Вы находитесь на странице: 1из 42

KONSEP GANGGUAN JIWA

A. Definisi Gangguan Jiwa


Konsep gangguan jiwa dari PPDGJ II yang merujuk ke DSM-III, mendefinisikan
gangguan jiwa adalah sindrom atau perilaku, atau psikologik seseorang, yang secara
klinik cukup bermakna, dan yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan
(distress) atau hendaya (impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi yang
penting dari manusia. Yang diartikan sebagai disability adalah keterbatasan/kekurangan
kemampuan untuk melaksanakan suatu aktivitas pada tingkat personal, yaitu melakukan
kegiatan hidup sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan
kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air besar dan
kecil) (Maslin, Rusdi, 2001).
Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya
kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak mampu
menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan (Stuart &
Sundeen, 1998).
B. Etiologi Gangguan Jiwa
Sumber penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang saling
mempengaruhi (Yosep, 2007) yaitu:
1. Faktor-faktor
neuroanatomi,

somatic

(somatogenik)

neurofisiologi,

atau

neurokimia,

organobiologis
tingkat

mencakup

kematangan

dan

perkembangan organic, dan faktor-faktor pre dan peri-natal.


2. Faktor-faktor psikologik (psikogenik) atau psikoedukatif : dapat berupa interaksi
ibu-anak, peranan ayah, persaingan antara saudara kandung, intelegensi,
hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan dan masyarakat. Faktor
psikologik lainnya adalah kehilangan yang mengakibatkan kecemasan, depresi,
rasa malu atau rasa salah, konsep diri, keterampilan, bakat dan kreativitas dan
tingkat perkembangan emosi.
3. Faktor-faktor sosio-budaya (sosiogenik) atau sosiokultural : faktor-faktor sosiobudaya yang dapat menyebabkan gangguan jiwa yaitu kestabilan keluarga, pola
mengasuh anak, tingkat ekonomi, dan lokasi perumahan (perkotaan lawan
pedesaan).
Menurut Singgih dalam Yosep, 2007, penyebab gangguan mental dapat disebabkan
oleh beberapa hal yaitu prasangka orang tua yang menetap, penolakan atau shock yang

dialami pada masa anak, ketidaksanggupan memuaskan keinginan dasar dalam


pengertian kelakuan yang dapat diterima umum, kelelahan yang luar biasa, kecemasan,
ansietas, kejemuan, masa-masa perubahan fisiologis yang hebat, pubertas dan
menopause, tekanan-tekanan yang timbul karena keadaan ekonomi, politik, dan social
yang terganggu, keadaan iklim yang mempengaruhi exhaustion dan toxema, penyakit
kronis, missal AIDS, trauma kepada dan vertebra, kontaminasi zat toksik, dan shock
emosional yang hebat.
1. Faktor Keturunan
Tabel Penelitian saudara kembar dan saudara kandung yang salah satunya menderita
skizofrenia
Hubungan dengan pasien skizofrenia

yang

menderita

skizofrenia
Kembar monozigot (satu telur)

86,2 %

Kembar heterozigot (dua telur)

14,5 %

Saudara kandung

14,2 %

Saudara tiri

7,1 %

Masyarakat umum

0,85%

(Coleman, J.C : Abnormal Psychology and Modern life. Taraporevala Sons & Co.,
Bombay, 1970. hal. 121).
2. Faktor Konstitusi
Tabel : Faktor konstitusi dan perilaku abnormal
Faktor konstitusi

Hubungan dengan perkembangan abnormal

Bentuk badan

Tidak jelas peranannyua, tetapi disproporsi badaniah,


kelemahan dan penampakan yang jelek umpamanya
lebih sering berhubungan dengan gangguan jiwa daripada
bentuk badan yang baik dan menarik

Energi dan kegiatan

Rupaya

berhubungan

dengan

apakah

individu

mengembangkan
reaksi yang agresif atau lebih menuju ke dalam terhadap
stres, jadi lebih berhubungan dengan jenis gangguan jiwa

yang timbul bila individu itu terganggu jiwanya


Reaktivitas

Reaktivitas emosional

susunan

yang tinggi mungkin sekali

berhubungan dengan realisasi berlebihan terhadap stres


ringan dan pembentukan rasa takut yang tak perlu;

syaraf vegetatif

reaktivitas emosional yang kurang, dapat mengakibatkan


sosialisasi yang tidak sesual karena reaksi yang terlalu
sedikit.

Daya tahan badaniah Membantu menentukan toleransi stres biologik dan


psikologik dan sistem organ apakah yang paling mudah
terganggu. Ada individu yang sangat mudah terganggu
sistem badaniahnya karena fungsi otaknya
Sensitivitas

Menentukan sebagian dari jenis stres yang terhadapnya

(kepekaan)

anak itu paling peka dan menentukan besarnya stres


yang dapat ditahan tanpa gangguan jiwa; mempengaruhi
cara anak menanggapi dunia.

Kecerdasan

dan Mempengaruhi kesempatan anak untuk berhasil dal;am

bakat

pertandingan/ persaingan sehingga mempengaruhi juga

lain

kepercayaan pada diri sendiri berdasarkan keberhasilan

(Coleman, J.C : Abnormal Psychology and Modern life. Taraporevala Sons & Co.,
Bombay, 1970. hal. 126).
3. Cacat Kongenital
Cacat kongenital atau sejak lahir dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak,
terlebih yang berat, seperti retardasi mental yang berat. Akan tetapi pada umumnya
pengaruh cacat ini pada timbulnya gangguan jiwa terutama tergantung pada individu
itu, bagaimana ia menilai dan menyesuaikan diri terhadap keadaan hidupnya yang
cacat atau berubah itu. Orang tua dapat mempersukar penyesuaian ini dengan
perlindungan yang berlebihan (proteksi berlebihan). Penolakan atau tuntutan yang
sudah di luar kemampuan anak. Singkatnya : kromosoma dan genes yang defektif
serta banyak faktor lingkungan sebelum, sewaktu dan sesudah lahir dapat
mengakibatkan gangguan badaniah. Cacat badaniah biasanya dapat dilihat dengan
jelas,tetapi gangguan sistim biokimiawi lebih halus dan sukar ditentukan. Gangguan
badaniah dapat mengganggu fungsi biologik atau psikologik secara langsung atau
dapat mempengaruhi daya tahan terahdap stres.
4. Perkembangan psikologik yang salah

- Ketidak matangan atau fixasi, yaitu inidvidual gagal berkembang lebih lanjut ke fase
berikutnya;
- Tempat-tempat lemah yang ditinggalkan oleh pengalaman yang traumatik sebagai
kepekaan terhadap jenis stres tertentu, atau
- Disorsi, yaitu bila inidvidu mengembangkan sikap atau pola reaksi yang tidak sesuai
atau gagal mencapai integrasi kepribadian yang normal.
5. Devrivasi dini
Deprivasi maternal atau kehilangan asuhan ibu di rumah sendiri, terpisah dengan ibu
atau di asrama, dapat menimbulkan perkembangan yang abnormal. Deprivasi
rangsangan umum dari lingkungan, bila sangat berat, ternyata berhubungan dengan
retardasi mental. Kekurangan protein dalam makanan, terutama dalam jangka waktu
lama sebelum anak breumur 4 tahun, dapat mengakibatkan retardasi mental.
Deprivasi atau frustrasi dini dapat menimbulkan tempat-tempat yang lemah pada
jiwa, dapat mengakibatkan perkembangan yang salah ataupun perkembangan yang
berhenti. Untuk perkembangan psikologik rupanya ada masa-masa gawat. Dalam
masa ini rangsangan dan pengalaman belajar yang berhubungan dengannya serta
pemuasan berbagai kebutuhan sangat perlu bagi urut-urutan perkembangan
intelektual, emosional dan sosial yang normal.
6. Keluarga yang patogenik
Tabel Beberapa sikap orang tua dan pengaruhnya pada anak
1. Melindungi anak secara Hanya memikirkan dirinya sendiri, hanya tidak
berlebihan
karena menuntut saja, lekas berekcil hati, tidak tahan
memanjanya
kekecewaan. Ingin menarik perhatian kepada dirinya
sendiri. Kurang rasa bertanggung jawab. Cenderung
menolak peraturan dan minta dikecualikan.
2. Melindungi
anak
secara
berlebihan
karena
sikap
berkuasa dan harus
tunduk saja

Kurang berani dalam pekerjaan, condong lekas


menyerah. Bersikap pasif dan bergantung kepada
orang lain. Ingin menjadi anak emas dan menerima
saja segala perintah.

3. Penolakan
(anak
tidak disukai)

Merasa gelisah dan diasingkan. Bersikap melawan


orang tua dan mencari bantuan kepada orang lain.
Tidak mampu memberi dan menerima kasih-sayang.

4. Menentukan

Menilai dirinya dan hal lain juga dengan norma yang


terlalu keras dan tinggi. Sering kaku dan keras dalam
norma etika dan moral
pergaulan.
Cenderung
menjadi
sempurna
yang terlalu tinggi
(perfectionnism) dengan cara yang berlebihan. Lekas
merasa bersalah, berdosa dan tidak berarti.

5. Disiplin
keras

norma-

yang

terlaluMenilai dan menuntut dari pada dirinya juga secara


terlalu keras. Agar dapat meneruskan dan
menyelesaikan
sesuatu
usaha
dengan
baik,
diperlukannya sikap menghargai yang tinggi dari luar.

6. Disiplin yang tak teratur Sikap anak terhadap nilai dan normapun tak teratur.
atau yang bertentangan Kurang tetap dalam menghadapi berbagai persoalan
didorong kesana kemari antara berbagai nilai yang
bertentangan.

7. Faktor sosiologik dalam perkembangan yang salah


Alfin Toffler mengemukakan bahwa yang paling berbahaya di zaman modern, di
negara-negara dengan super-industrialisasi, ialah kecepatan perubahan dan
pergantian yang makin cepat dalam hal ke-sementara-an (transience), ke-baruan (novelty) dan ke-aneka-ragaman (diversity). Dengan demikian individu
menerima rangsangan yang berlebihan sehingga kemungkinan terjadinya kekacuan
mental lebih besar. Karena hal ini lebih besar kemungkiannya dalam masa depan,
maka dinamakannya shok masa depan (future shock). Telah diketahui bahwa
seseorang yang mendadak berada di tengah-tengah kebudayaan asing dapat
mengalami gangguan jiwa karena pengaruh kebudayaan ini yang serba baru dan
asing baginya. Hal ini dinamakan shock kebudayaan (culture shock). Seperti
seorang inidvidu, suatu masyarakat secara keseluruhan dapat juga berkembang ke
arah yang tidak baik. Hal ini dapat dipengaruhi oleh lingkungan fisik (umpamanya
daerah yang dahulu subur berubah menjadi tandus) ataupun oleh keadaan sosial
masyarakat itu sendiri (umpanya negara dengan pimpinan diktatorial, diskriminasi
rasial.religius yang hebat, ketidakadilan sosial, dan sebagainya). Hal-hal ini
merendahkan daya tahan frustasi seluruh masyarakat (kelompok) dan menciptakan
suasana sosial yang tidak baik sehingga para anggotanya secara perorangan dapat
menjurus ke gangguan mental. Faktor-faktor sosiokultural membentuk, baik macam
sikap individu dan jenis reaksi yang dikembangkannya, maupun jenis stres yang
dihadapinya.
8. Genetika

