Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher dalam
dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses parafaring,
abses submanidibula dan angina ludovici (Ludwig Angina). Abses leher dalam
terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat dari
penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala
dan tanda klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan3.
Abses peritonsil merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus
(nanah) yang terlokalisir/ terbatas pada jaringan peritonsillar yang terbentuk
sebagai hasil dari suppurative tonsillitis. Abses ini merupakan penyakit infeksi
yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher terutama pada orang
dewasa. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah didaerah pillar tonsil
anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior2.
Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri
penginfeksi tenggorokan kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitar
faring menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul
tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring4.
Seringkali
pasien
datang
dengan
keluhan
yang
berat,
namun
penatalaksanaannya tidaklah terlalu rumit jika kita sebagai dokter tanggap dan
mengetahui dengan benar anatomi, patofisiologi, dan gejala dari penyakit ini.
Diharapkan dari makalah ini kelak kita sebagai dokter dapat memahami penyakit
ini dan memberikan terapi dengan tepat untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
faring. Pallatum molle (vellum palati) terdiri dari serat otot yang ditunjang oleh
jaringan fibrosa yang dilapisi oleh mukosa. Penonjolan di median membaginya
menjadi dua bagian. Bentuk seperti kerucut yang terletak disentral disebut uvula6.
Tonsil palatina terdiri dari7:
1. Korteks : Didalamnya terdapat germinating folikel, tempat pembentukan
limfosit, plasma sel.
2. Medula : Terdiri dari jaringan ikat yang merupakan kerangka penyokong
tonsil & berhubungan dengan kripta.
Batas-batas tonsil palatina7:
1. Lateral : Kapsul fibrous yang berhubungan dengan fasia pharingo-basilaris
yang menutupi m. konstriktor pharing superior. Masuk ke dalam parenkim
tonsil akan membentuk septa dan membawa pembuluh darah dan saraf.
2. Medial : Mukosa yang dibentuk oleh epitel selapis gepeng, kripta, dan
mikrokripta.
3. Posterior : pilar posterior yang dibentuk oleh palatopharingeus yang
berjalan dari bagian bawah pharing menuju aponeurosis palatum molle.
4. Anterior : pilar anterior yang dibentuk oleh palatoglossus yang berjalan
dari permukaan bawah lidah menuju aponeurosis palatum molle.
Palatoglosus mempunyai origo seperti kipas dipermukaan oral palatum
mole dan berakhir pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang
tersusun vertikal dan diatas melekat pada palatum mole, tuba eustachius dan dasar
tengkorak. Otot ini meluas kebawah sampai kedinding atas esofagus. Otot ini
lebih penting daripada palatoglosus dan harus diperhatikan pada operasi tonsil
agar tidak melukai otot ini. Kedua pilar bertemu diatas untuk bergabung dengan
paltum mole. Di inferior akan berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah
dan lateral dinding faring5.
m..............BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Abses peritonsil merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus
(nanah) yang terlokalisir/ terbatas pada jaringan peritonsillar yang terbentuk
sebagai hasil dari proses suppurative
B. EPIDEMIOLOGI
Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling
sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada
mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi
jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang
sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik
atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut
merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler 1. Di
Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per
tahun, diperkirakan hampir 45.000 kasus setiap tahun2.
C. ETIOLOGI
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau
infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil.
Kemungkinan lain adalah disebabkan oleh infeksi pada kripta difusa supra tonsil,
dimana ukurannya besar, merupakan suatu kavitas seperti celah dengan tepi tak
teratur dan berhubungan erat dengan bagian posterior dan bagian luar tonsil 2.
Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis, dapat
ditemukan kuman aerob dan anaerob. Biasanya unilateral dan lebih sering pada
anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda12.
6
D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi abses peritonsil belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori
yang paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis
eksudatif
abses yang sebenarnya (frank abscess formation). Berikut ini adalah tiga teori
patogenesa terjadinya abses peritonsiler7 :
-
terdapat kelompok kelenjar yang terletak di permukaan superior dari kapsul tonsil
di pool atas. Kelompok kelenjar ini mudah mendapatkan infeksi dari tonsil. Bila
kelompok ini terinfeksi mudah terjadi abses di dalam ruangan yang terisi jaringan
ikat longgar7.
