Вы находитесь на странице: 1из 24

TUGAS PAPER

PRAKTIKUM KIMIA TERPADU


KOEFISIEN PARTISI

Disusun Oleh:
RATNA INDRIA SARI
24030112130061

LABORATORIUM KIMIA FISIK


JURUSAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
APRIL, 2015

DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Sampul...................................................................................................i
Daftar Isi................................................................................................................ii
Koefisien Partisi....................................................................................................1
A. Definisi Koefisien Partisi..........................................................................1
B. Kegunaan Koefisien Partisi.......................................................................1
C. Pengukuran Percobaan Koefisien Partisi...................................................5
a. Metode labu kocok..............................................................................5
b. Kromatografi lapis tipis (KLT)............................................................7
c. Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)...........................................8
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Koefisien Partisi...............................9
E. Hubungan Koefisien Partisi dengan Drug Delivery..................................9
F. Hubungan Koefisien Partisi dengan Liposom...........................................10
a. Formulasi Liposom.............................................................................10
b. Kolesterol dalam Liposom..................................................................10
c. Masuknya Obat ke Dalam Liposom (Drug Loading).........................12
d. Preparasi Liposom..............................................................................13
a) Vesikel Multi Lamelar.................................................................13
b) Vesikel Unilamelar......................................................................14
c) Vesikel Unilamelar Besar............................................................15

e. Karakterisasi Liposom........................................................................16
f. Kandungan Total Lipid.......................................................................16
g. Ukuran dan Distribusi Ukuran............................................................17
h. Muatan................................................................................................17
i. Pengendalian Mutu Bentuk Sediaan Liposom....................................18
Daftar Pustaka.......................................................................................................21

KOEFISIEN PARTISI

A Definisi Koefisien Partisi


Ketika suatu senyawa (atau zat terlarut) ditambahkan ke dalam
campuran pelarut yang paling tidak bercampur, zat terlarut tersebut
mendistribusikan dirinya sendiri di antara kedua pelarut berdasarkan
afinitasnya pada masing-masing fase. Senyawa polar (misalnya gula, asam
amino, atau obat-obat terion) akan cenderung menyukai fase berair atau fase
polar, sedangkan senyawa-senyawa nonopolar (misalnya obat-obat yang tidak
terion), akan menyukai fase organik atau fase nonpolar. Senyawa yang
ditambahkan mendistribusikan dirinya sendiri di antara kedua pelarut yang
tidak bercampur berdasarkan hukum partisi, yang menyatakan bahwa
senyawa tertentu pada suhu tertentu, akan memisahkan dirinya sendiri di
antara dua pelarut yang saling tidak bercampur pada perbandingan
konsentrasi yang tetap. Perbandingan yang tetap ini dikenal dengan
koefisien partisi senyawa tersebut dan dapat dinyatan secara matematis
sebagai berikut.
P=

[ organik ]
[ berair ]

P adalah koefisien partisi senyawa; [organik] adalah konsentrasi senyawa


dalam fase organik atau fase minyak; dan [berair] adalah konsentrasi senyawa
dalam fase air. Koefisien partisi adalah perbandingan konsentrasi, sehingga
satuannya dihilangkan dan P tidak memiliki satuan (Cairns, 2009).
B Kegunaan Koefisien Partisi
Koefisien partisi merupakan suatu informasi penting karena dapat
digunakan untuk memperkirakan proses absorpsi, ditribusi, dan eliminasi obat
di dalam tubuh. Pengetahuan tentang nilai P dapat digunakan untuk

memperkirakan onset kerja obat atau durasi kerja obat, atau untuk mengetahui
apakah obat akan bekerja secara aktif. Bagian kimia medisinal, yaitu ilmu
pengetahuan tentang rancangan obat yang rasional, melibatkan hubungan
struktur aktivitas, yang menggunakan koefisien partisi dalam persamaan
matematika yang mencoba menghubungkan anatar aktivitas biologis suatu
obat dengan karakteristik fisika dan kimianya (Cairns, 2009).
Pada kenyataannya, hubungan sederhana di atas berlaku hanya jika zat
terlarutnya tidak terion pada pH pengukuran. Jika zat terlarut merupakan
asam lemah atau basa lemah (dan terdapat obat dalam jumlah yang besar),
proses ionisasi untuk membentuk garam akan sangat memengaruhi profil
kelarutan obat. Garam yang terion penuh akan jauh lebih mudah terlarut di
dalam air dibandingkan dengan asam atau basa yang tidak terion, sehingga
perbandingan di atas akan bervariasi bergantung pada pH pengukuran
(Cairns, 2009).
Ada dua cara untuk menyelesaikan masalah ini. Pertama, rincian
percobaan diatur untuk memastikan bahwa P terukur merupakan koefisien
partisi molekul-molekul yang tidak terion (ini berarti nilai P untuk asam
diukur pada pH rendah ketika asam tidak terion, dan sama halnya koefisien
partisi untuk basa diukur pada pH tinggi untuk mencegah terjadinya ionisasi);
atau kedua, perbandingan di atas didefinisikan kembali sebagai koefisien
partisi tampak, untuk membedakannya dari koefisien partisi spesies yang
tidak terion, yang kini disebut sebagai koefisien partisi sebenarnya (Cairns,
2009).
Koefisien partisi tampak (apparent partition coefficient, Papp)
bergantung pada proporsi senyawa yang terdapat di dalam larutan, yang
selanjutnya bergantung pada pH larutan, atau
Papp =P f tidakterion

f tidakterion

sama dengan fraksi jumlah total obat yang tidak terion pada pH

tersebut. Ini berarti jika

f tidakterion

= 1,

Papp =Ptrue

dan senyawanya tidak

terion (Cairns, 2009).