Menurut Cloninger, 1989 gangguan jiwa; terutama gangguan persepsi sensori dan
gangguan psikotik lainnya erat sekali penyebabnya dengan faktor genetik termasuk di
dalamnya saudara kembar, atau anak hasil adopsi. Individu yang memiliki anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa memiliki kecenderungan lebih tinggi
dibanding dengan orang yang tidak memiliki faktor herediter. Individu yang memiliki
hubungan sebagai ayah, ibu, saudara atau anak dari klien yang mengalami
gangguan jiwa memiliki kecenderungan 10 %, sedangkan keponakan atau cucu
kejadiannya 2-4 %. Individu yang memiliki hubungan sebagai kembar identik dengan
klien yang mengalami gangguan jiwa memiliki kecenderungan 46-48 %, sedangkan
kembar dizygot memiliki kecenderungan 14-17 %. Faktor genetik tersebut sangat
ditunjang dengan pola asuh yang diwariskan sesuai dengan pengalaman yang
dimiliki oleh anggota keluarga klien yang mengalami gangguan jiwa.
9. Neurogiological
Menurut Konsep Neurobiological gangguan jiwa sangat berkaitan dengan keadaan
struktur otak sebagai berikut : Abnormalities in the structure of the brain or in its
activity in specific locations can cause or contribute to psychiatric disorders. For
example, a communication problem in one small part of the brain can cause
widespread dysfunction. It is also known that the following network of nuclei that
control cognitive, behavioral, and emotional functioning ae particularly implicated in
psychiatric disorders : The cerebral cortex, which is critical in decision making and
higher-order thinking, such as abstract reasoning. The limbic system, which is
involved in regulating emotional behavior, memory, and learning. The basal ganglia,
some of which coordinate movement. The hypothalamus, which regulates hormones
through out the body and behaviors such as eating, drinking, and sex. The locus
ceruleus, which manufactures neurons, which regulate sleep and are involved with
behavior and mood. The substantia nigra, dopamine-producing cells involved in the
control of complex movement, thinking, and emotional responses.
Klien yang mengalami gangguan jiwa memiliki ciri-ciri biologis yang khas terutama
pada susunan dan struktur syaraf pusat, biasanya klien mengalami pembesaran
ventrikel ke III sebelah kirinya. Ciri lainnya terutama adalah pada klien yang
mengalami Schizofrenia memiliki lobus frontalis yang lebih kecil dari rata-rata orang
yang normal (Andreasen, 1991). Menurut Candel, Pada klien yang mengalami
gangguan jiwa dengan gejala takut serta paranoid (curiga) memiliki lesi pada daerah
Amigdala sedangkan pada klien Schizofrenia yang memiliki lesi pada area Wernicks
dan area Brocha biasanya disertai dengan Aphasia serta disorganisasi dalam proses

berbicara (Word salad). Adanya

Hiperaktivitas Dopamin pada klien dengan

gangguan jiwa seringkali menimbulkan gejala-gejala Schizofrenia. Menurut hasil


penelitian, neurotransmitter tertentu seperti Norepinephrine pada klien gangguan jiwa
memegang peranan dalam proses learning, Memory reiforcement, Siklus tidur dan
bangun, kecemasan, pengaturan aliran darah dan metabolisme. Neurotransmitter lain
berfungsi sebagai penghambat aktivasi dopamin pada proses pergerakan yaitu GABA
(Gamma Amino Butiric Acid). Menurut Singgih gangguan mental dan emosi juga bisa
disebabkan oleh perkembangan jaringan otak yang tidak cocok (Aplasia). Kadangkadang seseorang dilahirkan dengan perkembangan cortex cerebry yang kurang
sekali, atau disebut sebagai otak yang rudimenter (Rudimentary Brain). Contoh
gangguan tersebut terlihat pada Microcephaly yang ditandai oleh kecilnya tempurung
otak. Adanya trauma pada waktu kelahiran, tumor, Infeksi otak seperti Enchepahlitis
Letargica, gangguan kelenjar endokrin seperti thyroid, keracunan CO (carbon
Monoxide) serta perubahan-perubahan karena degenerasi yang mempengaruhi
sistem persyarafan pusat.
10. Neurobehavioral
Kerusakan pada bagian-bagian otak tertentu ternyata memegang peranan pada
timbulnya gejalagejala gangguan jiwa, misalnya: Kerusakan pada lobus frontalis:
menyebabkan kesulitan dalam proses pemecahan masalah dan perilaku yang
mengarah pada tujuan, berfikir abstrak, perhatian dengan manifestasi gangguan
psikomotorik. Kerusakan pada Basal Gangglia dapat menyebabkan distonia dan
tremor Gangguan pada lobus temporal limbic akan meningkatkan kewaspadaan,
distractibility, gangguan memori (Short time).
11. Stres
Stress psikososial dan stress perkembangan yang terjadi secara terus menerus
dengan koping yang tidak efektif akan mendukung timbulnya gejala psikotik dengan
manifestasi; kemiskinan, kebodohan, pengangguran, isolasi sosial, dan perasaan
kehilangan.

Menurut Singgih (1989:184), beberapa penyebab gangguan mental

dapat ditimbulkan sebagai berikut :


- Prasangka orang tua yang menetap, penolakan atau shock yang dialami pada masa
anak.
- Ketidak sanggupan memuasakan keinginan dasar dalam pengertian kelakuan yang
dapat diterima umum.
-

Kelelahan yang luar biasa, kecemasan, anxietas, kejemuan

Masa-masa perubahan fisiologis yang hebat : Pubertas dan menopause

- Tekanan-tekanan yang timbul karena keadaan ekonomi, politik dan sosial yang
terganggu
-

Keadaan iklim yang mempengaruhi Exhaustion dan Toxema

Penyakit kronis misalnya; shifilis, AIDS

Trauma kepala dan vertebra

Kontaminasi zat toksik

Shock emosional yang hebat : ketakutan, kematian tiba-tiba orang yang dicintai.

12. Penyalahgunaan obat-obatan


Koping yang maladaptif yang digunakan individu untuk menghadapi strsessor melalui
obat-obatan yang memiliki sifat adiksi (efek ketergantungan) seperti Cocaine,
amphetamine menyebabkan gangguan persepsi, gangguan proses berfikir, gangguan
motorik dsb.
13. Sebab Psikologik
Bermacam pengalaman frustasi, kegagalan dan keberhasilan yang dialami akan
mewarnai sikap, kebiasaan dan sifatnya dikemudian hari. Hidup seorang manusia
dapat dibagi atas 7 masa dan pada keadaan tertentu dapat mendukung terjadinya
gangguan jiwa.

Masa bayi
Yang dimaksud masa bayi adalah menjelang usia 2 3 tahun, dasar perkembangan
yang dibentuk pada masa tersebut adalah sosialisasi dan pada masa ini. Cinta dan
kasih sayang ibu akan memberikan rasa hangat/ aman bagi bayi dan dikemudian
hari menyebabkan kepribadian yang hangat, terbuka dan bersahabat. Sebaliknya,
sikap ibu yang dingin acuh tak acuh bahkan menolak dikemudian hari akan
berkembang

kepribadian

yang

bersifat

menolak

dan

menentang

terhadap

lingkungan. Sebaiknya dilakukan dengan tenang, hangat yang akan memberi rasa
aman dan terlindungi, sebaliknya, pemberian yang kaku, keras dan tergesa-gesa
akan menimbulkan rasa cemas dan tekanan.

Masa anak pra sekolah (2-7 tahun)

Pada usia ini sosialisasi mulai dijalankan dan telah tumbuh disiplin dan otoritas.
Penolakan orang tua pada masa ini, yang mendalam atau ringan, akan menimbulkan
rasa tidak aman dan ia akan mengembangkan cara penyesuaian yang salah, dia
mungkin menurut, menarik diri atau malah menentang dan memberontak. Anak yang
tidak mendapat kasih sayang tidak dapat menghayati disiplin tak ada panutan,
pertengkaran dan keributan membingungkan dan menimbulkan rasa cemas serta
rasa tidak aman. hal-hal ini merupakan dasar yang kuat untuk timbulnya tuntutan
tingkah laku dan gangguan kepribadian pada anak dikemudian hari.

Masa anak sekolah


Masa ini ditandai oleh pertumbuhan jasmaniah dan intelektual yang pesat. Pada
masa ini, anak mulai memperluas lingkungan pergaulannya. Keluar dari batas-batas
keluarga. Kekurangan atau cacat jasmaniah dapat menimbulkan gangguan
penyesuaian diri. Dalam hal ini sikap lingkungan sangat berpengaruh, anak mungkin
menjadi rendah diri atau sebaliknya melakukan kompensasi yang positif atau
kompensasi negatif.

Masa remaja
Secara jasmaniah, pada masa ini terjadi perubahan-perubahan yang penting yaitu
timbulnya tanda-tanda sekunder (ciri-ciri diri kewanitaan atau kelaki-lakian) Sedang
secara kejiwaan, pada masa ini terjadi pergolakan- pergolakan yang hebat. pada
masa ini, seorang remaja mulai dewasa mencoba kemampuannya, di suatu pihak ia
merasa sudah dewasa (hak-hak seperti orang dewasa), sedang di lain pihak belum
sanggup dan belum ingin menerima tanggung jawab atas semua perbuatannya.
Egosentris bersifat menentang terhadap otoritas, senang berkelompok, idealis
adalah sifat-sifat yang sering terlihat. Suatu lingkungan yang baik dan penuh
pengertian akan sangat membantu proses kematangan kepribadian di usia remaja.

Masa dewasa muda


Seorang yang melalui masa-masa sebelumnya dengan aman dan bahagia akan
cukup memiliki kesanggupan dan kepercayaan diri dan umumnya ia akan berhasil
mengatasi kesulitan-kesulitan pada masa ini. Sebaliknya yang mengalami banyak
gangguan pada masa sebelumnya, bila mengalami masalah pada masa ini mungkin
akan mengalami gangguan jiwa.

Masa dewasa tua

Sebagai patokan masa ini dicapai kalau status pekerjaan dan sosial seseorang
sudah mantap. Sebagian orang berpendapat perubahan ini sebagai masalah ringan
seperti rendah diri. pesimis. Keluhan psikomatik sampai berat seperti murung,
kesedihan yang mendalam disertai kegelisahan hebat dan mungkin usaha bunuh
diri.

Masa tua
Ada dua hal yang penting yang perlu diperhatikan pada masa ini Berkurangnya daya
tanggap, daya ingat, berkurangnya daya belajar, kemampuan jasmaniah dan
kemampuan social ekonomi menimbulkan rasa cemas dan rasa tidak aman serta
sering mengakibatkan kesalah pahaman orang tua terhadap orang di lingkungannya.
Perasaan terasing karena kehilangan teman sebaya keterbatasan gerak dapat
menimbulkan kesulitan emosional yang cukup hebat.

14. Sebab sosio-kultural


Menurut Santrock (1999) Beberapa faktor-faktor kebudayaan tersebut :

Cara-cara membesarkan anak : Cara-cara membesarkan anak yang kaku dan


otoriter , hubungan orang tua anak menjadi kaku dan tidak hangat. Anakanak setelah
dewasa mungkin bersifat sangat agresif atau pendiam dan tidak suka bergaul atau
justru menjadi penurut yang berlebihan.

Sistem Nilai : Perbedaan sistem nilai moral dan etika antara kebudayaan yang satu
dengan yang lain, antara masa lalu dengan sekarang sering menimbulkan masalahmasalah kejiwaan. Begitu pula perbedaan moral yang diajarkan di rumah / sekolah
dengan yang dipraktekkan di masyarakat sehari-hari.

Kepincangan antar keinginan dengan kenyataan yang ada : Iklan-iklan di radio,


televisi. Surat kabar, film dan lain-lain menimbulkan bayangan-bayangan yang
menyilaukan tentang kehidupan modern yang mungkin jauh dari kenyataan hidup
seharihari. Akibat rasa kecewa yang timbul, seseorang mencoba mengatasinya
dengan khayalan atau melakukan sesuatu yang merugikan masyarakat.

Ketegangan akibat faktor ekonomi dan kemajuan teknologi : Dalam masyarakat


modern kebutuhan dan persaingan makin meningkat dan makin ketat untuk
meningkatkan ekonomi hasil-hasil teknologi modern. Memacu orang untuk bekerja
lebih keras agar dapat memilikinya. Jumlah orang yang ingin bekerja lebih besar dari
kebutuhan sehingga pengangguran meningkat, demikian pula urbanisasi meningkat,
mengakibatkan upah menjadi rendah. Faktor-faktor gaji yang rendah, perumahan

yang buruk, waktu istirahat dan berkumpul dengan keluarga sangat terbatas dan
sebagainya merupakan sebagian mengakibatkan perkembangan kepribadian yang
abnormal.

Perpindahan kesatuan keluarga : Khusus untuk anak yang sedang berkembang


kepribadiannya, perubahan-perubahan lingkungan (kebudayaan dan pergaulan),
sangat cukup mengganggu.

Masalah golongan minoritas : Tekanan-tekanan perasaan yang dialami golongan ini


dari lingkungan dapat mengakibatkan rasa pemberontakan yang selanjutnya akan
tampil dalam bentuk sikap acuh atau melakukan tindakan-tindakan yang merugikan
orang banyak.

