Вы находитесь на странице: 1из 17

MAKALAH

OSTEOMYELITIS RAHANG

Disusun Oleh:
Johannes Ephan Bagus Kurnia
G99152087
Periode: 12 Juni 25 Juni 2016
Pembimbing:
drg. Sinta Kartikasari

KEPANITERAAN KLINIK ILMU GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2016

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................

DAFTAR ISI.....................................................................................................

ii

DAFTAR GAMBAR........................................................................................ iii


BAB I. PENDAHULUAN................................................................................

A. Latar Belakang.............................................................................................

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................

A. Definisi.........................................................................................................

B. Insidensi.......................................................................................................

C. Penyebab......................................................................................................

D. Pathogenesis.................................................................................................

E. Gambaran Klinis..........................................................................................

F. Klasifikasi.....................................................................................................

1. Osteomyelitis akut....................................................................................

2. Osteomyelitis kronis (supuratif)...............................................................

3. Osteomyelitis kronis (nonsup


uratif)................................................................................................................

4. Osteomyelitis jenis lain............................................................................

G. Pemeriksaan Penunjang...............................................................................

1. Pemeriksaan radiologis............................................................................

2. Pemeriksaan histopatologis......................................................................

3. Pemeriksaan mikrobiologis...................................................................... 10
H. Tatalaksana................................................................................................... 10
1. Tatalaksana bedah.................................................................................... 10
1. Tatalaksana antibiotik............................................................................... 12
I. Follow up dan Perawatan Lanjutan............................................................... 13
J. Pencegahan.................................................................................................... 13
K.Komplikasi.................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 14

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Foto rontgen proyeksi panoramik pada osteomyelitis.............

Gambar 2.2 Irisan CT scan dengan kontras pada osteomyelitis..................

Gambar 2.3 Sekuester bebas pada mandibula..............................................

11

Gambar 2.4 Prosedur saucerization pada mandibula...................................

11

Gambar 2.5 Lateralisasi serabut saraf pada proses decortication................

12

Gambar 2.6 Prosedur reseksi dan rekonstruksi korpus mandibula..............

12

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Osteomyelitis merupakan suatu proses peradangan yang mengenai
periosteum,

tulang,

dan

komponen-komponen

tulang

didalamnya.

Osteomyelitis dapat dikelompokkan menjadi akut atau kronis maupun


supuratif atau non-supuratif. Peradangan yang terjadi dapat diakibatkan oleh
invasi bakterial pada tulang yang berasal dari organisme yang terdapat pada
abses atau selulitis yang terjadi di dekatnya, inokulasi melalui tindakan bedah,
trauma atau penyebaran hematogen.
Osteomyelitis pada tulang pipa berasal dari infeksi lokal atau
hematogen, namun pada osteomyelitis rahang penyebaran infeksinya
sebagaian besar berasal dari kulit, kavitas mulut atau sinus paranasal.
Osteomyelitis rahang merupakan salah satu komplikasi dari ekstraksi gigi.
Prevalensi osteomyelitis rahang yang tinggi terjadi pada pasien yang memiliki
insufisiensi vaskuler, disfungsi sistem imun (seperti pasien yang mengonsumsi
obat imunosupresan, gizi buruk dan infeksi HIV) maupun gangguan metabolik
(seperti diabetes, gagal hati dan ginjal). Pasien yang sedang menjalani
osteokemoterapi dengan bifosfonat maupun radiasi juga memiliki risiko tinggi
mengalami osteomyelitis maxillomandibular.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Osteomyelitis (osteo = tulang; myelo = sumsum tulang; itis = radang)
merupakan peradangan atau infeksi yang terjadi pada tulang dan sumsum
tulang. Infeksi tulang lebih sulit disembuhkan daripada infeksi jaringan lunak karena
terbatasnya asupan darah, respons jaringan terhadap inflamasi, tingginya tekanan
jaringan dan pembentukan involukrum (pembentukan tulang baru di sekeliling
jaringan tulang mati).