Kisaran kemungkinan nilai P yang ditemukan dalam molekul obat
adalah luas, mulai dari fraksi yang kecil hingga bernilai beberapa ribu.
Dengan alasan ini, telah umum digunakan bentuk logaritma (bilangan dasar
10) koefisien partisi atau log P. Ini berlaku terutama pada hubungan
kuantitatif
QSAR).

struktur-aktivitas
Pada

QSAR,

(quatitative

sifat-sifat

structur-activity

fisiko-kimia

suatu

relationship,
obat

(seperti

hidrofobisitas, interaksi sterik atau efel elektronik) diukur, dan sebuah


persamaan diturunkan, yang dapat digunakan untuk memperkirakan aktivitas
biologi, obat-obat yang serupa lainnya. Teknik QSAR menjadi populer
dengan adanya kemajuan dalam komputer yang mampu melakukan analisis
regresi ganda untuk mendapatkan persamaan yang cukup ompleks yang
diperlukan (Cairns, 2009).
Dalam mengkaji sifat-sifat di atas, maka digunakan deskriptor
deskriptor sebagai parameter terseleksi. Deskriptor merupakan sifat-sifat
alamiah yang dimiliki oleh suatu senyawa dan diperkirakan memiliki korelasi
terhadap aktivitas atau sifat-sifat kimia dan fisika senyawa tersebut. Banyak
jenis deskriptor yang telah digunakan dalam analisis QSAR, di antaranya
adalah: koefisien partisi oktanol-air (log P), muatan parsial (q), momen dwi
kutub (), konstanta Hammet (), polarisabilitas( ), berat molekul, volume
molar (Vm), dan luas permukaan van der Waals (Iswanto, 2003 dalam
Vaulina, 2006).
Nilai Log P (koefisien partisi n-oktanol air) merupakan parameter
penting dalam perancangan senyawa obat baru, karena sistem n-oktanol air
merupakan pelarut yang mirip dengan darah manusia. Semakin besar nilai

Log P, maka dapat digambarkan bahwa kelarutan senyawa tersebut di dalam


darah manusia semakin baik (Vaulina, 2006).
Besarnya senyawa yang bercampur atau larut dalam oktanol
tergantung pada koefisien partisi oktanol/air (O/A) dari senyawa tersebut.
Makin tinggi koefisien partisinya menunjukkan bahwa senyawa tersebut
semakin bersifat lipofil artinya semakin mudah terlarut dalam lemak.
Sebaliknya apabila koefisien O/A nya semakin rendah senyawa tersebut lebih
mudah larut dalam fase air atau disebut bersifat hidrofil. Dengan menghitung
besarnya cacahan radioaktivitas dalam fase oktanol dibanding dengan
radioaktivitas dalam fase air dapat diketahui koefisien partisinya, sedangkan
lipofilisitasnya dinyatakan dengan P(oct/air) yang sama dengan logaritma dari
koefisien partisi O/A (Nunn, 1992 dalam Oekar dkk, 2010).
Lipofilisitas=logP ( oct )
dimana,
P(oct )=

radioaktivitas fraksi oktanol


radioaktivitas fraksiair

Karakteristik fisiko-kimia yang diteliti dari suatu radiofarmaka adalah


nilai lipofilisitas dengan cara menentukan besarnya koefisien partisi
radiofarmaka tersebut dalam pelarut nonpolar dan polar, yang dinyatakan
dengan log Poct/air. Penentuan koefisien partisi (POc/Air) suatu radiofarmaka
adalah penting untuk mengetahui cara kerja atau untuk mengetahui akumulasi
radiofarmaka apabila telah dimasukkan ke dalam tubuh. Senyawa yang
mempunyai Poct/air tinggi artinya bersifat lipofilik dan sangat mudah
menembus lapisan lipid. Sebaliknya yang mempunyai nilai P oct/air rendah
artinya bersifat hidrofilik akan sangat mudah diekskresikan melalui ginjal.
Hal ini akan mempengaruhi sifat biologisnya seperti toksisitas dan juga akan
menentukan efek radiasi terhadap tubuh (Nogrady, 1992 dalam Oekar dkk,
2014).

Koefisien partisi lipid air dari suatu obat, yaitu rasio dari kelarutan
di dalam suatu pelarut organik terhadap kelarutan obat tersebut di dalam air.
Umumnya, semakin besar koefisien partisi dan kelarutan obat dalam lipid,
makin mudah suatu obat menembus membran sel (Staf Pengajar Departemen
Farmakologi FK UNSRI, 2009).

