Вы находитесь на странице: 1из 19

BAB I

PENDAHULUAN
Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher dalam
dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses parafaring,
abses submanidibula dan angina ludovici (Ludwig Angina). Abses leher dalam
terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat dari
penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala
dan tanda klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan3.
Abses peritonsil merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus
(nanah) yang terlokalisir/ terbatas pada jaringan peritonsillar yang terbentuk
sebagai hasil dari suppurative tonsillitis. Abses ini merupakan penyakit infeksi
yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher terutama pada orang
dewasa. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah didaerah pillar tonsil
anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior2.
Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri
penginfeksi tenggorokan kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitar
faring menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul
tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring4.
Seringkali

pasien

datang

dengan

keluhan

yang

berat,

namun

penatalaksanaannya tidaklah terlalu rumit jika kita sebagai dokter tanggap dan
mengetahui dengan benar anatomi, patofisiologi, dan gejala dari penyakit ini.
Diharapkan dari makalah ini kelak kita sebagai dokter dapat memahami penyakit
ini dan memberikan terapi dengan tepat untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.

Gambar 1. Anatomi Tonsil Palatina dan jaringan sekitarnya.

Anatomi Tonsil Palatina dan Ruang Peritonsil


Tonsil palatina adalah massa jaringan limfoid yang terletak didalam fosa
tonsillaris pada dinding lateral orofaring. Tonsil palatina merupakan bagian dari
cincin waldeyer. Jaringan limfoid yang mengelilingi faring, pertama kali
digambarkan anatominya oleh Heinrich von Waldeyer, seorang ahli anatomi
Jerman. Jaringan limfoid lainnya yaitu adenoid (tonsil pharingeal), tonsil lingual,
pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa
Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium
tuba eustachius (tonsil Gerlachs)5.
Faring dibagi menjadi nasofaring, orofaring dan laringofaring. Nasofaring
merupakan bagian dari faring yang terletak diatas pallatum molle, orofaring yaitu
bagian yang terletak diantara palatum molle dan tulang hyoid, sedangkan
laringofaring bagian dari faring yang meluas dari tulang hyoid sampai ke batas
bawah kartilago krikoid. Orofaring terbuka ke rongga mulut pada pilar anterior

faring. Pallatum molle (vellum palati) terdiri dari serat otot yang ditunjang oleh
jaringan fibrosa yang dilapisi oleh mukosa. Penonjolan di median membaginya
menjadi dua bagian. Bentuk seperti kerucut yang terletak disentral disebut uvula6.
Tonsil palatina terdiri dari7:
1. Korteks : Didalamnya terdapat germinating folikel, tempat pembentukan
limfosit, plasma sel.
2. Medula : Terdiri dari jaringan ikat yang merupakan kerangka penyokong
tonsil & berhubungan dengan kripta.
Batas-batas tonsil palatina7:
1. Lateral : Kapsul fibrous yang berhubungan dengan fasia pharingo-basilaris
yang menutupi m. konstriktor pharing superior. Masuk ke dalam parenkim
tonsil akan membentuk septa dan membawa pembuluh darah dan saraf.
2. Medial : Mukosa yang dibentuk oleh epitel selapis gepeng, kripta, dan
mikrokripta.
3. Posterior : pilar posterior yang dibentuk oleh palatopharingeus yang
berjalan dari bagian bawah pharing menuju aponeurosis palatum molle.
4. Anterior : pilar anterior yang dibentuk oleh palatoglossus yang berjalan
dari permukaan bawah lidah menuju aponeurosis palatum molle.
Palatoglosus mempunyai origo seperti kipas dipermukaan oral palatum
mole dan berakhir pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang
tersusun vertikal dan diatas melekat pada palatum mole, tuba eustachius dan dasar
tengkorak. Otot ini meluas kebawah sampai kedinding atas esofagus. Otot ini
lebih penting daripada palatoglosus dan harus diperhatikan pada operasi tonsil
agar tidak melukai otot ini. Kedua pilar bertemu diatas untuk bergabung dengan
paltum mole. Di inferior akan berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah
dan lateral dinding faring5.

