Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
somatic
(somatogenik)
neurofisiologi,
atau
neurokimia,
organobiologis
tingkat
mencakup
kematangan
dan
yang
menderita
skizofrenia
Kembar monozigot (satu telur)
86,2 %
14,5 %
Saudara kandung
14,2 %
Saudara tiri
7,1 %
Masyarakat umum
0,85%
(Coleman, J.C : Abnormal Psychology and Modern life. Taraporevala Sons & Co.,
Bombay, 1970. hal. 121).
2. Faktor Konstitusi
Tabel : Faktor konstitusi dan perilaku abnormal
Faktor konstitusi
Bentuk badan
Rupaya
berhubungan
dengan
apakah
individu
mengembangkan
reaksi yang agresif atau lebih menuju ke dalam terhadap
stres, jadi lebih berhubungan dengan jenis gangguan jiwa
Reaktivitas emosional
susunan
syaraf vegetatif
(kepekaan)
Kecerdasan
bakat
lain
(Coleman, J.C : Abnormal Psychology and Modern life. Taraporevala Sons & Co.,
Bombay, 1970. hal. 126).
3. Cacat Kongenital
Cacat kongenital atau sejak lahir dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak,
terlebih yang berat, seperti retardasi mental yang berat. Akan tetapi pada umumnya
pengaruh cacat ini pada timbulnya gangguan jiwa terutama tergantung pada individu
itu, bagaimana ia menilai dan menyesuaikan diri terhadap keadaan hidupnya yang
cacat atau berubah itu. Orang tua dapat mempersukar penyesuaian ini dengan
perlindungan yang berlebihan (proteksi berlebihan). Penolakan atau tuntutan yang
sudah di luar kemampuan anak. Singkatnya : kromosoma dan genes yang defektif
serta banyak faktor lingkungan sebelum, sewaktu dan sesudah lahir dapat
mengakibatkan gangguan badaniah. Cacat badaniah biasanya dapat dilihat dengan
jelas,tetapi gangguan sistim biokimiawi lebih halus dan sukar ditentukan. Gangguan
badaniah dapat mengganggu fungsi biologik atau psikologik secara langsung atau
dapat mempengaruhi daya tahan terahdap stres.
4. Perkembangan psikologik yang salah
- Ketidak matangan atau fixasi, yaitu inidvidual gagal berkembang lebih lanjut ke fase
berikutnya;
- Tempat-tempat lemah yang ditinggalkan oleh pengalaman yang traumatik sebagai
kepekaan terhadap jenis stres tertentu, atau
- Disorsi, yaitu bila inidvidu mengembangkan sikap atau pola reaksi yang tidak sesuai
atau gagal mencapai integrasi kepribadian yang normal.
5. Devrivasi dini
Deprivasi maternal atau kehilangan asuhan ibu di rumah sendiri, terpisah dengan ibu
atau di asrama, dapat menimbulkan perkembangan yang abnormal. Deprivasi
rangsangan umum dari lingkungan, bila sangat berat, ternyata berhubungan dengan
retardasi mental. Kekurangan protein dalam makanan, terutama dalam jangka waktu
lama sebelum anak breumur 4 tahun, dapat mengakibatkan retardasi mental.
Deprivasi atau frustrasi dini dapat menimbulkan tempat-tempat yang lemah pada
jiwa, dapat mengakibatkan perkembangan yang salah ataupun perkembangan yang
berhenti. Untuk perkembangan psikologik rupanya ada masa-masa gawat. Dalam
masa ini rangsangan dan pengalaman belajar yang berhubungan dengannya serta
pemuasan berbagai kebutuhan sangat perlu bagi urut-urutan perkembangan
intelektual, emosional dan sosial yang normal.
6. Keluarga yang patogenik
Tabel Beberapa sikap orang tua dan pengaruhnya pada anak
1. Melindungi anak secara Hanya memikirkan dirinya sendiri, hanya tidak
berlebihan
karena menuntut saja, lekas berekcil hati, tidak tahan
memanjanya
kekecewaan. Ingin menarik perhatian kepada dirinya
sendiri. Kurang rasa bertanggung jawab. Cenderung
menolak peraturan dan minta dikecualikan.
2. Melindungi
anak
secara
berlebihan
karena
sikap
berkuasa dan harus
tunduk saja
3. Penolakan
(anak
tidak disukai)
4. Menentukan
5. Disiplin
keras
norma-
yang
6. Disiplin yang tak teratur Sikap anak terhadap nilai dan normapun tak teratur.
atau yang bertentangan Kurang tetap dalam menghadapi berbagai persoalan
didorong kesana kemari antara berbagai nilai yang
bertentangan.
Menurut Cloninger, 1989 gangguan jiwa; terutama gangguan persepsi sensori dan
gangguan psikotik lainnya erat sekali penyebabnya dengan faktor genetik termasuk di
dalamnya saudara kembar, atau anak hasil adopsi. Individu yang memiliki anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa memiliki kecenderungan lebih tinggi
dibanding dengan orang yang tidak memiliki faktor herediter. Individu yang memiliki
hubungan sebagai ayah, ibu, saudara atau anak dari klien yang mengalami
gangguan jiwa memiliki kecenderungan 10 %, sedangkan keponakan atau cucu
kejadiannya 2-4 %. Individu yang memiliki hubungan sebagai kembar identik dengan
klien yang mengalami gangguan jiwa memiliki kecenderungan 46-48 %, sedangkan
kembar dizygot memiliki kecenderungan 14-17 %. Faktor genetik tersebut sangat
ditunjang dengan pola asuh yang diwariskan sesuai dengan pengalaman yang
dimiliki oleh anggota keluarga klien yang mengalami gangguan jiwa.
9. Neurogiological
Menurut Konsep Neurobiological gangguan jiwa sangat berkaitan dengan keadaan
struktur otak sebagai berikut : Abnormalities in the structure of the brain or in its
activity in specific locations can cause or contribute to psychiatric disorders. For
example, a communication problem in one small part of the brain can cause
widespread dysfunction. It is also known that the following network of nuclei that
control cognitive, behavioral, and emotional functioning ae particularly implicated in
psychiatric disorders : The cerebral cortex, which is critical in decision making and
higher-order thinking, such as abstract reasoning. The limbic system, which is
involved in regulating emotional behavior, memory, and learning. The basal ganglia,
some of which coordinate movement. The hypothalamus, which regulates hormones
through out the body and behaviors such as eating, drinking, and sex. The locus
ceruleus, which manufactures neurons, which regulate sleep and are involved with
behavior and mood. The substantia nigra, dopamine-producing cells involved in the
control of complex movement, thinking, and emotional responses.
Klien yang mengalami gangguan jiwa memiliki ciri-ciri biologis yang khas terutama
pada susunan dan struktur syaraf pusat, biasanya klien mengalami pembesaran
ventrikel ke III sebelah kirinya. Ciri lainnya terutama adalah pada klien yang
mengalami Schizofrenia memiliki lobus frontalis yang lebih kecil dari rata-rata orang
yang normal (Andreasen, 1991). Menurut Candel, Pada klien yang mengalami
gangguan jiwa dengan gejala takut serta paranoid (curiga) memiliki lesi pada daerah
Amigdala sedangkan pada klien Schizofrenia yang memiliki lesi pada area Wernicks
dan area Brocha biasanya disertai dengan Aphasia serta disorganisasi dalam proses
- Tekanan-tekanan yang timbul karena keadaan ekonomi, politik dan sosial yang
terganggu
-
Shock emosional yang hebat : ketakutan, kematian tiba-tiba orang yang dicintai.
