Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
TINJAUAN PUSTAKA
7
Sub Cekungan Jatibarang yang merupakan blok - blok turun dari sesar utama.
Ketiga sub cekungan tersebut di batasi tinggian yang merupakan blok naik dari
sesar-sesar utama tersebut, yaitu : Tinggian Tangerang, Tinggian Rengasdengklok
dan Tinggian Kendanghaur Gantar (Soejitno dan Yahya, 1984).
Secara tektonik daerah cekungan Jawa Barat Utara merupakan bagian dari
busur belakang dari sistem subduksi di selatan Pulau Jawa. Tetapi pada kala
Eosen - Oligosen, daerah ini di dominasi endapan klastik kasar yang merupakan
endapan rifting. Endapan ini di jumpai di sepanjang tepian sunda land di asia
tenggara yang berkaitan dengan peristiwa collision antara India Eurasia yang
dikenal sebagai model extrusiom tectonics (Taponier dkk, 1966). Pada kala
Oligosen sekarang daerah ini di dominasi oleh endapan volkaniklastik yang
diendapkan di laut dalam dengan mekanisme turbidit sebagai hasil subduksi dan
endapan batu gamping di bagian tepi benua (shelf edge).
Jawa Barat bagian utara terdiri dari dua cekungan utama : Northwest Java
Basin (NJB) dan Asri Basin (AB). Pusat pengendapan utama di NJB adalah
cekungan Arjuna di bagian Utara, Tengah, Selatan dan sub - cekungan Jatibarang.
Tatanan tektonik Cekungan Jawa Barat Utara ini adalah sebagai cekungan
belakang busur, tetapi pada kala Eosen rifting yg terjadi pada cekungan tidak
terjadi dalam tatanan tektonik yang berbeda. Dari bukti geologi yg terlihat bahwa
daerah ini diinterpretasikan terbentuk sebagai cekungan pull-apart sebagai akibat
interaksi sistem sesar menganan (dextral). Buktinya adalah kenyataan observasi
bahwa arah regangannya yaitu hampir Utara Selatan (Hamilton, 1979).
Deformasi selanjutnya mengaktifkan sesar-sesar tua, dimana di beberapa lokasi
8
ditandai dengan perkembangan struktur inverse. Walaupun bukti inverse agak
jarang di jumpai di North West Java Basin. Pada umumnya pada struktur rifting
yang berarah utara - selatan seringkali di jumpai berupa positive atau negative
flower struktur yang umumnya diinterpretasikan sebagai aktifitas akibat sesar
geser.
2.1.2 Tektonostratigrafi
Secara tektonostratigrafi sedimen pengisi Cekungan Jawa Barat Utara
dapat di bagi menjadi 3 satuan : endapan synrift, endapan postrift dan endapan
back arc. (gresko dkk,1955).
1. Fase Synrift
Tahapan
ini
ditandai
dengan
berkembangnya
tektonik
regangan
9
Cirebon (pre -TAF). Komposisi dari satuan pre-TAF mengindikasikan
adanya provenance yang berasosiasi dengan tubuh gunung api, pada saat
yang bersamaan juga di endapkan batuan tipis batu gamping pada interval
ini. Selanjutnya diendapkan Formasi Talangakar bagian bawah (Lower
TAF) yang tersusun oleh batupasir, serpih, dengan sisipan batubara dan
batugamping. Secara umum lingkungan fluvio-deltaik sampai endapan laut
dangkal.
2. Fase Postrift
Tahapan ini ditandai oleh proses kenaikan muka air laut yang dominan,
proses tektonik mulai berkurang perannya. Secara umum sedimentasi pada
fase ini di kontrol oleh kelurusan berarah utara-selatan (Pola Sunda) walau
terdapat indikasi pertumbuhan batugamping Formasi Baturaja pada daerah
tinggian di beberapa tempat juga di kontrol oleh Pola Meratus (NE-SW).
Siklus transgresif yang dominan pada masa ini ditunjukan oleh endapan
fluvio-deltaik Formasi Talang Akar Bagian Atas menjadi endapan
batugamping Formasi Baturaja, dan endapan marin Cibulakan. Formasi
Talangakar bagian atas yang mengawali siklus ini di endapkan pada kala
Miosen awal, terdiri atas batulempung, batupasir, dengan sisipan batu
gamping yang serta sisipan tipis batubara. Formasi Baturaja yang di
endapkan pada kala akhir miosen awal dicirikan oleh batu gamping yang
tumbuh di daerah tinggian dengan sisipan batupasir dan batugamping.
10
Formasi Cibulakan yang dicirikan oleh batulempung yang dominan
dengan sisipan batupasir dan batugamping.
3. Fase Back arc
Tahap ini merupakan emplacement dari jalur volkanik jawa,dimana untuk
daerah Jawa Barat di tunjukan oleh endapan breksi volkanik dan lava dari
Formasi Jampang yang teramati di daerah pegunungan selatan Jawa Barat.
Pada saat ini cekungan berubah dari rift basin menjadi back arc basin.
Sedimentasi di bagian selatan dari cekungan di dominasi oleh materialmaterial volkanik, sedangkan di cekungan jawa barat utara sedimentasi di
awali oleh sedimen klastik halus dan karbonat (Formasi Parigi dan
Formasi Cisubuh bagian barat) dan di akhiri oleh endapan fluvial (Formasi
Cisubuh bagian atas) akibat dari pengangkatan yang ada di selatan.
Formasi Parigi yang didominasi oleh batugamping tumbuh di daerah
tinggian dengan kontrol kelurusan berarah Barat- Timur diendapkan pada
kala Miosen Akhir, sedangkan Formasi cisubuh yang disusun oleh
batulempung dan batupasir diendapkan pada kala Plio-Pleistosen.
11
busur kepulauan Jawa yang di mulai dari selatan oleh palung Jawa, busur non
Vulkanik (bawah laut), Cekungan Muka Busur, Busur Volkanik Sunda dan
Cekungan Belakang Busur yang dimanifestasikan oleh Laut Jawa. Kondisi
tersebut berlaku sejak Kala Neogen yang di tandai oleh Busur Volkanik Jampang
di bagian Selatan Jawa barat, dan Busur bermigrasi ke arah Utara sepanjang kala
Neogen sampai sekarang (Resen).
