Вы находитесь на странице: 1из 36

BAB I

PENDAHULUAN
I.1

Latar Belakang
Sekian tahun terakhir era globalisasi menjadi semakin nyata, arus investasi,

perdagangan dan mobilitas sumbar daya manusia sudah tidak lagi mengenal batasbatas
negara. Investasi internasional dianggap berperan penting dalam memberikan kontribusi
perkembangan ekonomi suatu negara, terutama negara berkembang, sehingga tiap negara
berlomba-lomba untuk menarik investasi asing ke negaranya. Di banyak negara,
perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP
(gross domestic product), yang menjadi salah satu indicator kemakmuran suatu negara.
Sehingga berbagai cara ditempuh untuk mengatasi hambatan perdagangan internasional.
Selain itu, liberalisasi berdampak pada mobilitas sumber daya manusia baik secara
permanen maupun temporer. Setiap orang dapat mencari lapangan pekerjaan di negara lain
dengan alasan mencari tingkat hidup yang lebih baik, kondisi kerja dan standar yang lebih
tinggi dan alasanalasan lainnya.
Perkembangan kegiatan ekonomi di era globalisasi yang telah melewati batas-batas
yurisdiksi negara, menimbulkan permasalahan tersendiri dari sisi perpajakan. Setiap negara
mempunyai kedaulatan dalam memajaki baik atas penduduk maupun bukan penduduk yang
ada di negaranya. Prinsip tersebut mempengaruhi perlakuan perpajakan terhadap subjek
maupun objek pajak luar negeri.
Globalisasi telah melahirkan perusahaan-perusahaan multi nasional, yang umumnya
memiliki dana besar. Mereka memainkan peranan penting dalam proses investasi dan
perdagangan internasional. Tidak dapat dihindari, perusahaan multinasional yang
mempunyai jangkauan luas lintas negara, harus berkompetisi dengan perusahaan lain.
Dengan dana besar yang dimiliki, mereka mempunyai pengaruh kuat dalam politik global.

Negara-negara sering kali menawarkan fasilitas untuk menarik investasi, seperti seperti
penurunan tarif pajak bahkan ada beberapa negara menawarkan tidak mengenakan pajak
sama sekali. Alternatif-alternatif yang ditawarkan oleh negara-negara tersebut tentu saja
tidak diabaikan oleh perusahaan yang memang berusaha melakukan efisiensi beban pajak.
Kondisi ini memunculkan apa yang disebut dengan pilihan rezim pemajakan (preferential
tax regime). Kebijakan suatu negara yang tidak mengenakan pajak atau mengenakan pajak
dengan sangat rendah sering disebut dengan istilah tax haven. Tentu saja keberadaan tax
haven country akan merugikan negara lain yang tidak menerapkan kebijakan yang sama.
Adanya tax haven country merupakan cikal bakal terjadinya praktik yang tidak sehat di
bidang perpajakan internasional, di antaranya transfer pricing, controlled foreign
corporation dan treaty shopping. Supaya praktek-praktek perpajakan ini tidak merugikan
penerimaan negara, tiap negara umumnya mempunyai seperangkat aturan untuk
menangkalnya.
Pajak Internasional pada dasarnya berdasarkan pada ketentuan pemajakan domestik
yang berlaku terhadap wajib pajak dalam negeri yang memperoleh penghasilan dari luar
negeri dan terhadap wajib pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Selain pada ketentuan domestik, pajak internasional juga berdasarkan pada perjanjian
perpajakan dan praktek perpajakan global (Gunadi, 1997). Dengan kata lain pajak
internasional akan berbicara mengenai bagaimana pemajakan atas penghasilan orang asing
atau perusahaan (badan) asing yang diterima dari Indonesia dan bagaimana pemajakan atas
penghasilan orang atau perusahaan (badan) Indonesia atas penghasilan yang diterima dari
luar negeri, dengan berdasarkan UU domestik dan UU negara lain serta perjanjian
perpajakan (tax treaty).
BAB II
LANDASAN TEORI

II.1

Konsep Dasar Pajak Internasional

II.1.1 Pajak Internasional


Pajak Internasional menurut Sriadi (Kepala Seksi Perjanjian Perpajakan Eropa,
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP)) adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku
di antara negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan
pelaksanaanya dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta
Sunservanda).
Secara umum, ketentuan pajak internasional suatu negara meliputi 2 (dua) dimensi
luas yaitu:
a. Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas penghasilan dari luar
negeri, dan
b. Pemajakan terhadap wajib pajak luar negri (WPLN) atas penghasilan dari dalam
negeri (domestik).
Hukum Pajak Internasional dalam arti sempit menurut Ottmar Buhler adalah
kaedah-kaedah norma hukum perselisihan yang didasarkan pada hukum antar bangsa
(hukum internasional), sedangkan hukum pajak internasional dalam arti luas adalah
kaedah-kaedah hukum antar bangsa ini ditambah peraturan nasional yang mempunyai
obyek hukum perselisihan khususnya tentang perpajakan.
Hukum Pajak Internasional menurut Adrianni adalah keseluruhan peraturan yang
mengatur tata tertib hukum dan yang mengatur soal penyedotan daya beli itu di masyarakat.
Hukum pajak internasional merupakan suatu kesatuan hukum yang mengupas persoalan
yang diatur dalam undang-undang (UU) nasional mengenai:

Pemajakan terhadap orang-orang Luar Negeri (LN)


Peraturan-peraturan nasional untuk menghindarkan pajak berganda
Traktat-traktat
Menurut negara-negara Anglo Sakson, hukum pajak internasional dibagi sebagai

berikut:

Hukum Pajak Nasional (National External Tax Law)

Hukum pajak nasional merupakan hukum pajak nasional yang memuat ketentuanketentuan mengenai pengenaan pajak yang mempunyai daya kerja samppai diluar
batas-batas negara karena terdapat unsur-unsur asing, baik mengenai objeknya

(sumber ada di luar negeri) maupun mengenai subjeknya (subjek ada di luar negeri)
Hukum Pajak Luar Negeri (Foreign Tax Law)
Hukum pajak luar negeri adalah keseluruhan perundang-undangan dan peraturan

pajak dari negara-negara yang ada diseluruh dunia.


Hukum Pajak Internasional (Internasional Tax Law)
Hukum pajak internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak
yang berdasarkan hukum antar negara seperti traktat-traktat, konvensi, dan lain
sebagainya, dan berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima
baik oleh negara-negara di dunia, mempunyai tujuan mengatur soal perpajakan
antara negara yang saling mempunyai kepentingan. Sedangkan dalam arti luas,
hukum pajak internasional adalah keseluruhan kaedah baik yang berdasrkan traktattraktat, konvensi-konvensi, dan prinsip hukum pajak yang diterima baik oleh
negara-negara didunia, maupun kaedah-kaedah nasional yang mempunyai sebagai
objeknya pengenaan pajak dalam mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing,
hal mana mungkin dapat menimbulkan bentrokan hukum antara dua negara atau
lebih.

