Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
sebagai orang-orang yang terlibat dalam pergulatan politik di masanya. Namun, langkah itu
mereka tempuh bukan untuk melampiaskan syahwat kekuasaan. Mereka melakukannya
semata-mata untuk mewujudkan idealisme yang terlahir dari proses ijtihad yang didasarkan
atas petunjuk al-quran dan sunah rasullah.
Jadi, berpolitik atau tidak berpolitik hanyalah pilihan-pilihan kondisional. Yang terpenting,
landasan moralnya kuat dan bukan sekedar menjual jargon. Namu, sangat perlu di ingat
bahwa politik itu penuh risiko dan memiliki potensi yang sangat tinggi untuk
menjerumuskan.
Ulama sebagai politikus sekarang ini menjadi hal yang biasa karena pada dasarnya, pendiri
bangsa indonesia pun banyak tokoh yang bergelar ulama sehingga perannya di dunia politik
menjadi kewajaran belaka. Yang menjadi keresahan adalah bahwa ulama yang lali akan
statusnya sebagi ulama. Ulama yang seharusnya mempunyai karakter agamis, malah
melupakan nilai-nilai moralitas keagamaan. Yang lebih parah lagi, menjual dalil-dalil kitab
suci dengan harga yang murah hanya demi kepentingan partai poltiknya. Padahal, dalil-dali
tersebut merupakan saklaristas dalam ajaran agama, bukan sesuatu yang bersifat profan.
Dengan demikian, luntur pula sakralitas teks-teks keagamaan sehingga menjadi profanitas
murahan.
Kehadiran sosok ulama hendaknya menjadi teladan bagi elit politik yang lain, juga kepada
umat manusia di indonesia khusunya. Ulama adalah sosok yang dikenal sosok alim (berilmu)
dan mempunyai moralitas yang baik. Dengan kehadiran ulama seharusnya bisa mewarnai
politik kekuasaan menjadi harmonis, bukan malah menambah kontras permusuhan antar
golongan atau antar partai. Hal ini yang seharusnya di perhatikan oleh ulama.
Peranan ulama dalam melakukan aktualisasinya dihadapan semua umatnya. Jika seorang
ulama itu ikut andil dalam dunia politik, maka tidak lain adalah untuk menjadi figur dan
teladan yang baik, entah itu bagi tokoh politikus yang lain atau masyarakat yang
memandangnnya. Namun jika ulama tersebut tidak mau berkecimpung dalam dunia politik,
maka sewajarnya menjadi ulama yang sebenarnya. Artinya, ulama yang benar-benar
mengasuh dan menuntun umat agar mendapat siraman rohani dalam menjalani kehidupan
bersosial vertikal dan horizontal.
Dengan demkian, citra ulama tidak sedemikian relevan dengan gelar yang disandangnnya.
Secara bahasa, orang yang berilmu dan mumpuni dalam khazanah keilmuan islam. Namun
ternyata, interpretasi tentang ulama kini berkembang lebih luas seiring banyaknya fenomena
yang terjadi. Arti ulama bukan hanya sekedar orang-orang yang berilmu pada bilang
keagamaan saja, namun juga pada bilang politik.
Pada kenyataan ulama yang ternyata mempunyai pengaruh besar dalam bidang politik.
Pengaruhnya pun disandingkan dengan agama sehingga seringkali berdalil dengan
argumentasi kitab suci. Padahal, kitab suci adalah sesuatu yang sakral. Sebenarnya, bukanlah
hal yang tidak jika ulama terjun ke dalam perpolitikan. Akan tetapi, menjadi hal yang tidak
wajar jika ulama membawa nama agama demi kepentingan politinya. Yang diharapkan dari
keterlibatan ulama dalam urusan politik adalah isimilasi politik, bukan politisasi islam.
Maksudnya, merubah cara kerja politik kotor menjadi cara kerja politik yang islami.