Вы находитесь на странице: 1из 38

BAB 1

PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di
antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima
besar tumor ganas , dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor
payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher
menduduki tempat pertama ( KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah
kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor
ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah).1,2,3
Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data
patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973 1976)
diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127
kasus KNF dari tahun 2000 2002. Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada
tahun 1980 secara pathology based mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring
4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di seluruh
Indonesia.1,2
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu
masalah, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta
letak nasofaring yang tersembunyi,dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yg bukan ahli
sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai
gejala pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis ( angka bertahan
hidup 5 tahun) semakin buruk.
Dengan melihat hal tersebut, diharapkan dokter dapat berperan dalam pencegahan,
deteksi dini, terapi maupun rehabilitasi dari karsinoma nasofaring ini. Penulis berusaha untuk
menuliskan aspek-aspek yang dirasakan perlu untuk dipahami melalui tinjauan pustaka dalam
referat ini dan diharapkan dapat bermanfaat.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

DEFINISI
Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial yang

cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis.2


Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral
yang secara anatomi termasuk bagian faring.
Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial pelapis
ruangan dibelakang hidung (nasofaring).2
2.2.

EPIDEMIOLOGI dan ETIOLOGI


Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7

kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di seluruh
Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara
pathology based). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF
berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair
Surabaya (1973 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT
Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 2002. Di RSCM Jakarta
ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus,
Ujung Pandang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979).
Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma
nasofaring dari ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya. 1,3
Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan biologi dari
penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International Union against Cancer)
dalam symposium kanker nasofaring yg diadakan di Singapura tahun 1964, dan dari
investigasi dalam empat dekade terakhir telah ditemukan banyak temuan penting di semua
aspek. KNF mempunyai gambaran epidemiologi yg unik, dalam daerah yg jelas, ras, serta
agregasi family.1,4
KNF mempunyai daerah distribusi endemik yang tidak seimbang antara berbagai
Negara, maupun yang tersebar dalam 5 benua. Tetapi, insiden KNF lebih rendah dari 1/10 5 di
semua area. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina bagian selatan (termasuk Hongkong), dan
insiden ini tertinggi di provinsi Guangdong pada laki-laki mencapai 20-50/100000 penduduk.

Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on Cancer)


ditemukan sekitar 80,000 kasus

tahun 2002

baru KNF diseluruh dunia, dan sekitar 50,000 kasus

meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula cukup banyak kasus
pada penduduk lokal dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan penduduk di Afrika utara dan
timur tengah 1,4,5
Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-3:1 dan
apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan
faktor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF
berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah
insisden KNF meningkat sesuia dengan meningkatnya umur, pada daerah dengan insiden
tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan
menurun setelahnya 5
Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan
cukup tinggi pada pendduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia,
Singapura, dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan
Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini. Berbagai studi
epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Salah
satunya yang menarik adalah penelitian mengenai angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF)
pada para migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di China
town (pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam
terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) antara para migran dari daratan Tiongkok ini dengan
penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang kulit putih (Caucasians), kulit hitam dan
Hispanics, di mana kelompok Tionghoa menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi.
Sebaliknya, apabila orang Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang
masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang bermakna dalam hal
terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) pada kelompok migran tersebut. Jadi kesimpulan yang
dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih mengandung gen yang memudahkan
untuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF), tetapi karena pola makan dan pola hidup selama
di perantauan berubah maka faktor yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi
maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang
Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan
konon kabarnya seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu

adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi
yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan.1,4,5
Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu (boat
people) yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini tampak
mencolok pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari negaranya. Bukti
epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura. Persentase terbesar yang
dikenai adalah masyarakat keturunan Tionghoa (18,5/100.000 penduduk), disusul oleh
keturunan Melayu (6,5/100.000) dan terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5/100.000) 4,5
Prevalensi KNF di Indonesia adalah 3,9 per 100.000 penduduk setiap tahun. Di rumah
Sakit H. Adam Malik Medan, Provinsi Sumatera Utara, penderita KNF ditemukan pada lima
kelompok suku. Suku yang paling banyak menderita KNF adalah suku Batak yaitu 46,7%
dari 30 kasus.5
Karsinoma nasofaring secara histopatologi dapat dibedakan menjadi Karsinoma
nasofaring dengan keratinisasi dan karsinoma nasofaring non-keratinisasi, di mana karsinoma
nasofaring non keratinisasi ada yang berdiferensisasi dan tidak berdiferensisasi. Pada
penelitian ditemukan bahwa Ca Nasofaring non-keratinisasi merespons pengobatan dan terapi
lebih baik dibandingkan Ca Nasofaring keratinisasi. Karsinoma nasofaring non-keratinisasi
merupakan yang paling sering terjadi (75% dari kasus KNF yang ada).6
Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF non
keratinisasi telah mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada
1966, seorang peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta
titer antibodi IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan
pula dengan tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada
beberapa penyakit keganasan lainnya bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal
tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak
cukup untuk menimbulkan proses keganasan.7
Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker Nasofaring (KNF)
jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi lebih dikaitkan
dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan tertentu. Meskipun demikan
tetap ada peneliti yang mencoba menghubungkannya dengan merokok, secara umum resiko
terhadap KNF pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan perokok. Ditemukan juga
bahwa menurunnya angka kematian KNF di Amerika utara dan Hongkong merupakan hasil