II.1.2 Sumber-Sumber Hukum Pajak Internasional


Sumber hukum pajak internasional terdiri dari:
a. Hukum pajak nasional yaitu peraturan pajak sepihak yang tidak ditujukan kepada
pihak lain.
b. Traktat yaitu perjanjian pajak dengan negara lain
Untuk menghindari pajak berganda
Untuk mengatur perlakuan fiscal terhadap orang asing
Untuk mengatur mengenai laba Badan Usaha Tetap (BUT)
Untuk memberantas penyelundupan pajak
c. Putusan Hakim (Nasional maupun Internasional)
Tujuan umum pajak internasional adalah untuk mengeliminasi gejala pajak ganda.

II.1.2.1 Sumber Hukum Pajak Internasional Indonesia


Sumber-sumber Hukum Pajak Intenasional terlalu luas jika ingin kita kaji, sehingga
dipersempit hanya terkait dengan Negara Indonesia, sumber-sumber hukum terebut antara
lain :
A. Kaedah Hukum Pajak Nasional/Inilaateral yang mengandung unsur asing, antara
lain :
a. Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh)
tentang Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan negara lain
dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.;
b. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang : Subjek Pajak Luar
Negeri dan Bentunk Usaha Tetap (BUT);
c. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk
Subyek Pajak;
d. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 5 ayat (2) UU PPh) tentang: Peraturan
Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subyek Pajak
Bentuk Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak
Termasuk Subjek Pajak Usaha Tetap;
e. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan Istimewa,
Billamana Terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan;
f. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak Luar
Negeri;
g. Peraturan Perpajakan Nasianal (Pasal 26 UU PPh) tentang: Pemotongan Pajak
atas Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia.
B. Kaedah-kaedah yang berasal dari traktat:
a. Perjanjian bilateral;
b. Perjanjanjian ini diwujudkan dengan adanya Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda (P3B).
c. Perjanjian multirateral
Perjanjian ini seperti Konvensi Wina.
C. Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-pajak
Internasional.

Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang
menyangkut tentang perpajakan Internasional, atau Keputusan Pengadilan
internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan.
Berdasarkan Pasal 32 A Undang-undng Pajak Penghasilan, pemerintah berwenang
untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran
Pajak Berganda dan pencegahan Pengelakan Pajak. Dalam penjelasannya, perjanjian ini
dimaksudkan dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan
negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang
mengatur hak-hak pengenaan pajak dari masing-masing negara guna memberikan kepastian
hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda serta pengelakan pajak. Adapun
bentuk dan meterinya mengacu pada Konvensi Internasional dan ketentuan lainnya serta
ketentuan perpajakan nasional masing-masing negara. Atas dasar tersebut maka Negara
Indonesia mengakui Konvensi Wina tahun 1961 (CD) dan 1963 (CC), dan tax treaty
berbagai negara.
Menurut Rochmat Soemitro, dalam Hukum Pajak Internasional mencakup juga
perjanjian bilateral perpajakan yang disebut dengan istilah Traktat antar negara utuk
mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukan adanya unsur-unsur asing,
baik mengenai subyeknya maupun mengenai obyeknya.
Kekuasaan Negara itu tidak hanya menciptakan UU Pasal 23 ayat 2 UUD 1945,
namun kekuasaan ini juga tercemin dalam mana negara mempertahankan kedaulatan negara
dimana tidak ada Hukum Internasional mana atau oleh siapa yang dapat membatasi
wewneng ini.
Apabila negara kita tidak tunduk dan patuh terhadap hukum internasional, maka
negara kita akan diberikan sanksi secara bersama oleh negara yang mengikuti konvensi
tersebut, dalam hal demikian Indonesia akan dikucilkan dalam dunia internasional dan

berdampak terhadapperekonomian negara Indonesia secara keseluruhan, sehingga mau


tidak mau Indonesia harus turut serta menjalankan konvensi tersebut.
Di Indonesia, pajak internasional khususnya mengenai P3B diatur dalam Pasal 32A
UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun
2008. Kedudukan P3B berdasarkan ketentuan ini adalah lex specialist terhadap Undangundang domestik. Dengan demikian, jika ada ketentuan dalam undang-undang domestik
bertentangan dengan ketentuan dalam P3B maka yang dimenangkan adalah ketentuan P3B.
Saat ini sudah ada sekitar 58 P3B Indonesia dengan negara lain yang sudah berlaku
efektif. Jumlah ini akan terus bertambah karena ada beberapa P3B lagi yang belum berlaku
efektif tetapi masih dalam proses perundingan, penandatanganan, ratifikasi atau proses
pemberlakuan. Beberapa ketentuan pelaksanaan terkait pelaksanaan atau penerapan P3B ini
adalah antara lain:
o PER-61/PJ./2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda.
o PER-62/PJ./2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda.
o PER-67/PJ./2009 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan P3B.
Dalam P3B OECD Model, ketentuan tentang pertukaran informasi dimuat dalam
Pasal 26. Sementara itu aturan internal di Indonesia untuk melakukan proses pertukaran
informasi diatur dalam SE-61/PJ/2009.
Sementara itu, proses pembentukan P3B seperti proses pendekatan, perundingan,
ratifikasi serta pemberlakuannya tunduk kepada UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional.
II.1.3 Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional
Untuk memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masingmasing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat

perdagangan dan investasi tersebut. Salah satu upaya untuk meminimalkan beban tersebut
adalah dengan melakukan penghindaraan pajak berganda internasional.
Adanya kebijakan pajak internasional dimaksudkan terutama untuk menghilangkan
pajak berganda (double tax). Pajak berganda ini timbul karena dua negara mengenakan
pajak atas penghasilan yang sama. Ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda (P3B) yang dimaksudkan untuk mencegah pengenaan pajak berganda ini
misalnya:
a. Adanya ketentuan untuk menyelesaikan kasus dual residence, di mana seseorang
atau badan diakui sebagai subjek pajak dalam negeri (resident tax person) oleh dua
negara yang berbeda.
b. Adanya ketentuan pembagian hak pemajakan dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 21
P3B untuk jenis-jenis penghasilan tertentu. Pembagian hak pemajakan ini ada yang
bersifat ekslusif diberikan hanya kepada satu negara dan ada juga yang berupa
pembatasan kepada suatu negara untuk mengenakan pajak.
c. Adanya ketentuan tentang Corresponding Adjustment terhadap lawan transaksi di
suatu negara dalam hal negara yang lain melakukan koreksi terhadap satu Wajib
Pajak yang melakukan transfer pricing.
d. Adanya ketentuan tentang Mutual Agreement Procedures (MAP) di mana jika satu
Wajib Pajak diperlakukan tidak sesuai dengan ketentuan P3B di negara lain maka
Wajib Pajak tersebut dapat meminta otoritas pajak untuk menyelesaikan masalahnya
melalui MAP ini.
Selain untuk mencegah pengenaan pajak berganda, P3B juga dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengelakan pajak (tax
evasion). Jika tujuan-tujuan tersebut tercapai tentu saja pada akhirnya P3B dapat
menghilangkan hambatan dalam lalu lintas perdagangan, modal dan investasi antar negara
sehingga pada akhirnya dapat dicapai kesejahteraan suatu negara karena sumber daya
dialokasikan secara efisien.

