Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
DAFTAR ISI
BAB I. Pendahuluan..............................................................................................4
BAB II. Tinjauan Pustaka......................................................................................5
Definisi...........................................................................................5
Klasifikasi.......................................................................................5
Migren.6
Nyeri kepala tegang (Tension headache) 7
Cluster headache.9
Epidemiologi..................................................................................11
Faktor pencetus..............................................................................11
Patofisiologi...................................................................................12
Struktur kepala yang peka nyeri12
Pemeriksaan...................................................................................13
Manifestasi klinis...........................................................................14
Penatalaksanaan.............................................................................16
Prognosis........................................................................................18
BAB III. Kesimpulan.............................................................................................19
Daftar Pustaka........................................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
komplikasi. 2
Pada kondisi penderita spinal cord injury, fisioterapi jelas sangat
diperlukan untuk memberikan latihan-latihan, edukasi, baik kepada pasien
maupun keluarganya untuk membantu pasien dalam mengatasi gangguan gerak
dan fungsi yang diakibatkan spinal cord injury tersebut. Penanganan fisioterapi
yang dapat diberikan pada penderita paraplegi akibat spinal cord injury yaitu
penanganan yang bertujuan utama untuk meningkatkan aktivitas fungsional
sehari-hari.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
dan traktus desenden (yang membawa informasi dari otak ke anggota gerak
dan mengontrol fungsi tubuh).7
Medulla spinalis diperdarahi oleh 2 susunan arteri yang mempunyai
hubungan istimewa yaitu arteri spinalis dan arteri radikularis. Arteri spinalis
dibagi menjadi arteri spinalis anterior dan posterior yang berasal dari arteri
vertebralis, sedangkan arteri radikularis dibagi menjadi arteri radikularis
posterior dan anterior yang dikenal juga ramus vertebra medularis arteria
interkostalis. 7
Nervus spinalis/akar nervus yang berasal dari medulla spinalis
melewati suatu lubang di vertebra yang disebut foramen dan membawa
informasi dari medulla spinalis sampai ke bagian tubuh dan dari tubuh ke
otak. Nervus spinalis berjumlah 31 pasang. 7
Dermatom
Dermatom merupakan area kutaneus dimana terdapat persarafan
sensorik dari salah satu saraf spinal tertentu. Bagian dari kulit pada dermatom
menunjukkan pengaturan segmental dari saraf spinal dan persarafannya.
Dermatom-dermatom nyeri lebih sempit dan kurang tumpang tindih satu
sama lain dibandingkan dengan dermatom sentuhan. Lesi pada suatu level
dari medulla spinalis dapat menyebabkan gangguan sensoris yang lebih
mudah diketahui dengan tes tusuk (pinprick testing) daripada dengan
sentuhan ringan (light touch).
Gambar 3. Dermatom3
saraf
motorik
motorik
sampai
yang
inti-inti
motorik di saraf kranial di batang otak atau kornu anterior medulla spinalis.
tersebut dari otak dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh seseorang. Kedua
saraf motorik tersebut mempunyai peranan penting di dalam
sistem
neuromuskular tubuh. Sistem ini yang memungkinkan tubuh kita untuk bergerak
secara terencana dan terukur.
2.2.1. Upper Motor Neuron
Traktus kortikospinalis berfungsi menyalurkan impuls motorik pada
sel-sel motorik batang otak dan medulla spinalis untuk gerakan-gerakan otot
kepala dan leher. Traktus kortikobulbar membentuk traktus piramidalis,
mempersarafi sel-sel motorik batang otak
XII, berfungsi untuk menyalurkan impuls motorik untuk gerak otot tangkas.
Dalam klinik, gangguan traktus piramidalis memberikan tipe UMN berupa
parese/paralisis spastis disertai dengan tonus meninggi, hiperrefleksi, klonus,
refleks patologis positif, tidak ada atrofi.
