Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
Teknik hipotensi terkendali merupakan suatu teknik pada anestesi umum
dengan menggunakan agen hipotensi kerja cepat untuk menurunkan tekanan darah
serta perdarahan saat operasi. Prosedur ini memudahkan operasi sehingga
membuat pembuluh darah dan jaringan terlihat, serta mengurangi kehilangan
darah.
Prosedur anestesi dengan teknik hipotensi memiliki tujuan untuk
mengurangi perdarahan di daerah operasi agar memudahkan operator dalam
visualisasi lapang operasi. Dengan menaikkan kepala 10-150 sehingga dapat
meningkatkan pengeluaran aliran balik vena, menjaga tekanan darah tetap rendah,
serta menurunkan perdarahan. Prosedur hipotensi merupakan suatu prosedur yang
mungkin saja dapat menyebabkan suatu komplikasi yaitu gangguan perfusi organ
utama (thrombosis cerebral, hemiplegia, nekrosis hepar masif, kebutaan, retinal
artery thrombosis, ischemic optic neuropathy) dan komplikasi operasi (reactionary
hemorrhage, hematoma formation).
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Status Pasien
1. Identitas
Nama
: Tn. O.K
Jenis Kelamin
: Laki-laki
: 222-24-15
Ruangan
: Cempaka Atas
Usia
: 42 Tahun
: Mastoidektomi
2. Anamnesis
a. Kebiasaan
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok
b. Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat, maupun udara, alergi
makanan terhadap udang
c. Riwayat Penyakit
Pasien tidak memiliki riwayat asma, penyakit jantung, ginjal, hepar,
hipertensi, diabetes mellitus dan kecelakaan/trauma
d. Riwayat Operasi
Pasien tidak pernah dioperasi sebelumnya
e. Keadaan Saat Ini
Pasien tidak sedang demam, batuk maupun flu
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Baik
b. Kesadaran
: Compos mentis
c. Berat Badan
: 70 kg
d. Tanda Vital:
TD
: 120/80 mmHg
RR
: 18 x/menit
N
: 84 x/ menit
S
: 36,50C
e. Kepala dan Leher: normochepal, konjungtiva anemis (-/-), Sklera
Ikterik (-/-)
f. Thorax
Jantung
2
Inspeksi
: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: Ictus cordis teraba
Perkusi
:
o Batas atas kiri
: ICS II LPS sinistra
o Batas atas kanan
: ICS II LPS Dekstra
o Batas bawah kiri
: ICS V LMC Sinistra
o Batas bawah kanan : ICS IV LPS Dextra
Auskultasi
: Si-S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Paru
Inspeksi
: Pergerakan simetris saat statis dan dinamis,
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
retraksi (-)
: Vokal fremitus kanan sama dengan kiri
: Sonor kedua lapang paru
: Vesikular breath sound (+), rhonkhi (-), wheezing
(-)
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Palpasi
Ekstremitas
uvula)
Bukaan mulut
Jarak mento-hyoid
Jarak tiro-hyoid
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
: 3 jari pasien
: 3 jari pasien
: 2 jari pasien
SGPT
Ureum
Kreatinin
Na/Cl
: 24 U/L
: 23 mg/dl
: 1,1 mg/dl
:
145/109mmol/L
Kalium
: 3,80 mmol/L
GDS
: 99 mg/dl
b. Rontgen Thorax
Kesan
: Cor dan pulmo dalam batas normal
c. Rontgen Mastoid
Kesan
: Mastoiditis Sinistra
5. Kesan ASA (The American Society of Anesthesiologist)
b. Induksi
Propofol (2-3 mg/kgBB) = 140 mg 210 mg 150 mg
Sediaan 20 cc: 10 mg/ml 15 cc
c. Pelumpuh Otot
Atracurium (0,5-0,6 mg/kgBB) : 35 mg 42 mg 40 mg
Sediaan 5cc: 10 mg/ml 4 cc
Rumatan (0,1 mg/kgBB) = 0,1 x 70 = 7 mg 7 mg = 0,7 cc
d. Pemasangan ETT
Dewasa Laki-laki digunakan ETT biasa dengan cuff ukuran 7,5
e. Maintenance
O2 : air serta sevofluran 2 Vol%
O2 : Air = 1 : 1 = 1 L : 1 L
f. Medikasi Teknik Hipotensi
Selain menggunakan agen anestesi (IV maupun gas), juga digunakan
obat dari golongan alfa-adrenergik yaitu Catapres.