C. PROSES TERJADINYA GANGGUAN JIWA


Gejala mulai timbul biasanya pada masa remaja atau dewasa awal sampai dengan umur
pertengahan dengan melalui beberapa fase antara lain :
1. Fase Prodomal : Berlangsung antara 6 bula sampai 1 tahun. Gangguan dapat
berupa Self care, gangguan dalam akademik, gangguan dalam pekerjaan,
gangguan fungsi sosial, gangguan pikiran dan persepsi.
2. Fase Aktif : Berlangsung kurang lebih 1 bulan. Gangguan dapat berupa gejala
psikotik; Halusinasi, delusi, disorganisasi proses berfikir, gangguan bicara,
gangguan perilaku, disertai kelainan neurokimiawi
3. Fase Residual : Kien mengalami minimal 2 gejala; gangguan afek dan gangguan
peran, serangan biasanya berulang.
D. PSIKOPATOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Penelitian mutakhir menyebutkan bahwa perubahan-perubahan pada neurotransmiter
dan resEptor di sel-sel saraf otak (neuron) dan interaksi zat neurokimia dopamin dan
serotonin, ternyata mempengaruhi alam pikir, perasaan, dan perilaku yang menjelma
dalam bentuk gejala-gejala positif dan negatif skizofrenia. Selain perubahan-perubahan
yang sifatnya neurokimiawi di atas, dalam penelitian dengan menggunakan CT Scan
otak, ternyata ditemukan pula perubahan pada anatomi otak pasien, terutama pada
penderita kronis. Perubahannya ada pada pelebaran lateral ventrikel, atrofi korteks
bagian depan, dan atrofi otak kecil (cerebellum).
E. TANDA DAN GEJALA GANGGUAN JIWA
Menurut Kaplan dan Sadock (2004), tanda dan gejala penyakit psikiatri antara lain:

I. Kesadaran
A. Gangguan Kesadaran
1. Disorientasi : gangguan orientasi waktu, tempat, atau orang.
2. Pengaburan kesadaran : kejernihan ingatan yang tidak lengkap dengan gangguan
persepsi dan sikap.
3. Stupor : hilangnya reaksi dan ketidaksadaran terhadap lingkungan sekeliling.
4. Delirium : kebingungan, gelisah, konfusi, reaksi disorientasi yang disertai dengan
rasa takut dan halusinasi.
5. Koma : derajat ketidaksadaran yang berat
6. Koma vigil : koma dimana pasien tampak tertidur tetapi segera dapat
dibangunkan (juga dikenal sebagai mutisme akinetik).
7. Keadaan temaram (twilight state) : gangguan kesadaran dengan halusinasi.
8. Keadaan seperti mimpi (dreamlike state) : seringkali digunakan secara sinonim
dengan kejang parsial kompleks atau epilepsy psikomotor.
9. Somnolensi : mengantuk yang abnormal yang paling sering ditemukan pada
proses organik.
B. Gangguan atensi (perhatian) : atensi adalah usaha untuk memusatkan pada bagian
tertentu dari pengalaman, kemampuan untuk mempertahankan perhatian pada satu
aktivitas, dan kemampuan untuk berkonsentrasi.
1. Distraktibilitas : ketidakmampuan untuk memusatkan atensi, penarikan atensi
kepada stimuli eksternal yang tidak penting atau tidak relevan.
2. Inatensi selektif : hambatan hanya pada hal-hal yang menimbulkan kecemasan.
3. Hipervigilensi : atensi dan pemusatan yang berlebihan pada semua stimuli
internal dan eksternal, biasanya sekunder dari keadaan delusional atau paranoid.
4. Keadaan tak sadarkan diri (trance) : atensi yang terpusat dan kesadaran yang
berubah, biasanya terlihat pada hypnosis, gangguan disosiatif, dan pengalaman
religius yang luar biasa.
C. Gangguan Sugestibilitas : kepatuhan dan respon yang tidak kritis terhadap gagasan
atau pengaruh.
1. Folie a deux (folie a trois) : penyakit emosional yang berhubungan antara dua
atau tiga orang.
2. Hipnosis : modifikasi kesadaran yang diinduksi secara buatan yang ditandai
dengan peningkatan sugestibilitas.
II. Emosi : suatu kompleks keadaan perasaan dengan komponen psikis, somatic, dan
perilaku yang berhubungan dengan afek dan mood.
A. Afek : ekspresi emosi yang terlihat; mungkin tidak konsisten dengan emosi yang
dikatakan pasien.

1. Afek yang sesuai : kondisi dimana irama emosional adalah harmonis dengan
gagasan, pikiran, atau pembicaraan yang menyertai.
2. Afek yang tidak sesuai : ketidakharmonisan antara irama perasaan emosional
dengan gagasan, pikiran, atau pembicaraan yang menyertainya.
3. Afek yang tumpul : gangguan pada afek yang dimanifestasikan oleh penurunan
berat pada intensitas irama perasaan yang diungkapkan ke luar.
4. Afek yang terbatas : penurunan intensitas irama perasaan yang kurang parah
daripada afek yang tumpul tetapi jelas menurun.
5. Afek yang datar : tidak adanya atau hampir tidak adanya tanda ekspresi afek;
suara yang monoton, wajah yang tidak bergerak.
6. Afek yang labil : perubahan irama perasaan yang cepat dan tiba-tiba, yang tidak
berhubungan dengan stimuli eksternal.
B. Mood : suatu emosi yang meresap dan dipertahankan, yang dialami secara subjektif
dan dilaporkan oleh pasien dan terlihat oleh orang lain.
1. Mood disforik : mood yang tidak menyenangkan.
2. Mood eutimik : mood dalam rentang normal, menyatakan tidak adanya mood
yang tertekan atau melambung.
3. Mood yang meluap-luap (expansive mood) : ekspresi perasaan seseorang tanpa
pembatasan, seringkali dengan penilaian yang berlebihan terhadap kepentingan
atau makna seseorang.
4. Mood yang iritabel : dengan mudah diganggu atau dibuat marah.
5. Pergeseran mood (mood yang labil) : mood yang berubah-ubah.
6. Mood yang meninggi (elevated mood) : suasana keyakinan dan kesenangan;
suatu mood yang lebih ceria dari biasanya.
7. Euforia : elasi yang kuat dengan perasaan kebesaran.
8. Ectasy : kegembiraan yang luar biasa.
9. Depresi : perasaan kesedihan yang psikopatologis.
10. Anhedonia : hilangnya minat terhadap dan menarik diri dari semua aktivitas rutin
dan menyenangkan, seringkali disertai dengan depresi.
11. Dukacita atau berkabung : kesedihan yang sesuai dengan kehilangan yang nyata.
12. Aleksitimia : ketidakmampuan atau kesulitan dalam menggambarkan atau
menyadari emosi atau mood seseorang.
C. Emosi yang lain
1. Kecemasan : perasaan ketakutan yang disebabkan oleh dugaan bahaya, yang
mungkin berasal dari dalam atau luar.
2. Kecemasan yang mengambang bebas : rasa takut yang meresap dan tidak
terpusatkan yang tidak berhubungan dengan suatu gagasan.
3. Ketakutan : kecemasan yang disebabkan oleh bahaya yang dikenali secara sadar
dan realistis.
4. Agitasi : kecemasan berat yang disertai dengan kegelisahan motoric.
5. Ketegangan : peningkatan aktivitas motoric dan psikologis yang

tidak

menyenangkan.
6. Panik : serangan kecemasan yang akut, episodic, dan kuat yang disertai dengan
perasaan ketakutan yang melanda dan pelepasan otonomik.
7. Apati : irama emosi yang tumpul yang disertai dengan ketidakacuhan.

8. Ambivalensi : terdapatnya secara bersama-sama dua impuls yang berlawanan


terhadap hal yang sama pada satu orang yang sama pada waktu yang sama.
9. Abreaksional : pelepasan atau pelimpahan emosional setelah mengingat
pengalaman yang menakutkan.
10. Rasa malu : kegagalan membangun pengharapan diri.
11. Rasa bersalah : emosi sekunder karena melakukan sesuatu yang dianggap salah.
D. Gangguan psikologis yang berhubungan dengan mood
1. Anoreksia : hilangnya atau menurunnya nafsu makan.
2. Hiferfagia : meningkatnya nafsu makan dan asupan makanan.
3. Insomnia : hilangnya atau menurunnya kemampuan untuk tidur.
4. Hipersomnia : tidur yang berlebihan.
5. Variansi diurnal : mood yang secara teratur terburuk pada pagi hari, segera
setelah terbangun, dan membaik dengan semakin siangnya hari.
6. Penurunan libido : penurunan minat, doronngan, dan daya seksual.
7. Konstipasi : ketidakmampuan atau kesulitan defekasi.
III. Perilaku motoric (konasi)
1. Ekopraksia : peniruan pergerakan yang patologis eseorang pada orang lain.
2. Katatonia : kelainan motoric dalam gangguan nonorganic (sebagai lawan dari
gangguan kesadaran dan aktivitas motoric sekunder dari patologi organic.
a. Katalepsi : istilah umum untuk suatu posisi yang tidak bergerak yang
dipertahankan terus-menerus.
b. Luapan katatonik : aktivitas motoric yang teragitasi, tidak bertujuan, dan tidak
dipengaruhi oleh stimuli eksternal.
c. Stupor katatonik : penurunan aktivitas motoric yang nyata, seringkali sampai titik
imobilitas dan tampaknya tidak menyadari sekeliling.
d. Rigiditas katatonik : penerimaan postur yang kaku yang disadari, menentang
usaha untuk digerakkan.
e. Posturing katatonik : penerimaan postur yang tidak sesuai atau kaku yang
f.

disadari, biasanya dipertahankan dalam waktu yang lama.


Cerea flexibilitas (fleksibilitas lilin) : seseorang dapat diatur dalam suatu posisi

yang kemudian dipertahankannya.


3. Negativisme : tahanan tanpa motivasi terhadap semua usaha untuk menggerakkan
atau terhadap semua instruksi.
4. Katapleksi : hilangnya tonus otot dan kelemahan secara sementara yang dicetuskan
oleh berbagai keadaan emosional.
5. Stereotipik : pola tindakan fisik atau bicara yang terfikasi dan berulang.
6. Mannerisme : pergerakan tidak disadari yang mendarah daging dan kebiasaan.
7. Otomatisme : tindakan yang otomatis yang biasanya mewakili suatu aktivitas simbolik
yang tidak disadari.
8. Otomatisme perintah : otomatisme mengikuti sugesti (juga disebut kepatuhan
otomatik).
9. Mutisme : tidak bersuara tanpa kelainan structural.
10. Overaktivitas :
Agitasi psikomotor : overaktivitas motoric dan kognitif yang berlebihan, biasanya
tidak produktif dan sebagai respon dari ketegangan dalam.

Hiperaktivitas (hiperkinesis) : kegelisahan, agresif, aktivitas destruktif, seringkali

disertai dengan patologi otak dasar.


Tik : pergerakan motoric yang spasmodic dan tidak disadari.
Tidur berjalan (sleepwalking) (somnambulisme) : aktivitas motoric saat tertidur.
Akathisia : perasaan subjektif tentang tegangan motoric sekunder dari medikasi
antipsikotik atau medikasi lain, yang dapat menyebabkan kegelisahan, melangkah

bolak-balik, duduk dan berdiri berulang-ulang.


Kompulsi : impuls yang tidak terkontrol untuk melakukan suatu tindakan secara
berulang.
- Dipsomania : kompulsi untuk minum alcohol.
- Kleptomania : kompulsi untuk mencuri.
- Nimfomania : kebutuhan untuk koitus yang kuat dan kompulsif pada seorang
-

wanita.
Satiriasis : kebutuhan untuk koitus yang kuat dan kompulsif pada seorang laki-

laki.
Trikotilomania : kompulsi untuk mencabut rambut.
Ritual : aktivitas kompulsif otomatis dalam sifat, menurunkan kecemasan yang

orisinil.
Ataksia : kegagalan koordinasi otot; iregularitas gerakan otot.
Polifagia : makan berlebihan yang patologis.
11. Hipoaktivitas (hipokinesis) : penurunan aktivitas motoric dan kognitif, seperti pada
retardasi psikomotor; perlambatan pikiran, bicara, dan pergerakan yang dapat
terlihat.
12. Mimikri : aktivitas motoric tiruan dan sederhana pada anak-anak.
13. Agresi : tindakan yang kuat dan diarahkan tujuan yang mungkin verbal atau fisik,
bagian motoric dari afek kekasaran, kemarahan, atau permusuhan.
14. Memerankan (acting out) : ekspresi langsung dari suatu harapan atau impuls yang
tidak disadari dalam bentuk gerakan; fantasi yang tidak disadari dihidupkan secara
impulsive dalam perilaku.
15. Abulia : penurunan impuls untuk bertindak dan berpikir, disertai dengan
ketidakacuhan tentang akibat tindakan, disertai dengan deficit neurologis.
IV. Berpikir
A. Gangguan umum dalam bentuk atau proses berpikir
1. Gangguan mental : sindroma perilaku atau psikologis yang bermakna secara klinis,
disertai dengan penderitaan atau ketidakmampuan, tidak hanya suatu respon yang
diperkirakan dari peristiwa tertentu atau terbatas pada hubungan antara seseorang
dan masyarakat.
2. Psikosis : ketidakmampuan untuk membedakan kenyataan dari fantasi.
3. Tes realitas : pemeriksaan dan pertimbangan objektif tentang dunia di luar diri.
4. Gangguan pikiran formal : berpikir ditandai dengan kekenderan asosiasi, neologisme,
dan kontruksi yang tidak logis, proses berpikir mengalami gangguan, dan orang
didefinisikan sebagai psikotik.
5. Berpikir tidak logis : berpikir mengandung kesimpulan yang salah.
6. Dereisme : aktivitas mental yang tidak sesuai dengan logika atau pengalaman.
7. Berpikir magis