Masa bayi
Yang dimaksud masa bayi adalah menjelang usia 2 3 tahun, dasar perkembangan
yang dibentuk pada masa tersebut adalah sosialisasi dan pada masa ini. Cinta dan
kasih sayang ibu akan memberikan rasa hangat/ aman bagi bayi dan dikemudian
hari menyebabkan kepribadian yang hangat, terbuka dan bersahabat. Sebaliknya,
sikap ibu yang dingin acuh tak acuh bahkan menolak dikemudian hari akan
berkembang
kepribadian
yang
bersifat
menolak
dan
menentang
terhadap
lingkungan. Sebaiknya dilakukan dengan tenang, hangat yang akan memberi rasa
aman dan terlindungi, sebaliknya, pemberian yang kaku, keras dan tergesa-gesa
akan menimbulkan rasa cemas dan tekanan.
Pada usia ini sosialisasi mulai dijalankan dan telah tumbuh disiplin dan otoritas.
Penolakan orang tua pada masa ini, yang mendalam atau ringan, akan menimbulkan
rasa tidak aman dan ia akan mengembangkan cara penyesuaian yang salah, dia
mungkin menurut, menarik diri atau malah menentang dan memberontak. Anak yang
tidak mendapat kasih sayang tidak dapat menghayati disiplin tak ada panutan,
pertengkaran dan keributan membingungkan dan menimbulkan rasa cemas serta
rasa tidak aman. hal-hal ini merupakan dasar yang kuat untuk timbulnya tuntutan
tingkah laku dan gangguan kepribadian pada anak dikemudian hari.
Masa remaja
Secara jasmaniah, pada masa ini terjadi perubahan-perubahan yang penting yaitu
timbulnya tanda-tanda sekunder (ciri-ciri diri kewanitaan atau kelaki-lakian) Sedang
secara kejiwaan, pada masa ini terjadi pergolakan- pergolakan yang hebat. pada
masa ini, seorang remaja mulai dewasa mencoba kemampuannya, di suatu pihak ia
merasa sudah dewasa (hak-hak seperti orang dewasa), sedang di lain pihak belum
sanggup dan belum ingin menerima tanggung jawab atas semua perbuatannya.
Egosentris bersifat menentang terhadap otoritas, senang berkelompok, idealis
adalah sifat-sifat yang sering terlihat. Suatu lingkungan yang baik dan penuh
pengertian akan sangat membantu proses kematangan kepribadian di usia remaja.
Sebagai patokan masa ini dicapai kalau status pekerjaan dan sosial seseorang
sudah mantap. Sebagian orang berpendapat perubahan ini sebagai masalah ringan
seperti rendah diri. pesimis. Keluhan psikomatik sampai berat seperti murung,
kesedihan yang mendalam disertai kegelisahan hebat dan mungkin usaha bunuh
diri.
Masa tua
Ada dua hal yang penting yang perlu diperhatikan pada masa ini Berkurangnya daya
tanggap, daya ingat, berkurangnya daya belajar, kemampuan jasmaniah dan
kemampuan social ekonomi menimbulkan rasa cemas dan rasa tidak aman serta
sering mengakibatkan kesalah pahaman orang tua terhadap orang di lingkungannya.
Perasaan terasing karena kehilangan teman sebaya keterbatasan gerak dapat
menimbulkan kesulitan emosional yang cukup hebat.
Sistem Nilai : Perbedaan sistem nilai moral dan etika antara kebudayaan yang satu
dengan yang lain, antara masa lalu dengan sekarang sering menimbulkan masalahmasalah kejiwaan. Begitu pula perbedaan moral yang diajarkan di rumah / sekolah
dengan yang dipraktekkan di masyarakat sehari-hari.
yang buruk, waktu istirahat dan berkumpul dengan keluarga sangat terbatas dan
sebagainya merupakan sebagian mengakibatkan perkembangan kepribadian yang
abnormal.
I. Kesadaran
A. Gangguan Kesadaran
1. Disorientasi : gangguan orientasi waktu, tempat, atau orang.
2. Pengaburan kesadaran : kejernihan ingatan yang tidak lengkap dengan gangguan
persepsi dan sikap.
3. Stupor : hilangnya reaksi dan ketidaksadaran terhadap lingkungan sekeliling.
4. Delirium : kebingungan, gelisah, konfusi, reaksi disorientasi yang disertai dengan
rasa takut dan halusinasi.
5. Koma : derajat ketidaksadaran yang berat
6. Koma vigil : koma dimana pasien tampak tertidur tetapi segera dapat
dibangunkan (juga dikenal sebagai mutisme akinetik).
7. Keadaan temaram (twilight state) : gangguan kesadaran dengan halusinasi.
8. Keadaan seperti mimpi (dreamlike state) : seringkali digunakan secara sinonim
dengan kejang parsial kompleks atau epilepsy psikomotor.
9. Somnolensi : mengantuk yang abnormal yang paling sering ditemukan pada
proses organik.
B. Gangguan atensi (perhatian) : atensi adalah usaha untuk memusatkan pada bagian
tertentu dari pengalaman, kemampuan untuk mempertahankan perhatian pada satu
aktivitas, dan kemampuan untuk berkonsentrasi.
1. Distraktibilitas : ketidakmampuan untuk memusatkan atensi, penarikan atensi
kepada stimuli eksternal yang tidak penting atau tidak relevan.
2. Inatensi selektif : hambatan hanya pada hal-hal yang menimbulkan kecemasan.
3. Hipervigilensi : atensi dan pemusatan yang berlebihan pada semua stimuli
internal dan eksternal, biasanya sekunder dari keadaan delusional atau paranoid.
4. Keadaan tak sadarkan diri (trance) : atensi yang terpusat dan kesadaran yang
berubah, biasanya terlihat pada hypnosis, gangguan disosiatif, dan pengalaman
religius yang luar biasa.
C. Gangguan Sugestibilitas : kepatuhan dan respon yang tidak kritis terhadap gagasan
atau pengaruh.
1. Folie a deux (folie a trois) : penyakit emosional yang berhubungan antara dua
atau tiga orang.
2. Hipnosis : modifikasi kesadaran yang diinduksi secara buatan yang ditandai
dengan peningkatan sugestibilitas.
II. Emosi : suatu kompleks keadaan perasaan dengan komponen psikis, somatic, dan
perilaku yang berhubungan dengan afek dan mood.
A. Afek : ekspresi emosi yang terlihat; mungkin tidak konsisten dengan emosi yang
dikatakan pasien.
1. Afek yang sesuai : kondisi dimana irama emosional adalah harmonis dengan
gagasan, pikiran, atau pembicaraan yang menyertai.
