Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Pendahuluan
Penyakit hepar merupakan penyakit yang sering terjadi dan dapat di klasifikasikan
menjadi akut (dengan ciri perubahan yang cepat dan resitusi lengkap dari struktur organ dan
fungsi jika faktor yang menyebabkan telah dihilangkan) dan kronis (dengan ciri kerusakan yang
persisten dengan kerusakan fungsi organ yang tidak dapat diperbaiki dan peningkatan tingkat
kehancuran sel hepar). Bergantung dari waktu dan asal kerusakan, hepar kronis meliputi
steatosis atau fatty liver, sampai hepatocellular carcinoma, dan termasuk didalamnya hepatitis,
fibrosis, dan circhosis. Penyakit liver juga dapat di klasifikasi sebagai penyakit infeksius
(hepatitis A, B, C, D dan E virus, infeksi mononucleosis, atau secondary syphilis dan
tuberculosis) atau non-infeksius (substance abuse seperti alkolhol dan obat-obatan seperti
paracetamol, halothane, ketoconazole, methyldopa dan methotrexate)
Hepar mempunyai fungsi yang luas dalam mengatur hemostasis dan kesehatan: pada
sintesis serum esensial terbanyak (albumin, transpoter protein, factor koagulan darah V, VII, IX
dan X, prothrombin dan fibrinogen, juga beberapa hormone dan growth factor), prosedur bile
dan transortasinya (bile acid, kolesterol, lecithin, phospholipids), intervenes dalam regulasi
nutrisi (glukosa, glikogen, lemak, kolesterol, asam amino), dan juga metabolism dan konjugasi
lipophilic compounds (bilirubin, cations, dan obat-obatan) untuk memudahkan ekskresinya
dalam bile atau urin. Disfungsi hepar mengubah metabolism dari karbohidrat, lemak, protein,
obat-obatan, bilirubin dan hormon. Penyakit hepar ditandai dengan
Karena metabolisme obat berlangsung di hepar (liver), penting untuk serang dokter
mnegetahui riwayat pasien secara rinci, mengevaluasi seluruh system tubuh, dan juga obatobatan yang di gunakan oleh pasien. Kapasitas metabolisme obat pada pasien dapat dievaluasi
berdasarkan analisis dari enzim seperti alanin aminotransferase (ALT) atau aspartate
aminotransferase (AST), dan beberapa tes fungsi hepar. Pada penyakit liver yang sudah parah,
kadar vitamin K turun secara signifikan yang menyebabkan peningkatan reduksi faktor koagulasi
darah. Sebagai tambahan, hipertensi portal dapat menghancurkan platelet yang terbentuk dalam
limpa
(spleen),
sehingga
menyebabkan
peningkatan
terjadinya
trombositopenia.
Ini
makanan dan air yang terkontaminasi (molluskus), penularan dalam keluarga (intrsfamilial), dan
juga penulaan karena adanya aktifitas sexual.
Tipe dari penyakit ini adalah ringan dan self-limmiting, dan ditandai dengan onset yang
tiba-tiba dari gelaja-gejala yang tidak spesifik. Tidak ada carrier/ pembawa. Pada anak keci latau
yang remaja penyakit ini biasanya asimtomatik atau tanpa gejala, sementara pada dewasa timbul
gejala yang merupakan cirri-ciri seperti demam, lelah, rasa tidak nyaman pada abdomen, diare,
mual atau bahkan penyakit kuning (jaundice). Pasien dapat mentransmisikan infeksi selama
masa inkubasi (2-6 minggu) sampai timbulnya gejala.
Diagnosis ditegakan berdasarkan dari tanda-tanda dan gejala dan tes serilogi untuk antiHAV IgM dan IgG antibody. Host merespon anti-HIV sebagai pertahanan/antibody untung
imunitas selama hidupnya, melindungi pasien dari infeksi virus HIV selanjutnya.