Osteomyelitis rahang merupakan jenis osteomyelitis yang terjadi pada


rahang (maxilla ataupun mandibula). Osteomyelitis rahang merupakan salah
satu jenis infeksi odontogenik.
B. Insidensi
Osteomyelitis akut dan kronis lebih sering terjadi pada mandibula (3
hingga 19 kali lebih sering) dibandingkan dengan maxilla. Osteomyelitis
rahang seringkali terkait dengan infeksi odontogenik, prosedur orthognatik
dan keganasan. Pada mandibula, tempat yang paling sering terkena
osteomyelitis secara berurutan adalah corpus mandibulae, symphisis
mandibulae, angulus mandibulae, ramus mandibulae, dan processus
condylaris.
Prevalensi osteomyelitis pada laki laki dan perempuan sama.
Osteomyelitis kronis lebih sering terjadi pada lansia, hal ini berkaitan dengan
perubahan sistem imun dan keterlibatan penyakit vaskuler pada lansia.
Meskipun jarang, terdapat pula osteomyelitis pada bayi (osteomyelitis infantil)
yang dapat terjadi pada maxilla dan mandibula. Osteomyelitis jenis ini lebih
melibatkan penyebaran agen infeksi secara hematogenik.

C. Penyebab
Oseteomyelitis

rahang

seringkali

disebabkan

oleh

infeksi

polymicrobial dan opportunistic oleh campuran beberapa agen infeksi seperti


Streptococcus alpha hemolyticus, staphylococcus epidermidis dan bakteri
anaerobik seperti Peptostreptococcus, Fusobacterium dan Prevotella (berbeda
dengan osteomyelitis pada tulang pipa yang disebabkan oleh infeksi
Streptococcus aureus). Spesies Actinomyces dan Eikenella juga seringkali
didapatkan terutama pada kasus osteomyelitis kronis. Agen-agen infeksi diatas
juga merupakan penyebab infeksi odontogenik yang lainnya (patogen
periodontal). Sangat jarang namun dapat terjadi osteomyelitis rahang
merupakan salah satu komplikasi dari infeksi Herpes zoster pada nervus
trigeminal
D. Pathogenesis
Osteomyelitis dapat terjadi akibat perluasan fokus infeksi sekitar ke
arah tulang ataupun fokus infeksi yang jauh melalui pembuluh darah
(hematogen). Berbeda dengan osteomyelitis pada tulang pipa, kejadian
osteomyelitis rahang akibat penyebaran infeksi hematogen sangatlah jarang.
Osteomyelitis rahang utamanya disebabkan oleh penyebaran infeksi
odontogenik. Penyebab lainnya adalah fraktur akibat trauma, biasanya fraktur
terbuka pada mandibula sehingga tulang terekspos lingkungan luar.
Osteomyelitis rahang lebih sering terjadi pada mandibula
dibandingkan maxilla, hal ini diperkirakan terjadi akibat adanya perbedaan
aliran darah pada mandibula dan maxilla. Maxilla memiliki aliran darah yang
lebih baik, lapisan korteks tulang yang tipis dan medulla yang lebih sedikit
sedangkan mandibula memiliki aliran darah yang buruk (dan semakin
memburuk seiring bertambahnya umur), lapisan korteks tulang yang tebal dan
medulla yang cukup luas. Faktor ini mengakibatkan infeksi yang terjadi pada
maxilla seringkali tidak terperangkap di dalam tulang namun dapat menyebar
ke jaringan lunak sekitar dan sinus paranasal.
Infeksi periapikal dan periodontal umumnya akan dilokalisir oleh
tubuh dengan membentuk membran pyogenik atau dinding abses sehingga
infeksi tidak meluas. Mikroorganisme dengan tingkat virulensi yang tinggi

dapat merusak dinding ini. Faktor lain yang berperan dalam meluasnya infeksi
periodontal antara lain menurunnya imunitas pejamu, tindakan operatif,
pergerakan berulang dari segmen fraktur tulang (seringkali terjadi pada fraktur
yang tidak ditangani dengan adekuat).
Sebelum terjadi osteomyelitis,