2. Afek yang tidak sesuai : ketidakharmonisan antara irama perasaan emosional
dengan gagasan, pikiran, atau pembicaraan yang menyertainya.
3. Afek yang tumpul : gangguan pada afek yang dimanifestasikan oleh penurunan
berat pada intensitas irama perasaan yang diungkapkan ke luar.
4. Afek yang terbatas : penurunan intensitas irama perasaan yang kurang parah
daripada afek yang tumpul tetapi jelas menurun.
5. Afek yang datar : tidak adanya atau hampir tidak adanya tanda ekspresi afek;
suara yang monoton, wajah yang tidak bergerak.
6. Afek yang labil : perubahan irama perasaan yang cepat dan tiba-tiba, yang tidak
berhubungan dengan stimuli eksternal.
B. Mood : suatu emosi yang meresap dan dipertahankan, yang dialami secara subjektif
dan dilaporkan oleh pasien dan terlihat oleh orang lain.
1. Mood disforik : mood yang tidak menyenangkan.
2. Mood eutimik : mood dalam rentang normal, menyatakan tidak adanya mood
yang tertekan atau melambung.
3. Mood yang meluap-luap (expansive mood) : ekspresi perasaan seseorang tanpa
pembatasan, seringkali dengan penilaian yang berlebihan terhadap kepentingan
atau makna seseorang.
4. Mood yang iritabel : dengan mudah diganggu atau dibuat marah.
5. Pergeseran mood (mood yang labil) : mood yang berubah-ubah.
6. Mood yang meninggi (elevated mood) : suasana keyakinan dan kesenangan;
suatu mood yang lebih ceria dari biasanya.
7. Euforia : elasi yang kuat dengan perasaan kebesaran.
8. Ectasy : kegembiraan yang luar biasa.
9. Depresi : perasaan kesedihan yang psikopatologis.
10. Anhedonia : hilangnya minat terhadap dan menarik diri dari semua aktivitas rutin
dan menyenangkan, seringkali disertai dengan depresi.
11. Dukacita atau berkabung : kesedihan yang sesuai dengan kehilangan yang nyata.
12. Aleksitimia : ketidakmampuan atau kesulitan dalam menggambarkan atau
menyadari emosi atau mood seseorang.
C. Emosi yang lain
1. Kecemasan : perasaan ketakutan yang disebabkan oleh dugaan bahaya, yang
mungkin berasal dari dalam atau luar.
2. Kecemasan yang mengambang bebas : rasa takut yang meresap dan tidak
terpusatkan yang tidak berhubungan dengan suatu gagasan.
3. Ketakutan : kecemasan yang disebabkan oleh bahaya yang dikenali secara sadar
dan realistis.
4. Agitasi : kecemasan berat yang disertai dengan kegelisahan motoric.
5. Ketegangan : peningkatan aktivitas motoric dan psikologis yang
tidak
menyenangkan.
6. Panik : serangan kecemasan yang akut, episodic, dan kuat yang disertai dengan
perasaan ketakutan yang melanda dan pelepasan otonomik.
7. Apati : irama emosi yang tumpul yang disertai dengan ketidakacuhan.
wanita.
Satiriasis : kebutuhan untuk koitus yang kuat dan kompulsif pada seorang laki-
laki.
Trikotilomania : kompulsi untuk mencabut rambut.
Ritual : aktivitas kompulsif otomatis dalam sifat, menurunkan kecemasan yang
orisinil.
Ataksia : kegagalan koordinasi otot; iregularitas gerakan otot.
Polifagia : makan berlebihan yang patologis.
11. Hipoaktivitas (hipokinesis) : penurunan aktivitas motoric dan kognitif, seperti pada
retardasi psikomotor; perlambatan pikiran, bicara, dan pergerakan yang dapat
terlihat.
12. Mimikri : aktivitas motoric tiruan dan sederhana pada anak-anak.
13. Agresi : tindakan yang kuat dan diarahkan tujuan yang mungkin verbal atau fisik,
bagian motoric dari afek kekasaran, kemarahan, atau permusuhan.
14. Memerankan (acting out) : ekspresi langsung dari suatu harapan atau impuls yang
tidak disadari dalam bentuk gerakan; fantasi yang tidak disadari dihidupkan secara
impulsive dalam perilaku.
15. Abulia : penurunan impuls untuk bertindak dan berpikir, disertai dengan
ketidakacuhan tentang akibat tindakan, disertai dengan deficit neurologis.
IV. Berpikir
A. Gangguan umum dalam bentuk atau proses berpikir
1. Gangguan mental : sindroma perilaku atau psikologis yang bermakna secara klinis,
disertai dengan penderitaan atau ketidakmampuan, tidak hanya suatu respon yang
diperkirakan dari peristiwa tertentu atau terbatas pada hubungan antara seseorang
dan masyarakat.
2. Psikosis : ketidakmampuan untuk membedakan kenyataan dari fantasi.
3. Tes realitas : pemeriksaan dan pertimbangan objektif tentang dunia di luar diri.
4. Gangguan pikiran formal : berpikir ditandai dengan kekenderan asosiasi, neologisme,
dan kontruksi yang tidak logis, proses berpikir mengalami gangguan, dan orang
didefinisikan sebagai psikotik.
5. Berpikir tidak logis : berpikir mengandung kesimpulan yang salah.
6. Dereisme : aktivitas mental yang tidak sesuai dengan logika atau pengalaman.
7. Berpikir magis
8. Proses berpikir primer : tidak logis, magis, normalnya ditemukan pada mimpi, abnormal
pada psikosis.
B. Gangguan spesifik pada bentuk pikiran
1. Neologisme : kata baru yang diciptakan
oleh
pasien,
seringkali
dengen
mengkombinasikan suku kata dari kata-kata lain, untuk alasan keanehan psikologis.
2. Word salad (gado-gado kata) : campuran kata-kata dan fras yang membingungkan.
3. Sirkumstansialitas : bicara yang tidak langsung yang lambat dalam mencapai tujuan
tetapi akhirnya dari titik awal mencapai tujuan yang diharapkan.
4. Tangensialitas : ketidakmampuan untuk mempunyai asosiasi pikiran yang diarahkan
oleh tujuan.
5. Inkoherensi (pembicaraan yang tidak logis) : pikiran yang biasanya tidak dapat
dimengerti, berjalan bersama pikiran atau kata-kata dengan hubungan yang tidak logis
atau tanpa tata bahasa yang menyebabkan disorganisasi.
6. Perseverasi : respon terhadap stimulus sebelumnya yang menetap setelah stimulus
baru diberikan, sering disertai dengan gangguan kognitif.
7. Verbigerasi : pengulangan kata-kata atau frasa-frasa spesifik yang tidak mempunyai
arti.
8. Ekolalia : pengulangan kata-kata atau frasa-frasa seseorang oleh seseorang lain
secara psikopatologis.
9. Kondensasi : penggabungan berbagai konsep menjadi satu konsep.
10. Jawaban yang tidak relevan : jawaban yang tidak harmonis dengan pertanyaan yang
ditanyakan.
11. Pengenduran asosiasi : aliran pikiran dimana gagasan-gagasan bergeser dari satu
subjek ke subjek lain dalam cara yang sama sekali tidak berhubungan.