Dosis : 1-2 mcg/kgBB = 70 mcg 140 mcg 75 mcg
g. Monitoring :
o Pemantauan adekuatnya jalan nafas dan ventilasi selama anestesia :
pengamatan tanda klinis (kualitatif) seperti pergerakan dada,
observasi reservoir breathing bag, serta pastikan stabilitas ETT
tetap terjaga
o Pemantauan oksigenasi selama anestesia : pemantauan dilakukan
dengan pemasangan pulse oximetri untuk mengetahui saturasi O2
4
Sistol
120
118
110
110
90
94
94
96
98
101
100
108
104
97
97
90
90
88
92
89
98
10.15
10.30
10.45
11.00
11.15
11.30
11.45
12.00
12.15
12.30
12.45
13.00
13.15
13.30
13.45
14.00
14.15
14.30
14.45
15.00
15.15
Diastol
80
78
70
69
69
54
49
48
53
56
56
64
56
58
56
51
51
50
55
49
59
Nadi
90
80
72
69
69
63
63
61
59
60
60
60
60
71
64
70
70
72
60
62
65
MAP
93
91
83
83
76
67
64
64
68
71
71
79
72
71
69
64
64
63
67
62
64
MAP
MAP
93 91
83 83
76
67 64 64 68 71 71
79
72 71 69
64 64 63 67 62 64
o Lain-lain :
Inj. Ondancentron 4 mg
Inj. Ketorolac 30 mg
Inj. Asam Tranexamat 1 g
Inj. Ceftriaxon 2 gr
h. Recovery Room (Aldrette Score)
Kesadaran
: 2 (sadar, orientasi baik)
Pernafasan
: 2 (dapat nafas dalam, batuk)
Tekanan darah
: 2 (TD berubah < 20%)
Aktivitas
: 2 (4 ekstremitas bergerak)
Warna kulit/SpO2 : 2 (merah muda (pink), tanpa O2, SaO2 > 92%)
TOTAL
: 10
i. Tindak Lanjut
o Observasi tanda-tanda vital post operasi
o O2 nasal kanul 3 Lpm
o Ketorolac 3x30 mg (iv)
o Ondansentron 2x4 mg (iv)
o Mobilisasi bertahap
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Teknik hipotensi terkendali
Merupakan suatu teknik pada anestesi umum dengan menggunakan agen
hipotensi kerja cepat untuk menurunkan tekanan darah serta perdarahan saat
operasi. Prosedur ini memudahkan operasi sehingga membuat pembuluh darah
dan jaringan terlihat serta mengurangi kehilangan darah.
Teknik hipotensi adalah suatu teknik yang digunakan pada operasi yang
meminimalkan
kehilangan
darah
pada
pembedahan,
dengan
demikian
darah perifer. Hal ini perlu diperhatikan pada daerah yang menanggung
beban berat, dan pada penonjolan tulang-tulang. Oleh karena itu bantalan
khusus perlu disediakan dengan lebih fokus pada daerah seperti occiput,
scapula, sacrum, siku dan tumit. Juga harus diperhatikan kontrol tekanan
pada daerah orbita terutama pada posisi telungkup.
2
koloid atau tiga sampai empat kali lipat dengan kristaloid. Jika
perdarahan melebihi batas toleransi (20-25% dari estimasi volume
darah pasien), maka transfusi darah harus diberikan
k. Teknik hipotensi harus dimulai saat dibutuhkan. Setelah hipotensi
dimulai
dibutuhkan
level
pemantauan
tekanan
darah
untuk
thrombosis Cerebral
Hemiplegia
Kebutaan
2. Komplikasi operasi
Reactionary hemorrhage
Hematoma formation
5. Vasodilator
a. Sodium nitroprusside (SNP)
Keuntungan utama menggunakan obat ini adalah penurunan tekanan
darah yang cepat seimbang dengan pengembalian tekanan darah yang
cepat ke nilai normal, sehingga obat ini mampu menghasilkan dial-apressure hypotension dalam periode yang sangat singkat misalnya
saat pengangkatan meningioma atau pemotongan aneurisma serebral.
Penggunaan SNP dianggap kurang memberikan visualisasi yang ideal
pada pembedahan kecuali terjadi penurunan MAP hingga 20%
(Boezaart et.al., 1995). SNP memberikan distribusi aliran darah
serebral yang lebih homogen akibat efek vasodilatasi langsung ke
serebral dan mempertahankan aliran darah yang adekuat ke organ vital
pada MAP di atas 50 mmHg. Efek vasodilator SNP pasti akan
menggeser kurva autoregulasi ke kiri secara dose dependent dan
meningkatkan tekanan intrakranial, sehingga tidak digunakan pada
neurosurgery sebelum tulang tengkorak dibuka.
SNP bekerja langsung pada otot polos pembuluh darah menyebabkan
dilatasi arteriolar, venodilatasi dan menurunnya curah jantung. Respon
ini disebabkan gugus NO yang berdifusi ke dalam otot polos pembuluh
darah dan meningkatkan cGMP sehingga menghasilkan relaksasi. SNP
memiliki sifat depresi terhadap kontraktilitas miokard yang minimal
dengan tetap memelihara aliran darah koroner dan menurunkan
kebutuhan oksigen otot jantung. Penggunaan preparat ini berhubungan
dengan intoksikasi sianida. Setiap molekul SNP mengandung 5 radikal
sianida yang dilepaskan akibat pemecahan obat dalam plasma dan sel
darah merah. Jalur metabolik normal pemecahan SNP bersifat non
enzimatik yaitu dalam sel darah merah dan plasma. Reaksi intraseluler
di katalisasi oleh perubahan haemoglobin menjadi methaemoglobin.