8. Proses berpikir primer : tidak logis, magis, normalnya ditemukan pada mimpi, abnormal
pada psikosis.
B. Gangguan spesifik pada bentuk pikiran
1. Neologisme : kata baru yang diciptakan

oleh

pasien,

seringkali

dengen

mengkombinasikan suku kata dari kata-kata lain, untuk alasan keanehan psikologis.
2. Word salad (gado-gado kata) : campuran kata-kata dan fras yang membingungkan.
3. Sirkumstansialitas : bicara yang tidak langsung yang lambat dalam mencapai tujuan
tetapi akhirnya dari titik awal mencapai tujuan yang diharapkan.
4. Tangensialitas : ketidakmampuan untuk mempunyai asosiasi pikiran yang diarahkan
oleh tujuan.
5. Inkoherensi (pembicaraan yang tidak logis) : pikiran yang biasanya tidak dapat
dimengerti, berjalan bersama pikiran atau kata-kata dengan hubungan yang tidak logis
atau tanpa tata bahasa yang menyebabkan disorganisasi.
6. Perseverasi : respon terhadap stimulus sebelumnya yang menetap setelah stimulus
baru diberikan, sering disertai dengan gangguan kognitif.
7. Verbigerasi : pengulangan kata-kata atau frasa-frasa spesifik yang tidak mempunyai
arti.
8. Ekolalia : pengulangan kata-kata atau frasa-frasa seseorang oleh seseorang lain
secara psikopatologis.
9. Kondensasi : penggabungan berbagai konsep menjadi satu konsep.
10. Jawaban yang tidak relevan : jawaban yang tidak harmonis dengan pertanyaan yang
ditanyakan.
11. Pengenduran asosiasi : aliran pikiran dimana gagasan-gagasan bergeser dari satu
subjek ke subjek lain dalam cara yang sama sekali tidak berhubungan.
12. Keluar dari jalur (derailment) : penyimpangan yang mendadak dalam urutan pikiran
tanpa penghambatan.
13. Flight of ideas : verbalisasi atau permainan kata-kata yang cepat dan terus-menerus
yang menghasilkan pergeseran terus-menerus dari satu ide ke ide lain.
14. Asosiasi bunyi (clang association) : asosiasi kata-kata yang mirip bunyinya tetapi
berbeda artinya.
15. Penghambatan (blocking) : terputusnya aliran berpikir secara tiba-tiba sebelum
pikiran atau gagasan diselesaikan.
16. Glossolalia : ekspresi pesan-pesan yang relevan melalui kata-kata yang tidak dapat
dipahami.
C. Gangguan spesifik pada isi pikiran
1. Kemiskinan isi pikiran : pikiran yang memberikan sedikit informasi karena tidak ada
pengertian, pengulangan kosong, atau frasa yang tidak jelas.
2. Gagasan yang berlebihan : keyakinan palsu yang dipertahankan dan tidak beralasan
yang dipertahankan secara kurang kuat dibandingkan dengan suatu waham.
3. Waham : keyakinan palsu, didasarkan pada kesimpulan yang salah tentang kenyataan
eksternal, tidak sejalan dengan inteligensia pasien dan latar belakang kultural, yang
tidak dapat dikoreksi dengan suatu alasan.

a) Waham yang kacau (bizzare delusion) : keyakinan palsu yang aneh, mustahil, dan
sama sekali tidak masuk akal (sebagai contohnya, orang dari angkasa luar telah
menanamkan suatu elektroda pada pada otak pasien).
b) Waham tersistematisasi : keyakinan yang palsu yang digabungkan oleh suatu
tema atau peristiwa tunggal (sebagai contohnya, pasien dimata-matai oleh agen
rahasia, mafia, atau boss).
c) Waham yang sejalan dengan mood : waham dengan isi yang sesuai dengan
mood

(sebagai

contohnya,

seorang

pasien

depresi

percaya

bahwa

ia

bertanggung jawab untuk penghancuran dunia).


d) Waham yang tidak sejalan dengan mood : waham dengan isi yang tidak
mempunyai hubungan dengan mood atau merupakan mood-netral (sebagai
contohnya, pasien depresi mempunyai waham kontrol pikiran atau siar pikiran).
e) Waham nihilistic : perasaan palsu bahwa dirinya, orang lain, dan dunia adalah
f)

tidak ada atau berakhir.


Waham kemiskinan : keyakinan palsu bahwa pasien kehilangan atau akan

terampas semua harta miliknya.


g) Waham somatic : keyakinan yang palsu menyangkut fungsi tubuh pasien (sebagai
contohnya, keyakinan bahwa otak pasien adalah berakar atau mencair).
h) Waham paranoid :
- Waham persekutorik : keyakinan palsu bahwa pasien sedang diganggu, ditipu,
atau disiksa; sering ditemukan pada seorang pasien yang senang menuntut
yang mempunyai kecenderungan patologis untuk mengambil tindakan hukum
-

karena penganiayaan yang dibayangkan.


Waham kebesaran : gambaran kepentingan, kekuatan, atau identitas

seseorang yang berlebihan.


Waham referensi : keyakinan palsu bahwa perilaku orang lain ditunjukkan
pada dirinya; bahwa peristiwa, benda-benda, atau orang lain mempunyai
kepentingan tertentu dan tidak biasanya, umumnya dalam bentuk negative,
diturunkan dari idea referensi, dimana seseorang secara salah merasa bahwa
ia sedang dibicarakan oleh orang lain (sebagai contohnya, percaya bahwa

i)

orang di televise atau radio berbicara padanya atau membicarakan dirinya).


Waham menyalahkan diri sendiri : keyakinan yang palsu tentang penyesalan yang

j)

dalam dan bersalah.


Waham pengendalian : perasaan palsu bahwa kemauan, pikiran, atau perasaan
pasien dikendalikan oleh tenaga dari luar.
- Penarikan pikiran (thought withdrawal) : waham bahwa pikiran pasien
-

dihilangkan dari ingatannya oleh orang lain atau tenaga lain.


Penanaman pikiran (thought insertion) : waham bahwa pikiran ditanamkan

dalam pikiran pasien oleh orang atau tenaga lain.


Siar pikiran (thought broadcasting) : waham bahwa pikiran pasien dapat
didengar oleh orang lain, seperti pikiran mereka sedang disiarkan ke udara.

Pengendalian pikiran (thought control) : waham bahwa pikran pasien

dikendalikan oleh orang lain atau tenaga lain.


k) Waham ketidaksetiaan (waham cemburu) : keyakinan palsu yang didapatkan dari
l)

kecemburuan patologis bahwa kekasih pasien adalah tidak jujur.


Erotomania : keyakinan waham, lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki,
bahwa seseorang dangat mencintai dirinya (juga dikenal sebagai kompleks

Clearambault-Kandinsky).
m) Pseudologia phantastica : suatu jenis kebohongan dimana seseorang tampaknya
percaya terhadap kenyataan fantasinya dan bertindak atas kenyataan, disertai
dengan sindroma Munchausen, berpura-pura sakit yang berulang.
4. Kecenderungan atau preokupasi pikiran : pemusatan isi pikiran pada ide tertentu,
disertai dengan irama afektif yang kuat, seperti kecenderungan paranoid atau
preokupasi tentang bunuh diri atau membunuh.
5. Egomania : preokupasi pada diri sendiri yang patologis.
6. Monomania : preokupasi dengan suatu objek tunggal.
7. Hipokodria : keprihatinan yang berlebihan tentang kesehatan pasien yang didasarkan
bukan pada patologi organic yang nyata, tetapi pada interpretasi yang tidak realistic
terhadap tanda atau sensasi fisik yang sebagai abnormal.
8. Obsesi : ketekunan yang patologis dari suatu pikran atau perasaan yang tidak dapat
ditentang yang tidak dapat dihilangkan dari kesadaran oleh usaha logika, yang disertai
dengan kecemasan (juga dikenal sebagai perenungan [rumination]).
9. Kompulsi : kebutuhan yang patologis untuk melakukan suatu impuls yang jika ditahan
menyebabkan kecemasan.
10. Kopronalia : pengungkapan secara kompulsif dari kata-kata yang cabul.
11. Fobia : rasa takut patologis yang persisten, irasional, berlebihan, dan selalu terjadi
terhadap suatu jenis stimulus atau situasi tertentu; menyebabkan keinginan yang
memaksa untuk menghindari stimulus yang ditakuti
a) Fobia sederhana : rasa takut yang jelas terhadap objek atau situasi yang jelas
(sebagai contohnya,rasa takut terhadap laba-laba atau ular).
b) Fobia social : rasa takut akan keramaian masyarakat, seperti rasa takut berbicara
c)
d)
e)
f)
g)

dengan masyarakat, bekerja, atau makan dalam masyarakat.


Akrofobia : rasa takut terhadap tempat yang tinggi.
Agorafobia : rasa takut terhadap tempat yang terbuka.
Algofobia : rasa takut terhadap rasa nyeri.
Ailurofobia : rasa takut terhadap kucing.
Eritrofobia : rasa takut terhadap warna merah (merujuk terhadap rasa takut terhadap

h)
i)
j)
k)
12.

berdarah).
Panfobia : rasa takut terhadap segala sesuatu.
Klaustrafobia : rasa takut terhadap tempat yang tertutup.
Xenofobia : rasa takut terhadap orang asing.
Zoofobia : rasa takut terhadap binatang.
Noesis : suatu wahyu dimana terjadi pencerahan yang besar sekali diserta dengan
perasaan bahwa pasien telah dipilih untuk memimpin dan merintah.

13. Unio mystica : suatu perasaan yang meluap, pasien secara mistik bersatu dengan
kekuatan yang tidak terbatas, tidak dianggap suatu gangguan dalam isi pikiran jika
sejalan dengan keyakinan pasien atau lingkungan kultural.
V. Bicara
A. Gangguan Bicara
1. Tekanan bicara : bicara cepat yaitu peningkatan jumlah dan kesulitan untuk memutus
pembicaraan.
2. Kesukaan bicara (logorrhea) : bicara yang banyak sekali, bertalian dan logis.
3. Kemiskinan bicara (poverty of speech): pembatasan jumlah bicara yang digunakan;
jawaban mungkin hanya satu suku kata (monosyllabic).
4. Bicara yang tidak spontan : respon verbal yang diberikan hanya jika ditanya atau
dibicarakan langsung; tidak ada bicara yang dimulai dari diri sendiri.
5. Kemiskinan isi bicara : bicara yang adekuat dalam jumlah tetapi memberikan sedikit
informasi karena ketidakjelasan, kekosongan, atau frasa yang stereoptik.
6. Disprosodi : hilangnya irama bicara yang normal (disebut prosodi).
7. Disartria : kesulitan dalam artikulasi, bukan dalam penemuan kata atau tata bahasa.
8. Bicara yang keras atau lemah secara berlebihan : hilangnya modulasi volume bicara
normal, dapat mencerminkan berbagai keadaan patologis mulai dari psikosis sampai
depresi sampai ketuliaan.
9. Gagap : pengulangan atau perpanjangan suara atau suku kata yang sering
menyebabkan gangguan kefasihan bicara yang jelas.
10. Kekacauan : bicara yang aneh dan disritmik, yang mengandung semburan yang
cepat dan menyentak.
B. Gangguan Afasik : gangguan dalam pengeluaran bahasa.
1. Afasia motoric : gangguan bicara yang disebabkan oleh gangguan kognitif dimana
pengertian adalah tetap tetapi kemampuan untuk bicara sangat terganggu,bicara
terhenti-henti, susah payah, dan tidak akurat (juga dikenal sebagai afasia broca, tidak
fasih, dan ekspresif).
2. Afasia sensoris : kehilangan kemampuan organic untuk mengerti arti kata, bicara
lancar dan spontan,tetapi membingungkan dan yang bukan-bukan (juga dikenal
sebagai afasia Wernicke, fasih, dan reseptif).
3. Afasia nominal : kesulitan untuk menemukan nama yang tepat untuk suatu benda (juga
dikenal sebagai afasia anomia dan amnestic).
4. Afasia sintatikal : ketidakmampuan untuk menyusun kata-kata dalam urutan yang
tepat.
5. Afasia logat khusus : kata-kata yang dihasilkan seluruhnya neologistik, kata-kata yang
bukan-bukan diulangi dengan berbagai intonasi dan nada suara.
6. Afasia global : kombinasi afasia yang sangat tidak fasih dan afasia fasih yang berat.
IV. Persepsi
A. Gangguan Persepsi
1. Halusinasi : persepsi sensoris yang palsu yang tidak disertai dengan stimuli eksternal
yang nyata.
a) Halusinasi hipnagogik: persepsi sensoris yang palsu yang terjadi saat akan
tertidur, biasanya dianggap sebagai fenomena yang nonpatologis.

b) Halusinasi hipnopompik : persepsi palsu yang terjadi saat terbangun dari tidur;
biasanya dianggap tidak patologis.
c) Halusinasi dengar (auditoris): persepsi bunyi yang palsu, biasanya suara tetapi
juga bunyi-bunyi lain, seperti musik.
d) Halusinasi visual : persepsu palsu tentang penglihatan yang berupa citra yang
berbentuk (sebagai contohnya, orang) dan citra yang tidak berbentuk (sebagai
contohnya, kilatan cahaya).
e) Halusinasi cium (oflaktoris): persepsi membau yang palsu.
f) Halusinasi kecap (gustatoris): persepsi tentang rasa kecap yang palsu; seperti
rasa kecap yang tidak menyenangkan yang disebabkan oleh kejang.
g) Halusinasi raba (taktil, haptic): persepsi palsu tentang perabaan atau sensasi
permukaan, seperti dari tungkai yang teramputasi (phantom limb), sensasi
adanyan gerakan pada atau dibawah kulit (kesemutan).
h) Halusinasi somatic : sensasi palsu tentang sesuatu hal yang terjadi di dalam atau
terhadap tubuh, paling sering berasal dari visceral (juga dikenal sebagai
i)

halusinasi kenestetik).
Halusinasi liliput : persepsi yang palsu dimana benda-benda tampak lebih kecil

j)

ukurannya (juga dikenal sebagai mikropsia).


