada di muara laring. Pemasangannya
memerlukan anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk memasukan oral airway.
Walaupun pemasangannya relatif mudah, perhatian yang detil akan memperbaiki
keberhasilan. Posisi ideal dari balon adalah dasar lidah di bagian superior, sinus
pyriforme dilateral, dan spincter oesopagus bagian atas di inferior. Jika esophagus terletak
di rim balon, distensi lambung atau regurgitasi masih mungkin terjadi. Variasi anatomi
mencegah fungsi LMA yang adekuat pada beberapa pasien. Akan tetapi, jika LMA tidak
berfungsi semestinya dan setelah mencoba memperbaiki masih tidak baik, kebanyakan
klinisi mencoba dengan LMA lain yang ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Karena
penutupan oleh epiglotis atau ujung balon merupakan penyebab kegagalan terbanyak,
maka memasukkan LMA dengan penglihatan secara langsung dengan laringoskop atau
bronchoskop fiberoptik (FOB) menguntungkan pada kasus yang sulit. Demikian juga,
sebagian balon digembungkan sebelum insersi dapat sangat membantu. Pipa di plester
seperti halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak terhadap
regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada tempatnya sampai reflek
jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai dengan batuk atau membuka mulut
sesuai dengan perintah. LMA yang dapat dipakai lagi, dapat di autoklaf, dibuat dari karet
silikon (bebas latek) dan tersedia dalam berbagai ukuran (Morgan, 2006).
LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT.
Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya abses),
sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal), atau
komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang memerlukan
tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H 2O. Secara tradisional, LMA dihindari
pada pasien dengan bronkhospasme aatau resistensi jalan nafas tinggi, akan tetapi, buktibukti baru menunjukkan bahwa karena tidak ditempatkan dalam trakea, penggunaan
LMA dihubungkan dengan kejadian bronkospasme lebih kurang dari pada dengan TT.
Walaupun hal ini nyata tidak sebagai penganti untuk trakeal intubasi, LMA membuktikan
25
sangat membantu terutama pada pasien dengan jalan nafas yang sulit (yang tidak dapat
diventilasi atau diintubasi) disebabkan mudah untuk memasangnya dan angka
keberhasilannya relatif besar (95-99%). LMA telah digunakan sebagai pipa untuk jalur
stylet ( gum elastik, bougie), ventilasi jet stylet, fleksibel FOB, atau TT diameter kecil
(6,0 mm) (Morgan, 2006).
5.
6.
intubasi trakea. Handle biasanya berisi baterai untuk cahaya bola lampu pada ujung
blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung blade. Cahaya dari
bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar.
26
7.
pergerakan yang terbatas pada temporo mandibular joint, atau dengan kelainan
kongenital atau kelainan didapat pada jalan nafas atas- laringoskopi langsung dengan
penggunakan rigid laringoskop mungkin tidak dipertimbangkan atau tidak dimungkinkan.
Suatu FOB yang feksibel mungkin visualisasi tidak langsung dari laring dalam beberapa
kasus atau
intubation). FOB yang dibuat dari fiberglass ini mengalirkan cahaya dan gambar oleh
refleksi internal-contohnya sorotan cahaya akan terjebak dalam fiber dan terlihat tidak
berubah pada sisi yang berlawanan. Pemasangan pipa berisi 2 bundel dari fiber, masingmasing berisi 10.000 15.000 fiber. Satu bundel menyalurkan cahaya dari sumber
cahaya ( sumber cahaya bundel) yang terdapat diluar alat atau berada dalam handle yang
memberikan gambaran resolusi tinggi (Morgan, 2006).
27
Manipulasi langsung untuk memasangkan pipa dilakukan dengan kawat yang kaku.
Saluran aspirasi digunakan untuk suction dari sekresi, insuflasi O 2 atau penyemprotan
anestesi lokal. Saluran aspirasi sulit untuk dibersihkan, akan tetapi, sebagai sumber
infeksi sehingga memerlukan kehati-hatian pada pembersihan dan sterilisasi telah
digunakan (Morgan, 2006).
Cara intubasi Nasal Fiberoptik Fleksibel
Kedua lubang hidung dipersiapkan dengan pemberian tetes vasokonstriktor.
Identifikasi lubang hidung dimana pasien bernafas lebih mudah. O2 dapat diinsuflasi
melalui ujung suction dan saluran untuk aspirasi dari FOB untuk memperbaiki oksigenasi
dan membuang sekret dari ujung tip (Morgan, 2006).
