Вы находитесь на странице: 1из 15

PENERAPAN METODE LEAN PROJECT MANAGEMENT DALAM PERENCANAAN

PROYEK KONSTRUKSI PADA PEMBANGUNAN GEDUNG SDN BEKTIHARJO II


SEMANDING TUBAN
Ratih Indri hpasari, Prof. Ir. Moses L. Singgih, MSc., MReg.Sc., Ph.D
Jurusan Teknik Industri
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111
Email: ratih.07098@yahoo.com ; moses@ie.its.ac.id
ABSTRAK
Di dalam pelaksanaan proyek, ada dua kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu berhasil dan
gagal. Dikatakan berhasil apabila tepat waktu dan tepat anggaran, dan dikatakan gagal apabila
terlambat atau anggaran proyek membengkak. Keterlambatan pada proyek dapat disebabkan
ketidakproduktifan elemen-elemen yang terlibat dalam pelaksanaan proyek, yang pada akhirnya tidak
dapat memberi nilai tambah pada produk akhir atau lebih dikenal dengan istilah Non Value-Adding
Activities (waste).
Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut diperlukan perbaikan perencanaan dengan
menggunakan pendekatan Lean project management (LPM), yang didalamnya dilakukan
pengidentifikasian waste, resiko dan estimasi kebutuhan proyek (waktu, sumber daya, dan biaya),
estimasi waktu dilakukan dengan menggunakan metode penjadwalan Critical Chain Project
Managament (CCPM).
Berdasarkan hasil identifikasi dengan melihat kondisi lapangan dan karakteristik proyek
pembangunan gedung SDN Bektiharjo II Semanding Tuban, didapatkan waste yang berpotensi
muncul saat pelaksanaan proyek yaitu waiting dan defect.Waiting dan defects pada proyek ini
disebabkan karena faktor cuaca dan faktor lokasi proyek yang rawan pencurian, Untuk menghindari
hal tersebut ditempuh beberapa tindakan yaiu dengan menitipkan gudang penyimpanan material
dan peralatan kepada tokoh masyarakat sekitar dengan member imbalan., untuk masalah kondisi
cuaca buruk, dapat mengajukan surat keterlambatan kepada pihak pemerintah daerah (pemilik
proyek). Adanaya waste akan mengakibatkan keterlambatan prroyek, untuk itu perlu adanya safety
time (buffer time) yang terdapat dalam penjadwalan dengan metode CCPM. Dari hasil penanganan
waste dengan menggunakan penjadwalan CCPM didapatkan penghematan waktu pengerjaan proyek
sebesar 11 hari dan penghematan biaya sebesar Rp. 5.913.374.
Kata Kunci : Lean project management, Waste, Critical Chain.
ABSTRACT
One key to the success of a Construction project is the careful and structured planning.
Defining the system must be effective, to the environment or project. In general, project failures can
be caused by many things, both the external and internal projects. Examples of failure in case of
delay in project completion. The late on the project can be caused by less productivity of elements
involved in the implementation of the project, which ultimately can not add value to the final product,
or better known as Non-Value Adding Activities, which in the world of construction is referred to as
waste. Not only that, the delay factor can also result from a variety of unexpected obstacles, so the
time required to complete a longer project (not in accordance with the schedule).
To overcome these obstacles should be repaired by using the approaches for dealing with
these constraints, using the approach of Lean project management (LPM), in which made the
identification of waste, risk and estimated needs of the project (time, resources, and cost). Time
estimation is done by using the method of critical chain project management (CCPM).
Based on the resultsof identification by looking at field conditions and characteristic of the
building construction SDN Bektiharjo II Semanding Tuban, obtained waste of potencially occur
during execution of the project that is waiting and defect, and from the handling of waste by using
CCPM schedulling of project time savings gained by 11 days and savings fee of Rp. 5.913.374.
Keywords : Lean Lean project management, Waste, Critical Chain.

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Dalam pelaksanaan proyek konstruksi tidak
terlepas dari kendala ataupun kegagalan
konstruksi. Kegagalan
konstruksi dapat
disebabkan oleh rendahnya kinerja ataupun
produktiftas para tenaga kerja dan juga
perencanaan proyek yang kurang matang.
Walaupun kegagalan tersebut tidak dapat dilihat
secara nyata, namun jika berlangsung dengan
intensitas yang besar dan terus-menerus maka
kegagalan tersebut dapat terakumulasi dan
dampaknya akan terlihat pada akhir proyek,
misalnya saja keterlambatan pengerjaan proyek
dari jadwal yang
direncanakan dan
penambahan anggaran biaya dari yang semula
direncanakan. Segala sesuatu di dalam suatu
proyek yang tidak menambah nilai, sebaliknya
menambah biaya disebut dengan pemborosan
(waste). Untuk mengatasi hal ini dapat
diterapkan
pendekatan
Lean
Project
Management (LPM). Di dalam LPM terdapat
prinsip-prinsip yang dapat diterapkan dalam
perencanaan dan pengerjaan proyek.
Ketidakproduktifan inilah yang pada
akhirnya tidak dapat memberi nilai tambah pada
produk akhir atau lebih dikenal dengan istilah
Non Value-Adding Activities, yang di dalam
dunia konstruksi disebut sebagai waste. Faktor
lain yang menyebabkan adanya Non ValueAdding Activities adalah ketidakefektifan oleh
beberapa faktor yang terlibat dalam pelaksanaan
proyek (man, method, machine, material,
environment),
sehingga
dapat
memicu
keterlambatan dalam penyelesaian proyek.
Tidak adanya perencanaan yang baik dan
terstruktur juga merupakan salah satu faktor
yang berpengaruh pada terlambatnya proses
konstruksi, yang selanjutnya dapat berakibat
pada berkurangnya kepercayaan masyarakat,
dalam hal ini adalah owner terhadap kinerja
dari penyedia jasa konstruksi CV. Chandra
Setya Karya, merupakan badan usaha swasta
yang bergerak di bidang perdagangan umum,
perdagangan jasa, perindustrian, pertambangan,
kehutanan, dan konstruksi. Dalam bidang
konstruksi, CV. Chandra Setya Karya
melakukan pengerjaan proyek dengan metodemetode tradisional atau hanya berbekal ilmu
lapangan
(otodidak),
tanpa
melakukan
identifikasi dan pengaplikasian metode yang

terstruktur. Menurut hasil wawancara dengan


pihak CV. Chandra Setya Karya, sekitar 25%
dari keseluruhan proyek yang
dikerjakan,
khususnya
proyek
pemerintah,
terjadi
keterlambatan
yang
diakibatkan
sering
munculnya kendala-kendala yang tidak terduga,
baik
kendala
teknis
maupun
non
tekniskonstruksi.
1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan yang difokuskan pada
penelitian ini adalah mendefinisikan dan
menganalisa faktor-faktor
yang dapat
menghambat pelaksanaan proyek, baik dari segi
sumber daya, risiko, biaya, dan waktu. Studi
kasus dilakukan pada proyek pembangunan
gedung SDN Bektiharjo 2 yang di kerjakan
oleh kontruksi CV. Chandra Setya Karya.
Selanjutnya yaitu melakukan perencanaan
dalam
pelaksanaan
proyek
dengan
menggunakan pendekatan Lean project
management dengan menerapkan prinsipprinsip yang ada di dalamnya untuk mencapai
tujuan yang diinginkan
1.3 Tujuan Penelitian
Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini, adalah :
1. Mengidentifikasi waste yang berpotensi
terjadi dengan memberikan langkah
prefentif.
2. Mengidentifikasi risiko yang berpotensi
muncul selama pelaksanaan proyek.
3. Mengestimasi biaya, sumber daya, dan
waktu
yang
dibutuhkan
dalam
pelaksanaan proyek.
4. Mengaplikasikan metode Critical chain
Project Management (CCPM) untuk
perencanaan penjadwalan proyek.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Bagi perusahaan
Pihak manajemen dapat melakukan
perencanaan proyek lebih terstrukur
dengan menerapkan prinsip Lean
project
management,
sehingga
pelaksanaan proyek lebih efektif dan
efisien.
2. Bagi penulis
Dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman dari hasil penelitian dalam
perencanaan proyek.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian


Batasan yang digunakan dalam penelitian
ini, antara lain :
1. Penelitian dilakukan pada perencanaan
pembangunan gedung SDN Bektiharjo
2 di kecamatan Semanding kabupaten
Tuban yang akan dikerjakan oleh CV.
Chandra Setya.
2. Waste yang diidentifikasi adalah waste
yang
berpotensi
terjadi
selama
pelaksanaan proyek (sesuai dengan
karakterisitik proyek).
3. Waste yang diamati adalah 8 macam
waste menurut Womark and Jones
(1996).
4. Prinsip Lean project management yang
diterapkan dalam penelitian disesuaikan
dengan skala dan karakteristik proyek.
5.
Asumsi
yang
digunakan
dalam
penelitian ini antara lain :
1. Detail proyek tidak ada perubahan,
sesuai dengan surat kontrak.
2. Metodologi Penelitian
Pada tahap ini penentuan topik penelitian
didasarkan pada permasalahan yang terjadi di
CV. Chandra Setya Karya. Objek penelitian
dipilih karena di CV tersebut perencaan
proyeknya belum terstruktur dengan baik,
sehingga dalam pelaksanaan proyek, sering kali
ditemui banyak kendala yang tidak diduga
sebelumnya dan juga banyak terdapat non value
added activity (waste) saat pelaksanaan proyek.
Hal-hal tersbut membuat pengerjaan proyek
terhambat sehingga penyelesaian proyek tidak
sesuai jadwal (terlambat) dan mengakibatkan
anggaran biaya proyek membengkak. Topik
yang diambil dalam penelitian ini adalah Lean
project management (LPM). LPM ini
merupakan pendekatan dalam perencanaan
proyek, dengan fokus untuk meminamasi waste,
mengidentifikasi
permasalahan, serta
mengestimasi segala kebutuhan yang berkaitan
dengan proyek, sehingga pelaksanaan proyek
dapat terlaksana dengan lebih efektif dan
efesien.
2.1 Identifikasi dan Perumusan Masalah
Pada tahap identifikasi dan perumusan
masalah ini terdiri atas beberapa sub tahapan
yang akan dilakukan yaitu identifikasi masalah,
study literature dan studi lapangan.
2.1.1 Identifikasi Masalah

Tahap awal yang dilakukan dalam


penelitian
ini
yaitu
mengidentifikasi
permasalahan yang terjadi di CV. Chandra
Setya Karya. Dimana sebagian dari proyek yang
sudah dikerjakan mengalami
keterlambatan,
karena perencanaan yang kurang matang.
2.1.2 Studi Literatur dan Studi Lapangan
Studi lapangan dilakukan di tempat proyek
berlangusng dan di kantor CV. Chandra Setya
Karya, dengan melihat kondisi eksisiting dan
wawancara dengan pihak pihak yang terlibat
dalam pengerjaan proyek nantinya. Dengan
dilakukan studi lapangan diharapkan dapat
mendukung tercapainya tujuan penilitian yang
telah dirumuskan.
2.1.3 Perumusan Masalah Dan Penetapan
Tujuan Penelitian
Mendefinisikan permasalahan yang terjadi
pada objek amatan, sehingga dapat menentukan
perbaikan dan tujuan-tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian
3. Pengumpulan dan Pengolahan Data
3.1 Pengumpulan Data
Pada tahap ini dijelaskan tentang tahapan
pengumpulan dan pengelolaan data dari
permasalahan yang ada di dalam objek amatan.
Untuk pengumpulan dan pengolahan data
menggunakan pendektan metodologi yang
terdapat di dalam prinsip-prinsip Lean project
management.
3.2 Pengolahan Data
Setelah dilakukan pengumpulan data, tahap
selanjutnya adalah pengolahan data yang
dimulai dengan membuat bagan WBS,
identifikasi resikp, identifikasi peristiwa resiko,
dan mengestimasi sumber daya yang
dibutuhkan dalam pelaksanaan proyek.
3.2.1 Gambaran umum proyek
Dalam Proyek pembangunan gedung SDN
Bektiharjo II merupakan proyek pemerintah
daerah kota Tuban di kecamatan Semanding
yang bernilai Rp. 900.000.000,00. Sumber dana
dari proyek ini yaitu dari PAPBD (Perubahan
Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah). Di
dalam proyek ini terdapat 5 macam jenis
pekerjaan utama, yaitu pekerjaan persiapan,
pekerjaan pembangunan kantor, pekerjaan
pembangunan kelas, pekerjaan bak air, dan
pekerjaan lain-lain. Gedung yang akan
dibangun terdiri hanya satu lantai (tidak
tingkat), sehingga tidak membutuhkan alat

berat, cukup menggunakan peralatan sederhana,


misalnya cangkul, ayak pasir, molen, dll.
Lokasi lapangan proyek yang akan
dibangun yaitu terletak 1 km dari jalan utama,
hal ini berarti akan memudahkan proses
pendistribusian material. Medan menuju lokasi
pun cukup baik dan dapat dikatakan tanpa
hambatan, begitu pula dengan kondisi
lapangannya sendiri, kontur tanah dan kondisi
tanah lapangan cukup baik, tidak berbatu dan
rata, sehingga memudahkan para pekerja pada
saat memindahkan material dari satu tempat
ketempat yang lain. Hal ini tentu saja dapat
menghindari peristiwa perpindahan transportasi
berlebihan dan gerkan yang tidak diperlukan,
baik saat dilapangan (pekerja) maupun saat
menuju lapangan atau di dalam waste dikenal
dengan sebutan execcesive transportation dan
unnecessary motion. Pekerja yang digunakan
pada proyek ini yaitu rencananya akan
menggunakan pekerja yang sudah pernah
bekerjasama dengan pihak pelaksana pada
proyek sebelumnya, sehingga pemahaman
pekerja dalam penggunaan peralatan dan
prosedur setiap aktivitas proyek tidak diragukan
lagi, dan tidak perlu terjadi pengulangan
pekerjaan akibat kesalahan prosedur. Hal ini
dapat dikatakan sebagai upaya penghindaran
peristiwa unnapropriate processing dan over
production. Pemasokan bahan material juga
akan disesuaikan dengan standarisasi yang
terdapat dalam surat kontrak kerja, sehingga
kemungkinan untuk kelebihan bahan material
kecil, atau yang bisaanya disebut unnecessary
inventory. Design gedung dikerjakan sesuai
dengan design arsitektural dari pemerintah
daerah, oleh sebab itu kemungkinan adanya
ketidakcocokan atau ketidakpuasan konsumen
dalam hal design sangat kecil. Pelaksanaan
proyek dimulai pada tanggal 1 Juli 2011 sampai
batas waktu yang diberikan. Batas waktu untuk
yang diberikan untuk menyelesaikan pengerjaan
proyek ini yaitu 50 (lima puluh) hari kalender
dan untuk masa pemeliharaan selama 180 hari
(seratus delapan puluh) hari kalender (terhitung
penyerahan hasil pekerjaan pertama). Berikut
ini dapat dilihat dari gambar 3.1 kondisi
eksisting lokasi pembangunan proyek sebelum
dilakukan pengerjaan.
Gambar 3.1 Kondisi Kontur Tanah

3.2.2

Work Breakdown Structure (WBS)


Pengelompokan
aktivitas-aktivitas
proyek harus dikerjakan dan ditentukan
berdasarkan gambar struktural dan gambar
arsitektural, gambar struktural yang dimaksud
adalah dengan menggunakan sistem Work
breakdown
structure
(WBS).
WBS
menunjukkan aktivitas-aktivitas proyek secara
keseluruhan, yang digunakan sebagai dasar
penentuan volume, durasi aktivitas, biaya
proyek dan juga digunakan sebagai pedoman
penjadwalan. Bagan WBS proyek pembangunan
gedung SDN Bektiharjo II secara umum dapat
dilihat pada gambar 3.2.

