Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu penyakit yang paling sering mengenai nervus medianus
adalah
sering
mengalami
tekanan
yang
menyebabkan terjadinya
berkisar 25-64 tahun, prevalensi tertinggi pada wanita usia >55 tahun,
biasanya antara 40-60 tahun. Prevalensi CTS dalam populasi umum telah
diperkirakan 5% untuk wanita dan 0,6% untuk laki-laki CTS adalah
jenis neuropati jebakan yang paling sering ditemui. Sindroma tersebut
unilateral pada 42% kasus (29% kanan, 13% kiri) dan 58% bilateral
(Gorsch, 2001).
Di Indonesia, urutan prevalensi CTS dalam masalah kerja belum
diketahui karena sampai tahun 2001 masih sangat sedikit diagnosis
penyakit akibat kerja yang dilaporkan karena berbagai hal, sebabnya
antara lain sulitnya diagnosis. Penelitian pada pekerjaan dengan risiko
tinggi pada pergelangan tangan dan tangan melaporkan prevalensi CTS
antara 5,6% sampai dengan 15%. Penelitian Harsono pada pekerja suatu
perusahaan ban di Indonesia melaporkan prevalensi CTS pada pekerja
sebesar 12,7%. Silverstein dan peneliti lain melaporkan adanya hubungan
positif antara keluhan dan gejala CTS dengan faktor kecepatan
menggunakan alat dan faktor kekuatan melakukan gerakan pada tangan
(Tana, 2004).
B. Tujuan
1.
2.
3.
4.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan neuropati tekanan atau
cerutan terhadap nervus medianus di dalam terowongan karpal pada
pergelangan tangan, tepatnya di bawah tleksor retinakulum (Samuel 1979,
Dejong 1979, Mumenthaler 1984). Dahulu, sindroma ini juga disebut
dengan nama acroparesthesia, median thenar neuritis atau partial thenar
atrophy. CTS pertama kali dikenali sebagai suatu sindroma klinik oleh Sir
James Paget pada kasus stadium lanjut fraktur radius bagian distal. CTS
spontan pertama kali dilaporkan oleh Pierre Marie dan C. Foix pada tahun
1913 (Rosenbaum, 1997).
Istilah CTS diperkenalkan oleh Moersch pada tahun 1938.
Terowongan karpal terdapat di bagian sentral dari pergelangan tangan di
mana tulang dan ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang
dilalui oleh beberapa tendon dan nervus medianus. Tulang-tulang karpalia
membentuk dasar dan sisi-sisi terowongan yang keras dan kaku sedangkan
atapnya dibentuk oleh fleksor retinakulum (transverse carpal ligament dan
palmar carpal ligament) yang kuat dan melengkung di atas tulang-tulang
karpalia tersebut. Setiap perubahan yang mempersempit terowongan ini
akan menyebabkan tekanan pada struktur yang paling rentan di dalamnya
yaitu nervus medianus (Rosenbaum, 1997).
B. Etiologi dan Predisposisi
1. Etiologi
Terowongan karpal yang sempit selain dilalui oleh nervus
medianus juga dilalui oleh beberapa tendon fleksor. Setiap kondisi yang
mengakibatkan semakin padatnya terowongan ini dapat menyebabkan
terjadinya penekanan pada nervus medianus sehingga timbullah CTS.
Pada sebagian kasus etiologinya tidak diketahui, terutama pada penderita
lanjut usia. Beberapa penulis menghubungkan gerakan yang berulangulang pada pergelangan tangan dengan bertambahnya resiko menderita
gangguan pada pergelangan tangan termasuk CTS (Rosenbaum, 1997).
Pada kasus yang lain etiologinya adalah (Rosenbaum, 1997):
a) Herediter: neuropati herediter yang cenderung menjadi pressure
palsy, misalnya Hereditary Motor and Sensory Neuropathies
(HMSN) tipe III.
b) Trauma: dislokasi, fraktur atau hematom pada lengan bawah,
pergelangan tangan dan tangan. Sprain pergelangan tangan. Trauma
langsung terhadap pergelangan tangan.
c) Pekerjaan: gerakan mengetuk atau fleksi dan ekstensi pergelangan
tangan yang berulang-ulang.
d) Infeksi: tenosinovitis, tuberkulosis, sarkoidosis.
e) Metabolik: amiloidosis, gout.
f) Endokrin: akromegali, terapi estrogen atau androgen, diabetes
mellitus, hipotiroidi, kehamilan.
g) Neoplasma: kista ganglion, lipoma, infiltrasi metastase, mieloma.
h) Penyakit kolagen vaskular: artritis reumatoid, polimialgia
reumatika, skleroderma, lupus eritematosus sistemik.
i) Degeneratif: osteoartritis.
j) Iatrogenik: punksi arteri radialis, pemasangan shunt vaskular untuk
dialisis, hematoma, komplikasi dari terapi anti koagulan.