dari mengurangi frekuensi merokok. Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan
dengan terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang
tinggi pada mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton
(Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan lamanya
mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina makanan ini mulai
digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih.7,8
Tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari
pasien KNF dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu contoh terkenal di Cina selatan,
satu keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9 pasien KNF dan 1 menderita
tumor ganas payudara. Secara umum didapatkan 10% dari pasien karsinoma nasofaring
menderita keganasan organ lain.7,8
Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti formaldehid, debu
kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami
(Chinese herbal medicine=CHB). Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat antara
terjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan CHB. Beebrapa tanaman dan bahan CHB
dapat

menginduksi

aktivasi

dari

virus

EBV

yang

laten.

Seperti

pada

TPA

(Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yg ada di alam dan tumbuhan jika


dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk dari bakteri anaerob yang ditemukan
di nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen EBV di tikus, meningkatnya transformasi
cell-mediated immunity dari EBV dan mempromosikan pembentukan KNF (genesis).9

2.4.

GEJALA KLINIS KARSINOMA NASOFARING


Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari nasofaring

termasuk fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar ke dalam ataupun keluar
nasofaring ke sisi lateral lainnya dan atau posterosuperior dari dasar tulang tengkorak atau
palatum, rongga hidung atau orofaring. Metastase khususnya ke kelenjar getah bening
servikal. Metastase jauh dapat mengenai tulang, paru-paru, mediastinum dan hati (jarang).
Gejala yang akan timbul tergantung pada daerah yang terkena1,2. Sekitar separuh pasien
memiliki gejala yang beragam, tetapi sekitar 10% asimtomatik. Pembesaran dari kelenjar
getah bening leher atas yang nyeri merupakan gejala yang paling sering dijumpai 5,13. Gejala
dini karsinoma nasofaring sulit dikenali oleh karena mirip dengan infeksi saluran nafas atas.

Gejala klinik pada stadium dini meliputi gejala hidung dan gejala telinga. Ini terjadi
karena tumor masih terbatas pada mukosa nasofaring. Tumor tumbuh mula-mula di fossa
Rosenmuller di dinding lateral nasofaring dan dapat meluas ke dinding belakang dan atap

nasofaring, menyebabkan permukaan mukosa meninggi. Permukaan tumor biasanya rapuh


sehingga pada iritasi ringan dapat tejadi perdarahan. Timbul keluhan pilek berulang dengan
mukus yang bercampur darah. Kadang-kadang dapat dijumpai epistaksis. Tumor juga dapat
menyumbat muara tuba eustachius, sehingga pasien mengeluhkan rasa penuh di telinga, rasa
berdenging kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini umumnya
unilateral, dan merupakan gejala yang paling dini dari karsinoma nasofaring. Sehingga bila
timbul berulang-ulang dengan penyebab yang tidak diketahui perlu diwaspadai sebagai
karsinoma nasofaring14.
Pada karsinoma nasofaring stadium lanjut gejala klinis lebih jelas sehingga pada
umumnya telah dirasakan oleh pasien, hal ini disebabkan karena tumor primer telah meluas
ke organ sekitar nasofaring atau mengadakan metastasis regional ke kelenjar getah bening
servikal. Pada stadium ini gejala yang dapat timbul adalah gangguan pada syaraf otak karena
pertumbuhan ke rongga tengkorak dan pembesaran kelenjarleher15.. Tumor yang meluas ke
rongga tengkorak melalui foramen laserasum dan mengenai grup anterior saraf otak yaitu
syaraf otak III, IV dan VI. Perluasan yang paling sering mengenai syaraf otak VI ( paresis
abdusen) dengan keluhan berupa diplopia, bila penderita melirik ke arah sisi yang sakit.
Penekanan pada syaraf otak V memberi keluhan berupa hipestesi ( rasa tebal) pada pipi dan
wajah. Gejala klinik lanjut berupa ophtalmoplegi bila ketiga syaraf penggerak mata terkena.
Nyeri kepala hebat timbul karena peningkatan tekanan intrakranial 16. Metastasis sel-sel tumor
melalui kelenjar getah bening mengakibatkan timbulnya pembesaran kelenjar getah bening
bagian samping ( limfadenopati servikal). Selanjutnya sel-sel kanker dapat mengadakan
infiltrasi menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada
otot dan sulit digerakkan. Limfadenopati servikal ini merupakan gejala utama yang
dikeluhkan oleh pasien6.
Gejala nasofaring yang pokok adalah :
1. Gejala Telinga
Oklusi Tuba Eustachius
Pada umumnya bermula pada fossa Rossenmuller. Pertumbuhan tumor dapat
menekan tuba eustachius hingga terjadi oklusi pada muara tuba. Hal ini akan

mengakibatkan gejala berupa mendengung (Tinnitus) pada pasien. Gejala ini

merupakan tanda awal pada KNF.


Oklusi Tuba Eustachius dapat berkembang hingga terjadi Otitis Media.
Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran menurun, dan
dengan tes rinne dan webber, biasanya akan ditemukan tuli konduktif

2. Gejala Hidung
Epistaksis; dinding tumor biasanya dipenuhi pembuluh darah yang dindingnya
rapuh, sehingga iritasi ringan pun dapat menyebabkan dinding pembuluh

darah tersebut pecah.


