Вы находитесь на странице: 1из 34

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bidang farmasi berada dalam lingkup dunia kesehatan
yang berkaitan erat dengan produk dan pelayanan produk
kesehatan. Dalam bidang industri farmasi, perkembangan
teknologi farmasi sangat berperan aktif dalam peningkatan
kualitas obat-obatan. Hal ini banyak ditunjukkan dengan
banyaknya sediaan obat-obatan yang disesuaikan dengan
karasteriktik dari zat obat, kondisi pasien dan peningkatan
kualitas obat dengan meminimalkan efek samping obat
tanpa harus mengurangi atau mengganggu dari efek
farmakologis zat aktif obat (Effendi, 2004).
Seperti telah diketahui dari sediaan obat yang beredar
dan digunakan, tablet merupakan sediaan obat yang lebih
disukai oleh para dokter maupun pasien, dibandingkan
dengan bentuk sediaan lain. Hal ini disebabkan karena
disamping mudah cara pembuatan dan penggunaannya,
dosisnya lebih terjamin, relatif stabil dalam penyimpanan
karena tidak mudah teroksidasi oleh udara, transportasi dan
distribusinya tidak sulit sehingga mudah sampai kepada
pemakai.
Seorang formulator dalam industri farmasi harus bisa
membuat obat dengan kelarutan yang bagus saat obat
masuk ke dalam tubuh. Sehingga suatu tablet atau kapsul
yang telah dirancang dan telah dibuat harus diuji terlebih
dahulu sebelum dipasarkan. Terdapat beberapa uji yang
harus dilakukan setelah tablet selesai dicetak. Salah satunya
adalah uji disolusi tablet, dimana akan dilihat pelepasan
obat yang terjadi dalam tubuh apakah baik atau tidak.

Karena kelarutan obat dalam tubuh sangat mempengaruhi


dalam laju absorbsi. Apabila obat tidak mudah larut maka
laju absorbsi akan menjadi lambat. Dimana disolusi obat
adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif obat dari
bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut (Effendi,
2004).
Dalam bidang farmasi, pengetahuan tentang kecepatan
disolusi obat sangat penting jadi mahasiswa farmasi harus
mampu memahami mengenai kecepatan disolusi suatu
obat, termasuk cara-cara dalam menentukan kecepatan
disolusi suatu zat, menggunakan alat kecepatan disolusi
suatu

zat,

dan

menerangkan

faktor-faktor

yang

mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat.


Pada praktikum kali ini akan dilihat kecepatan disolusi
tablet ketokonazol yang dipengaruhi oleh salah satu faktor
yaitu

faktor

pengadukan

menggunakan

alat

disolusi

kemudian dilihat absorban tiap menitnya menggunakan


spektrofotometer UV-vis. Menurut Farmakope Indonesia edisi
IV, alat uji disolusi ada dua yaitu; alat uji disolusi tipe
keranjang (basket) dan alat uji disolusi tipe dayung (paddle).
Namun, dalam percobaan ini yang digunakan adalah alat uji
disolusi tipe dayung (paddle).
1.2 Maksud dan Tujuan
1.2.1 Maksud Percobaan
Adapun maksud dari percobaan ini adalah untuk
mengetahui dan memahami cara penentuan kecepatan
disolusi tablet yang dipengaruhi oleh pengadukan.
1.2.2 Tujuan Percobaan
Adapun tujuan dari percobaan ini yaitu:
1. Menentukan kecepatan disolusi tablet ketokonazol
2. Menggunakan alat penentu kecepatan disolusi

1.3 Prinsip Percobaan


Pada

prinsip

percobaan

ini

adalah

menentukan

konstanta kecepatan disolusi tablet ketokonazol berdasarkan


kadar yang terdisolusi dalam media disolusi HCl 0,1 N pada
suhu 37,50C dengan menggunakan alat disolusi tipe dayung,
dimana pada menit ke 5,10,15,20,25,30,35,40,45,50,55 dan
60 menit dengan pengadukan pada kecepatan 50 rpm
dengan

melihat

absorbansi

spektrofotometer Uv-vis

dengan

menggunakan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Umum
2.1.1 Definisi Tablet
Tablet adalah sediaan padat kompak, dibuat
secara kompak cetak, dalam bentuk tabung pipih atau
sirkuler, kedua permukaannya rata atau cembung,
mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau
tanpa zat tambahan (Farmakope Indonesia Ed. III; 6).
2.1.2 Disolusi Tablet
Disolusi adalah proses pelarutan senyawa aktif
dari bentuk sediaan padat dalam media pelarut.
Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah
bentuk padat atau semi padat yaitu tablet, kapsul dan
salep. Menginformasikan bahwa bentuk sediaan tablet
atau

kapsul

dapat

mengalami

disolusi,

setelah

kejadian ini berlangsung maka baru diserap ke dalam


darah

yang

selanjutnya

menimbulkan

efek

farmakologi. (Lachman, 1994).


Sejumlah metode untuk menguji disolusi dari
tablet dan granul secara in vitro dapat digunakan
metode keranjang dan dayung. Uji hancur pada suatu
tablet didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu
pecah menjadi partikel-partikel kecil, sehingga daerah
permukaan media pelarut menjadi lebih luas, dan akan
berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan
tubuh.