Gambar 1. Macam-macam rute gerakan obat melewati membran sel (sumber :


Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, 2009)
C Pengukuran Percobaan Koefisien Partisi
Koefisien partisi suatu obat yang merupakan parameter terpenting
untuk memperoleh parameter hidrofobik. Parameter hidrofobik tersebut dapat
diperoleh dengan cara pengamatan, yaitu dengan melakukan pengukuran di
laboratorium. Menurut Cairns (2009), ada tiga cara yang dapat digunakan
untuk menentukan nilai P di laboratorium kimia, yaitu metode labu kocok,
penggunaan kromatografi lapis tipis atau kromatografi cair kinerja tinggi
fase terbalik.
a

Metode labu kocok


Pada metode ini, obat yang akan ditentukan nilai P-nya
dimasukkan secara tradisional ke dalam corong pisah yang mengandung
kedua fase tidak bercampur, walaupun akan sama baiknya jika kita
menggunakan tabung sentrifus (dan memerlukan sampel yang lebih

sedikit). Kedua fase tak bercampur yang dipilih biasanya adalah 1oktanol dan larutan penyangga dengan pH 7,4. Oktanol digunakan pada
penentuan koefisien partisi karena hasil yang diperoleh memiliki korelasi
terbaik dengan data biologi yang didapatkan secara in vivo. Ini mungkin
karena kedelapan atom karbon pada dasarnya bersifat hidrofobik (atau
tidak suka air), dan satu gugus hidroksilnya bersifat hidrofilik (atau suka
air), dan secara bersama-sama memberikan keseimbangan yang paling
mendekati dengan yang ditemukan pada membran sel manusia.
Penyangga berair dengan pH 7,4 menggambarkan kompartemen berair di
dalam tubuh, misalnya plasma darah (Cairns, 2009).
Kedua fase dicampurkan untuk mendapatkan oktanol terjenuhkan
larutan penyangga pada fase bagian atas dan larutan penyangga
terjenuhkan oktanol pada fase bagian bawah. Begitu kedua fase terpisah
(dibutuhkan waktu beberapa saat), obat segera ditambahkan dan isi labu
dikocok secara mekanik selama paling tidak 1 jam. Kedua fase dibiarkan
memisah (atau disentrifuga jika sedang terburu-buru) dan kemudian
konsentrasi obat di dalam fase berair ditentukan. Ini dapat dilakukan
dengan cara titrasi jika obat tersebut cukup asam atau basa, atau yang
lebih sering digunakan secara spektrofotometri. Konsentrasi di dalam ini
bekerja dengan sangat baik jika jumlah sampel cukup dan obat memiliki
gugus kromofor untuk penetapan kadar spektroskopik fase berair (Cairns,
2009).
Hal yang penting pada jenis ekstraksi cair-cair ini bukanlah
volume fase organik, melainkan jumlah pengekstraksian yang dilakukan.
Ekstraksi 10 mL fase organik sebanyak 5 kali, akan memisahkan
senyawa yang lebih banyak dibandingkan dengan satu kali ekstraksi
volume 50 mL, walaupun volume total pelarut organik yang digunakan
sama. Sama halnya, sepuluh kali ekstraksi fase organik sebanyak 5 mL
akan lebih efisien lagi dan demikian seterusnya. Efek ini (yang umum
pada semua jenis ekstraksi) merupakan sesuatu yang masuk akal. Setiap

kali salah satu fase dipindahkan dan digantkan dengan pelarut yang baru,
kesetimbangan untuk proses partisi akan tersusun ulang sesuai dengan
perbandingan koefisien partisi, dan obat akan meninggalkan fase berair
menuju fase organik dan memperbaiki perbandingan kesetimbangan
(Cairns, 2009).
Suatu persamaan dapat diturunkan untuk menghitung peningkatan
efisiensi penggunaan ekstraksi ganda terhadap ekstraksi tunggal:
W n=W

A
PS+ A

Wn adalah massa obat yang tertinggal di dalam fase berair setelah n kali
ekstraksi, W adalah massa awal obat di dalam fase berair, A adalah
volume fase berair, S adalah volume fase pelarut (atau senyawa organik),
P adalah koefisien partisi, n adalah jumlah ekstraksi (Cairns, 2009).
b

Kromatografi lapis tipis (KLT)


Pada teknik ini, nilai Rf obat digabungkan dengan koefisien partisi
secara matematika. Plat tipis atau lembaran kertas diberi lapisan awal
dengan fase organik (biasanya parafin atau oktanol) dan dibiarkan
mengering. Sampel kemudian diletakkan pada plat dan plat dibiarkan
mengembang. Fase gerak yang digunakan, dapat berupa air atau
campuran air dengan pelarut organik yang dapat bercampur (seperti
aseton) untuk meningkatkan kelarutan obat (Cairns, 2009).
Setelah plat mengembang, bercak-bercak yang terbentuk segera
dilihat (dengan menggunakan lampu ultraviolet jika obat tersebut
memiliki gugus kromofor, atau dengan uap iodin jika obat tidak memiliki
gugus kromofor), dan Rf masing-masing bercak ditentukan. Rf adalah
hasil pembagian antara jarak perpindahan bercak dengan jarak
pengembangan pelarut, dan dituliskan dalam bentuk nilai desimal. Rf

dapat dihubungkan dengan koefisien partis melalui persamaan di bawah


ini.
P=

k
1
1
Rf

( )

