Вы находитесь на странице: 1из 23

BAB I

PENDAHULUAN
Di kehidupan sehari-hari yang semakin padat dengan aktifitas manusia dan untuk
mengejar perkembangan zaman, manusia tidak akan lepas dari fungsi normal
muskuloskeletal terutama tulang yang menjadi alat gerak utama bagi manusia. Tulang
membentuk rangka penunjang dan pelindung bagian tubuh dan tempat untuk melekatnya
otot-otot yang menggerakan kerangka tubuh. Namun dari ulah manusia itu sendiri, fungsi
tulang dapat terganggu karena mengalami fraktur. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas
jaringan tulang dan tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh cedera, trauma yang
mengakibatkan fraktur dapat berubah trauma langsung maupun tidak langsung.
Fraktur femur merupakan fraktur yang terjadi pada tulang femur. Mekanisme trauma
yang berkaitan dengan terjadinya fraktur pada femur antara lain: jenis Femoral Neck fraktur
karena kecelakaan lalu lintas, jatuh pada tempat yang tidak tinggi, terpeleset di kamar mandi
dimana panggul dalam keadaan fleksi dan rotasi. Sering terjadi pada usia 60 tahun ke atas,
biasanya tulang bersifat osteoporotik, pada pasien awal menopause, alkoholism, merokok,
berat badan rendah, terapi steroid, dan jarang berolahraga, merupakan trauma high energy;
Femoral Trochanteric fraktur karena trauma langsung atau trauma yang bersifat
memuntir; Femoral Shaft fraktur terjadi apabila pasien jatuh dalam posisi kaki melekat pada
dasar disertai putaran yang diteruskan ke femur. Fraktur bisa bersifat transversal atau oblik
karena trauma langsung atau angulasi. Fraktur patologis biasanya terjadi akibat metastasis
tumor ganas. Bisa disertai perdarahan masif sehingga berakibat syok.
Fraktur collum femur merupakan cedera yang banyak dijumpai pada pasien usia tua
dan menyebabkan morbiditas serta mortalitas. Dengan meningkatnya derajat kesehatan dan
usia harapan hidup, angka kejadian fraktur ini juga ikut meningkat. Fraktur ini merupakan
penyebab utama morbiditas pada pasien usia tua akibat keadaan imobilisasi pasien di tempat
tidur. Rehabilitasi membutuhkan waktu berbulan-bulan. Imobilisasi menyebabkan pasien
lebih senang berbaring sehingga mudah mengalami ulkus dekubitus dan infeksi paru. Angka
mortalitas awal fraktur ini adalah sekitar 10%. Bila tidak diobati, fraktur ini akan semakin
memburuk.
Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan
anestesi regional. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang reversible
akibat pemberian obat-obatan, serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral.
1

Perbedaan dengan anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri
tanpa kehilangan kesadaran.
Anestesi regional terbagi atas anestesi spinal (anestesi blok subaraknoid), anestesi
epidural dan blok perifer. Anestesi spinal dan anestesi epidural telah digunakan secara luas di
bidang ortopedi, obstetri dan ginekologi, operasi anggota tubuh bagian bawah dan operasi
abdomen bagian bawah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1

Anestesi Regional
Blok spinal dan epidural menghasilkan blokade sistem saraf simpatis, anelgesia
dan anestesia sensorik dan blokade motorik yang bergantung pada dosis, konsentrasi dan
volum anestetika lokal setelah pemberian melalui jarum ke plana neuroaksial. Anestesia
spinal membutuhkan jumlah obat yang lebih sedikit dengan efek blok yang lebih nyata
dalam jangka waktu singkat dibandingkan dengan epidural yang membutuh sejumlah
besar anestetika lokal dengan efek blok saraf yang lebih lemah tetapi dengan durasi lebih
lama. Potensi toksisitas juga lebih lebih besar pada anestesia epidural dibandingkan
spinal karena jumlah yang lebih besar itu.
2.2.1 Teknik Anestesi Spinal/ Epidural
1. Persiapan
Sebelum anestesia spinal/epidural dimulai, pasien harus siapkan seperti
persiapan bila akan melakukan anestesi umum. Hal ini bertujuan sebagai
antisipasi perubahan mendadak tekanan darah, laju nadi, atau masalah
oksigenasi. Harus ada akses intravena yang adekuat dan perlengkapan monitor
pasien. Monitoring suhu badan sebaiknya disiapkan, karena pasien dapat
terserang hipotermia selama spinal atau epidural, terutama pada operasi yang
lama. Mesin anestesi sungkup muka, sumber O2, dan suction harus tersedia dan
siap pakai. Obat-obatan sedasi, induksi, emergensi, dan pelumpuh otot harus
tetap tersedia meskipun tidak langsung di dalam spuit. Alat-alat manajemen
jalan nafas seperti pipa endotrakea, laringoskop, dan pipa orofaringeal harus
juga tersedia.
2. Posisi Pasien
Ada tiga posisi utama yang biasa digunakan pada teknik penyuntikan obat
anestetik lokal pada anestesia spinal/epidural ini yaitu : lateral decubitus, duduk
dan tengkurap. Pemilihan masing-masing posisi ini tergantung dari situasi dan
kebutuhan dari pasien. Pengaturan posisi pasien ini cukup penting untuk
menjamin keberhasilan tindakan anestesai spinal ini.