12. Keluar dari jalur (derailment) : penyimpangan yang mendadak dalam urutan pikiran
tanpa penghambatan.
13. Flight of ideas : verbalisasi atau permainan kata-kata yang cepat dan terus-menerus
yang menghasilkan pergeseran terus-menerus dari satu ide ke ide lain.
14. Asosiasi bunyi (clang association) : asosiasi kata-kata yang mirip bunyinya tetapi
berbeda artinya.
15. Penghambatan (blocking) : terputusnya aliran berpikir secara tiba-tiba sebelum
pikiran atau gagasan diselesaikan.
16. Glossolalia : ekspresi pesan-pesan yang relevan melalui kata-kata yang tidak dapat
dipahami.
C. Gangguan spesifik pada isi pikiran
1. Kemiskinan isi pikiran : pikiran yang memberikan sedikit informasi karena tidak ada
pengertian, pengulangan kosong, atau frasa yang tidak jelas.
2. Gagasan yang berlebihan : keyakinan palsu yang dipertahankan dan tidak beralasan
yang dipertahankan secara kurang kuat dibandingkan dengan suatu waham.
3. Waham : keyakinan palsu, didasarkan pada kesimpulan yang salah tentang kenyataan
eksternal, tidak sejalan dengan inteligensia pasien dan latar belakang kultural, yang
tidak dapat dikoreksi dengan suatu alasan.
a) Waham yang kacau (bizzare delusion) : keyakinan palsu yang aneh, mustahil, dan
sama sekali tidak masuk akal (sebagai contohnya, orang dari angkasa luar telah
menanamkan suatu elektroda pada pada otak pasien).
b) Waham tersistematisasi : keyakinan yang palsu yang digabungkan oleh suatu
tema atau peristiwa tunggal (sebagai contohnya, pasien dimata-matai oleh agen
rahasia, mafia, atau boss).
c) Waham yang sejalan dengan mood : waham dengan isi yang sesuai dengan
mood
(sebagai
contohnya,
seorang
pasien
depresi
percaya
bahwa
ia
i)
j)
Clearambault-Kandinsky).
m) Pseudologia phantastica : suatu jenis kebohongan dimana seseorang tampaknya
percaya terhadap kenyataan fantasinya dan bertindak atas kenyataan, disertai
dengan sindroma Munchausen, berpura-pura sakit yang berulang.
4. Kecenderungan atau preokupasi pikiran : pemusatan isi pikiran pada ide tertentu,
disertai dengan irama afektif yang kuat, seperti kecenderungan paranoid atau
preokupasi tentang bunuh diri atau membunuh.
5. Egomania : preokupasi pada diri sendiri yang patologis.
6. Monomania : preokupasi dengan suatu objek tunggal.
7. Hipokodria : keprihatinan yang berlebihan tentang kesehatan pasien yang didasarkan
bukan pada patologi organic yang nyata, tetapi pada interpretasi yang tidak realistic
terhadap tanda atau sensasi fisik yang sebagai abnormal.
8. Obsesi : ketekunan yang patologis dari suatu pikran atau perasaan yang tidak dapat
ditentang yang tidak dapat dihilangkan dari kesadaran oleh usaha logika, yang disertai
dengan kecemasan (juga dikenal sebagai perenungan [rumination]).
9. Kompulsi : kebutuhan yang patologis untuk melakukan suatu impuls yang jika ditahan
menyebabkan kecemasan.
10. Kopronalia : pengungkapan secara kompulsif dari kata-kata yang cabul.
11. Fobia : rasa takut patologis yang persisten, irasional, berlebihan, dan selalu terjadi
terhadap suatu jenis stimulus atau situasi tertentu; menyebabkan keinginan yang
memaksa untuk menghindari stimulus yang ditakuti
a) Fobia sederhana : rasa takut yang jelas terhadap objek atau situasi yang jelas
(sebagai contohnya,rasa takut terhadap laba-laba atau ular).
b) Fobia social : rasa takut akan keramaian masyarakat, seperti rasa takut berbicara
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)
j)
k)
12.
berdarah).
Panfobia : rasa takut terhadap segala sesuatu.
Klaustrafobia : rasa takut terhadap tempat yang tertutup.
Xenofobia : rasa takut terhadap orang asing.
Zoofobia : rasa takut terhadap binatang.
Noesis : suatu wahyu dimana terjadi pencerahan yang besar sekali diserta dengan
perasaan bahwa pasien telah dipilih untuk memimpin dan merintah.
13. Unio mystica : suatu perasaan yang meluap, pasien secara mistik bersatu dengan
kekuatan yang tidak terbatas, tidak dianggap suatu gangguan dalam isi pikiran jika
sejalan dengan keyakinan pasien atau lingkungan kultural.
V. Bicara
A. Gangguan Bicara
1. Tekanan bicara : bicara cepat yaitu peningkatan jumlah dan kesulitan untuk memutus
pembicaraan.
2. Kesukaan bicara (logorrhea) : bicara yang banyak sekali, bertalian dan logis.
3. Kemiskinan bicara (poverty of speech): pembatasan jumlah bicara yang digunakan;
jawaban mungkin hanya satu suku kata (monosyllabic).
4. Bicara yang tidak spontan : respon verbal yang diberikan hanya jika ditanya atau
dibicarakan langsung; tidak ada bicara yang dimulai dari diri sendiri.
5. Kemiskinan isi bicara : bicara yang adekuat dalam jumlah tetapi memberikan sedikit
informasi karena ketidakjelasan, kekosongan, atau frasa yang stereoptik.
6. Disprosodi : hilangnya irama bicara yang normal (disebut prosodi).
7. Disartria : kesulitan dalam artikulasi, bukan dalam penemuan kata atau tata bahasa.
8. Bicara yang keras atau lemah secara berlebihan : hilangnya modulasi volume bicara
normal, dapat mencerminkan berbagai keadaan patologis mulai dari psikosis sampai
depresi sampai ketuliaan.
9. Gagap : pengulangan atau perpanjangan suara atau suku kata yang sering
menyebabkan gangguan kefasihan bicara yang jelas.
10. Kekacauan : bicara yang aneh dan disritmik, yang mengandung semburan yang
cepat dan menyentak.
B. Gangguan Afasik : gangguan dalam pengeluaran bahasa.
1. Afasia motoric : gangguan bicara yang disebabkan oleh gangguan kognitif dimana
pengertian adalah tetap tetapi kemampuan untuk bicara sangat terganggu,bicara
terhenti-henti, susah payah, dan tidak akurat (juga dikenal sebagai afasia broca, tidak
fasih, dan ekspresif).
2. Afasia sensoris : kehilangan kemampuan organic untuk mengerti arti kata, bicara
lancar dan spontan,tetapi membingungkan dan yang bukan-bukan (juga dikenal
sebagai afasia Wernicke, fasih, dan reseptif).
3. Afasia nominal : kesulitan untuk menemukan nama yang tepat untuk suatu benda (juga
dikenal sebagai afasia anomia dan amnestic).