2. Predisposisi
Di Indonesia, urutan prevalensi CTS dalam masalah kerja belum
diketahui
penyakit akibat kerja yang dilaporkan karena berbagai hal, antara lain
sulitnya diagnosis. Penelitian pada pekerjaan dengan risiko tinggi pada
pergelangan tangan dan tangan melaporkan prevalensi CTS antara 5,6%
sampai dengan 15%. Penelitian Harsono pada pekerja suatu perusahaan
ban di Indonesia melaporkan prevalensi CTS pada pekerja sebesar
12,7%. Silverstein dan peneliti lain melaporkan adanya hubungan positif
antara keluhan dan gejala CTS dengan faktor kecepatan menggunakan
alat dan faktor kekuatan melakukan gerakan pada tangan (Rosenbaum,
1997).
C. Patofisiologi
Patogenesis CTS masih belum jelas. Beberapa teori telah diajukan
untuk menjelaskan gejala dan gangguan studi konduksi saraf. Yang paling
populer adalah kompresi mekanik, insufisiensi mikrovaskular, dan teori
getaran. Menurut teori kompresi mekanik, gejala CTS adalah karena
kompresi nervus medianus di terowongan karpal. Kelemahan utama dari
teori ini adalah bahwa teori ini menjelaskan konsekuensi dari kompresi
saraf tetapi tidak menjelaskan etiologi yang mendasari kompresi mekanik.
Kompresi diyakini dimediasi oleh beberapa faktor seperti ketegangan,
tenaga berlebihan, hiperfungsi, ekstensi pergelangan tangan berkepanjangan
atau berulang (Bahrudin, 2011).
Teori insufisiensi mikro-vaskular mennyatakan bahwa kurangnya
pasokan darah menyebabkan penipisan nutrisi dan oksigen ke saraf yang
menyebabkan saraf secara perlahan kehilangan kemampuan untuk
mengirimkan impuls saraf. Scar atau luka parut dan jaringan fibrotik
akhirnya berkembang dalam saraf. Tergantung pada keparahan cedera,
perubahan saraf dan otot mungkin permanen. Karakteristik gejala CTS
terutama kesemutan, mati rasa, dan nyeri akut, bersama dengan kehilangan
konduksi saraf akut dan reversible dianggap gejala untuk iskemia. Sebuah
studi oleh Seiler (dengan Doppler laser flow metry) menunjukkan bahwa
normalnya aliran darah berdenyut di dalam saraf median dipulihkan dalam 1
menit dari saat ligamentum karpal transversal dilepaskan. Sejumlah
penelitian eksperimental mendukung teori iskemia akibat kompresi
diterapkan secara eksternal dan karena peningkatan tekanan di karpal
tunnel. Gejala akan bervariasi sesuai dengan integritas suplai darah dari
saraf dan tekanan darah sistolik. Hasil studi Kiernan menemukan bahwa
konduksi melambat pada median saraf dapat dijelaskan oleh kompresi
iskemik saja dan mungkin tidak selalu disebabkan myelinisasi yang
terganggu (Bahrudin, 2011).
Menurut teori getaran, gejala CTS bisa disebabkan oleh efek dari
penggunaan jangka panjang alat yang bergetar pada saraf median di karpal
tunnel. Lundborg mencatat edema epineural pada saraf median dalam
berat
badan
ramping.
American
Obesity
Association
kekuatan
berkurang),
maka
iritasi
kemungkinan
sudah
b) Tes Torniquet
Pada pemeriksaan ini dilakukan pemasangan torniquet dengan
menggunakan tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di atas
tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit timbul gejala seperti CTS, tes
ini menyokong diagnose (Katz, 2011).
c) Tinel's Sign
Tes ini mendukung diagnosa bila timbul parestesia atau nyeri
pada daerah distribusi nervus medianus jika dilakukan perkusi pada
terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi (Katz,
2011).
Gambar 1.2 Tinels Test (Katz, 2011)
d) Flick's Sign
Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerakgerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan
menyokong diagnosa CTS (Katz, 2011).
e) Thenar Wasting
Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otototot thenar (Katz, 2011).
f) Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara manual
maupun dengan alat dinamometer (Katz, 2011).
g) Wrist Extension Test
Penderita diminta melakukan ekstensi tangan secara maksimal,
sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat
dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti CTS,
maka tes ini menyokong diagnosa CTS (Katz, 2011).
h) Tes Tekanan
Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan
menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik
timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnose (Katz, 2011).
i) Luthy's Sign (Bottle's sign)
Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya
pada botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat
menyentuh dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan
mendukung diagnose (Katz, 2011).
j) Pemeriksaan Sensibilitas
Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik (two-point
discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus
medianus, tes dianggap positif dan menyokong diagnose (Katz,
10
2011).
k) Pemeriksaan Fungsi Otonom
Pada penderita diperhatikan apakah ada perbedaan keringat,
kulit yang kering atau licin yang terbatas pada daerah innervasi
nervus medianus. Bila ada akan mendukung diagnosa CTS (Katz,
2011).