Posisi Lateral Dekubitus


Kebanyakan ahli anestesi sering memilih posisi ini. Penderita tidur miring di
atas meja operasi dengan membelakangi ahli anestesiologi. Pinggul dan lutut
3

difleksikan mendekat ke arah lutut. Posisi ini digunakan untuk kasus-kasus


cedera atau fraktur pada pinggul dan kaki dimana penderita tidak dapat

bangun untuk duduk.


Posisi Duduk
Anatomi tulang belakang kadang-kadang lebih mudah dipalpasi bila
dilakukan dengan posisi ini dibandingkan dengan posisi lateral dekubitus.
Posisi ini baik dilakukan pada pasien obesitas dan sering diindikasikan untuk
operasi lumbal bawah dan sakral. Pada anestesia spinal, pasien-pasien
tersebut sebaiknya dibiarkan dalam posisi duduk dulu sesudah penyuntikan
selama kurang lebih 5 menit.

Namun bila posisi ini dipilih atas alasan

obesitas atau skoliosis sementara kita menginginkan level blok tinggi, maka
setelah penyuntikan pasien harus segera kita telentangkan (supine position).
Hal ini tidak berlaku pada anestesika epidural karena efek gravitasi akan
dilawan oleh tekanan masuknya anestetika lokal melalui kateter. Penderita
dengan bantuan seorang asisten dan memeluk bantal, diposisikan duduk
dengan punggung belakang difleksikan maksimal dan kedua kaki

menggantung di atas lantai atau di atas bangku.


Posisi Telungkup (prone position)
Pada teknik anestesia spinal, posisi ini dapat dilakukan untuk prosedur
pembedahan pada bagian anorektal. Pasien diposisikan dalam posisi jackknife, dan selanjutnya lumbal pungsi dapat dilakukan. Teknik ini
menggunakan larutan anestetika lokal yang bersifat hipobarik, dan
keuntungannya penderita setelah tindakan lumbal pungsi tidak perlu diubah
lagi posisinya. Ini akan menghasilkan anestesia daerah sakral.

2.2.2 Anestesia Spinal


a. Teknik Analgesia Spinal
Analgesia spinal dihasilkan dengan menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam
ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.
Indikasi

untuk pembedahan, daerah tubuh yang dipersarafi cabang


T4 ke bawah (daerah papilla mammae kebawah).

Indikasi anestesi spinal antara lain:

Bedah ekstremitas bawah.


Bedah panggul
Tindakan sekitar rectum-perineum
Bedah obstetric-ginekologi
Bedah urologi
4

Bedah abdomen bawah


Kontra indikasi anesthesia spinal ada dua macam yakni relative dan absolute.
Kontra indikasi absolute
1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat
4. Koagulopati atau mendapat terapi
antikoagulan
5. Tekanan intracranial meninggi
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman atau / tanpa

Kontra indikasi relative


1. Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronis

didampingi konsultan anesthesia


Teknik :

Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi krista iliaka kanan

kiri akan memotong garis tengah punggung setinggi L4 ata L4-L5


Palpasi : untuk mengenal ruang antara dua vertebra lumbalis
Pungsi lumbal hanya antara L2-3, L3-4, L4-5 atau L5-S1
Posisi pasien : duduk atau berbaring lateral dengan punggung fleksi

maksimal
Setelah tindakan antisepsis kulit daerah punggung pasien dan memakai
sarung tangan steril pungsi lumbal dilakukan dengan penyuntikan jarum
lumbal nomor 22 (atau lebih halus nomor 23, 25, 26, 27, atau 29), pada
bidang median dengan arah 10-30 derajat terhadap bidang horisontal ke arah
kranial pada ruang antar vertebra lumbalis yang sudah dipilih. Jarum lumbal
akan menembus berturut-turut beberapa ligamen, yang terakhir ditembus
adalah duramater-subarachnoid. Setelah stilet dicabut cairan likuor
serebrospinalis akan menetes keluar, selanjutnya disuntikkan larutan obat
analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid tersebut.

b. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ketinggian Blok Analgesia Spinal


Ada banyak faktor yang memengaruhi distribusi anestesia lokal di dalam
cairan serebrospinal. Faktor-faktor yang memengaruhi penyebaran obat
anestesia lokal dalam cairan serebrospinal:
1. Volume obat analgetik lokal : makin besar, makin tinggi daerah analgesi
2. Konsentrasi obat : makin pekat, makin tinggi batas daerah analgetik
3. Kecepatan : penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan 3 detik untuk 1 ml larutan
5