Namun,

sebenarnya

uji

hancur

hanya

menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk


hancur di bawah kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak
memberikan jaminan bahwa partikel-partikel itu akan

melepas bahan obat dalam larutan dengan kecepatan


yang seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan
ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh
produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat bersifat
asam yang diabsorpsi dengan mudah dalam saluran
pencernaan sering ditetapkan dengan laju larut obat
dalam tablet (Martin, 2008).
Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam
darah, maka kecepatan obat dan tablet melarut
menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut
dapat

berhubungan

(kemanjuran)

dan

langsung

perbedaan

dengan

efikasi

bioavaibilitas

dari

berbagai formula. Karena itu, dilakukannya evaluasi


mengenai apakah suatu tablet melepas kandungan zat
aktifnya atau tidak bila berada di saluran cerna,
menjadi minat utama dari para ahli farmasi (Martin,
2008).
Dalam USP cara pengujian disolusi tablet dan
sediaan padat kapsul atau tablet terdiri dari (1) motor
pengaduk dengan kecepatan yang dapat diubah, (2)
keranjang

baja

stainless

berbentuk

silinder

atau

dayung untuk ditempelkan ke ujung batang pengaduk,


(3) bejana dari gelas, atau bahan lain yang inert dan
transparan dengan volume 1000 mL, bertutup sesuai
dengan

di

tengah-tengahnya

ada

tempat

untuk

menempelkan pengaduk, dan ada lubang tempat


masuk pada 3 tempat, dua untuk memimdahkan
contoh dan satu untuk menempatkan termometer, dan
(4)

penangas

air

yang

sesuai

untuk

temperatur pada media disolusi (Ansel, 1989).

menjaga

Dengan bertambahnya perhatian pada pengujian


disolusi dan penentuan bioavabilitas dari obat dengan
bentuk sediaan padat menuju pada pendahuluan dari
sistem yang sempurna bagi analisis dan pengujian
disolusi tablet (Ansel, 1989).
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat
tersebut harus larutan dalam cairan pada tempat
absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan
secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak
dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut
dalam cairan

pada suatu tempat dalam saluran

lambung-usus. Dalam hal dimana kelarutan suatu obat


tergantung dari apakah medium asam atau medium
basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut
dalam

lambung

dan

dalam

usus

halus.

Proses

melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1989).


Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya
dimasukkan dalam saluran cerna, obat tersebut mulai
masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau
tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat
juga mengalami disintegrasi menjadi granul-granul,
dan granul-granul ini mengalami pemecahan menjadi
partikel-partikel halus. Disintegrasi, deagregasi dan
disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan
melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat
tersebut diberikan (Martin, 1993).
Mekanisme

disolusi,

tidak

dipengaruhi

oleh

kekuatan kimia atau reaktivitas partikel-partikel padat


terlarut ke dalam zat cair, dengan mengalami dua
langkah berturut-turut (Gennaro, 1990):

a. Larutan

dari

zat

padat

pada

permukaan

membentuk lapisan tebal yang tetap atau film


disekitar partikel
b. Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat
cair
Langkah pertama, larutan berlangsung sangat
singkat. Langkah kedua, difusi lebih lambat dan karena
itu adalah

langkah terakhir.

Adapun mekanisme

disolusi dapat digambarkan sebagai berikut:

Lapisan film (h)


dgn konsentrasi
Krist
al
Massa larutan
dengan konsentrasi
Difusi layer model (theori film)
Pada

waktu

suatu

partikel

obat

mengalami

disolusi, molekul-molekul obat pada permukaan mulamula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu
lapisan

jenuh

obat-larutan

yang

membungkus

permukaan partikel obat padat. Lapisan larutan ini


dikenal sebagai lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini,
molekul-molekul obat keluar melewati cairan yang
melarut dan berhubungan dengan membran biologis
serta absorbsi terjadi. Jika molekul-molekul obat terus
meninggalkan larutan difusi, molekul-molekul tersebut
diganti dengan obat yang dilarutkan dari permukaan
partikel obat dan proses absorbsi tersebut berlanjut
(Martin, 1993).

Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat


tertentu

adalah

cepat,

sebagai suatu larutan

atau

jika

obat

diberikan

dan tetap ada dalam tubuh

seperti itu, laju obat yang terabsorbsi terutama akan


tergantung
menembus
disolusi

pada

kesanggupannya

pembatas

membran.

menembus

Tetapi,

jika

laju

untuk suatu partikel obat lambat, misalnya

mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk


dosis yang diberikan , proses disolusinya sendiri akan
merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses
absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak hanya
bisa diabsorbsi pada suatu laju rendah, obat-obat
tersebut mungkin tidak seluruhnya diabsorbsi atau
dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi
setelah

pemberian

ora,

karena

batasan

waaktu

alamiah bahwa obat bisa tinggal dalam lambung atau


saluran usus halus (Martin, 1993).
Pemikiran awal dilakukannya uji hancurnya tablet
didasarkan pada kenyataan bahwa tablet itu pecah
menjadi lebih luas dan akan berhubungan dengan
tersedianya obat di dalam cairan tubuh. Namun
sebenarnya uji hancur hanya waktu yang diperlukan
tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan
dan lewatnya partikel melalui saringan. Uji ini tidak
memberi jaminan bahwa partikel-partilkel tersebut
akan melepas bahan obat dalam larutan dengan
kecepatan yang seharusnya. Untuk itulah sebabnya uji
disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi hampir
seluruh produk tablet (Martin, 1993).