Terjadinya penyumbatan pada hidung akibat pertumbuhan tumor dalam
nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai rinitis kronis.

Gejala telinga dan hidung di atas bukanlah gejala khas untuk Karsinoma Nasofaring,
karena dapat ditemukan pada berbagai kasus pada penyakit lain. Namun jika gejala terus
terjadi tanpa adanya respons yang baik pada pengobatan, maka perlu dicurigai akan
adanya penyebab lain yang ada pada penderita; salah satu di antaranya adalah KNF.
3. Gejala Mata
Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia (penglihatan
ganda) akibat perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan
menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan
menimbulkan kebutaan.
4. Tumor sign :
Pembesaran kelenjar limfa pada leher, merupakan tanda penyebaran atau
metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.
5. Cranial sign :
Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf
kranialis.
Gejalanya antara lain :
Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara

hematogen.
Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.
Kesukaran pada waktu menelan
Afoni
Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX, N.
X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:

o
o
o
o
o

Lidah
Palatum
Faring atau laring
M. sternocleidomastoideus
M. trapezeus 14,15

Pada penderita KNF, sering ditemukan adanya tuli konduktif bersamaan dengan
elevasi dan imobilitas dari palatum lunak serta adanya rasa nyeri pada wajah dan
bagian lateral dari leher (akibat gangguan pada nervus trigeminal). Ketiga gejala ini
jika ditemukan bersamaan, maka disebut Trotters Triad.

2.5.

PATOFISIOLOGI KARSINOMA NASOFARING


Karsinoma Nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa tumor yang berasal

dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai
pada salah satu dinding nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan
sekitarnya. Lokasi yang paling sering menjadi awal terbentuknya KNF adalah pada Fossa
Rossenmuller. Penyebaran ke jaringan dan kjelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi
perlahan, seperti layaknya metastasis lesi karsinoma lainnya.
Penyebaran KNF dapat berupa :
1. Penyebaran ke atas
Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa medialis, disebut penjalaran
Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum, kemudian ke sinus kavernosus dan
Fossa kranii media dan fossa kranii anterior mengenai saraf-saraf kranialis anterior ( n.I
n VI). Kumpulan gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat
metastasis tumor ini disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah
diplopia dan neuralgia trigeminal.
2. Penyebaran ke belakang
Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia pharyngobasilaris
yaitu sepanjang fossa posterior (termasuk di dalamnya foramen spinosum, foramen ovale dll)
di mana di dalamnya terdapat nervus kranialais IX XII; disebut penjalaran retroparotidian.
Yang terkena adalah grup posterior dari saraf otak yaitu n VII - n XII beserta nervus
simpatikus servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan pada n IX n XII disebut sindroma

retroparotidean atau disebut juga sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII jarang
mengalami gangguan akibat tumor karena letaknya yang tonggi dalam sistem anatomi tubuh,
Gejala yang muncul umumnya antara lain:
a. Trismus
b. Horner Syndrome ( akibat kelumpuhan nervus simpatikus servikalis)
c. Afonia akibat paralisis pita suara
d. Gangguan menelan
3. Penyebaran ke kelenjar getah bening
Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab utama sulitnya
menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada KNF, penyebaran ke kelenjar getah
bening sangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelanjar getah bening pada lapisan sub
mukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali pada nodus
limfatik yang terletak di lateral retropharyngeal yaitu Nodus Rouvier.
Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar
menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini
dirasakan tanpa nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker
dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar
menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut
lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke
dokter.

Proses perkembangan KNF:

Gambar 1 Patogenesis KNF

Virus Epstein-Barr
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B.
Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel
limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus,
yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul

10

EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan
rangkaian yang berantai

dimulai dari masuknya EBV

ke dalam DNA limfosit B dan

selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini
mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan
pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke
dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel
yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel
menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau
virus epstein- barr yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel
kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus
sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel
menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.16
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs,
EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan
virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal
tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen
tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein
LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6
segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi
(C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis
factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat
respon imun lokal. 16

11

Gambar 2 Infeksi EBV

Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan
terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan
memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte
antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas
aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen.
Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan dengan HLA-A2, HLAB17 dan
HLA-Bw26. Dimana orang dengan yang memiliki gen ini memiliki resiko dua kali lebih
besar menderita karsinoma nasofaring. Studi pada orang Cina dengan keluarga menderita
karsinoma nasofaring dijumpai adanya kelemahan lokus pada regio HLA. Studi dari
kelemahan HLA pada orang-orang Cina menunjukkan bahwa orang-orang dengan HLA
A*0207 atau B*4601 tetapi tidak pada A*0201 memiliki resiko yang meningkat untuk
terkena karsinoma nasofaring.13
Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai
daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan
lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA),
nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor
karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu pengkonsumsi alkohol dan perokok juga
merupakan salah satu faktor yan diperkirakan menginisiasi terjadinya karsinoma
nasofaring. Di mana alkohol dan asap rokok ditemukan mengadung formaldehyde yang
diteliti merupakan faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali
infeksi dari EBV.14
2.6

DIAGNOSIS

12

Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring,
protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium
tumor:

Anamnesis / pemeriksaan fisik


Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala KNF)

Pemeriksaan Nasofaring
Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi
Posterior (tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung) serta
fibernasofaringoskopi. Jika ditemukan tumor berupa massa yang menonjol pada
mukosa dan memiliki permukaan halus, berrnodul dengan atau tanpa ulserasi pada
permukaan atau massa yang menggantung dan infiltratif. Namun terkadang tidak
dijumpai lesi pada nasofaring sehingga harus dilakukan biopsi dan pemeriksaan
sitologi.