4. Manuver valsava : mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinalis


dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi
5. Tempat pungsi : pengaruhnya besar, pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul ke kaudal (saddle block), pungsi L2-3 atau L3-4 obat lebih
mudah menyebar ke kranial.
6. Berat jenis larutan : hiperbarik, isobarik, atau hipobarik
7. Tekanan abdominal yang tinggi : dengan dosis yang sama didapatkan batas
analgesia yang lebih tinggi.
8. Tinggi pasien : makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis, makin
besar dosis yang diperlukan
9. Waktu : setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan anestetik
sudah menetap (tidak berubah) sehingga batas anelgesia tidak dapat diubah
lagi dengan mengubah posisi pasien.
c. Komplikasi Analgesia Spinal
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi
yang terjadi kemudian (delayed). Komplikasi dini berupa gangguan pada
sirkulasi, respirasi dan gastrointestinal.
-

Komplikasi sirkulasi
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok
makin berat hipotensi. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan
infus cairan kristaloid (NaCl, Ringer Laktat) secara cepat sebanyak 10-15
ml/kgBB dalam 10 menit segera setelah penyuntikan analgesia spinal. Bila
dengan cairan infus cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati
dengan vasopresor seperti efedrin intravena sebanyak 10 mg diulang tiap 3-4
menit

sampai

tekanan

darah

yang

dikehendaki

(sebaiknya

tidak

penurunannya tidak lebih dari 10-15 mmHg dari tekanan darah awal).
Bradikardi dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang, atau karena
blok simpatis T1-4; dapat diatasi dengan pemberian sulfat atropin 1/8-1/4
-

mg intravena.
Komplikasi respirasi
1. Apnea, dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau
karena hipotensi berat dan iskemia medulla
2. Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas, merupakan
tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani

dengan oksigen dan nafas buatan.


Komplikasi gastrointestinal
6

Nausea dan muntah, karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis


berlebihan, pemakaian obat narkotik refleks karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi kemudian (delayed).
d. Terapi Cairan
Pada pemberian cairan selama pembedahan, harus diperhatikan mengenai
kekurangan cairan pra bedah, kebutuhan untuk pemeliharaan, bertambahnya
insensible loss karena suhu kamar yang tinggi, terjadinya translokasi cairan
pada daerah operasi, dan terjadinya perdarahan. Terapi cairan parenteral
diperlukan untuk mengganti defisit cairan saat puasa sebelum dan sesudah
pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti
perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan pindah ke ruang ketiga (ke rongga
peritoneum, ke luar tubuh).
Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang
peritoneum, ke luar tubuh. Banyaknya air yang hilang karena translokasi selama
pembedahan, tergantung dari jenis operasinya:
1) Operasi dengan bedah minimal, kebutuhan pemeliharaan 4cc/kgBB/jam
2) Operasi dengan bedah sedang, kebutuhan pemeliharaan 6cc/kgBB/jam
3) Operasi dengan bedah besar, kebutuhan pemeliharaan 8cc/kgBB/jam
Pada prinsipnya kecepatan pemberian cairan selama pembedahan adalah
dapat menjamin tekanan darah stabil tanpa menggunakan obat vasokontriktor,
dengan produksi urin mencapai 0,5-1cc/kgBB/jam. Perdarahan bila kurang dari
10% dari jumlah darah, cukup diganti dengan cairan kristaloid saja, tapi bila
lebih dari 10% dipertimbangkan untuk diganti dengan darah atau cairan koloid.
2. 2

Geriatri
Pada proses menua yang normal akan didapati berbagai temuan khas yang
mungkin tidak ditemui pada pasien usia dewasa, pasien usia lanjut juga memiliki banyak
karakteristik khusus yang membedakannya dengan pasien usia dewasa muda.
Penuaan menghasilkan perubahan baik farmakokinetik (hubungan antara dosis obat
dan konsentrasi plasma) dan farmakodinamik (hubungan antara konsentrasi plasma dan
efek klinis). Sayangnya, perubahan terkait penyakit dan variasi antarindividu bahkan
pada populasi yang sama menyebabkan generalisasi tidak konsisten.
a. Sistem Pernapasan

Penurunan elastisitas jaringan paru, menyebabkan distensi alveoli berlebihan yang


berakibat mengurangi permukaan alveolar, sehingga menurunkan efisiensi
pertukaran gas.
7

Ventilasi masker lebih sulit.

Arthritis sendi temporomandibular atau tulang belakang servikal mempersulit


intubasi.

Penurunan progresif refleks protektif laring dapat menyebabkan pneumonia


aspirasi.

b. Fungsi Metabolik dan Endokrin

Konsumsi oksigen basal dan maksimal menurun.

Produksi panas menurun, kehilangan panas meningkat, dan pusat pengatur


temperatur hipotalamik mungkin kembali ke tingkat yang lebih rendah.

Peningkatan resistensi insulin menyebabkan penurunan progresif terhadap


kemampuan menangani asupan glukosa.

c. Fungsi Ginjal

Aliran darah ginjal dan massa ginjal menurun. (massa korteks diganti oleh lemak
dan jaringan fibrotik). Laju filtrasi glomerulus dan bersihan kreatinin (creatinin
clearance) menurun

Gangguan

penanganan

natrium,

kemampuan

konsentrasi,

dan

kapasitas

pengenceran memberi kecenderungan pasien usia lanjut untuk mengalami


dehidrasi atau overload cairan.