terlenih

dahulu

terjadi

proses

peradangan akut yang diikuti perubahan seperti peningkatan permeabilitas


vaskuler, infilrasi granulosit, pelepasan enzim proteolitik, pembentukan
thrombus, nekrosis jaringan dan pembentukan pus. Pus tersebut kemudian
terakumulasi di dalam ruang medulla tulang sehingga meningkatkan tekanan
di dalam tulang yang diikuti dengan kolapsnya pembuluh darah, stasis vena
dan iskemia. Pus juga dapat menyebar ke ruang periosteal, memisahkan tulang
dan periosteum sehingga mengurangi aliran darah. Proses ini terjadi semakin
parah di mandibula yang sebelumnya telah memiliki suplai pembuluh darah
yang lebih buruk dibandingkan dengan maxilla. Kondisi iskemia ini
menyebabkan kematian dari osteosit sehingga yang disebut dengan sekuestra.
Sekuestra tersebut dapat menjadi pusat kolonisasi dari mikroorganisme
sehingga proses supurasi berlanjut dan akhirnya terjadi perubahan fase dari
akut menjadi kronis.
Pada mandibula juga seringkali terjadi penekanan nervus alveolaris
inferior oleh pus dan jaringan yang membengkak yang menyebabkan
terjadinya paresthesia sepanjang nervus mentalis. Pus juga dapat keluar
melalui kulit dan mulut, dimana lama kelamaan terjadi proses epitelisasi
sehingga terbentuk fistula.
Osteomyelitis kronis ditandai dengan terdapatnya tanda tanda
perbaikan jaringan yang disertai dengan inflamasi ringan. Pada osteomyelitis
kronis seringkali didapatkan jaringan granulasi, pembentukan pembuluh darah
baru dan fragmen tulang yang telah mati/ sekuestra yang terpisah dari tulang
yang masih hidup. Sekuestra tersebut dapat dikelilingi oleh jaringan granulasi
dan jaringan tulang baru yang disebut involukrum. Pada osteomyelitis kronis
supuratif biasanya akan terjadi proses destruksi tulang yang diikuti dengan
pembentukana sekuestra dan involukrum di dalam medulla dan korteks tulang

Osteomyelitis rahang terjadi pada orang orang yang memiliki satu atau
lebih faktor predisposisi. faktor predisposisi tersebut antara lain adalah:
1. Perfusi pembuluh darah ke jaringan yang buruk
2. Kondisi sistem imun yang buruk
3. Proses penyembuhan luka yang buruk
4. Akses pelayanan kesehatan yang buruk
E. Gambaran Klinis
Tanda dan gejala yang muncul tergantung dari tipe osteomyelitisnya,
namun dapat meliputi sebagai berikut
1. Nyeri: Nyeri yang amat sangat, dirasakan seperti berdenyut dan dalam
2. Edema: Pembengkakan yang terjadi akibat proses peradangan yang diikuti
dengan warna kemerahan (rubor), sensasi hangat (kalor) dan keras.
3. Trismus: Trismus (kesulitan membuka mulut) dapat muncul pada beberapa
kasus, hal ini terjadi akibat edema pada otot rahang.
4. Disfagia: Disfagia (kesulitan menelan) dapat muncul pada beberapa kasus,
hal ini terjadi akibat edema pada otot rahang
5. Limfadenitis servikal: Pembengkakan pada nodus limfatikus di leher
akibat proses inflamasi dan infeksi
6. Paresthesia: Perubahan sensasi seperti kebas ataupun kesemutan yang
terjadi sepanjang nervus mentalis
7. Demam: Sering kali muncul pada fase akut, dapat berupa demam tinggi
atau intermiten.
8. Malaise: Biasanya muncul pada fase akut.
9. Anoreksia: Anoreksia (kehilangan nafsu makan) dapat terjadi akibat
malaise maupun oleh trismus dan disfagia.
10. Leukositosis: Leukositosis (peningkatan jumlah leukosit) biasanya terjadi
pada fase akut
11. Peningkatan laju endap darah (LED) dan C-reactive protein (CRP)
12. Eksudasi pus dari leher, gigi, lubang pada rahang (bekas cabut gigi)
maupun kulit yang dekat dengan fokus infeksi
13. Bau busuk pada mulut
Berbeda dengan osteomyelitis pada tulang pipa, osteomyelitis rahang
biasanya hanya memberikan gejala sistemik yang ringan sehingga keadaan
umum pasien nampak baik-baik saja. Osteomyelitis rahang akut seringkali
memberikan gejala klinis yang serupa dengan infeksi odontogenik yang lain.
Apabila infeksi penyebabnya tidak segera ditangani maka osteomyelitis akan

