Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Kasus:
ABSTRAK
Latar belakang: Trauma mata merupakan salah satu masalah kesehatan dunia. Meskipun
termasuk kasus yang masih dapat dicegah, trauma mata tetapi menjadi salah satu
penyebab mortilitas, morbiditas dan disability. Trauma pada mata merupakan 25% dari
claim yang diajukan oleh pekerja las besi dimana subjeknya sebagian besar laki-laki 97%
dari bagian manufaktur 70,4% dari bagian servis 11,8% atau konstruksi 8,4%. Aktivitas
yang paling beresiko yakni pengelasan 31,9% dan atau aktivitas yang menggunakan
gurinda. Ini ditunjang oleh jurnal analisis dari original artikel dengan judul Welding
related occupational eye injurys: a narativ analisis.
Bengkel las merupakan salah satu tempat kerja informal yang berisiko untuk terjadinya
kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Selama proses pengelasan pekerja dapat terpapar
secara langsung oleh benda asing atau radiasi dari sinar tampak, sinar infra merah
dan sinar ultra violet yang berdampak pada mata.
Metode: Dengan pendekatan observasi melalaui proses walk through survey. Dari hasil
checklist okupasi diperoleh penderita yang mengeluhkan nyeri daerah bahu terutama saat
bekerja.
Hasil: Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan kepada pasien,
maka ditetapkan diagnosa sebagai trauma mata yang disebabkan oleh paparan partikel
besi yang dilas yang mengenai mata membuat mata nyeri sebagai Penyakit Akibat Kerja.
Faktor yang dominan berpengaruh pada kondisi ini berupa faktor ergonomi yaitu posisi
tubuh saat bekerja yang sering terpapar oleh partikel besi yang dilas dan dilakukan
berulang-berulang.
Kesimpulan: Studi kasus ini menunjukkan bahwa trauma mata adalah salah satu
penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh faktor ergonomi karena posisi tubuh saat
bekerja sering terpapar oleh pertikel besi yang dilas dan berlebih (overuse). Dengan
demikian tindakan pencegahan dan strategi pengendalian menjadi pilihan utama untuk
mengatasi berkembangnya kelainan ini.
Kata kunci: Faktor ergonomi, trauma mata, las
LATAR BELAKANG:
Di era globalisasi seperti sekarang ini, kemampuan dan fisik yang prima mutlak
harus dimiliki oleh setiap manusia, dimana dalam menjalankan aktivitas sehari-hari kita
dituntut untuk memiliki kemampuan dalam menyelesaikan berbagai macam pekerjaan
guna mendukung berbagai kegiatan, untuk memliki semua itu kita harus memiliki tubuh
yang sehat.1
Dari beragam aktivitas yang kita lakukan sehari-hari tanpa kita sadari sangat
sering kita mengesampingkan faktor kesehatan dalam bekerja, apabila ini dibiarkan
dalam rentan waktu yang lama dan tanpa adanya perbaikan akan berujung pada buruknya
kualitas fisik manusia. Hal tersebut akan berdampak pada penurunan kualitas kerja.
Namun dengan penanganan yang tepat, hal tersebut dapat dikurangi bahkan diperbaiki
sehingga sumber daya manusia dapat kembali produktif dan mencapai tingkat kesehatan
fisik yang optimal. 1
Mata adalah salah satu indera yang penting untuk mendukung setiap aktivitas kita
termasuk dalam bekerja. Mata memiliki beberapa sistem pelindung seperti refleks
memejam atau mengedip yang didukung bagian lain seperti rongga orbita, kelopak mata,
dan jaringan lemak retobulbar, namun mata juga masih sering mengalami trauma dari
dunia luar. Selain trauma tumpul ataupun trauma kimia, mata juga bisa mendapat trauma
radiasi elektromagnetik yang bersumber dari sinar inframerah, sinar ultraviolet, sinar X
dan sinar ionisasi (Ilyas,2011).