Fungsi ginjal menurun, mempengaruhi kemampuan ginjal untuk mengekskresikan


obat.

Penurunan kemampuan ginjal untuk menangani air dan elektrolit membuat


penatalaksanaan cairan yang tepat menjadi lebih sulit; pasien usia tua lebih
cenderung untuk mengalami hipokalemia dan hiperkalmeia. Hal ini diperparah
oleh penggunaan diuretik yang sering pada populasi usia lanjut.

d. Fungsi Gastrointestinal

Berkurangnya massa hati berhubungan dengan penurunan aliran darah hepatik,


menyebabkan Fungsi hepatik juga menurun sebanding dengan penu-runan massa
hati.

Biotransformasi dan produksi albumin menurun.

Ph lambung cenderung meningkat, sementara pengosongan lambung memanjang.

e. Sistem Saraf

Aliran darah serebral dan massa otak menurun sebanding dengan kehilangan
jaringan saraf. Autoregulasi aliran darah serebral tetap terjaga.
8

Aktifitas fisik tampaknya mempunyai pengaruh yang positif terhadap terjaganya


fungsi kognitif.

Degenerasi sel saraf perifer menyebabkan kecepatan konduksi memanjang dan


atrofi otot skelet.

Penuaan dihubungkan dengan peningkatan ambang rangsang hampir semua


rangsang sensoris misalnya, raba, sensasi suhu, proprioseptif, pende-ngaran dan
penglihatan.

Volume anestetik epidural yang diberikan cenderung mengakibatkan penyebaran


yang lebih luas ke arah kranial, tetapi dengan durasi analgesia dan blok motoris
yang singkat. Sebaliknya, lama kerja yang lebih panjang dapat diharapkan dari
anestetik spinal.

Pasien usia lanjut sering kali memerlukan waktu yang lebih lama untuk pulih
secara sempurna dari efek SSP anestetik umum, terutama jika mereka mengalami
kebingungan atau disorientasi preoperatif.

f. Muskuloskeletal
Massa otot berkurang. Pada tingkat mikroskopik, neuromuskuler junction menebal.

Kulit mengalami atrofi akibat penuaan dan mudah mengalami trauma akibat pita
berperekat, bantalan elektrokauter, dan elektroda elektrokardiografi.

Vena seringkali lemah dan mudah ruptur pada infus intravena.

Sendi yang mengalami arthritis dapat mengganggu pemberian posisi (misalnya,


litotomi) atau anestesi regional (misalnya, blok subarakhnoid).

2.4 Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan
sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi
lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan
diastolik 90 mmHg.
Hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2 golongan besar
yaitu :
1.Hipertensi essensial ( hipertensi primer ) yaitu hipertensi yang tidak diketahui
penyebabnya
2.Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang di sebabkan oleh penyakit lain

Hipertensi primer terdapat pada lebih dari 90 % penderita hipertensi, sedangkan


10% sisanya disebabkan oleh hipertensi sekunder. Menurut Smith (2001) faktor-faktor
resiko yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi primer adalah:
a) Faktor keturunan
Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar
untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi.
b) Ciri perseorangan
Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah umur, jenis
kelamin, dan ras. Umur yang bertambah akan menyebabkan terjadinya kenaikan
tekanan darah. Tekanan darah pria umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan
wanita. Juga, angka angka statistik di Amerika menunjukkan prevalensi hipertensi
pada orang kulit hitam hampir dua kali lebih banyak dibandingkan dengan orang kulit
putih.
c) Kebiasaan hidup
Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi adalah konsumsi
garam yang tinggi, kegemukan atau makan yang berlebihan, stress dan pengaruh lain.
WHO dan International Society of Hypertension Working Group (ISHWG) telah
mengelompokkan hipertensi dalam klasifikasi optimal, normal, normal-tinggi, hipertensi
ringan, hipertensi sedang, dan hipertensi berat.

Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO


Kategori
Optimal
Normal
Normal-Tinggi
Tingkat 1 (Hipertensi Ringan)
Tingkat 2 (Hipertensi Sedang)
Tingkat 3 (Hipertensi Berat)
Hipertensi sistol terisolasi
(Isolated systolic hypertension)