Diperkirakan bahwa pelepasan paling langsung


obat dari formula tablet diperoleh dengan mengukur
bioavaibilitas in vivo. Ada berbagai alasan mengapa
penggunaan in vivo menjadi sangat terbatas, yaitu
lamanya waktu yang diperlukan untuk merencanakan,
melakukan,

dan

mengitepretasi;

tingginya

keterampilan yang diperlukan bagi pengkajian pada


manusia; ketepatan yang rendah serta besarnya
penyimpangan

pengukuran;

besarnya

biaya

yang

diperlukan; pemakaian manusia sebagai obyek bagi


penelitian

yang

nonesensial;

dan

keharusan

menganggap adanya hubungan yang sempurna antara


manusia yang sehat dan tidak sehat yang digunakan
dalam uji. Dengan demikian, uji disolusi secara in vitro
dipakai dan dikembangkan secara luas, dan secara
tidak langsung dipakai untuk mengukur bioavabilitas
obat, terutama pada penentuan pendahuluan dari
faktor-faktor

formulasi

dan

berbagai

metoda

pembuatan yang tampaknya akan mempengaruhi


bioavaibilitas. Seperti pada setiap uji in vitro, sangat
penting untuk menghubungkan uji disolusi dengan tes
bioavaibilitas in vitro (Ansel, 1989).
2.1.3 Faktor faktor yang Mempengaruhi Kecepatan
Disolusi
Terdapat

beberapa

faktor

yang

dapat

mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat, antara


lain (Prasetya dkk., 2012):
1. Suhu
Meningkatnya
memperbesar

suhu

kelarutan

umumnya
(Cs)

suatu

dapat
zat

yang

bersifat endotermik serta memperbesar harga

10

koefisien difusi zat. Menurut Einstein, koefisien


difusi dapat dinyatakan melalui persamaan sebagai
berikut :
D

kT
6 r

Dimana:
D

: koefisien difusi

: konstanta Boltzman (13,8 x 10 -24 J/atom K)

: suhu

: jari-jari molekul

: viskositas pelarut

2. Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar
kecepatan disolusi suatu zat. Hal ini sesuai dengan
persamaan

Einstein.

menurunkan

Meningkatnya

viskositas

dan

suhu

juga

memperbesar

kecepatan disolusi.
3. pH Pelarut
Kelarutan zat aktif yang bersifat asam lemah
dan basa lemah dipengaruhi oleh pH pelarut. Suatu
senyawa asam lemah akan memiliki kelarutan
yang lebih besar pada pelarut dengan pH tinggi.
Demikian

dengan

senyawa

basa

lemah

akan

memiliki kelarutan yang lebih besar dalam pelarut


dengan

pH

rendah.

Hal

ini

sesuai

dengan

persamaan untuk masing-masing senyawa, yaitu :


1) Asam lemah
dc
Ka
K .S .Cs(1 )
dt
H

11

Jika

(H+)

kelarutan

zat

kecil

atau

akan

pH

besar

meningkat

maka

sehingga

kecepatan disolusi zat juga meningkat.


2) Basa lemah
dc
Ka
K .S .Cs(1 )
dt
H

Jika

(H+)

kelarutan

zat

besar

atau

akan

pH

kecil

meningkat

maka

sehingga

kecepatan disolusi juga meningkat.


4. Kecepatan pengadukan
Kecepatan
pengadukan

mempengaruhi

kecepatan disolusi beberapa jenis zat. Pada zat


yang mudah menggumpal setelah menjadi partikel,
maka kecepatan pengadukan yang tinggi akan
mencegah

terjadinya

agregat

sehingga

pengukuran konsentrasi terdisolusi akan lebih baik.


Kecepatan pengadukan juga mempengaruhi tebal
lapisan

disolusi

menyebabkan

(h).

tipisnya

Pengadukan
lapisan

yang

difusi

cepat

sehingga

kecepatan disolusi akan meningkat.


5. Ukuran Partikel
Ukuran partikel juga mempengaruhi kecepatan
disolusi. Semakin kecil ukuran partikel zat maka
luas permukaan efektif semakin besar sehingga
kecepatan disolusi meningkat.
6. Polimorfisme
Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh
adanya polimorfisme. Struktur internal zat yang
berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan
yang berbeda juga. Kristal meta stabil umumnya
lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya,
sehingga kecepatan disolusinya besar.
7. Sifat Permukaan Zat

12

Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai


bahan obat sifatnya hidrofob. Adanya surfaktan di
dalam pelarut menyebabkan tegangan permukaan
antar partikel zat dengan pelarut akan menurun
sehingga zat mudah terbasahi. Akibatnya, kecepatan
disolusinya bertambah.
2.1.4 Teori Kecepatan Disolusi
Laju dimana suatu padatan melarut di dalam suatu
pelarut

setelah

diajukan

dalam

batasan-batasan

kuantitatif. Oleh Noyes dan Whitney pada tahun 1897


dan telah dikerjakan dengan teliti oleh peneliti-peneliti
lain,

persamaan tersebut bisa

dituliskan sebagai

berikut (Martin,1993):
dm
Ds
dt = h (c3-t)

Atau:
dt
Ds
h = Vh (C3-C)

Dimana M adalah massa terlarut yang dilarutkan pada


dm
waktu t. dt adalah koefisien laju disolusi dari massa tersebut

(massa/waktu) D adalah koefisien difusi dari zat terlarut dalam


larutan.h ketebalan lapis difusi, C3 kelarutan dari zat padat,
yakni konsentrasi larutan jenuh dari senyawa tersebut pada
temperature percobaan. Dan C adalah konsentrasi zat terlarut
dc
pada waktu t. Besarnya dt adalah laju disolusi dan K adalah

volume larutan.