Plika triangularis (tonsilaris) merupakan lipatan mukosa yang tipis, yang


menutupi pilar anterior dan sebagian permukaan anterior tonsil. Plika semilunaris
(supratonsil) adalah lipatan sebelah atas dari mukosa yang mempersatukan kedua
pilar. Fossa supratonsil merupakan celah yang ukurannya bervariasi yang terletak
diatas tonsil diantara pilar anterior dan posterior. Celah atau ruangan ini terjadi
karena tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil. Tonsil palatina lebih padat
dibandingkan jaringan limfoid lain, berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm,
Permukaan sebelah dalam tertutup oleh membran epitel skuamosa berlapis yang
sangat melekat. Permukaan lateral-nya ditutupi oleh kapsul tipis dan di
permukaan medial terdapat kripta. Kripta tonsil berbentuk saluran tidak sama
panjang dan masuk ke bagian dalam jaringan tonsil yang mengandung jaringan
limfoid dan disekelilingnya terdapat jaringan ikat. Ditengah kripta terdapat muara
kelenjar mukus. Permukaan kripta ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel
permukaan medial tonsil. Umumnya berjumlah 8-20 buah untuk masing-masing
tonsil, kebanyakan terjadi penyatuan beberapa kripta. Saluran kripta ke arah luar
biasanya bertambah luas. Secara klinik kripta dapat merupakan sumber infeksi,
baik lokal maupun umum karena dapat terisi sisa makanan, epitel yang terlepas,
kuman5.
Bagian luar tonsil terikat pada m.konstriktor faringeus superior, sehingga
tertekan setiap kali menelan, m. palatoglusus dan m. palatofaring juga menekan
tonsil. Selama masa embrio, tonsil terbentuk dari kantong pharyngeal kedua
sebegai tunas dari sel endodermal. Singkatnya setelah lahir, tonsil tumbuh secara
irregular dan sampai mencapai ukuran dan bentuk, tergantung dari jumlah adanya
jaringan limphoid6.
Struktur di lateral terdapat kapsul yang dipisahkan dari m.konstriktor
faring superior oleh jaringan areolar longgar. V. palatina externa berjalan turun
dari palatum molle dalam jaringan ikat longgar ini, untuk bergabung dengan
pleksus venosus pharyngeus. Lateral terhadap m.konstriktor faring superior
terdapat m. styloglossus dan lengkung a.facialis. A. Carotis interna terletak 2,5 cm
di belakang dan lateral tonsilla8.
4

Tonsilla palatina mendapat vaskularisasi dari ramus tonsillaris yang


merupakan cabang dari arteri facialis, cabang cabang a. lingualis, a. palatina
ascendens a. pharyngea ascendens. Sedangkan inervasinya diperoleh dari n.
glossopharyngeus dan n. palatinus minor. Pembuluh limfe masuk dalam nl.
cervicales profundi. Nodus paling penting pada kelompok ini adalah nodus
jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae5.
Ruang Peritonsiler9,10
Ruang peritonsil letaknya berbatasan sebelah medial dengan kapsul tonsil
palatine, sebelah lateral dengan muskulus kontriktor faring superior, sebelah
anterior dengan pilar anterior dan sebelah posterior dengan pilar posterior.
Akumulasi nodus berlokasi di antara kapsul tonsil palatinus dan otot-otot
konstriktor pharynx. Pillar anterior dan posterior, torus tubarius (superior), dan
sinus piriformis (inferior) membentuk batas-batas potential peritonsillar space.

m..............BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Abses peritonsil merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus
(nanah) yang terlokalisir/ terbatas pada jaringan peritonsillar yang terbentuk
sebagai hasil dari proses suppurative
B. EPIDEMIOLOGI
Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling
sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada
mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi
jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang
sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik
atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut
merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler 1. Di
Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per
tahun, diperkirakan hampir 45.000 kasus setiap tahun2.
C. ETIOLOGI
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau
infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil.
Kemungkinan lain adalah disebabkan oleh infeksi pada kripta difusa supra tonsil,
dimana ukurannya besar, merupakan suatu kavitas seperti celah dengan tepi tak
teratur dan berhubungan erat dengan bagian posterior dan bagian luar tonsil 2.
Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis, dapat
ditemukan kuman aerob dan anaerob. Biasanya unilateral dan lebih sering pada
anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda12.
6

Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun


yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses
peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus),
Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme
anaerob yang berperan adalah Fusobacterium, Prevotella, Porphyromonas, dan
Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan
karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik13. Sedangkan virus
yang dapat menyebabkan abses peritonsil antara lain eipsten-barr, adenovirus,
influenza A dan B, herpes simplex, dan parainfluenza.