Berawal dari Akhir Kapur hingga Awal Tersier, Jawa Barat Utara dapat di
klasifikasikan dalam Fore Arc Basin dengan di jumpainya orientasi struktur yang
berarah NE SW (N70o E) mulai dari Ciletuh, Sub Cekungan Bogor, Jatibarang,
Cekungan Muria dan Cekungan Florence Barat yang mengindikasikan kontrol
Meratus Trend. Pada waktu Paleogen (Eosen-Oligosen) Jawa Barat mengalami
sesar geser yang akhirnya membentuk Cekungan Jawa Barat Utara sebagai PullApart Basin. Pada fase ini dijumpai sesar-sesar bongkah (half graben system)
yang berarah relatif Utara Selatan (N-S) yang di kenal sebagai arah Sunda.
Endapan lakustrin dan volkanik Formasi Jatibarang menutupi rendahan-rendahan
yang ada. Proses sedimentasi terus berlangsung dengan di jumpainya endapan
transisi Formasi Talang Akar. Sistem ini di akhiri dengan diendapkannya Formasi
baturaja di lingkungan laut dangkal.
Fase tektonik kedua terjadi pada permulaan Neogen (Oligo-Miosen)
dimana jalur subduksi baru terbentuk di Selatan Jawa. Jalur volkanik periode
Miosen Awal terletak di lepas pantai Selatan Jawa. Deretan gunung api ini
menghasilkan endapan volkanik bawah muka laut di kenal sebagai old andesite,
tersebar sepanjang Pulau Jawa. Pola tektonik ini merubah pola tektonik tua NE-
12
SW yang terjadi sebelumnya menjadi berarah Barat Timur (E-W) yang
menghasilkan suatu sisitem sesar naik di mulai dari selatan (Ciletuh) bergerak ke
utara. Pola sesar ini sesuai dengan sistem sesar naik belakang busur yang di kenal
thrust foldbelt system. Pada saat Miosen Awal mulai di endapkan Formasi
Cibulakan atas yang menunjukan lingkungan laut dangkal dan ditutup dengan di
endapkannya Formasi Parigi yang melampar luas.
10 N
6 N
2 N
IC
000'
M
S
E
N
E
C
OR
S Y
OU IAR
CE RT E
T A T E ON
E
Y Z
CR L N
Y AR IO
RL Y E CT
EA ER DU
V UB
S
ACTIVE VOLCANOES
NE
ZO
JAVA SEA
N
IO
6 S
DU
CT
IO
CT
DU
SU
B
B
SU
TE
RT
IA
RY
VE
TI
AC
2 S
ZO
NE
SOUTHW
ARD SH
IFTING OF
10 S
SUBDUC
TION
INDONESIA OCEAN
SUBDUCTION
14 S
MAGMATIC ARC
CRETACEOUS
TERTIARY
PRESENT
96 E
104 E
106 E
112 E
116 E
13
Dari ketiga fase tektonik tersebut di atas dapat dilihat konfigurasi
Cekungan Jawa Barat Utara seperti saat ini. Dari arah Barat berturut-turut tinggian
Jatinegara - Rengasdengklok, Rendahan Ciputat, Tinggian Cilamaya, Rendahan
Pasirbungur, Tinggian Pamanukan, Rendahan Cipunegara. Tinggian Kadanghaur Gantar, Rendahan Jatibarang dan Tinggian Arjawirangun (Gambar 2.3).
Cekungan Jawa Barat Utara telah banyak diteliti dan disimpulkan bahwa
daerah ini telah mengalami proses deformasi tektonik yang menghasilkan pola
struktur sesar yang terekam dengan baik pada satuan batuan Paleogen Neogen
dan ini merupakan informasi penting dalam memecahkan permasalahan
pemerangkapan hidrokarbon. Pola struktur tersebut mempunyai tiga arah struktur
14
utama yaitu kelurusan berarah ENE WSW (arah meratus), arah N S (sunda)
dan E W (Jawa).
Gambar 2.4 Peta Kontur Batuan Dasar Cekungan Jawa Barat Utara
(R.A. Noble 1996)
15
oleh Formasi Talangakar bagian atas dan Formasi Baturaja. Formasi Talangakar
berkembang dari endapan fluvial di bagian bawah berubah secara berangsur
menjadi endapan fluvio-deltaic dan laut dangkal (shallow marine) di bagian atas,
sedangkan Formasi Baturaja merupakan endapan laut berupa sedimen karbonat.
Sedimen Neogen diendapkan pada lereng Utara dari Cekungan Belakang
Busur yang mengikuti pola umum struktur Jawa. Pola struktur sunda pada periode
ini juga masih masih berperan secara lokal. Sedimen Neogen diwakili oleh
Formasi Baturaja, Formasi Cibulakan Atas, Formasi Parigi, dan Formasi Cisubuh.
sampai
254m
di
tinggian
Tambun-Tangerang
hingga
16
diperkirakan 1500 m lebih untuk di pusat dalaman Ciputat dan dalaman Arjuna
(offshore). Pada akhir sedimentasi Formasi Talangakar ini ditandai juga
berakhirnya sedimentasi synrift.
17
Barat Utara dan pada umumnya berkembang sebagai batugamping terumbu
menumpang secara selaras di atas Formasi Cibulakan Atas.
18
2.1.5 Petroleum System
Cekungan Jawa Barat Utara memiliki cadangan hidrokarbon yang baik,
tentunya didukung oleh adanya petroleum system yang menjadikan cekungan ini
sangat potensial. Petroleum system cekungan ini diantaranya :
19
Gambar 2.6 Peta Penyebaran Source Pod Cekungan Jawa Barat Utara
(R.A Noble, 1997)
20
2. Batuan Reservoir
Batuan reservoir yang telah terbukti menghasilkan hidrokarbon di
Cekungan Jawa Barat Utara adalah batupasir Formasi Talangakar, batugamping
Formasi Baturaja, batupasir dan batugamping Formasi Cibulakan dan
batugamping Formasi Parigi. Saat ini telah terbukti juga di sumur Tegaltaman
dan Karangbaru untuk Formasi Jatibarang, dimana Volkanik Formasi Jatibarang
dapat bertindak sebagai Reservoir. Lapisan konglomerat Formasi Jatibarang
setebal 12 m dan 10 m dan pada lapisan yang bawah (12 m) telah terbukti
menghasilkan 447,6 BOPD + 5.34 MMCFGPD pada jepitan 13 mm (Noble dkk,
1997).