Tekanan Darah

Tekanan Darah

Sistol (mmHg)
< 120
< 130
130-139

Diatol (mmHg)
< 80
< 85
85-89

140-159

90-99

160-179
180

100-109
110

140

< 90

Hipertensi dapat menyebabkan komplikasi, antara lain seperti gagal jantung, infark
miokard, gagal ginjal, dan stroke. Tekanan darah yang terus-menerus tinggi
menyebabkan kerusakan pada dinding pembuluh darah yang disebut disfungsi endotel.
Hal ini memicu pembentukan plak aterosklerosis dan trombosis (pembekuan darah yang
berlebihan). Akibatnya pembuluh darah tersumbat dan jika penyumbatan terjadi pada
pembuluh darah otak dapat menyebabkan stroke. Stroke dapat timbul akibat perdarahan
10

tekanan tinggi di otak, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang
terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri
yang memperdarahi otak mengalami hipertropi dan menebal, sehingga aliran darah ke
daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang.
Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga
meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma. Gejala terkena stroke adalah sakit
kepala secara tiba-tiba, seperti, orang bingung, limbung atau bertingkah laku seperti
orang mabuk, salah satu bagian tubuh terasa lemah atau sulit digerakan (misalnya wajah,
mulut, atau lengan terasa kaku, tidak dapat berbicara secara jelas) serta tidak sadarkan
diri secara mendadak. Infark Miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang
arterosklerosis tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila
terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut.
Karena hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium
mungkin tidak dapat terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan
infark. Demikian juga hipertropi ventrikel dapat menimbulkan perubahan-perubahan
waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung,
dan peningkatan resiko pembentukan bekuan.
Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada
kapiler-kepiler ginjal, glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus, darah akan mengalir
keunit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi
hipoksia dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar
melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema
yang sering dijumpai pada hipertensi kronik.
Gagal jantung atau ketidakmampuan jantung dalam memompa darah yang
kembalinya kejantung dengan cepat mengakibatkan cairan terkumpul di paru,kaki dan
jaringan lain sering disebut edema. Cairan didalam paru paru menyebabkan sesak
napas, timbunan cairan ditungkai menyebabkan kaki bengkak atau sering dikatakan
edema.
2.4 Fraktur
Fraktur adalah suatu keadaan diskontinuitas jaringan struktural pada tulang (Sylvia
Anderson Price 1985).
2.4.1 Penyebab Fraktur

11

1. Trauma langsung/ direct trauma, yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana
bagian tersebut mendapat ruda paksa (misalnya benturan, pukulan yang
mengakibatkan patah tulang).
2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma, misalnya penderita jatuh dengan
lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada pegelangan tangan.
3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri
rapuh/ ada underlying disesase dan hal ini disebut dengan fraktur patologis
2.4.2 Deskripsi Fraktur
1. Berdasarkan keadaan luka
a. Fraktur tertutup (Closed Fraktur) bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (Open/ Compound Fraktur) bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit.
2. Berdasarkan garis patah
a. Fraktur komplet, bila garis patahnya menyeberang dari satu sisi ke sisi yang
lain, jadi mengenai seluruh dari korteks tulang
b. Fraktur inkomplet, bila tidak mengenai korteks tulang pada sisi yang lain,
jadi masih ada korteks tulang yang masih utuh. Hal ini seringkali terjadi pada
anak-anak yang lazim di sebut dengan Greenstick Farcture.
3. Berdasarkan jumlah garis patah
a. Simple fraktur bila hanya terdapat satu garis patah.
b. Comunitive fraktur bila ada garis patah lebih dari satu dan saling berbungan/
bertemu.
c. Segmental fraktur bila garis patah lebih dari satu dan tidak saling
berhubungan dengan pengertian bahwa fraktur terjadi pada tulang yang sama,
misalnya fraktur yang terjadi pada 1/3 proksimal dan 1/3 distal.
4. Berdasarkan arah garis patah
a. Fraktur melintang.
b. Farktur miring.
c. Fraktur spiral.
d. Fraktur kompresi.
e. Fraktur V/ Y/ T sering pada permukaan sendi.
Beberapa hal lain yang perlu di perhatikan dalam patah tulang:
12

a. Mengenai sisi kanan (dextra) atau sisi kiri (sinistra) anggota gerak.
b. Lokalisasinya semua tulang di bagi menjadi 1/3 proksimal, 1/3 tengah dan 1/3
distal, kecuali kalvikula dibagi menjadi medial, tengah, lateral.
c. Dislokasi fragmen tulang:
- Undisplaced.
- Fragmen distal bersudut terhadap proksimal.
- Fragmen distal memutar.
- Kedua fragmen saling mendekat dn sejajar.
- Kedua fragmen saling menjauhi dan sumbu sejajar.

13

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama

: Tn. N. S

Umur

: 68 tahun

Alamat

: Pasir II

BB

: 60 Kg

TB

: 170 cm

Jenis kelamin

: Laki-laki

Agama

: Kristen Protestan

Pekerjaan

: Swasta

Suku bangsa

: Serui

Ruangan

: Ortopedi

Tanggal masuk rumah sakit

: 4 Maret 2015

Tanggal operasi

: 12 Maret 2015

3.2 Anamnesis
Keluhan utama:
Nyeri pada paha kanan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke UGD dengan keluhan nyeri pada paha sebelah kanan. Nyeri dirasakan
sejak pagi. Sebelumnya pasien mengalami trauma akibat ditendang bagian kaki, dan
sempat dipukul di kepalanya. Pasien juga didorong dan tergelincir sehingga terdengar
bunyi seperti tulang yang patah. Pasien tidak mengeluh adanya nyeri pada kepala (-),
penglihatan kabur (-), pusing (-), dan keluar darah dari telinga (-).
Riwayat penyakit dahulu :
Hipertensi (-), DM (-), penyakit jantung (-), riwayat operasi (-), alergi obat (-), riwayat
merokok (+), alkohol (+)