13

Laju disolusi bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya


dimasukkan ke dalam beaker yang berisi air atau dimasukkan
ke dalam saluran cerna (saluran gastrointestinum), obat
tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya.
Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer. Matriks dapat juga
mengalami disintegrasi menjadi granul-granul. Dan granulgranul ini mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel
yang halus. Disintegrasi dengan segala dan disolusi bisa
berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat
dari bentuk dimana obat tersebut diberikan. Tahapan-tahapan
ini dipisahkan agar lebih jelas seperti dapat dilihat pada
gambar (Martin,1993).
TABLET
ATAU KAPSUL

Disintegrasi
Absorbsi
GRANUL ATAU
AGREGAT

OBAT LARUT
DALAM LARUTAN
(in vitro atau in
vivo)

(in vivo)

OBAT DALAM
DARAH, CAIRAN
TUBUH LAINNYA
DAN JARINGAN

Deagregasi
PARTIKELPARTIKEL
HALUS

2.2 Uraian Bahan


1. Alkohol (Dirjen POM, 1979; Dirjen POM, 1995)
Nama resmi
: Aethanolum
Nama lain
: Etanol
RM/BM
: C2H6O/46,07
Rumus struktur :
H H
H C C H OH
Pemerian

H H
: Cairan mudah menguap, jernih, tidak berwarna,
baunya khas dan menyebabkan rasa terbakar pada

14

lidah. Mudah menguap walaupun pada suhu rendah


dan mendidih pada suhu 78 C. Mudah terbakar.
Kelarutan

: Bercampur dengan air dan

praktis

bercampur

dengan semua pelarut organik.


Khasiat

: Zat tambahan

Kegunaan

: Membersihkan alat yang akan digunakan dari


jamur,

bakteri,

air

maupun

minyak

yang

menempel.
Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup rapat, jauh dari api

2. HCL (Dirjen POM, 1979; Dirjen POM, 1995).


Nama resmi

: Acidum Hydrochloridum

Nama lain

: Asam klorida

BM / RM

: 36,46 g/mol/ HCl

Pemerian

: Cairan tidak berwarna; berasap; bau merangsang.


Jika diencerkan dengan 2 bagian air, asao dan bau
hilang.

Kegunaan

: Sebagai reagen (pereaksi)

Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup rapat

3. Ketokonazol (Martindale, 539 ; Dirjen POM, 486)


Nama Resmi
: Ketokonazolum
Nama lain
: Ketokonazole, ketokonaksoli, ketokonazolas
RM/BM
: C26H28Cl2N202 / 531,44
Rumus Struktur
:

Pemerian
Kelarutan

: Berupa serbuk putih berupa abu-abu


: Praktis tidak larut dalam air, ketokonazole
mempunyai Pka 2,0 hingga 5,6: larut dalam atau
kloroform. Sedikit llarut dalam alkohol, mudah
larut dalam diclorometana, larut dalam metil

Stabilitas
Inkompatibilitas

alkohol.
: Ketokonazole harus dilindingi dari kelembaban
: Ketokonazole tidak kompatibel dengan obat-obat
yang dapat menguragi keasaman lambung, seperti

15

antimuskarinitas, antasida, histamn H2 antagonis,


dan

inhibitor

pompa

proton

karena

dapat

mengurangi penyerapan ketokonazole. Penyerapan


ketokonazole juga mungkin dikuranggi dengan
sukralfat,
rimpafisi,
Kegunaan
Penyimpanan

obat-oat

enzim

ketokonazole

yang

menghambat

menghambat

oksidasi tertentu terutama itrakonazole.


: Sebagai zat aktif
: Dalam wadah tertutup baik

enzim

16

BAB III
METODE KERJA
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
1. Botol vial
2. Disposeble
3. Gelas kimia
4. Gelas ukur
5. Labu disolusi
6. Lap halus
7. Lap kasar
8. Stirer tipe dayung
9. Spektrofotometer Uv-Vis
10.
Waterbath
3.1.2 Bahan
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Air bebas CO2


Alkohol 70%
Alumunium foil
HCl 0,1 N
Tablet ketokonazol
Tissue

3.2 Cara Kerja


3.2.1 Pembuatan Air Bebas CO2
1. Dimasukkan air sebanyak 1000 mL kedalam gelas kimia
2. Ditutup dengan aluminium foil
3. Dipanaskan menggunakan penangas air hingga mendidih
4. Setelah itu didinginkan
3.2.2 Pembuatan Larutan Baku HCl 0,1 N
1. Dilarutkan 3,647 g HCl dalam 1000 mL air bebas CO2
2. Didinginkan larutan hingga suhu kamar
3.2.3 Proses Penetapan Kadar
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.