Gambar 3.2 Work Breakdown Structure Proyek


Pembangunan Gedung SDN II Bektiharjo
3.2.3

Identifikasi Waste
Identifikasi waste, atau yang dibidang
kontruksi disebut Non Value Added Activity
bertujuan untuk mengidentifikasi waste yang
berpotensi terjadi saat pelaksanaan proyek.
Identifikasi dilakukan berdasarkan kondisi
lapangan yang akan dibangun dan karakteristik
proyek melalui wawancara pada pihak-pihak
terkait (pimpinan perusahaan, tenaga ahli,
konsultan, pekerja lapangan). Wawancara
tersebut bertujuan untuk mengeksplor informasi
mengenai risiko-risiko yang berpotensi muncul
dan berpengaruh pada pelaksanaan proyek
pembangunan gedung SDN Bektiharjo II ini.
Identifikasi
tersebut
diolah
dengan
menggunakan diagram Fish Bone dan formulasi
if then, hal ini dilakukan agar pihak kontraktor
mempunyai persiapan dan ketepatan dalam
mengambil tindakan baik tindakan korektif
maupun preventif, sehingga tidak banyak waktu
dan cost yang terbuang. Fish Bone diagram
digunakan untuk mengetahui akar penyebab
waste, yang dilihat dari segi manusia (man),
mesin (machine), dana (money), metode

(method),
material,
dan
lingkungan
(environment). Penyusunan Fish Bone diagram
dilakukan
melalui
wawancara
dan
brainstorming dengan pihak CV. Chandra Setya
Karya berdasarkan kondisi lapangan dan
karakteristik proyek yang akan dikerjakan dan
pengalaman dari proyek serupa sebelumnya.
Identifikasi waste dilakukan berdasarkan waste
yang paling berpengaruh dan berpotensi terjadi
pada proyek yang digunakan sebagai objek
amatan. Berdasarkan hasil wawancara dengan
pihak CV. Chandra Setya Karya dan dengan
melihat kondisi lapangan dan karakteristik
proyek, waste yang paling berpotensi muncul
dan berpengaruh pada proyek pembangunan
Gedung SDN Bektiharjo II dari 8 waste yang
telah didefinisikan oleh Womack dan Jones
1996 adalah waiting dan defects. Waiting, yaitu
kondisi dimana aktivitas proyek tertunda
sehingga dapat berpotensi mengakibatkan
keterlambatan dalam menyelesaikan kegiatan
proyek. Adapun Faktor-faktor penyebab dari
kondisi waiting pada proyek ini dapat dilihat
pada gambar 3.3 berikut ini.

Gambar 3.4 Fish Bone Diagram Defects


Dari gambar diagram Fish Bone di atas
dapat dilihat peyebab-penyebab munculnya
waste waiting dan defects yang berpotensi
terjadi pada objek amatan. Dari peristiwa
penyebab munculnya waste tersebut kemudian
di olah ke dalam formulasi if then untuk dapat
mengetahui tindakan-tindakan apa yang dapat
ditempuh dengan tujuan untuk meminimumkan
atau bahkan menghilangkan waste, baik langkah
preventif maupun korektif yang dapat dilihat
pada tabel 3.1 berikut ini :
Tabel 3.1 Identifikasi waste

Gambar 3.3 Fish Bone Diagram Waiting


Defects, defects pada proyek yaitu
terjadi ketika pada saat pelaksanaan proyek
terjadi kerusakan pada fisik bangunan, material,
property yang sebagian besar pada proyek ini
diakibatkan karena faktor cuaca sehingga
diperlukan waktu dan biaya yang lebih untuk
pengerjaan ulang (rework). Pada umumnya
musim hujan terjadi antara bulan Oktober
hingga Maret, namun pada kenyataanya musim
hujan dapat terjadi kapan saja, sehingga pihak
pelaksana harus lebih waspada. Penyebab
terjadinya defects pada proyek ini dapat dilihat
pada gambar 3.4 berikut ini

Dari tabel di atas didapatkan beberapa


solusi tindakan untuk setiap penyebab
terjadinya waste. Untuk penyebab yang
memiliki lebih dari satu solusi dan
diimplementasikan pada saat yang sama (yang
bertanda kuning) akan di olah ke dalam matriks
evaluasi untuk mendapatkan solusi terbaik
berdasarkan kriteria dan ketentuan yang sudah
ditetapkan sebelumnya, sehingga nantinya tiaptiap peristiwa penyebab terjadinya waste hanya
memiliki satu solusi terbaik.

Matriks Evaluasi
Matriks
evaluasi bertujuan untuk
mengetahui solusi mana yang layak dipilih
berdasarkan beberapa kriteria yang sudah
ditentukan sebelumnya dengan melakukan
pembobotan. Dari pembobotan tersebut akan
didapatkan scoring tiap-tiap solusi, sehingga
dapat diputuskan solusi mana yang dapat GO
atau NOT GO. Matriks evalusi hanya
digunakan pada peristiwa yang memiliki lebih
dari satu alternatif solusi dengan waktu
implementasi yang bersamaan (pra pelaksanaan,
saat pelaksanaan, atau pasca pelaksanaan). Ada
dua penyebab yang memenuhi kedua kriteria
tersebut yaitu penyebab waiting karena cuaca
buruk dan peralatan rusak. Kedua penyebab
tersebut kemudian di olah ke dalam matriks
evalusi untuk mendapatkan solusi terbaik
menurut beberapa kriteria. Untuk kriteria yang
NOT GO dapat dijadikan sebagai solusi
cadangan jika solusi pertama tidak dapat
diimplementasikan, urutan solusi sesuai dengan
bobot dari masing-masing.

pelaksana proyek, semakin tinggi bobot kriteria


tersebut, maka dianggap semakin penting
(diutamakan). Ranking pada tiap-tiap solusi
dilakukan pembobotan juga (1 sampai 10)
berdasarkan kriteria yang di tetapkan.
Pembobotan pada ranking solusi menyatakan
bahwa semakin besar bobot yang diberikan
maka dianggap semakin baik, misalnya semakin
besar bobot yang diberika pada kriteria waktu
maka semakin singkat waktu yang dibutuhkan.
Setelah
dilakukan
evaluasi
dengan
menggunakan matriks evaluasi, didapatkan
solusi terbaik dari penyebab cuaca buruk
adalah mengajukan surat keterlambatan dengan
menyerahkan bukti-bukti berupa dokumentasi
kepada pihak pemilik proyek, sedangkan untuk
penyebab peralatan / material hilang solusi
terbaikya yaitu menitipkan kepada masyarakat
sekitar dengan memberikan biaya yang pantas.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya,
untuk kriteria yang NOT GO dapat digunakan
sebagai solusi alternatif jika solusi utama tidak
dapat diimplementasikan.

Tabel 3.2 Matriks Evaluasi Cuaca Buruk

3.2.5 Managing variation


Variasi di dalam proyek diartikan
ketidakpastian, untuk itu pihak pelaksana perlu
memanage variasi, dengan cara mestimasi
sebelum pelaksanaan proyek baik dari segi
biaya, dan waktu, sumber daya yang digunakan.
Tujuan mengestimasi adalah agar manajemer
proyek dapat meramalakan atau memperkirakan
waktu, biaya, dan sumber daya yang dibutuhkan
saat pelaksanaan proyek. Estimasi bertindak
sebagai standar untuk membandingkan antara
kenyataan dan rencana di sepanjang umur
proyek. Yang pertama dilakukan adalah
mengestimasi biaya proyek dari kebutuhan
material dan tenaga kerja (sebelum PPN 10%
dan dana kontingensi), dengan tujuan agar
pihak pelaksanaa dapat memperkirakan apakah
total biaya proyek sesuai dengan nilai proyek
yang sudah ditentukan pihak pemilik proyek
atau justru melampaui. Estimasi biaya
dilakukan dengan merinci kebutuhan material
dan tenaga kerja dari tiap jenis pekerjaan.
Berikut rincian biaya secara umum dari proyek
pembangunan SDN Bektiharjo II dapat dilihat
pada tabel 3.4 berikut ini.

3.2.4

Cuaca Buruk
Mengajukan surat
Melakukan oercepatan
pengajuan keterlambatan
saat cuaca normal
pengerjaan

Weight
factor

Kriteria

Weighted
score

Ranking
Biaya
Waktu
Dampak
terhadap hasil
Resiko

Ranking

Weighted
score
24
32

8
8

9
6

72
48

3
4

7
6

8
7

56
42

5
35
5
30
121
NOT GO (GO II)

218

TOTAL
GO

GO/NOT GO

Tabel 3.3 Matriks Evaluasi Peralatan Hilang


Peralatan/material hilang

Kriteria

Menempatkan staff
keamanan di gudang
penyimapanan

Weight factor

Weighted
score

Ranking
Biaya
Waktu
Dampak
terhadap hasil

8
8
7

42

49

Resiko

42

42

188

203

NOT GO (GO II)

GO

TOTAL
GO/NOT GO

6
7

48
56

Menitipkan kepeda
tokoh masyarakat
dengan memberi
imbalan
Weighte
Ranking
d score
7
7

56
56

Weight factor menggambarkan bobot tiap-tiap


kriteria (1 sampai 10) berdasarkan prioritas

Tabel 3.4 Rincian biaya proyek

No.

