Вы находитесь на странице: 1из 9

Nama: Mauliza Akbar

NIM : 140303067
A. Argumentasi al-Ghazali
Al-Ghazali berpendapat bahwa pemikiran para filosof tentang
metafisika bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk itu, ia mengecam
secara langsung dua tokoh Neo-Platonisme muslim (Al-Farabi dan Ibn
Rusyd), yaitu dalam masalah alam tidak bermula (qadim), Tuhan tidak
mengetahui perincian dalam dan pembangkitan jasmani tidak ada.1
1. Alam Qadim
Dikalangan pemikir Yunani seperti Aristoteles, mengatakan bahwa
alam ini qadim dalam arti tidak ada awalnya. Dan faham ini juga dianut
para filosof muslim seperti Al-Farabi dan Ibn Rusyd, mereka membuat
beberapa alasan yaitu:

Mustahil secara mutlak yang baharu muncul dari yang qadim.


Tuhan lebih dahulu daripada alam.
Tuhan lebih dahulu daripada alam bukan dari segi zaman melainkan

dari segi zat (tingkatan), seperti terdahulunya bilangan satu dari dua, atau
dari segi kausalitasnya, seperti dahulunya gerakan seseorang atas
gerakan bayangannya, sedang gerakan tersebut sebenarnya sama-sama
mulai dan sama-sama berhenti, artinya sama dari segi zaman. Berarti
Tuhan lebih dahulu daripada alam dan zaman, dari segi zaman, bukan dari
segi zat, maka artinya sebelum wujud alam dan zaman tersebut, sudah
terdapat suatu zaman dimana (tidak ada) murni terdapat didalamnya
sebagai hal yang mendahului wujud alam.
Tiap-tiap yang baru didahului oleh bendanya.
Tiap-tiap

yang

baru

didahului

oleh

bendanya

untuk

didapat

dikatakan bahwa benda itu baru. Yang baru hanyalah form, sifat-sifat dan
peristiwa-peristiwa yang mendatangkan kepada benda.
Al-Ghazali menjawab alasan-alasan para filosof tersebut dengan
membedakan antara iradat yang qadim dengan apa yang dikehendakinya.
Kehendak Allah yang azali adalah mutlak, artinya bisa memilih sewaktu1 3 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jld II (Jakarta: UIPress, , 1979) Hal.65

Nama: Mauliza Akbar


NIM : 140303067
waktu tertentu, bukan waktu lainnya, tanpa ditanyakan sebabnya karena
sebab tersebut adalah kehendakNya sendiri. Kalau masih ditanya
sebabnya, maka artinya kehendak Tuhan itu terbatas tidak lagi bebas.2
Menurut al-Ghazali, terdahulunya tuhan dari alam dan zaman ialah
maksudnya adalah bahwa tuhan sudah ada sendirian pada saat alam
belum ada, kemudian Ia menciptakan alam, hingga pada saat itu tuhan
ada beserta alam. Pada keadaan pertama adanya zat Tuhan yang
sendirian dan pada keadaan yang kedua adanya zat Tuhan zat alam,
sedangkan alam hanyalah gerakan alam yang berarti sebelum ada ada
benda ( alam) tentu saja belum ada alam.
Selanjutnya menurut Al-Ghazali, alam itu bukanlah suatu sistem
yang berdiri sendiri, bebas dari lainnya, bergerak, berubah, tumbuh dan
berkembang dnegan dirinya, dengan hukum-hukumnya. Tetapi wujud,
sistem

dan

hukum-hukumnya

bertopang

padaAllah.