Diisi labu disolusi dengan 900 mL air bebas CO2.
Diatur waterbath pada temperatur 37,5C.
Dimasukkan tablet ketokonazol 294 mg
Dijalankan motor penggerak dengan kecepatan 50 rpm.
Diambil sebanyak 10 mL dari labu disolusi menggunakan
disposeble setiap selang waktu 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45,

17

50, 55 dan 60 menit pada saat pengadukan. Setiap selesai


pengambilan sampel segera diganti dengan 10 mL air.
7. Dimasukkan 10 mL sampling ke dalam botol vial
8. Diukur absorban menggunakan spektrofotometer Uv-vis

18

BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
4.1

Hasil Pengamatan
ppm

10

0,396

20

0,463

30

0,646

a= 0,25
b= 0,012
r = 0,966
y=

0,012x + 0,25

X
Sebelum
Dikoreksi

10,0

812,5

x
Sesuda
h
Dikorek
si
812,5

10

4,007

313,08

322,108

222 mg

62,9%

15

4,173

326,9

339,058
8

222 mg

65,5%

20

4,465

351,25

366,667
8

222 mg

60,5%

25

3,697

287,25

306,179
5

222 mg

72,5%

30

3,866

301,3

323,102

222 mg

68,7%

35

4,207

329,75

354,565

222 mg

62,5%

40

4,198

329

357,112
5

222 mg

62,1%

45

5,013

396,9

428,302
5

222 mg

51,8%

50

3,714

288,7

324,071
5

222 mg

68,5%

55

3,812

296,83

335,088

222 mg

66,2%

Konsentr
asi
Maksimu
m

%
Kadar
Terdisol
usi

222 mg

27,3%

19

5
60

10,0

812,5

Keterangan : A

853,726
8

26%

222 mg

= absorban

t = waktu
x = konsentrasi

Profil Disolusi Tablet Ketokonazol


80.0%
70.0%
60.0%
50.0%
% Terdisolusi

40.0%
30.0%
20.0%
10.0%
0.0%
5

10

15

20

25

30

35

Waktu (menit)

62,9

65,5

72,5 68,7
68,5
62,5 62,1

66,2

60,5
51,8
27,3

26%

40

45

50

55

60

20

Gambar 4.1.5 Persentase Kecepatan Disolusi


4.1.1 Perhitungan x sebelum koreksi
1. C1 = t5
y

= bx + a

10,0

= 0,012x + 0,025

10,0-0,25

= 0,012x

9,75

= 0,012x

9,75
= 0,012

= 812,5

2. C2 = t10
y

= bx + a

4,007

= 0,012x + 0,025

4,007-0,25

= 0,012x

3,757

= 0,012x

3,757
= 0,012

= 313,08

3. C3 = t15
y

= bx + a

4,173

= 0,012x + 0,025

4,173-0,25

= 0,012x

3,923

= 0,012x

3,923
= 0,012

= 326,9

4. C4 = t20
y

= bx + a

21

4,465

= 0,012x + 0,025

4,465-0,25

= 0,012x

4,215

= 0,012x

4,215
= 0,012

= 351,25

5. C5 = t25
y

= bx + a

3,697

= 0,012x + 0,025

3,697-0,25

= 0,012x

3,447

= 0,012x

3,447
= 0,012

= 287,25

6. C6 = t30
y

= bx + a

3,866

= 0,012x + 0,025

3,866-0,25

= 0,012x

3,616

= 0,012x

3,616
= 0,012

= 301,3

7. C7 = t35
y

= bx + a

4,207

= 0,012x + 0,025

4,207-0,25

= 0,012x

3,957

= 0,012x

3,957
= 0,012

= 329,75

22

8. C8 = t40
y

= bx + a

4,198

= 0,012x + 0,025

4,198-0,25

= 0,012x

3,948

= 0,012x

3,948
= 0,012

= 329

9. C9= t45
y

= bx + a

5,013

= 0,012x + 0,025

5,013-0,25

= 0,012x

4,763

= 0,012x

4,763
= 0,012

= 396,9

10.

C10 = t50
y

= bx + a

3,714

= 0,012x + 0,025

3,714-0,25

= 0,012x

3,464

= 0,012x

3,464
= 0,012

= 288,7

11.

C11 = t55
y

= bx + a

3,812

= 0,012x + 0,025

3,812-0,25

= 0,012x

3,562

= 0,012x

23

3,562
= 0,012

= 296,83

12.

C12 = t60
y

= bx + a

10,0

= 0,012x + 0,025

10,0-0,25

= 0,012x

9,75

= 0,012x

9,75
= 0,012

= 812,5

4.1.2 Perhitungan x sesudah koreksi (faktor koreksi)


1. t
= 5 menit
x1 = C1
x1 = 812,5
2. t
= 10 menit
V yang diambil

x C1

V medium

x2 = C2 +
x2
x2
x2
3. t

=
=
=
=

x3

x3
x3
x3
4. t

=
=
=
=

x4 =

10

x 812,5

313,08 + 900
313,08 + (9,028)
322,108
15 menit
V yang diambil
V yang diambil

x C1
x C2

V medium
V medium

C3 +
10
10

x 812,5
x 313,08

900

326,9 + 900
313,08 + (9,028 + 3,1308)
339,0588
20 menit
V yang diambil
V yang diambil
x C1
x C2