Berdasarkan sebuah penelitian di Kanada menyebutkan bahwa pekerja las
merepresentasikan sebanyak 21% dari angka trauma mata (Lombardi,2005). Hasil
penelitian dari Sonny Prijaya tahun 1998 menunjukkan angka keluhan mata sebesar
62,2% pada pekerja las industri kecil di Pulo Gadung, sedangkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Bambang Trisnowiyanto pada tahun 2002 terhadap pekerja las di daerah
Pasar Semanggi, Surakarta didapatkan 55% pekerja las mengalami keluhan pada mata.
Bahaya dari proses pengelasan yang berkaitan dengan mata salah satunya adalah
pajanan dari sinar ultraviolet yang dapat menyebabkan mata berair, mata seperti
kemasukan benda asing dan fotofobia (ILO, 1998). Pajanan sinar ultraviolet dipengaruhi
beberapa faktor, seperti: komponen spektrum sinar ultraviolet, intensitas dan dosis
radiasi, lama pajanan, jarak dari sumber pajanan dan proteksi terhadap sinar ultraviolet.
Sinar ultraviolet memiliki panjang gelombang 350-295 nM, merupakan sinar pendek dan
tidak terlihat yang dapat merusak epitel kornea mata dalam waktu 4-10 jam setelah
paparan (Ilyas, 2011). Epitel kornea memiliki banyak serabut saraf sensitif yang apabila
mengalami lesi dapat menyebabkan rasa nyeri dan fotofobia (Riordan-Eva,2009).
METODE:
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan cross
sectional melalui proses walk through survey. Data yang digunakan berupa kegiatan
responden dan data faktor-faktor pencetus Rotator cuff syndrome seperti faktor fisik dan
biologis. Data pengukuran adanya kecenderungan nyeri pada daerah bahu dengan
menggunakan check list.
Akan tetapi penelitian ini terdapat beberapa kelemahan yaitu kurangnya jumlah
kasus yang didapatkan, berat-ringannya kasus yang sulit ditentukan karena keterbatasan
sarana pemeriksaan dan kurangnya waktu yang didapatkan untuk melanjutkan survei.
Selain itu penelitian dengan studi ini tidak menggambarkan perjalanan penyakit, insiden,
maupun prognosis penyakit.
Bahan
Bahan yang digunakan pada survei ini adalah checklist yang dibuat. Checklist ini
dibuat berdasarkan informasi yang diperlukan daripada tujuan survei ini dilakukan. Pada
survei ini, informasi yang diperlukan adalah ada tidaknya faktor hazard, alat kerja apa
yang digunakan, alat pelindung diri yang digunakan, ketersediaan obat P3K di tempat
kerja, keluhan atau penyakit yang dialami pekerja.
Peralatan yang diperlukan untuk melakukan walk through survey antara lain:
-
lingkungan kerja
Checklist: berfungsi sebagai alat untuk mendapatkan data primer
mengenai survei jalan sepintas yang dilakukan
Cara
Cara survei yang dilakukan adlah dengan menggunakan Walk Through Survey.
Teknik Walk Through Survey juga dikenali sebagai Occupational Health Hazards. Untuk
melakukan survei ini, dapat dimulai dengan mengetahui tentang manejemen perencanaan
yang benar, berdiskusi tentang tujuan melakukan survei, dan menerima keluhan-keluhan
baru yang relevan.
Bahaya apa dan dalam situasi yang bagaimana bahaya dapat timbul, merupakan
sebagai hasil dari penyelenggaraan kegiatan Walk Through Survey. Mengenal bahaya,
sumber bahaya dan lamanya paparan bahaya terhadap pekerja.
Pihak okupasi kesehatan dapat kemudian merekomendasikan monitoring survey
untuk memperoleh kadar kuantitas eksposur atau kesehatan okupasi mengenai risk
assessment.