Gejala Klinis
Gejala-gejala dari karsinoma nasofaring dapat dibagi atas 2 macam berdasarkan
metastasenya, yaitu:
1. Gejala dini/gejala setempat, adalah gejala-gejala yang dapat timbul di waktu
tumor masih tumbuh dalam batas-batas nasofaring, dapat berupa:
a. Gejala hidung: pilek lama yang tidak kunjung sembuh; epistaksis berulang,
jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan lendir hidung sehinga
berwarna merah jambu; lendir hidung seperti nanah, encer/kental, berbau.
b. Gejala telinga: tinnitus (penekanan muara tuba eustachii oleh tumor,
sehingga terjadi tuba oklusi, menyebabkan penurunan tekanan dalam
kavum timpani), penurunan pendengaran (tuli), rasa tidak nyaman di
telinga sampai otalgia.
2. Gejala lanjut/gejala pertumbuhan atau penyebaran tumor, dapat berupa:
a. Gejala mata: diplopia (penglihatan ganda) akibat perkembangan tumor
melalui foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV (N.
Trochlearis) dan N. VI (N. Abducens). Bila terkena chiasma opticus akan
menimbulkan kebutaan.
b. Gejala tumor: pembesaran kelenjar limfe pada leher, merupakan tanda
penyebaran atau metastase dekat secara limfogen dari karsinoma
nasofaring.
c. Gejala kranial, terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai
saraf-saraf kranialis, antara lain:

13

Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase

secara hematogen.
Sensitibilitas daerah pipi dan hidung berkurang.
Kesukaran pada waktu menelan
Afoni

Sindrom Jugular Jackson atau sindrom retroparotidean mengenai N. IX (N.


Glossopharyngeus), N. X (N. Vagus), N. XI (N. Accessorius), N. XII (N.
Hypoglossus). Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada: lidah, palatum, faring
atau laring, M. Sternocleidomastoideus, M. Trapezius.
Menurut Formula Digby, setiap simptom mempunyai nilai diagnostik dan
berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan ada tidaknya karsinoma nasofaring.

Tabel 1 Formula Digsby

Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat
dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun
biopsi tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis
histopatologi, juga menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan
pengobatan dan prognosis.12

Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan
diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat
ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau
sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari

14

mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan
xylocain 10%.
- Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke
-

nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.


Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik
keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung. Demikian juga
kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum

mole tertarik ke

atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan


dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop
yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan
pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.

Sitologi dan Histopatologi


Secara histologis, WHO membagi klasifikasi karsinoma nasofaring atas 3 tipe:
1. Tipe 1, keratinizing squamous cell carcinoma, diferensiasi sel skuamosa baik
dengan adanya jembatan interseluler dan/atau keratinisasi diatasnya,
merupakan 25% dari seluruh karsinoma nasofaring.
2. Tipe 2, differentiated non keratinizing carcinoma, diferensiasi sel tumor
dengan rangkaian maturasi yang terjadi di dalam sel, tidak/sedikit berkeratin,
merupakan 20% dari seluruh karsinoma nasofaring.
3. Tipe 3, undifferentiated carcinoma, sel-sel tumor memiliki inti vesikuler yang
oval atau bulat dan nukleolus yang menonjol, batas sel tidak terlihat, dan
tumor menunjukkan gambaran sinsitial. Tipe ini merupakan 55% dari seluruh
karsinoma nasofaring.
Tumor tipe 2 dan tipe 3 biasanya lebih radiosensitif dan memiliki hubungan
yang kuat dengan virus Epstein-Barr.1
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu
bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif.

Sitologi
Squamous Cell Carcinoma

15

Inti squamous cell carcinoma bentuknya lebih "spindel" dan lebih memanjang
dengan khromatin inti yang padat dan tersebar tidak merata. Pleomorfisme dari inti
dan membran inti lebih jelas. Selalu terlihat perbedaan (variasi) yang jelas dalam
derajat khromasia di antara inti yang berdampingan. Nukleoli bervariasi dalam besar
dan jumlahnya. Sitoplasma lebih padat, berwarna biru dan batas sel lebih mudah
dikenal. Perbandingan inti, sitoplasma dan nukleolus adalah inti lebih kecil.
Keratinisasi merupakan indikasi yang paling dapat dipercaya sebagai tanda adanya
diferensiasi ke arah squamous cell. Bila keratinisasi tidak terlihat maka dijumpainya
halo pada sitoplasma di sekitar inti dan kondensasi sitoplasma pada bagian pinggir sel
merupakan penuntun yang sangat menolong untuk mengenal lesi tersebut sebagai
squamous cell carcinoma. 15

Gambar 3 Cytology smear showing clusters of keratinizing squamous


carcinoma indicating metastasis in the lymph node.