Resiko penularan infeksi nosokomial diantara praktisi kesehatan cukup rendah. Tersedia
vaksin-vaksin yang menghasilkan imunitas terhadap HAV (havrix, Vaqta) bagi individu yang
beresiko (ex: individu yang bepergian ke tempat endemic, pencandu obat-obatan, pasien dengan
penyakit hepar kronis dan individu dengan pekerjaan yang merupakan factor resiko dari penyakit
tersebut).
Hepatitis B
Virus hepatitis B (HBV) adalah virus DNA berkapsul yang bereplikasi dalam hepatocyte.
Hepatitis B merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, dengan perkiraan 400 juta orang
merupakan pengidap/carrier virus hepatitis B. Dan telah diperhitungkan bahwa 1,53% dari
seluruh pasien yang datang ke klinik gigi merupakan pengidap HBV.
Penularan diperkirakan karena adanya kontak fisik, pengguna obat-obatan intravena, dan
transfusi darah. Di Asia penularan perinatal sering terjadi. Pertimbangan yang penting di antara
praktisi gigi adalah resiko penularan percutaneous melalui tusukan atau sayatan benda tajam
yang telah terinfeksi oleh pasien dengan HBV-positif, atau absorbsi melalui permukaan mukosa
(mata atau rongga mulut). Penularan melalui saliva dapat timbul akibat absorbsi dari permukaan
mukosa. Beberapa penilitian melaporkan adannya HBsAg pada saliva dan cairan crevicular dari
pasien HBV-positif. Praktisi gigi, terutama yang bekerja sebagai dokter bedah mulut, mempunyai
resiko terinfeksi HBV 3-4 kali lebih besar dibandingan GP, walaupun vaksin dan metode
pencegahan telah dilakukan untuk memperkecil resiko. Inokulasi berikut, resiko seroconversi
adalah 30%. Periode inkubasi bertahan sekitar 2-6 bulan. Lebih dari 50% yang terinfeksi adalah
subclinical dan tidak berhubungan dengan jaundice/penyakit kuning.
Dalam hal ini, karena penyakit terbukti asimtomatik, banyak orang yang tidak sadar
bahwa mereka mengidap infeksi pada awalnya. Kurang lebih 90% dari pengidap infkeksi HBV
yang telah dewasa memperihatkan penyembuhan sempurna, tapi 5-10% nerkembang menjadi
hepatitis kronis dengan komplikasi berupa cirrhosis dan hepocellular carcinoma, menyebabkan
5000-6000 kematian setiap tahunya karena liver failure.
rasio
antigen/antibodi. Vaksin telah dikembangkan untuk dapat menimbulkan respon kekebalan yang
efektif melawan virus pada kebanyakan pasien. Apabila seseorang yang kekebalan tubuhnya
kurang terpapar HBV, imunoglobulin dapat diberikan untuk memberikan perlindungan setelah
terkena paparan. Manajemen penting saat ini ialah termasuk imunisasi HBV sebagai bagian dari
program vaksinasi anak.
Hepatitis C
Infeksi virus hepatitis C (HCV) merupakan penyebab utama penyakit hepar kronis dan
penyakit hepar yang terkait morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Diperkirakan 8000
sampai 10000 kematian per tahun disebabkan oleh HCV, dan yang terakhir merupakan indikasi
utama untuk transplantasi hepar di Eropa dan Amerika Serikat. Perkiraan prevalensi global
penyakit ini adalah 2,2%, yang mewakili sekitar 130 juta terinfeksi secara individu di dunia.
Setelah mengamati beragam daerah geografis besar, penyakit ini mungkin terjadi sebagai akibat
dari faktor immunogenetik. Prevalensi terendah ditemukan di United Kingdom dan Skandinavia,
sedangkan yang tertingi ditemukan di Mesir.
