Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Heat rate pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) adalah jumlah pasokan energi yang
diperlukan untuk menghasilkan listrik sebesar 1 kWh. Artinya apa ? Jika nilai kalor bahan
bakar batubara sebesar 5.000 kcal/ kg dan heat rate suatu PLTU 2.500 kcal/ kWh, maka 1 kg
bahan bakar batubara akan menghasilkan listrik sebanyak 2 kWh.
Nilai heat rate sangat penting untuk menghitung biaya operasi dan laba PLTU. Jika nilai heat
rate pada contoh di atas turun sebesar 4 % menjadi 2.400 kcal/ kWh, maka untuk
menghasilkan energi listrik yang sama hanya memerlukan batubara seberat 0,96 kg. Sedikit
memang bedanya, kalau hanya penghematan sebesar 0,04 kg. Tapi kalau kapasitas PLTU
sebesar 1.000 MW, akan memerlukan batubara dengan nilai kalori 5.000 kcal/ kg sebanyak
3,5 juta ton per tahun. Jika terdapat efisiensi heat rate sebesar 4 %, maka jumlah batubara
yang dapat dihemat per tahun adalah sebesar 140.000 ton. Kalikan dengan harga batubara di
lokasi PLTU yang sebesar Rp 600.000,- per ton, nilai efisiensi biaya bahan bakar atau
tambahan laba yang diperoleh adalah sebesar Rp 84 milyar.
Mungkinkah efisiensi biaya bahan bakar sebesar 4 % tersebut dicapai ? Apakah semudah itu
hanya dengan melakukan uji heat rate ? Tentu tidak. Uji heat rate bertujuan untuk
mengidentifikasi terjadinya penurunan kinerja thermal (thermal performance) pembangkit
serta menentukan penyebab dan bagian pembangkit yang menyebabkan losses daya dan
efisiensi lebih rendah dari seharusnya. Dengan mengetahui kondisi pembangkit yang losses
nya melebihi normal, serta bagian mana dari pembangkit yang losses di atas seharusnya,
maka dapat dilakukan langkah-langkah perbaikan untuk mengatasinya.
Tentu saja perbaikan dan penyempurnaan kondisi pembangkit tersebut akan memerlukan
biaya, namun dengan sendirinya akan terbayar plus keuntungan besar dengan kembalinya
efisiensi pembangkit listrik sesuai dengan desain. Ibarat dokter bedah, uji heat rate adalah
langkah awal untuk melihat penurunan kinerja organ tubuh pembangkit listrik. Pengujian
tersebut dapat dilakukan dengan mudah dan murah. Namun sangat besar manfaatnya untuk
meningkatkan efisiensi pembangkit, mengurangi emisi gas rumah kaca, meningkatkan
ketersediaan pembangkit, mengurangi biaya operasi dan pemeliharaan, serta pada ujungnya
meningkatkan laba.
PLTU
Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) digolongkan sebagai pembangkit listrik pembangkit
listrik tenaga thermal yang mengubah energi kimia dalam bahan bakar menjadi energi listrik.
Bahan bakar pada PLTU dapat berupa bahan bakar padat (batubara), cair (BBM) serta gas.
Namun pada tulisan ini hanya akan dibahas tentang PLTU dengan bahan bakar batubara.
Proses konversi energi berlangsung dari batubara menjadi listrik tersebut dapat dibagi dalam
3 tahap :
1.
Tahap pertama, terjadi pada boiler yang merubah energi kimia batubara menjadi uap
bertekanan dan temperature tinggi.
2.
Tahap kedua berlangsung pada turbin uap yang merubah energi uap menjadi energi
putaran mekanik.
3.
Tahap ketiga pada generator yang mengubah energi putaran menjadi listrik.
Secara skematis proses konversi energi yang berlangsung pada PLTU dapat dilihat pada
bagan berikut :
Pada setiap tahap perubahan bentuk energi di atas, selain menghasilkan bentuk energi lain
sebagai output, juga akan terdapat losses, sehingga tidak energi yang diperoleh tidak
sebanyak input energi yang diberikan. Karena sebagian berubah sebagai losses. Secara typical
nilai efisiensi pada setiap komponen PLTU adalah sebagai bagan berikut :
Neraca Energi dan dan typical efisiensi PLTU (ASME PTC CM-2002)
Dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa pada proses di boiler terjadi lossessebesar 11 %,
selanjutnya pada siklus uap-air terjadi losses sebesar 44,7 % , pada turbin dan generator
sebesar 2 %, dan untuk keperluan sendiri (station auxiliary) sebesar 2,0 %. Dengan demikian
dari input energi pada bahan bakar sebesar 100 %, akan menghasilkan listrik netto sebesar
36,2 %.
Uji Heat Rate
Uji heat rate adalah pengujian yang dilakukan pada PLTU dengan tujuan untuk mengetahui
berapa besar input energi panas dari bahan bakar yang dibutuhkan untuk menghasilkan listrik
sebesar 1 kWh. Uji heat rate dilakukan pada kondisi yang spesifik, baik bahan bakar, lokasi
pembangkit listrik, kapasitas pembangkit maupun variasi beban pembangkit.
Tujuan uji heat rate adalah untuk mengidentifikasi besarnya penurunan kinerja thermal
pembangkit, serta menentukan penyebab dan bagian dari pembangkit yang tingkat efisiensi
(kinerja) nya menurun dibandingkan dengan kondisi oprimal. Dengan demikian jika terjadi
penurunan efisiensi maka dapat dilakukan langkah-langkah perbaikan untuk mengembalikan
kinerja pembangkit sehingga mencapai titik optimal.