Uraian
Pekerjaan

PEKERJAAN PERSIAPAN

Rp

PEKERJAAN KANTOR

Rp 377,444,697.60

PEKERJAAN KELAS B

Rp 333,725,125.60

PEKERJAAN BAK AIR

Rp

15,753,911.10

PEKERJAAN LAIN-LAIN

Rp

32,953,911.10

TOTAL ANGGARAN

Jumlah
7,788,000.00

Rp 771,136,737.70

Dari rincian biaya di atas didapatkan total


biaya proyek (sebelum PPN 10% dan dana
kontingensi) sebesar Rp. 771.136.737,00 juta,
total biaya setelah PPN yaitu Rp.
848.250.410,00 sedangkan nilai dari proyek
yang
akan
dikerjakan
sebesar
Rp.
900.000.000,00. Hal ini berarti biaya proyek
dapat diterima karena tidak melampaui nilai
proyek yang telah ditetapkan oleh pihak pemilik
proyek.
Setelah melakukan estimasi biaya,
dilakukan estimasi penjadwalan dengan
menggunakan kurva S dan Critical chain
Project Management. Kurva S bertujuan untuk
mengetahui perkembangan (sudah mencapai
berapa persen dari total keseluruhan pekerjaan)
dan tingkat kerumitan tiap-tiap pekerjaan,
sehingga pihak pelaksana dapat mengetahui
pekerjaan mana yang memebutuhkan perhatian
lebih. Semakin tinggi bobot dari pekerjaan
tersebut maka tingkat kerumitan semakin tinggi
pula. Tingkat kerumitan ini berpacu pada
perbandingan antara total biaya tiap pekerjaan
dengan total biaya proyek. Hasil pembobotan
dapat dilihat pada tabel 3.5. Berikut hasil kurva
S dari proyek pembangunan SDN Bektiharjo II

Gambar 3.5 Kurva S


Selanjutnya yaitu melakukan penjadwalan
dengan metode Critical Chanin Project
Management
(CCPM).
Tujuan
dari

penjadwalan CCPM ini adalah untuk


menghindari masalah-masalah yang terjadi pada
proyek, misalanya saja student syndrome,
parkinsons law effects atau dapat disebut
schedule syndrome yang dapat mengakibatkan
keterlambatan.
Kelemahan
metode
penjadwalan existing salah satunya adalah
pemberian waktu terlalu lama panjang karena
waktu cadangan diletakkan pada setiap
aktivitas, sehingga sumber daya cenderung
untuk menghabiskan waktu yang ada
(parkinsons law effects), padahal pekerjaan
dapat dilakukan lebih cepat dari itu atau bahkan
pekerja cenderung melakukan pekerjaan dengan
sungguh-sungguh pada akhir-akhir batas waktu
pekerjaan saja (stundent syndrome). Tentu saja
hal-hal ini dapat memicu keterlambatan
pengerjaan proyek.
Pengidentifikasian
waste
pada
pengelolahan data sebelumnya bertujuan untuk
mengetahui tingkat dampak waste yaitu waiting
dan defects, yang merupak waste yang paling
berpotensi dan berpengaruh terhadap durasi
proyek. Dengan mengetahui dampak tersebut,
maka akan dibuat rekomendasi perbaikan
melalui penjadwalan CCPM seperti yang telah
dijelaskan di atas.
Sebelum
dilakukan
penjadwalan
menggunakan CCPM, dapat dilihat jadwal
existing dari proyek pembangunan gedung SDN
Bektiharjo II.
Tabel 3.5 Penjadwalan Eksisting

CCPM merupakan perkembangan dari


metode Critical Path Management (CPM),
perbedaan secara teoritis terletak pada
peletakkan waktu cadang. Critical chain
merupakan serangkaian pekerjaan terpanjang
yang dapat mewakili keseluruhan durasi proyek.
Pada penjadwalan CCPM ini menurut
digunakan estimasi 50/50, karena menurut
Goldartts penggunaan estimasi 50/50 akan
memperkecil kerja hukum Parkinson, student
syndrome, dan perlindungan diri, dan pada
gilirannya
dapat
menigkatkan
tingkat
produktivitas tiap-tiap tugas individual. Dengan

cara yang sama, jadwal waktu yang


dimampatkan mengurangi kemungkinan efek
tongkat estafet. Namun pada proyek pada
proyek ini digunakan estimasi 80/20, karena
jika menggunakan estimasi 50/50 kebutuhan
jumlah pekerja akan membengkak.
Di dalam CCPM terdapat buffer time
yaitu waktu penyangga, yang digunakan untuk
melindungi ketidakpastian yang berpotensi
menimbulkan keterlambatan target penyelesaian
proyek. Goldartt merekomendasikan agar buffer
time dimasukkan ke dalam jadwal untuk
bertindak sebagai alat penahan goncangan
untuk melindungi tanggal penyelesaian proyek
terhadap durasi tugas yang mengambil waktu
lebih panjang dari estimasi 50/50.
Penentuan ukuran buffer dapat dilakukan
melalui metode square Root of the Sum of
Square (SSQ) (Herroelen, 2001). Metode ini
menggunakan dua parameter waktu yakni waktu
standar rata-rata yang diasumsikan sebagai
waktu yang masih menyimpan waktu cadangan
(S) dan waktu tercepat (A) yang diasumsikan
tanpa waktu cadangan. Rumus dari SSQ
tersebut adalah :

.....(1)
Dalam menentukan critical chain yang
digunakan untuk menentukan aktivitas kritis
yaitu dengan mengidentifikasi aktivitas mana
yang berpengaruh pada kegiatan proyek lainnya,
dan yang memiliki lintasan terpanjang. Dari
hasil identifikasi penjadwalan didapatkan
bahwa aktivitas kritis pada proyek ini adalah
pekerjaan pondasi, untuk itu perlu dialokasikan
feeding buffer sebelum pekerjaan pondasi,
dengan tujuan agar variasi dari pekerjaan
tersebut menggangu aktivitas kritis. Pada tabel
3.7 berikut ini dapat dilihat perhitungan alokasi
feeding buffer untuk pekerjaan pondasi dan
project buffer.
Tabel 3.7 Perhitungan project buffer
Optimistic (A) Most Likely (S)
3
3
PEKERJAAN TANAH DAN URUGAN
2
3
PEKERJAAN PONDASI
7
8
PEKERJAAN PASANG DINDING DAN PLESTERAN
6
8
PEKERJAAN BETON
2
2
PEKERJAAN KAYU (BENGKERAI)
4
6
PEKERJAAN LANGIT-LANGIT
4
6
PEKERJAAN PENUTUP ATAP
5
5
PEKERJAAN PLITURAN DAN PENGECATAN
3
4
PEKERJAAN PENUTUP LANTAI DAN DINDING
5
5
PEKERJAAN KUNCI DAN KACA
1
1
PEKERJAAN SANITASI
1
2
PEKERJAAN INSTALASI LISTRIK
1
1
PEKERJAAN PAVING KELILING GEDUNG
4
4
PEKERJAAN BAK AIR
1
1
PEKERJAAN LAIN-LAIN
1
1

(S-A)/2
0
1
1
2
0
2
2
0
1
0
0
1
0
0
0
0

(S-A)/2 x (S-A)/2

0
1
1
4
0
4
4
0
1
0
0
1
0
0
0
0
16

Pekerjaan pondasi

Gambar 3.6 Penjadwalan dengan metode CCPM

Gambar 3.7 Gantt chart penjadwalan dengan


metode CCPM
Dari penjadwalan CCPM, didapatkan
bahwa panjang durasi yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan proyek 49 hari (termasuk buffer
time) hal ini tentu saja jauh lebih singkat
dibandingkan dengan jadwal eksisting yaitu
sepanjang 50 hari. Setelah mengetahui jadwal
proyek, maka pihak pelaksana dapat melakukan
estimasi tenaga kerja pada setiap pekerjaan.
Kebutuhan jumlah pekerja berbanding terbalik
dengan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk
meyelesaikan suatu pekerjaan, semakin singkat
(sedikit) waktu
yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan pekerjaan maka kebutuhan
pekerja semakin banyak, begitu pula sebaliknya.
Berikut dari tabel 3.7 dapat dilihat kebutuhan
tenaga kerja pada tiap-tiap aktivitas. :

P ro je c t b u ffe r

Jenis Pekerjaan

PEKERJAAN PERSIAPAN

Tabel 3.8 Perhitungan feeding buffer


Optimistic (A) Most Likely (S) (S-A)/2 (S-A)/2 x (S-A)/2 Project buffer
Jenis Pekerjaan