K adalah tetapan untuk sistem yang digunakan, yang ditentukan dengan


menjalankan sejumlah senyawa-senyawa standar yang nilai P-nya telah
diketahui di dalam sistem dan nilai dan menghitung k (Cairns, 2009).
Metode KLT dalam penentuan nilai P memberikan hasil terbaik
pada senyawa-senyawa yang memiliki struktur dan sifat-sifat fisika yang
mirip. Keuntungan menggunakan teknik ini di dalam menentukan nilai P
adalah banyaknya senyawa yang dapat ditentukan secara bersamaan pada
satu plat, dan jumlah sampel yang diperlukan sangat sedikit. Sebaliknya,
sulit untuk menemukan standar yang sesuai, dan fase gerak berair
memerlukan waktu hingga berjam-jam untuk dapat bergerak naik pada
plat KLT yang berukuran besar (Cairns, 2009).
c

Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)


Metode analisis ini memiliki prinsip kimia yang sama dengan
metode KLT, hanya metode ini memiliki efisiensi (serta biaya) yang jauh
lebih besar. Sebagai pengganti nilai Rf, waktu retensi obat ditentukan dan
dihubungkan dengan P melalui persamaan yang sama dengan persamaan
untuk KLT. Waktu retensi, seperti namanya, adalah waktu yang
diperlukan sampel untuk terelusi dari kolom KCKT. Kelemahan utama
teknik ini di dalam menentukan nilai P adalah pendeteksian obat yang
tidak memiliki gugus kromofor ketika detektor UV tidak dapat
digunakan. Pada kasus seperti ini, hal yang harus dilakukan adalah
menghubungkan sistem KCKT dengan detektor indeks bias (refractive
index, RI) atau detektor elektrokimia (electrochemical detector, ECD).

Detektor RI bekerja berdasarkan perubahan indeks bias fase gerak ketika


zat terlarut terelusi untuk mendeteksi sinyal, sementara fungsi ECD
seperti elektroda kecil untuk mengoksidasi atau mereduksi analit pada
saat terelusi. Pada kasus lain, sebelum dilakukan penentuan nilai P, yang
harus dipertimbangkan dengan serius adalah menentukan nilai P obatobat lainnya. Oleh karena itu, jangan pernah membuat senyawa yang
tidak dapat dideteksi dengan UV. Pengoptimalan sistem KCKT dengan
RI atau ECD memerlukan waktu yang sangat lama, maka metode
pendeteksian dengan cara ini sebaiknya dihindari (Cairns, 2009).
Ada beberapa keuntungan pada penentuan P dengan metode
KCKT, yaitu tidak memerlukan sampel yang banyak dan sampel juga
tidak harus murni 100. Selain itu, apabila telah didapatkan sistem yang
lengkap, biaya penentuannya hanya sebatas pada pembelian pelarut
tingkat KCKT dan membayar biaya listrik yang digunakan (Cairns,
2009).
D Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Koefisien Partisi
Nilai koefisien partisi dapat dipengaruhi oleh hidrofilitas dan porositas
pelarut organik serta struktur atau gugus-gugus fungsi yang ada pada pelarut
organik maupun solut (Gustian et all, 2013). Nilai koefisien partisi n-oktanolair (Log P) dipengaruhi oleh substituen alkil yang membentuk gugus ester
pada rantai samping polimer (-COOR) semakin panjang rantai alkil pada R
maka nilai log P semakin besar yang berarti pula nilai kelarutan dalam air
akan semakin kecil. Hal ini juga dapat dilihat pada nilai Log Sw (kelarutan
dalam air), semakin panjang rantai alkil pada-COOR menyebabkan semakin
kecil kelarutan senyawa polimer di dalam air (Iswanto et all, 2004).
Koefisien partisi dipengaruhi oleh keadaan terion dan tidak terionnya
solute, dimana keadaan terion lebih terlarut dalam fase polar dan keadaan
tidak terion lebih terlarut dalam fase nonpolar. Diketahui bahwa membran
kulit yang berupa lipoprotein terdiri dari fase polar dan nonpolar. Keadaan

10

disosiasi solute tersebut dipengaruhi oleh pH (keasaman) sediaan obat dan


tempat berpenetrasi (Kartika, 2013).
E Hubungan Koefisien Partisi dengan Drug Delivery
Koefisien partisi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi
distribusi obat dalam tubuh. Setelah obat sampai ke peredaran darah, obat
harus menembus sejumlah sel untuk mencapai reseptor. Dimana koefisien
partisi juga menentukan jaringan mana yang dapat dicapai oleh suatu
senyawa. Senyawa yang sangat mudah larut dalam air (hidrofilik) tidak akan
sanggup melewati membran lipid untuk mencapai organ yang kaya akan lipid,
misalnya otak (Nogrady, 1992).
F Hubungan Koefisien Partisi dengan Liposom
Liposom mulai dikembangkan oleh Bangham pada tahun 1965
sebagai sistem penghantaran obat, sejak itu mulai banyak penelitian tentang
liposom yang digunakan untuk drug targeted, karena sistem ini mudah
dimodifikasi. Sistem penghantaran obat kanker dengan sistem liposom
bertarget merupakan obyek utama dalam penelitian liposom karena melalui
sistem sistemik tidak hanya bekerja di sel kanker tapi bekerja di sel lainnya.
Pada artikel ini akan mulai dibahas dengan pemahaman tentang formulasi dan
evaluasi dari sistem liposom itu sendiri (Abdassah, 2013).
a

