Вы находитесь на странице: 1из 6

Fosil Globogerina Praebulloides Sebagai Indicator Paleodepth Formasi Batu

Asih Sukabumi Jawa Barat


Radhi Wahyuzi (270110130052)
Gilang Ramadhan (270110130068)
Ade Siti Badriah
Fakhrul Azharie
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran, Mahasiwa angkatan 2013 Kelas D

Abstrak
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki persebaran foraminifera terbanyak.
Foraminifera plangtonik yang ditemukan di formasi Batu Asih, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat
salah satunya adalah Globogrina praebuloides. Melalui identifikasi fosil foraminifera
planktonik dengan media fosil Globigerina praebulloides, mampu memperkirakan lingkungan
pengendapan, paleoecology, biostratigrafi, dan paleobatimetri. Salah satu aplikasi foraminifera
plaktonik yang akan digunakan yaitu untuk mengetahui paleobatimetri pada kawasan tersebut.
Pada formasi batuasih ini, tersusun oleh batulempung hitam, menyerpih, yang banyak
mengandung bola lempung di bagian bawah, dan sisipan batugamping dibagian atas. Identifikasi
Globigerina praebulloides melalui metode studi pustaka untuk mengetahui paleo batimetri
daerah Batu Asih Sukabumi. Globogerina praebulloides berumur miosen awal, banyak muncul
pada lingkungan laut dengan rentang zona neritik sekitar 0-200 meter dengan habitat daerahdaerah subtropical bersuhu 18o-24o dimana keterdapatan foraminifera plaktonik mencapai lebih
dari 35% sehingga formasi ini dapat diperkirakan kedalaman laut daerah Batuasih Sukabumi
pada masa lampau melalui fosil tersebut.
Kata Kunci : Formasi Batuasih, Globigerina praebulloides, Paleo batimetri.
PENDAHULUAN
Geologi Regional
Formasi Batuasih merupakan sebuah unit
marine sediment yang terbentuk dari
gabungan
batulempung,
marl,
dan
shale .Formasi ini didasari ketidak selarasan
yang ada pada formasi Bayah (Martodjojo,
1984; Dar-man and Sidi, 2000; and Clement
and Hall, 2007). Tektonisme yang terjadi

mengakibatkan formasi Batuasih memiliki


karakter yang sama dengan system formasi
yang melewati system tektonik kawasan
Bogor termasuk di dalamnya pengaruh
volcano
magmatisme
sebagai
suatu
pengaruh pembanding.Menurut Martodjo
(1984) formasi dari litologi batuan
tersebutmemiliki kesamaan dengan formasi
Cijengkol pada daerah Banten Selatan.
Walau bagaimanapun formasi ini lebih tipis

dan mengandung lebih banyak spesies


marine foraminifera. Dirunut dari Timur di
kawasan Cipanas (Saguling),dan kawasan
Rajamandala, beberapa singkapan black
marl memiliki kesamaan level stratigrafi
yang kuat dengan yang ada di Formasi
Batuasih.
Foraminifera Planktonik
Foraminifera merupakan bagian dari filum
Protozoa yang berkembang dari zaman
Kambrium hingga zaman Resen. Pada
umumnya hidup di lingkungan laut dengan
ukuran yang beragam dari 3 m sampai
3mm (Haq and Beorsman, 1983).
Foraminifera secara umum dibagi menjadi
dua golongan besar yaitu foraminifera
Planktonik dan Foraminifera Bentonik,
Foraminifera sendiri merupakan makhluk
bersel satu yang mampu membentuk
morfologi cangkang yang mempunyai
ukuran dan bentuk yang beragam dari zat
yang dihasilkan oleh tubuhnya dan material
yang ada pada lingkungan habitatnya.
Kumpulan fosil foraminifera planktonik
pada
batuan
sedimen
menyediakan
informasi yang berguna tentang keadaan
masa lampau kolom air, termasuk suhu,
stratifikasi, dan produktivitas. Seperti
banyak organisme laut lainnya, sebagian
besar spesies foraminifera planktonik
modern beradaptasi dengan perubahan
rentang suhu dan salinitas. Sebagian besar
spesies foraminifera planktonik yang hidup
secara vertikal dikelompokkan dalam zona
fotik di mana persediaan makanan utama
berada dan melimpah. Foraminifera ini
berperan penting baik sebagai mangsa
maupun predator dalam tingkat trofik jaring-