Tabel 3.7 Kebutuhan rata-rata pekerja per hari


pada tiap pekerjaan
Jenis Pekerjaan

Jenis Pekerja

Pekerja
Tukang kayu
PEKERJAAN
PERSIAPAN
Kepala tukang kayu
Mandor
PEKERJAAN TANAH Pekerja
DAN URUGAN
Mandor
Tukang batu
Kepala tukang batu
PEKERJAAN PONDASI
Mandor
Pekerja
Tukang batu
PEKERJAAN PASANG
Kepala tukang batu
DINDING DAN
Mandor
PLESTERAN
Pekerja

PEKERJAAN BETON

PEKERJAAN KAYU
(BENGKERAI)

Pekerja
Kepala tukang batu
Tukang batu
Mandor

4
1
1
1

Pekerja
Tukang kayu

7
14
1
1
9
9
3
1
9
8
1
1
1

Kepala tukang kayu


Mandor
Pekerja
PEKERJAAN LANGIT- Tukang kayu
LANGIT
Kepala tukang kayu
Mandor
Pekerja
Tukang kayu
PEKERJAAN
Kepala tukang kayu
PENUTUP ATAP
Mandor
Tukang batu
PEKERJAAN
PLITURAN DAN
PENGECATAN

PEKERJAAN
PENUTUP LANTAI
DAN DINDING

PEKERJAAN KUNCI
DAN KACA

PEKERJAAN
SANITASI

Jumlah
4
4
1
1
15
2
10
1
1
26
6
1
1
11

Tukang cat
Kepala tukang cat
Pekerja
Mandor
Kepala tukang batu
Tukang batu
Kepala tukang batu
Pekerja
Mandor
Tukang kayu
Pekerja
Kepala tukang kayu
Pekerja
Tukang batu

Kepala tukang kayu


PEKERJAAN PAVING Tukang batu
KELILING GEDUNG
Pekerja
Pekerja
PEKERJAAN BAK AIR
Mandor

9
1
4
1
2
11
1
17
1
7
1
1
5
2
1
7
14
3
1

3.2.6 Identifikasi Risiko


Identifikasi
risiko
berfungsi
untuk
mendapatkan area-area dan proses-proses teknis
yang memiliki risiko yang potensial untuk
selanjutnya dianalisa. Secara garis besar
tahapan identifikasi risiko adalah merinci
risiko-risiko yang ada sampai level yang detail
dan kemudian menentukan signifikansinya

(potensinya) dan penyebabnya, melalui program


survei dan penyelidikan terhadap masalahmasalah yang ada. Risiko-risiko yang telah
dirinci ini kemudian digolongkan dalam
kategori-kategori.
Pada dasarnya identifikasi risiko
diawali dengan menyusun daftar kejadian-kejadian tidak diharapkan di proyek yang
mungkin menyebabkan kegagalan dalam
mencapai sasaran proyek. Sumber informasi
mengenai
kejadian-kejadian
yang tidak
diharapkan diperoleh dari sumber yang objektif,
yaitu kejadian pada proyek-proyek sebelumnya
yang tercatat dalam rekord-rekord proyek. Yang
kedua yakni sumber yang subjektif, yaitu
pengalaman para pakar terkait yang dapat
diperoleh melalui wawancara. Menurut (Gray
and Larson, 2000), penyusunan identifikasi
risiko dapat berasal dari opini para pakar
(expert
opinion)
atau
dari
estimasi
berdasarkan perasaan (good feeling) para
pakar berdasarkan pengalamannya.
Dari kedua sumber informasi tersebut
direkap menjadi satu, sehingga didapatkan
daftar kejadian-kejadian yang tidak diharapkan
yang
berpotensi
terjadi
pada
proyek
pembangunan SDN Bektiharjo II ini. Berikut ini
merupakan peristiwa risiko yang dikhawatirkan
terjadi saat pelaksanaan proyek.
Tabel 3.8 Identifikasi Peristiwa Risiko
Konsep

R
e
s
i
k
o

Sumber

Indikator

Ekternal tidak dapat


diprediksi

Acts of God dan natural hazard

Eksternal dapat
diprediksi

Masalah dalam penyediaan sumberdaya (material; tenaga


kerja; alat)
Kondisi keuangan proyek yang buruk
Kondisi waktu pelaksanaan proyek yang buruk

Internal non-teknis

K3
Pencurian; kelalaian; ketidakjujuran
Kerusakan alat; properti; fisik proyek

Dari daftar kejadian risiko di atas kemudian


dilakukan risk priority number pada setiap
indikator risiko, yang dimana risk priority
number diberikan sesuai hasil wawancara
dengan para pakar yang terakit dengan proyek
serupa (konsultan, direktur, tenaga ahli, dan
pekerja lapangan). Risk priotity number terletak
pada range 1 sampai 5 pada tiap-tiap indakator.

Berikut ini dapat dilihat dari tabel 3.9 form


penilaian risiko dari proyek pembangunan
gedung SDN Bektiharjo II, yang dilakukan oleh
pihak CV. Chandra setya Karya. Pembobotan
dilakukan oleh orang yang benar-benar
mengetahui kondisi lapangan dan lingkungan
yang dapat mempengaruhi proyek.
Tabel 3.9 Form Penilaian resiko
Indikator (peristiwa) resiko

Kemungkinan Dampak Deteksi kesulitan

Acts of God dan natural hazar d

Masalah dalam penyediaan sumberdaya


(material; tenaga kerja; alat)

Kondisi keuangan proyek yang buruk

FMEA

Kapan

50

Setiap saat

24

Sebelum dan saat


pelaksanaan

16

Sebelum dan saat


pelaksanaan

Kondisi waktu pelaksanaan proyek yang


buruk

24

Saat pelaksanaan

K3

16

Saat pelaksanaan

Pencurian; kelalaian; ketidakjujuran

36

Setiap saat

Kerusakan alat; properti; fisik proyek

Saat pelaksanaan

Pada tabel form penilaian risiko di atas juga


dilakukan Failure Mode and Effects Analysis
(FMEA),
tujuannya
yaitu
mengetehaui
peristiwa risiko apa yang kemungkinan besar
terjadi, berdampak buruk, dan mempunyai
tingkat kesulitan penanganan yang tinggi.
Semakin tinggi nilai FMEA, maka pihak
pelaksana harus semakin waspada terhadap
peristiwa risiko tersebut. Setalah dilakukan
FMEA kemudian tiap-tiap peristiwa risiko
diplotkan ke dalam matriks tingkat keparahan
risiko, yang berfungsi untuk mengetahui
terletak di zona manakah risiko tersebut.
Sehingga pihak pelaksana dapat lebih waspada.
Matriks dibuat dengan memasukkan dampak
dan kemungkinan peristiwa risiko, dan dibuat
sesuai dengan pembobotan form penilaian risiko
sebelumnya (array 5x5) dengan masing- masing
unsur mewakili serangkaian dampak yang
berbeda. Matriks dibagi menjadi zone merah,
kuning, dan hijau yang mewakili risiko utama,
sedang, dan minor, berturut-turut. Dari gambar
3.8 berikut ini dapat dilihat matriks tingkat
keparahan risiko.

4. Analisis dan Interpretasi Hasil


4.1
Analisa Waste
Identifikasi waste mengacu pada 8 macam
waste seperti yang telah didefinisikan oleh
Womack dan Jones (1996) yang terdapat di
dalam proyek. Waste yang diidentifikasi hanya
waste yang berpotensi terjadi sesuai dengan
keadaan dan karakteristik proyek yang akan
dikerjakan. Dari hasil identifikasi melalui
wawancara dengan pihak-pihak terkait,
didapatkan bahwa waste yang berpotesi muncul
yaitu waiting dan defects. Faktor cuaca yang
tidak menentu dan lokasi proyek yang terkenal
rawan pencurian merupakan ancaman terbesar
dalam pelaksnaan proyek ini. Efek cuaca buruk
juga dapat mengakibatkan kerusakan pada
material, property, dan kondisi fisik proyek,
sehingga dapat mengakibatkan defects dan
waiting pada pekerjaan tersebut dan dapat
berpengaruh pada kelancaran pekerjaan setelah
itu (mengalami kemunduran) karena peralatan
yang digunakan rusak atau karena adanya
kesalahan maka perlu dikerjakan ulang dari
awal. Tentu saja apabila hal ini terjadi, jelas
akan dapat mengakibatkan pemborosan biaya
dan waktu sehingga dapat merugikan pihak
pelaksana (pembengkakan biaya proyek dan
keterlambatan proyek). Untuk mengatasi hal-hal
tersebut perlu tindakan-tindakan yang perlu
dilakukan, baik itu merupakan tindakan
preventif maupun tindakan korektitif. Berikut
ini tabel 4.1, merupakan tabel rekomendasi
tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh pihak
pelaksana setelah dilakukan evaluasi dengan
matriks evaluasi dan sesuai dengan identifikasi
dengan formulasi if then yang dilakukan pada
bab sebelumnya.
Tabel 4. 1 Rekomendasi Solusi Penyebab Waste
Setelah Evaluasi
Controling Waste