Berdasarkan hasil pemboran sumur RMS, potensi reservoir di prospek besar
adalah batugamping yang berkembang sebagai carbonate build up pada Formasi
Baturaja dan batupasir pada Formasi Talangakar
21
4. Perangkap Struktural
Perangkap structural merupan perangkap hidrokarbon yang paling sering
terdapat di Cekungan Jawa Barat Utara. Perangkap potensial ini sering
berasosiasi dengan sesar naik di bagian selatan cekungan. Antiklin dan closure
four way dip yang berasosiasi dengan sesar naik dapat teramati dengan baik
hampir di seluruh bagian selatan cekungan. Perangkap sering hadir pada
upthrown side dari blok sesar. Perangkap yang berhubungan dengan batuan
karbonat hadir pada upthorwn side dari sesar dimana terdapat terumbu
batugamping yang berkembang pada suatu daerah tinggian. Perangkap structural
ini di jumpai hamper di seluruh formasi berumur Eosen (Pre TAF) sampai
Pliosen (Formasi Parigi). Nampaknya, peristiwa tektonik kompresional sangat
berkaitan dengan mekanisme hidrokarbon di Cekungan Jawa Barat Utara.
5. Perangkap Stratigrafi
Perangkap stratigrafis di jumpai pada beberapa kawasan di dalam
Cekungan Jawa Barat Utara. Secara keseluruhan, tipe jebakan ini memberikan
kontribusi cadangan hidrokarbon potensial yang cukup besar pada bagian utara
cekungan ini. Terumbu karang yang tumbuh bagian dari Formasi Baturaja dan
Formasi Parigi termasuk ke dalam jenis perangkap ini. Fasies terumbu yang lain
dapat di jumpai pula pada Cibulakan Atas (Mid Main Carbonate). Perangkap
stratigrafis dari fasies terumbu ini di jumpai hamper di seluruh kawasan, karena
memang di endapkan pada fase postrift.
22
Jebakan stratigrafi dengan geometri pembajian, pemancungan, channel fill dan
onlapping juga ditemukan pada fasise batupasir Pre TAF, TAF dan Cibulakan
Atas. Jenis perangkap pada prospek besar adalah kombinasi antara perangkap
stratigrafi dan struktural.
6. Batuan Tudung
Lapisan batuan untuk dapat bertindak sebagai lapisan penyekat haruslah
mempunyai kemampuan untuk kedap terhadap fluida (cair / gas). Adapun lapisan
batuan yang mempunyai kriteria tersebut adalah lapisan serpih yang selalu di
jumpai pada Formasi Talangakar (intraformation sealing) yang efektif untuk
perangkap perangkap di preTAF dan TAF. Lapisan serpih Cibulakan Atas
untuk penyekat perangkap di Formasi Baturaja dan Formasi Cibulakan Atas.
7. Hidrokarbon Play
Cekungan Jawa Barat Utara terdiri dari beberapa penghasil hidrokarbon
yaitu, diantaranya : Formasi Jatibarang, Formasi Baturaja, Formasi Cibulakan
Atas, dan Formasi Parigi. Formasi Jatibarang meliputi aliran vulkanik dan tuff.
Minyak dan gas dihasilkan dari rekahan-rekahan dengan struktur antiklin berarah
EW dan terpotong dengan sesar normal berarah N-S. Formasi Baturaja diwakili
oleh paparan karbonat/karbonat kompleks yang berkembang diatas palaeohighs.
Build-ups ini merupakan tipe cebakan minyak dan gas dan bergabung dengan
drape diatas tinggian basement. Reservoir utama berisi batugamping koral alga
dengan porositas kedua terbentuk pelarutan oleh air. Yang lainnya adalah
23
Formasi Cibulakan Atas yang terdiri dari batupasir yang berasal dari utara, dan
diendapkan sebagai punggukan pasir pada lingkungan shelf dengan lipatan
antiklin dan pinch-out dari tubuh batupasir. Reservoir batupasir adalah
menghasilkan horizon utama. Formasi Parigi tersebar luas sebagai paparan/unit
bioherm dan diketahui dan diketahui berisi kuantitas gas dalam jumlah besar dan
memberikan kesempatan terbaik sebagai cadangan baru yang memiliki nilai yang
layak. Build up Formasi Parigi berkembang dengan baik didaerah onshore dan
offshore. Reservoir berkembang pesat melaului porositas vugular, moldic, dan
intergranular yang keluar melalui interval karbonat yang berbeda-beda.
24
sampai memipih, kadang bersifat fissile sampai subfissile tidak bersifat
karbonatan, kadang dijumpai material karbon dan pyrite.
2. Batupasir : umumnya bewarna coklat terang sampai coklat muda, kadang
transparan, mudah lepas sampai agak keras, kadang keras, dengan bentuk
menyudut tanggung sampai membulat tanggung, berbutir halus sampai
sedang, pemilahan sedang dan dengan porositas sedang.
3. Batugamping : berwarna putih kotor, coklat terang, kadang putih
kecoklatan, keras sampai agak keras, termasuk mudstone sampai
wackestone,
kadang
keras
dan
kompak,
bersifat
kristalin
dan
25
endapan laut dangkal dengan sisipan Batugamping Formasi Baturaja, dan endapan
marin Formasi Cibulakan.
2.2.2 Struktur Geologi
Secara fisiografi Struktur Lapangan RMS terletak dibagian selatan Sub
cekungan Arjuna dan utara dari Tinggian Cilamaya. Tektonik yang berperan
terhadap Struktur Lapangan RMS adalah tektonik yang terjadi pada Awal Tersier
dan tektonik Pliosen - Plistosen. Tektonik Awal Tersier menghasilkan half graben sistem Cekungan Jawa Barat Utara dengan produk pola tinggian dan
rendahan yang berorientasi utara - selatan. Gaya kompresional dari selatan pada
kala Pliosen - Plistosen umunya tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap
konfigurasi strukturnya, akan tetapi cukup untuk membentuk pola antiklin di
daerah ini. Sedangkan gaya extensionalnya berperan terhadap pembentukan dan
pengaktifan kembali sesar-sesar normal yang berarah relative utara-selatan dan
secara umum berperan menjadi media migrasi yang cukup efektif.