Halusinasi yang sejalan dengan mood: halusinasi dimana isi halusinasi konsisten
dengan mood yang tertekan atau manik (sebagai contohnya, pasien yang
mengalami depresi mendengar suara yang mengatakan bahwa pasien adalah
orang yang jahat, seorang pasien manik mendengar suara yang mengatakan

bahwa pasien memiliki harga diri, kekuatan, dan pengetahuan yang tinggi).
k) Halusinasi yang tidak sejalan dengan mood : sebagai contohnya, pada pasien
depresi, halusinasinya tidak melibatkan tema-tema tersebut seperti rasa bersalah,
penghukuman yang layak diterima, atau ketidakmampuan; pada mania, halusinasi
tidak mengandung tema-tema tersebut seperti harga diri atau kekuasaan yang
l)

tinggi.
Halusinosis:

halusinasi,

paling

sering

adalah

halusinasi

dengar,

yang

berhubungan dengan penyalahgunaan alcohol kronis dan terjadi dalam sensorium


yang jernih, berbeda dengan delirium tremens (DTs) yaitu halusinasi yang terjadi
dalam kotes sensorium yang berkabut.
m) Sinestesia : sensasi atau halusinasi yang disebabkan oleh sensasi lain (sebagai
contohnya suatu sensasi auditoris yang disertai atau dicetuskan oleh suatu
sensasi visual; suatu bunyi dialami sebagai dilihat atau suatu benda penglihatan
dialami sebagai didengar).
n) Trailing phenomenon: kelainan persepsi yang berhubungan dengan obat-obat
halusinogen dimana benda yang bergerak dilihat sebagai sederetan citra yang
terpisah dan tidak kontinu.

B.

Gangguan

yang

berhubungan

dengan

gangguan

kognitif

agnosia

ketidakmampuan untuk mengenali dan menginterpretasikan kepentingan kesan


sensoris.
1. Anosognosia : ketidaktahuan tentang penyakit; ketidakmampuan untuk mengenali
suatu defek neurologis yang terjadi pada dirinya.
2. Somatopagnosia : ketidaktahuan tentang tubub; ketidakmampuan untuk mengenali
suatu bagian tubuh sebagai milik tubuhnya sendiri (juga disebut autopagnosia).
3. Agnosia visual : ketidakmampuan untuk mengenali benda-benda atu orang.
4. Astereognosis: ketidakmampuan untuk mengenali benda melalui sentuhan.
5. Apraksia : ketidakmampuan untuk melakukan tugas tertentu.
6. Prosopagnosia : ketidakmampuan mengenali wajah.
7. Simultagnosia: ketidakmampuan untuk mengerti lebih dari satu elemen pandangan
visual pada suatu waktu atau untuk mengintegrasikan bagian-bagian menjadi
keseluruhan.
8. Adiadokokinesia : ketidakmampuan untuk melakukan pergerakan yang berubah
dengan cepat.
C. Gangguan yang berhubungan dengan fenomena konversi dan disosiatif
1. Anestesia histerikal : hilangnya modalitas sensoris yang disebabkan oleh konflik
emosional.
2. Makropsia : menyatakan bahwa benda-benda tampak lebih besar dari sesungguhnya.
3. Mikropsia : menyatakan bahwa benda-benda lebih kecil dari sesungguhnya.
4. Depersonalisasi : suatu perasaan subjektif merasa tidak nyata, aneh atau tidak
mengenali diri sendiri.
5. Derealisasi : suatu perasaan subjektif bahwa lingkungan aneh atau tidak nyata; suatu
perasaan tentang perubahan realitas.
6. Fuga (fugue) : mengambil identitas baru pada amnesia identitas yang lama; seringkali
termasuk berjalan-jalan atau berkelana ke lingkungan yang baru.
7. Kepribadian ganda : satu orang yang tampak pada waktu yang berbeda menjadi dua
atau lebih kepribadian dan karakter yang sama sekali berbeda.
VII. Daya Ingat
A. Gangguan daya ingat
1. Amnesia : ketidakmampuan sebagian atau keseluruhan untuk mengingat pengalaman
masa lalu.
a. Anterograd : amnesia untuk peristiwa yang terjadi setelah suatu titik waktu.
b. Retrograd : amnesia sebelum suatu titik waktu.
2. Paramnesia : pemalsuan ingatan oleh distorsi pengingatan.
a. Fausse reconnaissance : pengenalan yang palsu.
b. Pemalsuan retrospektif : ingatan secara tidak diharapkan (tidak disadari) menjadi
terdistorsi saat disaring melalui keadaan emosional, kognitif, dan pengalaman
pasien sekarang.
c. Konfabulasi : pengisian kekosongan ingatan secara tidak disadari oleh
pengalaman yang dibayangkan atau tidak nyata yang dipercaya pasien tetapi
tidak mempunyai dasar kenyataan; paling sering berhubungan dengan patologi
organic.

d. Dj vu : ilusi pengenalan visual dimana situasi yang baru secara keliru dianggap
sebagai suatu pengulangan ingatan sebelumnya.
e. Deja entendu : ilusi pengenalan auditoris.
f. Deja pense : ilusi bahwa suatu pikiran yang sebelumnya telah dirasakan atau
diekspresikan.
g. Jamais vu : perasaan palsu tentang ketidakkenalan terhadap situasi nyata yang
telah dialami oleh seseorang.
3. Hipermnesia : peningkatan derajat penyimpanan dan pengingatan.
4. Eidetic image : ingatan visual tentang kejelasan halusinasi.
5. Screen memory : ingatan yang dapat ditoleransi secara sadar menutupi ingatan yang
menyakitkan.
6. Represi : suatu mekanisme pertahanan yang ditandai oleh pelupaan secara tidak
disadari terhadap gagasan atau impuls yang tidak dapat diterima.
7. Letologika : ketidakmampuan sementara untuk mengingat suatu nama atau suatu kata
benda yang tepat.
B. Tingkat daya ingat
1. Segera (immediate): reproduksi atau pengingatan hal-hal yang dirasakan dalam
beberapa detik sampai menit.
2. Baru saja (recent): pengingatan peristiwa yang telah lewat beberapa hari.
3. Agak lama (recent past): pengingatan peristiwa yang telah lewat selama beberapa
bulan.
4. Jauh (remote): pengingatan peristiwa yang telah lama terjadi.
VIII Inteligensia
A. Retardasi mental : kurangnya inteligensia sampai derajat dimana terdapat gangguan
pada kinerja social dan kejuruan: ringan (IQ 50 atau 55 sampai kira-kira 70), sedang
(IQ 35 atau 40 sampai 50 atau 55), berat (IQ 20 atau 25 sampai 35 atau 40), atau
sangat berat (IQ dibawah 20 atau 25).
B. Dimensia : pemburukan fungsi intelektual organic dan global tanpa pengaburan
kesadaran.
a. Diskalkulia (alkalkulia): hilangnya kemampuan untuk melakukan perhitungan yang
tidak disebabkan oleh kecemasan atau gangguan konsentrasi.
b. Disgrafia (agrafia): hilangnya kemampuan untuk menulis dalam gayan yang kursif;
hilangnya struktur kata.
c. Aleksia : hilangnya kemampuan membaca yang sebelumnya dimiliki; tidak
disebabkan oleh gangguan ketajaman penglihatan.
C. Pseudodemensia : gambaran klinis yang menyerupai demensia yang tidak
disebabkan oleh suatu kondisi organic; paling sering disebabkan oleh depresi
(sindroma demensia dari depresi).
D. Berpikir konkret : berpikir harafiah; penggunaan kiasan yang terbatas tanpa
pengertian nuansa arti, pikiran satu dimensional.
E. Berpikir abstrak : kemampuan untuk mengerti nuansa arti; berpikir multidimensional
dengan kemampuan menggunakan kiasan dan hipotesis dengan tepat.
IX. Tilikan (insight) : kemampuan pasien untuk mengerti penyebab sebenarnya dan arti
dari suatu situasi.

A. Tilikan intelektual : mengerti kenyataan objektif tentang suatu keadaan tanpa


kemampuan untuk menerapkan pengetahuan dalam cara yang berguna untuk
mengatasi situasi.
B. Tilikan sesungguhnya : mengerti kenyataan objektif tentang suatu situasi, dosertai
dengan daya pendorong (impetus) motivasi dan emosional untuk mengatasi situasi.
C. Tilikan yang terganggu : menghilangnya kemampuan untuk mengerti kenyaan
objektif dari suatu situasi.
X. Pertimbangan (judgment: kemampuan untuk menilai situasi secara benar dan untuk
bertindak secara tepat dalam situasi tersebut.
A. Pertimbangan kritis : kemampuan untuk menilai, melihat, dan memilih berbagai
pilihan dalam suatu situasi.
B. Pertimbangan otomatis: kinerja reflex di dalam suatu tindakan.
C. Pertimbangan yang terganggu : menghilangnya kemampuan untuk mengerti suatu
situasi dengan benar dan bertindak secara tepat.
F. Klasifikasi Gangguan Jiwa
a. Neurosis
Neurosis merupakan suatu kelainan mental, hanya memberi pengaruh pada sebagian
kepribadian, lebih ringan dari psikosis, dan seringkali ditandai dengan : keadaan
cemas yang kronis, gangguan-gangguan pada indera dan motoric, hambatan emosi,
kurang perhatian terhadap lingkungan, dan kurang memiliki energy fisik. Pada orang
yang mengalami gangguan jiwa neurosis masih bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan
biasa sehari-hari atau masih bisa belajar, dan jarang memerlukan perawatan khusus di
rumah sakit (Singgih Dirgagumarsa, 1978; Dali Gulo, 1982).
Jenis-jenis neurosis antara lain (Maramis, 1980) :
1. Neurosis cemas : tidak ada rangsang yang spesifik yang menyebabkan kecemasan,
tetapi bersifat mengambang bebas. Apabila kecemasan yang dialami sangat hebat
maka terjadi kepanikan.
2. Histeria : merupakan neurosis yang ditandai dengan reaksi-reaksi emosional yang
tidak terkendali sebagai cara untuk mempertahankan diri dari kepekaannya
terhadap rangsangan-rangsangan emosional. Pada neurosis jenis ini fungsi mental
dan jasmaniah dapat hilang tanpa dikehendaki oleh penderita. Gejala-gejala sering
timbul dan hilang secara tiba-tiba, terutama bila penderita menghadapi situasi yang
menimbulkan reaksi emosional yang hebat.
3. Neurosis fobik : merupakan gangguan jiwa dengan gejala utamanya fobia, yaitu
rasa takut yang hebat yang bersifat rasional, terhadap suatu benda atau keadaan.

4. Neurosis obsesif-kompulsif : istilah obsesif menunjuk pada suatu ide yang


mendesak ke dalam pikiran atau menguasai kesadaran dan istilah kompulsi
menunjuk pada dorongan atau impuls yang tidak dapat ditahan untuk tidak
dilakukan, meskipun sebenarnya perbuatan tersebut tidak perlu dilakukan. Contoh :
kleptomania.
5. Neurosis depresif : merupakan neurosis dengan gangguan utama pada perasaan
dengan ciri-ciri : kurang atau tidak bersemangat, rasa harga diri rendah, dan
cenderung menyalahkan diri sendiri.
6. Neurasthenia : disebut juga penyakit payah. Gejala utamanya adalah tidak
bersemangat, cepat lelah meskipun hanya mengeluarkan tenaga yang sedikit,
emosi labil, dan kemampuan berpikir menurun.
b. Psikosis
Menurut Singgih D. Gunarsa (1998), psikosis adalah gangguan jiwa yang meliputi
keseluruhan kepribadian, sehingga penderita tidak bisa menyesuaikan diri dalam
norma-norma hidup yang wajar dan berlaku umum. Kelainan-kelainan seperti ini dapat
diketahui berdasarkan gangguan-gangguan pada perasaan, pikiran, kemauan,
motoric. Sedemikian berat sehingga perilaku penderita tidak sesuai lagi dengan
kenyataan. Perilaku penderita psikosis tidak dapat dimengerti oleh orang normal,
sehingga orang awam menyebut penderita sebagai orang gila. Gangguan jiwa
psikosis dibagi lagi menjadi 2 bagian, yaitu :
1. Psikotik organic : delirium, dementia
2. Psikotik non organic : skizofrenia, gangguan waham, gangguan mood.

Tabel 1 Perbedaan Antara Psikosis dan Neurosis


No

Faktor

Psikosis

Neurosis

perilaku umum

Gangguan terjadi
pada seluruh
aspek kepribadian,
tidak ada kontak
dengan realitas.