4. Afasia sintatikal : ketidakmampuan untuk menyusun kata-kata dalam urutan yang
tepat.
5. Afasia logat khusus : kata-kata yang dihasilkan seluruhnya neologistik, kata-kata yang
bukan-bukan diulangi dengan berbagai intonasi dan nada suara.
6. Afasia global : kombinasi afasia yang sangat tidak fasih dan afasia fasih yang berat.
IV. Persepsi
A. Gangguan Persepsi
1. Halusinasi : persepsi sensoris yang palsu yang tidak disertai dengan stimuli eksternal
yang nyata.
a) Halusinasi hipnagogik: persepsi sensoris yang palsu yang terjadi saat akan
tertidur, biasanya dianggap sebagai fenomena yang nonpatologis.
b) Halusinasi hipnopompik : persepsi palsu yang terjadi saat terbangun dari tidur;
biasanya dianggap tidak patologis.
c) Halusinasi dengar (auditoris): persepsi bunyi yang palsu, biasanya suara tetapi
juga bunyi-bunyi lain, seperti musik.
d) Halusinasi visual : persepsu palsu tentang penglihatan yang berupa citra yang
berbentuk (sebagai contohnya, orang) dan citra yang tidak berbentuk (sebagai
contohnya, kilatan cahaya).
e) Halusinasi cium (oflaktoris): persepsi membau yang palsu.
f) Halusinasi kecap (gustatoris): persepsi tentang rasa kecap yang palsu; seperti
rasa kecap yang tidak menyenangkan yang disebabkan oleh kejang.
g) Halusinasi raba (taktil, haptic): persepsi palsu tentang perabaan atau sensasi
permukaan, seperti dari tungkai yang teramputasi (phantom limb), sensasi
adanyan gerakan pada atau dibawah kulit (kesemutan).
h) Halusinasi somatic : sensasi palsu tentang sesuatu hal yang terjadi di dalam atau
terhadap tubuh, paling sering berasal dari visceral (juga dikenal sebagai
i)
halusinasi kenestetik).
Halusinasi liliput : persepsi yang palsu dimana benda-benda tampak lebih kecil
j)
bahwa pasien memiliki harga diri, kekuatan, dan pengetahuan yang tinggi).
k) Halusinasi yang tidak sejalan dengan mood : sebagai contohnya, pada pasien
depresi, halusinasinya tidak melibatkan tema-tema tersebut seperti rasa bersalah,
penghukuman yang layak diterima, atau ketidakmampuan; pada mania, halusinasi
tidak mengandung tema-tema tersebut seperti harga diri atau kekuasaan yang
l)
tinggi.
Halusinosis:
halusinasi,
paling
sering
adalah
halusinasi
dengar,
yang
B.
Gangguan
yang
berhubungan
dengan
gangguan
kognitif
agnosia
d. Dj vu : ilusi pengenalan visual dimana situasi yang baru secara keliru dianggap
sebagai suatu pengulangan ingatan sebelumnya.
e. Deja entendu : ilusi pengenalan auditoris.
f. Deja pense : ilusi bahwa suatu pikiran yang sebelumnya telah dirasakan atau
diekspresikan.
g. Jamais vu : perasaan palsu tentang ketidakkenalan terhadap situasi nyata yang
telah dialami oleh seseorang.
3. Hipermnesia : peningkatan derajat penyimpanan dan pengingatan.
4. Eidetic image : ingatan visual tentang kejelasan halusinasi.
5. Screen memory : ingatan yang dapat ditoleransi secara sadar menutupi ingatan yang
menyakitkan.
6. Represi : suatu mekanisme pertahanan yang ditandai oleh pelupaan secara tidak
disadari terhadap gagasan atau impuls yang tidak dapat diterima.
7. Letologika : ketidakmampuan sementara untuk mengingat suatu nama atau suatu kata
benda yang tepat.
B. Tingkat daya ingat
1. Segera (immediate): reproduksi atau pengingatan hal-hal yang dirasakan dalam
beberapa detik sampai menit.
2. Baru saja (recent): pengingatan peristiwa yang telah lewat beberapa hari.
3. Agak lama (recent past): pengingatan peristiwa yang telah lewat selama beberapa
bulan.
4. Jauh (remote): pengingatan peristiwa yang telah lama terjadi.
VIII Inteligensia
A. Retardasi mental : kurangnya inteligensia sampai derajat dimana terdapat gangguan
pada kinerja social dan kejuruan: ringan (IQ 50 atau 55 sampai kira-kira 70), sedang
(IQ 35 atau 40 sampai 50 atau 55), berat (IQ 20 atau 25 sampai 35 atau 40), atau
sangat berat (IQ dibawah 20 atau 25).
B. Dimensia : pemburukan fungsi intelektual organic dan global tanpa pengaburan
kesadaran.
a. Diskalkulia (alkalkulia): hilangnya kemampuan untuk melakukan perhitungan yang
tidak disebabkan oleh kecemasan atau gangguan konsentrasi.
b. Disgrafia (agrafia): hilangnya kemampuan untuk menulis dalam gayan yang kursif;
hilangnya struktur kata.
c. Aleksia : hilangnya kemampuan membaca yang sebelumnya dimiliki; tidak
disebabkan oleh gangguan ketajaman penglihatan.
C. Pseudodemensia : gambaran klinis yang menyerupai demensia yang tidak
disebabkan oleh suatu kondisi organic; paling sering disebabkan oleh depresi
(sindroma demensia dari depresi).
D. Berpikir konkret : berpikir harafiah; penggunaan kiasan yang terbatas tanpa
pengertian nuansa arti, pikiran satu dimensional.
E. Berpikir abstrak : kemampuan untuk mengerti nuansa arti; berpikir multidimensional
dengan kemampuan menggunakan kiasan dan hipotesis dengan tepat.
IX. Tilikan (insight) : kemampuan pasien untuk mengerti penyebab sebenarnya dan arti
dari suatu situasi.
Faktor
Psikosis
Neurosis
perilaku umum
Gangguan terjadi
pada seluruh
aspek kepribadian,
tidak ada kontak
dengan realitas.
gejala-gejala
3
orientasi
pemahaman
(insight)
resiko sosial
penyembuhan
Penderita sering
mengalami
disorientasi (waktu,
tempat, dan orangorang).
Penderita tidak
emahami bahwa dirinya
sakit.
Perilaku penderita
dpt. membahayakan
orang lain dan diri
sendiri.
Penderita
memerlukan
perawatan di rumah
sakit. Kesembuhan
seperti keadaan
semula dan
permanen sulit
dicapai.
