Вы находитесь на странице: 1из 14

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA
I.1. Anatomi & Fisiologi Appendiks
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog dengan
Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin, berbentuk tabung, panjangnya kira-kira
10 cm (kisaran 3-15 cm) dengan diameter 0,5-1 cm, dan berpangkal di sekum. Lumennya
sempit di bagian proksimal dan melebar dibagian distal.7 Basis appendiks terletak pada
bagian postero medial caecum, di bawah katup ileocaecal. Ketiga taenia caecum bertemu
pada basis appendiks.8,9
Apendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum) yang bergabung
dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale. Mesenteriolum berisi a.
Apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya terletak 2,5 cm dari katup ileocecal.
Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan
terkadang juga memiliki limfonodi kecil.3,10
Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa,
muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa. Apendiks mungkin
tidak terlihat karena adanya membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneum yang
menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan appendiks.
Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastic membentuk jaringan
saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes.
Mukosa terdiri dari satu lapis collumnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut
crypta lieberkuhn. Dinding dalam sama dan berhubungan dengan sekum (inner circular
layer). Dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli
pada pertemuan caecum dan apendiks. Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk
mencari apendiks.3
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8 yaitu
bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari
sekum yang berlebih akan menjadi apendiks, yang akan berpindah dari medial menuju katup
ileosekal.2
Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah
ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu.
Pada 65 % kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks
1

bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada
kasus selebihnya, apediks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon
asendens, atau ditepi lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak
apendiks.7
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika
superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh
karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus. Pendarahan apendiks
berasal dari a. apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat,
misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene.7
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara apendiks tampaknya
berperan pada patogenesis apendisitis.7
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut associated Lymphoid tissue)
yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini
sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks
tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan diseluruh tubuh.7
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir.
Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang
mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di apendiks dan
terjadi penghancuran lumen apendiks komplit.
I.2. Definisi
Apendisitis

adalah

peradangan

dari

apendiks

versiformis

dan

merupakan

kegawatdaruratan bedah abdomen yang paling sering ditemukan. Apendisitis disebut juga
umbai cacing. Apendisitis akut merupakan peradangan pada apendiks yang timbul mendadak
dan dicetuskan berbagai faktor. Diantaranya hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor
apendiks dan cacing ascaris yang dapat menimbulkan penyumbatan. Dapat terjadi pada
semua umur, namun jarang dilaporkan terjadi pada anak berusia kurang dari 1 tahun.
Apendisitis akut memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang secara
umum berbahaya. Jika diagnosis terlambat ditegakkan, dapat terjadi ruptur pada apendiks
sehingga mengakibatkan terjadinya peritonitis atau terbentuknya abses di sekitar apendiks.

I.3. Etiologi
2

Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Fekalit merupakan penyebab


tersering dari obstruksi apendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa
barium dari pemeriksaan roentgen, diet rendah serat, dan cacing usus termasuk ascaris.
Trauma tumpul atau trauma karena colonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada apendiks.
Post operasi apendisitis juga dapat menjadi penyebab akibat adanya trauma atau stasis fekal.
2,8 Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi. Fekalit ditemukan
pada 40% dari kasus apendisitis akut, sekitar 65% merupakan apendisitis gangrenous tanpa
rupture dan sekitar 90% kasus apendisitis gangrenous dengan rupture.2
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi mukosa
apendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran
kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.
Semuanya akan mempermudah terjadinya apendisits akut.7
I.4. Epidemiologi
Insiden appendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang,
namun dalam dekade tiga-empat dasawarsa terakhir menurun secara bermakna. Kejadian ini
diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu seharihari.
Pria lebih banyak daripada wanita, sedang bayi dan anak sampai berumur 2 tahun
terdapat 1% atau kurang. Anak berumur 2 sampai 3 tahun terdapat 15%. Frekuensi mulai
menanjak setelah usia 5 tahun dan mencapai puncaknya berkisar pada umur 9 hingga 11
tahun.
Di AS, insiden appendisitis berkisar 4 tiap 1000 anak dibawah 14 tahun. Walaupun
appendisitis dapat terjadi pada setiap umur, namun puncak insiden terjadi pada umur belasan
tahun dan dewasa muda.
I.5. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia
folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya,
atau neoplasma.1
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya
dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi. Obstruksi
3

tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama
mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya
sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60
cmH20. Manusia merupakan salah satu dari sedikit binatang yang dapat mengkompensasi
peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau terjadi perforasi.2
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia,
menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan
pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis
pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36
jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.1,9
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri
didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.1
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah
rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.1
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.1
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai dimukosa dan
melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan
usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan
omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya
dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak
terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang
untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.7
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah.1
4

Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya


tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale
dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir
proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi
maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum
cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu
penderita harus istirahat.3
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk
jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini
dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat
meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.7
I.6. Manifestasi Klinis
Keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus
yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan
bawah, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat pula keluhan lain
seperti anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya pula terdapat
keluhan konstipasi, tak jarang pula terjadi diare, mual, dan muntah.
Pada permulaan, timbulnya penyakit ini belum ada keluhan abdomen yang menetap.
Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif dan dengan
pemeriksaan yang seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri yang maksimal.
Perkusi ringan di kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri. Nyeri
lepas dan spasme biasanya akan muncul. Bila ada tanda Rovsing, psoas, dan obturator positif,
akan semakin menyakinkan diagnosis klinis apendisitis.
I.7. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan radiologi.
Anamnesis

Nyeri / Sakit perut

Gejala utama appendisitis akut adalah nyeri abdomen. Terjadi karena peristaltik untuk
mengatasi obstruksi yang terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri visceral
dirasakan pada seluruh perut. Mula-mula daerah epigastrium kemudian menjalar ke Mc

Burney. Apabila telah terjadi inflamasi (> 6 jam) penderita dapat menunjukkan letak nyeri,
karena bersifat somatik.

Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi n.vagus

Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan
kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan anoreksia hampir selalu ada
pada setiap penderita appendisitis akut, bila hal ini tidak ada maka diagnosis appendisitis
akut perlu dipertanyakan. Gejala disuria juga timbul apabila peradangan apendiks dekat
dengan vesika urinaria.

Obstipasi karena penderita takut mengejan

Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan
beberapa penderita mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada letak apendiks
pelvikal yang merangsang daerah rektum.

Panas (infeksi akut) bila timbul komplikasi

Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50 38,50C tetapi
bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi : pada appendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,

sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.


Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila

tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan
kunci diagnosis dari appendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan
nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila
tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.
Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan untuk

mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot
psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan,
kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas
mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator
dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila
apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding

panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan
pada appendisitis pelvika.
Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada appendisitis, untuk

menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan
pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak
didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada appendisitis pelvika.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan tes protein reaktif (CRP).
Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000 20.000/ml
( leukositosis ) dan neutrofil diatas 75 %, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah
serum yang meningkat.
Radiologi : terdiri dari pemeriksaan radiologis, ultrasonografi dan CT-scan. Pada
pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi
inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang
menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi
serta adanya pelebaran sekum.
Rontgen foto polos, tidak spesifik, secara umum tidak cost effective. Kurang dari 5%
pasien akan terlihat adanya gambaran opak fekalith yang nampak di kuadran kanan
bawah abdomen.
USG : pada kasus appendisitis akut akan nampak adanya : adanya struktur yang
aperistaltik, blind-ended, keluar dari dasar caecum. Dinding apendiks nampak jelas,
dapat dibedakan, diameter luar lebih dari 6mm, adanya gambaran target, adanya
appendicolith, adanya timbunan cairan periappendicular, nampak lemak pericecal
echogenic prominent.
CT scan : diameter appendix akan nampak lebih dari 6mm, ada penebalan dinding
appendiks, setelah pemberian kontras akan nampak enhancement gambaran dinding
appendix. CT scan juga dapat menampakkan gambaran perubahan inflamasi
periappendicular, termasuk diantaranya inflammatory fat stranding, phlegmon, free
fluid, free air bubbles, abscess, dan adenopathy.
I.8. Diagnosis Banding

Gastroenteritis akut merupakan kelainan yang sering dikacaukan dengan apendisitis.