Perpajakan berganda internasional terjadi karena benturan antar klaim perpajakan.


Hal ini karena adanya prinsip perpajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global
principle) dimana penghasilan dari dalam luar negeri dan dalam negeri dikenakan pajak
oleh negara residen (negara domisili wajib pajak). Selain itu, terdapat pemajakan teritorial
(source principle) bagi wajib pajak luar negeri (WPLN) oleh negara sumber penghasilan
dimana penghasilan yang bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak oleh negara
sumber. Hal ini membuat suatu penghasilan dikenakan pajak dua kali, pertama oleh negara
residen lalu oleh negara sumber. Bentokran klaim lebih diperparah bila terjadi dual residen,
dimana terdapat dua negara sama-sama mengklaim seorang subjek pajak sebagi wajib pajak
dalam negerinya yang menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali.

II.1.4 Prinsip-prinsip dalam Perpajakan Internasional


Doernberg (1989) menyebut 3 unsur prinsip-prinsip netralitas yang harus dipahami
dalam perpajakan internasional yang harus dipenuhi dalam kebijakan perpajakan
internasional:
1. Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik)
Kemanapun kita berinvestasi, beban pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga
tidak ada bedanya bila kita berinvestasi di dalam atau luar negeri. Maka jangan
sampai bila berinvestasi di luar negeri, beban pajaknya lebih besar karena
menanggung pajak dari dua negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Psl 24 yang
mengatur kredit pajak luar negeri.
2. Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional)
Darimanapun investasi berasal, dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor
dari dalam negeri atau luar negeri akan dikenakan tarif pajak yang sama bila
berinvestasi di suatu negara. Hal ini melandasi hak pemajakan yang sama denagn
Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent establishment (PE) atau

Badan Uasah Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang perusahaan ataupun kegiatan
jasa yang melewati time-test dari peraturan yang berlaku.
3. National Neutrality
Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang sama. Sehingga bila
ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan boleh dikurangkan sebagai biaya
pengurang laba.
II.2

Pemajakan Lintas Negara


Pemajakan berganda terjadi karena benturan antar klaim pemajakan. Hal ini karena

adanya prinsip pemajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global principle) dimana
penghasilan dari dalam luar negeri dan dalam negeri dikenakan pajak oleh negara residen
(negara domisili wajib pajak). Selain itu, terdapat pemajakan teritorial (source principle)
bagi wajib pajak luar negeri (WPLN) oleh negara sumber penghasilan dimana penghasilan
yang bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak oleh negara sumber. Hal ini membuat
suatu penghasilan dikenakan pajak dua kali, pertama oleh negara residen lalu oleh negara
sumber Misalnya: PT A punya cabang di Jepang. Penghasilan cabang di jepang dikenakan
pajak oleh fiskus Jepang. Lalu di Indonesia penghasilan itu digabung dengan penghasilan
dalam negeri lalu dikalikan tarif pajak UU domestik Indonesia.
Bentokran klaim lebih diperparah bila terjadi dual residen, dimana terdapat dua
negara sama-sama mengklaim seorang subjek pajak sebagi wajib pajak dalam negerinya
yang menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali. Misalnya: Mr. A bekerja di
Indonesia lebih dari 183 hari namun setiap sabtu dan minggu ia pulang ke rumahnya di
Singapura. Mr. A dianggap WPDN oleh Indonesia dan juga Singapura sehingga untuk wajib
melapor dan membayar pajak untuk penghasilan globalnya pada Indonesia maupun
Singapura.
Dalam kaitan pembagian hak pemajakan ini, negara-negara yang melakukan
perjanjian perpajakan dibagi menjadi dua jenis. Pertama adalah negara sumber (source
country) yang merupakan negara di mana penghasilan yang merupakan objek pajak timbul.

10

Kedua adalah negara domisili (resident country) yaitu negara tempat subjek pajak
bertempat tinggal, berkedudukan atau berdomisili berdasarkan ketentuan perpajakan.
Baik negara sumber maupun negara domisili biasanya berhak untuk mengenakan
pajak berdasarkan undang-undang domestiknya. Pengenaan pajak oleh dua yurisdiksi
perpajakan terhadap satu jenis penghasilan inilah yang biasanya menimbulkan pengenaan
pajak berganda sehingga perlu diatur dalam suatu persetujuan antara negara sumber dan
negara domisili.
II.3

Konsep Juridical versus Economic Double Taxation


Dalam komentar atau Pasal 23 A dan 23 B model P3B OECD membedakan antara

pajak berganda yuridis (juridical double taxation) dengan pajak ganda ekonomis (economic
double taxation). Pajak berganda yuridis terjadi apabila atas penghasilan yang sama yang
diterima oleh orang yang sama dikenakan pajak oleh lebih dari satu negara, sedangkan
pajak berganda ekonomis terjadi apabila dua orang yang berbeda (secara hukum) dikenakan
pajak atas suatu penghasilan yang sama (atau identik).
Atas perbedaan tersebut Arnold dan McIntyre (2002) menyebutkan sebagai definisi
legal atas Pajak Berganda Internasional (sebutan lain dari PBI yuridis) dan konsep
ekonomis yang luas atas PBI. Berdasar definisi legal, pemajakan badan usaha (atau
perusahaan induk) oleh suatu Negara dan pemajakan atas pemegang saham (atau
perusahaan anak) oleh negara lain bukanlah suatu pajak berganda karena mereka
merupakan dua subjek hukum yang berbeda. Namun demikian, secara ekonomis PBI terjadi
dalam kasus badan dengan pemegang sahamnya karena mereka merupakan satu kesatuan
ekonomis. Pajak bergganda ekonomis dapat terjadi apabila penghasilan dikenakan pajak
pada persekutuan dan kepada sekutu, atau kepada lembaga wali amanat (trust) dan pemilik
manfaat manat (beneficiaries), dan pemajakan penghasilan pada keluarga dan anggota
keluarga.