D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi abses peritonsil belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori
yang paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis
eksudatif

pertama menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan

abses yang sebenarnya (frank abscess formation). Berikut ini adalah tiga teori
patogenesa terjadinya abses peritonsiler7 :
-

Teori Parkinson (1970)


Penyebaran abses ke ruang peritonsil oleh karena di dalam ruang peritonsil

terdapat kelompok kelenjar yang terletak di permukaan superior dari kapsul tonsil
di pool atas. Kelompok kelenjar ini mudah mendapatkan infeksi dari tonsil. Bila
kelompok ini terinfeksi mudah terjadi abses di dalam ruangan yang terisi jaringan
ikat longgar7.
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat
longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering
menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses
peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang12.
-

Teori Ballenger(1977)

Perluasan infeksi ke ruang peritonsil, berasal dari kripte yang besar di pole
atas yang merupakan celah yang berhubungan erat dengan bagian luar tonsil,
sehingga infeksi yang terjadi pada kripte mudah menjalar ke atas belakang
(superior posterior) dari ruangan peritonsil7.
-

Teori Paparella (1980)


Terjadinya abses oleh karena infeksi yang berasal dari proses akut tonsil

dan menembus kapsul, sampai ke ruangan peritonsil tetapi masih dalam batas otot
konstriktor faring7.
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat
longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering
menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses
peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang.
Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak
juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak
dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah,
uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral.
Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses
dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru12.
Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis
kronis atau berulang (recurrent) sebelumnya 9. PTA dapat juga merupakan suatu
gambaran (presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr10.
Abses peritonsil yang timbul sebagai kelanjutan tonsilitis akut biasanya
timbul pada hari ke 3 dan ke 4 dari tonsillitis akut. Sumber infeksi berasal dari
salah satu kripta yang mengalami peradangan, biasanya kripta fossa supratonsil,
dimana ukurannya besar, merupakan kavitas seperti celah dengan tepi tidak

teratur, dan berhubungan erat dengan bagian posterior dan bagian luar tonsil 1.
Muara dari kripta yang mengalami infeksi tersebut tertutup sehingga abses yang
terbentuk di dalam saluran kripta akan pecah melalui kapsul tonsil dan berkumpul
pada tonsil bed. Pus yang berkumpul pada fosa supratonsil tersebut akan
menimbulkan penonjolan, pembengkakan dan edema dari palatum molle sehingga
tonsil akan terdorong kearah medial bawah. Walaupun sangat jarang abses
peritonsil dapat terbentuk di inferior14.
Abses peritonsiler juga bisa sebagai kelanjutan dari infeksi yang
bersumber dari kelenjar mukus weber. Kelenjar ini berhubungan dengan
permukaan atas tonsil lewat duktus dan kelenjar ini membersihkan area tonsil dari
debris dan sisa makanan yang terperangkap di kripta tonsil. Inflamasi pada
kelenjar weber dapat menyebabkan selulitis. Infeksi ini menyebabkan duktus
sampai permukaan tonsil menjadi lebih terobstruksi akibat inflamasi sekitarnya.
Hasilnya adalah nekrosis jaringan dan pembentukan pus yang menghasilkan tanda
dan gejala abses peritonsil15.

E. GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS


1. Anamnesis
Dari anamnesis mungkin ditemukan riwayat faringitis akut, tonsillitis, dan
rasa tidak nyaman pada tenggorokan atau faring unilateral yang semakin
memburuk.

Keparahan

dan

progresivitasnya

ditunjukkan

dari

trismus.

Kebanyakan pasien menderita nyeri hebat15.


Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub febris, disfagia dan
odinofagia yang menyolok dan spontan, hot potato voice, mengunyah terasa
sakit karena m. masseter menekan tonsil yang meradang, nyeri telinga (otalgia)
ipsilateral, foetor ex orae, perubahan suara karena hipersalivasi dan banyak ludah
yang menumpuk di faring, rinolalia aperta karena udem palatum molle (udem
dapat terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis = udem
perifokalis), trismus (terbatasnya kemampuan untuk membuka rongga mulut)
yang bervariasi, tergantung derajat keparahan dan progresivitas penyakit, trismus

menandakan adanya inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna,


sehingga menimbulkan spasme muskulus tersebut. Akibat limfadenopati dan
inflamasi

otot

tengkuk

(cervical

muscle

inflammation),

pasien

sering

mengeluhkan nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher (torticolis)7,2.


Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring
sampai dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada
kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral terdapat eritema, asimetri
palatum mole, eksudasi tonsil, dan pergeseran uvula kontralateral. Dan pada
palpasi palatum molle teraba fluktuasi. Nasofaringoskopi dan laringoskopi
fleksibel direkomendasikan pada pasien yang mengalami kesulitan bernapas,
untuk melihat ada tidaknya epiglotitis dan supraglotis 16,2.
PTA biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil yang
terkena, di fossa supratonsillar. Mukosa di lipatan supratonsillar tampak pucat dan
bahkan seperti bintil bintil kecil 10. Palpasi daerah palatum mole terdapat
fluktuasi. Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk
penderita yang mengalami gangguan pernafasan15.
Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration).
Tempat aspirasi dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine
dan jarum besar (berukuran 1618) yang biasa menempel pada syringe berukuran
10cc. Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan
material dapat dikirim untuk dibiakkan untuk mengetahui organisme penyebab
infeksi demi kepentingan terapi antibiotika16,1.

10

Gambar 2. tonsillitis akut (sebelah kiri) dan abses peritonsil (sebelah kanan).

2. Pemeriksaan Penunjang
Pada penderita PTA perlu dilakukan pemeriksaan9:
1. Hitung darah lengkap, pengukuran kadar elektrolit, dan kultur darah. Karena
pasien dengan abses peritonsil seringkali dalam keadaan sepsis dan
menunjukkan tingkat dehidrasi yang bervariasi akibat tidak tercukupinya
asupan makanan. Usap dan kultur tenggorok (throat swab and culture). Untuk
membantu dalam indentifikasi organisme penyebab infeksi. Hasilnya dapat
digunakan dalam pemilihan antibiotik yang tepat serta efektif, dan untuk
mencegah timbulnya resistensi antibiotik.
2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan
tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif,
penderita memerlukan evaluasi/ penilaian hepatosplenomegaly. Liver function
tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.
3. Throat culture atau throat swab and culture: diperlukan untuk identifikasi
organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan
antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi
antibiotik.

11

4. Pemeriksaan radiologi dapat membantu pada terapi abses peritonsil yang tidak
mengalami perbaikan setelah dilakukan inspirasi dan drainase atau terdapat
perburukan edema pada selulitis peritonsil yang telah diterapi. Pada kasus
tertentu dimana ternyata absesnya terdapat di tonsil itu sendiri dan atau
sebagian abses tersembunyi pada inferior atau posterior tonsil. Foto polos
dapat berupa pandangan jaringan lunak lateral dari nasofaring dan orofaring
dapat

membantu

dokter

dalam

menyingkirkan

diagnosis

abses

retropharyngeal. Pada posisi AP, terdapat distorsi jaringan lunak, tapi tidak
begitu membantu dalam menentukan lokasi abses.
5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan
hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan
penyengatan pada perifer (peripheral rim enhancement). Gambaran lainnya
termasuk pembesaran asimetrik tonsil dan fossa sekitarnya.
6. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography merupakan

teknik

pencitraan yang simpel dan non-invasif, dapat membedakan selulitis dan


abses.

F. KOMPLIKASI
Komplikasi abses peritonsil dapat berupa edema laring akibat tertutupnya
rima glotis atau edema glotis akibat proses perluasan radang ke bawah. Keadaan
ini membahayakan karena bisa menyebabkan obstruksi jalan napas. Abses yang
pecah secara spontan terutama waktu tidur dapat mengakibatkan aspirasi
pneumonia dan piemia. Abses yang ruptur spontan biasanya pecah dari pilar
anterior. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga dapat terjadi
abses

parafaring.

Kemudian

dapat

terjadi

penjalaran

ke

mediastinum

menimbulkan mediastinitis. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat


mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak. Sekuele
poststreptokokus (glomerulonefritis, demam rhematik) apabila bakteri penyebab
infeksi adalah streptococcus Grup A. Kematian, walaupun jarang dapat terjadi
akibat perdarahan atau nekrosis septik ke selubung karotis atau carotid sheath.

12

Dapat juga terjadi peritonsilitis kronis dengan aliran pus yang berjeda. Komplikasi
juga terjadi akibat tindakan insisi pada abses akibat perdarahan yang terjadi pada
arteri supratonsilar12.
Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA
diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari progresivitas penyakit. Untuk
itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.

G. DIAGNOSIS BANDING
Abses

peritonsil

harus

dibedakan

infiltrat

peritonsil.