Pada kelainan ini terdapat keluhan muntah dan diare yang lebih sering. Demam dan leukosit
meningkat dengan jelas dan tidak sesuai dengan nyeri perut yang timbul. Lokasi nyeri yang
dirasakan tidak jelas dan dapat berpindah-pindah. Gejala yang khas adalah dijumpainya
hiperperistaltik. Kelainan ini biasanya berlangsung akut dan perlu adanya observasi berkala
untuk menegakkan diagnosis gastroenteritis.
Adenitis mesenterikum juga menunjukkan gejala dan tanda yang identik dengan
apendisitis. Penyakit ini lebih sering menyerang anak-anak dengan biasanya diawali infeksi
saluran napas. Lokasi nyeri perut di bawah kanan tidak konstan dan menetap, dan jarang
terjadi true muscle guarding.
Divertikulitis Meckeli juga menujukkan gejala yang hampir sama. Lokasi nyeri
mungkin lebih ke arah medial, namun kriteria ini bukan kriteria diagnosis yang dapat
digunakan sebagai penegakan diagnosis penyakit ini. Kelainan baik divertikulitis meckeli dan
apendisitis membutuhkan tindakan operatif.
Enteritis regional, amubiasis, ileitis akut, perforasi ulkus duodeni, kolik ureter,
salpingitis akut, kehamilan ektopik terganggu, dan kista ovarium terpuntir juga sering
dikacaukan dengan apendisitis. Pneumonia lobus kanan bawah kadang-kadang juga
berhubungan dengan nyeri pada abdomen kuadran kanan bawah.
I.9. Penatalaksanaan
Jika diketahui hasil diagnosis positif appendisitis akut, maka tindakan yang paling tepat
adalah segera dilakukan apendektomi. Apendektomi dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu
cara terbuka dan cara laparoskopi. Apabila appendisitis baru diketahui setelah terbentuk
massa periapendikuler, maka tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah
pemberian/terapi antibiotik kombinasi terhadap penderita. Antibiotik ini merupakan antibiotik
yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Setelah gejala membaik, yaitu sekitar 6-8
minggu, barulah apendektomi dapat dilakukan. Jika gejala berlanjut, yang ditandai dengan
terbentuknya abses, maka dianjurkan melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian
dilakukan apendisektomi. Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan
pemeriksaan klinis serta pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau
abses setelah dilakukan terapi antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk membatalkan
tindakan bedah.
I.10. Komplikasi
Apendisitis merupakan penyakit yang jarang mereda dengan spontan, namun penyakit
ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan terjadi
8

perforasi. Perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, oleh karen itu observasi untuk
penegakan diagnosis ini aman dilakukan dalam waktu tersebut.
Tanda terjadinya perforasi antara lain adalah peningkatan nyeri, spasme otot dinding
perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi,
ileus, demam, malaise, dan makin jelasnya leukositosis. Bila perforasi disertai peritonitis
umum atau pembentukan abses terjadi sejak pasien datang pertama kali, diagnosis dapat
dengan pasti ditegakkan.
Bila terjadi peritonitis umum, terapi spesifik yang dilakukan adalah tindakan operasi
untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang adalah pasien
diharapkan untuk tirah baring dalam posisi Fowler medium (setengah duduk), pemasangan
NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik
berspektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik sesuai hasil kultur, transfusi untuk
menangani anemia, dan bila terdapat syok septik dapat dilakukan penanganan secara intensif.
Jika telah terbentuk abses apendiks akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang
cenderung menggelembung ke arah rektum dan vagina. Terapi awal diberikan kombinasi
antibiotik, misal ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau klindamisin. Adanya sediaan ini
abses akan segera menghilang, dan apendiktomi dapat dilakukan 6-12 minggu kemudian.
Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang
menonjol ke arah rektum atau vagina dengan fluktuasi positif juga perlu dibuatkan drainase.
Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi namun merupakan komplikasi
yang letal. Hal ini harus dicurigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil, hepatomegali,
dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Keadaan ini merupakan indikasi pemberian
antibiotik kombinasi dengan drainase.
I.11. Prognosis
Bila diagnosis yang akurat disertai dengan penanganan pembedahan yang tepat, tingkat
mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan
meningkatkan mortalitas dan morbiditas bila timbulnya adanya komplikasi. Serangan
berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat.