26
Sikuen
stratigrafi
merupakan
bagian
stratigrafi
modern
yang
memanfaatkan sejumlah metoda dan konsep yang telah ada sebelumnya, terutama
biostratigrafi, seismik stratigrafi, kronostratigrafi, dan sedimentologi (Emery et al,
1996).
Dalam menganalisis sikuen stratigrafi akan menghasilkan kerangka
kronostratigrafi dari endapan yang dianalisa. Faktor-faktor yang secara langsung
mempengaruhinya kerangka kronostratigrafi adalah turun-naiknya permukaan air
laut, tektonik, pasokan sedimen, kondisi iklim dan geometri cekungan. Kerangka
itu selanjutnya dapat dipakai untuk mengkorelasikan dan memetakan fasies-fasies
yang ada dalam endapan yang dianalisis.
27
cekungan yang lebih curam (umumnya >1) serta terletak lebih ke arah cekungan
dibanding topset. (Emery et al, 1996).
2.3.1.2.1 Eustasi
Eustasi adalah permukaan laut global. Perubahan eustasi adalah suatu
konsep yang sudah lama diketahui (Suess, 1906) untuk perubahan muka laut
relatif terhadap pusat bumi. Perubahan eustasi berkaitan dengan suatu faktor
kekuatan/gaya, seperti a) perubahan glasial; b) perubahan steric (thermohaline)
dalam volume cekungan lautan; c) deformasi kulit bumi akibat plate rifting
(pemekaran lempeng), subduksi, dan collision (tumbukan); e) sedimentasi; dan f)
faktor astronomi (teori Milankovitch).
Eustasi (eustasy; global eustasy; global sea-level) diukur dari muka air
laut hingga suatu datum tetap, biasanya pusat bumi. Eustasi dapat berubah dengan
berubahnya volume cekungan (misalnya akibat perubahan volume punggungan
tengah samudra) atau berubahnya volume air laut (misalnya akibat glasiasideglasiasi). Hal yang perlu dicatat adalah bahwa eustasi dapat naik atau turun
sedemikian rupa sehingga menyebabkan berubahnya posisi base-level secara
28
global. Base level sendiri didefinisikan sebagai suatu batas di atas mana proses
yang terjadi praktis hanya berupa erosi.
29
zona dimana terjadi penaikan muka air laut relatif dengan zona dimana terjadi
penurunan muka air laut relatif.
Gambar 2.8 Eustasy, Relative sea level, & Water depth (Kendall, 2006)
2.3.1.4
Akomodasi Sedimen
Pengontrol penting pada pengendapan basin adalah ruang untuk
30
one of the most significant result of sequence stratigraphy). Akomodasi
didefinisikan sebagai ruang yang tersedia untuk pengakumulasian sedimen dalam
satuan waktu tertentu (Jervey, 1988). Akomodasi dikontrol oleh base level karena,
untuk dapat terakumulasi, sedimen memerlukan ruang yang terletak di bawah
base level.
Posisi base level berbeda-beda, tergantung tatanan pengendapannya.
Dalam lingkungan aluvial, base level dikontrol oleh profil sungai yang secara
berangsur berubah mendekati base level laut atau danau, ke tempat mana sungai
tersebut bermuara (Mackin, 1948). Dalam sistem delta dan pesisir, base level
praktis ekivalen dengan muka air laut. Dalam lingkungan laut dangkal, base level
juga praktis berupa muka air laut, meskipun dalam kondisi tertentu alas
gelombang (wave base) dapat menyebabkan " graded shelf profile " berperan
sebagai base level.
Pada lingkungan marine dan shelf, perubahan akomodasi ditentukan oleh
kombinasi pergerakan muka air laut atau dasar laut yang dihasilkan dari interaksi
tektonik dengan eustasi. Sehingga tektonik dan eustasi merupakan pengontrol
utama stratigrafi
31
32
2.3.1.5.1 Lowstand Systems Tract
Lowstand systems tract membentuk susunan regresi berisi endapan
sedimen selama penurunan muka air laut relatif, terus stilstand, dan hingga
penaikan perlahan muka air laut relatif selama regresi pada shoreline masih dapat
dipertahankan. Lowstand systems tract terdiri atas 2 tipe endapan, yaitu :
a) endapan regresi pantai dan shelf, dan
b) agradasi endapan fluvial dalam incised valley.
Lowstand systems tract terletak diatas batas sekuen yang merupakan
ketidakselarasan yang terlihat dipermukaan shelf dan correlative conformity ke
arah laut.
Lowstand systems tract dibagi menjadi 2 bagian fase, yaitu early (awal)
dan late (akhir). Awal lowstand systems tract terjadi ketika penurunan muka air
laut relatif, dan akhir lowstand systems tract terjadi ketika muka air laut relatif
stabil dan naik perlahan. Selama awal lowstand systems tract sungai mengalami
torehan, dan shoreline mengalami gaya regresi. Sedangkan pada akhir LST sungai
mengalami agradasi di dalam incised valleynya dan shoreline menjadi normal
regresi. Coastal onlap bergerak ke arah laut pada awal LST, dan bergerak ke arah
darat pada akhir low stand systems tract. Akhir low stand systems tract juga
ditandai oleh peningkatan akomodasi yang cepat yang menyebabkan pengurangan
perbandingan pasir-lumpur.
33
2.3.1.5.2 Transgressive Systems Tract
Transgressive systems tract berisi endapan sedimen ketika muka air laut
relatif naik dengan cepat dibandingkan dengan kecepatan pengendapan.
Transgressive systems tract ini merupakan transgresi menyeluruh yang ditandai
dengan landward-sleeping parasequence. Bagian atas transgressive systems tract
dibatasi oleh maximum flooding surface yang merupakan batas transgresi,
umumnya membentuk penghalusan ke atas dan pada well-log.
34
35
2.3.1.6 Tipe -Tipe Sikuen
Ada 2 tipe utama yang dikenal dalam depotional sequence, antara lain :
1. Tipe 1, dibentuk ketika muka air laut relatif turun pada shoreline terhadap
fisiografi basin (cekungan). Tipe ini dibatasi oleh batas sikuen tipe 1 yang
berisi ketidakselarasan stratrigrafi kearah darat dari shoreline lowstand.
Sikuen tipe 1 disusun oleh lowstand systems tract.