Undifferentiated Carcinoma
Gambaran sitologi yang dapat dijumpai pada undifferentiated carcinoma
berupa kelompokan sel-sel berukuran besar yang tidak berdiferensiasi, inti yang
membesar dan khromatin pucat, terdapat anak inti yang besar, sitoplasma sedang,
dijumpai latar belakang sel-sel radang limfosit diantara sel-sel epitel. Dijumpai
gambaran mikroskopis yang sama dari aspirat yang berasal dari lesi primer dan
metastase pada kelenjar getah bening regional.

16

Gambar 4 Kelompokan sel-sel epitel undifferentiated, dengan latar belakang limfosit.


Tampak sitoplasma yang eosinofilik dan anak inti yang prominen

Histopatologi
Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Pada pemeriksaan histopatologi keratinizing squamous cell carcinoma
memiliki kesamaan bentuk dengan yang terdapat pada lokasi lainnya. 5,13 Dijumpai
adanya diferensiasi dari sel squamous dengan intercellular bridge atau keratinisasi.2,6
Tumor tumbuh dalam bentuk pulau-pulau yang dihubungkan dengan stroma yang
desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit, sel plasma, neutrofil dan
eosinofil yang bervariasi. Sel-sel tumor berbentuk poligonal dan stratified. Batas antar
sel jelas dan dipisahkan oleh intercellular bridge. Sel-sel pada bagian tengah pulau
menunjukkan sitoplasma eosinofilik yang banyak mengindikasikan keratinisasi.
Dijumpai adanya keratin pearls.

17

Gambar 5 Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Gambar 6 Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma


Pada pemeriksaan histopatologi non keratinizing squamous cell carcinoma
memperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau. 2,12 Sel-sel
menunjukkan batas antar sel yang jelas dan terkadang dijumpai intercellular bridge
yang samar-samar. Dibandingkan dengan undifferentiated carcinoma ukuran sel lebih
kecil, rasio inti sitoplasma lebih kecil, inti lebih hiperkhromatik dan anak inti tidak
menonjol

18

Gambar 7 Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Undifferentiated Carcinoma
Pada pemeriksaan undifferentiated carcinoma memperlihatkan gambaran
sinsitial dengan batas sel yang tidak jelas,inti bulat sampai oval dan vesikular,
dijumpai anak inti. Sel-sel tumor sering tampak terlihat tumpang tindih 6. Beberapa sel
tumor dapat berbentuk spindel. Dijumpai infiltrat sel radang dalam jumlah banyak,
khususnya limfosit, sehingga dikenal juga sebagai lymphoepithelioma. Dapat juga
dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel plasma, eosinofil, epitheloid dan
multinucleated giant cell (walaupun jarang)2,12.
Terdapat dua bentuk pola pertumbuhan tipe undifferentiated yaitu tipe
Regauds, yang terdiri dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang
dikelilingi oleh jaringan ikat fibrous dan sel-sel limfosit. Yang kedua tipe Schmincke,
sel-sel epitelial neoplastik tumbuh difus dan bercampur dengan sel-sel radang. Tipe
ini sering dikacaukan dengan large cell malignant lymphoma.

19

Gambar 8 Undifferentiated Carcinoma terdiri dari sel-selyang membentuk sarang-sarang padat


( Regaud type)

Gambar 9 Undifferentiated Carcinoma terdiri sel-sel yang tumbuh membentuk gambaran


syncytial yang difus (Schmincke type).

Pemeriksaan yang teliti dari inti sel tumor dapat membedakan antara
karsinoma nasofaring dan large cell malignant lymphoma, dimana inti dari karsinoma
nasofaring memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang rata dan berjumlah
satu, dengan anak inti yang jelas berwarna eosinophil. Inti dari malignant lymphoma
biasanya pinggirnya lebih iregular, khromatin kasar dan anak inti lebih kecil dan
berwarna basofilik atau amphofilik. Terkadang undifferentiated memiliki sel-sel
dengan bentuk oval atau spindle.
Basaloid Squamous Cell Carcinoma

20

Bentuk mikroskopis lain yang jarang dijumpai adalah basaloid squamous cell
carcinoma5,12. Tipe ini memiliki dua komponen yaitu sel-sel basaloid dan sel-sel
squamous. Sel-sel basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkhromatin dan tidak
dijumpai anak inti dan sitoplasma sedikit. Tumbuh dalam pola solid dengan
konfigurasi lobular dan pada beberapa kasus dijumpai adanya peripheral palisading.
Komponen sel-sel squamous dapat in situ atau invasif. Batas antara komponen
basaloid dan squamous jelas.

Gambar 10 Basaloid Squamous Cell Carcinoma pada nasofaring.Sel-sel basaloid menunjukkan


festoonin growth pattern, sel-sel basaloid berselang-seling dengan squamous differentiaton.

2.7.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang

diagnostic yang penting. Dapat dilakukan foto polos, CT Scan ataupun MRI. Saat ini untuk
mendiagnosa secara pasti C.T Scan dan MRI merupakan suatu modalitas utama. Melalui C.T
Scan dan MRI dapat dilihat secara jelas ada tidaknya massa dan sejauh apa penyebaran massa
tersebut, hingga dapat membantu dalam menentukan stadium dan jenis terapi yang akan
dilakukan.
Tujuan utama pemeriksaan radiologik tersebut adalah:

Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada

daerah nasofaring
Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.12

21

Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis karsinoma


nasofaring, antara lain:
1. Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu foto posisi Waters, lateral,
dan AP. Pemeriksaan dengan menggunakan foto-foto tersebut akan menunjukan
massa jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto dasar tengkorak memperlihatkan
destruksi atau erosi tulang di daerah fosa serebri media.