Formulasi Liposom
Liposom adalah suatu vesikel berair yang dikelilingi oleh
membran lipid lapis ganda uni lamelar atau multilamelar (gambar 2),
terbentuk secara spontan ketika fosfolipid dihidrasi dengan sejumlah air.
Lipid lapis ganda terbentuk dengan stabil karena mempunyai tingkat
energi yang minimal. Hal tersebut disebabkan bagian hidrofil fosfolipid
menjauhi bagian lipofilik dan juga adanya interaksi van der Waals yang
kuat antar rantai asil (Ostro, 1987 dalam Abdaassah, 2013).

11

Gambar 2. Liposom (Waalkes, 1990 dalam Abdassah, 2013)


b

Kolesterol dalam Liposom


Kolesterol sering ditambahkan ke dalam komposisi liposom,
terakomodasi diantara molekul fosfolipid pada membran lipid lapis
ganda liposom dengan perbandingan 1:1. Pengaruh kolesterol terhadap
stabilitas liposom adalah untuk pengepakan barisan molekul fosfolipid
pada lipid lapis ganda liposom. Jadi molekul protein tidak mudah
berpenetrasi ke permukaan liposom ( Gregoriadis et al., 1984 dalam
Abdassah, 2013). Kolesterol dan muatan tidak hanya mempengaruhi
deret rantai asil fosfolipid tetapi juga difusi lateral dari lipid membran,
hal ini terbukti dalam deretan struktur kristal cair dengan studi EPR
(Electron Paramagnetic Resonance). Studi ini dilakukan dengan tujuan
untuk memahami sifat fisik membran dan efeknya pada sel tumor. Hal ini
penting untuk seleksi formula liposom yang optimal, misalnya penurunan
rasio kolesterol terhadap OPP (obat kanker payudara) kurang dari satu
cukup mempengaruhi karakteristik fluiditas membran dan sekaligus
mampu memperbaiki aktivitas terapi obat (Koklic, 2002 dalam Abdassah,
2013).

12

Masuknya Obat ke Dalam Liposom (Drug Loading)


Masuknya obat ke dalam liposom harus terukur dengan alat ukur.
Bila pemasukan obat kurang maka rasio obat per lipid juga kurang. Hal
ini akan berkaitan dengan pencapaian tingkat terapetik obat atau akan
memerlukan sejumlah besar lipid untuk mecapai tingkat tersebut. Bila
cara pemasukan obat tidak efisien maka akan kehilangan zat aktif selama
proses tersebut sehingga penggunaan liposom sebagai penghantar obat
menjadi tidak efisien dan tidak ekonomis (Barenholz,2003 dalam
Abdassah, 2013).
Menurut Abdassah (2013), klasifikasi obat yang dapat dimasukan
dalam liposom dilakukan berdasarkan koefisien partisi minyak/dapar dan
oktanol /dapar yaitu
1) Senyawa hidrofilik (larut air) dengan harga Kp rendah untuk
minyak/dapar dan oktanol/dapar
2) Senyawa ampifatik, yaitu Kp rendah untuk minyak/dapar dan Kp
medium sampai tinggi untuk Kp oktanol/dapar
3) Senyawa lipofilik mempunyai Kp tinggi untuk minyak/dapar
Metode pemasukan obat ke liposom dapat dilakukan dengan dua
cara:
1) Masuk ke membran liposom
2) Fase air dalam liposom
Obat yang terjerat dalam membran liposom mempunyai berat molekul
rendah dan tinggi. Obat terjerat karena terjadi interaksi hidrofobik atau
interaksi elektrostatik dan atau campuran ke duanya (Abdassah, 2013).
Obat masuk ke bagian air liposom melalui cara pasif untuk jenis
obat yang berberat molekul rendah dan tinggi. Obat yang berberat

13

molekul rendah dan terionisasi masuk secara aktif. Dengan mengetahui


koefisien partisi dapat ditetapkan cara obat masuk ke dalam liposom.
Setelah itu dapat ditetapkan jenis liposom yang digunakan (Abdassah,
2013).
Contoh liposom yang telah disetujui untuk penggunan klinik yaitu
: ampoterisin B masuk ke membran liposom (Ambisome), daunorubisin
dan doksorubisin masuk ke liposom secara aktif ke dalam fasa air
(DaunoXome dan Doxil). Setelah obat masuk, dapat dikombinasikan
dengan struktur liposom dan tempat injeksinya sehingga dapat
menentukan kecepatan pelepasan obat. Misalnya penghantaran liposom
obat melalui intravena, apabila pelepasan obat lebih lambat dibanding
eliminasi obat bebasnya maka liposom obat akan menentukan
farmakokinetik dan biodistribusi obat. Bila proses eliminasi lebih cepat
maka formulasi liposom gagal. Hal ini terjadi pada siprofloksasin yang
dimasukkan dalam stealth liposomes ( Barenholz, 2003 dalam Abdassah,
2013).
d