HCV merupakan virus RNA yang ditularkan melalui rute parenteral dari darah yang
terinfeksi. Sumber penularan termasuk transfusi darah (meskipun risikonya telah diminimalkan
sejak tes dan kontrol donor darah dibuat), perkutan terpapar melalui instrumen yang
terkontaminasi, dan terpapar ke darah. Individu yang berisiko terbesar adalah penderita
hemofilia, pasien dialisis, dan pecandu obat parenteral. Rute transmisi lainnya adalah kontak
seksual, dan penularan perinatal dan idiopatik. Prevalensi infeksi di kalangan profesional gigi
mirip dengan yang ditemukan pada populasi umum, meskipun studi epidemiologi menunjukkan
bahwa dokter gigi merupakan kelompok risiko untuk infeksi HCV .
Setelah inokulasi, resiko serokonversi diperkirakan 1,8%. Masa inkubasi yang panjang
(sampai tiga bulan). Dan 85% dari semua pasien dengan infeksi HCV mengidap hepatitis kronis.
Dalam kasus-kasus dimana gejala diamati, kasus ini cenderung ringan, dan subyek yang paling
tetap relatif asimtomatik selama dua dekade pertama setelah infeksi dengan virus. Morbiditas
terkait dengan infeksi HCV adalah karena tidak hanya konsekuensi dari penyakit hati kronis
tetapi juga manifestasi dari ekstrahepatik. Kondisi terbaik yang didokumentasikan terkait
hepatitis C adalah cryoglubulinemia, gangguan multisistemik sering ditandai dengan purpura,
kelemahan dan nyeri sendi, dan yang mungkin mendahului perkembangan sel B limfoma nonHodgkin atau membran proliferatif glomerulonephritis. Gangguan terkait lainnya adalah porfiria
cutanea tarda, lichen planus, sialadenitis, gangguan kelenjar tiroid, diabetes melitus, dan
neuropati perifer. Lebih dari 74% dari pasien yang terinfeksi HCV pada akhirnya mengidap
manifestasi ekstrahepatik dalam penjalaran infeksinya.
Teknik yang berbeda antara enzyme-linked immunoserbent assay (ELISA) dan
recombinant immunoblast assay (RIBA) telah dikembangkan untuk diagnosis HCV, meskipun
tetap standar diagnostik deteksi genome virus menggunakan teknologi real time polymerase
chain reaction (RT-PCR).
Belum ada vaksin yang efektif terhadap HCV, dan resolusi spontan tidak biasa. Terapi
yang ada terdiri dari pengobatan kombinasi dengan interferon dan ribavirin, yang menawarkan
tingkat respon berkelanjutan dari 30-40%.
HEPATITIS KRONIS
Hepatitis kronis adalah gangguan inflamasi difus hepar dengan durasi lebih dari 6 bulan
dimana penyebab yang mendasarinya bisa menular (terutama virus hepatitis C dan, pada tingkat
lebih rendah, virus hepatitis B dan D), farmakologis atau imunologis.
Penyakit ini dapat berkembang tanpa gejala atau dengan manifestasi non-spesifik seperti
kelelahan, mual, atau nyeri abdomen. Penjalarannya biasanya lambat dan progresif, dan gejala
biasanya tidak termanifestasi selama berthaun-tahun setelah peristiwa kausal awal (misalnya,
infeksi). Beberapa pasien mengidap gangguan tanpa kerusakan hepar yang signifikan, sementara
yang lain dapat dengan cepat menuju cirrhosis dan mungkin hepatocarcinoma. Hepatitis kronis
akibat infeksi HCV adalah penyebab utama dari cirrhosis dan hepatocellular carcinoma.
PENYAKIT HEPAR PADA ALKOHOLIK
Penyakit hepar pada alkoholik adalah salah satu dari 10 penyebab kematian paling umum
di dunia, dan menyebabkan 3% diantaranya mengalami kematian. Data epidemiologi
menunjukkan ambang batas 80 gram alkohol pada laki-laki dan 20 gram pada wanita, yang
dikonsumsi setiap hari selama 10-12 tahun, yang akan menyebabkan kerusakan hepar. Sepuluh
gram etanol murni setara dengan segelas anggur atau bir, sedangkan segelas wiski setara dengan
dua kali lipatnya. Faktor-faktor seperti infeksi hepatitis C kronis, obesitas dan faktor genetik
dapat mempercepat terbentuknya penyakit hepar alkoholik bahkan dengan dosis alkohol yang
lebih kecil.