Kesembuhan
seperti semula dan
permanen sangat
mungkin untuk dicapai..
kemampuan
intelektualnya
biasanya
tetap
terpelihara,
walaupun
Gangguan skizotipal : bila istilah ini digunakan untuk diagnosis, tiga atau empat
gejala khas berikut ini harus sudah ada secara menerus atau secara episodic,
sedikitnya untuk 2 tahunlamanya : afek yang tidak wajar atau yang
menyempit/constricted (individu tampak dingin dan acuh tak acuh); perilaku atau
penampilan yang aneh, eksentrik atau ganjil; hubungan social yang buruk
dengan orang lain dan tendensi menarik diri dari pergaulan social; kepercayaan
yang aneh atau pikiran bersifat magik, yang mempengaruhi perilaku dan tidak
serasi dengan norma-norma budaya setempat; kecurigaan atau ide-ide paranoid;
pikiran obsesif berulang-ulang yang tak terkendali sering dengan isi yang bersifat
dysmorphophobic (keyakinan tentang bentuk tubuh yang tidak normal/buruk
dan tidak terlihat secara objektif oleh orang lain), seksual atau agresif; persepsipersepsi
panca
indera
yang
tidak
lazim
termasuk
mengenai
tubuh
Gangguan waham : waham baik tunggal maupun sebagai suatu sistem waham
harus sudah ada sedikitnya 3 bulan lamanya, dan harus bersifat khas pribadi
(personal) dan bukan budaya setempat. Gejala-gejala depresif atau bahkan
suatu episode depresif yang lengkap/full-blown mungkin terjadi secara intermiten,
dengan syarat bahwa waham-waham tersebut menetap pada saat-saat tidak
terdapat gangguan afektif itu. Tidak boleh ada bukti tentang penyakit otak,
halusinasi auditorik atau hanya kadang-kadang saja ada dan bersifat sementara.
Tidak ada riwayat gejala-gejala skizofrenia (waham dikendalikan, siar pikirran,
penumpulan afek, dsb).
Tingkat keparahan gejala (mania dengan gejala psikotik, mania tanpa gejala
psikotik, dan hipomania; serta depresi ringan, sedang, berat tanpa gejala psikotik
maupun berat dengan gejala psikotik).
adaptif selalu ada, tetapi dalam lingkungan social terlindung dimana sarana
pendukung cukup tersedia, hendaya ini mungkin tidak tampak sama sekali pada
penyandang retardasi mental ringan.
9. Gangguan perkembangan psikologis (F80 F89)
Ciri khas : gejala perkembangan khusus, onset masa kanak. Gangguan-gangguan
yang termasuk dalam gangguan perkembangan psikologis memiliki gambaran
sebagai berikut : onset bervariasi selama masa bayi atau kanak=kanak; adanya
hendaya atau kelambatan perkembangan fungsi-fungsi yang berhubungan erat
dengan kematangan biologis dari susunan saraf pusat; dan berlangsung secara
terus-menerus tanpa adanya remisi dan kekambuhan yang khas bagi banyak
gangguan jiwa. Pada sebagian besar kasus, fungsi-fungsi yang dipengaruhi
termasuk bahasa, keterampilan visuo-spatial dan/atau koordinasi motoric. Yang khas
adalah hendayanta berkurang secara progresif dengan bertambahnya usia anak
(walaupun deficit yang lebih ringan sering menetap sampai masa dewas).
10. Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak dan remaja (F90
F98)
Ciri khas : gejala perilaku/emosional, onset masa kanak. Anak dengan gangguan
perilaku menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan permintaan, kebiasaan atau
norma-norma masyarakat (Maramis, 1994).Anak dengan gangguan perilaku dapat
menimbulkan kesukaran dalam asuhan dan pendidikan. Gangguan perilaku mungkin
berasal dari anak atau mungkin dari lingkungannya, akan tetapi akhirnya kedua
faktor ini saling memengaruhi. Diketahui bahwa ciri dan bentuk anggota tubuh serta
sifat kepribadian yang umum dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya.Pada
gangguan otak seperti trauma kepala, ensepalitis, neoplasma dapat mengakibatkan
perubahan kepribadian.Faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi perilaku anak,
dan sering lebih menentukan oleh karena lingkungan itu dapat diubah, maka dengan
demikian gangguan perilaku itu dapat dipengaruhi atau dicegah.
11. F99 Gangguan jiwa yang tidak tergolongkan
Ini merupakan kategori yang tersisa yang tidak dianjurkan, kecuali tidak ada kode
diagnosis lain dari F00 F98 dapat digunakan.
H. TERAPI GANGGUAN JIWA
1. Terapi psikofarmaka
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada
Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan
perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap
taraf kualitas hidup klien (Hawari, 2001). Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa
golongan,
diantaranya:
antipsikosis,
anti-depresi,
anti-mania,
anti-ansietas,
Terapi Bermain
Terapi bermain diterapkan karena ada anggapan dasar bahwa anak-anak
akan dapat berkomunikasi dengan baik melalui permainan dari pada dengan
ekspresi
verbal.
Dengan
bermain
perawat
dapat
mengkaji
tingkat
adaptif.
Dengan
demikian,
frekuensi
perilaku
maladaptif
atau
menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendiri, dan tingkah laku yang aneh
dapat diturunkan. Latihan keterampilan perilaku dapat dilakukan dengan permainan
simulasi, atau melakukan keterampilan dalam melakukan pekerjaan rumah.
5. Terapi psikomotor.
Terapi psikomotor adalah suatu bentuk terapi yang mempergunakan gerakan tubuh
sebagai salah satu cara untuk melakukan analisa berbagai gejala yang mendasari
suatu bentuk gangguan jiwa. Analisa yang diperoleh dapat dipakai sebagai bahan
diskusi dinamika dari perilaku serta responnya dalam perubahan perilaku dengan
tujuan mendapatkan perilaku yang paling sesuai dengan dirinya.
6. Terapi rekreasi.
Terapi rekreasi adalah suatu bentuk terapi yang mempergunakan media rekreasi
(bermain, olahraga, darmawisata, menonton TV, dan sebagainya) dengan tujuan
mengurangi ketergangguan emosional dan memperbaiki perilaku melalui diskusi
tentang kegiatan rekreasi yang telah dilakukan, sehingga perilaku yang baik di ulang
dan yang buruk dihilangkan.
7. Art terapi.
Art terapi adalah suatu bentuk terapi yang menggunakan media seni (tari, lukisan,
musik, pahat, dan sebagainya) untuk mengekspresikan ketegangan-ketegangan
psikis sehingga dapat menyalurkan dorongan-dorongan yang terpendam dalam jiwa
seseorang. Hasil seni yang dibuat selain dapat dinikmati orang lain dan dirinya juga
akan meningkatkan harga diri seseorang. Perawat jiwa yang selalu dekat dengan
pasien diharapkan dapat memberikan berbagai kegiatan yang terarah dan berguna
bagi pasien dalam berbagai terapi tersebut.
8. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah segala tindakan fisik, penyesuaian psikososial dan latihan
vokasional sebagai usaha untuk memperoleh fungsi dan penyesuaian diri yang
optimal serta mempersiapkan klien secara fisik, mental, sosial dan vokasional untuk
suatu kehidupan penuh sesuai dengan kemampuannya (Nasution, 2006).
Rehabilitasi adalah suatu proses yang kompleks, meliputi berbagai disiplin dan
merupakan gabungan dari usaha medik, sosial, educational, yang terpadu untuk
mempersiapkan, meningkatkan/mempertahankan dan membina seseorang agar
dapat mencapai kembali taraf kemampuan fungsional setinggi mungkin. Peran
perawat dalam kegiatan rehabilitasi masih diperlukan terutama dalam melibatkan
keluarga atau masyarakat dalam pelaksanaan dan memperlancar upaya rehabilitasi.