Ilustrasi skema jalur penyebaran/metastase dari karsinoma nasofaring


(arah tanda panah)

22

Gambaran foto polos lateral nasofaring normal dan bagian-bagiannya.

Gambaran foto polos menunjukkan massa di daerah nasofaring


(arah tanda panah)

23

Gambaran foto polos dasar tengkorak, menunjukkan erosi tulang di bagian basal dari
sfenoid dan foramen laserum (arah tanda panah)

Gambaran erosi dari fosa serebri media sebelah kiri (arah tanda panah)
2. CT (Computerized Axial Tomography) Scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
CT-Scan dan MRI daerah kepala dan leher dilakukan untuk mengetahui
keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan.
MRI sensitivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan CT Scan dalam mendeteksi
karsinoma nasofaring dan kemungkinan penyebarannya yang menyusup ke jaringan
atau nodus limfe.

24

CT Scan aksial nasofaring normal.

CT Scan aksial menggambarkan karsinoma nasofaring stadium awal, terdapat penebalan fosa
Rossenmuler kiri.

25

CT Scan aksial os Temporal menunjukkan massa di nasofaring (karsinoma nasofaring)

CT Scan koronal menunjukkan massa di atap nasofaring

26

CT Scan koronal menunjukkan massa di nasofaring dan sinus kavernosus kanan

MRI potongan sagital pada pasien yang baru didiagnosis karsinoma nasofaring, menunjukkan tumor
primer dari karsinoma nasofaring dan metastasisnya ke dinding lateral retrofaring

27

Pemeriksaan neurologis.

Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga

tengkorak melalui beberapa foramen, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi
sebagai gejala lanjut KNF ini.14
3

Pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen)
untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma
nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma
nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan
spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer
160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga
pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang
didpat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160. 14

2.8.

DIAGNOSIS BANDING
1.

Hiperplasia adenoid
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada anak-anak

hyperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu
massa jaringan lunak pada atap nasofaring umumnya berbatas tegas dan umumnya
simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seperti
tampak pada karsinoma. 12,14
2.

Angiofibroma juvenilis
Biasanya ditemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala menyerupai

KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltrative. Pada foto
polos akan didapat suatu massa pada atap nasofaring yang berbatas tegas. Proses
dapat meluas seperrti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan
destruksi tulang hanya erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada
pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang sinus maksilarisyang dikenal
sebagai antral sign. Karena tumor ini kaya akan vaskular maka arteriografi karotis
eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang
sulit pula membedakan angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto polos.14
3.

Tumor sinus sphenoidalis

28

Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya
tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien dating untuk pemeriksaan
pertama.14
4.

Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga

menyerupai keganasan dinding lateral nasofaring. Secara C.T. Scan, pendesakan


ruang para faring ke arah medial dapat membantu mebedakan kelompok tumor ini
dengan KNF.14
5.

Tumor kelenjar parotis


Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak

dalam mengenai ruang parafaring dan menonjol ke arah lumen nasofaring. Pada
sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring ke arah medial yang
tampak pada pemeriksaan C.T.Scan.7
6.

Chordoma
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat

KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk
membedakannya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama
di daerah clivus. CT dapat membantu melihat apakah ada pembesaran kelenjar
cervikal bagian atas karena chordoma umumnya tidak memperlihatkan kelainan pada
kelenjar tersebut sedangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening.12,14
7.

Meningioma basis kranii


Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambarannya kadang-kadang

meyerupai KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Ganbaran CT
meningioma cukup karakteristik yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikan zat
kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena.
Pemeriksaan arteiografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini.12,14
2.9.

PENATALAKSANAAN
Radioterapi

Tujuan Radioterapi
1. Radiasi Kuratif

29

Diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada penderita dengan metastasis
jauh. Sasaran radiasi adalah tumor primer, KGB leher dan supra klavikular. Dosis total radiasi
yang diberikan adalah 6600-7000 rad dengan fraksi 200 rad, 5 x pemberian per minggu.
Setelah dosis 4000 rad medulla spinalis di blok dan setelah 5000 rad lapangan penyinaran
supraklavikular dikeluarkan.
2. Radiasi Paliatif
Diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal. Dosis radiasi
untuk metastasis tulang 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5 x per minggu. Untuk kekambuhan
lokal, lapangan radiasi terbatas pada daerah kambuh.
Bagian Radiologi FK UI / RSCM memberikan dosis per fraksi 200 cGy yang
diberikan 5 x dalam seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah dosis mencapai
4000 cGy penderita mendapat istirahat selama 2-3 minggu, pada akhir istirahat dilakukan
penilaian respon terhadap tumor untuk kemungkinan mengecilkan lapangan radiasi dan
penilaian ada tidaknya metastasis jauh yang manifes. Setelah itu radiasi dilanjutkan 10-13 x
200 cGy lagi untuk tumor primer sehingga dosis total adalah 6000-6600 cGy. Bila tidak
didapatkan pembesaran kelenjar regional maka radiasi efektif pada kelenjar leher dan
supraklavikular cukup sampai 4000 cGy.
Di bagian Radiologi FK USU / RS.Dr. Pirngadi Medan, radiasi diberikan secara
bertahap dengan dosis 200 cGy dosis tumor 5 x per minggu untuk tumor primer dan KGB
leher sampai mencapai dosis total 6000 cGy, dengan menggunakan pesawat megavoltage dan
menggunakan radioisotop Cobalt60.
Respon radiasi
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi.
Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di
nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :
- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.
- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.
- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.