Alkoholisme dalah ditandai dengan ketergantungan fisik yang mencakup toleransi yang
besar dengan jumlah besar alkohol dalam darah, dorongan yang kuat untuk minum, kesulitan
mengendalikan konsumsi, meninggalakan keiatan kehidupan sehari-hari secara progresif, dan
tetap melakukan kebiasaan tersebut meskipun telah mengetahui konsekuensinya. Alkoholisme
pada akhirnya akan menyebabkan malnutrisi, anemia, fungsi kekebalan tubuh berkurang, dan
interaksi dengan obat-obatan penting.
Spektrum klinis berkisar dari penyakit hepar alkoholik dimulai dari simple liver steatosis
(hepar berlemak) dengan hepatitis alkohol (beracun) sampai lebih parah seperti steatohepatitis
atau cirrhosis. Simple steatosis adalah presentasi yang paling umum, ditemukan dalam 90%
peminum berat, dan membuktikan keharusan untuk meninggalakan kebiasaan itu. Hepatitis
alkoholik diamati di lebih dari 35% dari semua peminum berat dan cenderung menjadi pelopor
dari cirrhosis. Kondisi dimulai dari bentuk tanpa gejala sampai kegagalan hati, dan situasi yang
membahayakan jiwa,
(glitazone) pad apasien dengan diabetes tipe 2 dengan menunjukan hasil yang baik.
CIRRHOSIS
Sirosis hati sangat umum pada keadaan ini , dengan karakteristik morphopathological
mengarah kerusakan parenchyma hati. Penyakit ini disertai oleh serangkaian manifestasi
ekstrahepatik pada organ-organ tubuh lainnya dan sistem organ. Sirosis hati bersfat irreversible,
dan ditandai oleh pembentukan jaringan parut fibrosa di dalam hati, dengan pembentukan nodul
yang meningkatkan resistensi terhadap aliran darah melalui organ. Hasil dari kekurangan perfusi
hati merusak struktur vital dari organ dan mempengaruhi fungsi fisiologisnya. Penyebab utama
dari sirosis hati adalah infeksi hepatitis B dan C dan penyalahgunaan alkohol. Penyebab
potensial lainnya adalah steatohepatitis non-alkohol, perubahan genetik dan penyakit autoimun .
Komplikasi utama dari sirosis adalah hipertensi portal, karsinoma hepatoseluler dan
hilangnya fungsi organ. Sirosis sendiri merupakan faktor risiko untuk pengembangan karsinoma
hepatoseluler. Pilihan pengobatan meliputi mengilangkan faktor penyebab, terapi antivirus dan
transplantasi hati pada tahap akhir penyakit sirosis
HEPATOCELLULAR CARCINOMA
Karsinoma hepatoseluler adalah kanker kelima yang paling sering di seluruh dunia.
Dengan demikian, hal itu merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting, dan
merupakan salah satu keganasan yang paling umum dan mengancam nyawa di dunia - dengan
tingkat kelangsungan hidup setelah dua tahun hanya sekitar 2%.
Telah diperkirakan bahwa HBV dan termasuk dari 80% dari semua hepatocarcinomas.
Penyebab lainnya adalah steatohepatitis alkohol dan non-alkohol. Banyak pasien dengan
hepatocellular carcinoma memiliki riwayat cirrhosis, yang dengan sendirinya merupakan kondisi
preneoplastic.
Sirosis hati memiliki sifat yang berkepanjangan, dan menghasilkan gejala hanya pada
stadium lanjut dari penyakit, ketika pilihan penyembuhan tidak ada perawatan yang tersedia.
Pengobatan utama untuk karsinoma hepatoseluler adalah operasi (dalam kasus-kasus dimana
tumor diharuskan dioperasi), meskipun sayangnya banyak kasus non-operasi karena kedekatan
struktur vital, kehadiran metastasis, atau komorbiditas lain.