berlanjut menjadi proses kronis dimana gejala sistemik mulai menghilang,


terbentuk fistula dan sekuestra serta dapat pula disertai dengan tanggalnya
gigi. Osteomyelitis rahang kronis yang tidak ditangani selanjutnya dapat
memicu episode eksaserbasi akut.
F. Klasifikasi
Klasifikasi

osteomyelitis

rahang

serupa

seperti

klasifikasi

osteomyelitis secara umum, menurut lamanya periode inflamasi dan ada


tidaknya proses supurasi (pembentukan pus). Osteomyelitis akut didefinisikan
sebagai osteomyelitis yang telah terjadi dalam waktu kurang dari satu bulan
sedangkan osteomyelitis kronis didefinisikan sebagai osteomyelitis yang telah
terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan.
1. Osteomyelitis akut
Pasien dengan osteomyelitis akut biasanya mengalami beberapa
gejala dan manifestasi penyakit yang bervariasi. Pada lebih dari 50% kasus
terdapat nyeri tulang rahang, pembengkakan, trismus, episode demam
yang disertai hipoesthesia. Gejala klinis tambahan yang dapat muncul
meluputi limfadenopati, fistula, dan pembentukan sekuestra. Pasien dapat
pula mengeluhkan kelelahan dan merasa badannya tidak enak (malaise).
Pada sebagian besar kasus tidak terdapat peningkatan leukosit yang
ringan ataupun malah tidak terdapat peningkatan leukosit. Hanya sepertiga
kasus osteomyelitis rahang akut terdapat peningkatan leukosit yang
signifikan diatas 15.000. Pemeriksaan laboratorium tambahan lainnya
yang bermakna adalah peningkatan LED dan CRP yang menandakan
terdapat proses infeksi secara umum. CRP juga dapat digunakan untuk
memantau perjalanan penyakit dan respon terhadap terapi.
Pasien yang tidak menunjukkan gejala yang signifikan pada fase
akut dan tidak mendapatkan terapi yang adekuat dapat digolongkan ke
dalam fase sub akut dan biasanya akan berlanjut menjadi osteomyelitis
kronis.
2. Osteomyelitis kronis (supuratif)
Osteomyelitis kronis terjadi pada pasien dimana akibat resistensi
dari agen penyebab infeksi atau kegagalan terapi proses infeksi tetap