Dia

lah

yang

mencipta, menahan, mengendalikan, menghidupkan dan mematikan


segala sesuatu.3
Dengan demikian menurut Al-Ghazali bahwa alam qadim dalam arti
tidak bermula tidak dapat diterima dalam teologi Islam. Sebab, menurut
teologi Islam Tuhan adalah pencipta, yang dimaksud dengan pencipta
adalah yang menciptakan sesuatu dari tiada (creatio ex nihilo). Kalau
alam dikatakan qadim, berarti alam tidak diciptakan, dengan demikian
Tuhan bukanlah pencipta, sedangkan Al Quran menyebutkan bahwa
Tuhan adalah pencipta segala sesuatu. Menurut Al-Ghazali alam haruslah
hadist (Bermula).4 Jika alam qadim berarti ada banyak yang qadim, hal ini
mengindikasikan kesyirikan atau justru tidak perlu adanya Tuhan sang
pencipta.5
2 A.Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995), Hal. 114
3 A.Hanafi, Ibid, Hal. 147
4 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Hal.38
5 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Hal.
85

Nama: Mauliza Akbar


NIM : 140303067
2. Tuhan tidak mengatahui hal-hal juziyyah.
Para filosof berpendapat bahwa tuhan tidak mengatahui hal-hal kecil
kecuali yang dengan cara kulliy. Dengan alasan yang baru ini dengan
segala peristiwanya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu tergantung
kepada yang diketahui atau dengan kata lain perubahan perkara yang
diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu berubah, yaitu dari
tahu menjadi tidak tahu, atau sebaliknya berarti Tuhan mengalami
perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan tidak mungkin terjadi.
Misalnya pada peristiwa gerhana matahari, sedangkan sebelumnya
tidak gerhana dan gerhana akan hilang. Sebelumnya kita mengetahui
gerhana itu tidak ada dan ketika terjadi gerhana pengetahuan kita
berubah jadi mengetahui adanya gerhana, lalu ketika gerhana berlalu,
pengetahuan kita berubah jadi mengetahui tidak ada gerhana lagi. Dari
contoh ini bisa menunjukkan pengetahuan yang satu bisa menggantikan
pengetahuan yang lain.
Tuhan

mengetahui

gerhana

dengan

segala

ifat-sifatNya,

pengetahuan yang azali, abadi dan tidak berubah-ubah seperti hukum


alam yang menguasai terjadinta gerhana.jadi ilmu Tuhan mengetahui
sejak azali karena sebab-sebab yang ditimbulkan oleh sebab-sebab lain
yang sifatnya juzi.
Menurut Al-Ghazali, ilmu adalah suatu tambahan atau pertalian
dengan zat, artinya lain dari zat. Kalau terjadi perubahan pada tambahan
tersebut,

maka

zat

Tuhan

tetap

dalam keadaan-Nya

yang

biasa,

sebagaimana halnya kalau ada yang berdiri di sebelah kanan kita


kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka sebenarnya yang
berubah adalah kita bukan Dia.
Argumentasi Al-Ghazali ini juga berdasarkan ayat-ayat Al-Quran
yang memberi petunjuk bahwa Tuhan mengetahui yang juziyah seperti
firmanNya dalam Surah Al-Hujurat Ayat 16:

Nama: Mauliza Akbar


NIM : 140303067
16. Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah
tentang agamamu, Padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa
yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?"
Dalam Surah Yunus Ayat 61:





61. Kamu tidak berada dalam suatu Keadaan dan tidak membaca suatu
ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan,
melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya.
tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di
bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang
lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata
(Lauh Mahfuzh).
3. Tidak ada kebangkitan jasmani
Para

filosof

berkeyakinan

bahwa

alam

akhirat

adalah

alam

keruhanian, bukan materil. Karena perkara keruhanian lebih tinggi nilainya


daripada alam materil. Karena itu pikiran tidaklah mengharuskan adanya
kebangkitan jasmani, kelezatan atau siksaan jasmani, surga atau neraka
serta segala isinya.
Pada intinya menurut mereka mustahil manusia dibangkitkan
kembali dengan jasad yang semula, sebab jasad tersebut telah hancur
dan terurai menjadi bahan makanan dan menjadi bagian dari tubuh
makhluk lain seperti hewan, tumbuhan atau bahkan manusia lainnya.
Al-Ghazali berpendapat bahwa jika manusia tetap wujud sesudah
mati, karena ia merupakan substansi yang berdiri sendiri. Pendirian
tersebut tidak berlawanan dengan syara, bahkan ditunjukkan seperti
disebutkan dalam Al-Quran dalam Surah Yasin ayat 78 dan 79:

Nama: Mauliza Akbar


NIM : 140303067


78. Dan ia membuat perumpamaan bagi kami; dan Dia lupa kepada
kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang
belulang, yang telah hancur luluh?"
79. Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali
yang pertama. dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk.
B. Bantahan Ibnu Rusyd
Ibn Rusyd menolak argumen tersebut. Pembelaan tersebut akan diuraikan
sebagai berikut:
1. Tentang qadimnya alam
Ibn Rusyd dalam kedudukannya sebagai filosof yang bertujuan
mencari kebenaran, lewat penafsirannya terhadap Al-Quran secara
rasional telah menawarkan keselarasan antara agama dan filsafat serta
tentang ketidak bermulaan alam ini. Ibn menjelaskan bahwa pendapat
kaum teolog tentang dijadikannya alam dari tiada itu tidak berdasar pada
argumen syariat yang kuat, karena tidak ada ayat-ayat yang menyatakan
bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, lalu ia menjadikan alam:
pendapat bahwa pada mulanya yang ada hanya wujud Tuhan ( seperti
pendapat

Al-Ghazali),

menurut

Ibn

Rusyd

hanyalah

merupakan

interprestasi kaum theologi semata, karena Alquran al-Karim telah


mengatakan bahwa alam ini bukan dijadikan dari tiada tapi dari sesuatu
yang ada, seperti yang disebutkan dalam surah al-Hud:

Nama: Mauliza Akbar


NIM : 140303067



7. Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan
adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji
siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya[711], dan jika kamu
berkata

(kepada

penduduk

Mekah):

"Sesungguhnya

kamu

akan

dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan


berkata: "Ini[712] tidak lain hanyalah sihir yang nyata".
[711] Maksudnya: Allah menjadikan langit dan bumi untuk tempat
berdiam makhluk-Nya serta tempat berusaha dan beramal, agar nyata di
antara mereka siapa yang taat dan patuh kepada Allah.
[712] Maksud mereka mengatakan bahwa kebangkitan nanti sama
dengan sihir ialah kebangkitan itu tidak ada sebagaimana sihir itu adalah
khayalan belaka. menurut sebagian ahli tafsir yang dimaksud dengan
kata ini ialah Al Quran ada pula yang menafsirkan dengan hari berbangkit.
Dapat diambil kesimpulan sebelum adanya wujud langit dan bumi
telah ada wujud lain, yaitu air yang diatasnya terdapat tahta kekuasaan
Tuhan. Tegasnya sebelum langit dan bumi diciptakan Tuhan telah ada air
dan tahta.6 Dan dari surah al fushilat ayat 11 yang artinya: kemudian ia
pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap. Dapat dipahami
bahwa sebelum alam ini diciptakan telah ada benda-benda lain yaitu air
dan uap. Menurut Ibn Rusyd, benda-benda itulah yang merupakan cikal
bakal terjadinya alam. Alam dalam arti umumnya adalah kekal dari sejak
zaman lampau atau qadim.7
Ibn Rusyd berpendapat bahwa benar ada penciptaan oleh Tuhan,
tetapi

penciptaan

yang

berlangsung

terus

menerus

6 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Hal.66


7 ibid. Hal. 51-52

setia

saat

Nama: Mauliza Akbar


NIM : 140303067
dalambentuk perubahan alam yang berkelanjutan. Semua bagian alam
berubah dalam bentuk baru, menggantikan bentuk lama. Pencipta aktif
yang terus menerus inilah yang harus disebut pencipta.
Untuk memperkuat pendapatnya tentang kekekalan alam itu Ibn
Rusyd lebih lanjut merujuk kepada surah Ibrahim ayat 48 yang
menjelaskan bahwa alam ini berkelangsungan dan diwujudkan terus
menerus. Dengan alasan itu menurutnya bahwa pendapat para filosof
tersebut tidak bertentangan dengan Alquran al-Karim.
2. Tentang Pengetahuan Tuhan.
Ibn Rusyd menyatakan bahwa Al Ghazali telah memahami pendapat
para filosof bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam
ini. Para filosof , kata Ibn Rusyd, tidak pernah menyatakan demikian, yang
dikatakan oleh para filosof terutama Ibn Sina ialah bahwa cara Tuhan
mengetahui hal-hal yang bersifat khusus ini melalui ilmuNya yang bersifat
kully.18 dan dengan mengetahui sebab-sebabnya saja Tuhan dapat
mengetahui segala akibat yang akan timbul darinya secara tidak
langsung. Dengan kata lain segala peristiwa yang terjadi di alam ini telah
diketahui oleh Tuhan sejak azali, yakni sebelum hal tersebut terwujud
dalam bentuknya yang konkrit. Karena ilmuNya terhadap sesuatu itu
adalah menjadi sebab bagi terjadinya hal tersebut. Jadi kalau Tuhan
mengetahui pula hal-hal yang kecil (juziyat), maka berarti pengetahuan
Tuhan disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna, dan hal ini tidak
wajar bagi Tuhan.8
Menurut
membutuhkan