Gangguan terjadi pada


sebagian kepribadian,
kontak dengan realitas
masih ada.

gejala-gejala

Gejalan bervariasi luas


dengan waham,
halusinasi, kedangkalan
emosi, dst. yang terjadi
secara terus-menerus.

Gejala psikologis dan


somatik bisa bervariasi,
tetapi bersifat
temporer dan ringan

3
orientasi

pemahaman
(insight)

resiko sosial

penyembuhan

Penderita sering
mengalami
disorientasi (waktu,
tempat, dan orangorang).

Penderita tidak
emahami bahwa dirinya
sakit.

Perilaku penderita
dpt. membahayakan
orang lain dan diri
sendiri.
Penderita
memerlukan
perawatan di rumah
sakit. Kesembuhan
seperti keadaan
semula dan
permanen sulit
dicapai.

Penderita tidak atau


jarang mengalami
disorientasi .
Penderita memahami
bahwa dirinya
mengalami gangguan
jiwa
Perilaku penderita jarang
atau
tidak membahayakan
orang lain dan diri sendiri
Tidak begitu memerlukan
perawatan di rumah
sakit.

Kesembuhan
seperti semula dan
permanen sangat
mungkin untuk dicapai..

G. MACAM-MACAM GANGGUAN JIWA


Macam-macam gangguan jiwa menurut PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia, edisi ke III) tahun 1993 adalah sebagai berikut:
1. Gangguan mental organik dan simtomatik (F00 F09)
Gangguan mental organic merupakan gangguan mental yang berkaitan dengan
penyakit/gangguan sistemik atau otak yang dapat di diagnosis tersendiri. Gangguan
mental simtomatik , dimana pengaruh terhadap otak merupakan akibat sekunder dari
penyakit/gangguan di luar otak (extracerebral). Ciri khasnya yaitu : etiologic
organic/fisik jelas, primer/sekunder. Gambaran utama dari gangguan ini adalah
gangguan fungsi kognitif (daya ingat, daya piker, dan belajar); gangguan sensorium
(gangguan kesadaran dan perhatian); dan sindrom dengan manifestasi yang

menonjol dalam bidang persepsi (halusinasi), isi pikiran (waham/delusi), dan


suasana perasaan dan emosi (depresi, gembira, cemas). Blok gangguan mental
organic menggunakan 2 kode, yaitu : 1) sindrom psikopatologik (misalnya,demensia)
dan 2) gangguan yang mendasari (misalnya, penyakit Alzheimer).
2. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif (F10 F19)
Gangguan yang bervariasi luas dan berbeda keparahannya (dari intoksikasi tanpa
komplikasi dan penggunaan yang merugikan sampai gangguan psikotik yang jelas
dan demensia, tetapi semua itu diakibatkan oleh karena penggunaan satu atau lebih
zat psikoaktif dengan atau tanpa resep dokter. Sistem kode dari gangguan ini yaitu
zat yang digunakan termasuk ke dalam karakter 2 dan 3, sedangkan keadaan klinis
termasuk ke dalam karakter ke 4 dan 5. Misalnya, F10.03 merupakan gangguan
mental dan perilaku akibat penggunaan alcohol, intoksikasi akut dengan delirium.
3. Skizofrenia, gangguan Skizotipal, dan gangguan Waham (F20 F29)
Ciri khas : gejala psikotik, etiologic organic tidak jelas.
-

Skizofrenia : suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum


diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating)
yang luas, serta sejumlah akibat yang bergantung pada pertimbangan pengaruh
genetic, fisik, dan social budaya. Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan
yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek
yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih
dan

kemampuan

intelektualnya

biasanya

tetap

terpelihara,

walaupun

kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.


-

Gangguan skizotipal : bila istilah ini digunakan untuk diagnosis, tiga atau empat
gejala khas berikut ini harus sudah ada secara menerus atau secara episodic,
sedikitnya untuk 2 tahunlamanya : afek yang tidak wajar atau yang
menyempit/constricted (individu tampak dingin dan acuh tak acuh); perilaku atau
penampilan yang aneh, eksentrik atau ganjil; hubungan social yang buruk
dengan orang lain dan tendensi menarik diri dari pergaulan social; kepercayaan
yang aneh atau pikiran bersifat magik, yang mempengaruhi perilaku dan tidak
serasi dengan norma-norma budaya setempat; kecurigaan atau ide-ide paranoid;
pikiran obsesif berulang-ulang yang tak terkendali sering dengan isi yang bersifat
dysmorphophobic (keyakinan tentang bentuk tubuh yang tidak normal/buruk
dan tidak terlihat secara objektif oleh orang lain), seksual atau agresif; persepsipersepsi

panca

indera

yang

tidak

lazim

termasuk

mengenai

tubuh

(somatosensory) atau ilusi-ilusi lain, depersonalisasi atau derealisasi; pikiran


yang bersifat samar-samar (vague), berputar-putar (circumstantial), penuh kiasan
(metaphorical), sangat terinci dan ruwet (overelaborate), atau stereotipik, yang
bermanifestasi dalam pembicaraan yang aneh atau cara lain, tanpa inkoherensi
yang jelas dan nyata; dan sewaktu-waktu ada episode menyerupai psikotik yang
bersifat sementara dengan ilusi, halusinasi audiotorik atau lainnya yang bertubitubi, dan gagasan yang mirip waham, biasanya terjadi tanpa provokasi dari luar.
-

Gangguan waham : waham baik tunggal maupun sebagai suatu sistem waham
harus sudah ada sedikitnya 3 bulan lamanya, dan harus bersifat khas pribadi
(personal) dan bukan budaya setempat. Gejala-gejala depresif atau bahkan
suatu episode depresif yang lengkap/full-blown mungkin terjadi secara intermiten,
dengan syarat bahwa waham-waham tersebut menetap pada saat-saat tidak
terdapat gangguan afektif itu. Tidak boleh ada bukti tentang penyakit otak,
halusinasi auditorik atau hanya kadang-kadang saja ada dan bersifat sementara.
Tidak ada riwayat gejala-gejala skizofrenia (waham dikendalikan, siar pikirran,
penumpulan afek, dsb).

4. Gangguan suasana perasaan (mood/afek) (F30 F39)


Ciri khas : gejala gangguan afek (psikotik dan non-psikotik). Kelainan fundamental
dari kelompok gangguan ini adalah perubahan suasana perasaan (mood) atau afek,
biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa ansietas yang menyertainya) atau
kearah elasi (suasana perasaan yang meningkat). Perubahan afek ini biasanya
disertai dengan suatu perubahan pada keseluruhan tingkat aktivitas, dan
kebanyakan gejala lainnya adalah sekunder terhadap perubahan itu, atau mudah
dipahami hubungannya dengan perubahan tersebut. Gangguan afektif dibedakan
menurut :
-

Episode tunggal atau multiple

Tingkat keparahan gejala (mania dengan gejala psikotik, mania tanpa gejala
psikotik, dan hipomania; serta depresi ringan, sedang, berat tanpa gejala psikotik
maupun berat dengan gejala psikotik).

Dengan atau tanpa gejala somatic.

5. Gangguan neurotic, gangguan somatoform, dan gangguan stress (F40 F48)


Ciri khas : gejala non psikotik, etiologic non organic. Gangguan neurotic, gangguan
somatoform, dan gangguan terkait stress dikelompokkan menjadi satu dengan

alasan bahwa dalam sejarahnya ada hubungan dengan perkembangan konsep


neurosis dan berbagai kemungkinan penyebab psikologis (psychological causation).
Ciri utama gangguan somatoform adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang
berulang-ulang disertai dengan permintaan pemeriksaan medic, meskipun sudah
berkali-kali terbukti hasilnya negative dan juga sudah dijelaskan oleh dokternya
bahwa tidak ditemukan kelainan yang menjadi dasar keluhannya. Penderita juga
menyangkal dan menolak untuk membahas kemungkinan kaitan antara keluhan
fisiknya dengan problem atau konflik dalam kehidupan yang dialaminya, bahkan
meskipun didapatkan gejala-gejala ansietas dan depresi.
6. Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik (F50
F59)
Ciri khas : gejala disfungsi fisiologis, etiologic non organic. Adapun pembagian
gangguannya antara lain : gangguan makan, gangguan tidur non organic, disfungsi
seksual bukan disebabkan oleh gangguan atau penyakit organic, gannguan mental
dan perilaku yang berhubungan dengan masa nifas yang tidak diklasifikasikan, faktor
psikologis dan perilaku yang berhubungan dengan gangguan atau penyakit yang
diklasifikasikan, penyalahgunaan zat yang tidak menyebabkan ketergantungan, dan
sindrom perilaku yang tidak tergolongkan yang berhubungan dengan gangguan
fisiologis dan faktor fisik.
7. Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa (F60 F69)
Ciri khas : gejala perilaku, etiologic non organic. Pada gangguan ini mencakup
kondisi klinis yang bermakna dan pola perilaku yang cenderung menetap, dan
merupakan ekspresi dari pola hidup yang khas dari seseorang dan cara-cara
berhubungan dengan diri sendiri maupun orang lain. Beberapa dari kondisi dan pola
perilaku tersebut berkembang sejak dini dari masa pertumbuhan dan perkembangan
dirinya sebagai hasil dari interaksi faktor-faktor konstitusi dan pengalaman hidup,
sedangkan yang lainnya didapat pada masa kehidupan selanjutnya.
8. Retardasi Mental (F70 F79)
Ciri khas : gejala perkembangan IQ, onset masa kanak. Retardasi mental adalah
suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap terutama
ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan,
sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya
kemampuan kognitif, bahasa, motoric, dan social. Retardasi mental dapat terjadi
dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya. Hendaya perilaku

adaptif selalu ada, tetapi dalam lingkungan social terlindung dimana sarana
pendukung cukup tersedia, hendaya ini mungkin tidak tampak sama sekali pada
penyandang retardasi mental ringan.
9. Gangguan perkembangan psikologis (F80 F89)
Ciri khas : gejala perkembangan khusus, onset masa kanak. Gangguan-gangguan
yang termasuk dalam gangguan perkembangan psikologis memiliki gambaran
sebagai berikut : onset bervariasi selama masa bayi atau kanak=kanak; adanya
hendaya atau kelambatan perkembangan fungsi-fungsi yang berhubungan erat
dengan kematangan biologis dari susunan saraf pusat; dan berlangsung secara
terus-menerus tanpa adanya remisi dan kekambuhan yang khas bagi banyak
gangguan jiwa. Pada sebagian besar kasus, fungsi-fungsi yang dipengaruhi
termasuk bahasa, keterampilan visuo-spatial dan/atau koordinasi motoric. Yang khas
adalah hendayanta berkurang secara progresif dengan bertambahnya usia anak
(walaupun deficit yang lebih ringan sering menetap sampai masa dewas).
10. Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak dan remaja (F90
F98)
Ciri khas : gejala perilaku/emosional, onset masa kanak. Anak dengan gangguan
perilaku menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan permintaan, kebiasaan atau
norma-norma masyarakat (Maramis, 1994).Anak dengan gangguan perilaku dapat
menimbulkan kesukaran dalam asuhan dan pendidikan. Gangguan perilaku mungkin
berasal dari anak atau mungkin dari lingkungannya, akan tetapi akhirnya kedua
faktor ini saling memengaruhi. Diketahui bahwa ciri dan bentuk anggota tubuh serta
sifat kepribadian yang umum dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya.Pada
gangguan otak seperti trauma kepala, ensepalitis, neoplasma dapat mengakibatkan
perubahan kepribadian.Faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi perilaku anak,
dan sering lebih menentukan oleh karena lingkungan itu dapat diubah, maka dengan
demikian gangguan perilaku itu dapat dipengaruhi atau dicegah.
11. F99 Gangguan jiwa yang tidak tergolongkan
Ini merupakan kategori yang tersisa yang tidak dianjurkan, kecuali tidak ada kode
diagnosis lain dari F00 F98 dapat digunakan.
H. TERAPI GANGGUAN JIWA
1. Terapi psikofarmaka

Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada
Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan
perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap
taraf kualitas hidup klien (Hawari, 2001). Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa
golongan,

diantaranya:

antipsikosis,

anti-depresi,

anti-mania,

anti-ansietas,

antiinsomnia, anti-panik, dan anti obsesif-kompulsif,. Obat acuan dari antipsikosis


adalah chlorpromazine (CPZ), obat acuan dari anti-depresi yaitu amitriptyline, obat
acuan anti mania adalah lithium carbonate, obat acuan anti ansietas adalah
diazepam/chlordiazepoxide, obat acuan antiinsomnia yaitu phenobarbital, obat acuan
anti panic yaitu imipramine, dan obat acuan anti obsesif kompulsif adalah
clomipramine.
2. Terapi somatic
Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat gangguan jiwa
sehingga diharapkan tidak dapat mengganggu sistem tubuh lain. Salah satu bentuk
terapi ini adalah Electro Convulsive Therapy. Terapi elektrokonvulsif (ECT)
merupakan suatu jenis pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak
melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan
kejang grand mal, yang darinya diharapkan efek yang terapeutik tercapai.
Mekanisme kerja ECT sebenarnya tidak diketahui, tetapi diperkirakan bahwa ECT
menghasilkan perubahan-perubahan biokimia di dalam otak (Peningkatan kadar
norepinefrin dan serotinin) mirip dengan obat anti depresan. (Townsend alih bahasa
Daulima, 2006).
3. Terapi Modalitas
Terapi modalitas adalah suatu pendekatan penanganan klien gangguan yang
bervariasi yang bertujuan mengubah perilaku klien gangguan jiwa dengan perilaku
maladaptifnya menjadi perilaku yang adaptif.
Ada beberapa jenis terapi modalitas, antara lain:
a) Terapi Individual
Terapi individual adalah penanganan klien gangguan jiwa dengan pendekatan
hubungan individual antara seorang terapis dengan seorang klien. Suatu
hubungan yang terstruktur yang terjalin antara perawat dan klien untuk
mengubah perilaku klien. Hubungan yang dijalin adalah hubungan yang
disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan dengan tahapan sistematis
(terstruktur) sehingga melalui hubungan ini terjadi perubahan tingkah laku

klien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal hubungan. Hubungan


terstruktur dalam terapi individual bertujuan agar klien mampu menyelesaikan
konflik yang dialaminya. Selain itu klien juga diharapkan mampu meredakan
penderitaan (distress) emosional, serta mengembangkan cara yang sesuai
dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
b) Terapi Lingkungan
Terapi lingkungan adalah bentuk terapi yaitu menata lingkungan agar terjadi
perubahan perilaku pada klien dari perilaku maladaptive menjadi perilaku
adaptif. Perawat menggunakan semua lingkungan rumah sakit dalam arti
terapeutik. Bentuknya adalah memberi kesempatan klien untuk tumbuh dan
berubah perilaku dengan memfokuskan pada nilai terapeutik dalam aktivitas
dan interaksi.
c) Terapi Kognitif
Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan dan sikap yang
mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Proses yang diterapkan adalah
membantu mempertimbangkan stressor dan kemudian dilanjutkan dengan
mengidentifikasi pola berfikir dan keyakinan yang tidak akurat tentang
stressor tersebut. Gangguan perilaku terjadi akibat klien mengalami pola
keyakinan dan berfikir yang tidak akurat. Untuk itu salah satu memodifikasi
perilaku adalah dengan mengubah pola berfikir dan keyakinan tersebut.
Fokus asuhan adalah membantu klien untuk reevaluasi ide, nilai yang
diyakini, harapan-harapan, dan kemudian dilanjutkan dengan menyusun
perubahan kognitif.
d) Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota
keluarga sebagai unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi keluarga
adalah agar keluarga mampu melaksanakan fungsinya. Untuk itu sasaran
utama terapi jenis ini adalah keluarga yang mengalami disfungsi; tidak bisa
melaksanakan fungsi-fungsi yang dituntut oleh anggotanya. Dalam terapi
keluarga semua masalah keluarga yang dirasakan diidentifikasi dan
kontribusi dari masing-masing anggota keluarga terhadap munculnya
masalah tersebut digali. Dengan demikian terlebih dahulu masing-masing
anggota keluarga mawas diri; apa masalah yang terjadi di keluarga, apa
kontribusi masing-masing terhadap timbulnya masalah, untuk kemudian

mencari solusi untuk mempertahankan keutuhan keluarga dan meningkatkan


atau mengembalikan fungsi keluarga seperti yang seharusnya.
e) Terapi Kelompok
Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk dalam
kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media kelompok.
Dalam terapi kelompok perawat berinteraksi dengan sekelompok klien secara
teratur. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran diri klien, meningkatkan
hubungan interpersonal, dan mengubah perilaku maladaptive. Terapi Perilaku
Anggapan dasar dari terapi perilaku adalah kenyataan bahwa perilaku timbul
akibat proses pembelajaran. Perilaku sehat oleh karenanya dapat dipelajari
dan disubstitusi dari perilaku yang tidak sehat. Teknik dasar yang digunakan
dalam terapi jenis ini adalah: Role model, Kondisioning operan, Desensitisasi
sistematis, Pengendalian diri dan Terapi aversi atau rileks kondisi.
f)

Terapi Bermain
Terapi bermain diterapkan karena ada anggapan dasar bahwa anak-anak
akan dapat berkomunikasi dengan baik melalui permainan dari pada dengan
ekspresi

verbal.

Dengan

bermain

perawat

dapat

mengkaji

tingkat

perkembangan, status emosional anak, hipotesa diagnostiknya, serta


melakukan intervensi untuk mengatasi masalah anak tersebut.
4. Terapi psikososial/Terapi perilaku.
Terapi sosial dilakukan untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan
memenuhi diri sendiri, dan komunikasi interpersonal. Terapi perilaku dapat dilakukan
dengan memberikan hadiah atau pujian sehingga dapat mendorong pasien
berperilaku

adaptif.

Dengan

demikian,

frekuensi

perilaku

maladaptif

atau

menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendiri, dan tingkah laku yang aneh
dapat diturunkan. Latihan keterampilan perilaku dapat dilakukan dengan permainan
simulasi, atau melakukan keterampilan dalam melakukan pekerjaan rumah.
5. Terapi psikomotor.
Terapi psikomotor adalah suatu bentuk terapi yang mempergunakan gerakan tubuh
sebagai salah satu cara untuk melakukan analisa berbagai gejala yang mendasari
suatu bentuk gangguan jiwa. Analisa yang diperoleh dapat dipakai sebagai bahan
diskusi dinamika dari perilaku serta responnya dalam perubahan perilaku dengan
tujuan mendapatkan perilaku yang paling sesuai dengan dirinya.

6. Terapi rekreasi.
Terapi rekreasi adalah suatu bentuk terapi yang mempergunakan media rekreasi
(bermain, olahraga, darmawisata, menonton TV, dan sebagainya) dengan tujuan
mengurangi ketergangguan emosional dan memperbaiki perilaku melalui diskusi
tentang kegiatan rekreasi yang telah dilakukan, sehingga perilaku yang baik di ulang
dan yang buruk dihilangkan.
7. Art terapi.
Art terapi adalah suatu bentuk terapi yang menggunakan media seni (tari, lukisan,
musik, pahat, dan sebagainya) untuk mengekspresikan ketegangan-ketegangan
psikis sehingga dapat menyalurkan dorongan-dorongan yang terpendam dalam jiwa
seseorang. Hasil seni yang dibuat selain dapat dinikmati orang lain dan dirinya juga
akan meningkatkan harga diri seseorang. Perawat jiwa yang selalu dekat dengan
pasien diharapkan dapat memberikan berbagai kegiatan yang terarah dan berguna
bagi pasien dalam berbagai terapi tersebut.
8. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah segala tindakan fisik, penyesuaian psikososial dan latihan
vokasional sebagai usaha untuk memperoleh fungsi dan penyesuaian diri yang
optimal serta mempersiapkan klien secara fisik, mental, sosial dan vokasional untuk
suatu kehidupan penuh sesuai dengan kemampuannya (Nasution, 2006).
Rehabilitasi adalah suatu proses yang kompleks, meliputi berbagai disiplin dan
merupakan gabungan dari usaha medik, sosial, educational, yang terpadu untuk
mempersiapkan, meningkatkan/mempertahankan dan membina seseorang agar
dapat mencapai kembali taraf kemampuan fungsional setinggi mungkin. Peran
perawat dalam kegiatan rehabilitasi masih diperlukan terutama dalam melibatkan
keluarga atau masyarakat dalam pelaksanaan dan memperlancar upaya rehabilitasi.

KONSEP SKIZOFRENIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN GANGGUAN JIWA LAIN

1. Definisi Skizofrenia
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis atau kambuh ditandai
dengan terdapatnya perpecahan (schism) antara pikiran, emosi dan perilaku pasien yang
terkena. Perpecahan pada pasien digambarkan dengan adanya gejala fundamental (atau
primer) spesifik, yaitu gangguan pikiran yang ditandai dengan gangguan asosiasi,
khususnya kelonggaran asosiasi. Gejala fundamental lainnya adalah gangguan afektif,
autism, dan ambivalensi. Sedangkan gejala sekundernya adalah waham dan halusinasi
(Kaplan & Sadock, 2004).
Berdasarkan DSM-IV, skizofrenia merupakan gangguan yang terjadi dalam durasi
paling sedikit selama 6 bulan, dengan 1 bulan fase aktif gejala (atau lebih) yang diikuti
munculnya delusi, halusinasi, pembicaraan yang tidak terorganisir, dan adanya perilaku
yang katatonik serta adanya gejala negative (APA, 2000).
2. Kriteria Diagnostik Skizofrenia
Menurut Kaplan & Sadock (2004), terdapat beberaapa kriteria diagnostic skizofrenia
di dalam DSM-IV antara lain:
A. Karakteristik gejala
Terdapat dua (atau lebih) dari kriteria di bawah ini, masing-masing ditemukan secara
signifikan selama periode satu bulan (atau kurang, bila berhasil ditangani):
1)

Delusi (waham)

2)

Halusinasi

3)

Pembicaraan yang tidak terorganisasi (misalnya, topiknya sering menyimpang atau


tidak berhubungan).

4)

Perilaku yang tidak terorganisasi secara luas atau munculnya perilaku katatonik
yang jelas.

5)

Gejala negative, yaitu adanya afek yang datar, alogia atau avolisis (tidak adanya
kemauan).

Catatan : Hanya diperlukan satu gejala dari kriteria A, jika delusi yang muncul
bersifat kacau (bizzare) atau halusinasi terdiri dari beberapa suara yang terusmenerus mengomentari perilaku atau pikiran pasien, atau dua atau lebih suara
yang saling berbincang antara satu dengan yang lainnya.
B. Disfungsi social atau pekerjaan
Untuk

kurun

waktu

yang

signifikan

sejak

munculnya

onset

gangguan,

ketidakberfungsian ini meliputi satu atau lebih fungsi utama, seperti pekerjaan,
hubungan interpersonal, atau perawatan diri, yang jelas di bawah tingkat yang dicapai
sebelum onset (atau jika onset pada masa anak-anak atau remaja, adanya kegagalan
untuk mencapai beberapa tingkatan hubungan interpersonal, prestasi akademik, atau
pekerjaan yang diharapkan).
C. Durasi
Adanya tanda-tanda gangguan yang terus-menerus menetap selama sekurangnya
enam bulan. Pada periode enam bulan ini, harus termasuk sekurangnya satu bulan
gejala (atau kurang, bila berhasil ditangani) yang memenuhi kriteria A (yaitu fase aktif
gejala) dan mungkin termasuk pada periode gejala prodromal atau residual. Selama
periode prodromal atau residual ini, tanda-tanda dari gangguan mungkin hanya
dimanifestasikan oleh gejala negative atau dua atau lebih gejala yang dituliskan dalam
kriteria A dalam bentuk yang lemah.
D. Di luar gangguan skizoafektif dan gangguan mood
Gangguan-gangguan lain dengan ciri psikotik tidak dimasukkan, karena:
1)

Tidak ada episode depresif mayor, manik atau episode campuran yang terjadi
secara bersamaan yang terjadi bersama dengan gejala fase aktif.

2)

Jika episode mood terjadi selama gejala fase aktif, maka durasi totalnya akan
relative lebih singkat bila dibandingkan dengan durasi periode aktif atau
residualnya.

E. Di luar kondisi di bawah pengaruh zat atau kondisi medis umum


Gangguan

tidak

disebabkan

oleh

efek

fisiologis

langsung

dari

suatu

zat

(penyalahgunaan obat, pengaruh medikasi) atau kondisi medis umum.


F. Hubungan dengan perkembangan pervasive
Jika ada riwayat gangguan autistic atau gangguan perkembangan pervasive lainnya,
diagnosis tambahan skizofrenia dibuat hanya jika muncul delusi atau halusinasi secara

menonjol untuk sekurang-kurangnya selama satu bulan (atau kurang jika berhasil
ditangani).
Klasifikasi perjalanan gangguan jangka panjang (klasifikasi ini hanya dapat
diterapkan setelah sekurang-kurangnya satu tahun atau lebih, sejak onset awal dari
munculnya gejala fase aktif):
a) Episodik dengan gejala residual interepisode (episode ini dinyatakan dengan
munculnya kembali gejala psikotik yang menonjol), khususnya dengan gejala
negative yang menonjol.
b) Episodik tanpa gejala residual interepisodik.
c) Kontinum (ditemukan adanya gejala psikotik yang menonjol di seluruh periode
observasi), dengan gejala negative yang menonjol.
d) Episode tunggal dalam remisi parsial, khususnya dengan gejala negative yang
menonjol.
e) Episode tunggal dalam remisi penuh
f)

Pola lain yang tidak ditemukan (tidak spesifik).