2. Tipe 2, dibentuk ketika tidak terjadi turunnya muka air laut relatif,. Sikuen tipe
2 ini merupakan siklus regresi - transgresi tanpa ada lowstand systems tract
dan dibatasi oleh batas sikuen tipe 2 yang tidak membentuk ketidakselarasan.
Dalam tipe 2 batas sikuen berdekatan dengan permukaan regresi maksimum
yaitu batas antara fasies regresi dan transgresi pola stacking. Tipe 2 berada
langsung diatas highstand systems tract dan tidak ada lowstand systems tract
dan transgressive systems tract dalam tipe ini.
36
37
surface) dan beberapa permukaan lainnya seperti (a) marine flooding surface, (b)
basin floor fan, dan (c) top slope fan.
38
boundary', yang menunjukkan hiatus yang kurang jelas dan ditutupi oleh
sedimen-sedimen 'shelf.
1) Top basin-floor fan surface - adalah batas antara basin-floor fan dibawah
nya dengan slope fan dan lowstand prograding wedge diatasnya. Slope-fan
dan lowstand progradmg wedge' menunjukkan downlap keatas top 'basinfloor fan surface'.
2) Top slope fan surface - adalah batas antara slope -fan dibawahnya dengan
lowstand prograding wedge diatasnya. Lowstand progradmg wedge
menunjukkan downlap keatas top slope fan surface. Top slope- fan surface
bisa menunjukkan downlap keatas basin-floor fan atau keatas 'sequence
boundary' kearah laut dan menunjukkan onlap keatas top dari depositional
sequence kearah daratan yang terletak dibawahnya.
3) Marine flooding surface - adalah permukaan pada top parasequences,
yang biasanya dicirikan oleh suatu pendalaman mendadak ketika
permukaan laut naik dengan cepat. Batas ini biasanya memisahkan
lingkungan air dangkal atau lingkungan nonmarin yang terletak
dibawahnya dengan fasies air lebih dalam yang terletak diatasnya.
39
systems tract' yang terletak diatasnya. Transgressive surface berasosiasi dengan
suatu facies" discontinuity yang dicirikan oleh pendalaman mendadak yang
rnemotong bidang batas. 'Transgressive surface' ini bisa berupa erosi pada 'shelf
yang relief-nya sampai beberapa meter seperti pada ravinement surface, dan bisa
juga berasosiasi dengan 'pebble lags' dan 'burrowing'.
40
mendangkal keatas, tetapi suatu parasequence set dapat juga mendangkal keatas
(progradational), atau menunjukkan kedalaman air yang relatif konstan
(aggradational), atau menunjukkan makin dalam kearah atas (backsteppmg).
Parasikuen dan 'parasequence sets' adalah pembentuk/penyangga systems tracts.
progresif
lebih
muda
diendapkan
lebih
jauh
kedalam
adalah
Stacking
pattern
pada
mana
setiap
41
secara keseluruhan lebih dalam kearah atas. Backstepping stacking
pattern' terjadi apabila kecepatan accommodation lebih besar daripada
kecepatan pengendapan. Istilah retrogradational biasa digunakan sebagai
pengganti 'backstepping'; namun retrogradational menunjukkan (1)
mundurnya garis pantai akibat erosi atau (2) progradasi kearah daratan.
Karena itu, retrogradational tidaklah sama dengan backstepping.
42
R.C., 1985), dan dalam penentuan roman muka bumi tersebut ada beberapa faktor
yang harus diperhatikan, yaitu : geologi, geomorfologi, iklim, cuaca, kedalaman,
temperatur, dan salinitas serta sistem aliran termasuk juga flora dan fauna yang
terdapat dalam lingkungan sedimentasinya. Faktor-faktor tersebut sangat
berkaitan, sehingga apabila ada perubahan pada salah satu faktomya maka akan
menyebabkan perubahan lainnya.
Menurut R.G. Walker (1992) model fasies adalah perbandingan antara
lingkungan pengendapan modern dan lingkungan pengendapan purba serta
berusaha untuk mengetahui proses yang mengontrol perubahan fasies dan
geometrinya. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa model fasies adalah
studi lingkungan pengendapan purba yang didasarkan pada keadaan lingkungan
modernnya, sehingga jelas bahwa lingkungan yang terbentuk saat ini terjadi pula
pada keadaan masa lalu, atau merupakan prinsip dari unifonnitarisme yang
menyebutkan "the present is the key to the past".
Gambar 2.18 Bagan Alir Analisis Sedimentary Rock yang Berhubungan dengan
Fasies (O.Serra, 1978)
Model harus bersifat normal sebagai pembanding, karena tanpa adanya
karakter normal akan sulit untuk menentukan apakah lingkungan pengendapan
43
sama atau berbeda dengan model fasies yang sudah ada. Jika ditemukan banyak
kesamaan maka dapat disimpulkan bahwa fasies ini tidak jauh beda, tetapi jika
ternyata lingkungan pengendapan dengan segala karakternya berbeda dengan
model yang sudah ada maka akan terjadi interpretasi mengenai lingkungan ini,
mungkin bisa akan memunculkan model fasies baru. Kenyataannya bahwa
lingkungan pengendapan tertentu akan memberikan fasies yang khusus pula.
Model harus bisa sebagai kerangka dasar dan bisa digunakan sebagai
penunjuk pada penyidikan lebih lanjut. Suatu model yang sudah ada merupakan
acuan dasar terhadap pengenalan awal sebuah karakteristik fasies. Geologist akan
dengan sedikit mudah menentukan model yang sesuai jika terdapat contoh yang
sama ataupun hampir sama.
Fasies model bisa berfungsi sebagai prediksi dari lingkungan secara
keseluruhan. Misalkan telah ditemukan fasies dengan model tertentu maka akan
diperoleh prediksi-prediksi awal guna mengetahui karakter fasies secara
keseluruhan hingga kearah lingkungan pengendapan secara detail dan
menyeluruh. Tanpa adanya model itu maka prediksi akan terlalu jauh sehingga
kurang memenuhi aspek kebenaran.
Fasies juga harus berupa integrasi dari berbagai macam data dan
interpretasi pendukung yang kuat. Pengaruh dukungan data yang banyak serta
pendekatan dengan percobaan di lapangan maupun di laboratorium akan banyak
membantu kekuatan interpretasi.