11

Dalam komentar atas Pasal 23A dan 23B, model konvensi OECD menjelaskan
tentang PBI yuridis dan ekonomis. Sementara PBI yuridis terjadi apabila suatu penghasilan
(atau modal) yang sama dikenakan pajak di tangan orang (subjek) yang sama oleh lebih
dari satu Negara, PBI ekonomis timbul apabila dua orang yang (secara yuridis) berbeda
dikenakan pajak atas suatu penghasilan (atau modal maupun objek) yang sama (oleh lebih
dari satu negara). Dalam PBI yuridis tampak bahwa pemajakan oleh lebih dari satu negara
tersebut dilakukan terhadap satu subjek legal yang sama (legal identityof subject). Di pihak
lain, PBI ekonomis meliputi pemajakan atas objek yang sama terhadap legal subjek yang
berbeda, namun secara ekonomis identik atau setidaknya merupakan para wajib pajak yang
terdapat hubungan (economic identity of subject).

II.4

Prinsip Non Diskriminasi


Ketentuan non diskriminasi dimaksudkan untuk memberikan perlindungan di

bidang perpajakan bagi warga negara dari suatu negara treaty partner yang melakukan
kegiatan di negara treaty partner lainnya. Perlindungan yang dimaksud adalah warga
negara dari negara treaty partner lainnya dibandingkan warga negara di negara itu dalam
keadaan atau kondisi yang sama (the same circumstances).
Ketentuan non diskriminasi itu berlaku atas suatu bentuk usaha tetap dari
perusahaan yang adalah penduduk dari suatu negara treaty partner lainnya atau perusahaan
penanaman modal di negara itu yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki atau
dikuasai baik langsung maupun tidak langsung oleh penduduk dari negara yang disebutkan
pertama. Namun, ketentuan ini tidak mewajibkan negara treaty partner lainnya
memberikan keringanan (allowances), potongan (reliefs) ataupun pengurangan (deductions)
pengenaan pajak kepada warga negara atau penduduk dari negara yang disebutkan pertama
di atas.

12

Sebagai perusahaan yang berorientasi laba, sudah tentu suatu perusahaan domestik
maupun perusahaan multinasional berusaha meminimalkan beban pajak dengan cara
memanfaatkan kelemahan sistem ketentuan pajak dari suatu negara. Di banyak negara,
skema penghindaran pajak dapat dibedakan menjadi:
1. Penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance).
2. Penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax avoidance).
Antara suatu negara dengan negara lain bisa jadi saling berbeda pandangannya
tentang skema apa saja yang dapat dikategorikan sebagai acceptable tax avoidance atau
unacceptable tax avoidance. Dengan demikian, bisa saja suatu skema penghindaran pajak
tertentu di suatu negara dikatakan sebagai penghindaran pajak yang tidak diperkenankan,
tetapi di negara lain dikatakan sebagai penghindaran pajak yang diperkenankan. Istilah lain
yang sering dipergunakan untuk menyatakan penghindaran pajak yang tidak diperkenankan
adalah aggressive tax planning dan istilah untuk penghindaran pajak yang diperkenankan
adalah defensive tax planning.
Dalam buku-buku perpajakan, istilah tax avoidance biasanya diartikan sebagai
suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan
memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan suatu negara.
Dengan demikian, banyak ahli pajak menyatakan skema tersebut sah-sah saja (legal) karena
tidak melanggar ketentuan perpajakan. Lebih lanjut, The Asprey Comittee of Australia,
seperti yang dikutip oleh Indrayagus Slamet menyatakan bahwa tax avoidance umumnya
menyangkut perbuatan yang masih dalam koridor hukum tapi tidak berdasarkan bonafide
dan adequate consideration, atau berlawanan dengan maksud dari pembuat undang-undang
(the intention of parliament).
Tax planning adalah upaya Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yang terutang
melalui skema yang memang telah jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan dan sifatnya tidak menimbulkan dispute antara Wajib Pajak dan otoritas pajak.

13

Sedangkan tax evasion diartikan sebagai suatu skema memperkecil pajak yang
terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal) seperti dengan cara tidak
melaporkan sebagian penjualan atau memperbesar biaya dengan cara fiktif.
Berkaitan dengan tax avoidance, pertanyaan yang layak kita ajukan adalah apakah
suatu skema transaksi yang tujuannya semata-mata untuk penghindaran pajak (tidak ada
tujuan bisnisnya) dengan cara memanfaatkan kelemahan ketentuan perpajakan yang ada
dapat dibenarkan? Dalam konteks perpajakan internasional, ada berbagai skema yang biasa
dilakukan oleh PMA untuk melakukan penghematan pajak yaitu dengan skema seperti (i)
transfer pricing, (ii) thin capitalization, (iii) treaty shopping, dan (iv) controlled foreign
corporation (CFC).
Pada umumnya dalam melakukan penghematan pajak tersebut, Wajib Pajak dapat
menjalankan dalam bentuk:
1. Substantive tax planning, yang terdiri atas:
a. Memindahkan subjek pajak (transfer of tax subject) ke negara-negara yang
dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak
khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
b. Memindahkan objek pajak (transfer of tax subject) ke negara-negara yang
dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak
khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
c. Memindahkan subjek pajak dan objek pajak (transfer of tax subject and of tax
object) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara
yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis
penghasilan.
2. Formal tax planning
Melakukan penghindaran pajak dengan cara tetap mempertahankan substansi
ekonomi dari suatu transaksi dengan cara memilih berbagai bentuk formal jenis
transaksi yang memberikan beban pajak yang paling rendah.
II.5

Konsep Anti Tax Avoidance

14

Dalam menghadapi skema-skema unacceptable tax avoidance atau aggressive tax


planning seperti tersebut di atas, umumnya suatu negara menerbitkan ketentuan
pencegahan penghindaran pajak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan sebagai berikut ini:
1. Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak atas
transaksi seperti (i) transfer pricing, (ii) thin capitalization, (iii) treaty shopping,
dan (iv) controlled foreign corporation (CFC).
2. General Anti Avoidance Rule (GAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak
untuk mencegah transaksi yang semata-mata dilakukan oleh Wajib Pajak yang
semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak atau transaksi yang tidak mempunyai
substansi bisnis.
Di banyak negara, seperti di Israel dan Kanada, telah membuat suatu ketentuan untuk
menangkal praktik unacceptable tax avoidance atau aggressive tax planning yang
dilakukan oleh Wajib Pajak. Hal ini disebabkan karena tax planning yang dilakukan oleh
Wajib Pajak tidak bersifat defensive tax planning lagi tetapi sudah semakin offensive yaitu
dengan membuat suatu transaksi semu yang pada dasarnya tidak ada tujuan bisnisnya atau
membuat suatu entitas usaha di negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven
country. Di Australia, skema-skema yang dapat dikategorikan sebagai aggressive tax
planning oleh Australian Taxation Office (ATO) adalah sebagai berikut:
1. Transaksi yang dibuat semata-mata untuk tujuan menghindari pajak. Dengan kata
lain transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan bisnis, kalaupun ada tujuan bisnisnya
tetapi sangat tidak signifikan.
2. Berusaha untuk mendapatkan fasiltas pajak yang sebenarnya fasilitas pajak tersebut
tidak ditujukan kepadanya.
3. Membuat transaksi yang berputar-putar yang akhirnya transaksi tersebut akan
kembali lagi kepadanya (round-robin flow of funds).
4. Penggelelembungan nilai aset untuk mendapatkan biaya penyusutan yang besar di
masa yang akan datang.

