Вы находитесь на странице: 1из 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Apendiks biasa disebut umbai cacing atau usus buntu merupakan organ yang
sering sekali menimbulkan masalah kesehatan. Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml
per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya
dialirkan ke sekum. Salah satu bentuk masalahnya adalah adanya hambatan dalam
pengaliran tersebut dapat menimbulkan appendisitis.
Apendisitis adalah peradangan pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks)
yang merangsang nyeri pada bagian kuadran kanan bawah abdomen yang disebabkan
penyumbatan lumen apendiks. Tanda lainnya yang ditemui adalah anoreksia hampir
selalu ditemui yaitu sekitar 95% dari pasien dan kemudian baru diikuti nyeri perut.
Jika tidak ada anoreksia, diagnose pasien akan tetap dipertanyakan kemudian keadaan
mual juga ditemukan disekitar 75% dari pasien.
Selain itu diagnosis appendisitis memiliki kemiripan dengan diagnosa
penyakit lainnya seperti, karena itulah pada sekitar 15-20% kasus terjadi kesalahan
diagnosis klinis gastroenteritis, Limfedenitis Mesenterika, DBD, Menstruasi (pada
Wanita). Maka dari itu perlu adanya pemahaman dalam memahami penyakit
apendisitis, karena semakin dini di tatalaksana maka presentase kesembuhan akan
semakin besar.
Penyakit apendisitis juga banyak dialami oleh masyarakat dan dikarenakan
pola makan yang tidak sehat dan juga faktor lainnya. Makalah ini membahas
apendisitis selain untuk memenuhi tugas mata kuliah pencernaan tentunya agar dapat
memahami dan memperluas wawasan mengenai apendisitis.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari apendiks?
2. Apa pengertian apendisitis?

3. Apa saja klasifikasi dalam apendisitis?


4. Apa saja etiologi pada penyakit apendisitis?
5. Bagaimana patofisiologi pada penyakit apendisitis?
6. Apa saja manifestasi klinis dalam penyakit apendisitis?
7. Bagaimana WOC apendisitis?
8. Apa saja komplikasi dalam penyakit apendisitis?
9. Apa saja yang dilakukan dalam pemeriksaan diagnostik penyakit apendisitis?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi dari apendiks
2. Memahami Pengertian apendisitis
3. Mengetahui dan memahami klasifikasi dalam apendisitis
4. Mengetahui dan memahami etiologi pada penyakit apendisitis
5. Mengetahui dan memahami patofisiologi pada penyakit apendisitis
6. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis dalam penyakit apendisitis
7. Mengetahui dan memahami WOC apendisitis
8. Mengetahui komplikasi dalam penyakit apendisitis
9. Mengetahui pemeriksaan diagnostik penyakit apendisitis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi & Fisiologi Apendiks

Apendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang selama ini
dikenal dan digunakan di masyarakat kurang tepat, karena yang merupakan usus
buntu sebenarnya adalah sekum. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti apa
fungsi apendiks sebenarnya. Namun demikian, organ ini sering sekali menimbulkan
masalah kesehatan.
Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung panjang dan sempit. Panjangnya
kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm) dan berpangkal di sekum. Secara klinis, apendiks
terletak pada daerah Mc.Burney yaitu daerah 1/3 tengah garis yang menghubungkan
spina iliaka anterior superior kanan dengan pusat. Namun demikian, pada bayi,
apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya.
Persarafan parasimpatis pada apendiks berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti arteri mesentrika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan
simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada
apendisitis bermula disekitar umbilikus. Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml per
3

hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan
ke sekum. Adanya hambatan dalam pengaliran tersebut, tampaknya merupakan salah
satu

penyebab

timbulnya

appendisits.