TUJUAN
Penelitian ini menawarkan tinjauan literatur dari manifestasi oral yang dapat ditemukan
pada pasien dengan virus hepatitis, penyakit hati alkoholik dan non-alkohol, sirosis dan
karsinoma hepatoseluler, dan pengaturan dental pada pasien dengan gangguan hati.
HASIL
1. Manifestasi Klinis Pada Oral
Rongga mulut dapat mencerminkan disfungsi hati dalam bentuk ikterus membran mukosa,
gangguan perdarahan, petekie, peningkatan kerentanan terhadap memar, perdarahan radang gusi,
gingiva (bahkan dalam respon terhadap trauma minimal) (3, 19), foetor hepaticus (bau
karakteristik penyakit hati lanjut), keilitis, halus dan lidah atrofi, xerostomia, bruxism dan
berkerak perioral ruam (1). Pada pasien ini, penyakit periodontal kronis umum ditemukan.
Pasien dengan hepatitis alkoholik terdapat glositis, angle chelitis dan gingivitis, terutama
dalam kombinasi dengan kekurangan gizi. Beberapa pasien yang mengkonsumsi sejumlah besar
alkohol untuk jangka waktu yang lama dapat berkembang sialadenosis. Seperti komentar dari
Friedlander , ini diyakini hasil dari etanol yang diinduksi neuropati otonom perifer menimbulkan
perubahan dalam metabolisme dan sekresi saliva.
Pasien dengan sirosis yang lebih lanjut cenderung untuk memperlihatkan kebersihan
mulut yang kurang, terutama dalam kasus-kasus di mana kerusakan hati berhubungan dengan
penyalahgunaan alkohol. Bagan et al melaporkan kondisi gigi memburuk pada pasien dengan
sirosis hati, dalam kebetulan dengan penulis lain seperti Novacek et al yang menganggap bahwa
karena keparahan dan karakteristik sirosis, pasien cenderung mengabaikan perawatan rongga
mulut.
Dalam penelitian terbaru, Grossmann et al menemukan banyak pasien dengan infeksi
HCV menggambarkan kesehatan gigi yang buruk - situasi yang memberikan kontribusi untuk
memperburuk kualitas hidup mereka. Manifestasi ekstrahepatik telah dilaporkan di 74% dari
semua individu yang terinfeksi HCV (19), dan beberapa kondisi ini terutama atau eksklusif
mempengaruhi daerah mulut. Gangguan utama yang berhubungan dengan infeksi HCV
xerostomia, sindrom Sjgren (SS), sialadenitis dan terutama lichen planus (LP) .
Xerostomia meningkatkan kerentanan pasien untuk karies dan penyakit jaringan lunak
mulut, dan kombinasi dengan kebersihan yang kurang baik, sehingga pada akhirnya
menyebabkan pengembangan kandidiasis.
Belum terdapat bukti apakah infeksi HCV menyebabkan penyakit yang sama dengan
sindrom Sjgren primer atau apakah infeksi HCV bertanggung jawab langsung terhadap
munculnya sindrom Sjgren pada beberapa macam pasien. Walaupun begitu, sudah jelas
diketahui bahwa beberapa subjek dapat menimbulkan hubungan berkali lipat dengan infeksi
HCV, sindrom Sjgren, dan sialedenitis atau limfoma kelenjar saliva.
Walaupun bakteri merupakan penyebab utama sialadenitis, virus seperti HCV juga ikut
terlibat sebagai penyebab sialadenitis yang berhubungan dengan xerostomia.
Bukti epidemiologi menyebutkan bahwa lichen planus dapat berhubungan dengan infeksi
HCV secara signifikan, walaupun data terbaru masih kontroversial. Hubungan ini muncul
berdasarkan pada pengaturan geografis, dan menjadi lebih sering di negara-negara Mediterania
dan Jepang. Bagan et al menemukan bahwa prevalensi infeksi HCV lebih besar pada pasien
dengan oral lichen planus (OLP) dibandingkan pada grup control. Walaupun masih dibutuhkan
studi lebih lanjut, data terbaru menyatakan bahwa pasien cenderung pertama kali terinfeksi HCV
dan lalu berkembang menjadi lichen planus meskipun dalam cara apa hal ini terjadi masih
belum diketahui.