V
medium
V
medium

C4 +
+
V yang diambil

x C3
V medium

24

x4
x4
x4
5. t

=
=
=
=

x5 =

x5

10
10
10

x 812,5
x 313,08
x 326,9

900
900

351,25 + 900
351,25 + (9,028 + 3,1308 + 3,269)
366,6678
25 menit
V yang diambil
V yang diambil
x C1
x C2

V
medium
V
medium

C5 +
+

V yang diambil
V yang diambil

x C3
x C4
V medium
V medium

10
10
10
x 812,5
x 313,08
x 326,9

900
900
900

= 287,25 +

x5
x5
6. t

=
=
=

x6 =

X6

x6

10

x 351,25
900

287,25 + (9,028 + 3,1308 + 3,269 + 3,5125)


306,1795
30 menit
V yang diambil
V yang diambil
x C1
x C2

V medium
V medium
C6 +
+

V yang diambil
V yang diambil
x C3
x C4
V medium
V medium
V yang diambil

x C5
V medium

10
10
10
x 812,5
x 313,08
x 326,9

900
900
= 301,3 + 900
+
10
10

x 351,25
x 351,25
900
900

= 287,25 + (9,028 + 3,1308 + 3,269 + 3,5125

+ 3,5125)
x6 = 323,102
7. t
= 35 menit
V yang diambil
V yang diambil
x C1
x C2

V
medium
V
medium

x7 = C7 +
+

V yang diambil
V yang diambil
x C3
x C4
V medium
V medium

25

x7

V yang diambil
V yang diambil

x C5
x C6
V medium
V medium

10
10
10
x 812,5
x 313,08
x 326,9

900
900
900

= 329,75 +

x7
x7
8. t
x8

X8

X8

10
10
10

x 351,25
x 351,25
x 301,3
900
900
900

= 329,75 + (9,028 + 3,1308 + 3,269 + 3,5125

+ 3,5125 + 2,8725)
= 354,565
= 40 menit
V yang diambil
V yang diambil
x C1
x C2

V medium
V medium
= C8 +
+

V yang diambil
V yang diambil
x C3
x C4
V medium
V medium
V yang diambil
V yang diambil
x C5
x C6
V medium
V medium
+
V yang diambil

x C7
V medium

10
10
10
x 812,5
x 313,08
x 326,9

900
900
= 329 + 900
+
10
10
10
10

x 351,25
x 351,25
x 301,3
x 329,75
900
900
900
900

= 329 + (9,028 + 3,1308 + 3,269 + 3,5125 +

3,5125 + 2,8725 + 3,2975)


X8 = 357,1125
9. t
= 45 menit
V yang diambil
V yang diambil
x C1
x C2

V
medium
V
medium

x9 = C9 +
+

V yang diambil
V yang diambil
x C3
x C4
V medium
V medium
V yang diambil
V yang diambil
x C5
x C6
V medium
V medium
+
V yang diambil
V yang diambil

x C7
x C8
V medium
V medium

26

X9

X9
X9
10.
x10

X10

X10
X10
11.
x11

10
10
10
x 812,5
x 313,08
x 326,9

900
900
= 396,9 + 900
+
10
10
10
10
x 351,25
x 351,25
x 301,3
x 329,75
900
900
900
900
10

x 329
900

= 396,9 + (9,028 + 3,1308 + 3,269 + 3,5125 +

3,5125 + 2,8725 + 3,2975 + 3,29)


= 428,3025
t
= 50 menit
V yang diambil
V yang diambil
x C1
x C2

V
medium
V
medium

= C10 +
+

V yang diambil
V yang diambil
x C3
x C4
V medium
V medium
V yang diambil
V yang diambil
x C5
x C6
V medium
V medium
+
V yang diambil
V yang diambil
x C7
x C8
V medium
V medium
V yang diambil

x C9
V medium

10
10
10
x 812,5
x 313,08
x 326,9

900
900
= 288,7 + 900
+
10
10
10
10
x 351,25
x 351,25
x 301,3
x 329,75
900
900
900
900
10
10

x 329
x 396,9
900
900

= 288,7 + (9,028 + 3,1308 + 3,269 + 3,5125 +


3,5125 + 2,8725 + 3,2975 + 3,29 + 3,969)
= 324,0715
t
= 55 menit
V yang diambil
V yang diambil
x C1
x C2

V
medium
V
medium

= C11 +
+

V yang diambil
V yang diambil
x C3
x C4
V medium
V medium
V yang diambil
V yang diambil
x C5
x C6
V medium
V medium
+

27

X11

V yang diambil
V yang diambil
x C7
x C8
V medium
V medium
V yang diambil
V yang diambil

x C9
x C10
V medium
V medium

10
10
10
x 812,5
x 313,08
x 326,9

900
900
900

= 296,83 +

X11

10
10
10
10
x 351,25
x 351,25
x 301,3
x 329,75
900
900
900
900
10
10
10

x 329
x 396,9
x 288,7
900
900
900

= 288,7 + (9,028 + 3,1308 + 3,269 + 3,5125 +


3,5125 + 2,8725 + 3,2975 + 3,29 + 3,969 +

X11
12.
x12

X12

2,887)
= 335,0885
t
= 60 menit
V yang diambil
V yang diambil
x C1
x C2

V medium
V medium
= C12 +
+

V yang diambil
V yang diambil
x C3
x C4
V medium
V medium
V yang diambil
V yang diambil
x C5
x C6
V medium
V medium
+
V yang diambil
V yang diambil
x C7
x C8
V medium
V medium
V yang diambil
V yang diambil
x C9
x C10
V medium
V medium
V yang diambil