Preparasi Liposom
Preparasi liposom selain menggunakan metode pembuatan khusus
vesikel multi lamelar (Multi Lamelar Vesicle, MLV), vesikel unilamelar
(Single Uni lamelar Vesicle, SUV) dan vesikel uni lamelar besar (Large
Unilamelar Vesicle, LUV), juga ada metode lainnya berdasarkan teknik
pembuatan antara lain injeksi pelarut, detergen pemisah dan metode
lainnya (Abdassah, 2013).
a) Vesikel Multi Lamelar
Liposom MLV dapat dikatakan sebagai bentuk awal liposom.
Pertama kali diterangkan oleh Bangham pada tahun 1965. Preparasi
MLV dapat dibuat dengan cara yang sederhana dengan peralatan
laboratorium yang biasa. Lipid akan terdeposit dari pelarut organik
dalam bentuk lapis tipis pada permukaan dinding labu dengan

14

menggunakan alat rotari evaporator vakum. Sejumlah larutan dapar


ditambahkan dan lipid akan terhidrasi pada temperatur diatas
temperatur transisi lipidnya. Untuk meningkatkan ukuran MLV yang
reprodusibel perlu dipertahankan waktu hidrasi dan agitasi. Faktor
yang paling penting dalam preparasi MLV adalah waktu , proses
hidrasi, ketebalan lipid lapis tipis , konsentrasi , komposisi lipid dan
volume dapar. Untuk memperkecil dan menyeragamkan ukuran
liposom dapat dilakukan dengan pengocokan suspensi liposom
dengan vortex, sonikasi atau ekstrusi melalui membran filter
polikarbonat.

Teknik

ekstrusi

yang

paling

baik

untuk

menyeragamkan distribusi ukuran liposom (Knight, 1981 dalam


Abdassah, 2013).
Liposom MLV sangat cocok untuk proses enkapsulasi dari
berbagai substansi dan dapat dibuat dari berbagai macam komposisi
lipid. Teknik pembuatan liposom MLV ini merupakan metode pilihan
pada berbagai macam eksperimen pada sistem penghantaran obat.
Keterbatasan liposom MLV yaitu mempunyai kapasitas enkapsulasi
relatif rendah dibandingkan dengan LUV (Knight, 1981 dalam
Abdassah, 2013).
b) Vesikel Unilamelar
Proses sonikasi dari dispersi fosfolipid akan menghasilkan
sediaan yang jernih, adalah mikrovesikel yang mengandung lipid
lapis ganda yang menutupi fasa berair dari liposom. Struktur
hidrodinamik dari SUV telah dipelajari oleh Huang 1969, adalah
struktur liposom yang mempunyai ukuran dengan diameter minimal
20 nm. Pengukuran sifat hidrodinamik ini seperti ukuran, bentuk,
luas permukaan dan berat SUV dapat menggunakan NMR (Nuclear
Magnetic Resonance), Light scattering dan seterusnya (Knight, 1981
dalam Abdassah, 2013).

15

Preparasi SUV melalui Probe Sonicator menggunakan logam


yang dicelup pada suspensi liposom dan akan menggetarkan dispersi.
Namun logam kemungkinan akan mengkontaminasi dispersi liposom
itu sendiri. Proses sonikasi juga harus dilakukan diatas temperatur
transisi lipid yang digunakan. Bila dipanaskan di bawah temperatur
tersebut akan menyebabkan agregasi dan terjadi kerusakan pada lipid
lapis gandanya. Liposom hasil sonikasi yang berukuran 22 50 nm
sangat tergantung dari komposisi lipid, waktu sonikasi dan jumlah
kolesterol pada campuran lipid. Penambahan kolesterol dan lipid
bermuatan akan meningkatkan volume enkapsulasi. (Knight, 1981
dalam Abdassah, 2013).
c) Vesikel Unilamelar Besar
Vesikel LUV dibentuk dari emulsi fosfolipid dalam dapar
dengan kehadiran fase pelarut organik, diikuti dengan penguapan
pelarut organik tersebut di bawah tekanan vakum. Proses ini disebut
metode Evaporasi fasa Balik. Liposom LUV yang dihasilkan dengan
cara ini disebut REV (Reverse Evaporation Vesicle). Vesikel ini
mempunyai volume fasa air yang lebih besar dibanding SUV
(Knight, 1981 dalam Abdassah, 2013).
Enkapsulasi maksimum dari fasa air liposom dapat mencapai
65 %. Vesikel LUV dapat dipisahkan dari material yang tidak
terenkapsulasi dengan teknik flotasi berdasarkan perbedaan gradien
zat. Kisaran ukuran LUV sangat sensitif dengan keberadaan
kolesterol yang diinklusikan dalam lipid. Vesikel yang terbentuk dari
kolesterol/fosfolipid ( 1:1,rasio molar), volume jeratannya 0,47 um
dan berukuran 0,17 0,8 um. Preparasi REV/LUV mempunyai
kelebihan dibanding vesikel lain yaitu mempunyai daya enkapsulasi
yang tinggi dari fasa air liposom yaitu 20 60 %. Distribusi ukuran