K
E
M
U
N
G
K
I
N
A
N

If

Material/Peralatan
hilang

Pencurian; kelalaian;
ketidakjujuran

Masalah dalam
penyediaan sumberdaya

Kondisi waktu
pelaksanaan proyek
yang buruk

Kondisi keuangan proyek


yang buruk

Cuaca
buruk/bencana alam

Acts of God and natural


hazzard

1
Kerusakan alat properti;
fisik proyek

K3
1

D A M P A K

Gambar 3.8 Matriks Tingkat Keparahan Risiko

Keterlambatan
penurunan anggaran
proyek

Then
Menitipkan ke tokoh
masyarakat sekitar
dengan memberikan
imbalan
Mengajukan surat
pengajuan
keterlambatan
Mengunakan dana
talangan

When
Saat
pelaksanaan
Saat
pelaksanaan
Saat
pelaksanaan

10

4.3

Analisa Risiko

Ketika suatu peristiwa risiko telah dikenali


dan dinilai, berikutnya adalah membuat sebuah
keputusan
untuk merepons dengan tepat
peristiwa tersebut. Respons terhadap risiko
dapat
dikelompokkan
sebagai
respons
pengurangan
(mitigating),
penghindaran
(avoiding), pemindahan (transferring), berbagi
(sharing) dan menahan (retaining). Selain
merespons, setiap peristiwa risiko juga perlu
adanya perencanaan kontingensi yaitu sebuah
rencana alternatif yang akan digunakan jika
suatu peristiwa risiko yang diperkirakan belum
terjadi atau bahkan telah terjadi. Rencana
kontingensi diharapkan dapat berperan sebagai
tindakan yang dapat mengurangi atau
memperkecil dampak negatif dari peristiwa
risiko. Dampak negatif dari peristiwa risiko
tersebut merupakan salah satu faktor penyebab
timbulnya waste, dan juga sebaliknya,
timbulnya waste juga dapat memicu terjadinya
peristiwa risiko. Untuk mengetahui tindakan
apa dan bagaimana pihak pelaksana dapat
mengatur peristiwa risiko yang telah
diidentifikasi
sebelumnya,
maka
dapat
digunakan tools matriks respons risiko seperti
tabel 4.2 berikut ini.
Tabel 4.2 Matriks Respon Risiko

Indikator
(peristiwa)
resiko

Kemungkinan

Rencana
Kontingensi

Pemicu

Acts of God dan


natural hazard

Mengurangi

Mengajukan
surat
keterlambatan
pengerjaan

Cuaca buruk
(tidak
menentu)

Penghindaran

Menganalisa
kebutuhan
sumber daya pra
pelaksanaan

Kurang
persiapan dari
pihak
pelaksana

Masalah dalam
penyediaan
sumberdaya
(material; tenaga
kerja; alat)

Menganalisa
kebutuhan biaya
proyek dengan
menyertakan
dana kontingensi
/ Memakai dana
talangan
Membuat
penjadwalan
dengan
memberikan
buffer time

Penurunan
anggaran
proyek
terlambat

Kondisi keuangan
proyek yang
buruk

Penghindaran

Kondisi waktu
pelaksanaan
proyek yang
buruk

Penghindaran

K3

Asuransi

Asuransi

K3 tidak sesuai
dengan
standarisasi

Penghindaran

Menitipkan ke
warga sekitar

Lokasi proyek,
bulan
ramadhan

Penghindaran

Maintenance
secara berkala
(sesuai jadwal)

Cuaca buruk
(tidak
menentu)

Kecurangan;
kelalaian;
ketidakjujuran
(pencurian
material)
Kerusakan alat;
properti; fisik
proyek

Kurang
persiapan dan
salah
menganalisa

4.3.1 Analisa FMEA Peristiwa Risiko


Dari hasil FMEA yang dilakukan
berdasarkan pada hasil kali skor keseluruhan
antara dampak, kemungkinan, dan deteksi
kesulitan didapatkan bahwa yang memiliki skor
tertinggi yaitu peristiwa risiko Acts of God dan
natural hazard dengan bobot 50 dengan rincian
kemungkinan 2, dampak 5, dan deteksi 5,
peristiwa risiko tersebut dapat diartikan sebagai
risiko yang mustahil (tidak mungkin) untuk
diditeksi dan sangat berpengaruh terhadap
kelangsungan proyek, namun berpeluang kecil
untuk terjadi kecuali pengerjaan dilakukan pada
lokasi yang rawan bencana dan saat musim
hujan. Untuk peristiwa risiko yang memiliki
bobot terkecil yaitu sebesar 4, adalah peristiwa
risiko masalah Hal-hal teknis proyek yang
mengalami perubahan dari owner dengan skor
12 dan rincian sebagai berikut, kemungkinan 2,
dampak 3, dan deteksi kesulitan 2. Hal ini
berarti risiko tersebut dapat diartikan sebagi
peristiwa risiko yang berpengaruh cukup
namun kecil kemungkinannya untuk terjadi,
karena desain sudah disepakati oleh kedua
belah pihak sebelum pelaksanaan, kecuali pada
saat controlling oleh pihak pemerintah daerah
setelah sekian persen pekerjaan terlaksan,
merasa ada yang tidak sesuai. Pengaruh jika
peristiwa ini terjadi cukup besar, karena akan
mempengaruhi
kegiatan
laiinnya
dan
mengakibatkan waiting akibat menunggu
redesain dari pemerintah daerah sehingga dapat
berpotensi keterlambatan proyek.
4.3.2 Analisa Matriks Tingkat Keparahan
Risiko
Matriks tingkat keparahan risiko
berfungsi untuk menggolongkan tingkat
keparahan risiko yang berbeda-beda, risiko
mana yang terletak pada zona hijau / risiko
minor (dampak dan kemungkinan kecil), zona
kuning / risiko sedang (dampak dan
kemungkinan sedang), atau zona merah / risiko
utama (dampak dan kemungkinan tinggi). Dari
hasil pengeplotan pada matriks tingkat
keparahan risiko, didapatkan bahwa peristiwa
risiko yang terletak pada zona hijau tidak ada,
sedangkan yang terletak pada zona kuning
antara lain, Pencurian, kelalaian, pencurian,
kerusakan properti, fisik proyek,
kondisi
keuangan yang buruk, dan K3. Peristiwa risiko
yang terletak pada zona merah atau risiko utama
yaitum acts of God and natural hazard. Dari

11

pengeplotan ini, pihak pelaksana dapat lebih


memperhatikan peristiwa-peristiwa risiko mana
yang merupakan peristiwa risiko utama, sedang
atau minor pada proyek ini, sehingga pelaksana
dapat lebih waspada dan siap dalam
menghadapi risiko apapun, khususnya pada
risiko yang terletak padsa zona merah.
Penanganan dapat dilakukan dengan eksekusi
rencana kontingensi yang telah dipaparkan pada
matriks respon risiko.
4.3.3 Analisa Biaya dengan waste dan risiko
Dari hasil estimasi biaya yang telah
dilakukan pada bab sebelumnya didapatkan
total biaya yaitu sebesar Rp. 771.136.737,7,
(sebelum PPN 10%) sedangkan nilai dari
proyek ini adalah Rp. 900.000.000,00. Namun
total biaya tersebut hanya mencakup kebutuhan
material dan tenaga kerja, tidak termasuk dana
untuk kontingensi (dana cadangan) yang
berfungsi untuk mengkaver risiko proyek yang
telah diidentifikasi maupun yang belum
diketahui. Ukuran dan jumlah cadangan
kontingensi tergantung pada ketidakpastian
pada proyek dan pada besarnya biaya yang
dibutuhkan untuk mengeksekusi rencana
kontingensi atau tindakan perbaikan jika terjadi
hal yang tidak diharapkan (peristiwa risiko dan
waste).
Dana cadangan kontingensi umumnya di
bagi menjadi dana cadangan anggaran dan dana
cadangan manajemen, tujuannya yaitu untuk
pengendalian. Cadangan anggaran ditetapkan
untuk menutup risiko-risiko yang telah
diidentifikasi, sedangkan cadangan manajemen
ditetapkan untuk menutup risiko-risiko yang
tidak dikenal (belum diketahui). Kerana semua
persitiwa risiko probabilistik , maka dana
kontingensi tidak dimasukkan dalam baseline
untuk masing-masing aktivitas atau paket kerja,
dana kontingensi diaktifkan hanya saat risiko itu
terjadi. Jika sebuah risiko yang dikenali telah
terjadi maka dana dana yang dialokasikan pada
risiko tersebut harus dikurangkan dari cadangan
anggaran, dan apabila risiko itu terjadi, dana
dipindahkan dari cadangan dan ditambahkan ke
baseline biaya. Berikut ini dapat dilihat pada
tabel 4.3 rincian dana kontingensi yang
dibutuhkan untuk proyek ini berdasarkan
standarisasi UMR 2011 Kabupaten Tuban dan
hasil diskusi dengan pihak CV. Chandra Setya
Karya.