Pilihan lain, nasal airway ukuran besar (ukuran 36F) dapat dipasang dalam lubang
hidung kolateral. Breathing sirkuit dapat langsung dihubungkan pada ujung dari nasal
airway untuk memberikan O2 100% selama laringoskopi. Jika pasien tidak sadar dan
tidak bernafas spontan, mulut dapat diplester dan ventilasi dilakukan melalui nasal airway
tunggal. Bila teknik ini digunakan adekuat ventilasi dan oksigenasi harus di konfirmasi
dengan capnograph dan pulse oximetry. TT yang telah diberi pelumas dan dimasukkan ke
dalam lubang hidung lainnya sepanjang nasal airway. Tangkai dari FOB yang telah diberi
pelicin dimasukan ke dalam lubang TT. Selama endoskopi, jangan dimajukan jika hanya
dinding dari TT atau membran mukosa yang terlihat. Ini juga penting untuk
mempertahankan tangkai bronkoskop relatif lurus, jadi jika kepala dari bronkhoskop
diputar secara langsung, ujung distal akan bergerak dengan derajat yang sama. Ketika
28
ujung dari FOB masuk ujung distal dari TT, epiglotis dan glotis harus tampak. Ujung dari
bronchoskop dimanipulasi untuk melewati pita suara yang telah abduksi (Morgan, 2006).
Ini tidak perlu dilakukan dengan cepat karena pasien sadar dapat bernafas adekuat
dan pada pasien dianestesi, jika ventilasi dan oksigenasi tidak adekuat, FOB ditarik
danlakukan ventilasi dengan face mask. Minta asisten untuk jaw thrust atau lakukan
tekanan pada krikoid dapat membantu penglihatan pada kasus sulit. Jika pasien bernafas
spontan, tarik lidah dengan klem dapat memfasilitasi intubasi Morgan, 2006).
Sekali dalam trakea, FOB didorong masuk ke dekat carina. Adanya cincin trakhea
dan carina adalah membuktikan posisi yang tepat. TT di dorong dari FOB. Sudut sekitar
cartilago arytenoid dan epiglotis dapat mencegah mudahnya memasukan pipa.
Penggunaan pipa yang berkawat baja biasanya menurunkan masalah ini disebabkan lebih
besarnya fleksibilitas dan sudut pada bagian distal lebih tumpul. Posisi TT yang tepat
dikonfirmasi dengan melihat ujung dari pipa diatas karina sebelum FOB ditarik (Morgan,
2006).
8.
kematian,
2.
kerusakan otak,
3.
cardiac arrest,
4.
5.
6.
7.
8.
1.
Pilihan lain termasuk: operasi menggunakan masker wajah atau supraglottic airway (SGA) (Misalnya,
LMA, ILMA, laringeal tube), infiltrasi anestesi lokal atau blokade saraf regional.
2.
Akses jalan napas invasif meliputi bedah atau jalan napas percutaneous, jet ventilation, dan intubasi
retrograde.
3.
Pendekatan alternatif : laringoskopi dengan video, bilah laringoskop alternatif, SGA (LMA atau
ILMA) sebagai saluran intubasi (dengan atau tanpa bimbingan serat optik), intubasi dengan serat
optik , intubasi dengan stylet atau tabung changer, light wand, dan blind oral or nasal intubation.
4.
Pertimbangkan kembali persiapan pasien untuk intubasi sadar atau membatalkan operasi.
Pemasangan face mask, jika facemask adekuat, masuk jalur nonemergensi ASADAA. Jika face mask gagal, lanjutkan dengan ventilasi supraglotis dengan LMA. Jika
berhasil, dilanjutkan jalur nonemergensi ASA-DAA dan dilakukan intubasi trakea.
Bila ventilasi LMA gagal, dilanjutkan dengan jalur emergency. ASA-DAA menyarankan
penggunaan Esophageal-Tracheal Combitube, rigid bronkoskopi, oksigenasi transtrakeal,
atau jalan nafas bedah.
31
Kegagalan penggunaan LMA, karena; sudut oral-faring sempit, sumbatan pada level
hipofaring, sumbatan di bawah liptan fokal (ASA, 2013).
2.8 Ekstubasi
Ekstubasi terbaik dilakukan ketika pasien sedang teranestesi dalam atau bangun.