jaring makanan. Selain menempati relung


trofik beragam, foraminifera planktonik
menempati bagian yang berbeda dari setiap
kolom air bagian atas, dan sejumlah spesies
akan berubah habitat secara vertikal
berdasarkan perubahan kolom air.
Perubahan vertikal lingkungan hidup ini
akan mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan seperti peningkatan jumlah
kamar, meningkatkan ukuran tes, dan
karakteristik lainnya seperti ciri morfologi
dan perkembangbiakan. Sebagai contoh,
beberapa takson, yang hidup di perairan
fotik dari mixing layer sebagian besar
foraminifera hidup singkat
sebelum
menambahkan
kalsit
sekunder
dan
tenggelam ke kedalaman yang lebih besar
untuk gametogenesis (pelepasan gamet).
Gametogenesis dan pertumbuhan awal
foraminifera muda dapat terjadi di sekitar
zona dekat dasar lapisan campuran atau
termoklin atas di mana kondisi yang optimal
untuk fitoplankton berproduktivitas (lapisan
campuran memiliki intensitas cahaya
memadai dari atas dan pasokan hara adveksi
dari bawah).
METODE
Studi kasus dilakukan di daerah Sukabumi
pada formasi Batu Asih, Sukabumi
Jawabarat. Fosil yang dipakai dalam
identifikasi paleobatimetri kawasan Batuasih
Sukabumi yaitu Globigerina Praebulloides.
Metode identifikasi yang digunakan adalah
dengan melakukan studi pustaka mengenai
fosil tersebut, dimana data yang di dapat
bersumber dari berbagai jurnal dan buku
mengenai foraminifera plaktonik.
APLIKASI

Paleo Batimetri
Paleobatimetri adalah suatu indikasi
kedalaman bawah air berdasarkan biota laut.
Sebuah
peta
batimetri
umumnya
menampilkan relief lantai atau dataran
dengan garis-garis kontor (contour lines)
yang disebut kontor kedalaman (depth
contours atau isobath), dan dapat memiliki
informasi tambahan berupa informasi
navigasi permukaan. Survey batimetri
dmaksudkan untuk mendapatkan data
kedalaman dan konfigurasi/topografi dasar
laut, termasuk lokasi dan luasan obyekobyek yang mungkin membahayakan. Biota
laut
yang
biasa
dijumpai
adalah
foraminifera.
Foraminifera
merupakan
mikrofosil yang banyak digunakan dalam
penentuan
umur
dan
lingkungan
pengendapan pada sedimen batuan karena
kisaran hidupnya relatif pendek, banyak
jenis foraminifera yang dapat dijadikan
sebagai spesies indeks pada kondisi
lingkungan tertentu, mudah ditemukan dan
jumlahnya melimpah pada kandungan
sedimen.
Metode
dalam
melakukan
penentuan paleobatimetri yaitu dengan
mengobservai populasi foraminifera modern
dan distribusi dari spesies tersebut. Seorang
paleontologist akan mampu mengiterpretasi
rentang kedalaman air pada zaman dahulu.
Metode ini, berdasarkan kepada studi luas
dari kehidupan foraminifera, merujuk
kepada
konsep
dari
taksonimi
uniformitarianisme, yang memiliki asumsi
kebanyakan dari organisme modern
mempunyai kesamaan atau sangat sama
pembatasan lingkungan seperti fosil
relativenya.
Kebanyakan
spesies
foraminifera pleistosen, pliosen, dan miosen
masih hidup atau memiliki kerabat yang

tinggal sangat dekat di lautan yang modern.


Pada praktiknya, evolusi stabilitas ini dapat
mengestimasi secara akurat mengani
paleobatimetri seperti sejauh Miosen tengah
(sekitar 14,5 Ma). Keakuratan metode ini
menurun dengan usia geologi namun secara
umum diterima menjadi luas berguna dalam
Kenozoikum. Profil tepian benua dibagi
menjadi zona yang dapat dibedakan dengan
kumpulan
yang
berbeda
dari
mikroorganisme. Tabel berikut menunjukkan
zona kedalaman dan mikroorganisme yang
ditemukan di sana.

Gambar klasifikasi lingkungan laut


DISKUSI
% P dan paloe depth interpretasi
Pada laut yang ada sekarang %
P(persentase
foraminifera planktonik
berkumpul dan berkoloni) dapat dijadikan
sebagai korelasi kedalaman air laut (e.g., de
Rijk et al.1999). Walau bagaimanapun faktor
seperi masuknya air tawar, pengawetan