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat
longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering
menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses
peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang12.
-
Teori Ballenger(1977)
Perluasan infeksi ke ruang peritonsil, berasal dari kripte yang besar di pole
atas yang merupakan celah yang berhubungan erat dengan bagian luar tonsil,
sehingga infeksi yang terjadi pada kripte mudah menjalar ke atas belakang
(superior posterior) dari ruangan peritonsil7.
-
dan menembus kapsul, sampai ke ruangan peritonsil tetapi masih dalam batas otot
konstriktor faring7.
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat
longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering
menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses
peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang.
Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak
juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak
dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah,
uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral.
Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses
dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru12.
Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis
kronis atau berulang (recurrent) sebelumnya 9. PTA dapat juga merupakan suatu
gambaran (presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr10.
Abses peritonsil yang timbul sebagai kelanjutan tonsilitis akut biasanya
timbul pada hari ke 3 dan ke 4 dari tonsillitis akut. Sumber infeksi berasal dari
salah satu kripta yang mengalami peradangan, biasanya kripta fossa supratonsil,
dimana ukurannya besar, merupakan kavitas seperti celah dengan tepi tidak
teratur, dan berhubungan erat dengan bagian posterior dan bagian luar tonsil 1.
Muara dari kripta yang mengalami infeksi tersebut tertutup sehingga abses yang
terbentuk di dalam saluran kripta akan pecah melalui kapsul tonsil dan berkumpul
pada tonsil bed. Pus yang berkumpul pada fosa supratonsil tersebut akan
menimbulkan penonjolan, pembengkakan dan edema dari palatum molle sehingga
tonsil akan terdorong kearah medial bawah. Walaupun sangat jarang abses
peritonsil dapat terbentuk di inferior14.
Abses peritonsiler juga bisa sebagai kelanjutan dari infeksi yang
bersumber dari kelenjar mukus weber. Kelenjar ini berhubungan dengan
permukaan atas tonsil lewat duktus dan kelenjar ini membersihkan area tonsil dari
debris dan sisa makanan yang terperangkap di kripta tonsil. Inflamasi pada
kelenjar weber dapat menyebabkan selulitis. Infeksi ini menyebabkan duktus
sampai permukaan tonsil menjadi lebih terobstruksi akibat inflamasi sekitarnya.
Hasilnya adalah nekrosis jaringan dan pembentukan pus yang menghasilkan tanda
dan gejala abses peritonsil15.
Keparahan
dan
progresivitasnya
ditunjukkan
dari
trismus.
otot
tengkuk
(cervical
muscle
inflammation),
pasien
sering
10
Gambar 2. tonsillitis akut (sebelah kiri) dan abses peritonsil (sebelah kanan).
2. Pemeriksaan Penunjang
Pada penderita PTA perlu dilakukan pemeriksaan9:
1. Hitung darah lengkap, pengukuran kadar elektrolit, dan kultur darah. Karena
pasien dengan abses peritonsil seringkali dalam keadaan sepsis dan
menunjukkan tingkat dehidrasi yang bervariasi akibat tidak tercukupinya
asupan makanan. Usap dan kultur tenggorok (throat swab and culture). Untuk
membantu dalam indentifikasi organisme penyebab infeksi. Hasilnya dapat
digunakan dalam pemilihan antibiotik yang tepat serta efektif, dan untuk
mencegah timbulnya resistensi antibiotik.
2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan
tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif,
penderita memerlukan evaluasi/ penilaian hepatosplenomegaly. Liver function
tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.
3. Throat culture atau throat swab and culture: diperlukan untuk identifikasi
organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan
antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi
antibiotik.
11
4. Pemeriksaan radiologi dapat membantu pada terapi abses peritonsil yang tidak
mengalami perbaikan setelah dilakukan inspirasi dan drainase atau terdapat
perburukan edema pada selulitis peritonsil yang telah diterapi. Pada kasus
tertentu dimana ternyata absesnya terdapat di tonsil itu sendiri dan atau
sebagian abses tersembunyi pada inferior atau posterior tonsil. Foto polos
dapat berupa pandangan jaringan lunak lateral dari nasofaring dan orofaring
dapat
membantu
dokter
dalam
menyingkirkan
diagnosis
abses
retropharyngeal. Pada posisi AP, terdapat distorsi jaringan lunak, tapi tidak
begitu membantu dalam menentukan lokasi abses.