Pasien juga harus pulih sepenuhnya dari pengaruh obat pelemas otot pada saat sebelum
ekstubasi. Jika pelemas otot digunakan, pernapasan pasien akan menggunakan ventilasi
mekanik terkontrol, maka dari itu pasien harus dilepaskan dari ventilator sebelumekstubasi
(Morgan, 2006).
Ekstubasi selama anestesi ringan (masa antara anestesi dalam dan bangun) harus
dihindari karena meningkatnya risiko laringospasme. Perbedaan antara anestesi dalam dan
ringan biasanya terlihat saat suction/ penyedotan sekret faring : adanya reaksi pada
penyedotan (tahan napas, batuk) menandakan anestesia ringan, dimana jika tidak ada reaksi
menandakan anestesia dalam. Pasien membuka mata atau bergerak yang bertujuan
menandakan pasien sudah bangun (Morgan, 2006).
Mengekstubasi pasien yang sudah bangun biasanya berhubungan dengan batuk pada
TT. Reaksi ini meningkatkan denyut nadi, tekanan vena sentral, tekanan darah arteri,
tekanan intrakranial, dan tekanan intraokular. Hal ini juga dapat menyebabkan dehisensi
luka dan perdarahan. Adanya TT pada pasien asma yang sudah sadar dapat memicu
bronkospasme. Meskipun konsekuensi ini dapat diturunkan dengan premedikasi 1,5 mg/kg
lidokain intravena 1-2 menit sebelum suction dan ekstubasi, ekstubasi saat anestesia dalam
lebih dianjurkan pada pasien yang tidak dapat mentolerir hal ini. Ekstubasi menjadi
kontraindikasi pada pasien yang memiliki risiko aspirasi atau yang jalan napasnya sulit
untuk dikontrol setelah pencabutan TT (Morgan, 2006).
Pasien teranestesi dalam atau sudah sadar, faring pasien juga sebaiknya disuction
terlebih dahulu sebelum ekstubasi untuk mengurangi risiko aspirasi atau laringospasme.
Pasien juga harus diventilasi dengan 100% oksigen sebagai cadangan apabila sewaktu-waktu
terjadi kesulitan untuk mengontrol jalan napas setelah TT dicabut. Sesaat sebelum ekstubasi,
TT dilepas dari plester dan balon dikempiskan. Pemberian sedikit tekanan positif pada jalan
napas pada kantong anestesia yang dihubungkan dengan TT dapat membantu meniup sekret
32
yang terkumpul pada ujung balon supaya ke luar ke arah atas, menuju faring, yang kemudian
dapat disuction. Pencabutan TT pada saat akhir ekspirasi atau akhir inspirasi mungkin tidak
terlalu penting. TT dicabut dengan satu gerakan yang halus, dan sungkup wajah biasanya
digunakan untuk menghantarkan oksigen 100% sampai pasien menjadi cukup stabil untuk
diantar ke ruang pemulihan. Pada beberapa institusi, oksigen dengan sungkup wajah
dipertahankan selama pengantaran pasien (Morgan, 2006).
5.7 Perawatan Lanjut
1.
Mendokumentasikan adanya dan sifat dari kesulitan jalan napas dalam rekam medis,
2.
Menginformasikan pasien atau orang yang bertanggung jawab dari kesulitan jalan napas
yang dihadapi,
3.
Mengevaluasi dan mengawasi pasien tentang kemungkinan komplikasi yang terjadi pada
manajemen kesulitan jalan nafas (ASA, 2013 ).
33
BAB III
KESIMPULAN
Airway Management ialah memastikan jalan napas tetap terbuka. Tindakan paling
penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkang saluran pernapasan.
Indikasi Bantuan Jalan Napas :
1. Obstruksi jalan napas
2. Henti nafas : depresi pusat nafas, kelumpuhan otot pernafasan
3. Pembedahan: durasi lama, posisi khusus
4. Pencegahan terhadap regurgitasi aspirasi dan regurgitasi
5. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi: saat resusitasi
6. Tak terasa ada udara ekspirasi (latief, 2009).
Pengelolaan jalan nafas ( airway management ) terdiri atas :
1.
2.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
2006
Latief S, Suryadi K, Dachlan M. Petunjuk Praktis Anestesologi. FKUI, Jakarta, 2009.
Soepardi E, Iskandar M, Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
5.
6.
35