Untuk

membedakannya, pada stadium infiltrasi belum terdapat trismus, dan kejadiaanya


baru berlangsung 1-3 hari. Untuk membedakannya dilakukan punksi percobaan
dan hasil pungsi tidak didapatkan pus7.
Karsinoma tonsil dicurigai bila permukaan tonsil tidak rata atau
permukaan bunga kubis dan ada jaringan nekrotik atau ulkus7.
Gambaran infeksi ruang submaksila juga bisa seperti abses peritonsil.
Infeksi ini biasanya terjadi akibat karies atau infeksi pada gigi molar. Pus dapat
mendorong otot-otot dalam ke arah konstriktor superior sehingga tonsil terdorong
ke medial, seperti pada quinsy1.
Diagnosis banding lainnya berupa abses leher dalam lainnya seperti abses
retrofaring dan abses parafaring, aneurisma arteri karotis interna, infeksi mastoid,
mononucleosis, infeksi kelenjar liur, dan adenitis tonsil12,10,15.

H. TERAPI

13

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat


simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada
leher. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau
ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg,
metronidazol 3-4 x 250-500 mg12.
Irigasi dengan larutan NaCl 0,85% hangat (110-1150F) atau glukosa 5%
tiap 2-3 jam dapat memberikan perbaikan simtomatis dari rasa sakit pada abses
peritonsiler. Kompres hangat di leher dan rahang akan mengendurkan ketegangan
otot1.
Terapi Operasi
Bila telah terjadi fluktuasi dan terapi konservatif tidak menolong, maka
tindakan aspirasi pus cukup memadai, tetapi lebih sering harus diikuti dengan
insisi. Drainase terbaik adalah tonsilektomi quinsy, yang dilakukan dengan
anastesi umum dan perlindungan antibiotika. Yang mengherankan, tonsil tidak
mengalami perdarahan hebat, dan sebenarnya tindakan ini lebih mudah
dibandingkan pengangkatan tonsil beberapa minggu kemudian, sewaktu ruangan
peritonsil yang sebelumnya terisi pus terah terobliterasi dengan jaringan parut dan
fibrosis, dan kapsul tonsilaris kurang mudah dikenali1.
Bila tidak terdapat ahli dan fasilitas untuk melakukan tonsilektomi
quinsy, maka terapi yang sesuai adalah insisi dan drainase melalui mulut.
Drainase di tempat praktek membutuhkan lampu kepala dan alat penyedot faring
yang baik, harus dilakukan di lokasi yang tepat, dan harus dilakukan tindakan
untuk menghindarkan aspirasi pus ke paru. Teknik insisi dan drainase
membutuhkan anastesi lokal. Faring disemprot dengan anastesi topikal. Kemudian
2 cc Xilocain dengan adrenalin 1/100.000 disuntikkan di regio insisi. Pisau tonsila
no. 12 atau no.11 dengan plester atau dengan kasa di bagian proksimal pisau dan
gagang pisau untuk mencegah penetrasi yang dalam, insisi dibuat melalui mukosa
dan submukosa dekat kutub atas fosa tonsilaris. Hemostat tumpul dimasukkan

14

melalui insisi ini dengan lembut direntangkan. Pengisapan tonsila sebaiknya


segera disediakan untuk mengumpulkan pus yang dilkeluarkan. Pada anak yang
lebih tua atau dewasa muda dengan trismus yang berat, pembedahan drainase
untuk abses peritonsiler mungkin dilakukan setelah aplikasi cairan kokain 4%
pada daerah insisi dan daerah ganglion sfenopalatina pada fosa nasalis untuk
mencapai n. palatina descenden. Anak-anak yang lebih muda membutuhkan
anastesi umum16. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak,
atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham
atas terakhir (lipatan supratonsiler)12. Bila dilakukan dengan tepat, hanya akan
terjadi sedikit perlukaan. Kesalahan tersering karena tidak membuat lubang yang
cukup panjang atau cukup dalam. Biasanya evakuasi pus akan diikuti perbaikan
segera gejala-gejala pasien14.
Karena abses peritonsil merupakan komplikasi tonsilitis akut yang
berulang-ulang, maka dianjurkan pada penderita abses peritonsil dilakukan
tonsilektomi, supaya tidak timbul abses yang berulang. Dapat dilakukan tindakan
operasi tonsilektomi a chaud (immediate tonsilektomi), yaitu tonsilektomi segera
mungkin setelah drainase abses. A tiede, yaitu tonsilektomi dilakukan 3-4 hari
setelah drainase abses. A froid (interval tonsilektomi), yaitu tonsilektomi
dilakukan 4-6 minggu sesudah drainase abses7.
Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3
minggu sesudah drainase abses12. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan
besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi
dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 68
minggu kemudian karena mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis,
sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi sesegera mungkin. Indikasiindikasi untuk tonsilektomi segera pada abses peritonsil, jika terdapat obstruksi
jalan napas atas, sepsis dengan adenitis servikalis atau abses ke leher bagian
dalam, riwayat abses peritonsiler sebelumnya, dan riwayat faringitis eksudatifa
berulang14.