44
Model Fasies secara garis besar dibagi atas tiga model, yaitu Fluvial
Deposits, Deltaic Deposits dan Non Deltaic Coastal and Shelf Deposits. Tetapi
yang akan lebih dibahas disini Deltaic Deposits terutama pada bagian delta plain.
Fasies sedimen merupakan produk dari proses pengendapan batuan
sedimen di dalam suatu jenis lingkungan pengendapannya. Diagnosa lingkungan
pengendapan tersebut dapat dilakukan berdasarkan analisa fasies sedimen, yang
merangkum hasil interpretasi dari berbagai data, diantaranya :
1.
Geometri
2.
3.
4.
2.3.2 Delta
Delta menurut Elliot (1981), dalam Serra (1990) adalah suatu garis pantai
yang menjorok ke laut, terbentuk oleh adanya sedimentasi sungai yang memasuki
laut, danau atau laguna dikarenakan suplai sedimen lebih besar dari pada
kemampuan pendistribusian kembali oleh proses yang ada pada cekungan
pengendapan. Distribusi, orientasi, dan internal geologi dari endapan delta
dikontrol oleh faktor yang bervariasi termasuk iklim, morfologi, vegetasi,
pengisian air, banyaknya sedimen, proses mulut sungai (river-mouth), gelombang,
pasang surut, angin, arus, kemiringan shelf, tektonik dan geometri cekungan.
45
2.3.2.1 Morfologi Delta
Menurut Serra (1990), lingkungan pengendapan delta dapat dibagi dalam
beberapa sublingkungan berikut ini :
1. Delta Plain
Delta plain merupakan bagian delta yang bersifat subaerial yang terdiri
dari channel aktif Delta plain dan channel yang ditinggalkan Sub-lingkungan
delta plain ini dibagi menjadi :
a) Upper delta plain, merupakan bagian delta plain yang terletak pada bagian
atas pengaruh pasang surut atau pengaruh marin dan biasanya dipengaruhi
oleh proses pengendapan yang sama dengan proses pengendapan alluvial
valley.
b) Lower delta plain, terletak pada daerah antara pasang surut, di dalam zona
interaksi antara sungai-laut. Di bagian ini sungai menyebar membentuk
distributary channel.
2. Delta Front
Delta front adalah bagian delta yang terendam air dangkal. Sublingkungan
dengan energi tinggi, dimana sedimen secara konstan dipenganihi oleh arus
pasang surutt, arus laut sepanjang pantai, dan aksi gelombang (kedalaman 10
meter atau kurang). Endapannya meliputi delta front sheet sand, distributary
mouth bar, endapan river mouth tidal range, endapan dekat pantai, sepanjang
pantai dan endapan stream mouth bar. Ditunjukkan oleh sikuen mengkasar
keatas dalam skala yang relatif besar yang menunjukkan perubahan fasies
secara vertikal ke atas.
46
3. Prodelta
Prodelta merupakan bagian delta yang lebih ke arah laut terletak antara
delta front dan marine shelf, yang berada di bawah kedalaman efektif erosi
gelombang. Sedimen yang ditemukan pada bagian ini adalah material yang
berukuran paling halus (Serra, 1990). Endapan prodelta didominasi oleh
sedimen berukuran lanau dan lempung, kadang-kadang dijumpai lapisan pasir
tipis. Struktur sedimen masif, laminasi, dan burrowing structure. Seringkali
dijumpai cangkang organisme bentonik yang tersebar luas, mengindikasikan
tidak adanya pengaruh air tawar/fluvial (Davis, 1983, dalam Serra, 1990).
47
2.3.2.2 Jenis Jenis Delta
Menurut Galloway (1975), dalam Serra (1990) berdasarkan proses yang
berpegaruh, maka dapat dibagi menjadi:
1. Delta Dominasi Pasang Surut
Delta dominasi pasang surut memiliki tidal range yang besar dan
berbatasan dengan selat yang sempit dimana kecepatan arus pasang surut tinggi.
Delta tipe ini dicirikan dengan bentuk corong atau estuary dengan terdapatnya
tidal bar. Reservoar utama pada delta dominasi pasang surut adalah endapan
distributary channel, tidal channel, dan tidal bar. Pola log yang dijumpai pada
delta tipe ini adalah mengkasar ke atas diikuti dengan mcnghalus ke arah atas
tanpa batas yang jelas.
48
Seperti delta pada umumnya, delta dominasi pasang-surut juga terdiri atas
tiga lingkungan pengendapan utama yaitu : delta plain, delta front, dan prodelta
(Alien, 1997). Tiap lingkungan pengendapan ini memiliki tipe reservoar, fasies,
dan geometri yang berbeda. Gambar 2.21 memperlihatkan macam lingkungan
pengendapan umum pada delta dominasi pasang surut.
A. Delta Plain
Delta plain merupakan bagian dari lingkungan pengendapan delta yang
terletak di atas permukaan laut, berupa dataran pantai yang ditutupi oleh rawa,
tanjung dangkal, dan laguna. Dua sublingkungan utama yang berada pada delta
plain adalah distributary channel dan interdistributary zones.
49
Distributary channel adalah channel dengan pola bercabang ke arah laut
(distributive) dan berfungsi untuk menghantarkan sedimen fluvial menuju pantai.
Kedalaman channel ini mencapai 10-20 m dan semakin menipis ke arah laut.
Fasies ini dapat berperan sebagai reservoar yang sangat bagus. Jika daerah ini
terkena pasang-surut makrotidal (kisaran pasang-surut > 4m), distributary channel
akan cenderung berpola meandering dan membentuk point bar berkomposisi
pasiran dengan rasio lebar/tebal yang tinggi (100-150). Penjajaran dari banyak
point bar disebut meander belt (Allen, 1997).
Pada delta plain dominasi pasang-surut, posisi air tertinggi akan memiliki
arus kuat yang paling rendah sehingga material yang diendapkan pada zona
interfluve hanya endapan yang berukuran butir halus, sedangkan pada delta plain
dominasi fluvial, posisi air tertinggi akan memiliki kuat arus terbesar sehingga
pasir dapat diendapkan pada zona interfluve. Interdistributary zones adalah zona-
50
zona yang berada di antara distributary channel. Fasies utama yang berkembang
pada sublingkungan ini adalah point bar dari distributary channel yang
berkomposisi pasiran dengan struktur pasang-surut, tidal cahnnel, tidal flat, dan
endapan rawa (Allen, 1997).