3. Etiologi
Teori tentang penyebab skizofrenia, yaitu :
a. Diatesis-Stress Model
Teori ini menggabungkan antara faktor biologis, psikososial, dan lingkungan yang
secara khusus mempengaruhi diri seseorang sehingga dapat menyebabkan
berkembangnya gejala skizofrenia. Dimana ketiga faktor tersebut saling berpengaruh
secara dinamis (Kaplan & Sadock, 2004).
b. Faktor Biologis
Dari faktor biologis dikenal suatu hipotesis dopamine yang menyatakan bahwa
skizofrenia disebabkan oleh aktivitas dopaminergic yang berlebihan di bagian kortikal
otak, dan berkaitan dengan gejala positif dari skizofrenia. Penelitian terbaru juga
menunjukkan pentingnya neurotransmitter lain termasuk serotonin, norepinefrin,
glutamate, dan GABA. Selain perubahan yang sifatnya neurokimiawi, penelitian
menggunakan CT Scan ternyata ditemukan perubahan anatomi otak seperti
pelebaran lateral ventrikel, atropi koteks atau atropi otak kecil (cerebellum), terutama
pada penderita kronis skizofrenia (Kaplan & Sadock, 2004).

c. Genetika
Faktor genetika telah dibuktikan secara meyakinkan. Resiko masyarakat umum 1%,
pada orang tua resiko 5%, pada saudara kandung 8%, dan pada anak 12% apabila
salah satu orang tua menderita skizofrenua, walaupun anak telah dipisahkan dari
orang tua sejak lahir, anak dari kedua orang tua skizofrenia 40%. Pada kembar
monozigot 47%,sedangkan untuk kembar dizigot sebesar 12% (Kaplan & Sadock,
2004).
d. Teori Psikososial

Teori perkembangan
Ahli teori Sullivan dan Erikson mengemukakan bahwa kurangnya perhatian yang
hangat dan penuh kasih saying di tahun-tahun awal kehidupan berperan dalam
menyebabkan kurangnya identitsa diri, salah interpretasi terhadap realitas dan
menarik diri dari hubungan social pada penderita skizofrenia (Sirait, 2008).

Teori belajar
Menurut ahli teori belajar (learning theory), anak-anak yang menderita
skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berfikir irasional orang tua yang
mungkin memiliki masalah emosional yang bermakna. Hubungan interpersonal
yang buruk dari penderita skizofrenia akan berkembang karena mempelajari
model yang buruk selama anak-anak (Sirait, 2008).

Teori keluarga
Tidak ada teori yang terkiat dengan peran keluarga dalam menimbulkan
skizofrenia. Namun beberapa penderita skizofrenia berasal dari keluarga yang
disfungsional (Sirait, 2008).

4. Tipe-Tipe Skizofrenia
Berdasarkan definisi dan kriteria diagnostic tersebut, skizofrenia di dalam DSM-IV
dapat dikelompokkan menjadi beberapa subtype, yaitu (Kaplan & Sadock, 2004):
a. Skizofrenia Paranoid
Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
-

Preokupasi dengan satu atau lebih delusi atau halusinasi dengar yang menonjol
secara berulang-ulang.

Tidak ada yang menonjol dari berbagai keadaan berikut ini : pembicaraan yang
tidak terorganisasi, perilaku yang tidak terorganisasi atau katatonik, atau afek
yang datar atau tidak sesuai.

b. Skizofrenia terdisorganisasi
Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Berikut ini semuanya menonjol : pembicaraan yang tidak terorganisasi, perilaku
yang tidak terorganisasi, dan afek yang datar atau tidak sesuai.
2. Tidak memenuhi kriteria untuk tipe katatonik.
c. Skizofrenia Katatonik
Tipe skizofrenia dengan gambaran klinis yang didominasi oleh sekurang-kurangnya
dua hal berikut ini :
-

Imobilitas motoric, seperti ditunjukkan adanya katalepsi (termasuk fleksibilitas


lilin) atau stupor.

Aktivitas motoric yang berlebihan (tidak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh
stimulus eksternal).

Negativisme yang berlebihan (sebuah resistensi yang tampak tidak adanya


motivasi terhadap semua bentuk perintah atau mempertahankan postur yang
kaku dan menentang semua usaha untuk menggerakkannya) atau mutism.

Gerakan-gerakan sadar yang aneh, seperti yang ditunjukkan oleh posturing


(mengambil postur yang tidak lazim atau aneh secara disengaja), gerakan
stereotipik yang berulang-ulang, mannerism yang menonjol, atau bermuka
menyeringai secara menonjol.

Ekolalia atau ekopraksia (pembicaraan yang tidak bermakna).

d. Skizofrenia Tidak tergolongkan


Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria A, tetapi tidak memenuhi kriteria untuk tipe
paranoid, terdisorganisasi, dan katatonik.
e. Skizofrenia residual
Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
-

Tidak adanya delusi, halusinasi, pembicaraan yang tidak terorganisasi, dan


perilaku yang tidak terorganisasi atau katatonik yang menonjol.

Terdapat terus tanda-tanda gangguan, seperti adanya gejala negative atau dua
atau lebih gejala yang terdapat dalam kriteria A, walaupun ditemukan dalam
bentuk yang lemah (misalnya, keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi yang
tidak lazim).

5. Gejala dan Gambaran Klinis Skizofrenia


Berdasarkan DSM-IV, ciri yang terpenting dari skizofrenia adalah adanya campuran
dari dua karakteristik (baik gejala positif maupun gejala negative) (APA, 2000). Secara
umum, karakteristik gejala skizofrenia (kriteria A), dapat digologkan dalam tiga kelompok:
-

Gejala positif : merupakan tanda yang biasanya pada orang kebanyakan tidak ada,
namun pada pasien skizofrenia justru muncul. Gejala positif adalah gejala yang
bersifat aneh, antara lain berupa delusi, halusinasi, ketidakteraturan pembicaraan, dan
perubahan perilaku (Kaplan & Sadock, 2004).

Gejala negative : adalah menurunnya atau tidak adanya perilaku tertentu, seperti
perasaan yang datar, tidak adanya perasaan yang bahagia dan gembira, menarik diri,
ketiadaan pembicaraan yang berisi, mengalami gangguan social, serta kurangnya
motivasi untuk beraktivitas (Kaplan & Sadock, 2004).

Kategori gejala yang ketiga adalah disorganisasi, antara lain perilaku yang aneh
(misalnya katatonia, dimana pasien menampilkan perilkau tertentu berulang-ulang,
menampilkan pose tubuh yang aneh, atau waxy flexibility, yaitu orang lain dapat
memutar atau membentuk posisi tertentu dari anggota badan pasien, yang akan
dipertahankan dalam waktu yang lama) dan disorganisasi pembicaraan. Adapun
disorganisasi pembicaraan adalah masalah dalam mengorganisasikan ide dan
pembicaraan, sehingga orang lain tidak mengerti (dikenal dengan gangguan berfikir
formal) misalnya asosiasi longgar, inkoherensi, dan sebagainya (Prabowo, 2007).

6. Perjalanan Gangguan dan Prognosis Skizofrenia


a. Fase prodromal
Fase prodromal ditandai dengan deteriorasi yang jelas dalam fungsi kehidupan,
sebelum fase aktif gejala gangguan, dan tidak disebabkan oleh gangguan afek atau
akibat gangguan penggunaan zat, serta mencakup paling sedikit dua gejala dari
kriteria A pada kriteria diagnosis skizofrenia. Awal munculnya skizofrenia dapat terjadi
setelah melewati suatu periode yang sangat panjang, yaitu ketika seorang individu
mulai menarik diri secara social dari lingkungannya (Prabowo, 2007).

Individu yang mengalami fase prodromal dapat berlangsung selama beberapa minggu
hingga

bertahun-tahun,

sebelum

gejala

lain

yang

memenuhi

kriteria

untuk

menegakkan diagnosis skizofrenia muncul. Individu dengan fase prodromal singkat,


perkembangan gejala gangguannya ebih jelas terlihat daripada individu yang
mengalami fase prodromal panjang (Prabowo, 2007).
b. Fase Aktif Gejala
Fase aktif gejala ditandai dengan munculnya gejala-gejala skizofrenia secara jelas.
Sebagian

besar

penderita

gangguan

skizofrenia

memiliki

kelainan

pada

kemampuannya untuk melihat realitas dan kesulitan dalam mencapai insight. Sebagai
akibatnya episode psikosis dapat ditandai oleh adanya kesenjangan yang semakin
besar antara individu dengan lingkungan sosialnya (Prabowo, 2007).
c. Fase Residual
Fase residual terjadi setelah fase aktif gejala paling sedikit terdapat dua gejala dari
kriteria A pada kriteria diagnosis skizofrenia yang bersifat menetap dan tidak
disebabkan oleh gangguan afek atau gangguan penggunaan zat. Dalam perjalanan
gangguannya, beberapa pasien skizofrenia mengalami kekambuhan hingga lebih dari
lima kali. Oleh karena itu, tantangan terapi saat ini adalah untuk mengurangi dan
mencegah terjadinya kekambuhan.
Penegakan prognosis dapat menghasilkan dua kemungkinan, yaitu prognosis positif
apibal didukung oleh beberapa aspek berikut, seperti: onset terjadi pada usia yang lebih
lanjut, faktor pencetusnya jelas, adanya kehidupan yang relative baik sebelum terjadinya
gangguan dalam bidang social, pekerjaan, dan seksual, fase prodromal terjadi secara
singkat, munculnya gejala gangguan mood, adanya gejala positif, sudah menikah, dan
adanya sistem pendukung yang baik (Kaplan & Sadock, 2004).
Sedangkan prognosis negative, dapat ditegakkan apabila muncul beberapa keadaan
seperti berikut : onset gangguan lebih awal, faktor pencetus tidak jelas, riwayat
kehidupan sebelum terjadinya gangguan kurang baik, fase prodromal terjadi cukup lama,
adanya perilaku yang autistic, melakukan penarikan diri, statusnya lajang, bercerai, atau
pasangannya telah meninggal, adanya riwayat keluarga yang mengidap skizofrenia,
munculnya gejala negative, sering kambuh secara berulang, dan tidak adanya sistem
pendukung yang baik (Kaplan & Sadock, 2004).
7. Terapi
a. Terapi Biologis

Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi dengan
menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif, dan pembedahan bagian otak.
Terapi dengan penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejala-gejala
skizofrenia. Obat yang digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine
decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat phenothiazines,
reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini disebut obat penenang utama.
Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi tidak
mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi (orang
tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini cukup tepat bagi penderita
skizofrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan
(Durand, 2007).
Terapi

Elektrokonvulsif

juga

dikenal

sebagai

terapi

electroshock

pada

penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir 1930-an, electroconvulsive therapy (ECT)


diperkenalkan sebagai penanganan untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah menjadi
pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. ECT ini
digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk
skizofrenia.
Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak Moniz (1935,
dalam Davison, et al., 1994) memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu proses
operasi primitif dengan cara membuang stone of madness atau disebut dengan batu
gila yang dianggap menjadi penyebab perilaku yang terganggu. Menurut Moniz, cara
ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya, khususnya pada
penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi, pada tahun 1950-an cara ini
ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan kemampuan kognitifnya, otak
tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.
b. Terapi psikososial
Gejala-gejala

gangguan

skizofrenia

yang

kronik

mengakibatkan

situasi

pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan
menjemukan. Secara historis, sejumlah penanganan psikososial telah diberikan pada
pasien skizofrenia, yang mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan ini
merupakan akibat masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai pengalaman
yang dialami di usia dini. Pada terapi psikosial terdapat dua bagian yaitu terapi
kelompok dan terapi keluarga (Durand, 2007).
Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi ini,
beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai

fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Para peserta terapi saling
memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta diposisikan
pada situasi sosial yang mendorong peserta untuk berkomunikasi, sehingga dapat
memperkaya pengalaman peserta dalam kemampuan berkomunikasi.
Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok.
Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan
tinggal bersama keluarganya. Keluarga berusaha untuk menghindari ungkapanungkapan emosi yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali. Dalam
hal ini, keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaanperasaan, baik yang positif maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan
untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama. Keluarga diberi
pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk menghadapinya. Dari
beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Fallon (Davison, et al., 1994; Rathus,
et al., 1991) ternyata campur tangan keluarga sangat membantu dalam proses
penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit penderita,
dibandingkan dengan terapi-terapi secara individual.

8. Hubungan Skizofrenia dengan Gangguan Jiwa Lainnya


Berdasarkan perjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa halusinasi, waham
(delusi), perilaku yang kacau dan pembicaraan yang tidak terorganisir merupakan
karakteristik gejala atau ciri utama dari skizofrenia. Skizofrenia merupakan
gangguan yang terjadi dalam durasi paling sedikit 6 bulan dengan 1 bulan fase
aktif gejala (atau lebih) yang diikuti munculnya halusinasi, waham, pembicaraan
yang tidak terorganisir, peilaku kacau dan gejala negative. Dikatakan skizofrenia
tidak harus mengalami waham, halusinasi, pembicaraan yang tidak terorganisir,
perilaku yang kacau dan gejala negative, tetapi jika pasien hanya mengalami
waham saja atau halusinasi saja atau kedua-duanya serta diikutikriteria diagnostic
skizofrenia lainnya yang sudah dijelaskan diatas maka dapat di diagnosis
skizofrenia.

Вам также может понравиться