berlanjut selama lebih dari 30 hari/ satu bulan. Gejala klinis yang
didapatkan seringkali lebih ringan dari osteomyelitis akut namun masih
didapatkan nyeri rahang, pembengkakan dan proses supurasi pada
sebagian besar pasien. Biasanya tulang yang terinfeksi mengalami proses
pembentukan sekuestra yang dapat diamati dari perubahan gambaran
radiologisnya. Apabila proses infeksi berlanjut secara progresif dapat
terjadi fraktur patologis dan pembentukan fistula extraoral, sedangkan
pada proses infeksi yang kurang progresif dapat terjadi perubahan
manifestasi penyakit menjadi skelrotik seperti diffuse sclerosing
osteomyelitis (DSO) ataupun periostitis osteomyelitis (PO).
3. Osteomyelitis kronis (nonsupuratif)
Osteomyelitis kronis nonsupuratif merupakan infeksi sumsum
tulang yang diduga disebabkan oleh Actinomyces dan Eikenella corrodens.
Biasanya osteomyelitis jenis ini memiliki gejala yang ringan dan dapat
juga tidak menunjukkan tanda dan gejala klinis apapun selain perubahan
gambaran radiologis. Pada sebagian besar kasus progresifitas penyakit
perjalan sangat lambat sehingga baru terdiagnosis setelah terjadi selama
beberapa tahun. Diagnosis definitif dari osteomyelitis kronis nonsupuratif
cukup rumit tanpa melibatkan biopsi dan kultur.
4. Osteomyelitis jenis lain
Periostitis Osteomyelitis (PO) atau dikenal juga sebagai Garr
Osteomyelitis pertama kali ditemukan oleh Carl Garr pada akhir abad ke18, meskipun pada waktu itu ia belum menyebutkan kondisi spesifik dari
penyakit ini. PO ditandai dengan deposisi lapisan tulang imatur diatas
lapisan korteks tulang. Tidak ada gejala klinis yang menonjol pada
penyakit ini. Gambaran radiologis onion skin sebagai penanda kondisi
yang ekspansif dan proliferatif dari penyakit ini merupakan salah satu ciri
khas yang dapat ditemui, meskipun ciri ini tidak patognomonik karena
penyakit keganasan pada tulang memiliki gambaran yang sama.
G. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan radiologis
a. Foto rontgen konvensional

Foto rontgen konvensional telah menjadi standar pemeriksaan


radiologis selama beberapa puluh tahun meskipun pemeriksaan foto
rontgen memiliki kemampuan yang sangat terbatas dalam mendeteksi
osteomyelitis. Foto rontgen hanya mampu memperlihatkan perubahan
yang nyata ketika telah terjadi kerusakan tulang yang luas dan dalam
jangka waktu yang lama. Keunggulan dari pemeriksaan foto rontgen
adalah foto rontgen mudah didapatkan (tersedia hampir di seluruh
fasilitas kesehatan) dan memiliki efek samping radiasi yang relatif
kecil. Jenis foto yang digunakan adalah foto proyeksi panoramik.

Gambar 2.1. Foto rontgen proyeksi panoramik dari seorang pasien


dengan osteomyelitis akut pada gigi ke-17 satu bulan setelah operasi
b. CT scan
CT scan sangat berguna dalam mencitrakan jaringan keras dari
kepala dan leher dalam beberapa bidang potong, selain itu CT scan
juga ideal dipakai untuk menunjukkan proses dekortikasi dan
perubahan struktur periosteal. Perubahan struktur jaringan lunak juga
dapat dilihat oleh CT scan dengan menambahkan kontras. Perubahan
yang terjadi pada osteomyelitis tahap awal lebih mudah terlihat dengan
CT scan dibandingkan dengan foto rontgen konvensional.