Kemoterapi

30

Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat


meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan
kambuh.14,15
Indikasi Kemoterapi
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah
mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :
-

kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif

kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis.

pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan
dan metastasis jauh). 15

Kemoterapi berdasarkan waktu pemberiannya


Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher dibagi
menjadi
1. neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi mendahului
pembedahan dan radiasi)
2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan
bersamaan dengan penyinaran atau operasi)
3. post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau
radiasi )14,16
Manfaat Kemoradioterapi
Manfaat pemberian keoterapi adjuvan antara lain :
1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil
terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan
radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa
tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia.
2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.

31

3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap
radiasi yang diberikan (radiosensitiser).
Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki
manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar
radiasi.
Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum
radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed
tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu,
kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal
mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II IV dilaporkan
overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%.
Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat
mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation).
Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan
kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat
memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi.
Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or
concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi.
Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi
dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi.
Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi,
membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel
kanker yang sublethal.

Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan
nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau
adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang
dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan
suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu
pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.

32

Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus
Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi,
yaitu dengan mengambil sampel darah tepi dari penderita, yang kemudian melalui suatu
proses imunohistokimia, dibuat suatu vaksin yang kemudian diinjeksikan kembali ke
tubuh pasien di mana diharapkan melalui injeksi vaksin tersebut, tubuh akan memberikan
reaksi imunitas baru terhadap EBV. Namun teknik ini masih dalam pen elitian sehingga
belum dapat digunakan dalam terapi kanker nasofaring.

2.10. PROGNOSIS
Ditemukan bahwa karsinoma nasofaring tipe 1 (karsinoma sel skuamosa) memiliki prognosis
yang lebih buruk dibandingkan dengan karsinoma nasofaring tipe 2 dan 3. Hal ini terjadi
karena pada karsinoma nasofaring tipe 1, mestastasis lebih mudah terjadi. Secara
keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh beberapa
faktor, seperti :

Stadium yang lebih lanjut.

Usia lebih dari 40 tahun

Laki-laki dari pada perempuan

Ras Cina dari pada ras kulit putih

Adanya pembesaran kelenjar leher

Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak

Adanya metastasis jauh12,16

2.11.KOMPLIKASI

33

Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu komplikasi yang
selalu terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke arah nervus kranialis yang
bermanifestasi dalam bentuk :
1.

Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus
kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II. yang memberikan
kelainan :

Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeri


pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang
terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.

2.

Ptosis palpebra ( N. III )

Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )

Retroparidean sindrom
Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke
sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing dan
retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X,
N. XI, N. XII dengan manifestasi gejala :

N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta


gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah

N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai


gangguan respirasi dan saliva

N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta hemiparese palatum


mole

N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.

Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan


fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.

34

3.

Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ
tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru.
Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain
ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paruparu dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4
%, dan tiroid 0.4 %.12

DAFTAR PUSTAKA

1. Averdi Roezin, Aninda Syafril. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A. Soepardi


(ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi keenam. Jakarta : FK
UI, 2013. h. 146-50.
2. Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Medan: FK
USU,2002.h. 1-11.
3. Hasibuan R, A. H. pharingologi. Jakarta: Samatra Media Utama, 2004.h. 70-81.
4. Kartikawati,

Henny.

Penatalaksanaan

karsinoma

nasofaring

menuju

terapi

kombinasi/kemoradioterapi.
5. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal
Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9.
6. Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan radioterapi.
Jakarta: FK UI, 2005.h. 69-82.
7. Susworo, R. Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Tinjauan
pustaka artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144, 2004.h. 16-18.

35

8. Ahmad, A.. 2005. Diagnosis dan Tindakan Operatif pada Penatalaksanaan


Karsinoma Nasofaring dan Pengobatan Suportif. Jakarta: FKUI. Hal. 1-13.
9. Arif Mansjoer, et al.. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.III. Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI. Hal. 371-396
10. Averdi Roezin, Aninda Syafril. 2013. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A.
Soepardi (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Edisi kelima.
Jakarta: FKUI. Hal.146-50.
11. Ballenger J. Jacob.. 2007. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.
ed.13. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara. Hal. 371-396
12. Cottrill, C.P., Nutting, C.M.. 2003. Tumours of The Nasopharynx. Dalam: Evans
P.H.R., Montgomery P.Q., Gullane P.J. (Ed.). Principles and Practice of Head and
Neck Oncology. United Kingdom: Martin-Dunitz. Hal. 473-81.
13. Kurniawan A. N.. 2005. Nasopharynx dan Pharynx. Kumpulan kuliah Patologi.
Jakarta: FKUI. Hal.151-152
14. McDermott, A.L., Dutt, S.N., Watkinson, J.C.. 2001. The Aetiology of
Nasopharyngeal Carcinoma. Clinical Otolaryngology. 26th Edition. Hal. 89-92.
15. Mansjoer Arif, Dkk, KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN, 110-111, Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001, Jakarta
16. Maeda E, Akahane M, Kiryu S, et al. (January 2009). "Spectrum of EpsteinBarr
virus-related diseases: a pictorial review". Jpn J Radiol 27 (1): 419."