16

LUV. untuk kebanyakan fosfolipid adalah uniform (Knight,1981


dalam Abdassah, 2013).
e

Karakterisasi Liposom
Dari aspek farmasetika, sifat fisika dan sifat kimia partikel
liposom, parameter kritis yang mempengaruhi penampilan masuknya
obat ke dalam liposom secara in vitro dan in vivo adalah ukuran, muatan
dan komposisi liposom. Jadi karakterisasi liposom meliputi (Ozer et al,
1989 dalam Abdassah, 2013):
1) Kandungan total lipid liposom
2) Ukuran dan distribusi ukuran liposom
3) Muatan liposom
4) Kadar obat dalam liposom

Kandungan Total Lipid


Penentuan kandungan total fosfolipid dalam dispersi liposom
ditentukan dengan cara penetapan kadar fosfor dari fosfolipid yang
digunakan , dengan cara mendestruksi lipid terlebih dahulu dengan asam
perklorat 70 %. Selanjutnya fosfor dideteksi dengan penambahan reagen
molibdat dan larutan vitamin C 10 % membentuk larutan berwarna
selanjutnya diukur dengan spektrofotometer pada 812 nm.( Fiske &
Subbarow). Reaksi yang terjadi setelah proses dekstruksi fosfolipid
adalah sebagai berikut
7PO43- + 12(NH4)6Mo7O24.36H2O

7(NH4)3PO4.12MoO3 + 51NH4+ + 72OH-

7(NH4)3PO4 .12MoO3 + reduktor lemah

Mo5+

(Christian,1994 dalam Abdassah, 2013)

17

Ukuran dan Distribusi Ukuran


Ukuran liposom merupakan salah satu parameter kritis terhadap
perlaku liposom in vivo karena yang berukuran kurang dari 100 nm dapat
mencapai dan dapat dinternalisasi oleh sel parenkhim hati sedangkan
untuk yang berukuran lebih dari 100 nm akan diambil oleh sel
makrophag, akhirnya akan dieksresikan dari tubuh atau terakumulasi di
organ lain.(Scherphop G.L et.al, 1987) Vesikel yang unilamelar dibagi
dalam dua kelas ukuran yaitu vesikel yang berukuran dibawah 100 nm
dikenal dengan vesikel unilamelar (SUV, Single Uni Vesicle), sedang
yang berukuran lebih dari 100 nm disebut dengan vesikel unilamelar
besar(LUV, Large Uni Vesicle). Penentuan ukuran dan distribusi ukuran
liposom dapat menggunakan peralatan sebagai berikut (Knight,1981
dalam Abdassah,2013):
a) Mikroskop elektron
b) Permeasi gel
c) Sebaran cahaya
d) Elektroforesis
e) Sedimentasi
f) Cara ekstrusi

Muatan
Kolesterol,

muatan

dan

stabilitas

sterik

PEG2000DSPE

(polyetilenglikol 2000 disteroyl phosphatidyletanolamine) berpengaruh


terhadap fluiditas membran liposom ( Koklic et .al.,2002 dalam
Abdassah, 2013). Sehingga faktor muatan liposom ini perlu diperhatikan
pada formulasi liposom terutama pada saat pemilihan fosfolipid. Muatan
liposom dapat diukur melalui harga potensial zeta. Dalam Dynamic Light

18

Scattering pengukuran potensial zeta selalu dikaitkan dengan analisis


ukuran partikel (Abdassah, 2013).
Tujuan pengukuran muatan sistem koloid pada umumnya adalah
untuk memprediksi stabilitas sistem koloid, dengan hanya pengukuran
distribusi ukuran partikel saja tidak akan mampu memprediksi kecepatan
agregasi partikel dikemudian hari. Hal ini berlaku bagi sistem liposom
agar dapat diprediksi terjadi tidaknya agregasi maupun fusi di kemudian
hari . Proses agregasi disebabkan oleh gaya van der Waals (Philiphot,
Schuber,1995 dalam Abdassah, 2013). Mekanisme fisika yang biasa
digunakan untuk menstabilkan sistem koloid adalah repulsi elektrostatik.
Partikel koloid tersebut akan menghasilkan repulsi masing masing pada
jarak tertentu. Idealnya gaya repulsif adalah sangat kuat untuk mencegah
agar tidak saling berdifusi dimana gaya atraktif dari van der Waals
mendominasi terjadinya agregasi (Nicoli, 1997 dalam Abdassah, 2013)
i

Pengendalian Mutu Bentuk Sediaan Liposom


Pengembangan formulasi liposom menghasilkan 10 produk
komersial berupa liposom dalam bentuk sediaan parenteral dan bukan
parenteral telah berhasil dipasarkan. Semua formulasi tersebut telah
memenuhi kriteria farmasetika dalam memastikan penampilan liposom,
reprodusibilitas dari bets ke bets dan stabilitas dispersi liposom telah
ditetapkan. Definisi yang diperlukan untuk karakterisasi dispersi liposom
adalah tahap praformulasi, uji klinis dan tahap akhir produk.
Karakterisasi fisika dan kimia liposom sangat kompleks, misalnya ukuran
liposom dan lamelaritas sering heterogen dan sulit dijadikan parameter
(Crommelin, 2003 dalam Abdassah, 2013). Crommelin dan Barenholz
telah membuat tabel ringkasan kontrol kualitas untuk preparasi liposom
seperti yang ditunjukkan pada tabel 1.