Walk Through Survey ini adalah bertujuan untuk memahami proses produksi,
denah tempat kerja dan lingkungannya secara umum. Selain itu, mendengarkan
pandangan pekerja dan pengawas tentang K3, memahami pekerjaan dan tugas-tugas
pekerja, mengantisipasi dan mengenal potensi bahaya yang ada dan mungkin akan timbul
di tempat kerja atau pada petugas dan menginventarisir upaya-upaya K3 yang telah
dilakukan mencakup kebijakan K3, upaya pengendalian, pemenuhan peraturan
perundangan dan sebagainya.
Lokasi Survei
Survei dilakukan di Workshop PT. Coca Cola Amatil Indonesia Sulsel.
HASIL:
Pada penelitian ini diambil sampel dari teknisi bengkel kulkas PT. Coca cola
Amatil Indonesia Sulsel dan dari perhitungan sampel didapatkan sampel sebanyak 1 dari
5 pekerja (total jumlah pekerja dibidang pengelasan).
Dari rencana waktu yang telah ditetapkan, terkumpul data yang didapatkan dari
check list yang dibuat. Dari hasil check list diperoleh 1 pekerja laki-laki mengeluh
mendapatkan keluhan nyeri pada mata. Dan sisanya mengeluh penyakit yang berbeda,
yang juga berhubungan dengan pekerjaan sebagai pegawai di bengkel Workshop PT.
Coca cola Amatil Indonesia Sulsel.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan kepada
pasien, maka ditetapkan diagnosa sebagai trauma mata yang disebabkan oleh paparan
partikel besi yang dilas yang mengenai mata membuat mata nyeri sebagai Penyakit
Akibat Kerja. Faktor yang dominan berpengaruh pada kondisi ini berupa faktor ergonomi
yaitu posisi tubuh saat bekerja yang sering terpapar oleh partikel besi yang dilas dan
dilakukan berulang-berulang. Didukung dari penelitian lain yang dilakukan menyatakan
bahwa terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian, baik ditinjau dari
umur, jenis kelamin, riwayat trauma, masa dan lama kerja, beban kerja dan posisi/sikap
tubuh saat bekerja.2,6
DISKUSI:
Trauma mata adalah rusaknya jaringan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata
dan atau rongga orbita karena adanya benda tajam atau tumpul yang mengenai mata
dengan keras/cepat ataupun lambat.
Trauma pada mata dapat mengenai jaringan seperti kelopak mata, konjungtiva,
kornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik dan orbita secara terpisah atau menjadi
gabungan trauma jaringan mata.
nampak sangat kesakitan, tetapi trauma basa akan berakibat fatal karena dapat
menghancurkan jaringan mata/ kornea secara perlahan-lahan.
Penanganan
Penderita secepatnya harus dikirim ke RS yang ada dokter spesialis mata. Sebaiknya
jangan lebih dari 6 jam setelah terjadi trauma untuk menghindari terjadinya infeksi.
Trauma tumpul cukup dibebat dengan plester, jika ada beri salep mata antibiotik
Trauma tajam dengan perlukaan dimata jangan memberi pengobatan dalam bentuk
apapun. Sebaiknya mata dibebat dengan plester. Pada umumnya perlu dilakukan operasi
segera
dengan
pembiusan
umum
maka
penderita
langsung
dipuasakan.
Trauma Khemis baik asam maupun basa sebaiknya secepatnya diguyur dengan air
mengalir sebanyak-banyaknya kemudian diberi salep mata dan dibebat dengan plester
secepatnya dikirm ke RS yang ada dokter spesialis mata.