Kelainan traktus piramidalis setinggi:
Hemisfer: memberikan gejala-gejala hemiparesi tipika
Setinggi batang otak: hemiparese alternans
Setinggi medulla spinalis: tetra/paraparese
raba
Perasaan proprioseptif: disadari sebagai rasa nyeri dalam rasa getar,
Gangguan
motorik:
timbul
kelumpuhan
yang
sifatnya
paraparese/tetraparese.
- Paraparese UMN: lesi supranuklear terhadap segmen medula
-
lesi infranuklear
Tetraparese UMN: lesi supranuklear terhadap segmen medula
spinalis servikal IV
Tetraparese: ekstremitas superior LMN, ekstremitas inferior UMN.
10
Gangguan sensibilitas
- Gangguan sensibilitas segmental:
Lipatan paha: lesi medulla spinalis L1
Pusar: lesi medulla spinalis torakal 10
Papilla mammae: lesi medulla spinalis torakal 4
Saddle anesthesia: lesi pada konus
- Gangguan sensibilitas radikuler:
Gangguan sensibilitas sesuai dengan radiks posterior
- Gangguan sensibilitas perifer: glove/stocking anesthesia
Gangguan susunan saraf otonom
- Produksi keringat
- Bladder: berupa inkontinensia urin atau uninhibited bladder.
Autonomic bladder/ spastic bladder lesi medulla spinalis
supranuklear terhadap segmen sakral
Flaccid bladder/overflow incontinence lesi pada sakral
medulla spinalis
11
ekstremitas bawah.
Paraplegia: paralisis/kelemahan berat pada kedua ekstremitas bawah
Hemiplegia: paralisis/kelemahan berat pada satu sisi tubuh yaitu satu
ekstremitas atas dan satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama.
Tetraplegia: paralisis/kelemahan berat pada keempat ekstremitas.
Paraplegia inferior adalah paralisis bagian bawah tubuh termasuk
tungkai. 4
Paraplegi terbagi menajdi tipe spastik (UMN) dan flaksid (LMN).
Paraplegi spastik adalah kekakuan otot dan kejang otot disebabkan oleh
kondisi saraf tertentu. Paraplegi flaksid adalah kelemahan atau kurangnya
otot yang tidak memiliki penyebab yang jelas. Otot lemas sebagian karena
kurangnya aktivitas dalam otot, gerakan volunter sebagian atau seluruhnya
hilang. 4
Klasifikasi menurut American Spinal Injury Association:8
Grade A
Grade B
Grade C
Grade D
Grade E
Sedangkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA revised 2000, terbagi atas
:8
12
13
Kerusakan
terjadi.
Brown- Sequard
Syndrome
proprioseptif ipsilateral.
Kerusakan proprioseptif ,
Posterior cord
syndrome
14
2. 4 Patofisiologi
Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis
terjadi akibat dari proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade
cedera berlanjut, kemungkinan penyembuhan fungsional semakin menurun.
Karena itu, intervensi terapeutik sebaiknya tidak ditunda, pada kebanyakan
kasus, window period untuk intervensi terapeutik dipercaya berkisar antara 6
sampai 24 jam setelah cedera. Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan
mencakup transfer energi ke korda spinal, deformasi korda spinal dan
kompresi korda paska trauma yang persisten. Mekanisme ini, yang terjadi
dalam hitungan detik dan menit setelah cedera, menyebabkan kematian sel
yang segera, disrupsi aksonal dan perubahan metabolik dan vaskuler yang
mempunyai efek yang berkelanjutan. Proses cedera sekunder yang bermula
15
dalam hitungan menit dari cedera dan berlangsung selama bermingguminggu hingga berbulan-bulan, melibatkan kaskade yang kompleks dari
interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat traktus. Sangat jelas
bahwa peningkatan produksi radikal bebas dan opioid endogen, pelepasan
yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan reaksi inflamasi sangat
berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger Ribonucleic
Acid) menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera medula
spinalis dan perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik.
Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari
cedera sekunder. Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari
penurunan
kadar
anti-oksidan
yang
cepat,
oksigen
radikal
bebas
opiate (contohnya
16
19
20
Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot
flaksid, reflex hilang, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster
dan hipestesia. Juga dibawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus
vasomotor, keringat dan piloereksi serta fungsi seksual. Kulit menjadi kering
dan pucat serta ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat penekanan
tulang. Spingter vesika urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi
(disebabkan oleh hilangnya inhibisi dari pusat sistem saraf pusat yang lebih
tinggi.
Apabila medula spinalis cedera secara komplit dengan tiba-tiba, maka
tiga fungsi yang terganggu antara lain seluruh gerak, seluruh sensasi dan
seluruh refleks pada bagian tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh
refleks hilang baik refleks tendon, refleks autonomic disebut spinal shock.
Kondisi spinal shock ini terjadi 2-3 minggu setelah cedera medula spinalis.
Fase selanjutnya setelah spinal shock adalah keadaan dimana aktifitas refleks
yang meningkat dan tidak terkontrol. Pada lesi yang menyebabkan cedera
medula spinalis tidak komplit, spinal shock dapat juga terjadi dalam keadaan
yang lebih ringan atau bahkan tidak melalui shock sama sekali. Selain itu
gangguan yang timbul pada cidera medula spinalis sesuai dengan letak
lesinya, dimana pada UMN lesi akan timbul gangguan berupa spastisitas,
hiperefleksia, dan disertai hypertonus, biasanya lesi ini terjadi jika cidera
mengenai C1 hingga L1. Dan pada LMN lesi akan timbul gangguan berupa
flaksid, hiporefleksia, yang disertai hipotonus dan biasanya lesi ini terjadi
jika cidera mengenai L3 sampai cauda equina, di samping itu juga masih ada
21
gangguan lain seperti gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi seksual,
dan gangguan fungsi pernapasan.
Dapat durumuskan gejala-gejala yang terjadi pada cedera medulla
spinalis yaitu:
1. Gangguan sensasi menyangkut adanya anastesia, hiperestesia, parastesia.
2. Gangguan motorik menyangkut adanya kelemahan dari fungsi otot-otot
dan reflek tendon.
3. Gangguan fungsi vegetatif dan otonom menyangkut adanya flaksid dan
spastik bladder dan bowel.
4. Gangguan fungsi ADL yaitu makan, toileting, berpakaian, kebersihan diri.
5. Gangguan mobilisasi yaitu miring kanan dan kiri, transfer dari tidur ke
duduk, duduk, transfer dari bed ke kursi roda, dan dari kursi roda ke bed.
6. Penurunan vital sign yaitu penurunan ekspansi toraks, kapasitas paru dan
hipotensi.
7. Skin problem menyangkut adanya dekubitus.
Cedera medulla spinalis juga mempengaruhi fungsi organ vital yaitu
diantaranya disfungsi respirasi terbesar yaitu cedera setinggi C1-C4. Cedera
pada C1-C2 akan mempengaruhi ventilasi spontan tidak efektif. Lesi setinggi
C5-8 akan mempengaruhi m. intercostalis, parasternalis, scalenus, otot-otot
abdominal, otot-otot abdominal. Selain itu mempengaruhi intaknya
22
simpatis
menurun.
Lesi
setinggi
cervical
dan
thoracal
23
tipe UMN, dimana terjadi overaktivitas peristaltik usus, retensi fekal akibat
spastic sfingter ani.
24
konstipasi.
Irigasi pulse water (intermitten rapid pulse of warm water) ke
dalam rektum, untuk memecah stool impaction dan merangsang
peristalsis.
Rangsangan: rangsangan elektrik pada dinding otot abdominal dan
stimulasi magnetic fungsional dapat mengurangi waktu transit
koloni.
Agen farmakologis: agen prokinetik are presumed to promote
transit melalui traktus pencernaan, dengan cara mengurangi
jangka waktu dari stool saat melalui usus dan meningkatkan
frekuensi stool untuk evakuasi, contohnya Cisapride.