Gambar 2.22 Perbandingan delta plain Dominasi fluvial dan delta plain
Dominasi Pasang-Surut pada saat Terjadi Penggenangan Alluvial (Allen,1997)
B. Delta Front
Delta front adalah zona pantai dangkal yang mempunyai hubungan
menjemari delta plain. Sedimen yang diangkut oleh distributary channel akan
berakumulasi di mulut channel tersebut dan membentuk distributary mouth bar.
Fasies mouth bar mi juga dapat bertindak sebagai reservoar yang bagus. Pada
pantai dengan pasang-surut makrotidal, energi pasang-surut yang tinggi akan
mengontrol sedimentasi pada delta front. Wright (1997, dalam Allen 1997)
menyatakan bahwa delta front dominasi pasang-surut akan dicirikan oleh mulut
51
distributary channel berbenruk corong (Gambar 2.21) yang diisi oleh tidal bars
berkomposisi pasiran yang berbentuk elongate. Tidal bar ini memiliki pengertian
yang sama dengan distributary mouth bar pada delta dominasi fluvial (Allen,
1997). Contoh delta pada masa kini mengindikasikan bahwa tidal bars ini dapat
bergabung membentuk endapan pasir yang terbentang luas dengan rasio
lebar/tebal hampir sama dengan delta front dominasi fluvial (>1000).
Perbedaan utama antara delta front dominasi pasang-surut dengan delta
front dominasi fluvial adalah kehadiran struktur pasang-surut, seperti lapisan
silang-siur sigmoidal dan bidirectional, mud drapes, dan struktur flaser-lentikuler,
serta jarangnya keterdapatan endapan penggenangan alluvial.
52
C. Prodelta
Prodelta adalah bagian terluar dari delta, terdiri dari material suspensi
lempung dan lanau yang berakumulasi ke arah laut dan berada di bawah efek
ombak, pasang-surut, dan arus sungai. Lingkungan ini umumnya membentuk
topografl yang relatif curam. Bergantung pada kecepatan sedimentasi dan salinitas
air, lumpur prodelta biasanya mengandung fauna laut lepas atau lakustrin dengan
intensitas bioturbasi yang beraneka ragam.
53
54
dari batas daratan yang disebut tidal limit sebagai kepala dan batas laut suatu
fasies coastal sebagai mulut.
Gambar 2.26 Diagram yang menunjukan evolusi endapan coastal pada saat
progradasi dan transgresi (Dalrymple et al,1992)
Gambar 2.27 Diagram pola salinity, pergerakan sedimen, sumber energi, dan
geomorfologi pada zona darat, transisi,dan laut.
55
56
Fasies ini umumnya juga dicirikan oleh perubahan log GR (Gamma Ray) yang
tajam dari besar ke kecil karena diendapkan langsung di atas fasies shelf
mudstone yang memiliki nilai GR kecil. Fasies ini memiliki karakteristik
reservoar yang bagus. Batupasirnya tersortasi sedang dan porinya kadang
terisi oleh lempung kaolinit yang berasal dari pelapukan feldspar.
2. Tidal Channel
Fasies ini memiliki ciri multistorey, didominasi oleh batupasir sedanghalus yang menunjukan pola menghalus ke atas dan memiliki intensitas
bioturbasi yang tinggi. Struktur lapisan kurang berkembang pada fasies ini.
Bagian atasnya dapat bertransisi secara cepat menjadi fasies shelf mudstone.
Fasies ini memiliki karakter reservoar sedang-bagus, tergantung dari ukuran
butiraya dengan penyebaran lateral dan vertikal yang baik. Porositas dan
penneabilitasnya dapat berkurang akibat bioturbasi sementara porinya dapat
terisi oleh lempung kaolin hasil pelapukan feldspar.
3. Tidal Bars
Ciri fasies ini adalah multistorey, didominasi oleh batupasir berukuran
butir halus-sedang dengan pola mengasar ke atas (coarsening upward) dengan
log berbentuk funnel shape. Struktur yang terdapat pada fasies ini adalah
struktur silang-siur bidirectional tipe palung dan planar, flaser, dan lentikuler,
serta mud drapes. Intensitas bioturbasi pada fasies ini cukup tinggi dan
umumnya ditutupi oleh fasies shelf mudstone yang tipis dan menerus.
57
Fasies ini memiliki karakteristik reservoar yang bagus dengan batupasir
yang tersortasi sedang-baik. Permeabilitas horizontalnya bagus-sangat bagus
sementara permeabilitas vertikalnya dapat berkurang oleh lanau. Penyebaran
vertikal dan lateralnya dibatasi oleh migrasi lateral maupun gerusan oleh
fasies yang berada di atasnya.
58
permeabilitas, resistivity, Volume shale dan saturasi air, yang didapat dengan
melakukan analisis petrofisika.
Gambar 2.29 Defleksi log gamma ray pada beberapa litologi (Dewan,1983)
59
Log GR berguna untuk menentukan lapisan permeabel disaat SP tidak
berfungsi karena formasi yang sangat resistif atau bila kurva SP kehilangan
karakteniya (Rmf = Rw) atau ketika SP tidak dapat direkam karena lumpur yang
digunakan tidak konduktif (oil-base mud). Kegunaan Log GR :
1. Identifikasi litologi dan Korelasi antar surnur
2. Menentukan lingkungan pengendapan
3. Mengetahui kandungan shale pada lapisan permeable
60
Defleksi kurva bisa positif (ke kanan) dan bisa negatif (ke kiri) tergantung
dari salinitas air formasi dan flltrat lumpur. Jika salinitas air formasi lebih besar
dari filtrat lumpur, maka defleksi kurva akan negatif. Sedangkan bila salinitas air
formasi lebih kecil dari filtrat lumpur, maka defleksi akan positif. Kurva SP tidak
dapat direkam bila lumpur pemboran yang digunakan tidak konduktif.
Kegunaan Log SP antara lain :
1.
2.
3.
61
62
electron. Jadi density log adalah log porositas yang mengukur densitas elektron
pada formasi yang merupakan besaran Bulk Density batuan. Untuk menghitung
porositas suatu batuan, maka density matriks (pma) harus diketahui. Harga
densitas matriks setiap batuan berbeda-beda. Zona hidrokarbon memiliki low
RHOB.