36

REFERAT
CARCINOMA NASOPHARYNG

DISUSUN OLEH:
Doni Fatra Hasyarto
08310082

DOKTER PEMBIMBING
dr. Azwan Manday,Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR THT


RSUD DR.DJOELHAM BINJAI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
2015

37

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga referat ini
yang berjudul CARCINOMA NASOPHARYNG dapat diselesaikan.
Tujuan dari penulisan referat ini adalah sebagai salah satu syarat dalam kegiatan
Kepaniteraan Klinik Senior dibagian THT RSUD Dr.RM.Djoelham Binjai.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Azwan Manday,Sp.THT-KL
selaku pembimbing dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
referat ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran guna menyempurnakan penulisan ini.
Semoga penulisan referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Binjai, Februari 2015

Penulis

38

Вам также может понравиться

  • Skrining BAB III
    Skrining BAB III
    Документ2 страницы
    Skrining BAB III
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет
  • Curriculum Vitae
    Curriculum Vitae
    Документ1 страница
    Curriculum Vitae
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет
  • Curriculum Vitae
    Curriculum Vitae
    Документ1 страница
    Curriculum Vitae
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет
  • Curriculum Vitae
    Curriculum Vitae
    Документ1 страница
    Curriculum Vitae
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Документ1 страница
    Daftar Pustaka
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет
  • Curriculum Vitae
    Curriculum Vitae
    Документ1 страница
    Curriculum Vitae
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет
  • Laporan Pendahuluan Ppok
    Laporan Pendahuluan Ppok
    Документ22 страницы
    Laporan Pendahuluan Ppok
    Ardi Artana
    Оценок пока нет
  • Skrining IVA
    Skrining IVA
    Документ2 страницы
    Skrining IVA
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Документ18 страниц
    Bab Ii
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет
  • Diagnosa Dan Pengobatan Stroke Kardioemboli
    Diagnosa Dan Pengobatan Stroke Kardioemboli
    Документ10 страниц
    Diagnosa Dan Pengobatan Stroke Kardioemboli
    Marliani Afriastuti
    Оценок пока нет
  • Cara Baca Foto Toraks
    Cara Baca Foto Toraks
    Документ44 страницы
    Cara Baca Foto Toraks
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет
  • Laporan Kasus KPD
    Laporan Kasus KPD
    Документ13 страниц
    Laporan Kasus KPD
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Документ18 страниц
    Bab Ii
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет
  • 2825 Etika Profesi Dokter6 PDF
    2825 Etika Profesi Dokter6 PDF
    Документ1 страница
    2825 Etika Profesi Dokter6 PDF
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет
  • Laporan Kasus KPD
    Laporan Kasus KPD
    Документ13 страниц
    Laporan Kasus KPD
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет
  • Laporan Kasus TB Paru 20-09-16
    Laporan Kasus TB Paru 20-09-16
    Документ17 страниц
    Laporan Kasus TB Paru 20-09-16
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет
  • Laporan Hasil Kegiatan Senam Jiwa
    Laporan Hasil Kegiatan Senam Jiwa
    Документ4 страницы
    Laporan Hasil Kegiatan Senam Jiwa
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет
  • Homecare Gizi
    Homecare Gizi
    Документ2 страницы
    Homecare Gizi
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет
  • Cover Forensik
    Cover Forensik
    Документ1 страница
    Cover Forensik
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет
  • Homecare Gizi
    Homecare Gizi
    Документ2 страницы
    Homecare Gizi
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет
  • CA Nasofaring
    CA Nasofaring
    Документ38 страниц
    CA Nasofaring
    Edho D'Scarlettz
    100% (1)
  • Referat Akrodermatitis
    Referat Akrodermatitis
    Документ14 страниц
    Referat Akrodermatitis
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет
  • Homecare Gizi
    Homecare Gizi
    Документ2 страницы
    Homecare Gizi
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет
  • Efusi Pleura 1
    Efusi Pleura 1
    Документ24 страницы
    Efusi Pleura 1
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет
  • Referat Akrodermatitis
    Referat Akrodermatitis
    Документ14 страниц
    Referat Akrodermatitis
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет
  • Chapter II
    Chapter II
    Документ13 страниц
    Chapter II
    rulisakarozi
    Оценок пока нет
  • Appendititis
    Appendititis
    Документ5 страниц
    Appendititis
    Immanuel Naiborhu
    Оценок пока нет
  • Chondrosarcoma Imaging
    Chondrosarcoma Imaging
    Документ26 страниц
    Chondrosarcoma Imaging
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет
  • Kolesterol Slide
    Kolesterol Slide
    Документ15 страниц
    Kolesterol Slide
    Edho D'Scarlettz
    Оценок пока нет