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Keadaan Umum

: Baik
14

Kesadaran

: Compos Mentis

Tanda-tanda vital

Tekanan darah

: 160/90 mmHg

Nadi

: 76 x/m

Respirasi

: 20 x/m

Suhu badan

: 37,4 0C

Kepala

: Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-

Leher

: Pembesaran KGB (-)

Thoraks

: Paru
Jantung

Abdomen

: suara napas vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)


: Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-)

: datar, supel, bisung usus (+), hepar dan lien tidak teraba membesar

Ekstremitas : akral hangat, edema (-)


Status Anestesi
PS ASA
Hari/Tanggal
Ahli Anestesiologi
Ahli Bedah
Diagnosa Pra Bedah
Diagnosa Pasca Bedah
TTV
B1

: III
: 12/03/2015
: dr. DW, Sp. An,KIC
: dr. J, Sp. OT
: Closed Fraktur Intertrochanter Femur Dextra
: Closed Fraktur Intertrochanter Femur Dextra
: TD : 160/90 mmHg; N: 76 x/m; T : 37,4 0C
: airway bebas, retraksi (-), terpasang masker sungkup 6
lpm,

gerak dada simetris, suara nafas vesikuler +/+,

B2

rhonki -/-, wheezing -/-, RR : 20 x/m


: Perfusi : hangat, kering, merah. Capillary Refill Time < 2

B3

detik, BJ : I-II regular, konjungtiva anemis -/-, nadi : , TD:


: Kesadaran composmentis, GCS E4V5M6 , refleks cahaya +/

B4

+, refleks kornea +/+


: Terpasang DC, produksi urin pre op 400 cc, warna kuning

B5

jernih
: Perut datar, mual (-), muntah (-), bising usus (+), nyeri

B6
Medikasi pra bedah
Jenis Pembedahan
Lama Operasi
Jenis Anestesi
Anestesi dengan
Teknik Anestesi

tekan (-)
: Akral hangat (+), edema (-), fraktur regio femur (+)
:: ORIF
: 12.05 13.25 WIT
: Anestesi spinal
: Decain 0,5% 20 mg
: Pasien duduk desinfeksi lapangan operasi - penyuntikan
jarum lumbal nomor 27 pada regio vertebra L3-L4 15

cairan serebro spinal keluar (+) jernih, darah (-) Pernafasan


Posisi
Infus
Penyulit Pembedahan
TTV Pada Akhir
Pembedahan
Medikasi
3.4 Pemeriksaan Penunjang

dilakukan blok.
: Spontan
: Terlentang
: Tangan kiri, IV line abocath 18 G, cairan RL
:: TD : 201/88 mmHg; N; 83x/m; SB:37,40C; RR : 20x/m
: Durante Operasi:
Decain 0,5% (20 mg)
Ranitidine 50 mg
Ondansentron 8 mg
Antrain 1 amp

Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap
Hemoglobin

8 Maret 2015
11,0 g/dl

Leukosit

12,940/mm3

Trombosit

104.000/mm3

CT

1130

BT

200

3.5 Observasi Durante Operasi


Observasi Tekanan Darah dan Nadi
250
200
150

Sistol
Diastol

100

Nadi

50
0
11.35

11.55

12.15

12.35

12.55

13.05

13.25

Gambar. Diagram Observasi Tekanan Darah dan Nadi

Balance Cairan
Waktu
Pre operasi

Input

Output

RL : 500 cc

Urin : 400 cc

16

Durante
operasi
Total

RL : 500 cc

Urin : 700 cc

NaCl : 300 cc

Perdarahan : 300 cc

Transfusi 2 bag @200cc : 400 cc


1.700 cc

1.400 cc

Balance cairan: input output = 1.700cc 1.400 cc = + 300 cc


3.6 RESUME
Seorang laki-laki, 68 tahun. Dari anamnesis didapatkan pasien merupakan pasien
geriatri mengalami riwayat ditendang pada kaki kanan 3 hari sebelum pasien masuk ke
rumah sakit dan menderita closed fraktur intertrochanter femur dextra. Dari pemeriksaan
fisik, diketahui pasien menderita hipertensi (TD : 160/90 mmHg).
Pasien akhirnya menjalani operasi dengan ORIF (open reduction internal
fixation) pada tanggal 12 Maret 2015 dengan anestesi spinal menggunakan obat anestesi
decain 5% dan menjalani operasi selama 1 jam 20 menit.