BAB II
LAPORAN KASUS
II.1. Identitas
Nama

: Ny. S
9

Usia
Jenis Kelamin
Agama
Alamat
Pekerjaan
No. RM

: 83 tahun
: Perempuan
: Islam
: Krajan 4/1 Banyubiru
: Petani
: 079997-2011

II.2. Anamnesis
II.2.1. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 10 hari yang
lalu.
II.2.2.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang pada 21 Februari 2015 ke IGD dengan keluhan nyeri perut

kanan bawah sejak 10 hari yang lalu. Nyeri yang dirasakan terus menerus. Mual (+),
muntah (-), demam (-), BAB dan BAK lancar. Pasien terlebih dahulu ke dokter umum,
kemudian di rujuk ke rumah sakit dengan diagnosa dari dokter umum adalah abdominal
pain curiga appendisitis infiltrat.
II.2.3.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengatakan sebelumnya belum pernah mengalami hal yang serupa.

Pasien tidak ada riwayat alergi, DM (-), HT (-).


II.2.4.

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien mengaku tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang

sama dengan pasien.


II.2.5.

Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku sudah ke dokter umum dan di rujuk ke rumah sakit.

II.3. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda Vital
Tekanan darah
: 140/90 mmHg
Nadi
: 80 kali/menit
Pernapasan
: 20 kali/menit
Suhu
: 37,20 C
Kepala
Bentuk kepala
: Normocephale
Mata
: Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), nistagmus (-)
Gigi-Mulut
: Lengkap, mulut basah
Leher
: KGB tidak membesar
Thoraks
Jantung
: Bunyi jantung normal, murmur (-), gallop (-)
10

Paru

: Bunyi napas vesikuler pasa seluruh lapang paru, ronkhi (-)/(-),

wheezing (-)/(-)
Abdomen
: Inspeksi: supel, datar; Auskultasi: BU (+); Palpasi:nyeri tekan Mc
Burney (+), nyeri lepas Mc Burney (+), Rovsing sign (+), Psoas sign (+); Perkusi:
timpani
Ekstremitas

: Edema (-)/(-), sianosis (-), capillary refill time <2 detik

II.4. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium:
Hb: 11,7 (12,5-15,5 g/dL)
Ht: 34,3 (35-47 %)
Granulosit: 8,4 (2-4 103/mikro)
Limfosit: 13,3 (25-40 %)
GDS: 120 (70-100 mg/dL)
USG Abdomen: regio mc burney tampak struktur appendiks yang membesar dengan air
fluid collection di sekitarnya. Kesan suspek gambaran appendisitis dengan infiltrat
II.5. Diagnosis
II.4.1. Diagnosis Kerja
Abdominal pain susp. Appendisitis infiltrat
II.6. Tatalaksana
II.5.1. Farmakologis
Infus RL 20 tetes/menit
Injeksi ceftriaxon 1/12 jam
Injeksi rantidin 1/12 jam
Amlodipin 1x5mg
Pre operasi:
Infus RL 20 ttm, puasa, konsul Sp. Anestesi, pasang DC, injeksi cefotaxim
II.5.2.

3x1 gram, injeksi ketorolac 3x3 gram, injeksi ranitidin 3x1 gram
Non-Farmakologis
Appendektomi