Ibn
alat

Rusyd,
indra

untuk

mengetahui

sebagai

mana

sesuatu

manusia,

Tuhan
jika

tidak

Al-quran

menggambarkan Tuhan mendengarkan dan melihat hal itu tidak dapat


diartikan secara fisik, dan hal itu dimaksudkan untuk menginginkan
manusia agar mengetahui bahwa Tuhan tidaklah dapat dihalang-halangi
oleh

jenis

pengetahuan

macam

apapun.

Karena

Ia

melihat

dan

8 H.Hasbullah, Disekitar Filsafat Skolastik Islam (Jakarta: Tintamas, 1984), Hal. 72

Nama: Mauliza Akbar


NIM : 140303067
mendengar segala secara dengan caranya sendiri. Jadi tuhan tidak
mengetahui segala sesuatu secara juzI sebagaimana halnya manusia.
3. Tentang kebangkitan jasmani
Dalam memnantah gugatan Al-Ghazali tentang perkara ini,ibn rusyd
mengatakan bahwa para filosif tidak mengingkari adanya kebangkitan,
hanya saja ada yang berpendapat bahwa kebangkitan tersebut secara
ruhaniah bukan materi. Meskipun demikian Ibn Rusyd tidak mau
menafikan kemungkina adanya kebangkitan jasmani bersama ruhani.
Tetapi kalaupun ada kebangkiatan jasmani, namun bukanlah jasad yang
ada didunia, sebab jasad tersebut telah hancur dan lenyap disebabkan
kematian, sedangkan yang telah hancur mustahil dapat kembali seperti
semula.
Di dalam surga terdapat sesuatu yang tidak pernah terlihat oleh
mata dan tidak pernah terdengar oleh telinga, mengindikasikan bahwa di
dalam Surga bahwa nannti manusia tidak berbentuk wujud jasad. Oleh
karena itu ayat Al-Quran mengenai hal ini harus difahami secara
metaforis.
Lebih lanjut Ibn rusyd menganalogikan antar tidur dan kematian.
Menurutnya,

bahwa

perbandingan

antara

tidur

dan

kematian

itu

merupakan bukti yang terang untuk menyatakan bahwa jiwa itu hidup
terus, karena aktivitas jiwa berhenti bekerja pada saat tidur dengan cara
tidak

bekerjanya

organ-organ

tubuhnya,

tetapi

keberadaan

atau

kehidupan jiwa itu tidaklah berhenti. Oleh karena itu sudah semestinya
keadaan jiwa pada saat kematian itu sama dengan pada saat tidur.
Selanjutnya Ibn Rusyd menyatakan al-Ghazali sebagai orang yang
tidak konsisten. Dalam bukunya Tahafut al-Falasafah ia mengatakan
bahwa kebangkitan itu tidak hanya badan, tetapi dalam bukunya yang lain
ia mengatakan kebangkitan bagi kaum sufi hanya akan terjadi dalam
bentuk alam ruhani dan tidak dalam bentuk jasmani. Tetapi meskipun

Nama: Mauliza Akbar


NIM : 140303067
demikian menurut Ibn Rusyd, teori pembangkitan jasmani dan ruhani itu
diperlukan bagi orang awam.9

9 Harun Naution, Falsafat dan Mitisme, hal.54.

Вам также может понравиться