25
(iii)
Penggunaan
supositoria:
gliserin
suppositoria
merupakan
diazepam,
tizanidine,
klonidin,
gabapentin.
Agen
myelotomy.
Kelemahan otot: paresis atau paraplegia merupakan gejala yang
umum terjadi pada SCI. Penanganannya dengan cara: 11
1. Strengthening exercise: meningkatkan kekuatan
otot
dan
26
(vi)
profilaksis
terhadap
DVT.
Penggunaan
LMWH
(viii)
Pengobatan: 11
1. Farmakologis: klonidin, flucordison
2. Non farmakologis: elastic stocking dan abdominal binders.
d. Terapi fisik.
Tujuan Fisioterapi antara lain adalah: 2
Mengurangi nyeri
27
manuever,
strengthening,
stretching,
coughing,
chest
28
Physical agents. 11
1). Thermotherapy: digunakan untuk mengurangi nyeri dan spastisitas.
Meliputi
MWD, UST).
Aplikasi panas adalah tindakan sederhana sebagai metode yang
efektif untuk mengurangi nyeri kronik atau kejang otot. Diberikan
untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit, kekakuan otot dan
kekakuan sendi.
Terdapat 2 macam pemanasan:
Pemanasan dangkal
Karena daya tembusnya hanya beberapa milimeter saja. Misalnya
sinar infrared, bantal hidrokolataor atau botol berisi air panas
Pemanasan dalam (diatermi)
- Diatermi gelombang pendek: menggunakan arus listrik
frekuensi tinggi yang diubah menjadi panas sewaktu
-
melintasi jaringan
Diatermi gelombang
mikro:
menggunakan
radiasi
29
30
Terapi latihan: mat exercise, PNF exercise, active & passive ROM
exercise, strengthening exercise, stretching exercise, endurance exercise,
co-ordination exercise.11
Range of motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat
digunakan untuk melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah
nyeri yang berkaitan dengan kekakuan dan imobilitas.11
e. Terapi Okupasi. Merupakan bagian dari program rehabilitasi dan
dilakukan oleh terapis okupasi. Tujuan dari terapi ini adalah latihan untuk
aktivitas sehari-hari (activity daily life). 11
Terapi pada penderita paraplegia:
Cara duduk tegak. Pada awalnya penderita paraplegia akan
ditegakkan perlahan-lahan membentuk sudut 45o selama kurang lebih
10 menit, kemudian hingga 90o atau duduk tegak selama 30 menit.
Setelah penderita paraplegia siap maka terapis akan membantu duduk
di atas kursi untuk beberapa menit dan sedikit demi sedikit untuk
31
Berpakaian.
Sementara
penderita
paraplegia
belajar
akan
semestinya.
Makanan. Penderita paraplegia juga akan kehilangan kontrol buang
air kecil dan besar sehingga pada tahap awal kelumpuhan, mereka
membutuhkan makanan khusus yang menghindarkan penderita
mengalami komplikasi. Setelah lewat masa perawatan dan setelah
mendapat ijin dari dokter, penderita diperbolehkan memakan
32
menghindarkan sembelit.
Naik turun dari kloset. Penderita paraplegia membutuhkan beberapa
peralatan seperti tali atau rantai yang digantung di langit-langit kamar
mandi. Hal ini berfungsi untuk membantu penderita paraplegia naik
dan turun dari kloset.
f. Ortosis11
Pada pasien cedera medula spinalis penetapan alat bantu ambulasi : kursi
roda, crutches, walker bisa digunakan. Setelah berbaring lurus untuk
beberapa waktu selama periode awal pasien harus berkembang oleh
fisioterapis untuk duduk tegak di kursi roda. Ini adalah proses bertahap
yang bergerak pasien ke posisi tegak terlalu cepat dapat menyebabkan
penurunan tekanan darah yang parah. Sebuah kursi roda dengan kaki
terletak mengangkat dan kembali miring digunakan pada awalnya sampai
pasien mampu mentoleransi kursi tegak. Latihan teratur keseimbangan
duduk adalah penting dibawah pengawasan yang ketat dari fisioterapis
sebagai kontrol batang diperlukan untuk hidup mandiri. Setelah transfer
duduk dikuasai ke kursi roda dan penguatan dapat bekerja. Tahap pertama
pembelajaran keseimbangan duduk yang baik, memperkuat otot dan
transfer kursi roda kini telah dikuasai dan itu adalah waktu untuk
rehabilitasi tersisa untuk mengambil tempat di Unit Luka Spinal.