19

Tabel 1 : Ringkasan Pengendalian Mutu Formulasi Liposom


( Barenholz dan Crommelin, 2003 dalam Abdassah, 2013)
Jenis Pengukuran
Karakterisasi dasar
pH
Osmolaritas
Volume jeratan

Metode
pHmeter
Osmometer
Pengukuran

Konsenentrasi Fosfolipid

intraliposom
Kandungan fosfor (Barlett), KCKT,

Komposisi Fosfolipid
Komposisi rantai asil fosfolipid
Konsentrasi kolesterol
Konsentrasi senyawa aktif
Residu pelarut organik dan logam

Enzimatis
KLT, KCKT
Kromatografi gas
enzimatis, KCKT
NMR,Kromatografi gas, protokol

berat
Rasio zat aktif /fosfolipid

farmakope
Determinasi Zat aktif/konsentrasi

Lipid
(H+) atau ion sebelum dan sesudah indikator

fasa

air

Fluoresen,ESR.,

dalam

31

P-

masuk
NMR, masuk 19F-NMR
Stabilitas Kimia
Hidrolisis Fosfolipid
HPTLC, KCKT
Konsentrasi asam lemak yang tidak KCKT, enzimatis
teresterifikasi
Otooksidasi rantai asil fosfolipid

konyugasi diena, lipid peroksid,


TBARS dan komposisi asam lemak

Autooksidasi kolesterol
Degradasi Anti oksidan
Karakterisasi Fisik
Penampilan
Distribusi ukuran vesikel:
- sub mikron

(Kromatografi gas)
KLT, KCKT
KLT, KCKT

Protokol (inspeksi visual)


Dynamic Light Scattering (DLS)
Static

light

Mikroskop,
Turbidimetri

scattering(SLS)
kromatografi

gel,

20

mikron

Coulter counter, mikroskop cahaya


difraksi laser, SLS dan obkurasi
cahaya

Potensi Muatan Permukaan


pH permukaan

ikatan membran, field probe dan

Potensial Zeta
Sifat thermotropik

pH Field probe
Mobilitas elektrophoretik
DSC, NMR, Metode Fluoresen
FTIR, spektroskopi Raman, ESR,

Persen obat bebas

turbidimetri
Gel ekslusion kromatografi, Ion
exchange kromatografi, presipitasi
dengan

polielektrolit,

sentrifugasi
Penetapan Mikrobiologi
Sterilitas
Pirogenisitas

Protokol farmakope
Protokol Farmakope

ultra

21

DAFTAR PUSTAKA
Abdassah, M., 2013, Liposom Sebagai Sistem Penghantaran Obat Kanker,
Farmasi FMIPA UNPAD, Bandung
Cairns, D., 2009,Intrisari Kimia Farmasi, Edisi kedua, EGC, Jakarta
Gustian, A. R. P., M. Alauhdin dan W. Pratjojo, 2013, Sintesis dan Karakterisasi
Membran Kitosan-PEG (Polietilen Glikol) Sebagai Pengontrol Sistem
Pelepasan Obat, Indo. J. Chem. Sci. 2 (3)
Iswanto, P., I. Tahir, dan H. D. Pranowo, 2004, Kajian Hubungan Kuantitatif
Struktur Sifat Terhadap Suhu Transisi Gelas Turunan Poli(Asam Akrilat),
Prosiding Pertemuan Ilmiah Pengetahuan dan Teknologi Bahan, Serpong
Kartika, W. I., 2013, Penentuan Koefisien Partisi APMS (Asam pMetoksisinamat) Pada Berbagai pH Sebagai Studi Praformulasi Sediaan
Topikal, Universitas Airlangga, Surabaya
Nogrady, T., 1992,Kimia Medisinal Pendekatan Secara Biokimia, Edisi kedua,
Terjemahan Rasli Rasyid dan Amir Musadad, ITB, Bandung
Oekar, N. K., E. M. Widyasari dan E. Isabela, 2010, Karakteristik Fisiko-Kimia
Radiofarmaka

99m

Tc-Human Serum Albumin (HSA)-Nanosfer, Pusat

Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri, Batan, Bandung


Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya, 2009, Kumupulan Kuliah Farmakologi, Edisi kedua, EGC,
Jakarta
Vaulina, E. Dan P. Iswanto, 2006,Model QSAR Senyawa Fluorokuinolon Baru
Sebagai Zat Antibakteri Salmonella thypimurium, Jurusan Kimia FMIPA
Unsoed, Purwokerto, Vol.1. No.1:10-18

Вам также может понравиться