17

BAB IV
PEMBAHASAN
2.1 Pre Operatif
Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien merupakan pasien laki-laki, 68 tahun,
merupakan pasien geriatri yang mengalami riwayat ditendang pada kaki kanan 3 hari
sebelum pasien masuk ke rumah sakit. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan, diketahui pasien menderita closed fraktur
intertrochanter femur dextra.
Dari hasil pemeriksaan fisik saat pasien tiba di ruangan didapatkan bahwa pasien
memiliki tekanan darah yang tinggi yaitu 160/90 mmHg. Hipertensi sendiri berkaitan
dengan berbagai penyakit sistemik terutama penyakit kardiovaskular seperti timbulnya
stroke dan penyakit kardiovaskular lainnya. Namun untuk membuktikan adanya
gangguan sistemik yang ditimbulkan akibat dari adanya hipertensi pada pasien perlu
dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang lebih jauh. Adanya hipertensi pada pasien ini
dapat dikaitkan dengan riwayat kebiasaan penderita yang mengonsumsi alkohol dan
merokok.
Pasien ditetapkan pada klasifikasi PS ASA 3 disebabkan pasien dengan penyakit
sistemik berat yang membatasi

aktivitas rutin, adanya keadaan fraktur femur pada

geriatri dan hipertensi pada pasien dan kemungkinan penyakit sistemik yang mungkin
ditimbulkan.
Pada kasus ini (reposisi/operasi fraktur femur), dilakukan penilaian status dan
evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan penunjang (pemeriksaan
laboratorium) untuk mengoreksi kemungkinan adanya gangguan fungsi organ yang
mengancam serta mempersiapkan darah untuk transfusi untuk mengantisipasi adanya
perdarahan pada pasien. Selain itu, pasien dipuasakan selama 8 jam sebelum dilakukan
operasi.
2.2 Durante Operasi
Anestesi spinal dipilih menjadi pilihan anestesi berdasarkan atas indikasi anestesi
spinal sendiri untuk bedah ekstremitas bawah. Pada kasus ini, penderita merupakan
pasien lanjut usia dan akan dilakukan tindakan bedah pada ekstremitas bawah (pro ORIF
femur dextra) yang diperkirakan memakan waktu yang cukup lama sekitar lebih dari satu
jam sehingga anestesi spinal merupakan pilihan tepat.
Pemilihan decain (bupivikain HCl) sebagai obat anestesi dikarenakan pasien
lanjut usia dimana terjadi penurunan fungsi organ, maka pemberian obat anestesi dapat
18

memperberat kerja organ tubuh dan dapat menyebabkan hipotensi. Anestesi spinal
dengan menggunakan decain ini diikeluarkan dari dalam tubuh melalui ginjal sebagian
kecil dalam bentuk utuh dan sebagian besar dalam bentuk metabolitnya. Berdasarkan hal
tersebut maka decain ini sudah tepat diberikan pada pasien geriatri yang mana
metabolisme serta fungsi fisiologis tubuhnya sudah mengalami penurunan, sehingga
tidak memperberat kerja organ. Selain itu efek samping decain yang dapat menyebabkan
hipotensi tidak berkontraindikasi dengan keadaan pasien dengan tekanan darah yang
tinggi.
Pada pasien ini diberikan medikasi durante operasi yaitu ranitidin 50 mg,
ondansentron 8 mg, dan antrain 1 amp secara intravena. Pemberian ranitidin dan
ondansentron sangat diperlukan dalam operasi dimana merupakan usaha untuk mencegah
adanya peningkatan asam lambung pada pasien operasi yang sudah dipuasakan serta
mencegah terjadinya aspirasi dari asam lambung. Sedangkan pemberian medikasi antrain
durante operasi yang bekerja sebagai analgesik bertujuan untuk meringankan rasa sakit.
Kebutuhan cairan harian untuk pasien ini dengan BB 60 kg, yaitu:
40 cc s/d 50 cc/24jam x 60 kg = 2400 cc s/d 3000 cc/24jam
100 cc s/d 125 cc/jam
Kemungkinan mengalami defisit cairan akibat adanya perdarahan yang terjadi
selama pembedahan dapat dilakukan terapi cairan dengan perhitungan sebagai berikut :
Terapi Cairan Perioperatif
Cairan yang harus didapatkan/digantikan
Cairan yang diberikan
a. Praoperasi
a. Praoperasi
- RL : 500 cc
- Urin : 400 cc
b. Durante operasi
b. Durante operasi
- RL : 500 cc
- Maintenance
- NaCl : 300 cc
Kebutuhan cairan durante operasi (operasi - Transfusi PRC 2 bag @200cc
bedah sedang) selama 1 jam 20 menit (1,5
jam)
6 cc x 60 kg x 1,5 jam = 540 cc
- Replacement
Kehilangan darah sebanyak 300 cc
EBV =70 x 60 kg = 4200 cc (Hb= 11,0 g/dl)
EBL : 10 % 420 cc (Hb = 9,9 g/dl)
20 % 840 cc (Hb = 8,8 g/dl)
30 % 1260 cc (Hb = 7,7 g/dl)
Jadi, perdarahan sebanyak : 300/4200 x
100% = 7%
Dapat diganti dengan cairan kristaloid 2 s/d
19