foram bentonik maupun planktonik, dan


kemunculannya hubungan antara %P dan
kedalaman pasti akan berbeda ditiap tempat
dan waktu. Akan tetapi
acuan dalam
penentuan paleo-depth (paleo batimetri)
adalah mengacu pada Grimsdale and
Morkhoven 1955; Wilson 2003. Beberapa
ahli mempelajari benthonik foraminifera
mendapatkan suatu jalan terbaik guna
mengkorelasikan faktor S (kekayaan jenis
spesies) dan paleo batimetri (e.g., Li and
McGowran 2000) dan hubungan yang
diharapkan menjadi petunjuk adlah antara
jarak foraminifera planktonik kearah pantai.
Peingkatan Turbiditas dan infiltrasi air tawar
akan mempengaruhi besaran jarak terhadap
pantai, sehingga memungkinkan untuk
berkembangnya jenis jenis spesies di
daerah pantai selanjutnya.
Globigerina praebulloides
Berdasarkan taxin Blow 1959, Globigerina
praebulloides berada pada rentang waktu
Burdigalian Miocene Neogene. Biasanya
muncul pada kawasan Sub Tropis dimana
lebih dari 35% fauna planktonik berhabitat
di area tersebut. Menurut Kennet (1985)
Globigerina
praebulloides
dapat
menggambarkan
toleransi
terhadap
perubahan lingkungan. Berdasarkan Blow &
Banner (1962) perbedaan 3 spesies
Globigerina yang ada adalah 1.)G.
Praebulloides
leroyi
dengan
G.
Praebulloides adalah pada umbilicus yang
relatif lebih kecil ,aperture yang rendah dan
tidaksimetris serta tidak memiliki lip.
Chamber yang ada pada leroyi adalah yang
paling membundar 2.) G. Praebulloides
acclusa bila dibandingkan dengan G.
Praebulloides memiliki umbilicus yang
dangkal dan kecil, apertur rendah dan lebih

kecil lalu lip atau rim yang menipis.


Chamber acclusa cukup membundar tetapi
masih dibawah leroyi.
Kedalaman air pada sepesies foraminifera
plangtonik
spesies
Globogerina
praebulloides
dengan
kalsifikasi
cangkangnya
yang
telah
diuraikan
berdasarkan pada komposisi isotopic
oksigen dari cangkang. Suhu air laut untuk
kedalaman
air
berkisar
0-200
m
diperkirakan
dari
Globogerina
o
o
praebulloides 18 -24 dengan menggunakan
berbagai persamaan temperatur purba.
Berdasarkan data temperature yang di dapat
cocok dengan lingkungan pelagic zona
neritik.
KESIMPULAN
Foraminifera plangtonik yang ditemukan di
formasi Batuasih Sukabumi, Jawabarat yaitu
Globigerina praebulloides berdasarkan
analisis paleobatimetri terdapat pada
lingkungan marine pelagic zona neritik
dengan kedalaman 0-200 meter dengan
temperatur air laut zona subtropical 18o-45o.
Berdasarkan data spesies foraminifera
plangtonik tersebut diperkirakan bahwa
daerah Batuasih Sukabumi pada miosen
awal termasuk ke dalam lingkungan laut
dangkal dengan kedalaman 0-200 meter.
DAFTAR PUSTAKA
Wilson,
Brent.
2005.
Planktonic
Foraminiferal Biostratigraphy and Paleo
Ecology of the Brasso Formation (Middle
Miocene) at St. Fabien Quarry, Trinidad,
West Indies. Vol. 41, No. 4, 797-803.
(http://webcache.googleusercontent.com/sea
rch?
q=cache:JfNp7eAqC60J:caribjsci.org/dec05/

41_797-803.pdf+&cd=1&hl=en&ct=clnk).
(diakses pada 11 April 2015 pukul 18.30)
Arifin, Fauzi. 2013. Identifikasi Mikrofosil
Foraminifera
Untuk
Menentukan
Paleobatimetri
Batugamping
Formasi
Tonasa, Daerah Ralla, Kecamatan Tanete
Riaja Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi
Selatan.
(http://journal.unhas.ac.id/index.php/prostek
/article/view/1220). (diakses pada 11 April
pukul 19.00)
Saraswat, R. & Khare, N. 2010.
Deciphering
The
Modern
Calcification Depth Of Globigerina
Bulloides In The Southwestern
Indian Ocean From Its Oxygen
Isotopic
Composition.
10.2113/gsjfr.40.3.220 v. 40 no. 3
p.
220-230.
(http://jfr.geoscienceworld.org/cont
ent/40/3/220.abstract).
(diakses
pada 11 April 2015 pukul 19.15).
Hedrizan, M., Praptisih, & Putra,
Purna S. 2012.
Depositional

Environment
of
the
Batuasih
Formation
on
the
Basis
of Foraminifera Content: A Case
Study in Sukabumi Region, West
JavaProvince, Indonesia. Vol. 7 : 101112.
(http://www.academia.edu/245258
7/Depositional_Environment_of_the
_Batuasih_Formation_on_the_Basis_
of_Foraminifera_Content_A_Case_St
udy_in_Sukabumi_Region_West_Jav
a_Province_Indonesia).
(diakses
pada 11 April 2015 pukul 19.20).
http://wiki.aapg.org/Paleobathymetry
(diakses pada 12 April 2015, pukul 11.19)
Amstrong, Howard A., Brasier, Martin D.
2005. Microfossil. Second Edition. Oxford:
Balckwell Publishing.

Вам также может понравиться