x C11
V medium

10
10
10
x 812,5
x 313,08
x 326,9

900
900
= 812,5 + 900
+
10
10
10
10
x 351,25
x 351,25
x 301,3
x 329,75
900
900
900
900
10
10
10
10

x 329
x 396,9
x 288,7
x 296,83
900
900
900
900

28

X12 = 812,5 + (9,028 + 3,1308 + 3,269 + 3,5125 +


3,5125 + 2,8725 + 3,2975 + 3,29 + 3,969 +
X12

2,887 + 2,9683)
= 853,7268

4.1.4 Perhitungan Konsentrasi Maksimum


200 mg
900 mL x 1000 mL = 222 mg

4.1.5 Perhitungan Kadar Terdisolusi (%)


1.t = 5 menit
222
% terdisolusi = 812,5 x 100%
= 27,3%
2.t = 10 menit
222
% terdisolusi = 322,108 x 100%
= 62,9%
3.t = 15 menit
222
% terdisolusi = 339,0588 x 100%
= 65,5%
4.t = 20 menit
222
% terdisolusi = 366,6678 x 100%
= 60,5%
5.t = 25 menit
222
% terdisolusi = 306,1795 x 100%
= 72,5%
6.t = 30 menit
222
% terdisolusi = 323,102 x 100%
= 68,7%

29

7.t = 35 menit
222
% terdisolusi = 354,565 x 100%
= 62,6%
8.t = 40 menit
222
% terdisolusi = 357,1125 x 100%
= 62,1%
9.t = 45 menit
222
% terdisolusi = 428,3025 x 100%
= 51,8%
10.
t = 50 menit
222
% terdisolusi = 324,0715 x 100%
= 68,5%
11.
t = 55 menit
222
% terdisolusi = 335,0885 x 100%
= 66,2%
12.
t = 60 menit
222
% terdisolusi = 853,7268 x 100%
= 26%

4.2 Pembahasan
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa
aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut.
Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena

30

ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan


zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum
diserap ke dalam tubuh. Laju disolusi adalah jumlah zat aktif
dalam sediaan padat yang melarut dalam waktu tertentu
(Ansel, 1989).
Kecepatan

disolusi

sediaan

sangat

berpengaruh

terhadap respon klinis dari kelayakan sistem penghantaran


obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif
yang

dikandung

berpengaruh

oleh

terhadap

sediaan

obat

kecepatan

tertentu,
dan

dimana
besarnya

ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin


cepat, maka absorbsi makin cepat (Anief, 1997).
Pada percobaan ini diggunakan tablet ketokonazol 294
mg. Digunakan tablet ketokonazol 294 mg karena masih
memenuhi

syarat

keseragaman

bobot

dari

tablet

ketokonazol. Pemerian ketokonazol berupa serbuk putih berupa


abu-abu dan memiliki Kelarutan praktis tidak larut dalam air, ketoconazole
mempunyai pka 2,0 hingga 5,6: larut dalam atau kloroform. Sedikit larut
dalam alkohol, mudah larut dalam diklorometana, larut dalam metil alcohol
(Dirjen POM, 1995).
Menurut Jurnal Sadeghnia dan Khayyat, medium disolusi tablet
ketokonazol menggunakan alat disolusi tipe 2 (dayung), kecepatan rotasi 50
rpm dalam 900 ml HCl 0,1 N, dengan suhu 37 0,5 C. Menurut
Farmakope Indonesia Edisi IV, pada alat ini digunakan dayung yang terdiri
dari daun dan batang sebagai pengaduk. Jarak antara daun dan dasar labu
disolusi adalah 25 mm 2 mm. Digunakan tipe 2 karena tablet ketokonazol
memiliki berat jenis yang tinggi sehingga tidak memerlukan alat keranjang
untuk menahan agar tablet tidak mengapung ke atas. Kecepatan rotasi 50
rpm menggambarkan gerakkan lambung yang terjadi setiap menitnya.
Menurut Lachman, et al. 1994, pengadukan di atas 100 rpm tidak
menghasilkan data yang dapat dipakai untuk membeda-bedakan hasil