2. DENTAL MANAGEMENT
Penyakit liver mempunyai implikasi pada pasien ketika menjalani perawatan gigi.
Masalah utama yang paling sering berhubungan dengan penyakit liver di klinik mengarah
pada resiko penularan virus kepada dokter gigi mapun pasien lain (infeksi silang), resiko
perdarahan pada pasien dengan penyakit liver berat, serta perubahan metabolisme karena
beberapa zat yang terkandung dalam obat, di mana dapat meningkatkan resiko toksisitas.
HCV telah terdeteksi pada permukaan alat-alat di klinik setelah merawat pasien dengan
Hepatitis C, dan virus tersebut dapat bertahan pada temperature ruangan selama lebih dari 5
hari. Langkah sterilisasi yang sempurna sangat dibutuhkan, karena sterilisasi yang tidak
sempurna dapat memberikan paparan terhadap dokter gigi dan pasien lain terhadap infeksi
hepatitis. Langkah proteksi universal harus diaplikasikan demi mencegah infeksi silang,
contohnya adalah penggunaan barrier dengan langkah sterilisasi yang tepat disertai disinfeksi.
Telah terbukti bahwa teknik sterilisasi konvensional dapat mengurangi protein spesifik dan
asam nukleat (HBV DNA dan HCV RNA) pada instrumen dental yang sebelumnya telah
terinfeksi HBV dan HCV. Walaupun belum ada data yang membuktikan kemampuannya
dalam mengurangi resiko penularan, langkah ini tetap disarankan jika terdapat kasus
kecelakaan perforasi instrument atau jarum ke dalam kulit, di mana disarankan untuk
membasuh luka secara hati-hati (tanpa menggosok luka, karena hal ini dapat menyebabkan
inokulasi virus ke jaringan yang lebih dalam) dengan sabun dan air, atau menggunakan
desinfektan yang telah terbukti ampuh melawan virus (larutan iodine atau formulasi klorin).
Selanjutnya, diaplikasikan juga tekanan di bawah luka untuk memicu perdarahan, sehingga
dapat mengeluarkan material yang kemungkinan menyebabkan infeksi. Jika membrane
mukosa telah terpapar, segeralah dilakukan irigasi dengan air mengalir sebanyak-banyaknya,
disarankan menggunakan larutan saline steril atau air steril, selama beberapa menit. Langkah
ini dilakukan untuk mengurangi jumlah unit virus sampai di bawah batas ambang yang dapat
menyebabkan infeksi (dosis infeksi). Sebab, pelarutan dengan air dapat mengurangi jumlah
virus hingga di bawah batas ambang infeksi ini. Kapanpun memungkinkan, status antigen
hepatitis pada pasien harus ditentukan. Jika terjadi paparan terhadap antigen virus positif
hepatitis secara parenteral, dokter gigi harus menerima perawatan dengan immunoglobulin
anti-Hepatitis B. Pada tabel 1 akan dijelaskan deskripsi skematik mengenai langkah-langkah
yang harus diikuti.
Pengumpulan riwayat klinis lengkap sangat penting dilakukan sebelum perawatan gigi,
guna mengidentifikasi pasien yang kemungkinan beresiko terhadap penyakit ini. Hal ini juga
harus dibarengi dengan pemeriksaan oral yang teliti. Disarankan juga untuk berkonsultasi
dengan dokter pasien atau dokter spesialis guna menentukan rencana perawatan yang aman
dan memadai disesuaikan dengan kondisi medis pasien, serta mempertimbangkan derajat
kerusakan fungsional liver pada pasien. Pemeriksaan rongga mulut harus dapat
memperkirakan tanda apapun yang menandai adanya penyakit sistemik. Pasien harus
mendapatkan penjelasan mengenai resiko yang berkaitan dengan perawatan, dan diperlukan
pula informed consent.
memicu perdarahan.