5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan
hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan
penyengatan pada perifer (peripheral rim enhancement). Gambaran lainnya
termasuk pembesaran asimetrik tonsil dan fossa sekitarnya.
6. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography merupakan
teknik
F. KOMPLIKASI
Komplikasi abses peritonsil dapat berupa edema laring akibat tertutupnya
rima glotis atau edema glotis akibat proses perluasan radang ke bawah. Keadaan
ini membahayakan karena bisa menyebabkan obstruksi jalan napas. Abses yang
pecah secara spontan terutama waktu tidur dapat mengakibatkan aspirasi
pneumonia dan piemia. Abses yang ruptur spontan biasanya pecah dari pilar
anterior. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga dapat terjadi
abses
parafaring.
Kemudian
dapat
terjadi
penjalaran
ke
mediastinum
12
Dapat juga terjadi peritonsilitis kronis dengan aliran pus yang berjeda. Komplikasi
juga terjadi akibat tindakan insisi pada abses akibat perdarahan yang terjadi pada
arteri supratonsilar12.
Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA
diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari progresivitas penyakit. Untuk
itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.
G. DIAGNOSIS BANDING
Abses
peritonsil
harus
dibedakan
infiltrat
peritonsil.
Untuk
H. TERAPI
13
14
15
Gambar 3. tonsilektomi
I. PROGNOSIS
Abses peritonsoler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan
tonsilektomi.
16
BAB III
KESIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Iskandar H.N, Mangunkusumo E.H, Roezin A.H. Penyakit telinga, hidung,
tenggorok, kepala, dan leher. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994. Hal: 350352.
2. Mehta, Ninfa. MD. Peritonsillar abscess. Diakses pada Desember 2010.
Diakses dari: www.emedicine.com.
3. Soepardi E.A, Iskandar H.N. Abses peritonsiler. Dalam: Buku ajar ilmu
kesehatan telinga, hidung dan tenggorokan. Jakarta: FKUl; 2000. Hal:
185-189.
4. Adrianto, Petrus. Penyakit telinga, hidung dan tenggorokan. Jakarta: EGC;
1986. Hal: 296, 308- 09
5. Hatmansjah. Tonsilektomi. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89.
Jakarta: FKUI; 1993. Hal : 19-21
6. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Applied anatomy and physiology mouth
and pharynx. Dalam: Richard AB (ed). Ear, nose and throat disease, a
pocket reference 2nd rev.ed. New York: Thieme Flexibook; 1994. Hal:
307 -315.
7. Hasibuan R. A. H. Sp THT. Pharingology. Jakarta: Jala Penerbit; 2004. Hal:
38, 55-58.
8. Gray RF, Hawthrorne M. Anatomy of the mouth and pharynx. Dalam:
Synopsis of Otolaryngology 5th.ed. Singapore: Butterworth Heinemann;
1992. Hal: 288 304.
9. Anurogo, Dito. 2008. Tips Praktis Mengenali Abses Peritonsil. Accessed:
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&dn=20080125161248
10. Preston, M. Peritonsillar abscess (Quinsy). Diakses pada Desember 2010.
Diakses dari: http://www.patient.co.uk/showdoc/40000961/
18
11. Fachruddin, Darnila. Abses leher dalam. Dalam: Buku ajar ilmu kesehatan,
telinga-hidung-tenggorokan. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006. Hal:
185-196.
12. Bailey, Byron J. MD. Tonsillitis, tonsillectomy, and adenoidectomy. dalam :
Head and neck surgey-otolaryngology 2nd edition. Philadelphia:
Lippincott_Raven Publisher; 1999. Hal :1224, 1233-1234.
13. Andrianto P. Penyakit telinga hidung dan tenggorokan, Edisi V Jakarta:
EGC;1993. Hal: 308-309.
14. Steyer, T. E. Peritonsillar abscess: diagnosis and treatment. Diakses pada
Desember
2010.
Diakses
dari:
http://www.aafp.org/afp/20020101/93.html.
15. Efendi H. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Boies, buku
ajar penyakit THT Edisi VI. Jakarta: EGC; 1997. Hal: 333-354.
19