15

5. Memanfaatkan suatu entitas usaha di mana penghasilan yang diterima oleh entitas
usaha tersebut dikecualikan sebagai objek pajak.
6. Transaksi bisnis yang melibatkan negara-negara yang dikategorikan sebagai tax
haven countries.
Bagaimana dengan Indonesia?
Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan kita yang berlaku saat ini, belum
ada definisi yang jelas mengenai tax planning, agresive tax planning, acceptable tax
avoidance dan unacceptable tax avoidance. Dengan demikian, dalam praktiknya sering
menimbulkan penafsiran yang berbeda antara Wajib Pajak dan aparat pajak. Wajib Pajak
dan aparat pajak tentu akan memberikan penafsiran sendiri-sendiri yang menguntungkan
mereka, sehingga menimbulkan ketidakpastian hokum.
Dari sudut pandang Wajib Pajak, tentu akan berpendapat bahwa sepanjang skema
penghindaran pajak yang mereka lakukan tidak dilarang dalam peraturan perundangundangan perpajakan tentu sah-sah saja (legal). Hal ini dimaksudkan untuk memberikan
kepastian hokum bagi Wajib Pajak. Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah tentu juga
berkepentingan bahwa jangan sampai suatu ketentuan perpajakan disalahgunakan oleh
Wajib Pajak untuk semata-mata tujuan penghindaran pajak yang akan merugikan
penerimaan Negara. Oleh karena itu, untuk kepastian hokum baik bagi Wajib Pajak maupun
bagi pemerintah, ketentuan tax planning, tax avoidance, dan anti tax avoidance yang
berupa Specific Anti Avoidance Rule (SAAR)

maupun General Anti Avoidance Rule

(GAAR) harus diatur secara jelas dan rinci dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, baik untuk ketentuan formalnya yaitu terkait dengan sanksi, maupun dalam
ketentuan materialnya.
II.6

Bentuk Usaha Tetap (BUT)

II.6.1 Pengertian Bentuk Usaha Tetap (BUT)

16

Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) pasal 2 ayat
(5), Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o

Tempat kedudukan manajemen;


Cabang perusahaan;
Kantor perwakilan;
Gedung kantor;
Pabrik;
bengkel;
Gudang;
Ruang untuk promosi dan penjualan;
Pertambangan dan penggalian sumber alam;
Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan;
Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang

dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
o Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o Agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia; dan
o Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan
usaha melalui internet.
Salah satu contoh BUT: Perusahaan Cina yang memenangkan tender pembangunan
PLTU maka untuk membangun PLTU tersebut, perusahaan dari Cina mendirikan
BUT yang akan beroperasi selama pembangunan PLTU tersebut. Setelah proyek
tersebut selesai maka BUT tersebut bubar dan mengajukan penghapusan NPWP.

17

II.6.2 Pajak Penghasilan BUT


Berdasarkan UU PPh pasal 2 ayat (1a), Subjek Pajak/Wajib Pajak luar negeri yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia, pemenuhan
kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib
Pajak badan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPh dan UndangUndang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
A. Penghasilan Objek Pajak BUT
Obyek pajak BUT berdasarkan pasal 5 ayat (1) UU PPh dikategorikan dalam tiga
jenis, yaitu:
a. Attribution Income
Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki atau
dikuasai.
b. Force of Attraction Income
Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang
dilakukan oleh BUT di Indonesia.
Contoh:
Kantor pusat sebuah bank di luar negeri yang mempunyai BUT di Indonesia
memberikan pinjaman langsung kepada nasabah di Indonesia tanpa melalui BUT
nya. Bunga pinjaman yang diterima kantor pusat nya dianggap sebagai penghasilan
BUT.
Kantor Pusat perusahaan di luar negeri yang memproduksi mobil menjual langsung
mobil hasil produksinya kepada konsumen di Indonesia tanpa melalui BUT nya.
Kegiatan BUT di Indonesia juga menjual produk yang sama. Keuntungan yang
diterima oleh kantor pusat nya dianggap sebagai penghasilan BUT nya.
c. Effectively Connected Income
Penghasilan berdasarkan Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat,
sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang
memberikan penghasilan dimaksud.

18

Contoh: JZ Ltd menutup perjanjian lisensi dengan PT. Alfa untuk penggunaan merk
dagang JZ Ltd. Atas lisensi tersebut, JZ Ltd menerima royalty dari PT. Alfa.
Sehubungan dengan perjanjian lisesnsi tersebut, JZ Ltd juga memberikan jasa
teknik (technical assistant) kepada PT. Alfa melalui BUT nya yang berada di
Indonesia. Penggunaan merk dagang JZ Ltd oleh PT. Alfa mempunyai hubungan
efektif dengan BUT JZ Ltd karenanya penghasilan JZ Ltd berupa royalty
diperlakukan sebagai penghasilan BUT nya di Indonesia.
B. Biaya/ Pengurang Penghasilan BUT
Berdasarkan pasal 6 ayat (1) seperti halnya wajib pajak badan dalam negeri, bentuk
usaha tetap dapat mengurangkan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, termasuk :
a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha,
antara lain:
1. biaya pembelian bahan;
2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium,
3.
4.
5.
6.
7.

bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;


bunga, sewa, dan royalti;
biaya perjalanan;
biaya pengolahan limbah;
premi asuransi;
biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan

Menteri Keuangan;
8. biaya administrasi; dan
9. pajak kecuali Pajak Penghasilan.
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal
11A;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;

19

d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
e.
f.
g.
h.

penghasilan;
kerugian selisih kurs mata uang asing;
biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat :
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak; dan
3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis
mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang antara kreditur dan debitur
yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau
khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan
untuk jumlah utang tertentu.
4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan
piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf k yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan


i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah;
j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah
k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah; dan
m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