Terdapat 2 metoda uji heat rate, yaitu : a. Metode Input-Output , dan b. MetodaEnergyBalance. Metoda input-output adalah metode yang sederhana, cepat dan murah, karena hanya
mengukur jumlah energi input bahan bakar batubara yang dikonsumsi selama waktu
pengujian, yang selanjutnya dibagi dengan jumlah energi listrik yang dihasilkan. Sedangkan
pada metode energy-balance memerlukan banyak pengukuran proses konversi energi serta
losses yang timbul pada masing-masing bagian pembangkit, selanjutnya dilakukan proses
perhitungan yang rumit. Namun proses tersebut juga memiliki keuntungan-keuntungan yang
tidak didapat jika kita melaksanakan pengujian dengan metoda input-output.
Keuntungan dan kerugian pada masing-masing metode uji heat rate adalah sebagai berikut :
METODE
UJI
KEUNTUNGAN
KERUGIAN
METODE
INPUTOUTPUT
seperti
boiler,
turbin
atau
generator.
Pengukuran data primer (analisa flue gas
METODE
ENERGY
BALANCE
output
komponen.
Nilai tes efisiensi lebih teliti karena
diperkirakan
lebih kecil.
Sumber terjadinya losses pembangkit dapat
diidentifikasi
100 %. Selama pengetesan dilakukan pengukuran konsumsi batubara serta produksi energi
listrik yang dihasilkan. Diperoleh data berikut :
No.
Beban
(%)
Waktu
Konsumsi
batubara (kg)
Gross
Nett
50
08.00-10.00
32.310
47.850
45.300
75
11.00 13.00
47.100
73.200
69.500
90
14.00 16.00
56.705
88.475
84.100
100
17.00 19.00
62.525
98.510
93.900
Hasil uji dan perhitungan heat rate selanjutnya dimasukkan pada table berikut :
No.
Beban
(%)
Waktu
Konsumsi
batubara
(ton)
Net
Nilai Kalori/
HHV
(kcal/kg)
Nett
50
08.00-10.00
32.310
47.850
45.300
4.100
2.768
2.924
75
11.00 13.00
47.100
73.200
69.500
4.100
2.638
2.778
90
14.00 16.00
56.705
88.475
84.100
4.100
2.627
2.764
100
17.00 19.00
62.525
98.510
93.900
4.100
2.602
2.730
Dari angka-angka di atas dapat diketahui bahwa secara umum nilai heat rate akan meningkat
jika pembangkit dioperasikan pada kapasitas rendah. Nilai heat rate tersebut juga akan
bervariasi untuk kapasitas pembangkit yang berbeda. Pembangkit berkapasitas besar
umumnya memiliki heat rate yang lebih rendah atau tingkat konversi energy dan efisiensinya
lebih baik.
Manfaat Uji Heat Rate
Dengan melaksanakan uji heat rate secara rutin, maka akan diperoleh kondisi kesehatan serta
kinerja dari pembangkit listrik. Hal tersebut sangat penting karena angka-angka yang
diperoleh pada uji heat rate menunjukkan besar energi thermal yang diperlukan untuk
menghasilkan listrik sebesar 1 kWh. Semakin besar hasil uji heat rate berarti semakin besar
bahan bakar batubara yang dipakai untuk menghasilkan energi listrik yang sama, yang berarti
biaya bahan bakar meningkat. Jika heat rate secara rutin diuji maka pemborosan bahan bakar
dapat dihindari karena gejalanya langsung terdeteksi dan dapat segera dilakukan perbaikan.
Bagi perusahaan hasil uji heat rate dapat dimanfaatkan untuk mengetahui apakah pembangkit
listrik yang ada memiliki kinerja yang baik, normal atau kurang baik dengan pembangkit
sejenis. Perbandingan nilai heat rate memang perlu dibandingkan dengan pembangkit listrik
yang sejenis serta dengan kondisi operasi yang sama, karena nilai heat rate akan berbeda jika
kapasitas pembangkit berbeda. Demikian juga akan beda nilainya jika pembangkit tersebut
mempunyai kelas kualitas yang berbeda atau beban operasi yang berbeda.
Misalnya data uji heat rate berbagai PLTU batubara dari seluruh dunia dikumpulkan. PLTU
batubara tersebut dikelompokkan pada kapasitas terpasang per unit mulai dari 10, 25, 50,
100, 250 dan 500 MW. Selanjutnya PLTU yang ada juga dikelompokkan atas kelas kualitas
pembangkit, mulai dari yang terbaik kelas A, normal kelas B, dan yang kurang kelas C. Hasil
uji heat rate pada kondisi pembebanan 100 %, disusun pada table berikut :
Net Plant Heat Rate (kCal/ kWh)
Kapasitas
PLTU
(MW)
Kelas A
Kelas B
Kelas C
1.
10
3.100
3.300
3.500
2.
25
2.900
3.100
3.300
3.
50
2.750
2.850
3.000
4.
100
2.600
2.700
2.800
5.
250
2.500
2.600
2.700
6.
500
2.400
2.500
2.600
No.
Dengan melakukan uji heat rate dan membandingkannya dengan data berbagai PLTU yang
ada, dapat diketahui apakah suatu PLTU telah beroperasi secara optimal, normal, atau di
bawah normal. Misalnya hasil uji heat rate suatu PLTU dengan kapasitas 100 MW dari kelas
A menunjukkan angka 2.650 kCal/ kWh, maka berarti secara rata-rata nilainya melebihi
kondisi normal yang pada table di atas 2.600 kCal/ kWh. Dengan indikasi awal tersebut
dapatlah dilakukan berbagai pengujian untuk mengetahui bagian pembangkit yang tidak
optimal kinerjanya, sehingga dapat dilakukan perbaikan untuk mengembalikan ke kondisi
optimum.