1. Definisi Skizofrenia
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis atau kambuh ditandai
dengan terdapatnya perpecahan (schism) antara pikiran, emosi dan perilaku pasien yang
terkena. Perpecahan pada pasien digambarkan dengan adanya gejala fundamental (atau
primer) spesifik, yaitu gangguan pikiran yang ditandai dengan gangguan asosiasi,
khususnya kelonggaran asosiasi. Gejala fundamental lainnya adalah gangguan afektif,
autism, dan ambivalensi. Sedangkan gejala sekundernya adalah waham dan halusinasi
(Kaplan & Sadock, 2004).
Berdasarkan DSM-IV, skizofrenia merupakan gangguan yang terjadi dalam durasi
paling sedikit selama 6 bulan, dengan 1 bulan fase aktif gejala (atau lebih) yang diikuti
munculnya delusi, halusinasi, pembicaraan yang tidak terorganisir, dan adanya perilaku
yang katatonik serta adanya gejala negative (APA, 2000).
2. Kriteria Diagnostik Skizofrenia
Menurut Kaplan & Sadock (2004), terdapat beberaapa kriteria diagnostic skizofrenia
di dalam DSM-IV antara lain:
A. Karakteristik gejala
Terdapat dua (atau lebih) dari kriteria di bawah ini, masing-masing ditemukan secara
signifikan selama periode satu bulan (atau kurang, bila berhasil ditangani):
1)
Delusi (waham)
2)
Halusinasi
3)
4)
Perilaku yang tidak terorganisasi secara luas atau munculnya perilaku katatonik
yang jelas.
5)
Gejala negative, yaitu adanya afek yang datar, alogia atau avolisis (tidak adanya
kemauan).
Catatan : Hanya diperlukan satu gejala dari kriteria A, jika delusi yang muncul
bersifat kacau (bizzare) atau halusinasi terdiri dari beberapa suara yang terusmenerus mengomentari perilaku atau pikiran pasien, atau dua atau lebih suara
yang saling berbincang antara satu dengan yang lainnya.
B. Disfungsi social atau pekerjaan
Untuk
kurun
waktu
yang
signifikan
sejak
munculnya
onset
gangguan,
ketidakberfungsian ini meliputi satu atau lebih fungsi utama, seperti pekerjaan,
hubungan interpersonal, atau perawatan diri, yang jelas di bawah tingkat yang dicapai
sebelum onset (atau jika onset pada masa anak-anak atau remaja, adanya kegagalan
untuk mencapai beberapa tingkatan hubungan interpersonal, prestasi akademik, atau
pekerjaan yang diharapkan).
C. Durasi
Adanya tanda-tanda gangguan yang terus-menerus menetap selama sekurangnya
enam bulan. Pada periode enam bulan ini, harus termasuk sekurangnya satu bulan
gejala (atau kurang, bila berhasil ditangani) yang memenuhi kriteria A (yaitu fase aktif
gejala) dan mungkin termasuk pada periode gejala prodromal atau residual. Selama
periode prodromal atau residual ini, tanda-tanda dari gangguan mungkin hanya
dimanifestasikan oleh gejala negative atau dua atau lebih gejala yang dituliskan dalam
kriteria A dalam bentuk yang lemah.
D. Di luar gangguan skizoafektif dan gangguan mood
Gangguan-gangguan lain dengan ciri psikotik tidak dimasukkan, karena:
1)
Tidak ada episode depresif mayor, manik atau episode campuran yang terjadi
secara bersamaan yang terjadi bersama dengan gejala fase aktif.
2)
Jika episode mood terjadi selama gejala fase aktif, maka durasi totalnya akan
relative lebih singkat bila dibandingkan dengan durasi periode aktif atau
residualnya.
tidak
disebabkan
oleh
efek
fisiologis
langsung
dari
suatu
zat
menonjol untuk sekurang-kurangnya selama satu bulan (atau kurang jika berhasil
ditangani).
Klasifikasi perjalanan gangguan jangka panjang (klasifikasi ini hanya dapat
diterapkan setelah sekurang-kurangnya satu tahun atau lebih, sejak onset awal dari
munculnya gejala fase aktif):
a) Episodik dengan gejala residual interepisode (episode ini dinyatakan dengan
munculnya kembali gejala psikotik yang menonjol), khususnya dengan gejala
negative yang menonjol.
b) Episodik tanpa gejala residual interepisodik.
c) Kontinum (ditemukan adanya gejala psikotik yang menonjol di seluruh periode
observasi), dengan gejala negative yang menonjol.
d) Episode tunggal dalam remisi parsial, khususnya dengan gejala negative yang
menonjol.
e) Episode tunggal dalam remisi penuh
f)
3. Etiologi
Teori tentang penyebab skizofrenia, yaitu :
a. Diatesis-Stress Model
Teori ini menggabungkan antara faktor biologis, psikososial, dan lingkungan yang
secara khusus mempengaruhi diri seseorang sehingga dapat menyebabkan
berkembangnya gejala skizofrenia. Dimana ketiga faktor tersebut saling berpengaruh
secara dinamis (Kaplan & Sadock, 2004).
b. Faktor Biologis
Dari faktor biologis dikenal suatu hipotesis dopamine yang menyatakan bahwa
skizofrenia disebabkan oleh aktivitas dopaminergic yang berlebihan di bagian kortikal
otak, dan berkaitan dengan gejala positif dari skizofrenia. Penelitian terbaru juga
menunjukkan pentingnya neurotransmitter lain termasuk serotonin, norepinefrin,
glutamate, dan GABA. Selain perubahan yang sifatnya neurokimiawi, penelitian
menggunakan CT Scan ternyata ditemukan perubahan anatomi otak seperti
pelebaran lateral ventrikel, atropi koteks atau atropi otak kecil (cerebellum), terutama
pada penderita kronis skizofrenia (Kaplan & Sadock, 2004).
c. Genetika
Faktor genetika telah dibuktikan secara meyakinkan. Resiko masyarakat umum 1%,
pada orang tua resiko 5%, pada saudara kandung 8%, dan pada anak 12% apabila
salah satu orang tua menderita skizofrenua, walaupun anak telah dipisahkan dari
orang tua sejak lahir, anak dari kedua orang tua skizofrenia 40%. Pada kembar
monozigot 47%,sedangkan untuk kembar dizigot sebesar 12% (Kaplan & Sadock,
2004).
d. Teori Psikososial
Teori perkembangan
Ahli teori Sullivan dan Erikson mengemukakan bahwa kurangnya perhatian yang
hangat dan penuh kasih saying di tahun-tahun awal kehidupan berperan dalam
menyebabkan kurangnya identitsa diri, salah interpretasi terhadap realitas dan
menarik diri dari hubungan social pada penderita skizofrenia (Sirait, 2008).
Teori belajar
Menurut ahli teori belajar (learning theory), anak-anak yang menderita
skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berfikir irasional orang tua yang
mungkin memiliki masalah emosional yang bermakna. Hubungan interpersonal
yang buruk dari penderita skizofrenia akan berkembang karena mempelajari
model yang buruk selama anak-anak (Sirait, 2008).