20

Namun ada yang membuat BUT berbeda dengan Subjek Pajak badan dalam negeri
yaitu bahwa selain diperbolehkan untuk mengurangkan biaya-biaya di atas, berdasarkan
Pasal 5 ayat (2) UU PPh, BUT juga diperbolehkan untuk mengurangkan biaya-biaya yang
berkenaan dengan:
a. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian
jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh
BUT di Indonesia;
Contoh
Suatu perusahaan konsultan di luar negeri mempunyai BUT di Indonesia. Apabila
kantor pusat perusahaan konsultan tersebut memberikan jasa konsultasi secara
langsung di Indonesia yang sama dengan jenis jasa yang dilakukan oleh BUT-nya di
Indonesia, penghasilan kantor pusat tersebut akan dianggap sebagai penghasilan
BUT yang ada di Indonesia. Karena penghasilan kantor pusat tersebut dianggap
sebagai penghasilan BUT yang ada di Indonesia, biaya-biaya kantor pusat yang
terkait dengan penghasilan tersebut dapat dikurangkan juga oleh BUT di Indonesia.
b. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 UU PPh yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan
harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
Contoh:
X Inc. mengadakan perjanjian lisensi dengan PT Y untuk mempergunakan merek
dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa
royalti dari PT Y. Sehubungan dengan perjanjian tersebut, X Inc. juga memberikan
jasa manajemen kepada PT Y melalui BUT-nya di Indonesia. Dalam hal demikian,
penggunaan merek dagang oleh PT Y mempunyai hubungan efektif dengan BUT di
Indonesia, dan oleh karena itu penghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut
diperlakukan sebagai penghasilan BUT. Karena penghasilan X Inc. berupa royalti
dianggap sebagai penghasilan BUT-nya, biaya-biaya X Inc. yang terkait dengan
penghasilan royalti tersebut dapat dikurangkan juga oleh BUT di Indonesia

21

c. biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya
yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
d. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-62/PJ./1995, biaya
administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan
bruto yang diterima atau diperoleh suatu BUT di Indonesia adalah biaya
administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat yang berkaitan dan dalam rangka
untuk menunjang usaha atau kegiatan BUT yang bersangkutan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan. Besarnya biaya administrasi kantor pusat
yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto di Indonesia
sebagaimana dimaksud di atas setinggi-tingginya adalah sebanding dengan besarnya
peredaran usaha atau kegiatan BUT di Indonesia terhadap seluruh peredaran usaha
atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia. Atau, batas tersebut dapat diformulasikan
sebagai berikut:
(Peredaran usaha BUT di Indonesia/ Peredaran usaha perusahaan di seluruh
dunia) x Biaya administrasi kantor pusat
Seperti halnya Wajib Pajak badan dalam negeri, untuk menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak BUT, berdasarkan pasal 9 ayat (1) UU PPh tidak boleh
dikurangkan:
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk
dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan
konsumen, dan perusahaan anjak piutang;

22

2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk
3.
4.
5.
6.

oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;


cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah
industri untuk usaha pengolahan limbah industri,

yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan


Menteri Keuangan;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika
dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi
Wajib Pajak yang bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman
bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan
kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta
zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah;
h. Pajak Penghasilan;

23

i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak
atau orang yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
Yang membedakan BUT dari Subjek Pajak badan dalam negeri adalah bahwa selain
tidak diperbolehkan mengurangkan biaya-biaya di atas, berdasarkan Pasal 5 ayat (3) huruf c
UU PPh, BUT juga tidak diperbolehkan mengurangkan pembayaran kepada kantor pusat
dalam bentuk:
a. royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hakhak
lainnya;
b. imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
c. bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan;
Konsisten dengan perlakuan ini, maka menurut UU PPh pembayaran dalam bentuk tersebut
di atas yang diterima atau diperoleh dari kantor pusat tidak dianggap sebagai Obyek Pajak,
kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
C. Kegiatan yang Bukan termasuk BUT
Kegiatan yang tidak dianggap Bentuk Usaha Tetap adalah sebagai berikut:
a. Penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dengan maksud untuk menyimpan atau
memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan.
Contoh: PT So Far ltd. merupakan perusahaan dari Australia menyewa tempat
sebagai show room untuk barang dagangan.
b. Pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan
semata-mata dengan maksud untuk disimpan atau dipamerkan.

24

Contoh: PT Li Xio dari China akan melakukan pameran produknya di Indonesia,


dalam rangka kegiatan tersebut PT Li Xio menyewa tempat dan menggunakan jasa
event organizer dari Indonesia untuk mengurusi pameran tersebut.
c. Pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan
semata-mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan lain.
Contoh: PT ABC merupakan perusahaan milik Singapura yang menyewa gudang di
Indonesia, PT ABC mengimpor sejumlah bahan baku dari perusahaan induk yang
ada di Singapura dan disimpan digudang yang ada di Indonesia, bahan baku tersebut
akan diserahkan kepada PT DEF yang berkedudukan di Jakarta untuk diolah
kembali.
d. Pengurusan suatu tempat tertentu semata-mata dengan maksud untuk pembelian
barang-barang atau barang dagangan atau untuk mengumpulkan keterangan bagi
keperluan perusahaan.
Contoh: PT Andalucia dari Spanyol mempunyai sebuah gudang penyimpanan di
Jakarta untuk menyimpan barang dagangan berupa barang kerajinan dari bambu
yang dibeli dari pengrajin Sukabumi. Barang barang tersebut akan dikirimkan ke
Spanyol untuk diperdagangkan.
e. Pengurusan suatu tempat tertentu semata-mata dengan maksud untuk kegiatankegiatan yang bersifat persiapan atau penunjang bagi perusahaan.
f. Pengurusan suatu tempat usaha tertentu semata-mata dengan maksud untuk setiap
kegiatan kegiatan gabungan dari yang disebut dalam sub-ayat (a) sampai (e), asal
saja keseluruhan kegiatan di tempat usaha tertentu itu bersifat persiapan atau
penunjang.
g. Sebuah perusahaan dari satu Negara pihak pada persetujuan tidak akan dianggap
mempunyai suatu BUT di Negara Pihak pada persetujuan lainnya semata-mata
karena perusahaan itu menjalankan usaha di negara lain tersebut melalui makelar,
komisioner umum atau agen lainnya yang berdiri sendiri, sepanjang mereka
bertindak dalam rangka usahanya yang lazim. Walaupun demikian, bilamana

25

kegiatan agen seluruhnya atau hampir seluruhnya dilakukan atas nama perusahaan
itu, ia tidak akan dianggap sebagai agen yang berdiri sendiri.
D. Tarif Pajak Bentuk Usaha Tetap
Seperti halnya wajib pajak badan dalam negeri, tarif pajak yang diterapkan atas
penghasilan kena pajak bagi BUT, dalam pasal 17 ayat (1 huruf a) adalah sebesar 28%.
Berdasarkan pasal 17 ayat (2a) Tarif tersebut menjadi 25% yang mulai berlaku sejak tahun
pajak 2010.
Namun demikian ada perbedaan dengan wajib pajak badan dalam negeri,
berdasarkan pasal 26 ayat (4) UU PPh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak
dari suatu BUT akan dikenakan pajak tambahan (branch profit tax) sebesar 20%, kecuali
apabila penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia dan memenuhi persyaratanpersyaratan

yang

ditetapkan

dengan

Peraturan

Menteri

Keuangan

Nomor

257/PMK.03/2008, yaitu :
a. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah
dikurangi Pajak Penghasilan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang
baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
b. Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagaimana
dimaksud pada huruf a, harus secara aktif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan
akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan;
c. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau paling lama tahun
pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut;
dan
d. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling singkat dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan baru tersebut telah berproduksi
komersial
UU No. 36 Tahun 2008
o Tarif Pasal 17

26

Tahun
2009
2010

Tarif
28%
25%

o Tarif Pasal 26 ayat (4)


Tarif 20% dari sisa laba setelah pajak.