Gambar 2.2. Irisan CT scan dengan kontras pada pasien dengan


osteomylelitis kronis pada mandibula
c. MRI
Penggunan

gadolinium

sebagai

agen

kontras

dapat

menunjukkan perubahan pada osteomyelitis tahap awal dengan


memperlihatkan gangguan yang terjadi pada jaringan dan pembuluh
darah, yang mana juga dapat dijumpai dalam kasus infeksi, inflamasi,
trauma dan tumor. Perubahan yang paling terlihat jelas oleh MRI
adalah perubahan pada jaringan lunak dan medulla tulang. MRI kurang
dapat menunjukkan perubahan dan kondisi dari korteks tulang.
2. Pemeriksaan histopatologis
Sampel biopsi tulang pada kasus osteomyelitis akut menunjukkan
gambaran histologis sumsum tulang yang dikelilingi oleh neutrophil,
debris dan eksudat dari proses inflamasi, serta jaringan tulang yang
mengalami proses nekrosis. Proses nekrosis ini disebabkan oleh
peningkatan tekanan dalam medulla tulang yang selanjutnya mengganggu
aliran pembuluh darah.
Pada osteomyelitis kronis didapatkan infiltrat plasma sel, limfosit,
dan makrofag. Dapat terlihat juga proses pembentukan tulang baru.
3. Pemeriksaan mikrobiologis
Pengecatan gram, hematoxylin-eosin, van Gieson dan Giemsa
merupakan beberapa pengecatan yang dapat dilakukan untuk membantu
identifikasi dini patogen. Kultur mikroorganisme penyebab infeksi
osteomyelitis memerlukan proses yang kompleks dan sulit sehingga
seringkali tidak dilakukan. Biasanya kultur dilakukan dalam media

anaerobik atau darah untuk menghindari hilangnya mikroorganisme


anaerobik. Hasil pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas berguna untuk
penentuan terapi antibiotik setelah pemberian antibiotik empirik.
H. Tatalaksana
Kombinasi pemberian antibiotik dan prosedur bedah biasanya
diperlukan untuk tatalaksana pada kasus osteomyelitis rahang, dengan
perkecualian pada osteomyelitis infantil yang telah bespon baik terhadap
pemberian antibiotik secara intravena. Tahapan yang paling penting adalah
mendiagnosis secara tepat dan melakukan tatalaksana awal sebelum proses
osteomyelitis menyebabkan perubahan yang signifikan. Tatalaksana awal yang
baik akan menurunkan morbiditas penyakit serta prosedur bedah yang
dibutuhkan.
Tatalaksana ditujukan untuk mengurangi pengaruh agen infeksi ke
pejamu. Prosedur bedah secara drastis dapat menurunkan kadar bakteri namun
hal ini harus dikombinasikan dengan mengobati kondisi yang mendasari
terjadinya osteomyelitis dan pemberian antibiotik yang tepat.
1. Tatalaksana bedah
Terdapat tiga prosedur bedah yang digunakan untuk menghilangkan debris
yang

mengandung

jaringan

nekrosis

dan

koloni

bakteri

yaitu

sequesterectomy, saucerization dan decortication.


a. Sequesterectomy
Prosedur ini menghilangkan jaringan tulang nekrosis bebas/
sekuester bebas yang menjadi pusat dari fokus infeksi.
b. Saucerization
Prosedur ini lebih agresif dibandingkan sequesterectomy
dimana dilakukan pembuangan dari korteks tulang untuk mengekspos
lapisan yang lebih dalam dari medulla yang kemudian ditutup dengan
material tertentu agar dapat terjadi proses perbaikan jaringan lunak.
Saucerization digunakan pada osteomyelitis fase awal dengan
infeksi yang terbatas (tidak meluas). Prosedur ini dapat menurunkan
tekanan dari kavitas medulla tulang tanpa menghilangkan struktur
penunjang mandibula secara signifikan.

10

Gambar 3. Sekuester bebas pada Gambar 4. Prosedur saucerization pada


mandibula
c. Decortication
Prosedur

mandibula

ini

merupakan

prosedur

yang

paling

rumit

dibandingkan dua prosedur sebelumnya dan dapat dilakukan dengan


pendekatan intraoral maupun ekstraoral. Prosedur decortication
menghilangkan korteks tulang yang cukup luas dan kadang
membutuhkan lateralisasi dari serabut saraf dan pembuluh darah serta
fiksasi yang kuat untuk menghinari fraktur patologis. Decortication
digunakan pada osteomyelitis akut dan kronis dengan lesi luas.
Apabila terdapat defek anatomis yang luas atau fraktur patologis
biasanya akan diperlukan prosedur reseksi dan rekonstruksi dari rahang.
Semua pengambilan keputusan intervensi bedah sebaiknya didasarkan
kondisi klinis dan pencitraan radiologis.