g. Gait retraining. Gait retraining dapat dilakukan dengan cara: 11
- Program pre ambulation MAT: rolling, prone on elbow, prone on
hand, quadruped, pelvic tilting, setting and standing balance.
33
34
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan pada medulla
spinalis akibat trauma atau non trauma yang akan menimbulkan gangguan
pada sistem motorik, sistem sensorik dan vegetatif. Apabila medula spinalis
cedera secara komplit dengan tiba-tiba, maka tiga fungsi yang terganggu
antara lain seluruh gerak, seluruh sensasi dan seluruh refleks pada bagian
tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh refleks hilang baik refleks
tendon, refleks autonomik disebut spinal shock.
Pada lesi yang menyebabkan cedera medula spinalis tidak komplit,
spinal shock dapat juga terjadi dalam keadaan yang lebih ringan atau bahkan
tidak melalui shock sama sekali. Selain itu gangguan yang timbul pada
cedera medula spinalis sesuai dengan letak lesinya, dimana pada UMN lesi
akan timbul gangguan berupa spastisitas, hiperefleksia, dan disertai
hipertonus, biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai C1 hingga L1. Dan
pada LMN lesi akan timbul gangguan berupa flaksid, hiporefleks, yang
disertai hipotonus dan biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai L2
sampai cauda equina, di samping itu juga masih ada gangguan lain seperti
gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi seksual, dan gangguan fungsi
pernapasan.
35
Rehabilitasi
pengembangan bagi
medik
adalah
penyandang
suatu
cacat
proses
agar
pemulihan
dapat
dan
melaksanakan
36
Daftar Pustaka
1. Prayudi S. Perbedaan pengaruh penambahan latihan kekuatan otot lengan
dengan Metode Oxford pada latihan transfer dari tidur ke duduk terhadap
kecepatan transfer dari tidur ke duduk pada penderita paraplegia akibat spinal
cord injury. Diunduh dari: http://eprints.uns.ac.id/1979/2/1582-3512-1-SM.pdf
2. Thuret, Sandrine; Moon, Lawrence D.F; Gage, Fred H. Therapeutic
intervention after spinal cord injury. Nature Publishing Group; 2006.p.7, 628640.
3. Rohkamm R. Color atlas of neurology. New York: Thieme; 2004.p.31-3.
4. Evans, Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat;
2003.h. 35-36.
5. deGroot J, Chusid JG. Corelative neuroanatomy. Jakarta: EGC; 1997.h.30-42.
6. Snell RS. Neuroanatomi klinik: pendahuluan dan susunan saraf pusat. Edisi
ke-5. Jakarta : EGC; 2007.h.1-16.
7. Sherwood L. Human physiology from cells to system. 6th ed. Canada: Thomson
Brooks/ Cole; 2007.p.77-102.
8. ASIA. Spinal cord injury. 13 Januari 2008. Diunduh dari :
http://sci.rutgers.edu, 4 Juli 2014.
9. Consortium Member Organizations and Steering Committee Representatives.
Early Acute Management in Adults with Spinal Cord Injury: A Clinical
Practice Guideline for Health-Care Professionals. The Journal Of Spinal Cord
Medicine. Vol. 31. 2006.
10. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan
tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2007.h.19-23.
37
11. Hasan SA, Alam Z, Hakim M, Shakoor MA, Salek AKM, Khan MM, et al.
Rehabilitation of patients with paraplegia from spinal cord injury: a review.
JCMCTA 2008; 20 (1): 53-57.
38