II.7

Penanaman Modal Asing (PMA)

A. Pajak Penghasilan Perusahaan PMA


Penanaman Modal di Indonesia diatur dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun
2007 tentang Penanaman Modal. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan
Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di
wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik menggunakan
modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri
(Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal).
Perusahaan berbentuk PT sebagai Penanaman Modal Asing di Indonesia, ditetapkan
sebagai Wajib Pajak Badan dalam negeri dan laba serta penghasilan-penghasilan tertentu
diatur dalam UU No.36 Tahun 2008. Mengingat bentuk hukum dari perusahaan penanaman
modal asing adalah perseroan terbatas, maka dari sudut pandang perpajakan status subjek
pajak perusahaan PMA adalah sebagai subjek pajak badan dalam negeri, sehingga
ketentuan terkait dengan pemajakan untuk wajib pajak badan dalam negeri sepenuhnya
berlaku untuk perusahaan PMA.
B. Tarif PPh Badan
Dalam menghitung tarif untuk wajib pajak badan dalam negeri, terdapat tiga macam
tarif, yaitu:
a. Tarif pasal 17 ayat (1) huruf b

27

Tarif pasal 17 ayat (1) huruf b untuk Wajib Pajak badan dalam negeri adalah sebesar
28% (dua puluh delapan persen). Tarif tersebut berdasar pasal 17 ayat (2a) menjadi
25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
Contoh:
Pada tahun 2014 Jumlah Penghasilan Kena Pajak PT ABC sebesar Rp
1.250.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang:
25% x Rp1.250.000.000,00 = Rp 312.500.000,00
b. Tarif pasal 17 ayat (2b)
Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling
sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu
lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif
sebagaimana dimaksud pada pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Contoh:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak PT XYZ Tbk dalam tahun pajak 2014 Rp
1.250.000.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang = (25% - 5%) x Rp1.250.000.000,00 = Rp
250.000.000,00.
c. Tarif pasal 31E
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa
pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena
Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah).
II.8

Multinasional Coorporation (MNC)


Perusahaan

Multinational

Coorporation

(MNC) adalah

sebuah

perusahaan

internasional atau transnasional yang berkantor pusat di satu negara tetapi kantor cabang di

28

berbagai negara maju dan berkembang. Contohnya termasuk Dunkin Donuts, Coca-Cola,
Blackberry, Levis Jeans, Kentucky Fried Chicken (KFC), LG, dll. Sebuah perusahaan akan
menjadi perusahaan multinasional berdasarkan keuntungan untuk mendirikan produksi dan
kegiatan lainnya di lokasi asing. Perusahaan mengglobalisasikan kegiatan mereka baik
untuk memasok pasar dalam negeri-negara mereka, dan untuk melayani pasar luar negeri
secara langsung. Menjaga kegiatan asing dalam struktur perusahaan memungkinkan
perusahaan menghindari biaya yang melekat oleh perantara, dengan entitas yang terpisah
sambil memanfaatkan pengetahuan perusahaan mereka sendiri.
BAB III
PEMBAHASAN
III.1

Bentuk Usaha Tetap


PT. XYZ merupakan perusahaan yang didirikan di Amerika Serikat yang bergerak

dalam bidang manufaktur dan penjualan alat-alat kedokteran.


Pada bulan Juni 2010, PT XYZ mendirikan sebuah representative office di Jakarta
yang dimaksudkan untuk menyediakan brosur dan display barang-barang hasil produksi
perusahaan sebagi contoh bagi calon konsumen. Apabila ada calon konsumen yang
berminat untuk membeli produk perusahaan, dapat menghubungi salah satu distributor
resmi perusahaan di Indonesia. PT. XYZ melakukan penjualan di Indonesia melalui
beberapa distributor misalnya PT. ABC dan PT. DEF dan berhasil mendapatkan penjualan
sebesar Rp. 80 Miliyar.
Melihat besarnya penjualan perusahaan di Indonesia, manajemen PT. XYZ
memutuskan untuk mengubah menjadi cabang perusahaan. Pada bulan Juli 2011
perusahaan mengirim dua orang karyawan untuk mempersiapkan pembukaan cabang baru.
Kedua karyawan tersebut berada di Indonesia sampai bulan Desember 2011. Penjualan
tahun 2011 sebesar Rp. 65 Miliar.

29

Pada awal tahun 2012, PT XYZ resmi membuka cabang di Indonesia dengan hasil
operasi pada tahun 2012:
o Penjualan
o Harga Pokok Penjualan
o Biaya Umum dan Administrasi

Rp. 300.000.000.000
Rp. 100.000.000.000
Rp. 90.000.000.000

Menyangkut biaya umum dan administrasi diketahui:


o Didalam biaya umum dan administrasi terdapat gaji dua orang pegawai kantor pusat
yang mengawasi pendirian perusahaan dan operasi perusahaan pada tahun pertama.
Gaji kedua karyawan tersebut adalah sebesar Rp. 50.000.000.000.
o Terdapat pembayaran bunga kepada kantor pusat atas sejumlah dana yang
dipinjamkan kepada PT. XYZ di Indonesia. Besarnya pembayaran bunga adalah Rp.
500.000.000
Perhitungan:
Biaya Umum dan Administrasi yang boleh dikurangkan:
Rp. 90.000.000.000
Rp.

500.000.000

Rp. 89.500.000.000
Penjualan

Rp. 300.000.000.000

HPP

(Rp. 100.000.000.000)

Biaya Umum dan Administrasi

(Rp. 89.500.000.000)

Penghasilan Kena Pajak (PKP)

Rp. 110.500.000.000

PPh Terutang berdasarkan pasal 17:


25% x Rp. 110.500.000.000

Rp.

27.625.000.000 -

PKP setelah Pajak

Rp.