Tabel 4. 3 Rincian Kebutuhan Dana


Kontingensi
Dana Kontingensi Proyek
Cadangan Anggaran

Biaya

Biaya penitipan kepada warga sekitar

Rp

Dana Talangan

Rp 169,600,000.00 Pelaksana (hanya sementara)

Asuransi (Jamsostek) SDM

Rp

Cadangan Manajemen
TOTAL

1,000,000.00

Pemegang Kendali
Pelaksana

184,000.00 Pelaksana

Rp 84,800,000.00 Pelaksana dan pemilik proyek


Rp
255,584,000.00

Dari uraian dana kontingensi di atas dapat


dilihat bahwa dana yang di hanya dikendalikan
oleh pelaksana (sumber dana) yaitu dana untuk
biaya penitipan gudang kepada warga sekitar
sebesar Rp. 1.000.000 dan biaya jamsostek
sebesar Rp. 184.000, nilai tersebut didaptkan
dari perhitungan nilai kontrak : 11 = x ,
kemudian nilai x dicocokkan pada tabel yang
tersedia di Bank Jatim. Sehingga didapatkan
total dana kontingensi yang harus disediakan
pihak pelaksana yaitu sebesar Rp. 1.184.000,
karena untuk cadangan anggaran merupakan
tanggung jawab manajer proyek dan anggota
tim
yang
bertanggung
jawab
mengimplementasikan tindakan perbaikan.
Namun untuk dana talangan itu bersifat dana
pinjaman yang sementara yang di sediakan oleh
pihak pelaksana akibat dana dari pemerintah
tidak kunjung turun, sebab jika tidak ada dana
maka proyek tidak dapat berlangsung. Dana
talangan ditetapkan sebesar 20% dari total
anggaran proyek (setelah PPN 10%), hal ini
dikarenakan, pada pembayaran pertama (uang
muka) di surat kontrak, dilakukan pembayaran
30% dari total anggaran, sedangkan pada
kontrak di sebutkan bahwa pihak pelaksana dan
pemilik proyek menyetujui bahwa pembayaran
dilakukan dengan sistem termyn yang
didasarkan pada prestasi pekerjaan sebagaimana
tertuang dalam dokumen kontrak. Untuk
cadangan manajemen dibuat setelah cadangan
anggaran diidentifikasi dan dana proyek
ditetapkan. Cadangan manajemen dikendalikan
oleh manajer proyek dan pemilik proyek.
Pemilik dapat internal (manajemen puncak)
atau di luar organisasi proyek. Cadangan
manajemen pada proyek ini ditetapkan sebesar
10% dari total anggaran proyek (setelah PPN
10%), hal ini di putuskan berdasarkan kondisi,
waktu pelaksanaan dan kompleksitas proyek.

12

4.4 Biaya yang dapat dihemat dari metode


panjadwalan CCPM dan pengurangan
waste
Dari
hasil
penjadwalan
dengan
menggunakan metode CCPM dibanding dengan
penjadwlan eksisitng didapatkan percepatan
pengerjaan hingga kurang lebih 11 hari (dengan
asumsi bahwa buffer time tidak digunakan
sama sekali) tentu saja hal ini berpengaruh pada
total biaya tenaga kerja yang dikeluarkan.
Dengan adanya percepatan 11 hari maka pihak
pelaksana dapat menghemat biaya tenaga kerja
selama 11 hari, berikut rincian dari perhitungan
penghematan biaya tersebut, dapat dilihat pada
tabel 4.4 berikut ini
Tabel 4. 4 Total biaya tenaga kerja perhari
Jenis Pekerja Jumlah rata-rata yang dibutuhkan/hariHarga satuan tenaga kerjaBiaya tenaga kerja perhari
Pekerja

28500 Rp

256,500

Tukang Kayu

42500 Rp

130,076

Kepala Tukang Kayu

48000 Rp

26,834

Tukang Batu

37500 Rp

100,149

Kepala Tukang Batu

1
1

39500 Rp
35000 Rp

39,500
22,500

1
1

38500 Rp
45000 Rp

38,500
31,157

Rp

645,216

Tukang Cat
Kepala Tukang Cat
Mandor

Dari perhitungan dari tabel di atas,


didapatkan bahwa total biaya rata-rata tenaga
kerja perhari yaitu sebesar Rp. 645.216 Jika
penghematan dari proses reschedule dengan
menggunakan metode CCPM sebanyak 11 hari
maka pengehematan yang didapatkan sebanyak
Penghematan = Jumlah hari x Total biaya
rata-rata tenaga kerja/hari
11 x Rp. 645.216 = Rp. 7.097.374
4.5 Analisa Sumber daya Proyek Terhadap
Waste
Sumber daya proyek disini lebih difokuskan
pada sumber daya manusia (SDM) langsung
(yang melakukan pelaksanaan pekerjaan
proyek). SDM langsung yang dibutuhkan ada
beberapa macam seperti tukang batu, tukang
kayu, tukang cat, dll seperti yang sudah
dipaparkan pada bab sebelumnya. Jumlah dan
alokasi tenaga kerja berpengaruh terhadap
aktivitas proyek.
Ketika suatu pekerjaan
dilakukan secara parallel dengan resources
yang sama, maka mengakibatkan multitasking.
Untuk menghindari hal demikian maka alokasi
tenaga kerja dan pembagian kebutuhan tiap-tiap
pekerjaan harus ditetapkan, karena jika terjadi

multitasking maka dapat menyebabkan waktu


tunggu (waiting) yang pada akhirnya
mempengaruhi ketepatan penyelesaian suatu
proyek secara keseluruhan. Untuk menghindari
hal tersebut, penulis merekomendasikan untuk
melakukan pembagian pekerjaan menjadi 2 tim
besar, diingat ada 2 paket kerja yang memiliki
urutan dan rincian pekerjaan yang hamper
sama, sehingga kedua pekerjaan tersebut dapat
dilakukan secara bersama dengan tim yang
berbeda. Keuntungan yang lainnya yaitu dapat
mempersingkat waktu pekerjaan. Rekomendasi
lainnya yaitu dengan membuat urutan pekerjaan
yang tidak bertabrakan pada penggunaan
resources yang sejenis dan pekerjaan tersebut
tidak dipengaruhi oleh pekerjaan seleumnya
(tidak ada aktivitas pendahulu), misalnya yaitu
pada pekerjaan dinding (memasang bata)
membutuhkan
tukang
batu,
sedangkan
pekerjaan kayu (membuat kusen) tidak
membutuhkan tukang batu melainkan tukang
kayu, sehingga kedua pekerjaan ini bisa
dilakukan secara bersama, karena kedua
pekerjaan tersebut tidak saling mendahului,
sehingga pekerjaan dapat diselesaikan lebih
cepat.
4.6 Analisa Pengaruh Waste dan Risiko
terhadap Penjadwalan
Berdasarkan karakteristik dan kondisi
proyek, ada 2 macam waste yang berpotensi
muncul saat pelaksanaan, yaitu waiting dan
defects. Begitu pula dengan peristiwa risiko
yang telah diidentifikasi, didapatkan 10
peristiwa risiko yang berpotensi terjadi. Antara
waste dan peristiwa risiko sangat erat kaitannya.
Adanya waste dapat menyebabkan peristiwa
risiko, dan juga sebaliknya, atau bahkan dapat
dikatakan antara waste dan peristiwa risiko itu
sama. Adapun tiap-tiap penyebab-penyebab
waste
maupun
peristiwa
risiko
akan
mengakibatkan bertambahnya waktu kerja yang
dapat mengakibatkan keterlambatan proyek.
Untuk itu tiap-tiap penyebab terjadinya waste
dan peristiwa risiko perlu di perkirakan waktu
yang dibutuhkan untuk panjang waktu tiap-tiap
tindakan penangan berdasarkan hasil diskusi
dan brainstorming dengan pihak pelaksana
pihak CV. Chandra Setya Karya. Berikut pada
tabel 4.5 hasil diskusi mengenai panjang durasi
untuk tiap-tiap waste.