15

Gambar 3. tonsilektomi

Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang


dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous
dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan
mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan
(throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya
diberi antibiotik parenteral.

I. PROGNOSIS
Abses peritonsoler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan
tonsilektomi.

16

BAB III
KESIMPULAN

Abses peritonsiler adalah infeksi leher dalam yang seringkali terjadi


sebagai komplikasi dari tonsillitis akut. Pasien dengan abses peritonsiler sering
datang dengan keluhan yang berat dan salah satu gejala yang sering membuat
pasien datang ke dokter adalah trismus karena peradangan pada m.pterigoid
interna. Akan tetapi tindakan yang dapat dilakukan untuk menangani abses
peritonsiler ini, tidaklah serumit yang dibayangkan, yaitu berupa insisi dan
drainase abses dengan anestesi. namun apabila tidak dilakukan tindakan yang
cepat, tepat dan efektif maka dapat menimbulkan komplikasi yang cukup berarti.

17

DAFTAR PUSTAKA
1. Iskandar H.N, Mangunkusumo E.H, Roezin A.H. Penyakit telinga, hidung,
tenggorok, kepala, dan leher. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994. Hal: 350352.
2. Mehta, Ninfa. MD. Peritonsillar abscess. Diakses pada Desember 2010.
Diakses dari: www.emedicine.com.
3. Soepardi E.A, Iskandar H.N. Abses peritonsiler. Dalam: Buku ajar ilmu
kesehatan telinga, hidung dan tenggorokan. Jakarta: FKUl; 2000. Hal:
185-189.
4. Adrianto, Petrus. Penyakit telinga, hidung dan tenggorokan. Jakarta: EGC;
1986. Hal: 296, 308- 09
5. Hatmansjah. Tonsilektomi. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89.
Jakarta: FKUI; 1993. Hal : 19-21
6. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Applied anatomy and physiology mouth
and pharynx. Dalam: Richard AB (ed). Ear, nose and throat disease, a
pocket reference 2nd rev.ed. New York: Thieme Flexibook; 1994. Hal:
307 -315.
7. Hasibuan R. A. H. Sp THT. Pharingology. Jakarta: Jala Penerbit; 2004. Hal:
38, 55-58.
8. Gray RF, Hawthrorne M. Anatomy of the mouth and pharynx. Dalam:
Synopsis of Otolaryngology 5th.ed. Singapore: Butterworth Heinemann;
1992. Hal: 288 304.
9. Anurogo, Dito. 2008. Tips Praktis Mengenali Abses Peritonsil. Accessed:
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&dn=20080125161248
10. Preston, M. Peritonsillar abscess (Quinsy). Diakses pada Desember 2010.
Diakses dari: http://www.patient.co.uk/showdoc/40000961/

18

11. Fachruddin, Darnila. Abses leher dalam. Dalam: Buku ajar ilmu kesehatan,
telinga-hidung-tenggorokan. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006. Hal:
185-196.
12. Bailey, Byron J. MD. Tonsillitis, tonsillectomy, and adenoidectomy. dalam :
Head and neck surgey-otolaryngology 2nd edition. Philadelphia:
Lippincott_Raven Publisher; 1999. Hal :1224, 1233-1234.
13. Andrianto P. Penyakit telinga hidung dan tenggorokan, Edisi V Jakarta:
EGC;1993. Hal: 308-309.
14. Steyer, T. E. Peritonsillar abscess: diagnosis and treatment. Diakses pada
Desember

2010.

Diakses

dari:

http://www.aafp.org/afp/20020101/93.html.
15. Efendi H. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Boies, buku
ajar penyakit THT Edisi VI. Jakarta: EGC; 1997. Hal: 333-354.

19

Вам также может понравиться