82.875.000.000

30

PPh Pasal 26:


20% x Rp. 82.875.000.000 = Rp. 16.575.000.000
Pada tahun 2010 sampai 2011, PT XYZ belum memiliki BUT di Indonesia sehingga tidak
ada perhitungan PPh terhadap BUT.
III.2

Penanaman Modal Asing

Contoh 1:
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2014 sebesar Rp 4.500.000.000 (empat miliar lima
ratus juta rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000 (lima ratus juta
rupiah).
Penghitungan pajak yang terutang:
Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif
sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena
jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah).
Pajak Penghasilan yang terutang:
(50% x 25%) x Rp 500.000.000 = Rp 62.500.000
Contoh 2:
Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2014 sebesar Rp 30.000.000.000 (tiga puluh
miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 3.000.000.000 (tiga miliar
rupiah).
Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang :
1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh
fasilitas :

31

(Rp 4.800.000.000 : Rp 30.000.000.000) x Rp 3.000.000.000 = Rp 480.000.000


2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh
fasilitas:
Rp 3.000.000.000 Rp 480.000.000 = Rp 2.520.000.000

Pajak Penghasilan yang terutang:


(50% x 25%) x Rp480.000.000
25% x Rp2.520.000.000

= Rp 60.000.000
= Rp 630.000.000 (+)

Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang

= Rp 690.000.000

III.3 Simulasi Kasus Pajak Internasional


Wajib pajak A yang berkedudukan di Negara P yang mengenakan pajak penghasilan
dengan tarif 25% mendapat penghasilan dari Negara Q sebesar 100.000.000 yang telah
dikenakan pajak sebesar 30%, sedangkan penghasilan domestic adalah 200.000.000,
berapakah pajak terutangnya ?
Penghasilan domestik (Negara P)
Penghasilan Luar Negeri (Negara Q)
Penghasilan global
Pajak terutang (300.000.000 x 25%)
Eksemsi pajak

200.000.000
100.000.000
300.000.000
75.000.000

100.000.000 75.000.000
Pajak Penghasilan kurang bayar

(25.000.000)
50.000.000

Jika, misalnya, dari operasi di Negara Q tersebut diperoleh kerugian sebesar 50,
maka penghitungan pajaknya adalah sbb. :
Penghasilan domestik (Negara P)
Rugi Penghasilan Luar Negeri (Negara Q)
Penghasilan global
Pajak Penghasilan kurang bayar:

200.000.000
(50.000.000)
150.000.000
37.500.000

32

25% x 150.000,000
Dengan demikian, apabila kegiatan diluar negeri mendapat kerugian sebagai
konsekuansi dari sistem pemajakan global, kerugian tersebut sepertinya dapat mengurangi
penghasilan kena pajak domestic. Namun secara berkesinambungan pengurangan tersebut
harus dipulihkan/diganti kembali (recaptured) pada periode berikutnya apabila memperoleh
laba. Kalau misalnya, dalam contoh tersebut, pada tahun berikutnya dari operasi di Negara
Q didapat laba 150.000,000, di samping laba domestic 250.000.000, maka penghitungan
pajak terutangnya, sbb :
Penghasilan domestik (Negara P)
Penghasilan Luar Negeri (Negara Q)
Penghasilan global
Pajak terutang (400.000.000 x 25%)
Eksemsi pajak
Penghasilan luar negeri

250.000.000
150.000.000
400.000.000
100.000.000

150.000.000

Perhitungan rugi laba tahun lalu (50.000.000)


Basis penghitungan eksemsi
Eksemsi pajak 100.000.000 x 25%
Pajak Penghasilan kurang bayar

100.000.000
(25.000.000)
75.000.000

BAB IV
PENUTUP
IV.1

Simpulan
Ruang lingkup pajak internasional meliputi aturan pajak internasional yang sudah

ada dalam UU Pajak Indonesia, aturan perpajakan yang ada di UU Pajak Negara lain yang
bersinggungan serta persetujuan penghindaran pajak (tax treaty) yang telah dibuat
Indonesia dengan negara lain

33

BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia. Objek pajak BUT berdasarkan pasal 5 ayat (1) UU PPh
dikategorikan dalam 3 jenis (a) Attribution Income yaitu penghasilan dari usaha atau
kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai; (b) Force of
Attraction Income yaitu penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan
barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang
dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;(c) Effectively Connected Income yaitu
penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor
pusat. Berdasarkan pasal 26 ayat (4) UU PPh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi
pajak dari suatu BUT akan dikenakan pajak tambahan (branch profit tax) sebesar 20%,
kecuali apabila penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia dan memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu
Perusahaan penanaman modal asing (PMA) adalah perusahaan yang melakukan
kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia
yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing
sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Perlakuan
perpajakan perusahaan PMA diperlakukan sama dengan badan dalam negeri. Berdasarkan
pasal 31 A UU PPh Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha
tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala
nasional dapat diberikan fasilitas perpajakan berupa pengurangan penghasilan neto sebesar
30% (tiga puluh persen) dari jumlah Penanaman Modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun
masing-masing sebesar 5% (lima persen) per tahun, penyusutan dan amortisasi yang
dipercepat dan kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun.
DAFTAR PUSTAKA

34

Kurniawan, Anang Muay. 2010. Pajak Internasional. Jakarta: Sekolah Tinggi Akuntansi
Negara.
Kesit, Bambang.

. Modul Perpajakan Internasional. bambangkesit.wordpress.com

https://www.academia.edu/9080744/B_Ba_ab_b_1_1_PENGERTIAN_PAJAK_INTERNA
SIONAL
https://www.academia.edu/12058795/bentuk_usaha_tetap
https://www.academia.edu/4870433/Penanaman_Modal_Asing_di_Indonesia
https://www.academia.edu/6185118/Bab-x-pma-baru
http://finance.detik.com/read/2008/04/01/112003/916492/9/kewajiban-pajak-perusahaanpma
https://www.scribd.com/doc/87814949/BENTUK-USAHA-TETAP
https://www.scribd.com/doc/257413516/PERTEMUAN-13-pajak-internasional
http://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13430
https://www.scribd.com/doc/32926159/8-MENGHITUNG-PAJAK-PENHASILAN
https://www.academia.edu/5773693/Pengertian_MNC
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_67.htm
https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CBwQFjAA
&url=http%3A%2F%2Fwww.pajak.go.id%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2FUUKUP-001-13-UU%2520KUP%2520201300%2520Mobile.pdf&ei=fuhuVYHICJWVuATdpIDIDQ&usg=AFQjCNFy4KSmZ

35

_QrsUK08YoL1uwNacCNlA&sig2=HgB8eXhsw1vwwsMo8afqsQ&bvm=bv.9491
1696,d.c2E
http://www.wibowopajak.com/2012/01/pengertian-but-bentuk-usaha-tetap.html
http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-bentuk-usaha-tetap

36

Вам также может понравиться