Di

dalam

apendiks

juga

terdapat

immunoglobulin sekretoal yang merupakan zat pelindung efektif terhadap infeksi


(berperan dalam sistem imun). Dan immunoglobulin yang banyak terdapat di dalam
apendiks adalah IgA. Namun demikian, adanya pengangkatan terhadap apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah jaringan limfe yang
terdapat pada apendiks kecil sekali bila dibandingkan dengan yang ada pada saluran
cerna lain. Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur kedalam
sekum, Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya cenderung kecil, maka
apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi
( Sjamsuhidayat, 2005).
2.2 Definisi
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermi vormis, dan merupakan penyebab
abdomen akut (Mansjoer Arif, 2000). Sedangkan menurut (Smeltzer, 2002),
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks yaitu suatu bagian seperti kantung yang
non fungsional dan terletak di bagian inferior sekum. Sedangkan menurut Smeltzer C.
Suzanne (2001), Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada
kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab paling umum
untuk bedah abdomen darurat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa apendisitis adalah peradangan pada usus buntu atau
umbai cacing (apendiks) yang merangsang nyeri pada bagian kuadran kanan bawah
abdomen. Apendisitis disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks dan apendiks
memiliki keterbatasan elastisitas sehingga jika usus buntu bertambah parah dapat
menyebabkan apendiks pecah.

2.3 Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis
kronik (Sjamsuhidayat, 2005).
A. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah proses radang bakteria yang timbul secara mendadak.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun
tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut talah nyeri
samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium
disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah.
Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah
ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
Gejala apendisitis akut adalah demam, mual-muntah, penurunan nafsu makan,
nyeri sekitar pusar yang kemudian terlokalisasi di perut kanan bawah, nyeri
bertambah untuk berjalan, namun tidak semua orang akan menunjukkan gejala
seperti ini, bisa juga hanya bersifat meriang, atau mual-muntah saja.
Apendisitis akut, dibagi atas:
1) Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan
timbul striktur lokal.
2) Apendisitis purulenta difusi yaitu sudah bertumpuk nanah (Docstoc,
2010).
B. Apendisitis kronik.
Gejala apendisitis kronis sedikit mirip dengan sakit asam lambung
dimana terjadi nyeri samar (tumpul) di daerah sekitar pusar dan terkadang
demam yang hilang timbul. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan
kadang muntah, kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah
dengan tanda-tanda yang khas pada apendisitis akut.
5

a) Penyebaran rasa nyeri akan bergantung pada arah posisi/letak apendiks itu
sendiri terhadap usus besar, Apabila ujung apendiks menyentuh saluran kemih,
nyerinya akan sama dengan sensasi nyeri kolik saluran kemih, dan mungkin
ada gangguan berkemih. Bila posisi apendiks ke belakang, rasa nyeri muncul
pada pemeriksaan tusuk dubur atau tusuk vagina. Pada posisi usus buntu yang
lain, rasa nyeri mungkin tidak spesifik. Apendisitis kronis, dibagi atas:
1) Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul
striktur lokal.
2) Apendisitis kronis obliteritiva yaitu apendiks miring, biasanya
ditemukan pada usia tua (Docstoc, 2010).

2.4 Etiologi
Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan
sebagai faktor pencetusnya, Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen
apendiks. Obstruksi ini biasanya disebabkan karena adanya:
-

timbunan tinja yang keras (fekalit);

hiperplasia jaringan limfoid;

tumor apendiks;

Striktur;

benda asing dalam tubuh;

cacing askaris; dan

ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E. histolytica.

Namun, diantara penyebab obstruksi lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit dan
hiperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi yang paling sering terjadi.

Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan mengkonsumsi


makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit
apendisitis. Tinja yang keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian
konstipasi akan menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman
flora kolon biasa. Semua ini akan mempermudah timbulnya apendisitis.

2.5 Patofisiologi
Patofisilogi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar
ke seluruh lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan
mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran mukus
dari lumen apendiks ke sekum menjadi terhambat. Makin lama mukus makin
bertambah banyak dan kemudian terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen.
Namun, karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan
timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di sekitar
umbilikus.
Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat.
Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan
mengenai peritoneum setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan
bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding
apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan

apendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini
pecah, itu berarti apendisitis berada dalam keadaan perforasi.
Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses
peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan omentum, dan usus
halus, sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan
istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses
yang dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan
sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan
mengurai diri secara lambat.
Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang lebih
panjang, dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih
kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi
mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah.
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan
dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan
keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami
peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.

2.6 Manifestasi Klinis


Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat.
-

nyeri kuadran bawah terasa;

demam ringan, mual, muntah; dan

hilangnya nafsu makan.

Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat dirasakan pada kuadran
kanan bawah pada titik Mc.Burney yang berada antara umbilikus dan
spinalis iliaka superior anterior.

Bila apendiks melingkar dibelakang sekum, nyeri dan nyeri tekan terasa
didaerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya
pada pemeriksaan rektal. nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada
dekat rektum. nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat
dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus
kanan dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran
bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan
bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar. Distensi abdomen
terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk.
1. Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak
tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi
muntah- muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala
ini, sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 %
apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.
2. Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh
penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi. (Smeltzer C. Suzanne,
2002).
3. Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya
serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi),
radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia
kehamilan trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah,
dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini.
9

Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral,


sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal
kanan.

2.7 WOC (Terlampir)


2.8 Komplikasi
a) Komplikasi utama adalah perforasi appediks yang dapat berkembang
menjadi peritonitis atau abses apendiks.
b) Tromboflebitis supuratif.
c) Abses subfrenikus.
d) Obstruksi intestinal
setelah nyeri. Gejala nyeri antara lain demam suhu 37,50 C 38,50 C atau
lebih tinggi, penampilan toksik, meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut
kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi
ileus, demam, malaise, dan leokositosis (Schwartz, Seymour I, 2000).

2.9 Pemeriksaan Diagnostik


1) Sel darah putih : lekositosis diatas 12000/mm3, netrofil meningkat sampai
75%.
2) Urinalisis : normal, tetapi eritrosit/leukosit mungkin ada.
3) Foto abdomen : Adanya pergeseran material pada appendiks (fekalis) ileus
terlokalisir.
4) Tanda rovsing (+) : dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang
secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah
(Doenges, 1993; Brunner & Suddart, 1997).

BAB III
PENUTUP
10

3.1 Kesimpulan
Apendiks adalah organ yang biasa disebut umbai cacing yang juga
merupakan jaringan limfe. pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar
pada

pangkalnya

dan

menyempit

kearah

ujungnya.

Apendiks

menghasilkan lendir 1-2ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan
ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Adanya hambatan
dalam pengaliran tersebut, tampaknya merupakan salah satu penyebab
timbulnya appendisits. Apendisitis adalah peradangan pada usus buntu
atau umbai cacing (apendiks) yang merangsang nyeri pada bagian kuadran
kanan bawah abdomen. Apendisitis terklasifikasi menjadi dua yaitu
apendisitis akut dan apendisitis kronis. Faktor pencetus apendisitis adalah
obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Manifetasi klinis yang terjadi
pada apendisitis akut biasanya nyeri kuadran kanan bawah terasa, demam
ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Sedangkan pada
apendisitis kronis seperti nyeri tumpul yang dirasakan, gejala lainnya juga
dapat terjadi. Kejadian apendisitis biasanya baru diketahui ketika sudah
mencapai perforasi.
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu:
Komplikasi utama adalah

perforasi

appediks

yang

dapat

berkembang menjadi peritonitis atau abses apendiks.


Tromboflebitis supuratif.
Abses subfrenikus.
Obstruksi intestinal

DAFTAR PUSTAKA

Gearhart S.L. & Silen W. 2007. Appendisitis Akut dan Peritonitis dalam
Harrison: Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam . Terjemahan Asdie A.H., et.al.
Jakarta: EGC.
11

Guyton, Arthur C. & John E. Hall.1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran,


Edisi 9, Editor: Irawati Setiawan, Jakarta:EGC.

Price Sylvia A, Wilson Lorraine Mc Cart.1995. Patofisiologi Konsep Klinis


Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC

Riwanto, Ign.2004. Usus Halus, Appendiks, Kolon dan Rektum dalam Buku
Ajar Ilmu Bedah Edisi 2, editor R.Sjamsuhidajat, Wim de Jong dan John
Pieter. Jakarta:EGC.

Smeltzer, S.C & Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Edisi 8 vol 3. Jakarta: EGC

Sofii I, Odih T, Rochadi S.2009. Hubungan Nilai Leukosit dengan


Appendisitis Akut Sederhana dan Komplikatif pada Anak. Bagian Bedah Anak
RS Sardjito Yogyakarta.

12

Вам также может понравиться