II.7. Prognosis
Dubia ad bonam

11

BAB III
AFTER CARE PATIENT
III.1. Definisi
After Care Patien (ACP) adalah pelayanan yang terintergritas dengan meninjau pada
lingkungan demi menjamin kesembuhan pasien dengan melihat permasalahan yang ada pada
pasien dan mengidentifikasi fungsi dalam anggota keluarga serta memberikan edukasi kepada
pasien mengenai gaya hidup sehat.
III.2. Tujuan
Tujuan dilakukannya after care patient selain untuk melihat perkembangan pasien
dalam pengelolaan pengobatan dan kesembuhan pasien.
III.3. Permasalahan Pasien
III.3.1. Identifikasi Fungsi-Fungsi Keluarga
a. Fungsi biologis dan reproduksi
Dari hasil wawancara didapakan informasi bahwa saat ini semua anggota
keluarga kecuali pasien dalam keadaan sehat. Anggota keluarga lain tidak
memiliki riwayat penyakit khusus. Pasien adalah seorang perempuan
berusia 80 tahun dengan status pernikahan sebagai janda memiliki 3 orang
anak.
b. Fungsi psikologis
Hubungan pasien dengan anggota keluarganya baik. Pekerjaan pasien
adalah petani.
c. Fungsi pendidikan
Pasien tidak mengenyam bangku pendidikan.
d. Fungsi sosial

12

Pasien tinggal di kawasan tidak begitu padat penduduk dengan tempat


tinggal yang sama dengan warga sekitar. Pergaulan umumnya berasal dari
kalangan bawah dan hubungan sosial dengan tetangga cukup baik. Pasien
cukup dikenal di lingkungan rumahnya.
e. Fungsi religius
Pasien menganut agama Islam.
III.3.2. Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan
a. Faktor perilaku
Jika ada anggota keluarga yang sakit, pasien dan keluarga langsung berobat
ke rumah sakit. Keluarga memiliki jaminan kesehatan.
b. Faktor non-perilaku
Sarana kesehatan relatif dekat dengan rumah. Rumah sakit dapat ditempuh
dengan kendaraan pribadi maupun angkutan umum.
III.3.3. Diagnosis Fungsi Keluarga
a. Fungsi biologis
Pasien perempuan usia 80 tahun dengan keluhan nyeri perut.
b. Fungsi psikologis
Hubungan pasien dengan keluarga dan tetangga cukup baik.
c. Fungsi sosial dn budaya
Pasien dapat bersosialisasi kepada warga sekitar dengan baik.
d. Faktor perilaku
Apabila ada anggota keluarga yang sakit, pasien berobat ke sarana
kesehatan terdekat.
e. Faktor non-perilaku
Sarana pelayana (rumah sakit) kesehatan dekat dari rumah.
III.4. Diagram Fungsi Keluarga
LINGKUNGAN
Kebersihan dan
kerapihan rumah baik

GENETIK

DERAJAT
KESEHATAN

Ny. S
PERILAKU
Appendicitis
Apabila ada
anggota keluarga
Infiltrat
yang sakityankes

YANKES
Pelayanan kesehatan
terjangkau

13

III.5. Risiko, Permasalahan dan Perencanaan Kesehatan Keluarga


Risiko dan Masalah
Kesehatan
Appendicitis Infiltrat

Rencana Pembinaan

Edukasi
mengenai
cara Pasien dan keluarga
merawat luka bekas operasi
serta memberi tahu pola
makan dan minum yang baik

III.6. Hasil Kegiatan


Tanggal
Subjektif
25-02-2015
Nyeri di luka
post op

26-02-2015

Sasaran

T.A.K

Objektif
KU: sakit
sedang
Kesadaran: CM
TD: 110/70
mmHg
Nadi: 65x/menit
S: 36,60C
RR: 20x
St. Lokalis:
bekas op baik,
pus (-), drain
minimal
KU: baik
Kesadaran: CM
TD: 120/70
Nadi: 68x/menit
S: 360C
RR: 20x

Assesment
Post laparotomy
appendicitis H1

Plan
Edukasi agar
luka tidak
terkena air,
makan minum
seperti biasa,
mulai gerak dan
jalan.

Post laparotomy
appendicitis H2

Terapi lanjut

III.7. Kesimpulan Pembinaan Keluarga


1. Tingkat Pemahaman
Pemahaman terhadap edukasi yang diberikan cukup baik
2. Faktor Penyulit
Tidak ada kesulitan
3. Indikator Keberhasilan
Pasien rajin kontrol ke rumah sakit untuk mengganti balut sehingga bekas operasi
tidak terinfeksi.
14

Вам также может понравиться