Pengalaman empiris menunjukkan bahwa pencapaian kinerja manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja sangat tergantung kepada sejauh mana faktor
ergonomi telah diperhatikan di perusahaan tersebut. Kenyataannya, kecelakaan kerja
masih terjadi di berbagai perusahaan yang secara administrative telah lulus (comply)
audit sistem manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Ada ungkapan bahwa
without ergonomics, safety management is not enough. Keluhan yang berhubungan
dengan penurunan kemampuan kerja (work capability) berupa kelainan pada system otot
rangka (musculoskeletal disorders) misalnya seolah-olah luput dari mekanisme dan
system audit keselamatan dan kesehatan kerja yang ada pada umumnya. Padahal data
menunjukkan kompensasi biaya langsung akibat kelainan ini (overexertion) menempati
urutan pertama (sekitar 30%) dibandingkan dengan bentuk kecelakaan-kecelakaan kerja
yang lainnya.1
KETERBATASAN PENELITIAN:
Penelitian ini tentunya tidak terlepas dari keterbatasan, adapun keterbatasan dari
penelitian ini adalah checklist yang dibuat hanya menentukan hubungan penyakit akibat
kerja, tapi tidak dapat menentukan insidens, berat ringannya penyakit, dan prognosis
penyakit. Selain itu checklist yang hanya terfokus pada faktor penyebab penyakit akibat
kerja, tidak memenuhi semua poin-poin yang diperlukan untuk mendiagnosis penyakit
dari keluhan yang dirasakan. Demikian pula untuk survei menilai faktor psikososial
akibat kerja, diagnosisnya hanya bersifat subjektif.
Keterbatasan lainnya adalah tidak dilakukan pemeriksaan yang menyeluruh
terhadap seluruh responden, karena keterbatasan sarana pemeriksaan, dan keterbatasaan
waktu penelitian, karena untuk menganalisa faktor terjadinya kasus penyakit dengan
keluhan perlu diketahui riwayat penyakit terdahulu dan riwayat pekerjaan di tempat lain
yang mungkin berhubungan dengan keluhan yang dirasakan sekarang.
Akhirnya kami berasumsi bahwa bila terdapat gejala keluhan pada responden
dengan hasil survei dan penyakit akibat kerja tidak menunjukkan nilai yang berarti, maka
tidak menutup kemungkinan keluhan yang dirasakan pasien juga karena kontribusi dari
faktor individu dan faktor lingkungan lain, selain lingkungan tempat kerja.
Penelitian ini juga tidak mengklasifikan berat ringannya penyakit, berdasarkan
keluhan dari pekerja, juga tidak dapat menentukan penatalaksanaan yang tepat untuk
mencegah atau mengurangi keluhan yang dirasakan atau akan dirasakan nanti di masa
yang akan datang.
Sehingga perlu penelitian yang lebih mendalam dan pemeriksaan yang lebih
lengkap untuk dapat menilai secara keseluruhan penyebab dari keluhan yang dirasakan
oleh pekerja.
KESIMPULAN:
Faktor ergonomi di lingkungan kerja sebagai teknisi las yang bekerja di bengkel
kulkas yang membuat sering terpapar oleh bahan las dan selama 9 jam bekerja
dengan
REFERENSI:
1. Kurniawidjaja,
M.
Filosofi
dan
Konsep
Dasar
Kesehatan
Kerja
serta
Jakarta:2007
Ilyas, Sidarta. 2003. Ilmu Penyakit Mata, edisi 2. Balai penerbit FK UI; Jakarta
Ilyas, Sidarta. 2001. Penuntun Ilmu Penyakit Mata, edisi 2. Balai Penerbit FK UI ;
Jakarta
4. Mansyur, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3. MediaAesculapius ;
Jakarta
5. Harrianto R. Occupational Overuse Syndrome. Jakarta: Universitas Trisakti. 2000
6. Mikkelsen S. A Reference document: Associations between work-related exposure
and the occurrence of rotator cuff disease and / or biceps tendinitis.Foresterhill: The
Scientific Committee of The Danish Society of Occupational and Environmental
Medicine. 2007
7. Wijaya E. Rotator Cuff Syndrome. Jakarta. 2012
8. Canadian Centre for Occupational Health and Safety. Radiation and The Effects on
Eyes and Skin. http://www.ccohs.ca/oshanswers/safety haz/welding/eyes.htm1# 1 2;
(diakses tanggal 13juni 2016)