Tentukan status antigen hepatitis pada pasien
Paparan parenteral terhadap antigen virus positif immunoglobulin anti-hepatitis B
Tabel 1. Prosedur yang harus diikuti setelah terjadi paparan karena kecelakaan ke dalam darah
yang terinfeksi.
Pada pasien virus hepatitis yang sedang dalam masa akut, hanya perawatan emergensi
yang dapat dipertimbangkan untuk dilakukan. Sedangkan pada pasien hepatitis kronik,
penting untuk menentukan kemungkinan adanya penyakit lain yang berhubungan (proses
autoimun, diabetes, dll) dengan tujuan mencegah komplikasi langsung dan masalah lanjutan
dari medikasi yang digunakan (kortikosteroid dan/ atau imunosupresor). Dibutuhkan juga
evaluasi terhadap kondisi medis yang kemungkinan berhubungan dengan penularan HCV,
karena infeksi transmisi darah (HIV, HBV).
Harus diperhitungkan juga bahwa penyakit liver sering berkaitan dengan turunnya
konsentrasi factor koagulasi plasma. Pada pasien dengan penyakit liver, resiko bedah
berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit, jenis pembedahan yang direncanakan, dan
adanya komorbiditas. Pembedahan merupakan kontraindikasi pada pasien dengan beberapa
kondisi seperti hepatitis akut, acute liver failure, atau hepatitis alkoholik. Jika dibutuhkan
langkah invasive, diperlukan tes koagulasi dan hemostasis terlebih dahulu, yang meliputi:
Complete Blood Count, Bleeding Time, Prothrombin Time/ International Normalized Ratio
(INR), Thrombin Time, Thrombloplastin Time, dan biokimia liver (GOT, GPT, dan GGT).
Tabel 2 menunjukkan nilai normal pada tes koagulasi. Jika terdapat perubahan pada nilai tes,
harap dikonsultasikan dengan dokter spesialis liver, dengan penundaan pilihan perawatan.
Berbagai perawatan emergensi juga harus disediakan di rumah sakit. Ketika dilakukan
pembedahan, trauma harus diminimalisasi untuk mengoptimalkan hemostasis, dengan cara
teknik pembedahan yang hati-hati, pengaplikasian tekanan untuk mengontrol perdarahan, dan
penggunaan agen hemostatik. Berdasarkan temuan tes laboratorium dan perawatan yang
dilakukan, disarankan penggunaan agen hemostatik local (selulosa teregenerasi dan
teroksidasi), juga agen antifibrinolisis (asam traneksamik), plasma segar, platelet, dan vitamin
K. Disarankan juga penggunaan antibiotic profilaksis, karena disfungsi liver berhubungan
dengan berkurangnya kemampuan imun
Tes
Bleeding time
Prothrombin time
Thrombin time
Thromboplastin time
Platelet count
INR
Tabel 2 Nilai normal pada tes koagulasi
Nilai Normal
1-3 menit
11-15 detik
15-20 detik
25-35 detik
150.000-400.000/ mm3 < 50.000/ mm3:
perdarahan
0,9-1,1
digunakan dengan pasien dengan penyakit liver kronik dan pada umumnya beta lactam dapat
diadministrasikan. Aminoglikosid dapat meningkatkan resiko keracunana hati pada pasien
dengan penyakit liver dan harus dihindaari. Metabolisme dari klindamisin menjadi panjang pada
pasien tertentu dan berperan dalam degenari hati.
dikombinasikan denga efinprin. Tabel 4 menunjukkan obat yang kontraindikasi dan dapat
digunakan dengan hati-hati. Walaupun beberapa dari substansi ini dimetabolisme dalam liver,
dosis yang diunakan pada praktek dokter gigi bisa diterima kecuali pasien menderita disfungsi
hati yang sangat berat.