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Neurofisiologi (Elektrodiagnostik)
Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi,
polifasik, gelombang positif dan berkurangnya jumlah motor unit pada
otot-otot thenar. Pada beberapa kasus tidak dijumpai kelainan pada
otot-otot lumbrikal. EMG bisa normal pada 31% kasus CTS.
Kecepatan Hantar Saraf (KHS). Pada 15-25% kasus, KHS bisa
normal. Pada yang lainnya KHS akan menurun dan masa laten distal
(distal latency) memanjang, menunjukkan adanya gangguan pada
konduksi saraf di pergelangan tangan. Masa laten sensorik lebih
sensitif dari masa laten motorik (Latov, 2007).
b) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan sinar-X terhadap pergelangan tangan dapat
membantu melihat apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau
artritis. Foto polos leher berguna untuk menyingkirkan adanya
penyakit lain pada vertebra. USG, CT-scan dan MRI dilakukan pada
kasus yang selektif terutama yang akan dioperasi. USG dilakukan
untuk mengukur luas penampang dari saraf median di carpal tunnel
proksimal yang sensitif dan spesifik untuk carpal tunnel syndrome
(Rambe, 2004).
c) Pemeriksaan Laboratorium
Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya pada penderita usia
muda tanpa adanya gerakan tangan yang repetitif, dapat dilakukan
beberapa pemeriksaan seperti kadar gula darah, kadar hormon tiroid
ataupun darah lengkap (Rambe, 2004).
E. Penatalaksanaan
11
12
Latihan dilakukan
sederhana
13
dan dapat
terapi
konservatif
atau
bila
terjadi
ii.
iii.
iv.
v.
penyakit
15
(Bahrudin, 2011):
1.
2.
3.
G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat dijumpai adalah kelemahan dan hilangnya
sensibilitas
yang
persisten
di
daerah
distribusi
nervus medianus.
16
III.
KESIMPULAN
17
IV.
DAFTAR PUSTAKA
Lindsay KW, Bone I. Neurology and Neurosurgery Illustrated. 3rd ed. New York:
Churchill Livingstone ;1997.p.435.
Lusan Maria, Pudjowidyanto Handojo. Karakteristik Penderita Sindrom Terowong
Karpal (STK) di Poliklinik Instalasi Rehabilitasi Medik Rs Dr. Karyadi
Semarang 2006. Media Medika Indonesia Vol. 43, No.1, 2008
Mumenthaler, Mark. Et al. 2006. Fundamentals of Neurologic Disease. Stuttgard:
Thieme.
Pecina, Marko M. Markiewitz, Andrew D. 2010. Tunnel Syndromes: Peripheral
Nerve Compression Syndromes Third Edition. New York: CRC PRESS.
Rambe, Aldi S. 2008. Sindroma Terowongan Karpal. Bagian Neurologi FK USU.
Rosenbaum R. Occupational and Use Mononeuropathies. Dalam Evans RW,
editor. Neurology and Trauma. Philadelphia: WB Saunders Co; 1996. p.
403-405.
Rosenbaum R. Carpal Tunnel Syndrome dalam Johnson RT dan Griffin JW
Current Therapy in Neurologic Disease. 5th ed. St.Louis: Mosby; 1997. p.
374-379
Rusdi Yusuf, Koesyanto Herry. Hubungan Antara Getaran Mesin pada Pekerja
Bagian Produksi dengan Carpal Tunnel Syndrome Industri Pengolahan
Kayu Brumbung Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Jurnal KEMAS 5(2)
(2010) 89-94.
Salter, R. B. 2009. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal
System. 2nd ed. Baltimore: Williams&Wilkins Co; p. 274-275.
Tana, Lusianawaty et al. Carpal Tunnel Syndrome Pada Pekerja Garmen di
Jakarta. Buletin Peneliti Kesehatan. 2004. vol. 32, no. 2: 73-82.
Verina YD. 2006. Hubungan Karakteristik Pekerja, Frekuensi Gerakan berulang
dan Faktor Kesehatan dengan Kejadian Carpal Tunnel Syndrome pada
Pemetik Melati. Semarang: UNDIP.
19