63
2.3.5 Seismik
Suatu gambaran stratigrafi yang tepat dari data seismik sangat bergantung
pada data yang bebas dari noise dan juga gelombang seismik benar-benar
merefleksikan batuan sedimen sehingga keberhasilan pengambilan data dan
pemprosesan data sangat penting. Data harus bebas dari noise sebelum dimulainya
interpretasi. Variasi pada bentuk gelombang harus dapat menunjukkan gambaran
kondisi bawah permukaan. Kualitas rekaman seismik dipengaruhi pula oleh
resolusi. Resolusi merupakan kemampuan untuk memisahkan atau membedakan 2
buah obyek atau jarak minimum dari 2 buah kenampakan atau obyek dimana saru
dapat dbedakan dari yang lain.
Sifat-sifat
fisik
batuan
dan
kondisi
bawah
permukaan
sangat
64
dua tipe yang direfleksikan gelombang seismik yaitu bidang permukaan batuan
dan ketidakselarasan.
Stratigrafi seismik merupakan studi stratigrafi dan fasies pengendapan
yang dihasilkan dari interpretasi data seismik. Terminasi refleksi seismik dan
konfigurasinya yang diinterpretasikan sebagai pola - pola lapisan batuan juga
digunakan untuk pengenalan dan korelasi sekuen pengendapan, interprerasi
lingkungan pengendapan dan estimasi litofasies.
Menurut Brown dan Fisher (1980), sebuah refleksi seismik merupakan
suatu permukaan atau bidang yang isokron kecuali apabila bidang atau permukaan
tersebut merupakan suatu ketidakselarasan yang diindentifikasikan oleh
kenampakan toplap, baselap, onlap, atau truncation. Refleksi yang isokron
tersebut dapat melalui bermacam-macam fasies yang akan diidentifikasikan oleh
perubahan amplitudo, frekuensi dan lainnya. Batas fasies dapat ditunjukkan dari
pengidetifikasian perubahan waveform. Stratigrafi seismik merupakan disiplin
ilmu yang berkaitan dengan penentuan hubungan litologi dan stratigrafi bawah
permukaan yang diperoleh dari data seismik refleksi.
Hasil dari sayatan seismik menurut Vail dan Mitchum (1977) adalah
rekaman dari kronostratigrafi (time stratigraphy) dari pengendapan dan pola pola struktur geologi. Rekaman stratigrafi seismik bukan merupakan rekaman dari
litostratigrafi (rock stratigraphy) karena gambaran dari sayatan seismik
merupakan gambaran dari korelasi kronostratigrafi sehingga rekaman seismik
dapat digunakan untuk menginterpretasikan keadaan pengendapan litologi
sesudah terjadi deformasi struktural.
65
2.3.5.2. Analisis Seismik Stratigrafi
Vail dan Mitchum (1977) merekomendasikan langkah - langkah dalam
menginterpretasikan rekaman seismik yaitu:
1. Analisis sekuen seismik
2. Analisis fasies seismik
3. Analisis perubahan relatif muka air laut.
Metode interpretasi stratigrafi seismik dibagi menjadi duabagian yaitu :
1. Penentuan fasies seismik berdasarkan reflection configuration, contunuity, dan
amplitude/phase atribute dan kemudian memetakan distribusi fasies ini.
2. Penentuan batas sekuen berdasarkan konfigurasi dan terminasi refleksi.
Interpretasi fasies seismik yaitu kumpulan refleksi seismik yang sifat sifatnya (konfigurasi, amplitude, kontinuitas, frekuensi, dan internal velocity)
berbeda dengan kumpulan refleksi seismik lain yang berdekatan dengannya dalam
suatu rekaman seismik perlu memperhatikan beberapa elemen dimana elemen
tersebut dapat dibedakan kelompok demi kelompok. Tiga kriteris utama yang
digunakan dalam menentukan suatu unit fasies seismik pada data sesmik yaitu :
1) Tipe-tipe terminasi refleksi yang diasosiasikan dengan batas unit
(misalnya : toplap, onlap, offlap, downlap, truncation, dan internal
convergence).
2) Konfigurasi dari pola - pola refleksi dalam unit (misalnya : paralel,
subparalel, chaotic, sigmoidal, oblique, dan divergent).
3) Bentuk luar atau bentuk geometri unit (misalnya : sheet, wedge, lens,
66
mound atau bank).
Gambar 2.32 Pola terminasi refleksi dan tipe ketidakmenerusan (Marcuda, 1998)
67
3. Onlap, menunjukkan adanya depositional hiatus yang berkembang
selama pengendapan sedimen yang lebih muda menumpuk ke atas strata
yang lebih tua.
4. Downlap, menunjukkan ketidaksejajaran di bagian dasar dimana strata
yang lebih muda membentuk sinklin terhadap strata yang lebih tua.
Downlap
menunjukkan
suaru
hiatus
yang
berkembang
selama
pembentukan strata yang lebih muda di atas strata yang lebih tua.
5. Oblique offlap, menunjukkan hubungan strata yang lebih muda
berkembang ke arah horisontal tidak menunjukkan agradasional.
6. Agradational offlap, menunjukkan perkembangan strata ke arah
agradasional yang lebih dominan daripada perkembangan ke arah lateral
(progradasional)
7. Progradational offlap, menunjukkan perkembangan strata ke arah
progradasional dimana terbentuk selama accomodation space yang
berkurang.
68
yaitu
konfigurasi
refleksi
seismik
yang
menunjukkan
69
2.3.5.5 Karakterisasi Fasies Seismik
Marcurda (1988) menyebutkan bahwa berbagai macam lingkungan
pengendapan dari tipe kipas aluvial sampai endapan abisal, dari endapan
supratidal sampai evaporit laut dalam ditemukan dalam penampang seismik.
Kemampuan untuk mengenal dan menginterpretasikannya berhubungan dengan
kemampuan interpreter untuk dapat membedakan berbagai macam lingkungan
pengendapan, proses yang bekerja pada masing - masing lingkungan pengendapan
dan asosiasi dengan fasies lainnya. Tidak ada sifat tunggal yang menyediakan
petunjuk yang khusus dalam pengenalan fasies individual.
Empat konfigurasi seismik dasar berupa :
70