Pada akhirnya, lebih dari 98% sianida yang dihasilkan akibat
pemecahan SNP terdapat di dalam sel darah merah, sedangkan
proporsi yang lebih kecil bergabung dengan methaemoglobin atau
vitamin B12. Sebagian besar sianida dimetabolisme di hati oleh enzim
hipotensi
yang
dihasilkan
SNP.
Dosis
SNP
yang
termasuk
golongan
antagonis
calcium
channel
pengembalian
MAP
yang
lambat
justru
memberikan
reflek
takikardi
yang
minimal
dibandingkan
BAB III
PEMBAHASAN
Laki-laki usia 42 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalankan operasi
Mastoidektomi pada tanggal 18 Maret 2016dengan diagnosis pre-operatif yaitu
OMSK AS. Rencana pre-operatif adalah dengan pemberian maintenance cairan
sesuai berat badan serta dipuasakan selama 6 jam sebelum operasi yang bertujuan
untuk memperkecil kemungkinan adanya aspirasi isi lambung karena regurgitasi
atau muntah saat dilakukan anestesi.
Pada operasi untuk pasien ini, metode anestesi yang dipilih adalah anestesi
umum dengan intubasi dan teknik hipotensi. Indikasi dilakukannya teknik
hipotensi pada kasus ini adalah lokasi operasi berada di telinga, tujuan teknik
hipotensi dilakukan pada operasi ini bertujuan untuk meningkatkan lapang
pandang / visualisasi dari operator serta mengurangi perdarahan pada pasien.
Obat hipotensi yang digunkan pada operasi ini adalah agen anestesi gas, dan
obat penurun tekanan darah golongan alfa-blocker. Catapres merupakan agen -2adrenergik blocker. Catapres akan menempati reseptor -2 di susunan saraf pusat
yang mengakibatkan penurunan kerja simpatis yang menyebabkan penurunan
resistensi primer dan jantung sehingga terjadilah penurunan tekanan darah. Obat
ini diberikan secara bolus iv dengan durasi kerja 3-7 jam. Gas anestesi yang
digunakan adalah isoflurane dengan memblok ganglion simpatik trimetaphan dan
pentolinium menyebabkan hambatan ganglion otonom melalui mekanisme
inhibisi kompetitif asetilkolin. Selain itu isofluran mengurangi aliran darah ke
ginjal sebesar 49%. Mekanisme ini disebabkan menurunnya redistribusi aliran
darah dari ginjal karena berkurangnya SVR dan tahanan vaskuler renal.
Tekanan darah awal pasien adalah 120/80 mmHg dengan MAP 88 sebelum
dilakukan premedikasi pada pasien, setelah diberikan premedikasi, induksi dan
pelumpuh otot terjadi sedikit penurunan tekanan darah pada pasien. Lalu
diberikan catapress iv sebanyak 60 mg, dengan tujuan menurunkan tekanan darah
hingga tekanan darah sistolik antara 90-80 mmHg atau MAP 50-70 mmHg sesuai
dengan batas aman dari teknik hipotensi.
BAB IV
KESIMPULAN
Pada operasi telinga, teknik anestesi yang dipilih seharusnya dapat
memberikan kondisi operasi yang baik pada operator. Tujuannya haruslah
mengurangi perdarahan, terutama pada daerah yang dioperasi. Teknik anestesi
hipotensi merupakan suatu teknik pada anestesi umum dengan menggunakan agen
hipotensi kerja cepat untuk menurunkan tekanan darah serta perdarahan saat
operasi. Prosedur ini memudahkan operasi sehingga membuat pembuluh darah
dan jaringan terlihat serta mengurangi kehilangan darah. Teknik ini memerlukan
kontrol pada tekanan darah yang rendah sehingga tekanan darah sistolik diantara
80-90 mmHg. Definisi lainnya adalah menurunkan Tekanan arteri rata-rata (mean
arterial pressure) sampai 50-70 mmHg pada pasien normotensi.
Kata kunci pada teknik anestesi hipotensi adalah MAP (Mean Arterial
Pressure) yaitu perkalian cardiac output dengan resistensi vaskular sistemik. MAP
dapat dimanipulasi dengan mengurangi resistensi vaskular sistemik atau cardiac
output, atau keduanya. Resistensi vaskular sistemik dapat dikurangi dengan
vasodilatasi pembuluh darah perifer, sedangkan cardiac output dapat dapat
dikurangi dengan menurunkan venous return, heart rate, kontraktilitas miokard
atau kombinasi dari ketiganya.
Daftar Pustaka
Latief, Said.A, Suryadi, Kartini.A, Dachlan, Ruswan. 2002. Petunjuk Praktis
Anestesiologi Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta
Morgan & Mikhail. 2013. Clinical Anesthesiology.
Rodrigo, C. 1995. Induced hypotension during anesthesia with special reference
to orthognathic surgery. Anesthesia Progress, 42(2), 4158.