Teori keluarga
Tidak ada teori yang terkiat dengan peran keluarga dalam menimbulkan
skizofrenia. Namun beberapa penderita skizofrenia berasal dari keluarga yang
disfungsional (Sirait, 2008).
4. Tipe-Tipe Skizofrenia
Berdasarkan definisi dan kriteria diagnostic tersebut, skizofrenia di dalam DSM-IV
dapat dikelompokkan menjadi beberapa subtype, yaitu (Kaplan & Sadock, 2004):
a. Skizofrenia Paranoid
Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
-
Preokupasi dengan satu atau lebih delusi atau halusinasi dengar yang menonjol
secara berulang-ulang.
Tidak ada yang menonjol dari berbagai keadaan berikut ini : pembicaraan yang
tidak terorganisasi, perilaku yang tidak terorganisasi atau katatonik, atau afek
yang datar atau tidak sesuai.
b. Skizofrenia terdisorganisasi
Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Berikut ini semuanya menonjol : pembicaraan yang tidak terorganisasi, perilaku
yang tidak terorganisasi, dan afek yang datar atau tidak sesuai.
2. Tidak memenuhi kriteria untuk tipe katatonik.
c. Skizofrenia Katatonik
Tipe skizofrenia dengan gambaran klinis yang didominasi oleh sekurang-kurangnya
dua hal berikut ini :
-
Aktivitas motoric yang berlebihan (tidak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh
stimulus eksternal).
Terdapat terus tanda-tanda gangguan, seperti adanya gejala negative atau dua
atau lebih gejala yang terdapat dalam kriteria A, walaupun ditemukan dalam
bentuk yang lemah (misalnya, keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi yang
tidak lazim).
Gejala positif : merupakan tanda yang biasanya pada orang kebanyakan tidak ada,
namun pada pasien skizofrenia justru muncul. Gejala positif adalah gejala yang
bersifat aneh, antara lain berupa delusi, halusinasi, ketidakteraturan pembicaraan, dan
perubahan perilaku (Kaplan & Sadock, 2004).
Gejala negative : adalah menurunnya atau tidak adanya perilaku tertentu, seperti
perasaan yang datar, tidak adanya perasaan yang bahagia dan gembira, menarik diri,
ketiadaan pembicaraan yang berisi, mengalami gangguan social, serta kurangnya
motivasi untuk beraktivitas (Kaplan & Sadock, 2004).
Kategori gejala yang ketiga adalah disorganisasi, antara lain perilaku yang aneh
(misalnya katatonia, dimana pasien menampilkan perilkau tertentu berulang-ulang,
menampilkan pose tubuh yang aneh, atau waxy flexibility, yaitu orang lain dapat
memutar atau membentuk posisi tertentu dari anggota badan pasien, yang akan
dipertahankan dalam waktu yang lama) dan disorganisasi pembicaraan. Adapun
disorganisasi pembicaraan adalah masalah dalam mengorganisasikan ide dan
pembicaraan, sehingga orang lain tidak mengerti (dikenal dengan gangguan berfikir
formal) misalnya asosiasi longgar, inkoherensi, dan sebagainya (Prabowo, 2007).
Individu yang mengalami fase prodromal dapat berlangsung selama beberapa minggu
hingga
bertahun-tahun,
sebelum
gejala
lain
yang
memenuhi
kriteria
untuk
besar
penderita
gangguan
skizofrenia
memiliki
kelainan
pada
kemampuannya untuk melihat realitas dan kesulitan dalam mencapai insight. Sebagai
akibatnya episode psikosis dapat ditandai oleh adanya kesenjangan yang semakin
besar antara individu dengan lingkungan sosialnya (Prabowo, 2007).
c. Fase Residual
Fase residual terjadi setelah fase aktif gejala paling sedikit terdapat dua gejala dari
kriteria A pada kriteria diagnosis skizofrenia yang bersifat menetap dan tidak
disebabkan oleh gangguan afek atau gangguan penggunaan zat. Dalam perjalanan
gangguannya, beberapa pasien skizofrenia mengalami kekambuhan hingga lebih dari
lima kali. Oleh karena itu, tantangan terapi saat ini adalah untuk mengurangi dan
mencegah terjadinya kekambuhan.
Penegakan prognosis dapat menghasilkan dua kemungkinan, yaitu prognosis positif
apibal didukung oleh beberapa aspek berikut, seperti: onset terjadi pada usia yang lebih
lanjut, faktor pencetusnya jelas, adanya kehidupan yang relative baik sebelum terjadinya
gangguan dalam bidang social, pekerjaan, dan seksual, fase prodromal terjadi secara
singkat, munculnya gejala gangguan mood, adanya gejala positif, sudah menikah, dan
adanya sistem pendukung yang baik (Kaplan & Sadock, 2004).
Sedangkan prognosis negative, dapat ditegakkan apabila muncul beberapa keadaan
seperti berikut : onset gangguan lebih awal, faktor pencetus tidak jelas, riwayat
kehidupan sebelum terjadinya gangguan kurang baik, fase prodromal terjadi cukup lama,
adanya perilaku yang autistic, melakukan penarikan diri, statusnya lajang, bercerai, atau
pasangannya telah meninggal, adanya riwayat keluarga yang mengidap skizofrenia,
munculnya gejala negative, sering kambuh secara berulang, dan tidak adanya sistem
pendukung yang baik (Kaplan & Sadock, 2004).
7. Terapi
a. Terapi Biologis
Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi dengan
menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif, dan pembedahan bagian otak.
Terapi dengan penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejala-gejala
skizofrenia. Obat yang digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine
decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat phenothiazines,
reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini disebut obat penenang utama.
Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi tidak
mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi (orang
tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini cukup tepat bagi penderita
skizofrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan
(Durand, 2007).
Terapi
Elektrokonvulsif
juga
dikenal
sebagai
terapi
electroshock
pada
gangguan
skizofrenia
yang
kronik
mengakibatkan
situasi
pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan
menjemukan. Secara historis, sejumlah penanganan psikososial telah diberikan pada
pasien skizofrenia, yang mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan ini
merupakan akibat masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai pengalaman
yang dialami di usia dini. Pada terapi psikosial terdapat dua bagian yaitu terapi
kelompok dan terapi keluarga (Durand, 2007).
Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi ini,
beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai
fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Para peserta terapi saling
memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta diposisikan
pada situasi sosial yang mendorong peserta untuk berkomunikasi, sehingga dapat
memperkaya pengalaman peserta dalam kemampuan berkomunikasi.
Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok.
Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan
tinggal bersama keluarganya. Keluarga berusaha untuk menghindari ungkapanungkapan emosi yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali. Dalam
hal ini, keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaanperasaan, baik yang positif maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan
untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama. Keluarga diberi
pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk menghadapinya. Dari
beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Fallon (Davison, et al., 1994; Rathus,
et al., 1991) ternyata campur tangan keluarga sangat membantu dalam proses
penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit penderita,
dibandingkan dengan terapi-terapi secara individual.