13

Tabel 4.5 Estimasi Pemakaian Project buffer


Akibat Adanya
Jenis Waste (Waiting dan
Defects)

Waktu yang
dibutuhkan (hari)

Wating Material

waiting Peralatan

Waiting karena cuaca

1 -- 2

Rework Karena defects akibat


cuaca

1 -- 3

Dari hasil identifikasi waktu yang


dibutuhkan untuk penanganan tiap-tiap waste
berhubungan dengan monitoring pemakaian
durasi project buffer, yang diakibatkan adanya
ketidakpastian yang terjadi yaitu timbulnya
waste selama pelaksanaan proyek, yang dapat
mengakibatkan keterlambatan pekerjaan bahkan
proyek. Oleh karena itu apabila pihak pelaksana
mengetahui potensi waste, maka laju pemakaian
durasi proyek dapat dikendalikan berdasrkan
penghematan durasi hasil dari upaya mereduksi
potensi penyebab waste. Seperti yang dapat
dilihat pada tabel 4.5 sebelumnya yang
menunjukkan potensi pengurangan durasi
project buffer yang terjadi. Pihak pelaksana
perlu mengontrol untuk mengambil tindakan
terkait dengan penggunaan durasi project
buffer, yakni dengan melihat seberapa besar
durasi yang termakan, yang dapat diuraikan
pada tabel 4.6 berikut ini :
Tabel 4. 6 Prosentase Pemakaian Durasi Project
buffer
Zona pemakaian Project Buffer

Project Buffer (hari)

Durasi yang telah terpakai (hari)

0%-33%
34%-67%
68%-100%

8
8
8

<3
3 sampai 6
>6

Pemakaian durasi project buffer akibat


adanya waste berdasarkan tabel 4.5 dan 4.6
dapat memberikan informasi bagi pihak
pelaksana dalam mengambil tindakan yang
terkait dengan pengendalian saat pelaksanaan
proyek, khususnya dalam mengendalikan
penyebab waste dan peristiwa risiko. Dengan
menekan terjadinya waste, maka secara
langsung dapat menekan pemakaian durasi

project buffer. Zona pemakaian project buffer


pada tabel 4.6 mengidentifikasi kapan dan
bagaimana pihak pelaksana perlu mengambil
tindakan, khusunya jika pemakaian buffer telah
mencapai zona merah.
4. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diberikan pada
penelitian ini ialah sebagai berikut :
1. Berdasarkan hasil wawancara dan
brainstorming dengan pihak CV.
Chandra setya Karya dengan melihat
kondisi proyek (karakteristik maupun
kondisi eksisting), bahwa waste atau
kegiatan non value added yang
berpotensi muncul pada proyek
pembangunan SDN Bektiharjo II adalah
waiting dan defects. Kondisi cuaca yang
tidak menentu merupakan faktor utama
penyebab timbulnya defects, adanya
defects tersebut dapat mengakibatkan
waiting pada aktivitas proyek. Waiting
juga disebabkan adanya pencurian
bahan material maupun peralatan yang
diakibatkan karena lokasi pengerjaan
proyek yang dikenal rawan pencurian.
Untuk menghindari hal-hal tersebut
ditempuh berbagai tindakan, baik
preventif maupun korektif, untuk
menghidari pencurian ditempuh dengan
tindakan
menitipkan
gudang
penyimpanan kepada tokoh masyarakat
sekitar dengan member imbalan, dan
untuk masalah kondisi cuaca, dapat
mengajukan surat keterlambatan kepada
pihak pemerintah daerah (pemilik
proyek).
Adanya
waste
akan
mempengaruhi waktu penyelesaian
(semakin lama), oleh sebab itu
dibutuhkan
buffer
time
(waktu
cadangan) sebagai pengaman waktu
penyelesaian proyek dan estimasi waktu
yang pas (50/50, 80/20, atau 90/10 dari
total durasi proyek) yang dapat
diterapkan dalam metode penjadwalan
Critical Chain Project Management
(CCPM).
2. Untuk peristiwa risiko yang berpotensi
muncul pada proyek ini menurut hasil
wawancara dan kondisi eksisting
proyek yaitu yang paling utama adalah
masalah Acts of God and Natural
Hazard, karena peristiwa risiko tersebut

14

sulit untuk diprediksi (misalnya


bencana alam, banjir, dll).
3. Dari hasil Estimasi biaya, didapatkan
total biaya yang dibutuhkan sebanyak
Rp. 771.136.737, dana kontengensi
sebesar Rp. 255.584.000 namun sumber
dana kontingensi yang murni disediakan
oleh pihak pelaksana yaitu Rp.
1.184.000 yang terdiri dari biaya
jamsostek, dan biaya penitipan gudang
kepada
masyarakat
sekitar.
Penghematan biaya tenaga kerja yang
didapatkan
melalui
penjadwalan
menggunakan metode CCPM dengan
menghasilkan percepatan 11 hari
(termasuk buffer time) yaitu Rp.
7.097.374, sehingga uang tambahan
yang didapat oleh pihak pelaksana
adalah Rp. 7.097.374 Rp 1.184.000 =
Rp. 5.913.374. Berdasarkan hasil
perhitungan dan penjadwalan dengan
metode CCPM, kebutuhan rata-rata
tenaga kerja perhari yaitu sebanyak
kurang lebih 19 pekerja, dengan rincian
9 pekerja, 3 tukang kayu, 1 kepala
tukang kayu, 3 tukang batu, 1 kepala
tukang batu, 1 tukang cat. 1 kepala
tukang cat, dan 1 mandor. Namun tentu
saja komposisi dan jumlah pekerja tiap
harinya berbeda-beda.
4. Dalam mengaplikasi metode CCPM
didapatkan
percepatan
waktu
pengerjaan pada penjadwalan sebesar
11 hari dibanding dengan penjadwalan
eksisiting (asumsi jika buffer time tidak
digunakan).

Covey, S.R. 1989. The Seven Habits of


Highly Effective People. Simon &
Schuster, New York.
Goldartt, E.M. 1997. Critical chain.
Massachusetts : North River Press.
Gray, C. and Larson, E. 2006. The
Managerial Process 3th Edition.
McGraw-Hill Company, New York.
Iszar, Y.
2004. Upaya Peningkatan
Ketepatan Jadwal Delivery Produk
Di PT. Industri Kereta Api Madiun
(Studi Kasus : Proyek Container
Wagon Thailand), Thesis. Jurusan
Teknik Industri ITS, Surabaya
Jan, Shu-Hui and Ho, S. Ping. 2006.
Construction
Project
buffer
Management In Scheduling Planning
and Control. ISARc
Steyn, H. 2002. Project Management
Application Of Tthe Theory Of
Constraintts Beyond Critical chain
Schedulling. Internasiona Journal of
Project Management, 75-80.
Leach, Larry. 2005.
Lean project
management : Eight Principles for
Success. Advanced Projects, 5239
South Pegasus Way Boise, Idaho
83716.
Ohno, T. 1988.
Toyota Production
System:
Beyond
Large-Scale
Production. Portland, OR: Productivity
Press.
Womack, J. and Jones, D. 1996. Lean
Thinking: Banish Waste And Create
Wealth in Your Corporation. New
York: Simon and Schuster

1. Daftar Pustaka
Anggraeni, Nyoman. 2009. Penerapan
Metode Penjadwalan Critical chain
Dan Lean Construction Dalam
Perencanaan
Dan Pengendalian
Proyek Konstruksi (Studi Kasus :
PT. Adhi Karya (Persero), Tbk),
Tugas Akhir. Jurusan Teknik Industri
ITS, Surabaya
Bevilacqua, M., Ciarapica, F.E., Giaccheta,
G. 2008. Crtical Chain and risk
Analysis Applied to High-Risk
Industry Maintanance: A Case Study.
Internasional Journal Of Project
Management.

15

Вам также может понравиться