31

kecepatan melarut. Bilamana ternyata bahwa kecepatan pengadukan perlu


lebih dari 100 rpm maka lebih baik untuk mengubah medium daripada
menaikkan rpm. Walaupun 4% penyimpangan masih diperbolehkan,
sebaiknya dihindarkan dan 900 ml HCl 0,1 N menggambarkan kondisi
lingkungan lambung dengan pH asam 1,2.
Tahap pertama adalah pembuatan kurva kalibrasi ketokonazol. Kurva
baku dibuat dengan mengukur absorbansi larutan ketokonazol dengan
konsentrasi 10, 20, dan 30 ppm pada. Hal ini dikarenakan pada rentang
konsentrasi tersebut memberikan absorbansi antara 0,2 hingga 0,8. Tujuan
kalibrasi adalah untuk meminimalkan kesalahan pengukuran karena didalam
tablet ketokonazol terdiri dari bahan tambahan lain sehingga kemugkinan
akan mengganggu pembacaan konsentrasi zat aktif ketokonazol. Hasil
pengukuran dapat dikaitkan atau ditelusur sampai ke standar yang lebih
teliti atau tinggi (standar primer nasional atau internasional) melalui
rangkaian perbandingan yang tidak terputus, dalam artian standar ukur itu
akan lebih baik apabila berupa standar yang rantainya mendekati SI
sehingga tingkat ketidakpastian (error) makin kecil. Berdasarkan data yang
diperoleh, pada konsentrasi 10 ppm absorbansinya sebesar 0,396,
konsentrasi 20 ppm absorbansinya sebesar 0,463, dan konsentrasi 30 ppm
absorbansinya sebesar 0,646. Dengan demikian semua hasil absorbansi
ketokonazol yang diperoleh telah memenuhi syarat Hukum Lambert-Beer
(Absorbansi= 0,2 0,8). Sehingga diperoleh persamaan garis lurusnya
adalah y = 0,012x 0,25 dengan r = 0,966.
Tahap kedua adalah pembuatan medium disolusi dari tablet
ketokonazol. Dilarutkan 3,647 mg HCl 0,1 N dalam 1000 mL air bebas CO 2.
Tahap terakhir adalah pengujian disolusi. Uji ini dilakukan dengan
memasukkan 900 mL HCl 0,1 sebagai media disolusi ke dalam labu disolusi
dan suhu diatur pada 37. Setelah temperatur stabil, tablet ketokonazol
dimasukkan pada labu disolusi, dan alat uji disolusi dijalankan dengan
kecepatan 50 rpm. Diambil 10 mL pada menit ke 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35,
40, 45, 50, 55 dan 60. Setiap pengambilan, volume yang terambil digantikan

32

dengan medium yang baru yang sama. Hal ini dimaksudkan agar pengujian
disolusi berada di bawah kondisi sink atau kondisi pengujian tanpa adanya
pengaruh gradien konsentrasi. Pengambilan dilakukan dengan menggunakan
spoid yang dihubungkan dengan filter holder. Filter holder bertujuan untuk
menghindari molekul-molekul ketokonazol yang tidak larut ikut terambil
yang dapat mempengaruhi hasil pengujian karena konsentrasinya dapat
berubah. Kemudian larutan yang diambil tersebut diukur kadarnya dengan
menggunakan spektrofotometer UV-Vis.
Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan persentase
kecepatan disolusi dari tablet ketokonazol adalah pada
menit ke-5 27,3%, menit ke-10 62,9%, menit ke-15 65,5%,
menit ke-20 60,5%, menit ke-25 72,5%, menit ke-30 68,7%,
menit ke-35 62,5%, menit ke-40 62,1%, menit ke-45 51,8%,
menit ke-50 68,5%, menit ke-55 66,2% dan menit ke-60
26%. Persentase kecepatan disolusi tablet ketokonazol
mengalami naik turun pada menit ke 5 hingga menit ke 60.
Persentase kecepatan disolusi maksimum terjadi pada menit
ke 25 dan dimenit berikutnya mengalami penurunan. Hal ini
dikarenakan konsentrasi larutan ketokonazol telah jenuh.
Larutan jenuh adalah larutan yang telah mengandung zat
terlarut dalam jumlah maksimal, sehingga tidak dapat
ditambahkan lagi zat terlarut. Pada keadaan ini terjadi
kesetimbangan antara solut yang larut dan yang tak larut
atau

kecepatan

pelarutan

sama

dengan

kecepatan

pengendapan. Dimana Pada saat melarutnya zat padat di


sekelilingnya akan terbentuk lapisan tipis dari larutan
jenuhnya, dari lapisan ini akan terjadi difusi ke bagian sisi
larutan di sekitarnya (Lachman, et al, 1994).
Namun menurut The United State Pharmacopeial,
waktu

yang

diperlukan

untuk

menguji

disolusi

tablet

ketokonazol adalah selama 30 menit. Hal ini disebabkan

33

karena adanya beberapa kesalahan pada saat praktikum


diantaranya: pemipetan yang salah, pengambilan cuplikan
ditempat yang berbeda-beda dan waktu pengambilan yang
tidak tepat dan seharusnya setiap akan mengganti sampel
dengan konsentrasi yang berbeda, kuvet hendaknya dibilas
dengan pelarut sampel agar tidak ada sisa sampel yang
sebelumnya

yang

dapat

mempengaruhi

nilai

dari

absorbansi.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan

percobaan

yang

telah

dilakukan

persentase kadar terdisolusi tablet ketokonazol diperoleh:


pada menit ke-5 27,3%, menit ke-10 62,9%,

menit ke-15

65,5%, menit ke-20 60,5%, menit ke-25 72,5%, menit ke-30


68,7%, menit ke-35 62,5%, menit ke-40 62,1%, menit ke-45
51,8%, menit ke-50 68,5%, menit ke-55 66,2% dan menit ke60 26%. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan tween 80
1%

dapat

meningkatkan

kelarutan

tablet

ketokonazol

setelah dilakukan uji disolusi.


5.2 Saran
V.2.1 Laboratorium
Untuk laboratorium diharapkan agar peralatan praktikum lebih
dilengkapi, seperti penyediaan neraca analitik, gelas ukur dan lainlain.
V.2.3 Praktikan
Diharapkan agar selalu fokus dan lebih berhati-hati dalam
praktikum agar bisa mendapatkan hasil yang optimal, tidak ribut dan
selalu menjaga fasilitas dalam laboratarium agar tidak rusak.

34

Вам также может понравиться