Вы находитесь на странице: 1из 2

APAKAH ISLAM MENGATUR PRIHAL NEGARA

Copied From:
http://www.dakwatuna.com/
Converted be EBook by:
http://jumyyjoy.wapka.mobi
Apakah Islam mengatur perihal negara? Atau mungkinkah sebenarnya Islam tidak menganjurkan
adanya negara? Pertanyaan ini nampaknya akan tetap menjadi perdebatan di kalangan internal harakah
Islam. Ada yang jelas-jelas menolak adanya konsep negara.
Mereka berdalih bahwa bagaimana pun bentuk pemerintahan yang sah dalam Islam sejatinya ialah
khilafah. Sementara di pihak lain, ada pula yang berkeyakinan akan bolehnya bentuk negara apa saja
asalkan tetap ada upaya menerapkan syariat Islam di dalamnya. Karenanya, pembahasan ini merupakan
wilayah kajian kontemporer yang cukup sensitif. Terlepas dari perbedaan tersebut, Ust.Yusuf Mustofa,Lc.
mengaku lebih meyakini pendapat kedua. Ia menilai meski bentuk pemerintahan paling ideal ialah khilafah
silamiyah, namun ketika kita belum cukup syarat, maka apapun bentuk negaranya tak jadi masalah. Hal ini
karena esensi adanya sebuah pemerintahan (dalam hal ini negara) lebih penting dibandingkan bentuk
pemerintahan itu sendiri. Dengan adanya negara, maqashidusy syari'ah (tujuan adanya syariat) seperti
hifzul maal, hifzhun nafs, hifzhun nasl, hifzhud diin, dan hifzhul'aql (menjaga
harta,jiwa,keturunan,agama dan akal) akan lebih terjamin keberadaannya.
Pemerintah yang beriman dan adil dalam sebuah negara tentu akan memperhatikan hal-hal terkait hak-hak
warganya tersebut. Sebaliknya, jika kita memilih tidak bernegara lantaran tidak cocok dengan prinsip
khilafah, maka dikhawatirkan maqashidusy syari'ah itu pun terbengkalai. Selain itu, tuntunan bernegara
sebenarnya telah Allah SWT dan Rasul-Nya nyatakan secara implisit maupun eksplisit dalam Al-Qur'an
maupun Al-Hadits. Perintah bermusyawarah (Q.S.Asy-Syura:38), berlaku adil (Q.S.Al-Maidah:8), taat
kepada pemimpin (Q.S.An-Nisa:59), dsb, menyiratkan kemestian adanya kepemimpinan di tengah umat
(negara). Pun begitu dengan isyarat hadits Nabi Muhammad SAW dalam hadits berikut sebagai contoh:
Jika ada 3 orang yang mengadakan perjalanan maka hendaknya mereka menjadikan salah seorang dari
mereka sebagai pemimpin. (HR.Abu Dawud no. 2609) Kalau untuk sebuah perjalanan (safar) saja
Rasulullah memerintahkan kita mengangkat pimpinan, bagaimana dengan perjalanan hidup kumpulan
orang banyak yang tentu lebih kompleks persoalannya? Tentu mutlak diperlukan adanya negara dengan
perangkatnya demi mengatur hak dan kewajiban di antara mereka. Demi lebih menegaskan perlunya ada
negara (meskipun belum 100% khilafah), maka ada baiknya kita cermati pula kaidahu shul fiqih berikut:
"Sesuatu yang dapat menyempurnakan suatu kewajiban,maka hukumnya wajib"
Mengingat perintah Allah dan Rasul-Nya pada dasarnya bersifat wajib hukumnya (kecuali ada dalil lain
yang memalingkan hukumnya), maka adanya sebuah negara untuk menerapkan apa yang menjadi
perintah juga wajib hukumnya.Lalu, apa saja yang menjadi syarat terbentuknya sebuah negara
Sebagaimana banyak diketahui, setidaknya ada empat syarat kita bisa mendirikan sebuah negara, yaitu
adanya tanah/wilayah,rakyat,pemerintah, dan pengakuan dari negara lain. Maka, ketika sudah
terpenuhi syarat-syarat ini, alangkah lebih baik jika pembentukan negara tidak lagi ditunda demi terjaminnya
hak dan kewajiban masyarakat yang hidup di dalamnya. "Adapun mengenai sistem yang mengatur sebuah
negara memang akan tetap menimbulkan pro dan kontra" masih kata Ust.Yusuf.
Namun, hal yang lebih baik menurutnya ialah tetap tak berhenti di satu masalah itu. Kalaulah karena
beberapa sebab janji Rasulullah SAW bahwa kita akan kembali kepada fase khilafah ala minhajin
nubuwah (kekhalifahan berdasarkan manhaj kenabian) belum bisa terealisasi, penerapan sistem apapun
selama tak bertentangan dengan prinsip Islam tak jadi soal.
Hal yang lebih penting daripada sistem formal tersebut sebenarnya ialah orang yang diserahi amanah.
Begitu kata Anis Matta dalam bukunya Dari Gerakan ke Negara. Prinsip ini pula yang dianut Imam

Syahid Hasan Al-Banna, pendiri Harakah Ikhwanul Muslimin. Walhasil, kaidah maratibul 'amal (urutan
amal) pun ia rumuskan demi mencapai ustadziyatul 'alam (Islam sebagai soko guru/pemimpin peradaban
dunia).
Sebagai kesimpulan, terlepas dari perbedaan pandangan mengenai metode menuju tujuan yang sama
dalam hal kepemimpinan dan negara Islam, hendaknya ukhuwah islamiyyah harus dikedepankan.
Jangan sampai kita terlalu disibukkan dengan perbedaan ini, sementara musuh-musuh kita sebenarnya
merapatkan barisan bersiap menghancurkan kita.

Вам также может понравиться