= 400 cc

4 x EBL = 2 s/d 4 x 300 = 600 cc s/d 1200


-

cc atau transfusi darah sebanyak 300 cc


IWL (insesible water lost) = 15cc x

kgBB/24jam = 15cc x 60 kg = 900cc/24jam


1 jam = 37,5 cc
1,5 jam = 56,25 cc 56 cc
Urin durante op : 700 cc
Pada kasus ini, output pasien saat pre operasi melalui urin sebanyak 400 cc,

sedangkan cairan yang didapatkan pasien saat pre operasi sebanyak 500 cc. Sehingga
masih terdapat kelebihan cairan +100 pada pasien.
Selama durante operasi, cairan maintenance untuk pasien ini yaitu sebanyak 540
cc. Adanya perdarahan yang terjadi yaitu sebanyak 300 cc. Adapun IWL sekitar 56 cc
dan urin 700 cc. Maka total cairan yang harus didapatkan pasien ini yaitu 540 cc + 300
cc + 56 cc + 700 cc = 1546 cc. Sedangkan cairan yang diperoleh sebanyak 1200 cc.
Sehingga kekurangan cairan durante operasi yaitu - 346 cc. Namun, terdapat kelebihan
cairan + 100 cc saat pre operasi dapat menutupi kekurangan cairan durante operasi yaitu :
- 346 cc + 100 cc = - 246 cc. Sehingga terdapat defisit cairan pada pasien sebanyak 246
cc yang harus diganti saat post operasi.
Adanya perdarahan yang terjadi yaitu sebanyak 300 cc dengan Hb awal (sebelum
operasi) yaitu 11,0 g/dl, apabila perdarahan bertambah maka dapat terjadi penurunan Hb
pada pasien ini. Apabila perdarahan 10% EBV pasien atau sebanyak 420 cc, maka dapat
menurunkan Hb pasien sebanyak 10% dari Hb awal sehingga Hb pasien bisa turun
menjadi 9,9 g/dl. Untuk mengantisipasi terjadinya hal tersebut pada pasien, maka
diperlukan transfusi darah pada pasien (mengingat kondisinya yang sudah lanjut usia)
tanpa harus menunggu perdarahan 10% EBV yang dapat menurunkan 10% Hb.
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan. Pada kasus ini, pasien
dirujuk ke ruang ICU untuk menstabilkan keadaan post operatif mengingat pasien ini
merupakan pasien lanjut usia yang mengalami perdarahan selama operasi. Observasi post
operasi dilakukan pemantauan keadaan pasien meliputi kesadaran, vital sign post operasi
(TD : 201/88mmHg; N; 83x/m; SB:37,4 0C; RR : 20x/m), dan memperhatikan kebutuhan
cairan post operasi serta defisit cairan sebelumnya. Post op hari pertama (di ICU), pasien
mendapatkan cairan tutofusin 2 kolf (1000 cc) dan darah 1 bag (200 cc). Sehingga
elektrolit dan kalori pasien post op dapat terpenuhi (Tutofusin 1000 cc mengandung 200
Kcal).
20

21

BAB V
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
1. Pasien laki-laki usia 68 tahun dipilih tindakan fiksasi/operasi closed fraktur
intertrochanter femur dextra dengan anestesi spinal.
2. Pasien diklasifikasikan ke dalam PS ASA 3 berdasarkan: 1) geriatri; 2) hipertensi.
3. Keadaan yang paling ditakutkan pada kasus ini adalah masalah farmakokinetik dan
farmakodinamik obat-obat anestesi berkaitan dengan kondisi pasien geriatri dengan
hipertensi, namun pada pasien ini hal-hal yang ditakutkan tidak ditemukan pada
pasien.
4. Efek yang ditakutkan pada pemberian anestesi spinal adalah hipotensi namun pada
pasien ini tekanan darah pasien yang semula (sebelum operasi) sudah tinggi, tidak
memberikan perubahan/ turun secara berarti.
1.2 Saran
Perlu dilakukan pengukuran tanda vital, berat badan, serta pemeriksaan penunjang
(pemeriksaan laboratorium dan foto thoraks) secara teliti pada pasien geriatri agar dapat
diberikan dosis medikasi yang tepat serta mengantisipasi keadaan serta kontraindikasi
obat-obat anestesi yang akan digunakan hubungannya dengan penyakit lain yang
kemungkinan diderita juga oleh pasien.

22

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Sylvia Price. 1985. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit. Jakarta :
EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail, Michael J. Murray, Clinical Anesthesiology, 4th
ed. New York. Chapter 45
Junadi, Purnawan. 1982. Kapita Selekta Kedokteran. Jakrta : Media Aesculapius
Latief, Said dkk. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta : Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI
Mangku, Gde, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta : PT Indeks
Muhiman, Muhardi, M. Roesli Thaib, S. Sunatrio, Ruswan Dahlan. 2004. Anestesiologi.
Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. h. 125-27
Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta : EGC
Soenarto, Ratna, Susilo Chandra. 2012. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta : Departemen
Anestesiologi dan Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Cipto
Mangunkusumo. h. 291-95. 455-67

23

Вам также может понравиться