11

Gambar 5. Lateralisasi serabut Gambar 6. Prosedur reseksi dan


saraf pada proses decortication

rekonstruksi korpus mandibula

2. Tatalaksana antibiotik
Pemberian antibiotik pada osteomyelitis didasarkan secara empiris
pada pola kuman yang sering ditemukan. Ketika pemberian antibiotik
empiris gagal perlulah dilakukan pemeriksaan kultur dan sensitivitas.
Antibiotik lini pertama yang digunakan untuk osteomyelitis adalah
clindamycin atau kombinasi amoxicillin dan asam klavulanat yang
diberikan selama minimal 6 minggu.
Pada kasus osteomyelitis kronis dapat digunakan regimen yang
sama namun pemberian secara intravena dibatasi hingga 2 minggu pertama
diikuti dengan pemberian per oral untuk minggu selanjutnya.
I. Follow-up dan Perawatan Lanjutan
Sebaiknya dilakukan follow up kasus setiap 2 tahun untuk memastikan
bahwa tidak terjadi relaps osteomyelitis. Reaktivasi osteomyelitis kronis
masih dapat terjadi bahkan setelah 10 tahun sesudah pengobatan awal.
Prosedur rekonstruksi dilakukan setelah penyakit pasien sembuh sempurna/
resolusi penyakit dengan tetap memantau faktor predisposisi dan faktor risiko
dari osteomyelitis.
J. Pencegahan
Pencegahan osteomyelitis rahang yang terpenting adalah memelihara
kesehatan gigi dan jaringan di sekitarnya (periodontal) karena sebagian besar
12

infeksi osteomyelitis berasal dari infeksi odontogenik yang tidak mendapatkan


penanganan yang adekuat.
K. Komplikasi
Salah satu bentuk komplikasi yang paling sering terjadi adalah fraktur
patologis mandibula yang disebabkan oleh perubahan pada jaringan tulang
akibat infeksi osteomyelitis (destruksi tulang) sehingga kekuatan tulang
berkurang secara signifikan.

13

DAFTAR PUSTAKA
1. Armstrong D, Cohen J (editor). Infectious disease. 2nd edition. London:
Harcourt; 2005. pp. 6079.
2. Baltensperger M, Eyrich G (editor). Osteomyelitis of jaws. Berlin: Springer;
2009. pp. 5112; 12133; 14578
3. Baltensperger M, Eyrich G (editor).

Osteomyelitis

therapy-general

consideration and surgical therapy. Berlin: Springer; 2009. pp. 17990.


4. Baltensperger M. Retrospective analysis of 290 osteomyelitis cases treated
dalam: The past 30 years at the department of Craniomaxillofacial surgery
Zurich with special recognition of the classification. Med Dissertion Zurich
2003;1:135.
5. Greenberg AM, Preim J (editor). Craniomaxillofacial reconstruction and
corrective bone surgery principles of internal fixation using the AO/ ASIF
techniques. Berlin: Springer; 2002. pp. 7689.
6. Krakowiak PA. Alveolar osteitis and osteomyelitis of the jaws. Oral
Maxillofacial Surg Clin N Am 2011; 23: 401-13
7. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins Basic Pathology 9 th ed. Philadelphia:
Saunders, 2012.
8. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J.
Harrisons Principles of internal medicine 18th ed. New york: Mc Graw Hill,
2012.
9. Miloro M, Gali GE, Larsen P, et al. (editor). Petersons principles of oral
surgery. Hamilton (Canada): BC Decker; 2004. p. 317.
10. Sculze D, Blessman B, Phlenz P, et al. Diagnostic criteria for detection of
mandibular osteomyelitis using CBCT. Dentomaxillofac Radiol 2006;35(49):
2325.
11. Topazian RD, Goldberg MH, Hupp JR (editor). Oral & maxillofacial
infections. 4th edition. Philadelphia: Saunders; 2002. pp. 21442.
12. Uche C, Mogyoros R, Chang A, et al. Osteomyelitis of the Jaw: a

retrospective analysis. Int J Infect Dis 2009;7:2.

14

Вам также может понравиться